INTERVAL Arsip - TelusuRI https://telusuri.id/interval/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 13 Jun 2025 08:53:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 INTERVAL Arsip - TelusuRI https://telusuri.id/interval/ 32 32 135956295 Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/ https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/#respond Fri, 13 Jun 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47447 Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan...

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan retribusi perbaikan jalan kampung saat perjalanan kembali ke Tambolaka (18/7/2025). Dua kejadian beruntun tersebut Jajago dalam satu hari yang sama, yakni 12 Mei 2025, saat road trip di Sumba dengan mobil campervan.

Sebelumnya, John Stephen dan Riana, duo personel Jajago, telah melintasi Pulau Timor, Flores, dan Sumba menjadi penutup musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Dua kejadian yang menimpa keduanya seperti mengulang insiden dilempar batu oleh oknum warga saat melintas di daerah Weliman, Kabupaten Malaka (2/4/2025).

Tak pelak, konten Jajago pun viral. Terlebih diunggah ulang di sejumlah platform media sosial. Hasilnya bisa ditebak. Ribuan komentar membanjir, pro dan kontra mengalir. Masing-masing pihak terkena imbas. Jajago banjir dukungan, pun kenyang hujatan. Begitu pun sebaliknya, para pegiat pariwisata dan masyarakat lokal Sumba mengalami dampak serupa.

Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci
Bentuk salah satu rumah adat Kampung Ratenggaro yang tersisa saat kebakaran hebat tahun 2007. Kini sudah terbangun kembali belasan rumah adat yang lalu berkembang menjadi destinasi wisata budaya populer di Sumba/Monica Renata via Wikipedia

Kronologi dan insiden serupa di tempat lain

TelusuRI menghubungi pihak Jajago untuk meminta klarifikasi perihal insiden yang menimpa mereka. Pada Rabu (28/5/2025), melalui sambungan telekonferensi video, Jhon menceritakan ulang kronologi kejadian di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro seperti sudah diceritakan di Instagram Jajago.

Persoalan pokoknya adalah tarif jasa yang tidak sesuai kesepakatan di awal. Mulai dari kerumunan anak-anak yang dianggap “memaksa” untuk menggunakan jasa foto mereka, sampai dengan permintaan tambahan biaya sewa kuda dan pakaian adat yang melebihi ketentuan awal. Beberapa di antaranya (termasuk oknum warga dewasa) terang-terangan meminta uang untuk dalih beli buku maupun rokok. 

Menurut pengakuan Jhon, ia dan istrinya tidak melihat adanya informasi tertulis perihal tarif retribusi masuk kampung adat, hingga biaya jasa lainnya. Nominal tarif diungkap secara lisan dan berubah-ubah keterangannya. Tampak di video satu oknum pria dewasa berpakaian sarung adat dengan parang di pinggang mendominasi pembicaraan mengenai tarif, yang mendorong anak-anak setempat mengikuti arahannya.

Dari penuturan Jhon, kejadian serupa juga dialami beberapa pengunjung lain sebelumnya, yang ia ketahui dari ulasan di Google Maps. Tidak sedikit catatan negatif mengenai tempat wisata tersebut karena sejumlah kejadian kurang menyenangkan oleh oknum. 

Permintaan sejumlah uang juga dialami Jajago ketika melintas sebuah jalan perkampungan di Kodi, tak terlalu jauh dari Ratenggaro. Dalam rekaman video terlihat seorang pria melambaikan tangan agar mobil Jajago melambat dan berhenti, karena adanya perbaikan jalan kampung atas inisiatif swadaya masyarakat. Meski tampak tidak ada paksaan, tapi oknum pria tersebut menyebut nominal uang yang diperlukan.

Insiden serupa tidak hanya terjadi di Sumba. Di Pulau Jawa, yang perkembangan pariwisatanya terbilang sudah cukup maju dan dekat dengan kota-kota besar, aktivitas pungutan liar (pungli) masih sering terjadi. Salah satu yang paling terkenal adalah objek wisata alam Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Kabarnya, belakangan kerap sepi dan mulai ditinggalkan pengunjung. Umumnya wisatawan kapok karena biaya yang berlapis, berlipat, dan tidak terintegrasi untuk hampir setiap sektor, mulai dari tiket retribusi wisata biasa, berkemah, wahana permainan, wahana foto, hingga kuliner.

Lalu di objek wisata air terjun Tumpak Sewu atau Coban Sewu di perbatasan Malang–Lumajang, Jawa Timur juga menuai polemik. Penyebabnya adalah terdapat tarikan retribusi tambahan di area bawah air terjun, yang berada di perbatasan dua desa. Kejadian ini direkam pengunjung dan viral, menuntut pemerintah setempat menertibkan pengelolaannya.

Di sisi lain, Jhon menegaskan pihaknya tidak mempermasalahkan soal uangnya, tetapi lebih kepada cara meminta dan inkonsistensi tarif yang berlaku di Pantai Mandorak maupun Ratenggaro. Nominal yang simpang siur membingungkan wisatawan karena beberapa oknum meminta uang retribusi dengan harga yang berbeda-beda.

Konten media sosial yang rawan mispersepsi

Saat kami mengkonfirmasi Jajago, pihaknya mengungkap tidak ada masalah perihal adanya sosok pria dewasa terekam membawa sebilah parang di pinggang. John mengaku sangat memahami kebiasaan dan kebudayaan khas Sumba itu, seperti halnya di daerah-daerah lain di Nusantara.

Namun, tanpa adanya penjelasan yang detail, tampilan video itu menimbulkan mispersepsi di kalangan netizen, baik pengikut maupun nonpengikut Jajago. Tak sedikit yang memberi kesimpulan dini bahwa keberadaan parang tersebut merupakan tindakan intimidatif. Kegaduhan publik kian menjadi ketika video juga memperlihatkan sejumlah anak-anak hingga warga lokal menyebut secara jelas patokan harga jasa wisata yang berlaku di sana. Tak terkecuali soal ‘biaya jasa’ perbaikan jalan kampung yang dilintasi Jajago setelah meninggalkan Ratenggaro.

Konten yang viral menimbulkan konsekuensi, sehingga menuntut kebijaksanaan dan kelapangan hati yang lebih dari warganet. Sebab, tidak sedikit sorotan tajam dan tanggapan negatif warganet yang menyudutkan masyarakat Sumba, khususnya Ratenggaro dan sekitarnya. Ditambah ulasan negatif pengunjung (rata-rata bintang satu dari lima penilaian) melalui Google Maps. 

Bupati Sumba Barat Daya Ratu Ngadu Bonnu Wulla, seperti dilansir dalam iNews Sumba (24/5/2025), dilaporkan berurai air mata saat menghadiri pertemuan dengan warga Kampung Adat Ratenggaro usai kejadian viral yang diunggah Jajago tersebut. Ia merasa sedih dan terluka karena masyarakat Sumba Barat Daya mendapat sorotan negatif dari warganet yang mungkin belum mengetahui akar permasalahan sebenarnya. Bahkan mungkin belum semuanya memahami kultur hingga kekurangan dan kesenjangan yang terjadi antara masyarakat di Indonesia timur dengan Pulau Jawa yang lebih maju.

Sekalipun begitu, pihaknya mewakili Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berkomitmen untuk berbenah. Ratu Wulla menekankan penegakan peraturan desa tentang retribusi resmi dan pengelolaan wisata yang sudah ada untuk mencegah ulah pihak yang sewenang-wenang terulang lagi.

Dalam rilis terpisah melalui Galeri Sumba (18/5/2025), Adi Mada, Wakil Ketua Lembaga Adat Ratenggaro, memberi tanggapan resmi mengenai viralnya dugaan pungli yang dialami Jajago. Ia menyampaikan permintaan maaf atas insiden yang terjadi. Dari pernyataannya, terungkap adanya konflik internal antarwarga yang cukup serius perihal pengelolaan wisata di sana. Situasi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mengambil kesempatan tanpa persetujuan lembaga adat.

Seperti menguatkan pernyataan bupati, Adi Mada menambahkan, ia bersama sejumlah tokoh adat dan perangkat daerah terkait berkomitmen untuk menyelesaikan konflik internal di kampung secepatnya. Sebab, regulasi pengelolaan wisata di tingkat desa dan daerah sebenarnya sudah ada, tinggal diperkuat kembali. Termasuk melakukan pembinaan serta pembenahan internal untuk memperbaiki kualitas pelayanan wisata di Sumba Barat Daya, khususnya sekitar Kampung Adat Ratenggaro.

Kiri: Foto udara Pantai Mandorak berpasir putih dan dikelilingi tebing karang/Fajar Nasution via Traveloka Indonesia. Kanan: Tebing-tebing karang dan jernihnya laut jadi ciri khas Pantai Mandorak/Zahra via Wikipedia.

Pendidikan sumber daya manusia jadi kunci

Sebelumnya, TelusuRI mencoba meminta pendapat Agustina Purnami Setiawi, akademisi pendidikan Universitas Stella Maris Sumba perihal kasus ini. Istri Adi Mada itu baru bisa menyediakan waktu wawancara secara daring di akhir pekan (24/5/2025), setelah agenda padat mendampingi bupati saat kegiatan di Kampung Adat Ratenggaro.

Senada dengan bupati, Agustina merasa sedih dan prihatin. Ia menyadari kekurangan dan keterbatasan sumber daya manusia di Sumba dalam hal pelayanan pariwisata. Terlebih sampai saat ini Sumba Barat Daya masih tergolong daerah tertinggal, seperti tertera dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020. Ia mengakui, perkembangan pariwisata di Nusa Tenggara Timur, khususnya Sumba Barat Daya, terbilang lambat dibandingkan daerah-daerah lainnya, apalagi Jawa.

“Di sini ada masalah sumber daya manusia (SDM). Walaupun kami punya potensi [pariwisata] besar, ada SDM yang belum siap,” ungkapnya.

Namun, ia menggarisbawahi, Ratenggaro memang begitu spesial. Sebagai salah satu kampung adat tertua, Ratenggaro sejatinya memiliki nilai-nilai budaya yang luhur, magis, dan pada dasarnya masyarakat lokal sangat ramah. Agustina berani menyatakan, Ratenggaro sudah lama terkenal sebagai kampung adat, yang sejatinya tetap bisa hidup tanpa adanya pariwisata.

Bahkan ketika berusaha dikembangkan dan diberdayakan sebagai destinasi pariwisata, Ratenggaro perlu waktu lebih lama untuk benar-benar dianggap siap menerima wisatawan. Sebab, bagi Agustina, pemahaman kepariwisataan yang bisa memberi dampak ekonomi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi penduduk setempat. Kesenjangan literasi kepariwisataan ini ia anggap berakar dari kesenjangan pendidikan yang umumnya terjadi di wilayah Indonesia Timur. Katanya, jangankan berpikir tentang sekolah, jika untuk makan saja masih kesulitan.

Untuk itu, Agustina berharap pemerintah dan wisatawan mau memikirkan pemerataan akses pendidikan sebagai timbal balik yang harus diberikan setelah Ratenggaro, Mandorak, dan tempat-tempat di Sumba Barat Daya kian populer sebagai destinasi wisata. Bentuknya bermacam-macam, bisa sekalian menggelar kegiatan literasi, bagi-bagi buku, hingga lokakarya sederhana untuk anak-anak dan keluarga di kampung-kampung adat. Ia tidak ingin Sumba hanya dikeruk potensinya untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu, tetapi tidak berdampak apa pun untuk pengembangan SDM lokal, khususnya Sumba Barat Daya.

Selain itu, Agustina juga menitip pesan penting bagi wisatawan yang berkunjung, baik ditemani pemandu lokal maupun tidak. Bagaimanapun, sebagai tamu, penting untuk lebih bijaksana dalam mendokumentasikan perjalanan mereka di tempat baru, yang kulturnya bisa jadi sangat berbeda daripada daerah asalnya. Sebab, ada ruang-ruang privasi warga, hingga ruang-ruang keramat dan sakral yang tidak boleh dimasuki atau direkam. 

Jhon (kiri) dan Riana berpose dengan pakaian adat di samping mobil campervan Jajago Keliling Indonesia saat singgah di Desa Adat Todo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur/Instagram Jajago

Perlunya duduk bersama untuk kemajuan pariwisata Sumba

Senada dengan Agustina, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumba Barat Daya Argen Umbupati, mengakui ada dua sudut pandang pelajaran yang bisa dilihat dari kejadian yang menimpa Jajago. Pertama, viralnya konten Jajago dijadikan sebagai landasan semua pihak yang berkaitan untuk membenahi industri pariwisata di Sumba Barat Daya. Kedua, citra pariwisata di Sumba Barat Daya, khususnya Kampung Adat Ratenggaro dan sekitarnya, kembali menuai sorotan tajam dan cenderung negatif di kalangan warganet.

Padahal menurut Argen, kondisi Ratenggaro dan Mandorak saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu sebelum dikemas sebagai destinasi wisata. Saat itu pariwisata masih terasa asing dan kawasan tersebut dianggap berbahaya bagi para pendatang. Namun, setelah penetapan peraturan desa dan daerah tentang pengelolaan pariwisata setelah pandemi COVID-19, situasinya mulai membaik meski belum 100 persen sempurna.

Pemandu lokal yang berbasis di Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, mengakui wilayahnya masih memiliki banyak kekurangan dalam pelayanan pariwisata. Untuk itu, meski tidak wajib, pihaknya menyarankan para tamu atau wisatawan menggunakan jasa pemandu lokal demi kenyamanan berwisata. Melalui pemandu diharapkan wisatawan bisa mendapat informasi dan penjelasan seputar kebudayaan lokal, maupun hal-hal yang boleh dan pantang dilakukan selama di Sumba Barat Daya.

Selain itu, Argen juga berharap semua pihak pemangku kepentingan di Sumba Barat Daya bisa duduk bersama. Menurutnya komunikasi sangat penting untuk menyamakan visi dan frekuensi demi kemajuan pariwisata di Pulau Sumba. Sembari berbenah, Argen menyampaikan kepada siapa pun agar tidak perlu takut dan tetap datang menikmati keindahan alam dan budaya Sumba.

Terakhir, Jajago tetap menyampaikan harapan besar dan optimisme agar pariwisata Ratenggaro, Mandorak, dan peran masyarakat Sumba Barat Daya semakin baik di masa mendatang. Pun tempat-tempat wisata lainnya di Sumba, mulai dari wisata alam, kuliner, hingga budaya. Terlepas dari kejadian yang menimpa, Jhon dan sang istri mengakui Sumba sebagai destinasi penutup road trip terbaik dan terindah selama musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur.

Foto sampul: Kampung adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (Shandi Irawan via Wikimedia)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/feed/ 0 47447
Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/ https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/#respond Thu, 12 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47390 Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten...

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. 

Panjangnya hampir 500 meter dengan lebar sekitar 2,75 meter. Jembatan Surapatin, yang dibangun dan dikelola secara swadaya oleh warga lokal dan berbayar ini, menghubungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi di sisi barat dan sisi timur anak Danau Saguling. 

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Sebuah perahu bermesin tempel penuh penumpang melintasi perairan Danau Saguling/Djoko Subinarto

Sensasi Goyang-goyang

Delapan tahun setelah kunjungan pertama ke Jembatan Surapatin, Kamis siang (1/5/2025), saya berkesempatan kembali menyambangi jembatan ini. Jika pada kunjungan pertama saya datang dari arah barat via Gunung Bentang, maka pada kunjungan kedua saya datang dari arah timur jembatan ini, yakni daerah Batujajar.

Tidak banyak perubahan yang saya lihat dari penampilan Jembatan Surapatin secara umum. Hanya saja, pada kunjungan kedua ini, saya menyaksikan konstruksi jembatan yang telah mengalami peningkatan. Balok kayu yang digunakan sebagai lantai jembatan kini terlihat lebih tebal, besar, dan kokoh dibanding sewaktu pertama kali berkunjung. Saat itu saya melihat balok kayu yang digunakan tipis, kecil, dan di beberapa bagian terlihat sudah rapuh serta disulam bambu.

Sensasi goyang-goyang dan bunyi gemeretak tatkala balok-balok kayu terlindas ban sepeda motor masih tetap saya rasakan. Sama seperti delapan tahun lampau kala pertama melintasi jembatan ini.

Mempersingkat Perjalanan

“This bridge will lead you home,” begitu sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris. Ungkapan tersebut tampaknya menjadi sebuah realitas bagi warga yang bermukim di sisi barat dan sisi timur Jembatan Surapatin.

Bagi mereka, keberadaan jembatan apung ini sangat berarti. Tidak hanya mampu membawa mereka melalui jalan pulang menuju rumah—baik itu dari pasar, sekolah maupun tempat kerja—dengan lebih cepat, tetapi juga lebih murah. 

Sebelum ada Jembatan Surapatin, warga mesti naik perahu atau naik-turun angkot yang memutar jalan puluhan kilometer. Akibatnya, bukan saja membutuhkan waktu relatif lama, melainkan juga menyedot biaya. Sekarang, cukup membayar Rp2.000 (berjalan kaki atau bersepeda) atau Rp5.000 (sepeda motor), mereka bisa sampai ke tujuan dengan lebih cepat melalui Jembatan Surapatin.

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Dua pesepeda melintasi Jembatan Surapatin, tampak struktur sederhana yang digunakan, tetapi memberi manfaat besar bagi penggunanya/Djoko Subinarto

Kolam dan Saung Terapung

Sambil melintas di atas Jembatan Surapatin, kita bisa melihat kolam jaring terapung yang berada di sisi kiri dan kanan jembatan. Beberapa saung makan apung lesehan berdiri pula persis di tepi jembatan.

Saung makan apung ini umumnya menawarkan kuliner khas Sunda, seperti nasi timbel, lalap, ayam bakar, dan ikan bakar. Harga paket nasi timbel lengkap dengan lalap, ayam bakar, dan ikan bakar bervariasi, sekitar Rp20.000–Rp35.000 per porsi. 

Selain kuliner, saung-saung makan ini juga menyediakan fasilitas karaoke. Maka, setelah kenyang menyantap nasi timbel, pengunjung saung makan bisa santai berkaraoke sejenak sembari menikmati semilir angin di atas anak Danau Waduk Saguling.

Bisa dikatakan, Jembatan Surapatin ini sebagai bentuk infrastructure of care. Berkat jembatan apung ini, para nenek dan kakek yang mukim di sekitar anak Danau Saguling kini bisa lebih mudah menjenguk cucu mereka. Para petani juga bisa lebih cepat menjual hasil bumi mereka.

Bayangkan pula ketika jembatan ini dilalui motor tua yang mengangkut sayur-mayur dari kebun-kebun warga lokal. Maka jembatan ini bukan sekadar penghubung, tapi juga jalan logistik mikr—salah satu aspek yang kerap luput dari kalkulasi pembangunan skala besar.

Dalam konteks ini, jika sebagian infrastruktur besar kerap dikritik karena tak inklusif, maka Jembatan Surapatin justru jadi antitesisnya. Pasalnya, ia dibangun untuk kebutuhan dan manfaat yang nyata banyak warga.

Adaptasi Ekologis

Selain itu, Jembatan Surapatin merupakan bentuk adaptasi ekologis dari warga lokal. Ketimbang membangun jembatan beton besar, jembatan apung sederhana menjadi solusi ringan, cepat, dan fleksibel.

Meski demikian, ada pula tantangan dalam soal perawatan dan pemantauan. Ketahanan konstruksi jembatan tentu saja perlu terus dipantau. Tanpa perawatan memadai, jembatan bisa menjadi bahaya laten bagi keselamatan warga. Apalagi di era perubahan iklim, ketika hujan intensitas tinggi, angin ekstrem, maupun badai semakin sering terjadi sehingga bisa saja mengancam struktur jembatan apung ini.

Pada titik inilah upaya perawatan dan pemantauan menjadi hal yang sangat krusial untuk terus diupayakan. Warga di sekitar jembatan dituntut untuk merawat dan memantau struktur jembatan apung ini demi keselamatan bersama. Dengan demikian, warga tak sekadar menjadi pengguna, tapi juga penjaga keselamatan.

Tetap Menjadi Kebutuhan Primer

Di tengah proyek-proyek pembangunan skala besar, jembatan apung sederhana macam Surapatin agaknya bisa memberi inspirasi, bahwa pembangunan yang mampu memberi manfaat bagi warga tak harus serba megah dan mewah. Pemerintah daerah dan pusat perlu melihat keberhasilan pembangunan tak melulu hanya diukur dari panjang kilometer jalan tol. Keberhasilan itu juga bisa hadir dalam wujud puluhan meter kayu yang terbentang menyusun jembatan apung sederhana, yang akhirnya menyambungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi.

Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi kiwari, jembatan fisik—sesederhana apa pun bentuknya—rupanya tetap menjadi kebutuhan primer bagi banyak warga negeri ini. Di sinilah pentingnya kita memaknai pembangunan secara lebih inklusi, pembangunan yang mampu menjangkau mereka yang selama ini tak terjangkau.

Suka atau tidak, Jembatan Apung Surapatin telah mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan dan pembangunan sosial tidak selalu dibangun dari marmer dan beton. Namun. ia bisa juga muncul dari belahan-belahan kayu dan semangat gotong royong warga, yang notabene merupakan simbol kekuatan kolektif yang menjembatani keterpencilan menuju keterhubungan yang sarat makna dan manfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/feed/ 0 47390
Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/ https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/#comments Tue, 10 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47371 Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni...

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni terbuka. Tembok-tembok gang menjadi kanvas lepas, diwarnai mural dan grafiti nyentrik yang tak hanya mencuri perhatian, tapi juga menggoda lensa kamera wisatawan. Aroma cat semprot berpadu dengan kopi artisan, lalu suara gamelan dan keroncongan berganti petikan gitar dan tabuhan drum dari bar-bar kecil yang terdengar hingga larut malam. 

Dulu, orang berdatangan ke Yogyakarta untuk mencari ketenangan dan keberagaman budaya. Murahnya angkringan, hotel melati yang tarifnya tak lebih dari harga tiket bioskop, dan suasana santai yang membuat siapa pun ingin berlama-lama. 

Namun, saya selalu percaya bahwa Yogyakarta tak akan berubah menjadi kota serupa Jakarta. Ia akan tetap istimewa dengan kesederhanaannya. Tak hanya populer karena keberagaman destinasi wisata dan melekatnya unsur budaya, tapi juga identik dengan “murah meriahnya”. Keyakinan itu bukanlah datang dari serbuan video yang selalu dibalut dengan narasi hiperbolis dari kreator konten, melainkan rentetan cerita autentik mereka yang telah lebih dulu menginjakan kaki di kota ini: teman sejawat, tetangga, hingga abang-abangan di kampus. 

Konon, dengan uang seratus ribu, mereka bisa bertahan hidup seminggu di Yogyakarta. Katanya, di sana masih banyak makanan di bawah harga Rp5.000 dan sudah bisa bikin perut kenyang. Tapi itu dulu. Hari ini, saya duduk di salah satu bar di jantung Prawirotaman. Menu ditulis dengan spidol putih di papan hitam, lampunya temaram, musik jazz yang mengalun pelan, dan harga softdrink serupa Coca-Cola dibandrol dengan harga Rp30.000-an. Meski awalnya cukup kaget, tapi saya mulai sadar bahwa saat ini saya tengah duduk di dalam bar, bukan di warung-warung pinggir jalan. Terlebih di antara para wisatawan mancanegara yang tengah bervakansi di tempat yang sama. 

Prawirotaman kini tak lagi sekadar kampung. Ia menjelma serupa kota dalam kota: tempat segala hal yang “instagramable” menyatu dalam satu zona eksklusif. Di tengah euforia malam di pusat Prawirotaman, gerobak bakso Malang dan siomay Bandung menepi diantara sederet gerai bakery dan restoran ala Western dan Asia. Beberapa orang menyebutnya sebagai pluralitas. Tapi buat saya, ini semacam distorsi. 

Plang utama Jalan Prawirotaman (kiri) dan aneka plang petunjuk arah menuju sejumlah penginapan/Yayang Nanda Budiman

Hidup di Yogyakarta Tak Lagi Murah

Saya tak ingin dicap sebagai lelaki tua yang selalu meromantisasi masa lalu dan menolak perubahan. Namun,  ada yang terasa ganjil tatkala mitos murahnya hidup di Yogyakarta terus dipamerkan, padahal realitasnya sudah jauh berbeda dari apa yang diceritakan. Seolah-olah kota ini dipoles eksklusif untuk turis, tetapi perlahan ia melupakan warganya sendiri.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 adalah Rp2.264.080,95. Meski telah mengalami kenaikan sekitar 6,5% dari tahun sebelumnya, tetapi angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa. 

Bahkan jika kita melihat biaya sewa kos di sekitar Prawirotaman dan pusat kota, kini bisa menyentuh Rp1.000.000–1.500.000 per bulan untuk kamar standar. Itu pun belum termasuk biaya listrik, uang makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya. Biaya tersebut hampir serupa dengan kota Bandung yang mempunyai upah minimum dua kali lipat jauh lebih besar, yakni Rp4.482.914,09. 

Tak hanya soal biaya hidup dan sewa kamar kost yang melangit, harga makanan pun tampaknya kian mengikuti arus tren yang populer. Meski bukan bermaksud menyamaratakan, tetapi saya mengalami ketika makan seporsi bakmi godog Rp30.000, nasi goreng serupa daerah lain Rp15.000, bahkan sebungkus nasi ayam geprek di tempat yang dulu saya kenal, kini tak lagi bisa ditebus dengan uang Rp10.000. Tak cuma itu, angkringan yang selalu menjadi primadona kota ini pun kini banyak yang memasang harga lebih tinggi. Sebab, mereka tak hanya melayani pelanggan lokal, tapi juga wisatawan. 

Ketika saya bilang di Yogyakarta sudah tak lagi murah, sebagian orang menjawab “Kalau kamu pintar cari tempat, Yogyakarta masih banyak tempat makan yang murah.” Mungkin pendapat itu benar. Tapi yang murah sulit ditemukan di pusat kota, apalagi di daerah populer seperti Prawirotaman.

Yogyakarta memang masih mempunyai segudang sudut yang menawarkan kesederhanaan. Akan tetapi, kesederhanaan itu perlahan tersingkirkan oleh euforia. Prawirotaman adalah simbol pesta dan kesenangan. Kawasan ini tak lagi bicara soal budaya lokal yang otentik, tapi perihal estetika mancanegara. 

Akankah Yogyakarta Kembali Murah Meriah?

Jalan Prawirotaman kini menjadi nama kedua yang terlintas usai Malioboro, ketika orang berbicara tentang liburan di Yogyakarta. Popularitasnya kian melesat, terlebih setelah film Ada Apa dengan Cinta 2 mengambil beberapa adegan di tempat ini. Dikenal dengan sebutan “kampung turis” atau “Balinya Yogyakarta”, di antara mural-mural berwarna dan lampu-lampu jalan yang temaram, Prawirotaman mengajarkan satu hal: bahwa di kota ini, jarak antara rumah dan petualangan hanya selembar peta.

Dan Jogja, saya tak bisa menyalahkan atas kepudaran nilai murah meriahnya. Bagaimanapun, kota ini dipaksa untuk ikut bergerak oleh zaman yang berubah terlalu cepat. Ia tak sempat menolak, bahkan mungkin tak diberi pilihan. Mitos tentang hidup murah di Yogyakarta tetap dirawat rapat-rapat, dipoles dalam konten sosial media penuh nostalgia.

Seolah kota ini adalah jawaban bagi mereka yang lelah dengan kepadatan dan mahalnya hidup di Jakarta dan sekitarnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik. Murahnya Jogja kini hanya romantisme masa lalu—kenangan yang ditawarkan dalam bentuk unggahan feed Instagram, bukan kenyataan yang bisa kita genggam.

Dan ketika saya duduk terdiam di sebuah kafe di Prawirotaman, menyeruput kopi sambil memotret mural di seberang jalan, ingatlah: di balik dinding dan lorong sempit gang itu, masih ada kehidupan lain yang jarang terekam di media sosial. Ada keriangan anak-anak yang bermain di pelataran rumah yang terbatas, ibu-ibu yang menjemur pakaian dan seorang bapak yang membetulkan rantai sepedanya. Ada banyak sudut Jogja yang orisinal, tak estetik—tapi nyata—menyaksikan euforia dari kejauhan dalam keheningan. 

Di tengah terbukanya ruang Prawirotaman untuk setiap orang yang menikmati Yogyakarta, ia adalah ruang yang harus tetap kita jaga. Bukan hanya untuk para tamu yang datang dan pergi, melainkan juga tuan rumah yang lahir dan menua bersama kenangan kota ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/feed/ 1 47371
Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/ https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/#respond Fri, 06 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47340 Sepintas kehidupan berjalan begitu rumit bagi masyarakat penghuni perairan rawa Tulung Selapan. Seakan menerima suratan takdir menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Namun, Sri bersama Bintang Ratu membuktikan setiap orang berhak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Teks:...

The post Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepintas kehidupan berjalan begitu rumit bagi masyarakat penghuni perairan rawa Tulung Selapan. Seakan menerima suratan takdir menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Namun, Sri bersama Bintang Ratu membuktikan setiap orang berhak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Bentang alam dan geografis yang sulit mengepung kampung-kampung terpencil di kanal-kanal kecil Sungai Selapan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Tak terkecuali Satuan Penduduk (SP) 2, Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, sebuah kampung yang dihuni sekitar 100 kepala keluarga (KK). Betapa tidak, akses pendidikan, kesehatan, dan kegiatan perekonomian bergantung pada pasang surut perairan rawa yang bermuara di pesisir paling timur Pulau Sumatra tersebut.

Sebagian besar warga berdarah Jawa yang merantau sejak tiga hingga empat dekade lalu dari Lampung. Termasuk Katiyo, salah satu penghuni generasi awal di SP 2. Bapak empat anak asal Trenggalek itu sehari-hari bekerja sebagai petambak udang windu dan bandeng, profesi mayoritas di kampung ini.

Lahan tambak yang dikerjakan biasanya berada jauh dari kampung dan harus memakai perahu klotok atau speed boat. Selebihnya bertani padi, palawija, sayur, dan berkebun kelapa sawit. Kurang lebih radius 10 kilometer dari SP 2 memang terkoneksi jalur darat dengan lahan perkebunan kelapa sawit PT Bumi Khatulistiwa Mandiri. Di antaranya jalur itu terdapat kampung-kampung kecil, seperti SP 1, SP 3, dan SP 5.  

Cuaca jadi tantangan terbesar untuk bertahan hidup di sini. Ketika musim kering, warga, terutama ibu-ibu, bisa menanam sayuran, seperti cabai, terong, kangkung, dan bayam. Begitu musim hujan tiba, air sungai akan meluap dan membanjiri kampung. Semua tanaman mati, sehingga harus istirahat menanam. Sementara saat musim awal budi daya tambak, sebagian suami harus menginap berhari-hari di pondok yang dibangun dekat tambak. Tujuannya untuk mengawasi perkembangan bibit udang dan bandeng agar sesuai harapan, serta memastikan agar air pasang tidak membanjiri tambak.

Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat Sri Ngatoyah (44) berkreasi di luar kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Lewat kelompok UMKM perempuan Bintang Ratu, putri sulung Katiyo itu ingin mengoptimalkan potensi ekonomi kampung dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. 

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sejumlah siswa ditemani gurunya melintasi Sungai Selapan dengan kelotok sepulang sekolah. Tampak kerimbunan hutan nipah yang memiliki potensi bernilai ekonomi bagi masyarakat SP 2 Simpang Tiga Abadi, Tulung Selapan/Deta Widyananda

Dari bandeng sampai nipah

“Berdirinya Bintang Ratu itu bulan Juli, tahun 2019. Kami dibina Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk membuat bandeng presto supaya mendapat hasil atau nilai jual yang lebih [dari sekadar bandeng mentah],” kata Sri. 

Bandeng presto dipilih karena bahan baku mudah didapat dari hasil panen tambak yang digarap suami mereka. Jenis ikan bandeng yang digunakan umumnya memiliki ukuran di luar ketentuan minimal yang dijual segar ke pengepul. Istilah Sri, ikan bandeng yang tidak masuk “size”.

Produksi bandeng presto sempat berjalan baik beberapa tahun. Peminatnya banyak. Kabarnya, bandeng presto produksi Bintang Ratu dikenal berkualitas dan terbaik di seantero Sumatra Selatan. Proses produksinya pun relatif mudah. 

Hanya saja, Sri menyadari ada tantangan tersendiri dalam memproduksi bandeng presto. “Karena kita di sini terkendala sama kelistrikan. Jadi, untuk mengirim produk ke Palembang itu lebih susah. Tidak ada freezer di sini,” terangnya. Sri memberi ilustrasi, dari 10 produk bandeng presto yang dikirim ke Palembang, separuhnya “terpaksa” rusak atau sudah membusuk.

Kesulitan Sri dan sembilan anggota kelompok Bintang Ratu sebenarnya juga dialami hampir seluruh masyarakat desa-desa penghuni rawa Sungai Selapan. Dari Simpang Tiga sampai Sungai Lumpur di muara yang berbatasan dengan Selat Bangka. Belum ada pasokan listrik negara yang menjamin kelistrikan tersedia 24 jam. Masyarakat mengandalkan genset yang hanya menyala dari petang sampai pagi, mengingat tingginya harga bahan bakar di daerah yang aksesnya jauh dari mana pun.

“Jadi, kalau misalnya kita di sini sudah ada [pasokan listrik untuk] freezer, kita mengirim ke Palembang lebih mudah,” harap Sri. Tapi kenyataan tersebut berusaha ditanggapi santai oleh Siti Sulkha (42), anggota kelompok sekaligus adik ipar Sri. Baginya, meski bandeng presto sering hancur, setidaknya nama Bintang Ratu bisa makin dikenal orang. “Biar tekor, asal tersohor,” selorohnya.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Bentuk buah nipah yang menggantung di pelepah pohon nipah yang banyak ditemukan di pesisir OKI. Untuk memanen buah nipah, warga harus menggunakan perahu/Deta Widyananda

Tentu saja ibu-ibu Bintang Ratu tidak bisa terus-terusan tekor. Inovasi produk dilakukan seiring masuknya Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), seiring penyelenggaraan pengelolaan mangrove melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di pesisir OKI sejak 2021. Program ini bertujuan merestorasi ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan produksi tambak berkelanjutan dengan metode wanamina atau silvofishery

Program tersebut tidak hanya menyasar para petambak yang didominasi laki-laki, tetapi juga kelompok perempuan agar memiliki kemandirian ekonomi. YKAN kemudian mendatangkan Nuraeni, Ketua Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-Zahra, yang sukses memberdayakan perempuan dan para nelayan di pesisir Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Oleh Nuraeni, Sri dan anggota Bintang Ratu diajari mengolah ikan bandeng dalam bentuk lebih segar dan tahan lama, yaitu abon bandeng.

Tidak hanya bandeng, YKAN juga melibatkan akademisi maupun peneliti dari Universitas Sriwijaya (Unsri) untuk mengolah buah nipah. Salah satu produk olahan yang hingga kini masih dikerjakan adalah cookies atau kue kering atau biskuit nipah. Sri mengakui, inovasi tersebut menyadarkan dirinya dan ibu-ibu di SP 2 tentang potensi tersembunyi yang ada di balik hutan nipah, salah satu ekosistem mangrove yang terhampar di perairan rawa pasang surut Sungai Selapan hingga muara. “Kalau dulu, kan, dari zaman nenek moyang sampai kita di sini nipah itu enggak ada artinya. [Paling jauh biasanya] buahnya buat kolang-kaling, daun buat atap rumah,” kenang Sri.

Berkat pendampingan intensif YKAN sepanjang 2022–2023 , Bintang Ratu akhirnya berhasil membuat biskuit nipah, setelah serangkaian proses trial & error sampai benar-benar mendapatkan bentuk produk yang diinginkan. Bahan bakunya berasal dari buah nipah yang diolah menjadi tepung nipah dan mengandung serat yang baik untuk tubuh. 

  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa

Produksi dari dapur yang sederhana

Luas ruangan berbentuk “L” di sudut rumah itu paling hanya 2×3 meter. Lantainya beralas karpet berbahan vinyl. Di dalamnya rak-rak penuh perabot masak sampai alat makan dan minum. Yang menarik, puluhan botol plastik berisi air berjejer di dinding kayu dekat jendela. “Itu hasil tampungan air hujan. Biasanya buat cuci tangan atau piring supaya menghemat stok air di kamar mandi,” kata Sulkha, pemilik rumah yang juga dijadikan dapur produksi Bintang Ratu. 

Meski terdapat satu daun jendela dan pintu samping yang mengarah ke luar rumah, saat siang terik sirkulasi udara tidak maksimal, pengap, panas. Tapi di sinilah kreasi abon bandeng dan biskuit nipah Bintang Ratu berasal. Sebuah oven tangkring yang nangkring di atas kompor gas menjadi senjata andalan kelompok ibu-ibu berusaha, khususnya untuk memanggang biskuit nipah.

Proses produksi abon bandeng dan biskuit nipah berbeda. Kalau membuat abon bandeng, langkah pertama adalah membersihkan ikan bandeng hasil panen dari tambak. Setelah dibersihkan, ikan dikukus lalu dipisahkan antara duri dan daging sambil dihancurkan. 

“Setelah itu kita siapkan bumbu, kita marinasi (merendam daging ikan dalam campuran bumbu dan cairan marinasi sebelum dimasak) selama satu jam, lalu kita goreng,” ungkap Sri menjelaskan tahapan pembuatan abon bandeng. Usai digoreng, campuran olahan ikan dan bumbu tersebut kemudian ditiriskan dengan mesin spinner. Terakhir, dimasukkan dalam kemasan. Bintang Ratu menyediakan dua varian rasa untuk abon bandeng, yaitu asin gurih dan manis gurih. Setiap varian dikemas dalam standing pouch zipper dengan berat 100 gram, dijual seharga Rp25.000 per kemasan.

Adapun produksi biskuit nipah sedikit lebih panjang daripada abon bandeng. “Karena, pertama kita cari buah nipahnya yang [sudah] tua. Terus kita biarkan beberapa hari sampai rontok. Ketika sudah rontok baru kita belah,” imbuh Sri. 

Bagian dalam dan luar daging buah yang sudah dibelah dibersihkan, ditumbuk kasar, lalu dijemur selama 2–3 hari. Hasil penjemuran akan optimal jika matahari bersinar cerah tanpa terhalang mendung atau hujan. Baru ketika sudah kering, hasil tumbuk kasar tersebut digiling menjadi tepung. Tepung nipah yang sudah jadi dicampur dengan tepung terigu agar tidak mudah hancur ketika dibentuk menjadi biskuit. Terakhir, cetakan biskuit dipanggang dalam oven lalu dimasukkan dalam kemasan.

Ada dua varian rasa biskuit nipah, yakni original dan cokelat. Untuk varian original, tersedia kemasan standing pouch zipper 100 gram seharga Rp15.000 dan kemasan toples 100 gram seharga Rp20.000. “Kalau yang [rasa] cokelat, kita [selain kemasan 100 gram juga] jual bijian agar lebih mudah memperkenalkan ke masyarakat,” tambah Sri. 

Tampilan video produksi abon bandeng (paling atas) dan biskuit nipah Bintang Ratu dari Instagram, untuk menunjukkan bentuk optimalisasi penggunaan platform media sosial sebagai alat promosi

Di luar bahan baku lokal, Sri mengatakan pengadaan untuk bumbu-bumbu tambahan, kemasan, dan cetak label dibeli di Palembang. Meski tersekat jarak yang jauh, harganya lebih murah dan relatif masih bisa dijangkau. Untuk desain merek, label kemasan, dan pemasaran, Sri menyerahkan sepenuhnya ke anak pertamanya, Aang Hidayat, yang bekerja di Palembang. Lulusan Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang itu juga didapuk sebagai administrator akun Instagram bintangratu_sta dan makabon.id. Terkadang ia dibantu anak kedua Sri, Ryan Wahyudi, yang juga lulusan almamater yang sama.

Sri tidak bisa memastikan secara pasti kapasitas produksi Bintang Ratu per hari. Sebab, kelompoknya baru akan membuat produk berdasarkan pesanan. Kecuali sebelum menggunakan media sosial, Bintang Ratu menitipkan produk abon bandeng ke toko-toko oleh-oleh di Palembang setiap tiga bulan sekali. Terakhir, mereka mendapatkan pesanan 100 pak biskuit nipah dari Jakarta. Jumlah segitu bisa diproduksi kurang dari seminggu, melibatkan seluruh anggota kelompok yang berjumlah 10 orang.

Di sisi lain, Bintang Ratu juga kerap mengikuti pameran-pameran UMKM di Palembang hingga Jakarta. Sampai-sampai mereka membawa buah nipah asli untuk dipamerkan. Sebab, banyak orang mengira nipah seperti salak, sawit, atau durian hutan. “Ke depan, saya masih berharap bisa kembali memproduksi bandeng presto agar varian produk Bintang Ratu beragam,” imbuhnya. Olahan pisang dan singkong—yang juga banyak ditanam di kampung—menjadi keripik juga berpotensi memiliki nilai ekonomi untuk dijual.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sri Ngatoyah (paling kiri) dan sejumlah anggota kelompok Bintang Ratu menyongsong harapan berkembangnya bisnis UMKM melalui produk abon bandeng, biskuit nipah, dan produk-produk olahan potensial lainnya untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di perairan rawa pasang surut OKI/Deta Widyananda

Ingin dikenal dulu, untung kemudian

Perjalanan hingga ke titik ini, Sri dan kerabat-kerabatnya meniti jalan panjang. Dari yang semula sebatas mengolah ikan bandeng menjadi ikan asin—dan minim peminat—kini makin kreatif setelah mendapat pendampingan YKAN. Walaupun terbilang sudah cukup sering menerima pesanan, Sri berterus terang kalau Bintang Ratu masih belum berorientasi profit. Ia bersama anggota kelompok sepakat untuk memanfaatkan hasil penjualan sebagai modal agar kelanjutan usaha terus bergulir dan konsisten.

“Kami belum pernah menerima gaji dari hasil kerja kami,” terang Sri, “mengingat kita di sini masih serba keterbatasan semuanya. [Terutama] masalah pendanaan. Jadi, hasil dari penjualan itu kita putar lagi.”

Sekalipun begitu, kiprah ibu-ibu Bintang Ratu diakui oleh Achmad Soleh (48), suami Sulkha. Petambak yang menghuni SP 2 sejak 1992 itu senang dengan kegiatan istrinya di Bintang Ratu, yang berarti mendukung sang kakak—Sri Ngatoyah—untuk lebih produktif dan bisa membantu perekonomian keluarga.

“Karena seperti bandeng ini, kan, kalau kita jual secara langsung mungkin harganya relatif murah, [terutama] yang kecil-kecil. Jadi, kita manfaatkan dibikin abon supaya ada nilai tambah. Kemudian nipah yang selama ini nggak kita apa-apain cuma jatuh, hilang, hanyut, ternyata setelah kita [buat] produk, ya, bisa jadi kue. Dan itu lumayan juga pemesannya,” ungkap Achmad gamblang.

Menurut Sri, meskipun memiliki kesibukan keluarga masing-masing, ia mengusahakan semua anggota kelompok bisa kumpul secara rutin. Membahas inovasi, rencana bisnis, dan juga pembagian peran atau tugas saat ada pesanan datang. Di sisi lain, Sri berpikir setidaknya dengan aktivitas usaha di Bintang Ratu membuat mereka tidak hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga atau bertani. Sri menyadari ada peluang besar untuk mewujudkan mimpi besar mereka. 

“Kita pengen mewujudkan bahwa benar-benar produk kita itu dikenal masyarakat luas,” tegas Sri. Dari bersepuluh, Sri berharap di masa mendatang masing-masing anggota bisa berjualan produk lebih banyak, lebih dikenal di media sosial, sehingga kelak bisa menambah orang (anggota) dalam kelompok Bintang Ratu, lalu mendapat manfaat keuntungan dari produk-produk yang dibuat secara berkelanjutan. “Seperti itu mimpinya,” pungkas Sri.


Foto sampul: Anggota kelompok Bintang Ratu mendemonstrasikan cara mengupas buah nipah dan mencongkel dagingnya sebagai bahan baku biskuit nipah (Deta Widyananda).

Publikasi artikel ini merupakan kerja sama TelusuRI bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/feed/ 0 47340
Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/ https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/#respond Thu, 05 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47320 Di ujung muara Sungai Selapan, masyarakat pesisir jatuh bangun bertahun-tahun untuk bertahan hidup. Alam jadi sasaran demi menjaga asap dapur mengepul. Namun, di tengah tantangan geografis dan sosial-ekonomi, kolaborasi lintas sektor berupaya meniti jalan yang...

The post Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia appeared first on TelusuRI.

]]>
Di ujung muara Sungai Selapan, masyarakat pesisir jatuh bangun bertahun-tahun untuk bertahan hidup. Alam jadi sasaran demi menjaga asap dapur mengepul. Namun, di tengah tantangan geografis dan sosial-ekonomi, kolaborasi lintas sektor berupaya meniti jalan yang lebih lestari. 

Teks: Rifqy Faiza Rahman 
Foto: Deta Widyananda 


Suara-suara mesin tempel perahu menyelak keheningan Sungai Selapan, yang menembus pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Hilir mudik kelotok hingga speed boat menyiah gelombang air sungai selebar 200 meter yang bermuara ke Selat Bangka, menepikan riak yang menerjang akar-akar nipah dan mangrove di tepian. Hamparan hutan nipah dan mangrove ini melengkapi ekosistem tumbuhan khas rawa lainnya, membentuk lorong alam dari dermaga Tulung Selapan menuju Sungai Lumpur, Kecamatan Cengal, salah satu desa terakhir di ujung muara. Warga setempat kerap menyebutnya “Kuala Lumpur”, karena ‘kuala’ berarti muara. Tentu saja yang dimaksud bukan Kuala Lumpur di Malaysia. 

Tidak hanya Sungai Selapan. Sepanjang hari, pasang surut sungai-sungai besar lainnya menjadi jantung yang menggerakkan kehidupan masyarakat di 10 desa yang menghuni perairan rawa OKI. Desa-desa tersebut tersebar di empat kecamatan, yakni Air Sugihan, Tulung Selapan, Cengal, dan Sungai Menang; membentuk 75% wilayah lahan basah dataran rendah (mangrove, rawa, gambut) dan mendominasi kabupaten yang beribu kota di Kayu Agung tersebut. 

Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Selatan pada 2017, seperti dikutip dalam kajian Ulqodry dkk (2022), kawasan pesisir OKI merupakan daerah dengan garis pantai terpanjang di provinsi ini, sekitar 295,14 km yang membentang dari Kecamatan Air Sugihan (berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin) ke Kecamatan Sungai Menang (berbatasan dengan Provinsi Lampung). Kawasan pesisir OKI juga merupakan pesisir paling timur Pulau Sumatra dan berhadapan langsung dengan Pulau Bangka.  

Menariknya, meski berada dekat pesisir, mayoritas penduduk justru bermata pencaharian sebagai petambak (38,8%) daripada nelayan perikanan tangkap (28,7%). Sisanya berprofesi sebagai ASN, bidan, peternak, pemberi jasa, buruh tambak, petani, buruh tani, pekerja kelapa sawit, dan karet dengan persentase di bawah 35%. Ini tercermin dalam citra satelit wilayah empat kecamatan tersebut. Petak-petak tambak bertebaran, bagaikan labirin-labirin yang berdempetan dengan garis-garis tanah yang menyekat antara satu lahan dengan lahan tambak lainnya. 

Keberadaan tambak-tambak tersebut merupakan salah satu pembentuk sejarah perubahan fungsi lahan di pesisir timur OKI sejak lebih dari tiga dekade. Pada tahun 1990, sebelum banyak berubah menjadi tambak, bentang alam pesisir timur OKI dipenuhi ekosistem hutan mangrove seluas 48.332,20 hektare (ha), terbesar kedua di Sumatra Selatan setelah Kabupaten Banyuasin (157.071,37 ha).  

Angka itu menyusut cukup drastis, seiring bertambahnya luasan lahan tambak udang windu dan bandeng hingga saat ini. Dalam analisis citra satelit PlanetScope oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melalui kajian Hidayat dkk (2024), luas lahan tambak di empat kecamatan pesisir OKI mencapai 39.649 ha, nyaris mendekati luas mangrove terkini sebesar 40.020 ha. Akan tetapi, Hidayat dkk menambahkan, tambak bukan satu-satunya faktor tunggal penyusutan ekosistem mangrove. Aktivitas industri dengan Hak Pengusahaan hutan (HPH) dan pembalakan liar pada periode 1980–1990, ditambah kebakaran hutan dan lahan berskala besar semasa Reformasi dan terulang tahun 2015, juga turut andil. 

Mengingat pentingnya peran ekosistem mangrove bagi kehidupan pesisir Sumatra Selatan, khususnya OKI, sejak 2021 YKAN mengimplementasikan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA). Program serupa juga berlangsung di Berau (Kalimantan Timur) dan Bengkalis (Riau). MERA merupakan aliansi bersama pemerintah daerah, sejumlah perusahaan hingga lembaga internasional untuk berkolaborasi merestorasi mangrove di sejumlah kawasan pesisir yang terdegradasi. Peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat juga jadi perhatian.

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Petak-petak lahan tambak masyarakat di pesisir OKI yang sebelumnya merupakan ekosistem mangrove/Deta Widyananda

Wanamina: titik temu ekonomi dan konservasi 

Pada sepertiga awal periode 1990-an, budi daya tambak tradisional di kawasan pesisir OKI mengalami masa-masa jaya. Di masa-masa ini, YKAN mencatat luas lahan tambak baru 17 ha, sebelum akhirnya meningkat dua ribuan kali lipat dalam tiga dekade. Komoditas yang paling banyak digunakan mulanya udang windu, lalu bandeng menyusul setelah mendapat pengaruh dari petambak asal Lampung sejak tahun 2006. Sebagai salah satu kawasan terluar dan terpencil di Indonesia, ketika tidak ada jalan raya, akses air bersih, listrik negara, hingga layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, maka sumber penghidupan sebagian besar masyarakat pesisir OKI bergantung pada budi daya tambak.  

Pembukaan lahan tambak di pesisir OKI menempati atau mengambil alih ruang-ruang ekosistem mangrove dengan ragam zonasi kawasan. Mengacu pada data Peta Mangrove Nasional Tahun 2021 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekosistem mangrove di OKI termasuk dalam empat kriteria fungsi kawasan: a) Hutan Konservasi (hutan lindung) seluas 26.632,80 ha (69%); b) Areal Penggunaan Lain seluas 7.035,26 ha (18%); c) Hutan Produksi seluas 4.968,21 ha (13%); dan d) Laut-air seluas 21,58 ha (kurang dari 1%). Tutupan hutan mangrove di OKI mencapai 23% dari total luas ekosistem mangrove Sumatra Selatan. Sebagai informasi, luasan hutan mangrove Sumatra Selatan menempati posisi kedelapan di tingkat nasional, setelah Papua Selatan, Papua Barat, Papua Tengah, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Maluku. 

H. Jamaluddin (50) atau Haji Juma, warga Desa Sungai Lumpur, termasuk dalam generasi pertama yang membuka tambak di pesisir OKI. Hasil tambak yang menggiurkan pun menggoda sebagian masyarakat mengikuti jejaknya sebagai petambak. Namun, terlalu banyaknya petambak, kurang tepatnya pengelolaan lahan tambak, abrasi dan intrusi air laut, hingga perubahan iklim menguak sisi lain, yakni betapa terbatasnya kapasitas alam untuk dieksploitasi.  

Haji Juma, pemilik lahan tambak yang dijadikan demplot percontohan wanamina bersama YKAN (foto kiri). Haji Juma mengecek tambak miliknya di Sungai Lumpur yang dikhususkan sebagai lahan pembibitan udang dan bandeng/Deta Widyananda

Seperti halnya sifat khas perairan rawa dataran rendah, keberadaan tambak pun juga mengalami pasang surut. Dari yang dulunya tiga bulan sekali bisa panen, kini semakin panjang setidaknya enam bulan sekali baru bisa mendapat hasil. Itu pun tidak menentu, sekalipun musim kemarau dianggap sebagai masa siklus budi daya paling optimal. Laiknya hukum kurva law of diminishing return dalam ilmu ekonomi, perolehan hasil tambak—baik dari kuantitas produksi dan pendapatan—pun ikut mengalami penurunan hingga 30–50%. Sebab, skala produksi sudah mencapai titik puncak pada periode Reformasi lalu. 

Oleh karena itu, melalui MERA, YKAN menghadirkan jalan tengah bernama SECURE (Shrimp-Carbon Aquaculture). SECURE merupakan upaya restorasi mangrove dengan pengelolaan budi daya tambak udang tradisional ramah lingkungan. Salah satunya menggunakan metode silvofishery atau wanamina, sebuah sistem budi daya perikanan terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal dan pelestarian mangrove. Prinsip dari wanamina adalah mengalokasikan sebagian tambak untuk menjadi lahan penanaman mangrove. Meskipun luas lahan mengecil, pendekatan ini diharapkan tetap mampu meningkatkan produktivitas tambak udang hingga 30%. Di sisi lain, diharapkan pula kelak hutan mangrove bisa beregenerasi secara alami. 

Tomi Prasetyo Wibowo, MERA Site Manager, mengungkap bahwa YKAN hendak mengubah paradigma tentang program pelestarian mangrove. Selama ini, yang umum terjadi, upaya penyelamatan mangrove hanya sekadar menanam tanpa adanya keberlanjutan. Bahkan spesies mangrove yang ditanam kerap kurang sesuai peruntukan dan kondisi habitatnya, sehingga angan-angan kelestarian pun layu sebelum berkembang.

Padahal, banyak hal yang perlu dikaji sebelum mengeksekusi sebuah program rehabilitasi mangrove. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hingga ekologi. “Itu semua butuh data dan kajian yang selanjutnya dikembangkan menjadi desain (restorasi),” tegas Tomi. Tak terkecuali status hukum suatu kawasan yang ingin dipulihkan peruntukannya, dengan tetap memperhatikan multiaspek tersebut. Sebab, tak sedikit area tambak yang ada di sejumlah tempat berada di kawasan hutan lindung.  

Di pesisir OKI, YKAN berkegiatan di tiga desa, yaitu Desa Sungai Lumpur1, Desa Simpang Tiga Abadi, dan Desa Simpang Tiga Jaya. Adapun dari tiga desa tersebut, salah satu titik demplot percontohan untuk penerapan wanamina adalah tambak milik Haji Juma di area Parit 1, Desa Simpang Tiga Abadi. Sekitar dua kilometer dari rumahnya di Sungai Lumpur, atau kurang lebih 100 kilometer dengan speed boat dari Dermaga Tulung Selapan, tempat daratan terakhir menuju ujung muara. Tambak seluas empat hektare ini berada di tepian kanal pasang surut yang dikelilingi ekosistem mangrove serta nipah. Tampak di tengah-tengah tambak, terdapat sejumlah instalasi mangrove yang ditanam dengan jarak beraturan menggunakan media tanam berupa bilah-bilah bambu. 

Penetapan lokasi rehabilitasi dan demplot tersebut juga didasarkan pada rekomendasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan selaku pemangku kawasan. Menurut Tomi, kolaborasi lintas stakeholder tersebut bergerak dalam kerangka rehabilitasi hutan dan lahan, seperti diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 

  • Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
  • Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia

Dalam perkembangannya, sejak mulai diterapkan pada 2023, metode wanamina di lahan demplot milik Haji Juma telah berlangsung sebanyak dua siklus budi daya. Pada siklus pertama, hasil panen mengalami sedikit penurunan dari periode sebelumnya. Berdasarkan keterangan Achmad Soleh (48), petambak mitra dari Desa Simpang Tiga Abadi yang ikut mengurus tambak demplot, hasil panen udang baru mencapai satu kuintal, sedangkan bandeng 800 kilogram (size ⅔) dan 400 kilogram (size ⅚). Lalu di siklus kedua menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, panen udang naik menjadi sebanyak empat kali lipat. Rata-rata harga jual udang adalah Rp80.000 per kilogram (isi standar 30 ekor) dan bandeng Rp10.000 per kilogram (isi standar 2–3 ekor). Harga jual bisa lebih rendah atau lebih tinggi tergantung pada bobot dan ukuran hasil panen. 

Melihat perbedaan hasil tersebut, Haji Juma menganggapnya sebagai proses adaptasi, sehingga tambak membutuhkan waktu untuk “terbiasa” dengan metode baru. Menurut Tomi, masih perlu beberapa siklus lagi di sejumlah lahan demplot untuk membuktikan konsistensi hasil yang diharapkan, sebelum akhirnya bisa diterapkan sepenuhnya di lahan-lahan tambak yang lain. 

Achmad mengaku, program SECURE dengan metode wanamina membuka lebar pemikirannya soal budi daya tambak tradisional. Termasuk memilih spesies mangrove yang tepat (sesuai habitat) untuk ditanam di area tambak. “[Ternyata] begini cara berbudidaya yang benar dan ramah lingkungan. [Bisa] menjaga dua-duanya (tambak dan mangrove). Kita tetap berbudidaya, tapi kita juga jaga lingkungan (mangrove) kita,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Achmad berharap ada perubahan positif dari metode wanamina di lahan demplot milik Haji Juma. Meskipun, ia mengakui tetap butuh proses secara bertahap karena cuaca yang tidak bisa diprediksi. “Mudah-mudahan memang kita ada lebih hasilnya itu lebih meningkat. Harapan saya, [metode wanamina] bisa dicontoh kawan-kawan di sini, yang tadinya [budi daya] asal-asalan. [Kalau] ada contoh ini kan bisa ditularkan ilmunya,” pungkas perantau berdarah Trenggalek, Jawa Timur itu. 

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Achmad menunjukkan lahan pembibitan mangrove di dekat tambak demplot/Deta Widyananda

“Kami ingin mencontohkan tambak-tambak di sini…” 

“Sebenarnya saya juga merasa bersalah karena dulu banyak membabat mangrove untuk tambak,” celetuk Haji Juma tiba-tiba pada satu malam yang santai di rumah, sembari mengisap sebatang rokok diselingi kopi hitam panas yang diseduh istrinya. Di rumah, setelah seharian bekerja di tambak, ia biasanya mengenakan kaus oblong dan peci putih, serta sarung.  

Suami Siti Aminah itu mengenang masa-masa puluhan tahun silam, sekitar tahun 1991, tatkala merintis usaha budi daya tambak alam bersama mendiang ayahnya di sekitar Sungai Lumpur dan Simpang Tiga Abadi. Mereka membuka sepetak lahan seluas empat hektare, yang kini jadi lahan demplot percontohan SECURE dengan metode wanamina (silvofishery). Ayahnya melihat ada potensi ekonomi dari tambak karena adanya temuan indikator berupa udang, kepiting, dan ikan berlimpah. “Jika berhasil, syukur. [Tapi] jika gagal, [kami akan] pulang ke Sulawesi,” kenangnya. 

Pekerjaan tambak memang sempat memberikan gelimang kejayaan. Satu di antara yang dianggap berhasil adalah Haji Juma dan ayahnya. Keuletan yang mengalir di darah orang Bugis seakan mengular kepada kesuksesan. Puncak-puncak kejayaan tambak terjadi pada periode 1993–1998. Di era itu, hanya dengan modal 10 juta rupiah, sekali panen bisa mendapatkan pendapatan 100 juta rupiah setelah tiga bulan budi daya. Pencapaian Haji Juma merecik petambak-petambak baru bermunculan dan membuat lahan-lahan tambak semakin meluas. 

Meski teknik budi daya masih tradisional, tetapi pembukaan lahan tambak telah mengambil alih ekosistem hutan mangrove alami yang dulu dominan. Kehidupan di rawa serba terbatas dan teramat keras, seakan takdir tidak menyediakan pilihan jalan hidup yang lebih baik, yang menuntut Haji Juma dan masyarakat pesisir OKI bertahan hidup. Betapa pun caranya. Tak terkecuali menggantungkan nasib pada pohon-pohon mangrove untuk ditebas, dimanfaatkan kayu-kayunya, dan dirambah untuk membuka ruang terbuka bagi tambak-tambak baru.  

Seiring merosotnya produktivitas tambak dalam satu dekade terakhir, tampaknya alam pun mengirimkan alarm darurat. Haji Juma sadar akan sesuatu. Betapa kehilangan hutan mangrove justru berdampak sangat nyata pada lahan penghidupannya. “Abrasi makin parah, air laut makin naik ke daratan,” ungkap Haji Juma. Katanya, kerja di tambak sudah tidak teduh lagi karena tidak ada hutan mangrove. 

Maka tatkala program-program awal restorasi mangrove mulai hadir lewat sejumlah LSM sejak 2017, termasuk melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) oleh pemerintah semasa pandemi COVID-19, Haji Juma sangat antusias. Ia bersama sebagian besar masyarakat Sungai Lumpur dan Simpang Tiga Abadi mulai giat untuk menanam mangrove kembali di area tambak. Program SECURE dengan metode wanamina oleh YKAN dengan aliansi MERA turut melengkapi proses rehabilitasi hutan dan lahan mangrove di area tambak tersebut. 

“Saat YKAN minta [lahan] demplot untuk tambak, kami sangat mendukung,” ujar Haji Juma. Ia mengaku rela untuk memberikan sepetak tambak seluas empat ha itu sebagai salah satu demplot percontohan metode wanamina. “Kami ingin mencontohkan tambak-tambak di sini, [agar] bisa berkembang lagi seperti sebelum-sebelumnya.” 

Pernyataan Haji Juma tersebut seperti menjadi pesan bagi setiap petambak di pesisir OKI. Ia ingin mengajak untuk mengubah pola pengelolaan tambak menjadi lebih berkelanjutan. Salah satunya aktif menanam mangrove, baik di dalam tambak maupun di daerah penyangga tambak sekitarnya. Baginya, keberadaan mangrove memberi dampak lingkungan yang nyata, mulai dari mencegah abrasi dan intrusi (naiknya air laut ke daratan), hingga memberi nutrisi alami bagi pertumbuhan udang windu dan bandeng yang dibudidayakan.2

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Perkampungan padat Sungai Lumpur yang terletak persis di muara Sungai Selapan. Seperti halnya kampung-kampung lain di pesisir OKI, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petambak. Kini mereka menatap masa depan berkelanjutan lewat pengelolaan tambak dengan pendekatan wanamina/Deta Widyananda

Pintu harmoni itu kini terbuka lebar 

Di usianya yang sudah mencapai setengah abad, keterbukaan Haji Juma terhadap pendekatan wanamina layak diapresiasi. Ditambah kekompakan petambak mitra lintas generasi yang ikut mengurus lahan demplot tersebut dan merestorasi ekosistem mangrove di sejumlah lahan tambak tak produktif.  

Sebab, menurut Tomi, resistensi warga terhadap program tersebut mulanya sempat terlihat. Sangat wajar ketika para petambak sempat enggan menanam mangrove di area tambak, yang dianggap mempersempit area pelataran tambak untuk menumbuhkan pakan alami bandeng. Selain itu, terdapat kekhawatiran juga bahwa keberadaan mangrove dalam tambak membikin air makin kotor, hingga mengundang burung-burung datang mencari mangsa di tambak yang pada akhirnya menurunkan produktivitas tambak. 

“Kami sangat bersyukur sekali ketika Haji Juma mau [menerima permintaan demplot]. Meskipun dia melihat sendiri bahwa setelah mangrove ditanam di tambak, itu juga muncul persoalan baru,” terang Tomi. 

Namun, pada akhirnya begitulah proses rehabilitasi dengan pendekatan berbasis masyarakat. Untuk mampu mengelola program konservasi dengan jangka waktu panjang—tidak bisa tidak—akan lebih bijaksana ketika melibatkan masyarakat yang sudah lama menghuni kawasan. Perlu diakui bahwa mangrove di pesisir Kabupaten OKI yang rentan merupakan wilayah kelola dengan aksesibilitas yang cukup sulit, telah lama berada di luar jangkauan kelola pemerintah daerah (lost of government control).3

 “Yang selalu saya dengar, Haji Juma adalah  orang yang mau belajar hal-hal yang baru,” kesan Tomi. Bahkan menurutnya, dengan pengalaman dan perjalanan hidup yang ditempa begitu keras di alam yang begitu liar, sosok-sosok seperti Haji Juma layak diberi gelar profesor. Sudah tidak berkutat dengan teori lagi, tetapi langsung praktik di lapangan yang kenyang dengan segala suka dan duka. 

Sebagai Site Manager, Tomi pun tak kalah menaruh asa pada keberlangsungan program SECURE yang dibuat YKAN melalui aliansi MERA. Bicara soal pengelolaan alam berkelanjutan, ia menekankan pentingnya untuk tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi.  

“Harapan terbesar saya adalah adanya pengakuan negara [terhadap keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan]. Solusinya sudah jelas, [lewat pengajuan] perhutanan sosial,” kata Tomi. Saat ini, negara telah mengakomodasinya lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. 

Namun, pria asal Semarang itu menegaskan, penerapan perhutanan sosial (perhutsos) di OKI bukan berarti menjadi pembenaran sebagai alat untuk melegalkan aktivitas ilegal. Perlunya perhutsos agar masyarakat memiliki andil dan peran yang jelas di dalam wilayah kelolanya melalui izin perhutsos. Masyarakat petambak yang berada dalam kawasan hutan tetap menjalankan aktivitas tambaknya, sekaligus berperan sebagai penjaga (ranger) alam (mangrove) di sekitarnya.

Bagi Tomi, sangat penting untuk memiliki paradigma bahwa masyarakat lokal itulah aktor utama program restorasi, yang akan menentukan keberlanjutan dari ekosistem yang ada di sekitarnya. Baginya, akan sulit jika “meminta” alam memulihkan dirinya sendiri tanpa bantuan manusia, karena manusia adalah bagian dari ekosistem itu sendiri dan tidak bisa dikesampingkan. “Siapa lagi yang mau mengawasi 24 jam di sini?” tanya Tomi retoris. 

Hasil kajian Hidayat dkk (2024) menguatkan itu. Kegiatan rehabilitasi ekosistem bukan hanya bertujuan untuk memulihkan lahan kritis, melainkan juga diharapkan mampu memberikan manfaat terhadap kawasan dan masyarakat sekitar. Keterlibatan masyarakat setempat menjadi jembatan penghubung supaya program rehabilitasi menjadi kegiatan bersama, sehingga terbangun rasa memiliki agar kelestarian dapat tercapai.

Asa harmoni ekonomi dan ekologi itu masih terbuka lebar. YKAN berharap di masa mendatang ada pengembangan ekonomi berkelanjutan dari kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove. Di antaranya pengembangan produk turunan mangrove dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sebab, tujuan besar dari perhutanan sosial adalah masyarakat sejahtera, hutan (dan laut) terjaga.


  1. Di Desa Sungai Lumpur, YKAN juga memperkenalkan pendidikan lingkungan hidup (PLH) untuk siswa kelas 4-6 SD melalui implementasi proyek Kurikulum Merdeka. ↩︎
  2. Alasan penting mangrove mesti ada di tambak adalah karena perakaran mangrove dibutuhkan untuk proses remediasi tanah tambak tua. Mangrove akan menjadi habitat tidak hanya bagi udang windu, tetapi juga bagi biota macrobenthos lainnya—organisme kecil yang hidup di kolom air dan berperan dalam dekomposisi serasah tanaman mangrove. Keragaman biota yang bernaung di mangrove akan jadi pengendali hama utama trisipan (Certhidea sp.) agar tidak terlalu dominan. Hama utama dimaksud merupakan fenomena yang umum terjadi di tambak tradisional di OKI. Moluskisida yang biasa dipakai petambak tidak menjadi solusi. ↩︎
  3. Rencana Aksi Kelompok Kerja Mangrove Daerah Sumatera Selatan, 2024, hlm. 1. ↩︎

Referensi: 

Hidayat, T., Prakoso, D., Bayyan, M. M., Fahmi, dan S., Fajariyanto. 2024. Desain Rehabilitasi Mangrove Sumatera Selatan. Diterbitkan di Palembang oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi. 
Ulqodry, T. Z., Fauziyah, Rozirwan, Agustriani, F., dan Sarno. 2022. Laporan Akhir: Kajian Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat di Pesisir Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Yayasan Konservasi Alam Nusantara. 


Foto sampul: Area tambak udang dan bandeng di tengah hamparan hutan mangrove yang berdekatan dengan permukiman Desa Sungai Lumpur, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan (Deta Widyananda).

Publikasi artikel ini merupakan kerja sama TelusuRI bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/feed/ 0 47320
Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/ https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/#respond Wed, 04 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47312 Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon...

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon dan daya tarik utama destinasi wisata.

Secara fungsi, jembatan di mana pun adalah penghubung antartitik. Namun, dalam banyak kasus, jembatan justru bisa menjadi tujuan. Jadi, ia bukan sekadar perantara. Dalam konteks inilah muncul konsep pariwisata berbasis infrastruktur, yakni sebuah konsep yang menempatkan struktur buatan manusia sebagai daya tarik wisata itu sendiri.

Urry (2002) menegaskan bahwa objek wisata bukan hanya dinilai dari keindahannya, melainkan juga dari cara pandang dan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat terhadap objek tersebut. Dalam konteks ini, jembatan bisa menjadi objek wisata apabila dipandang menarik, simbolik, dan memiliki nilai visual atau historis yang kuat.

Kita ambil contoh, misalnya Golden Gate Bridge di San Francisco. Secara teknis, ia hanyalah sebuah jembatan penghubung. Namun, dalam realitas sosial dan budaya, ia telah menjelma menjadi simbol kota, bahkan negara. Lagu San Francisco, yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie pada tahun 1967, menanamkan imajinasi romantis ihwal sebuah kota yang sebagian jiwanya berada di jembatan tersebut.

Fungsi simbolik jembatan juga terlihat di Tower Bridge di London. Dikelilingi oleh arsitektur kuno dan atmosfer kerajaan, Tower Bridge menyatukan keindahan struktural dan daya tarik historis. Banyak turis datang ke London tidak hanya untuk melihat Istana Buckingham atau Menara Big Ben, tetapi juga mengabadikan momen di atas jembatan yang menyeberangi Sungai Thames ini.

Di tanah air kita tercinta, Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya dan Madura, juga mulai tumbuh menjadi sebuah ikon dan menyedot wisatawan. Meski awalnya dibangun sebagai solusi mobilitas, dalam praktiknya, jembatan ini ternyata menarik banyak wisatawan lokal yang ingin merasakan sensasi menyusuri jembatan terpanjang di Indonesia ini (5.438 meter).

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Charles Bridge di Praha/Prague City Tourism via prague.eu

Menciptakan Efek Berantai

Dari sudut pandang ekonomi pariwisata, kehadiran jembatan yang ikonis sudah barang tentu mampu menciptakan efek berantai (multiplier effect). Faktanya, jembatan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, terbentuknya ekosistem kuliner dan suvenir, hingga penciptaan lapangan kerja.

Di sisi lain, jembatan juga bisa berfungsi sebagai kanvas arsitektur modern. Millau Viaduct di Prancis, misalnya, yang dirancang Norman Foster, kini dianggap sebagai mahakarya teknik sipil. Dengan ketinggian yang melampaui Menara Eiffel, viaduk ini justru menjadi magnet wisata bagi para pencinta desain futuristik dan struktur monumental.

Bukan cuma soal kemegahan, jembatan juga bisa memancarkan nuansa intim bahkan mistis. Ambil contoh Charles Bridge, sebuah jembatan batu tua yang dipenuhi patung dan sarat legenda di Praha, Ceko. Saat senja turun dan pengamen memainkan lagu Bridge Over Troubled Water karya Simon & Garfunkel, suasana berubah menjadi emosional, melahirkan pengalaman wisata yang menyentuh sisi diri yang terdalam. Refleksi emosional semacam itu jelas bukan hal remeh. 

Dalam banyak budaya, jembatan sering dimaknai secara metaforis sebagai penghubung: antara masa lalu dan masa depan, antara dua hati yang pernah terpisah, atau antara dunia luar dan dunia batin. Lagu The Bridge dari Elton John menggambarkan hal ini dengan indah, yakni jembatan sebagai simbol perjalanan spiritual dan pencarian makna terdalam dalam hidup.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Gwangan Bridge di Korea Selatan/Globaleur

Butuh Dukungan Narasi

Di sejumlah negara, pariwisata berbasis ikon infrastruktur seperti jembatan, ditopang pula dengan narasi yang mampu menggugah emosi dan membangun ikatan antara tempat dan pengunjung. Busan, Korea Selatan, membangun Gwangan Bridge bukan sekadar membentangkan batu dan baja, melainkan juga merangkai pertunjukan cahaya dan maraton malam yang menjelma pesta bagi mata dan jiwa. Dari sinilah wisata kontemporer berbasis infrastruktur berkembang: dari sekadar struktur fisik menjadi sebuah spektakel yang hidup.

Sebagaimana diketahui, elemen-elemen kota yang kuat secara visual (landmark) memiliki kekuatan untuk memandu persepsi dan emosi publik. Nah, jembatan, dengan struktur menjulang dan garis-garis arsitekturnya yang mencolok, bisa menjadi landmark yang kuat bila dikelola dengan baik.

Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, Jembatan Pasupati sempat digadang-gadang sebagai ikon Kota Bandung, dengan menonjolkan atraksi cahaya berwarna-warni. Namun, karena tanpa manajemen yang berkelanjutan, daya tarik jembatan kini mulai memudar. Pariwisata tak cukup dengan estetika sementara, dibutuhkan pula keberlanjutan dan inovasi.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Jembatan Pasupati Bandung/Djoko Subinarto

Memicu Perasaan Keterikatan

Pada dasarnya, tempat yang memiliki simbol kuat seperti jembatan mampu turut memicu sense of place, perasaan keterikatan pada suatu lokasi. Inilah sebenarnya modal yang bisa diperkuat oleh pemerintah daerah atau sektor swasta dalam upaya membangun sektor pariwisata tematik, khususnya yang melibatkan jembatan di negeri ini.

Namun demikian, ada juga tantangannya, yakni aspek keamanan, perawatan, dan kapasitas. Jembatan yang ramai dikunjungi wisatawan memerlukan kontrol lalu lintas, sistem penerangan yang aman, serta proteksi terhadap vandalisme.

Tak kalah penting juga adalah menjaga keseimbangan antara fungsi asli jembatan dan perannya sebagai daya tarik wisata. Sebagus apa pun desain dan daya pikatnya, jembatan tetaplah infrastruktur publik yang melayani mobilitas. Jangan sampai kunjungan wisata yang ramai justru mengganggu fungsinya sebagai jalur transportasi vital.

Untuk itu, diperlukan pendekatan lintas sektor yang saling melengkapi. Kolaborasi antara dinas pariwisata, dinas pekerjaan umum, dan pelaku ekonomi kreatif menjadi kunci. Mereka harus duduk bersama merancang strategi yang tidak hanya mengedepankan estetika, tetapi juga mempertahankan fungsionalitas. Inilah bentuk sinergi konkret dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, yang memberi manfaat ekonomi tanpa mengorbankan fungsi infrastruktur dasar.

Pada akhirnya, barangkali sudah waktunya kita merombak cara pandang kita terhadap jembatan. Ia bukan lagi sekadar jalan pintas yang menghubungkan dua tempat, melainkan juga bagian dari perjalanan itu sendiri. Sebuah ruang yang tidak hanya dilewati, tapi juga dialami, tempat di mana waktu, ruang, dan kenangan bertemu dan mengalir bersama pengalaman yang bermakna.

Sebagaimana sebuah puisi yang baik, jembatan tidak selalu harus mewah, panjang, serta tinggi menjulang nyundul langit. Keindahan jembatan justru terletak pada kemampuannya membuat kita berhenti sejenak. Kita menunduk, menatap ke bawah, menyadari perjalanan yang kita lewati, baik secara fisik maupun batin, dan merenungi apa yang telah dan akan kita tempuh.

Untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar teknik konstruksi. Kita memerlukan visi, narasi, dan manajemen kreatif agar setiap jembatan bisa menjadi ruang reflektif. Ia menjadi sebuah media yang tidak hanya menghubungkan dua sisi tanah, tetapi juga dua sisi jiwa—antara pengunjung dan tempat yang dikunjunginya.


Referensi:

Urry, John. (2002). The Tourist Gaze: Second Edition. London: SAGE Publications.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/feed/ 0 47312
Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/ https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/#respond Wed, 28 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47254 Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45...

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45 km2 di Cianjur Selatan, Jawa Barat. 

Udara terasa sejuk, khas udara kawasan pegunungan. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dari beberapa kunjungan saya ke Sukanagara sebelumnya. Di persimpangan Jalan Raya Sukanagara-Pagelaran-Kadupandak, Tugu Teh memang masih berdiri. Tugu tersebut merupakan sebuah monumen kecil yang dulu digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan, bahwa Sukanagara adalah salah satu sentra teh terbaik di Kabupaten Cianjur. Tapi kini, warna tugu itu kian kusam, catnya mulai mengelupas, dan rumput-rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah turut menyuarakan kegamangan zaman.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Tugu Teh di Sukanagara/Djoko Subinarto

Dari Teh ke Durian

Ditilik dari sejarah pendiriannya, Tugu Teh di Sukanagara bukan sekadar penanda lokasi semata. Ia dulunya semacam deklarasi identita: Sukanagara adalah kawasan teh. Sebuah kawasan yang menghasilkan ribuan ton teh setiap tahunnya, diekspor ke berbagai negara, dan menjadi bagian penting dari perjalanan agrikultur kolonial hingga pascareformasi. Tugu itu berdiri sebagai saksi atas masa-masa ketika teh bukan sekadar komoditas, melainkan juga simbol kejayaan ekonomi pedesaan, kebanggaan masyarakat lokal, dan bahkan menjadi bagian dari narasi nasionalisme agraria pascakemerdekaan.

Bertahun-tahun lamanya, Sukanagara lekat dengan teh. Namun, imaji itu serta-merta hilang tatkala saya mendengar penuturan Asep Doneng, pemilik penginapan tempat saya biasa bermalam setiap kali berkunjung ke Sukanagara. Asep mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Pasirnangka—kawasan perkebunan teh terluas di Sukanagara—sudah tak sepenuhnya ditanami teh. “Sebagian sudah ditanami durian,” ungkapnya.

Saya setengah tidak percaya dengan pernyataan Asep. Sejenak, saya membayangkan sebuah kawasan dengan hamparan teh yang hijau bergelombang, yang mirip lukisan lanskap dalam buku-buku pelajaran geografi, tiba-tiba telah disulap menjadi kebun durian.

Lantaran penasaran dan ingin membuktikan perkataan Asep, saya pun segera menuju Pasirnangka. Dan benar saja. Di sejumlah lahan, saya melihat sendiri bagaimana pohon-pohon durian berdiri kukuh di antara tanaman teh. Di beberapa titik, pohon durian bahkan telah sepenuhnya mendominasi, sementara pohon teh sudah tak terlihat lagi.

Lebih menyedihkan lagi, terdapat lahan-lahan yang dibiarkan kosong, ditumbuhi belukar dan ilalang, dengan batang-batang teh yang mati perlahan. Lahan-lahan itu seperti memancarkan kemurungan tentang pergeseran zaman.

  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Tekanan Ekonomi hingga Faktor Iklim

Tentu saja, kenyataan ini pasti tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi karena akumulasi dari dinamika panjang, baik yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Mungkin ini yang disebut sebagai agrarian transition, yakni perubahan struktur ekonomi pedesaan akibat tekanan eksternal, seperti pasar global, perubahan kepemilikan lahan, hingga krisis iklim.

Sebagai ilustrasi, tekanan ekonomi terhadap teh sesungguhnya sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun konsumsi teh global meningkat, data dari International Tea Committee menunjukkan bahwa harga teh, terutama teh hitam yang dominan dihasilkan di Indonesia, cenderung stagnan. Sementara itu, ongkos produksi terus naik. Dalam logika ekonomi, hal ini berarti margin keuntungan semakin tipis, adapun risiko kerugian semakin besar.

Di sisi lain, durian justru sedang menikmati masa keemasannya. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023 menyebut ekspor durian Indonesia meningkat signifikan, terutama ke Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Komoditas ini dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Harga durian varietas unggul seperti musang king atau lokal unggulan seperti durian Pelipisan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buah. 

Namun, bisa pula agrarian transition ini dipicu pula oleh faktor ekologis. Faktanya, curah hujan semakin tidak menentu dan suhu semakin meningkat. Dampaknya, tanaman teh kian rentan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas.

Sebuah studi dalam Journal of Agricultural Meteorology, seperti dikutip Yan et al (2021), mencatat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas teh hingga 20% di wilayah tropis. Pohon teh, yang dulu tahan banting, kini makin rapuh terhadap iklim yang berubah cepat.

Tak hanya itu, ada juga aspek kelembagaan yang mungkin turut berperan. Perkebunan teh dulunya dikelola secara terpusat oleh perusahaan BUMN atau swasta berskala besar. Namun, pascareformasi dan restrukturisasi BUMN, banyak lahan dikembalikan kepada petani penggarap. Dalam pengelolaan individu yang tidak terintegrasi, teh menjadi komoditas yang sulit dirawat. Panen yang padat tenaga kerja, harga jual yang fluktuatif, dan kurangnya insentif dari pemerintah membuat tanaman teh semakin tidak menarik.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Bekas lahan perkebunan teh yang kini ditanami durian/Djoko Subinarto

Dinamika Agrikultur

Sukanagara agaknya sedang berubah. Dan perubahan ini adalah bagian dari dinamika agrikultur Indonesia secara luas. Di banyak tempat, petani tengah berhadapan dengan dilema; bertahan pada komoditas lama yang mapan secara historis tapi makin tidak menguntungkan, atau beralih ke komoditas baru yang lebih menjanjikan tapi penuh ketidakpastian.

Mungkin, inilah waktunya bagi Sukanagara untuk berdamai dengan keadaan yang terus berubah. Tidak harus memilih antara teh dan durian, tapi justru mencari titik temu di antara keduanya. Memadukan yang lama dan yang baru, demi tetap menjaga warisan sekaligus merangkul masa depan.

Teh mungkin tak akan lagi menjadi “raja” di Sukanagara. Akan tetapi, saya yakin, Sukanagara tetap sebagai tanah yang subur, tempat di mana kisah-kisah baru dan harapan-harapan baru selalu bisa ditanam dan ditumbuhkan.


Referensi:

Badan Pangan Nasional. (2025, 20 Maret). Dorong Ekspor Durian ke Tiongkok, Badan Pangan Nasional Kawal Pemenuhan Standar Keamanan dan Mutu Pangan. Siaran Pers, https://badanpangan.go.id/blog/post/dorong-ekspor-durian-ke-tiongkok-badan-pangan-nasional-kawal-pemenuhan-standar-keamanan-dan-mutu-pangan. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Pramono, B.T. (2021). Current Status of Indonesian Tea Industry. World Green Tea Association (O-CHANET), https://www.o-cha.net/english/association/information/documents/20211019-CurrentstatusofIndonesianteaindustry.pdf. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Samudera, J., Daryanto, A., dan Saptono, I.T. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship 3(1):14-23. DOI: 10.17358/ijbe.3.1.14.
Xinhua. (2024, 27 Juni). Indonesia Bidik Ekspor Durian Senilai 8 Miliar Dolar AS ke China. ANTARANews, https://www.antaranews.com/berita/4170828/indonesia-bidik-ekspor-durian-senilai-8-miliar-dolar-as-ke-china. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Yan, Y., Jeong S., Park, C.E., Mueller, N.D., Piao, S., Park, H., Joo, J., Chen, X., Wang, X., Liu, J., & Zheng, C. (2021). Effects of Extreme Temperature on China’s Tea Production. Environmental Research Letters, 16 (2021) 044040. DOI: 10.1088/1748-9326/abede6.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/feed/ 0 47254
Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/ https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/#respond Wed, 21 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47090 “Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa...

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>

“Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan.”

Sebelumnya, saya telah membaca dua buku karya Leila S. Chudori, yaitu Laut Bercerita dan Namaku Alam. Kedua buku ini berhasil membawa saya tenggelam dalam perasaan pahit dan situasi mencekam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.

Setelah membaca keduanya, saya memutuskan untuk membagikan pandangan saya tentang Pulang. Sebuah karya yang kembali mengajak saya menyelami kerinduan yang mendalam. Bukan sekadar keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran, melainkan juga usaha menemukan kembali bagian diri yang hilang dalam perjalanan hidup.

Buku ini bercerita tentang Dimas Suryo, seorang jurnalis yang terpaksa mengungsi ke Paris setelah peristiwa 1965, yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Peristiwa tersebut mengubah hidupnya secara drastis, memaksanya meninggalkan tanah air dan hidup dalam keterasingan. Melalui perjalanan Dimas dan tokoh-tokoh lainnya, Leila S. Chudori menggali esensi kerinduan terhadap tanah air, pencarian identitas, dan keterasingan yang tak terhindarkan.

“Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/ akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati.” (Pulang, Jakarta, 10 Juni 1998)

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Kutipan dalam bab Epilog/Clementina HB Putri

Rindu yang Hidup dalam Kenangan

Pulang bukan hanya tentang pengasingan fisik, melainkan juga tentang pengasingan emosional. Meskipun Dimas tinggal jauh di Paris, kerinduannya terhadap Indonesia tak pernah padam. Baginya, tanah air bukan sekadar lokasi geografis, melainkan juga bagian dari dirinya—menyatu dalam ingatan, kenangan, dan identitas. Kerinduan itu begitu nyata ketika Dimas mengingat rumah, keluarga, dan teman-temannya yang tertinggal di Indonesia. Meski Paris menawarkan kebebasan, rasa terasing dan kesepian tetap menghantuinya.

Ada satu kutipan yang sangat menggugah hati saya: “…entah bau tanahnya setelah terkena rintik hujan, atau buah-buahan tropis yang ganjil bentuk dan warnanya, atau perempuan Solo yang berbicara dengan ritme begitu lamban dan berirama, atau tukang becaknya yang otoriter dengan telunjuk mengacung ke atas setiap kali hendak menyebrang jalan hingga kendaraan berhenti dengan patuh” (hal. 231).

Kutipan ini menangkap bagaimana rindu seringkali hadir dalam hal kecil dan sederhana. Tidak sekadar nostalgia akan tempat, tetapi juga suasana dan pengalaman nyata yang berbentuk kenangan. Sebagai anak rantau, saya merasakan hal serupa. Rindu yang datang tanpa aba-aba, mungkin dari suara angin, aroma tertentu, atau sekadar kilasan pemandangan yang membangkitkan memori akan rumah. Rindu itu tak pernah benar-benar pergi, karena ia hidup dalam hal-hal kecil yang terus menghubungkan kita dengan tempat yang kita cintai.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Bagian cerita yang menggugah saya soal pengetahuan Dimas tentang tanah airnya/Clementina HB Putri

Menjelajahi Kerinduan Dimas Suryo

Kerinduan Dimas bukan hanya tentang Indonesia sebagai tempat, melainkan juga tentang masa lalu yang tak bisa kembali. Ia bertanya-tanya, apakah Indonesia yang ia rindukan masih ada? Atau apakah tanah airnya telah berubah menjadi sesuatu yang asing? Perasaan ini begitu mendalam, karena meskipun ia tinggal di Paris, kebebasan yang ada di sana tidak bisa menggantikan perasaan kehilangan yang menghantuinya.

Salah satu kutipan yang menurut saya menggambarkan perasaan Dimas dengan sangat tepat itu ada di halaman 74: “Jika di pinggiran Peking Merah berarti bahagia atau revolusioner, maka untuk warga Indonesia berarti warna sungai dan darah yang mengalir sia-sia.”

Di sini, merah bukan hanya warna, melainkan juga simbol luka sejarah yang membekas. Dimas menyaksikan bagaimana perubahan di Indonesia terjadi secara drastis, menghapus banyak hal yang dulu ia kenal dan cintai. Ia merindukan Indonesia yang penuh harapan, tetapi kini ia harus menerima kenyataan bahwa tanah airnya telah berubah. Ini adalah pengalaman universal bagi siapa pun yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya dan kembali untuk menemukan bahwa semuanya tak lagi sama.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Catatan penting di halaman 74/Clementina HB Putri

Sejarah yang Membatasi Kerinduan

Salah satu kekuatan terbesar dalam buku Pulang adalah bagaimana Leila S. Chudori meramu kerinduan ini dalam konteks sejarah Indonesia. Dimas tidak hanya terpisah secara fisik dari Indonesia, tetapi juga oleh peristiwa politik yang mengubah segalanya.

Peristiwa 1965 membuatnya terusir, dan ketika ia kembali, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa sejarah telah membentuk ulang tanah airnya, membuatnya terasa asing bahkan bagi mereka yang pernah tinggal di sana. Sesuai dengan kutipan pada halaman 287: “Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.”

Sejarah menciptakan batas antara mereka yang “dapat kembali” dan mereka yang tidak lagi diakui sebagai bagian dari Indonesia. Dimas dan banyak tokoh lain dalam buku ini hidup dalam keterasingan yang tidak mereka pilih, menjadi korban dari narasi sejarah yang membungkam banyak suara.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Latar sejarah kelam Indonesia membuat cerita novel ini begitu kuat/Clementina HB Putri

Pulang: Lebih dari Sekadar Kembali

Dalam Pulang, Leila S. Chudori menunjukkan bahwa pulang bukan hanya soal kembali ke tempat yang kita tinggalkan. Pulang juga berarti menghadapi kenyataan bahwa tempat itu mungkin telah berubah, dan kita pun sudah berbeda. Dimas harus menerima bahwa rumah yang ia rindukan mungkin tak lagi ada, atau setidaknya tak seperti yang ia ingat.

Leila S. Chudori menggambarkan perjalanan Dimas sebagai perjalanan batin yang penuh ambivalensi. Kerinduan yang ia rasakan bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang identitas yang terpecah antara dua dunia yang sangat berbeda. Pulang, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar perjalanan fisik—melainkan upaya memahami diri sendiri dalam sejarah yang telah mengasingkan dirinya.

Bagi Dimas, dan bagi banyak orang yang mengalami keterasingan akibat sejarah, pulang adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai. Meskipun ia kembali ke Indonesia, ia tetap terombang-ambing antara masa lalu dan masa kini, antara harapan dan kenyataan. Pulang adalah kisah tentang rindu yang tak pernah mati, tentang mencari rumah dalam diri sendiri, dan tentang menerima bahwa terkadang, rumah yang kita cari mungkin sudah berubah atau bahkan tak lagi ada.

Leila S. Chudori dengan cermat menggambarkan perjalanan batin ini dengan sangat mendalam. Buku ini mengajak kita merenungkan arti rumah, tanah air, dan identitas—serta bagaimana sejarah membentuk perasaan kita terhadap tempat yang kita sebut rumah.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Cetakan Pertama: Desember 2012
Cetakan Keduapuluh Enam: Desember 2023
Cetakan Keduapuluh Tujuh: Februari 2024
Penyunting: Christine M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tebal: xiv + 461; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-602-424-275-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/feed/ 0 47090
Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/ https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/#respond Tue, 20 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47079 Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.  Dahulu, sebelum ada Jembatan...

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. 

Dahulu, sebelum ada Jembatan Rajamandala, yang dikenal pula sebagai Jembatan Citarum Baru, satu-satunya akses utama menuju Cianjur maupun sebaliknya via Rajamandala adalah Jembatan Citarum Lama. Jembatan ini adalah bagian kecil dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan Willem Daendels, pada abad ke-19.

Jalur Jembatan Citarum Lama berada di sisi selatan Jembatan Rajamandala dan terhalang oleh beberapa bukit. Berbeda dengan jalur Jembatan Rajamandala yang lebih modern, lurus, dan datar, jalur Jembatan Citarum Lama dihiasi dengan sejumlah kelokan tajam, tanjakan, serta turunan curam. 

Meski demikian, kawasan ini sesungguhnya menyimpan daya tarik tersendiri. Wilayah di sekitar Jembatan Citarum Lama masih dipenuhi belukar, hutan, maupun ladang. Suasananya lebih alami dibandingkan jalur Jembatan Citarum Baru, yang bernuansa urban dan relatif lebih sibuk. 

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kawanan kera yang berada di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Keberadaan Monyet Ekor Panjang

Salah satu daya tarik utama di kawasan Jembatan Citarum Lama adalah keberadaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering berkeliaran di sekitar jembatan. Kera jenis ini termasuk spesies yang dapat beradaptasi dengan lingkungan urban sehingga sering pula ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Keberadaan mereka di sekitar Jembatan Citarum Lama setidaknya menunjukkan bahwa ekosistem di sekitar kawasan masih cukup alami untuk mendukung populasi primata ini.

Saat saya menyambangi kawasan ini, Kamis pagi (3/4/2025), terlihat kawanan kera sedang terlihat berada tak jauh dari belokan di sisi timur jembatan. Sementara sebagian lainnya dengan lincah melompat dan bergelayutan di ranting-ranting bambu yang tumbuh di sekitar jembatan. Beberapa kera terlihat pula merayap di pagar jembatan.

Sejumlah pengendara yang melintas memilih untuk melambatkan kendaraan mereka, bahkan ada yang berhenti sejenak untuk memotret kera-kera tersebut. Namun, ada juga yang tampak ragu-ragu untuk melintas, khawatir kera akan melompat ke kendaraan mereka.

Sok, Teh, teras we. Moal nanaon, da (Silakan, Mbak. Terus saja. Nggak akan apa-apa),” kata seorang bapak, yang merupakan warga lokal. Ia meyakinkan seorang perempuan pengendara motor yang terlihat ragu untuk melintas tatkala sejumlah kera bergerombol di bahu jalan. Bapak itu lantas menggiring kera-kera itu ke tepi jalan.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Beberapa pengendara melintas dan berhenti di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Menjadi Jalur Utama Bandung–Cianjur

Sementara itu, di sisi utara, Jembatan Citarum Baru yang menjadi jalur utama Bandung–Cianjur, kini menjadi kawasan yang semakin ramai. Bukan hanya aneka jenis kendaraan, kawasan ini juga disesaki para penjual makanan dan minuman.

Di kiri dan kanan jalan, berderet jongko yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak ketinggalan, sebuah toko swalayan berdiri pula tak jauh dari Jembatan Citarum Baru. Banyak pengendara yang memilih beristirahat sejenak di kawasan ini sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Boleh dibilang keberadaan Jembatan Citarum Baru ini telah menumbuhkan apa yang diistilahkan sebagai roadside economy. Artinya, infrastruktur jalan yang dibangun lantas mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sekitar jalur tersebut.

Dikutip dari Pikiran Rakyat (21/12/2020), Jembatan Citarum Baru pertama kali difungsikan sebagai jembatan tol pada tahun 1979. Kehadirannya dimaksudkan untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh Bandung–Cianjur maupun sebaliknya.

Status tol Jembatan Rajamandala sepanjang 222 meter ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979. Pengoperasiannya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia, yakni Jalan Tol Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978. Merujuk pada keputusan tersebut, saat diterbitkan, besaran tarif tol jembatan tersebut kala itu adalah Rp50 untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga, lalu Rp100 untuk kendaraan roda empat atau lebih.

Saat ini, Jembatan Rajamandala alias Jembatan Citarum Baru tak lagi berstatus sebagai jalan tol, Statusnya dicabut oleh Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan ini pun kini bisa dilintasi dengan gratis karena menyandang status sebagai jembatan umum non-tol.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Sungai Citarum difoto dari Jembatan Lama/Djoko Subinarto

Tidak Serta-merta Dilupakan

Lantaran kiwari sebagian besar pengendara umumnya memilih jalur Jembatan Citarum Baru, maka kawasan Jembatan Citarum Lama cenderung relatif lengang. Meskipun demikian, Jembatan Citarum Lama tidak serta-merta dilupakan. Selain warga lokal, toh masih ada pengendara yang memilih melewati jalur ini. Baik itu karena alasan nostalgia, menghindari kemacetan di jalur utama, atau sekadar ingin merasakan sensasi perjalanan dengan suasana yang lebih tenang.

Ditilik dari aspek historis, keberadaan Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari potongan kecil dari sejarah jaringan transportasi di Jawa Barat. Jembatan Citarum Lama bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan juga saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan sosial di wilayah tersebut.

Seperti telah disebutkan di muka, Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari proyek Jalan Raya Pos yang diinisiasi oleh Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Jalan Raya Pos ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jembatan Citarum Lama sendiri awalnya difungsikan untuk mendukung mobilitas logistik dan militer, serta menghubungkan kawasan pedalaman Tatar Sunda dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi yang berada di pesisir utara Jawa Barat.

Secara strategis, jembatan ini menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan antardaerah, terutama sebelum hadirnya jalan-jalan arteri modern dan tol. Arus manusia, hasil bumi, serta komoditas industri melewati jembatan ini selama beberapa dekade, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi lokal.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kepadatan kendaraan yang melintas di Jempatan Citarum Baru/Djoko Subinarto

Potensi Destinasi Wisata Sejarah

Dilihat dari kacamata pariwisata, jalur Jembatan Citarum Lama sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah serta ekowisata. Dengan panorama alam di sekitarnya dan keberadaan satwa liar macam kera ekor panjang, Jembatan Citarum Lama bisa dikembangkan sebagai objek wisata alternatif bagi mereka yang ingin merasakan perjalanan yang lebih tenang dan dekat dengan alam.

Pemerintah setempat, misalnya, dapat mengembangkan jalur ini sebagai rute wisata sejarah. Caranya dengan menyediakan informasi mengenai sejarah Jalan Raya Pos dan peran jembatan ini dalam mobilitas masyarakat dari masa ke masa. Konsep ini mirip dengan pengelolaan heritage road di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, yang menggabungkan nilai historis sebuah jalan dengan pengembangan wisata.

Khusus berkaitan dengan keberadaan kera ekor panjang, tentu saja perlu ada upaya konservasi terhadap habitat satwa ini. Penyediaan papan peringatan untuk tidak memberi makan satwa liar secara langsung, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kiranya dapat membantu menjaga populasi mereka tetap lestari.

Dengan pendekatan yang tepat, jalur Jembatan Citarum Lama diharapkan bisa terus berfungsi sambil mampu mempertahankan nilai historis dan ekologinya. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, jembatan ini tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa tergantikan oleh jalur baru yang lebih modern.

Melewati jalur Jembatan Citarum Lama bukan hanya sekadar melakoni perjalanan fisik, tetapi juga memasuki semacam lorong waktu. Setiap kelokan dan tanjakan di jalur ini menyimpan kisah tentang masa lalu yang gemanya masih bisa dirasakan hingga hari ini.

Bagi para pencinta sejarah, pengendara yang ingin mencari jalur alternatif dari arah Bandung menuju Cianjur maupun arah sebaliknya, atau mereka yang ingin sekadar menikmati suasana alam yang lebih tenang, jalur Jembatan Citarum Lama dapat menjadi opsi yang menarik. Sekaligus menawarkan pengalaman berkendara yang berbeda dibandingkan dengan jalur utama yang padat dan bising. 


Referensi:

Arifianto dan Muhaemin. (2020, 21 Desember). Jadi yang Pertama di Indonesia, Kisah Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala Bisa Mendebarkan Jantung. Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011143809/jadi-yang-pertama-di-indonesia-kisah-pembangunan-jembatan-tol-rajamandala-bisa-mendebarkan-jantung?page=all, diakses pada Kamis, 10 April 2025.
Slamet, Ikbal. (2023, 29 Mei). Kenangan di Tol ‘Gope’ Jembatan Rajamandala Cianjur. Detik.com, https://www.detik.com/jabar/berita/d-6743344/kenangan-di-tol-gope-jembatan-rajamandala-cianjur, diakses, Kamis, 10 April 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/feed/ 0 47079
Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/ https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/#respond Thu, 01 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46818 Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara.  Memasuki kawasan Puntang, di...

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara. 

Memasuki kawasan Puntang, di suatu Sabtu pagi nan mendung, saya disambut oleh sejuknya udara pegunungan. Gemercik air sungai mengalir jernih, deretan pohon pinus menjulang tinggi. 

Di salah satu sudut jalan yang agak menikung, terpampang papan peringatan. “HATI-HATI!!! RAWAN POHON TUMBANG”—begitu bunyi peringatannya, yang sempat sejenak menarik perhatian saya.

Namun, yang paling membetot perhatian pagi itu sesungguhnya adalah puing-puing bangunan stasiun Radio Malabar. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Sungai Cigeureuh yang mengalir di sela-sela kaki Gunung Puntang.

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Jejak Radio Malabar yang tersisa dan kini hanya tinggal puing/Djoko Subinarto

Radio Malabar Dulu dan Kini

Dahulu, pada tahun 1920-an, Radio Malabar merupakan salah satu stasiun pemancar terbesar di dunia. Radio ini mampu menghubungkan kawasan Hindia Belanda, yang notabene merupakan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dengan Kerajaan Belanda di Eropa secara langsung. 

Proyek Radio Malabar sendiri diprakarsai oleh Dr. Cornelis de Groot dan dianggap sebagai sebuah terobosan besar dalam dunia komunikasi nirkabel masa itu. Teknologi yang digunakan di Radio Malabar memungkinkan transmisi gelombang radio hingga mencapai ribuan kilometer, menjadikannya sebagai pusat komunikasi strategis pada masanya.

Menyaksikan sendiri reruntuhan bangunan Radio Malabar yang masih tersisa di salah satu pojok kaki Gunung Puntang, saya lantas membayangkan beberapa ruang yang dipenuhi oleh deru mesin pemancar dan suara operator. Namun, kini hanya menyisakan tembok-tembok tua yang terus digerogoti zaman.  Bekas kolam berbentuk hati—yang beken dinamai Kolam Cinta—dan berada di depan puing bangunan Radio Malabar, yang dipisahkan oleh hamparan rumput, kini ditutupi oleh papan yang sebagian besar terlihat telah melapuk. 

Konon, Kolam Cinta adalah tempat yang digunakan sebagai area relaksasi bagi para insinyur dan pekerja yang mengoperasikan Radio Malabar. Saya membayangkan sebuah kolam besar dengan air yang sangat bening, ketika ikan-ikan berenang dengan suka cita. Saya juga membayangkan ada beberapa rumpun bunga lili air yang sengaja ditanam untuk memperelok tampilan kolam tersebut. 

Rekonstruksi Sejarah

Secara keseluruhan, saya melihat puing-puing peninggalan Radio Malabar itu tampaknya masih belum mendapat perhatian dalam hal rekonstruksi sejarah. Pasalnya, puing-puing itu masih dibiarkan apa adanya.

Padahal, rekonstruksi sejarah melalui situs-situs bersejarah dapat turut mengerek kesadaran masyarakat ihwal pentingnya warisan budaya. Menurut UNESCO, pelestarian situs-situs bersejarah bukan hanya sekadar untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk membangun rasa memiliki terhadap budaya dan sejarah lokal.

Di Indonesia, terus terang saja, banyak warisan sejarah yang terpinggirkan karena kurangnya dokumentasi dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Bahkan, tak sedikit bangunan pusaka yang akhirnya benar-benar lenyap tanpa jejak. Oleh sebab itu, jika puing-puing Radio Malabar tidak segera direkonstruksi, maka bisa saja jejak-jejak sejarah dan keberadaannya, cepat atau lambat, bakal benar-benar lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Tentang keberadaan stasiun Radio Malabar sendiri, salah satu bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kembali bangunan Radio Malabar dalam wujud museum interaktif. Museum ini nantinya dapat menyajikan dokumentasi sejarah, replika alat komunikasi lama yang pernah digunakan, hingga simulasi interaktif soal bagaimana stasiun radio di kaki Gunung Malabar ini dulu berfungsi. Dengan upaya rekonstruksi tersebut, para pengunjung diharapkan tidak hanya akan melihat sejarah sebagai sesuatu yang statis, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman yang hidup. 

Kita mungkin bisa belajar dari keberhasilan proyek rekonstruksi stasiun Radio Grimeton di Swedia, yang kini telah menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Stasiun radio tersebut mengalami rekonstruksi dan kini berfungsi sebagai pusat edukasi serta wisata sejarah. Rekonstruksi seperti yang dilakoni Radio Grimento di Swedia agaknya dapat diaplikasikan pula untuk Radio Malabar.

Selain melakukan rekonstruksi secara fisik, rekonstruksi juga bisa dilakukan secara  virtual. Di beberapa negara, pelestarian situs-situs bernilai sejarah telah dilakukan pula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Misalnya, lewat pemanfaatan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). 

Jika hal itu juga bisa dilakukan untuk stasiun Radio Malabar, maka dapat membantu visualisasi secara virtual ihwal bagaimana Radio Malabar beroperasi di masa lalu. Model rekonstruksi semacam ini tidak hanya bakal menarik bagi generasi yang lebih muda, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi para wisatawan, khususnya mereka yang akrab dengan teknologi digital.

Sembari duduk di salah satu bongkahan tembok puing Radio Malabar, imajinasi saya berkelana ihwal bagaimana suasana pada tahun 1920-an di tempat tersebut, manakala Radio Malabar masih beroperasi. Di tengah kesunyian alam Puntang, saya seakan mendengar gema suara operator yang sibuk mengirimkan pesan ke Belanda, Negeri Kincir Angin, nun jauh di Eropa sana. 

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Wisatawan membaca papan informasi yang menjelaskan sejarah Radio Malabar/Djoko Subinarto

Warisan Pustaka yang Harus Dijaga

Pada akhirnya, jejak sejarah bukan sekadar catatan-catatan yang tertuang di halaman-halaman buku belaka, melainkan juga jejak-jejak yang perlu dihidupkan kembali agar tidak terlupakan sama sekali. Kesadaran akan pentingnya rekonstruksi sejarah tidak hanya tentang mengenang masa lampau, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun masa depan. 

Andaikan saja, Radio Malabar dapat direkonstruksi. Kelak, warisan bangunan pusaka dari masa silam ini bisa menjadi aset wisata edukatif yang lebih bernilai bagi Indonesia.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berharga bisa hilang jika tidak dirawat dan dijaga. Dengan mempelajari dan merekonstruksi jejak dan warisan sejarah Radio Malabar, kita tidak hanya mengenang masa lampau, tetapi juga memastikan bahwa warisan sejarah nan berharga ini tetap hidup dan bisa dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/feed/ 0 46818