NUSANTARASA - TelusuRI https://telusuri.id/nusantarasa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:40:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 NUSANTARASA - TelusuRI https://telusuri.id/nusantarasa/ 32 32 135956295 Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/#respond Thu, 30 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45489 Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan sayuran capcai—yang lebih serampangan dibandingkan kuah masak pae. Bau kentang memahkotai segala aroma di piring saya.

Sangarnya bau kentang, ternyata, setelah saya cecap tidak membunuh rasa-rasa lain yang merangkulnya. Masak pae kiranya sering kena fitnah karena wujudnya menyamai kuah capcai. Saya juga awalnya menstigma sebelum mencicipinya. Kuah masak pae, bagai langit dan bumi, berbeda dengan capcai. Kaldu sapi mencubit titik mulut di mana liur terbit. Ia tidak menendang, cenderung kalem seperti malaikat pencabut nyawa yang datang tanpa diketahui, mengagetkan, dan pasti. Padahal dari awal saya menyangka paling ini rasanya kentang doang. Dan, sebagaimana menghadapi malaikat pencabut nyawa, alih-alih protes atau banyak tanya, orang umumnya bakal kehilangan kata-kata.

Kaldu sapi, saat itu saya langsung memijat kepala yang tidak pusing, membuat saya keblinger dengan matematika perbumbuan Sumenep karena kaldu itu berdansa dengan wortel dan kubis. Kubis mungkin tidak akan seaneh itu dengan kaldu sapi, mengingat biasanya kubis juga mengambang di kuah rawon, tapi wortel, tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya. Bukan berarti antara kaldu sapi, wortel, dan kubis saling adu belati di lidah, ketiganya menyatu di lidah saya. 

Detail irisan masak pae dengan rasa yang seimbang/Putriyana Asmarani

Rasa yang Presisi

A mengamati saya bukan seperti ilmuwan pada mencit, atau anak haram tertua Usher (The Fall of The House of Usher) pada kera percobaan. Seperti Prometheus saat menghidangkan sapi panggang pada Zeus, Prometheus mengamati perubahan wajah Zeus dengan saksama, sebab ia mengibuli Sang Ilah. Tatapan A juga jeli laiknya perempuan psikopat Julia Jayne yang menyeduh teh buat bahan ritual pagan (The Midnight Club).

A menyantap hidangannya, matanya awas, akhirnya keluarlah kalimat sakti itu: “Gimana rasanya?”

“Diam dulu kau,” tanggapku. Kalaupun Franz Kafka nongol saat itu buat mengajak saya kencan, saya akan mencampakkannya. A tak terkecuali.

Rasanya seperti Siddhartha saat meditasinya beres, ia kembali segar dan dengan itu merumuskan penciptaan dan kemanusiaan. Saya menemukan presisi rasa yang matematis dan imbang.

Kuah kaldu sapi yang meriah netral dicerna dengan kue kentang. Irisan daging tidak terlalu menonjol, tidak arogan di atas piring meskipun itu yang bikin masak pae mahal. Daging tidak dipotong gendut kotak seperti dadu, apalagi tipis ceper tak berbentuk seperti kuah-kuah daging pada umumnya. Daging dipotong persegi panjang sebagaimana wortel.

Kalau dilihat-lihat, piring ini seperti orbit tata surya, meskipun Saturnus bercincin, semua planet pada dasarnya bundar. Tidak ada pola yang ingkar, tidak ada rasa yang dominan sehingga membunuh rasa lainnya. Cake tidak asal cemplung, penciptaan semesta juga tidak asal taruh. Saya tidak bisa mengampuni diri sendiri setelah berkata, “Paling ini kayak capcai rasanya.”

“Jadi, gimana rasanya?” A mengulangi. Kalau saya menyuruhnya diam di saat ia menggenggam garpu, itu artinya saya cari mati. Jadi, saya harus menjawabnya.

“Rasanya kayak … reinkarnasi, binasa lalu diciptakan kembali.” 

Eksperimen perpaduan rasa cake yang tampilannya mirip capcai/Putriyana Asmarani

Cake yang Cendekia

Masak pae menjadi dosa akhir tahun yang tak terampuni, terutama setelah saya membandingkannya dengan capcai. Meskipun begitu, saya masih belum insaf. Saya keras kepala, mungkin ini menjadi alasan mengapa dongeng lisan kebanyakan menghukum orang keras kepala. Dilihat dari bentuknya, cake terlihat lebih capcai dari masak pae. Alasan saya menyantap masak pae dulu setelah itu melirik cake, adalah saya yakin cake rasanya sangat capcai, kesimpulannya, cake bisa menyulut emosi. 

Masalahnya, dengan menjadikan masak pae santapan pertama, itu berarti saya mengubur kesan masak pae dengan cake yang rasanya sesuai prediksi BMKG. Masak pae yang mengesankan hanya akan menjadi Minggu malam yang tak lagi menarik bagi Senin pagi. Saya menyingkirkan piring masak pae yang tandas dengan melankolis seperti cara Richard II melepaskan takhta untuk diduduki Henry Bolingbroke: singkat, padat, ngenes.

Lesu saya melihat ada potongan kembang kol, wortel, sawi, dan komposisi mirip capcai lainnya. Sangat mirip, hanya saja tidak ada irisan pentol dan sosis. Yang membuat cake tidak bisa disebut capcai adalah ada irisan tipis bacon halal dari daging entah apa, tahu goreng, dan taburan keripik kentang. Kuah cake, setelah saya obok-obok, tidak sekental masak pae. Betul, secepat ini orang bikin dosa besar setelah insaf beberapa detik yang lalu, “Ini, mah, capcai banget.”

A banting setir, ia mengganti strategi perangnya yang tadinya Lao Tzu banget, sekarang ala Seneca. Itu berarti, demi mensyukuri realita yang akan datang, orang harus merespons dengan kemungkinan terburuk, “Kan, bentuknya memang capcai banget,” katanya dengan senyum jahil. 

Untuk menghadapi hidangan tertentu, saya sama psikopatnya dengan Fernandez, kucing kompleks selingkuhan Siti, yang meneliti bahkan mempermainkan buruan, membunuh mencit perlahan sampai binatang itu tandas. Pertama, saya mencicipi kuah. Kedua, saya sandingkan irisan bacon dengan wortel, selanjutnya wortel, tahu, dan keripik kentang, begitu seterusnya sampai semua bahan berdesakan dalam satu sendok makan. Saya penasaran struktur komposisi apa yang timpang atau imbang saat bersanding, bahan apa yang tidak terasa signifikan tapi justru itu menjadi penyempurna, dan seterusnya.

Tekstur capcai agak berlendir, barangkali ulah maizena. Yang berlendir itu memandikan potongan kembang kol dan brokoli yang kerap dipotong asal. Kuah yang sedap dari capcay biasanya tidak terbit dari saripati bahan yang berkelindan bersama, karena itu, rasa sedap kuah, musnah ketika sayur irisan tebal dikunyah. Ketika makan capcai mulut saya seolah berada di medan laga, rasa apa yang menang, rasa apa yang kalah. Cake, lagi-lagi saya khilaf, bukan saudara kembar capcai. Maka dari itu, saya tak layak mendapatkan pengampunan warga Sumenep.

Alasan legit kenapa tahu goreng (bukan tahu godok) meringkuk di antara tumpukan bahan lainnya, menurut saya tahu goreng lebih berpori dibandingkan tahu godok, sehingga dalam komposisi ini, tahu goreng punya kontribusi untuk menadah rasa, bukan menyimpang rasa. Orang Sumenep kiranya cukup brilian untuk memilih tahu goreng, karena menonjolkan bahwa yang dimakan saat ini adalah tahu cake, bukan tahu biasa. Tentunya, tahu godok cenderung menetralkan rasa dan membawa kesan akhir yang akan terbatas pada ‘sekadar tahu’. Sebab, ia tak terlalu berpori untuk menyerap gugus rasa atau merembeskan saripatinya pada makanan.

Kembang kol, bagi saya, adalah bahan paling keras kepala. Bahan ini cenderung mencolok, mau digeprek berlumur sambal tomat, atau bahkan dihantam sambal bawang yang menjenuhi hidung, kembang kol tidak akan mati rasa. Jadi, memasukkan kembang kol dalam rangkaian komposisi cake, sama seperti merekrut anggota radikal ketika regu ini didominasi fundamentalis. Meskipun hanya terdapat lima iris kembang kol, anggota radikal ini bisa saja merevolusi hidangan satu piring.

Anehnya, kembang kol takluk di bawah kekuasaan cake. Khusus soal hidangan, saya selalu terkesan dengan santapan otoriter. Semakin otoriter, semakin cendekia wajah kuliner. Kalau tidak otoriter begini, saya bisa beli kembang kol sendiri, merebusnya sendiri, dan seterusnya. Kembang kol di cake, menjadi siluman yang hampir tak dikenali di lidah saya.

Saya mesem. A mengangguk-angguk. Siapa sangka strategi distopia Seneca bisa bekerja di industri makanan semacam ini. Saya menandaskan cake seperti anak SMA yang lagi kasmaran. Saya suka cake yang tidak terlalu berlendir, ia pekat karena rempah dan lagi-lagi menggunakan kaldu ayam, bukan sayuran yang diguyur air tawar seperti capcai.

Kalau dibandingkan antara masak pae dan cake, masak pae juaranya. Mungkin karena tekstur lembut kentang memulihkan tendangan kuah yang pekat akan kaldu dan rempah, kelembutan ini hadir sebagai penyeimbang yang jitu. Kentang di cake hadir sebagai taburan gorengan, memberi kesan gurih yang melatari semangkuk komposisi basah, sehingga taburan kentang goreng ini cenderung kalah. 

Tidak banyak pertentangan sensasi rasa ketika dan pascamakan masak pae dan cake. Karena saya pemuja hidangan otoriter, tentunya masak pae sangat Napoleonik. Permisi, bisa jadi Joseph Stalin minder melihat otoritarianisme bekerja dalam semangkuk masak pae. Intinya, saya cengar-cengir meninggalkan Resto Amanis, saya yang tadinya sudah sekacau usai gempa tektonik berubah menjadi kuntilanak di musim semi yang memetik sekuntum mawar merah buat genderuwo yang ia cintai.

Gimana dengan pakta gak-akan-balikMadura yang kau bikin kemarin sore itu?” A bertanya. Sebab, sesungguhnya ia tahu jawabannya, A berhasil. 

“Gawat, aku harus hidup. Aku tak bisa pastikan, nanti kalau sudah tewas, koki di surga bisa bikinin aku masak pae dan cake, atau enggak.”

“Hiduplah, lagian … belum tentu kamu masuk surga!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/feed/ 0 45489
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/#respond Wed, 29 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45476 Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama. ‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama.

‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John Steinbeck Tikus dan Manusia menjabarkan) tak bakal kebagian Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne barang seciprat. Jangankan percikannya, nonton konyak ini dilelang, kalau dituang warnanya kayak apa, tak bakal tahu. Bukan konon katanya, diproduksi sejak 1776, disegel selama lebih dari seratus tahun, botol berlapis emas 18 karat, bercokol 4.100 mata berlian, dilelang seharga empat belas juta euro. Jangankan momen kelahiran, ternyata sampai kiamat nanti, orang kere hanya akan bisa memandangi orang bakir ongkang-ongkang minum konyak dengan pemandangan gunung meledak.

Esai ini tidak akan bahas konyak. Sebagai gantinya masak pae dan cake, semacam kudapan pengganjal perut yang kalau dipikir-pikir, okelah kiranya saya rekomendasikan pada raja-ratu seantero Madura yang dikebumikan di Asta Tinggi untuk bangkit dari kubur demi mencicipinya.

Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1)
Kompleks Keraton Sumenep/Putriyana Asmarani

Ajakan Mencoba Masak Pae dan Cake

Satu peleton satan yang mengisi sudut-sudut remang di bantaran kebun siwalan kota Sumenep saat itu tak bakal kaget kalau ada orang macam saya bermuram durja di tanggal tragis 13 Desember 2024. Angka tiga belas di akhir tahun, waktu yang tepat untuk menyudahi segala, tak yakin ada rebirth apalagi transformasi seperti yang diharapkan Nietzsche (bagian death of the self dalam karya Thus Spoke Zarathustra). Namun, sahabat saya A (inisial sebab saya menyayanginya dan di esai ini ada kemungkinan saya akan menodainya, he-he) sejak subuh yang basah sebab hujan memilih geram dan garang, yakin kalau saya secara simbolik (pinjam istilah ‘symbolic death’ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness) sudah binasa. 

Dalam keadaan lantak, A menceletuk, “Kamu harus nyobain campor!“

Mungkin baginya saya terlihat darurat. Butuh pertolongan pertama. Saya tak lupa pernah dengar ini dari mana, tapi senjata satu-satunya yang paling ampuh untuk melelehkan orang keras kepala adalah dengan menyenangkan perutnya. Saat itu saya sedang membalik-balik halaman disertasi Seno Gumira Ajidarma Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan dengan tatapan kosong melompong. Seolah Dajjal sudah lolos dari jeruji, lalu nangkring di pundak saya, badan saya gampang oleng sebab bumi yang saya pijak tengah gonjang-ganjing, mungkin itu yang dilihat A. 

“Madura begitu kejam padamu, baik delapan tahun yang lalu saat kau bertandang ke Pulau Bawean, berak di atas lubang jamban, sangat purba dan setelah itu kau tak berak selama tujuh hari, sekarang…,” A berhenti sejenak tanpa bernapas laiknya saktah dan dunia tak seribet ilmu tajwid, menyadari mungkin saya tak tertolong saat ini. Ia menutup kalimatnya dengan, “Madura masih kejam padamu.” 

“Kalau warungnya tutup gimana? Mengingat ini hari Jumat dan warga Sumenep adalah kaum beriman?”

“Kita dobrak sama-sama, kita pakai kekerasan,” tanggap A, lalu ia merevisi, “ada juga pilihan lain, namanya masak pae dan cake, kalau ditimbang-timbang daripada campor karena mukamu itu sudah sekacau tsunami, masak pae dan cake kayaknya pas untuk situasi gawat. Dengan begitu, kau bisa menghadapi bencana dengan elegan.”

Mengingat sebelum berangkat perang seorang kesatria harus memilih tunggangan terbaiknya, saya nyengir membayangkan masak pae dan cake. Lagi pula, keadaan saya jauh lebih buruk dari Perang Anglo-Zulu, dengan kekuatan militer seadanya Zulu tetap melawan, mereka tahu bakal kalah menghadapi pertempuran ini. Saya tak punya optimisme. Zulu masih ada harapan kemenangan, saya berangkat untuk kalah.

Namun, A cukup berhasil. Pikiran saya yang suntuk kemelut tiba-tiba terbentang layar baru, imaji bentuk makanan semarak muncul, warna-warni santapan meriah berletupan laiknya kembang api, wanginya pun juga ikut terbayang. Bodo amat kalau tak minum konyak empat belas juta euro atau mengemut kue daulat yang hanya disajikan saat upacara pemberkahan Yang Dipertuan Agong.

Selama perjalanan, sekitar setengah jam dari Guluk-Guluk ke area Alun-alun Sumenep, A mendaras berjibun jenis makanan. Awalnya ia gigih spoiler soal campor, saya bersikukuh campor mirip soto hanya saja kecambahnya digoreng. Di titik tertentu saya memang kerap menguras kesabaran A, saya selalu berpikir kuliner Madura tak bakal menyingkur dari kuliner Jawa Timur. Malah, saya sok berpendapat kalau kuliner Madura ngikut-ngikut pola kuliner Jawa Timur.

Dari kiri ke kanan: tampilan campor yang mirip soto, sepiring bulud, dan isian sambal bulud/Dokumentasi A

Hal ini berlanjut ketika A membahas kudapan bulud. Saya bilang itu seperti lemper, kalau lemper isi daging ayam pakai beras ketan, bulud pakai beras punel biasa, luarnya digoreng, isiannya sambal. Pada akhirnya saya masih mengajak A baku hantam, bulud adalah lemper versi anarkis. 

A masih berperikemanusiaan yang meskipun kadang-kadang adil, ia cukup beradab, kalau tidak saya pasti sudah menelantarkan saya di tambak udang. Mau se-anarkis apa pun bulud, ia tidak bisa disebut lemper. Bulud memang kudapan orang kere, bukan berarti saya berhak mengatainya. A mengaduk isi galeri, lalu memberi saya gambaran nyata versi ia bikin sendiri dan versi yang biasa dijual di pinggir jalan. Kehidupan ini memang sebuah arus, ada hulu, ada hilir. Bukan berarti bulud hanyut begitu saja mengikuti pamor lemper, tapi bulud adalah bulud, lemper adalah lemper, titik. Begitulah, kesimpulan ini digertak dengan semburan platonik. 

Dari omelan itu, A cukup patriotik untuk mengatakan, “Dan meskipun kau pulang nanti membawa cendera mata nestapa, kujamin kamu bakal kangen Sumenep.”

“Kangen tragedinya?” Saya memotongnya dengan nyeri. 

“Kangen masak pae dan cake. Cintailah makanan, meskipun nantinya cuma jadi tinja. Allah lebih senang berfirman dengan menyebut sungai madu dan susu berkali-kali di kitab suci daripada mengumbar janji ketemu cowok ganteng di surga nanti.”

Seporsi cake (kiri) dan masak pae khas Sumenep/Putriyana Asmarani

Kesan Pertama

A benar. A harus menjadi orang bener sebab kawannya enggak bener. Ini bukannya terdengar seperti beban, tetapi memang beban betulan. Kami tiba di jam paling terik hari itu. Musim di Madura tampaknya gampang move on, tiba-tiba gerah seolah hujan yang beringas subuh tadi tidak terjadi sama sekali.

Resto Amanis megah rebah di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 51, Sumenep. Sebetulnya saya mengira A akan cari warung pinggir jalan, mengingat kami berdua adalah sejenis manusia yang hemat pangkal selalu miskin. Namun, saya yakin A punya alasannya sendiri, salah satunya karena penampakan saya yang sudah tak bisa dibedakan dengan banjir bandang. Ia tak bakal tega membuat saya makan diasapi rokok dari pengunjung warung pinggiran. Mungkin dalam hatinya sudah terpahat wacana, “Mampuslah dengan cara paling megah.”

Setelah itu saya meletakkan takdir di telapak tangan A. Ia dengan gesit mempelajari buku menu, gayanya seperti ibu negara. Kelakuan ini sangat A, mengingat kawannya sudah lebih remuk dari rengginang lorjuk kena bogem Hulk, hanya dengan satu tarikan napas ia siap pesan ini-itu, lengkap dengan minuman dan porsi tambahan untuk dibawa pulang. Ini pekerjaan magis, tak semua orang bisa sakti begini. Kalau ditanya mau ngapain A sepuluh tahun mendatang, ia sudah menemukan jawabannya setelah berkedip sekali. 

“Waduh, ini di luar prediksi BMKG,” ungkap A setelah pesanan terhidang. “Biasanya masak pae dan cake itu jadi sepiring. Tapi kok ini dipisah?” A melirik saya, tampak khawatir jangan-jangan bakal tak sesuai dengan harapannya. 

Di muka bumi ini, saya tak tahu insan penyabar selain A, tetapi itu bukan berarti orang bisa dengan enteng cari gara-gara dengannya. A bisa saja menendang Mars keluar dari orbitnya kalau ada orang menjahilinya. Untungnya, saat itu kami kelaparan sebab sebelumnya jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat, kami hanya saling pandang sebentar merespons dua piring, saking laparnya kami bisa saja menggerogoti meja dan kursi, jadi makanan yang kami hadapi segera menghadapi eksekusi. 

Nafsu hewani sebab lapar teramat, baru kali ini, tidak menjadikan saya seperti kucing kompleks bernama Siti yang menggasak curut got dengan membabi-buta. Tiba-tiba ada semacam rem cakram, dengan perlentenya saya menciduk kuah lalu menyesapnya seperti adegan romansa berkelas. Sebentar kemudian saya tertegun.

Piring pertama, masak pae, bermuatan sepotong kue kentang yang sudah dihaluskan dan dipanggang dengan suhu entahlah, karena terlihat garing di atas tapi tidak gosong di bagian bawah. Dua cabe rawit tergeletak di permukaan kue kentang. Kalau dilihat-lihat keduanya terlalu mencolok untuk rebah begitu saja di atasnya. Namun, dengan begitu kue kentang terlihat lebih berwarna seperti sepetak pasar malam di hamparan padang pasir.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/feed/ 0 45476
Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/ https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/#respond Thu, 23 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45436 Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh...

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh dan bangsawan keraton di masa lampau. 

Kita mengenal wedang coro dan nasi kropokhan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kegemaran bangsawan Kesultanan Demak ketika itu. Masih di Demak, di Kadilangu sampai sekarang masih dilestarikan hidangan warisan Sunan Kalijaga yang bernama caos dhahar lara gendhing. Kuliner ini masih bisa dijumpai hingga saat ini saat warga Kadilangu menghelat hajatan. Sementara di Kudus, kita mengenal nasi jangkrik dan opor sunggingan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kuliner kegemaran Sunan Kudus dan Kiai Telingsing—dua pemuka agama Islam pada masa Walisongo.

Dan ternyata, Kabupaten Grobogan juga punya kuliner warisan dari salah satu tokoh besarnya, yaitu Ki Ageng Selo—salah seorang murid Sunan Kalijaga yang hidup di era Kesultanan Demak, yang sosoknya lekat dengan folklore sebagai tokoh sakti yang bisa menangkap petir dengan tangan kosong. Kuliner warisan Ki Ageng Selo itu, saya menyebutnya dengan nama sega golong pecel ayam.

Menurut cerita yang dituturkan turun-temurun, jenis masakan yang menjadi klangenan (kegemaran) Ki Ageng Selo adalah sega golong atau yang juga disebut dengan sega kepelan. Adapun pelengkapnya adalah sayur menir bayam, pecel ayam dengan bumbu gudangan, serta lalapan berupa trancam terong. 

T. Wedy Utomo dalam buku Ki Ageng Selo Menangkap Petir (1983) mengutip keterangan dari juru kunci makam Ki Ageng Selo (ketika itu), Djahri, bahwa menurut cerita yang dituturkan nenek moyangnya, jenis masakan yang menjadi kesenangan Ki Ageng Selo adalah “sekul golong” atau yang disebut juga dengan “sekul kepelan”, yaitu nasi yang diremas-remas dibuat semacam bola yang berukuran besar sebesar “kepal” tangan.

Menurut cerita, sega golong dengan kelengkapannya itu sering dihidangkan setiap kali Ki Ageng Selo mengadakan upacara selamatan atau sedekahan dengan mengundang masyarakat sekitar Selo. Dari situlah, dipercaya awal mula hidangan itu mentradisi dalam masyarakat Jawa sampai sekarang. Termasuk saat peziarah menyelenggarakan selamatan di kompleks makam Ki Ageng Selo juga selalu menyuguhkan hidangan ini.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Sega golong dengan kelengkapan pecel ayam, sayur menir bayam, dan trancam. Hidangan kegemaran Ki Ageng Selo (Badiatul Muchlisin Asti)

Sega Golong dalam Budaya Jawa

Dalam khazanah budaya Jawa, sega golong kemudian menjadi hidangan yang biasa disajikan, bahkan menjadi menu utama dalam pelbagai upacara adat dan tradisi masyarakat Jawa di banyak daerah. 

Wahyana Giri MC dalam buku Sajen & Ritual Orang Jawa (2010) menyatakan, sega golong berupa nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola tenis. Oleh nenek moyang orang Jawa, ubarampe ini dimaksudkan untuk melangsungkan kebulatan tekad yang manunggal atau golong gilig. Soal kebulatan tekad ini, pada saat menggelar selamatan, orang Jawa biasanya menyebutnya dengan istilah “tekad kang gumolong dadi sawiji”. Dengan ubarampe tersebut, diharapkan agar orang yang membuat selamatan, dalam menapaki setiap perjalanan waktu untuk mengarungi kehidupan, selalu selamat dan berhasil meraih apa yang dicita-citakan.

Dalam nuansa dan pemaknaan yang berbeda, sega golong juga hadir dalam sajen perkawinan dalam masyarakat Jawa. Tim Rumah Budaya Tembi dalam buku 27 Resep Sajian Perkawinan Pasang Tarub Jawa (2008) menyebutkan, sajen sega golong menggambarkan dua insan yang mempunyai niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling memberi dan menerima. Istilah golong lutut di dalam bahasa Jawa kuno mengacu kepada hubungan suami istri atau intercourse.

Oleh karena itu, sajen sega golong diwujudkan dalam bentuk sesajen berupa dua buah nasi golong yang masing-masing dibalut telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi, dan dilengkapi dengan jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara (sayur padamara). Khusus jangan menir dan jangan padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu pada cowek (cobek) yang terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah tampah.

Sebagai sebuah kuliner yang lekat dengan budaya Jawa, sega golong juga disebut dalam Serat Centhini. Manuskrip Jawa itu ditulis oleh tim yang dipimpin Adipati Anom Amangkunegara III (Sunan Pakubuwana V), yang ditulis dalam rentang tahun 1814–1823 M.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Penampakan pecel ayam, masakan khas Jawa yang juga disukai Ki Ageng Selo/Badiatul Muchlisin Asti

Potret Sega Golong Warisan Ki Ageng Selo

Sega golong warisan Ki Ageng Selo disebut juga dengan sega kepelan, karena sega atau nasinya di-kepel-kepel atau dibentuk bulat-bulat berukuran sebesar kepalan tangan. Sayur menir bayam, atau orang Jawa sering menyebutnya jangan menir, adalah masakan sayur bening berbahan bayam yang diberi butiran pecahan beras. Saat ini, butiran pecahan beras biasa diganti dengan serutan jagung muda. Sayur menir bayam tersebut termasuk menu rumahan (comfort food) masyarakat Jawa sehari-hari, yang juga mudah dijumpai di pelbagai rumah makan masakan Jawa.

Adapun pecel ayam bukan masakan berbahan ayam yang diolah dengan bumbu sambal kacang atau yang populer juga dengan sambal pecel. Namun, pecel ayam versi Jawa ini adalah olahan berbahan ayam yang dimasak dengan santan dan racikan bumbu khusus.

Kemudian trancam terong adalah terong mentah yang diurap dengan bumbu kelapa. Dalam perkembangannya, bahan pembuatan trancam mengalami modifikasi dengan menggunakan berbagai macam sayuran mentah, seperti mentimun, kecambah kedelai, daun kemangi, dan petai cina.

Sega golong dengan sajian lengkap seperti itu hingga saat ini masih ditradisikan oleh Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta, mengingat bila ditelusuri secara silsilah, Ki Ageng Selo merupakan leluhur mereka.

  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo

Hidangan Sarat Filosofi

Chef Vindex Tengker dalam buku Ngelencer ke Yogyakarta (2017) menyatakan, disebut sega golong karena sajian ini sarat dengan nilai filosofi Jawa yang tinggi. Terdiri dari nasi bulat (sega golong), jangan menir, pecel ayam, telur, dan sayur mentah (trancam).

Leluhur Jawa memang senang dengan simbolisme atau perlambang sebagai pesan moral yang diwujudkan secara tersirat dalam sebuah hidangan. Nasi yang dibentuk bulat melambangkan kebulatan tekad bila menginginkan sesuatu agar rezeki yang datang bergolong-golong atau bergulung-gulung (melimpah ruah). Sayur bening bayam melambangkan kebersihan hati dan pikiran dalam menjalani hidup, sedangkan pecel ayam dan trancam melambangkan bersatunya jiwa manusia dengan alam.

Minggu (1/12/2024), saya bekerja sama dengan Erni Iswati dari Dapoer Erni mengadakan uji resep hidangan kegemaran Ki Ageng Selo ini. Hasilnya, sebuah hidangan yang sangat istimewa. Menurut saya, sangat potensial bila sega golong pecel ayam ini diangkat menjadi menu kuliner di resto atau rumah makan. Tujuannya, agar hidangan penuh filosofi ini bisa dikonsumsi kapan saja seseorang ingin. 


Referensi:

Giri, Wahyana. (2010). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Latief, Tuty. (1975). Resep Masakan Daerah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Sunjata, Wahjudi Pantja. (2014). Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tengker, Chef Vindex. (2017). Ngelencer ke Yogyakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Rumah Budaya Tembi. (2008). 27 Resep Sajen Perkawinan Pasang Tarub Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Anggrek.
Wawancara dengan KRT. Abdul Rakhim, juru kunci makam Ki Ageng Selo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/feed/ 0 45436
Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/ https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/#respond Fri, 27 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42748 Getuk (bahasa Jawa: gethuk) merupakan kuliner tradisional khas Jawa berbahan ketela. Di pelbagai daerah di Jawa, utamanya Jawa Tengah, dijumpai sejumlah getuk dengan ciri khas masing-masing. Jika ada getuk trio Magelang, getuk goreng Banyumas, dan...

The post Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek appeared first on TelusuRI.

]]>
Getuk (bahasa Jawa: gethuk) merupakan kuliner tradisional khas Jawa berbahan ketela. Di pelbagai daerah di Jawa, utamanya Jawa Tengah, dijumpai sejumlah getuk dengan ciri khas masing-masing. Jika ada getuk trio Magelang, getuk goreng Banyumas, dan getuk kethek Salatiga, maka Kabupaten Grobogan punya getuk blondo.

Getuk blondo memang sudah populer di Grobogan sejak lama. Saat saya kecil sekitar tahun 1980-an, saya sudah mengenal getuk yang dinikmati dengan blondo itu. Seiring waktu, banyak penjual getuk blondo yang meninggal dan tidak ada generasi penerusnya. Jadilah sejak itu, saya tak lagi menjumpai kudapan lezat tersebut.

Namun, beruntung saat ini getuk blondo masih tetap eksis. Getuk blondo masih bisa dijumpai meski lumayan langka. 

Salah satu penjual getuk blondo khas Grobogan yang saya temui bernama Sugeng Purnomo (43) atau akrab disapa Kang Sugeng. Bersama istrinya, Suparti (43), warga Dusun Jiret, RT 01 RW 03, Desa Jetak Sari, Kecamatan Pulokulon itu setiap hari memproduksi dan berjualan getuk blondo.   

Dibuat dari Resep Warisan Nenek

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengunjungi lapak Getuk Blondo Kang Sugeng yang berada di Jalan Ki Ageng Selo, Dusun Gatak, Desa Sembungharjo, Pulokulon. Saat saya datang, Kang Sugeng menyambut saya ramah.

Tak lama kemudian, dengan sigap ia meracikkan seporsi getuk blondo pada kertas minyak yang dialasi daun pisang. Irisan getuk berwarna kuning dan cokelat itu ditaburi kelapa parut dan blondo. Topping (pugas) blondo inilah yang membuat getuk ini populer dengan sebutan “getuk blondo”.

Getuk blondo Kang Sugeng bercita rasa enak, lezat, dan lembut saat dikunyah. Parutan kelapa dan blondonya membuat rasa legitnya autentik. Kang Sugeng mengaku memerhatikan kualitas pembuatan getuk maupun blondonya.

Salah satu rahasia getuk yang enak, menurut Kang Sugeng, berasal dari ketela yang berkualitas. Ia mengambil ketela dari para petani di pegunungan, yang ketelanya terkenal berkualitas dan segar. Lalu blondonya juga terbuat dari kelapa pilihan yang semanten alias tidak terlalu tua dan pas saat dibuat santan. Karena kalau kelapanya terlalu tua, rasa blondo tidak bisa manis aromatik. Begitu penjelasan Kang Sugeng kepada saya soal rahasia di balik cita rasa getuk blondonya.

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Harga satu porsi getuk blondo ala Kang Sugeng hanya dua ribu rupiah/Badiatul Muchlisin Asti

Blondo memang terbuat dari santan yang dimasak dengan api besar di wajan. Setelah kadar air menyusut, api dikecilkan dan santan diaduk bila sudah mulai menggumpal. Gumpalan-gumpalan santan berwarna cokelat itulah yang disebut blondo. Rasanya legit. sehingga sangat nikmat dijadikan pelengkap makan getuk yang lembut.

Kang Sugeng sendiri mulai merintis usaha getuk sejak tahun 2016. Sebelumnya, ia sempat berjualan es dawet di Kudus. Kemudian memilih pulang dan membuka usaha getuk.

Pertimbangannya memilih getuk, karena getuk termasuk kudapan lintas musim, yang bisa dinikmati saat musim kemarau maupun musim hujan. Tidak seperti berjualan es dawet yang hanya laku keras waktu musim kemarau, tetapi sedikit pembeli di musim hujan. Selain itu, ia juga merasa memiliki kemahiran membuat getuk blondo, yang ia peroleh dari resep warisan neneknya dari jalur ibu. Dari resep warisan itulah, Kang Sugeng bisa membuat getuk blondo yang enak. 

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Lapak Kang Sugeng di acara Car Free Day Purwodadi/Badiatul Muchlisin Asti

Dari Jualan Keliling hingga Mangkal

Saat awal-awal merintis usaha getuk, Kang Sugeng sempat berjualan keliling dari kampung ke kampung. Namun, hal itu hanya dilakoninya selama tiga bulan. Setelah itu, Kang Sugeng memilih berjualan mangkal di suatu tempat.

Saat ini, Kang Sugeng memiliki dua lapak. Lapak pertama berada di Jalan Raya Panunggalan, Desa Jetaksari, Pulokulon, tepatnya di sebelah Yogya Mart. Lapak kedua di Jalan Ki Ageng Selo, Gatak, Sembungharjo, Pulokulon, di sebelah utara Pasar Gatak. Jika di lapak pertama ditunggui istrinya, Kang Sugeng menjaga lapak kedua.

Kang Sugeng bersyukur bahwa getuk blondonya banyak yang menyukai, sehingga ia memiliki para pelanggan setia. Seperti saat saya berkunjung ke lapak Getuk Blondo Kang Sugeng di Gatak, ada seorang pelanggan bernama Widodo (45)—seorang pegawai koperasi. Kepada saya, Widodo mengaku sudah berlangganan getuk blondo Kang Sugeng sejak awal Kang Sugeng membuka lapak. Menurutnya, getuk buatan Kang Sugeng enak, termasuk juga blondonya.

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Kang Sugeng (kanan baju batik) sedang melayani pelanggan setianya/Badiatul Muchlisin Asti

Selain sehari-hari mangkal di kedua lapak tersebut, Kang Sugeng dan istri setiap hari Minggu menyempatkan khusus berjualan atau membuka lapak getuk blondo di arena Car Free Day (CFD) Jalan R. Soeprapto, kota Purwodadi. Di CFD, Kang Sugeng juga membuka dua lapak, yaitu di depan pintu masuk toko swalayan Luwes dan di sebelah utara perempatan Diskominfo.     

Berkat keaktifan Kang Sugeng berjejaring dan sharing dengan para pelaku UMKM di Kabupaten Grobogan, omzet penjualan getuknya secara perlahan mengalami kenaikan. Kang Sugeng mengaku mengalami banyak kemajuan, utamanya pada kapasitas produksi getuknya. Bila sebelumnya ia hanya membuat getuk dari 25 hingga 30 kg ketela, kini setiap minggu ia bisa menghabiskan getuk dari 50 kg ketela.  

Kang Sugeng berharap usahanya semakin maju. Kelak getuk blondonya bisa naik kelas dengan kemasan yang lebih menarik, sehingga bisa menjadi salah satu pilihan oleh-oleh khas Grobogan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/feed/ 0 42748
Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/ https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/#respond Wed, 17 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42356 Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung...

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya agak malas kalau disuruh mengantre bubur krecek untuk sarapan orang rumah. Alasannya sederhana, saya jarang mendapati sayur krecek yang enak versi lidah saya. Sebagian besar bubur krecek yang pernah saya cicipi rasanya cenderung hambar. Plus kuahnya terbilang agak encer.

Apalagi kalau ketambahan bungkus yang digunakan untuk mengemas bubur tidak diberi tambahan daun pisang yang agak layu. Lha wong diberi tambahan pelapis daun pisang saja kuah kreceknya bisa tembus sampai ke kertas makan, kok. Terlebih jika buburnya cuma dibungkus dengan kertas minyak  berwarna cokelat itu. Selain bubur akan langsung terkena lapisan plastik pada bungkus, bisa-bisa rembesan kuah kreceknya jadi lebih banyak. Kalau sudah begini, sesampainya di rumah, ada kemungkinan kuah sayur kreceknya bisa menyusut sampai habis. 

Meski terkesan sepele, tetapi hal-hal yang demikian membuat saya cukup malas untuk membeli bubur krecek sebagai menu sarapan. Apalagi kalau orang rumah maunya bubur yang masih panas. Mau makan di tempat, kok, kasihan sama simbah yang sudah pakai alat bantu jalan. Mau dibawa pulang harus sabar dengan antrean yang selalu mengular. Karena sering merasa sayang akan kuah krecek yang kerap merembes, biasanya saya membawa rantang empat tingkat.

Selain mengurangi produksi sampah harian, minimal kuah kreceknya tidak ada yang bocor. Namun, karena saya bisanya bawa sepeda motor, jadinya kalau beli bubur dengan rantang harus dibantu ibu. Sayangnya, ketidaksukaan saya untuk mengantre bubur terbentur pada kondisi nenek dan ibu yang kini tengah sakit. Jadi, perkara beli bubur untuk sarapan harus saya lakukan sendiri. dan belinya harus yang agak jauh dari rumah.

Mengapa demikian? Soalnya ibu dan nenek saya lebih menyukai bubur buatan Mbah Reso. Lebih tepatnya, ibu hanya berselera makan kalau buburnya didapat dari warung yang beralamatkan di di Jalan Bantul Km. 7,5, Sewon, Bantul, Yogyakarta itu. Mbah Reso sendiri merupakan nama pemilik kedai gudeg dengan menu andalan berupa bubur dan mangut lele tersebut.

  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso
  • Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso

Gudeg Mbah Reso, Andalan Warga Bantul

Ada yang penasaran kenapa namanya Gudeg Mbah Reso, tetapi menu utamanya malah bubur dan mangut lele? Nah, di sinilah letak keunikannya. Ternyata bubur buatan Mbah Reso ini menyediakan gudeg basah sebagai salah satu tambahan menu pendampingnya. Jadi, dalam seporsi bubur di kedai ini, selain diberi sayur krecek juga bisa minta tambahan gudeg basah. 

Awalnya saya merasa sedikit aneh, kok, bisa-bisanya bubur dikasih tambahan gudeg. “Apa enggak enek?” gumam saya ke ibu suatu pagi. Ternyata setelah dicoba, ya, enak-enak saja. Rasanya jadi seimbang antara gurihnya bubur, asin pedasnya sayur krecek, dan manisnya gudeg krecek. Selain tipikal bubur yang kental dan gurih, cita rasa sayur krecek di sini memang enak. Cocok buat pencinta cita rasa asin dan pedas yang agak kuat.

Menariknya lagi, seporsi bubur di sini hanya dibanderol dengan harga Rp5.000 saja. Memang agak mahal kalau dibandingkan bubur krecek di dekat rumah, yang seporsinya bisa dibawa pulang dengan tiga lembar uang seribuan saja. Akan tetapi, kalau sudah membandingkan rasanya, niscaya selisih dua ribu tak lagi jadi pertimbangan untuk memilih bubur yang terletak di kawasan Monggang ini.

Setelah beberapa kali mencicipi bubur kreceknya, ternyata perut saya lebih memilih untuk sarapan dengan nasi. Kalau cuma sarapan bubur, selang dua atau tiga jam ternyata rasa lapar sudah kembali mendera. Alhasil sebelum jam makan siang saya harus kembali memasak. Karena rasa malas kadang datang secara tiba-tiba, itulah sebabnya saat kembali ke Mbah Reso saya lebih memilih untuk membawa pulang sekalian mangut lelenya.

Sejak pertama kali berkenalan, mangut lele Mbah Reso menjadi favorit saya. Kalau teman-teman penggemar mangut lele pedas, kemungkinan besar akan cocok dengan mangut lele dari warung yang bangunannya bercat putih tersebut. Bumbu lele yang medok dan meresap, ditambah aroma smokey yang menguar pada lele membuat mangut buatan Mbah Reso terasa begitu nglawuhi. Bahkan, sisa kuahnya saja terasa enak. Tapi memang, cocoknya buat “teman” makan besar. Kalau hanya sekadar digado rasanya masih keasinan.

Menu Pelengkap Lainnya yang Harus Dicoba

Selain bubur krecek dan mangut lele, saya juga suka beli tambahan sayur untuk pelengkap bubur krecek. Biasanya saya memesan sayur krecek, gudeg basah, mi goreng, gorengan, dan kudapan baceman, seperti tahu bacem dan koro bacem. Kalau ibu saya lebih suka menyantap bubur dengan tambahan mi goreng, sedangkan bapak saya senang dengan tambahan gudeg dan baceman koronya.  

Sementara saya pribadi lebih menyukai tambahan kuah dan tahu plempung (tahu pong) yang terdapat dalam sayur kreceknya. Menyantap bubur hangat dengan kuah pedas menjadi kombinasi enak versi lidah saya. Apalagi kalau makannya ditambah dengan mendoan, maka bubur krecek akan jadi sarapan yang paripurna. Namun,kalau disuruh memilih, ya, saya tetap tim sarapan pakai nasi. 

Kalau teman-teman penasaran dengan bubur Mbah Reso, saran saya jangan datang lebih dari pukul tujuh pagi. Soalnya waktu segitu biasanya buburnya sudah habis. Saya pribadi kalau dapat titah untuk antre bubur, pukul 06.00 kurang sudah keluar dari rumah. Minimal biar masih kebagian semua incaran olahan tangan Mbah Reso. 

Oh, ya. Warung Gudeg Mbah Reso juga menyediakan tempat untuk ngiras, loh. Sebutan untuk langsung makan di sana. Bagaimana, ada yang tertarik mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Demi Sebungkus Bubur Gudeg Mbah Reso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/demi-sebungkus-bubur-gudeg-mbah-reso/feed/ 0 42356
Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/ https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/#respond Fri, 28 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42254 Di Jalan Niaga, kau bisa memilih makanan apa pun. Kawasan kuliner itu terletak di kota Pamekasan, Madura. Seperti yang kulakukan malam itu. Malam itu mendung tak membuat tubuhku kedinginan. Madura memang identik dengan cuaca panas....

The post Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Jalan Niaga, kau bisa memilih makanan apa pun. Kawasan kuliner itu terletak di kota Pamekasan, Madura. Seperti yang kulakukan malam itu.

Malam itu mendung tak membuat tubuhku kedinginan. Madura memang identik dengan cuaca panas. Apalagi perubahan iklim memang sudah terasa. Keringat malah mengucur di badan. Rasa lapar dan lelah membuatku tak menjalankan pekerjaanku dengan benar. 

“Kamu kok gemetar?” celetuk temanku.

Aku hirau. Padahal pekerjaan harus aku bereskan malam ini. Namun, bunyi perut sudah seirama dengan guntur yang menggelegar, menimbulkan simpati temanku.

“Aku ada tempat makan langganan di Niaga kalau kamu mau,” tawar temanku. Aku mengangguk tanpa memikirkan makanan apa yang akan kami santap.

Usai bekerja, dengan temanku aku berangkat ke Niaga. Cuaca tak mendukung kala itu. Tak ada bulan dan bintang. Hanya kilat yang kerap berkelip di langit.

“Pakai motormu, ya,” ucap temanku. “Aku ambil mantel dulu untuk jaga-jaga. Takut hujan.” 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Gerbang kawasan kuliner Jalan Niaga Pamekasan/Samroni

Kuliner Tengah Malam

Di jalan, kami mendapati Kota Pamekasan telah sepi. Hanya beberapa toko kelontong dan warung makan yang masih buka. Tak ada rintangan macet. Cuma takut hujan turun tiba-tiba. Kami melalui Jalan Trunojoyo, Alun-alun Arek Lancor, lalu Niaga. Perjalanan itu ditempuh enam menit saja. Kecuali jika jalan macet.

Warung-warung makan masih terang-benderang meskipun jarum jam sudah menunjuk angka dua belas. Niaga didominasi warung lalapan, nasi goreng, sate, dan beberapa lainnya kedai seafood. Pamekasan memiliki banyak makanan khas, seperti kaldu kokot, soto keppo, campur lorjhu’, dan rujak kelang.

Kami tiba di tempat. Aku memarkir motor pinggir jalan, di antara dua warung.

“Kita makan ini, ya. Kamu pasti belum pernah mencobanya,” ujar temanku yang menganggapku udik karena tak tahu banyak mengenai makanan. Aku mengangguk pasrah. 

Aku memang bukan orang yang selalu mencoba makanan baru. Apa pun yang ada, selagi bisa dimakan, pasti kumakan. Lagian aku lapar dan badan sudah payah.

Warung itu sangat sederhana. Di tenda kuning warung tertulis: Sate Lalat Pak Su. Sate lalat. Nama yang aneh. Tapi sate lalat adalah kuliner khas Pamekasan yang tak dijumpai di daerah Madura lainnya. Lalat dijadikan sate, gumamku kala itu.

“Kamu mau sate apa?” tanya temanku yang sudah memesan sate kambing. 

“Sapi,” jawabku singkat. “Kalau makan daging kambing kepalaku pusing.” Selain kambing dan sapi, warung itu juga menyediakan daging ayam dan kelinci.

“Kamu darah tinggi?” Temanku memastikan. Aku tidak tahu pasti. Lalu obrolan kami terhenti. 

“Silakan duduk yang manis,” ucap seorang pria paruh baya agak genit.

Kami tersenyum dan duduk bersandarkan dinding, entah bekas toko atau apa. Bangunan itu terlihat tua. Kami duduk di atas trotoar. Lesehan di karpet motif bunga warna merah, lusuh, dan koyak.

Sambil menunggu, mataku terpaku melihat gemulai tangan kanan Sofyan (30) mengipasi daging sate dengan kipas bambu. Tampak tak bertenaga, tetapi cukup stabil. Tangan kirinya sibuk membolak-balikkan sate lalat. Di tungku terlihat teko alumunium berisi air yang dipanaskan. Sebuah kipas angin usang baru digunakan jika tangannya pegal.

Sofyan memakai celana kelabu dan baju Sakera pudar. Di kanannya terdapat saus sate, kopi-susu, dan rokok yang menemaninya dari rasa kantuk. Rekan kerjanya juga sibuk membantu.

Pesanan tiba delapan menit kemudian. Sate lalat dan lontong yang terpotong-potong terhidang di piring beserta teh hangat. Aku baru paham mengapa sate itu bernama ‘sate lalat’. Bukan karena terbuat dari lalat, melainkan lantaran ukuran dagingnya sekecil lalat. Barangkali karena ukuran cilik itulah yang membuat sate lalat cepat masak dan lekas tersaji. Saus kacangnya lumer di atas sate. Sambalnya terpisah. Aku aduk sausnya. Teksturnya tak terlalu kental. 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Sofyan memakai celana kelabu dan baju Sakera pudar. Di kanannya terdapat saus sate, kopi-susu, dan rokok yang menemaninya dari rasa kantuk. Rekan kerjanya juga sibuk membantu/Samroni

Menyantap Sate Lalat

“Aku bingung gimana cara memakan sate lalat yang benar,” ucapku. “Takut ujung sujennya yang tajam menusuk lidahku.” 

“Sebenarnya cara menyantap sate, sate apa pun, yang benar menurut Mien Ahmad Rifai, yaitu dengan melepaskan semua potongan dagingnya dari sujen terlebih dahulu, lalu makan,” jawabnya sambil tertawa. 

Aku menyeringai dan mencoba memakannya dengan caraku sendiri: Menarik potongan-potongan dagingnya dengan gigi, lalu melahapnya. Ini cara makan yang simpel, bersahaja.

Dari rasa dan cara membuatnya, sate lalat sama dengan sate Madura lainnya. Konon, sate Madura lahir saat Aryo Panoleh berkunjung ke rumah kakaknya, Batara Katong, penguasa Ponorogo. Di sana, Aryo Panoleh disuguhi makanan dengan bahan dasar daging berbumbu yang ditusuk lidi. Arya Panoleh menolak karena wujudnya aneh. Namun, setelah kakaknya bercerita bahwa makanan itu digemari para pendekar, akhirnya ia mau menyantap sate. Ia membawa resep sate ke Madura dengan mengubah komposisi sausnya.

Walau sate lalat lebih kecil daripada sate Madura lainnya, aku mencoba telaten memakannya. Tusuk demi tusuk kulahap dengan saksama supaya terasa lebih nikmat. Ukurannya yang supermini juga mempermudah makan sate ini. Sate lalat Pak Su memiliki tingkat kematangan sempurna, cukup gurih, dan semua itu ditopang oleh ukuran dagingnya. Berbeda denganku, temanku memakan sate lalat seperti mencocol kentang ke saus. 

Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat
Sate lalat tersaji di piring/Samroni

Di kejauhan, aku melihat bekas piring-piring kotor berantakan. Di depan kami, garpu dan sendok bergabung dengan sedotan dalam satu wadah. Desis kompor dan deru motor melayang-layang di udara. Dan kami serius menikmati sate lalat beserta segala kegaduhannya. 

Di piringku, dua puluh tusuk tinggal delapan. Aku berusaha meresapi bumbu sausnya di dalam mulutku. Kacang, garam, micin, bawang, cabai, dan kecap bersatu dalam rasa yang tertinggal di lidah. Lalu rokok. Pelengkap yang tak mungkin kami abaikan. 

“Kenapa pusat kuliner ini dinamai ‘Sae Salera’?” tanyaku sambil mengisap rokok. 

“Ini penamaan yang salah kaprah.” Temanku menjelaskan, “Dalam bahasa Madura, sae salera berarti ‘badan yang bagus’. Mestinya kan ‘sae eber’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘selera bagus’.” 

Usai sebat, kami membayar tagihan. Harga sate lalat cukup murah. Tiga belas ribu per porsi, sudah termasuk lontongnya.

Kami beranjak. Dua sejoli menggantikan tempat kami. “Ternyata hujan enggak turun,” ucapku.

Motor kami melaju perlahan. Aku mulai berpikir, menarik juga mencoba berbagai kuliner di Pamekasan. Agar tak kudet. Agar kutahu khazanah gastronomi di tanah kelahiranku sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Bersahaja Menikmati Sate Lalat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-bersahaja-menikmati-sate-lalat/feed/ 0 42254
Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/ https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/#respond Tue, 21 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41976 Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas...

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas rapat kepanitiaan sampai tengah malam. Kami menikmati Coto Pintu Dua yang menyediakan semangkuk kecil coto, ketupat gratis, dan bebas tambah kuah. Kami cukup membayar sekitar Rp15.000 untuk sebuah mangkuk daging rebus berempah, tempat yang hangat, dan cerita yang hidup di tengah malam. 

Saya juga menikmati rasa coto kuah putih. Di Makassar, kita dengan mudah mendapatkan aneka variasi bumbu coto, seperti kuah putih yang gurih dari kacang tanah, coto dengan kuah yang pekat, atau juga coto dengan cita rasa manisnya yang khas. Di kota ini, coto menghidupi seluruh kalangan. Kita masih dengan mudah menikmati semangkuk Coto Daeng Sutte seharga Rp8.000, sampai coto dengan Rp30.000-an per mangkuknya. 

Fakta-fakta Unik tentang Coto

Begitu mendarah dagingnya makanan ini di keseharian orang Makassar, konon coto dipercaya telah hidup sejak zaman Kerajaan Bantaeng. Semuanya berawal ketika seorang juru masak bernama Toak memanfaatkan jeroan kerbau yang kala itu jarang sekali digunakan sebagai bahan masak hidangan kerajaan. Jeroan-jeroan tersebut kemudian ia ramu dengan berbagai rempah lokal dan sambal tauco dari pedagang Tiongkok di masa itu. Kini, coto tak hanya berisi jeroan, tetapi juga daging. Meskipun begitu, orang-orang banyak menyukai coto dari isian jeroannya. Saya pun selalu memesan coto dengan paru kering ataupun daging sekali waktu.

Dua tahun lalu, saya sempat terlibat dalam penyusunan buku Ensiklopedia Pangan Olahan SulSelBar. Salah satu makanan yang tidak terlewat adalah coto khas daerah Makassar. Tidak seperti tanah Jawa, sayangnya kuliner yang begitu beragam dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih sangat jarang dituliskan. Bahkan sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kota Palopo, saya kesulitan mencari rujukan literasi, bahkan di perpustakaan kota sekalipun. Kebanyakan pengetahuan tentang kuliner lokal baru diwariskan secara lisan, turun temurun—yang entah kapan akan hilang tak bersisa, jika tidak dijaga dan dituliskan. 

Dari ensiklopedia ini, saya mengetahui beberapa fakta unik tentang coto, seperti fakta kecil, bahwa makanan ini awalnya diperuntukkan bagi warga miskin di sekitar istana. Mengingat bahan utama pembuatan makanan ini berupa aneka jeroan, salah satu bagian tubuh kerbau yang tidak dilirik sebagai bahan hidangan kerajaan.

Semangkuk Coto Abah

Beberapa hari lalu, selepas menyelesaikan pekerjaan lapangan di daerah Antang, saya hendak pulang ke rumah saat siang. Di jalan, saya melihat papan besar dengan aksen warna merah dan tulisan “Coto Abah”, salah satu merek coto dengan cabang yang cukup masif di Makassar.

Baru sekitar 50 meteran, aroma coto yang kaya rempah dan jam makan siang membuat saya bergegas memarkirkan motor dan masuk ke warung sederhana ini. Di dalam, sebuah menu cukup besar dipajang tepat di dinding belakang kasir. Seporsi coto sedang dibanderol Rp12.000, sedangkan untuk mangkuk besar Rp18.000.

“Bu, pesan satu coto mangko’ besarta’, isinya paru to’ ,” pinta saya. To’ merupakan istilah makassar pengganti “saja” atau “hanya”.

“Oh, iya,” tanggapnya singkat, lalu menuju dapur yang terletak di depan toko. 

Saya pun beranjak, mencari kursi kosong di antara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka. Saya menemukan satu kursi kosong di antara deretan meja panjang. Hal lain yang kusuka dari warung makan sederhana ini adalah kita berkesempatan duduk bersama orang asing. Sembari sesekali membantu satu sama lain—mengoper tisu, memberi sambal, atau kecap manis. Seperti hari ini, saya duduk semeja dengan sepasang orang tua dan tiga anaknya yang masih kecil. Mungkin berusia sekitar 6–12 tahun. 

Kelebihan lain dari warung coto adalah penyajiannya yang cepat. Tidak sampai lima menit, semangkuk coto dengan paru kering yang menggiurkan sudah tersaji di depanku. Langkah pertama adalah mencicipi kuahnya. Coto Abah kebetulan menggunakan kuah putih seperti Coto Fly Over dan Coto Abdesir. Biasanya, warna putih dari kuah coto ini berasal dari perpaduan air beras dan santan. Beberapa resep mengganti santan dengan susu. 

  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan
  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan

Secara pribadi, saya begitu menikmati coto dengan isian paru. Beberapa warung coto memiliki teknik pengolahan parunya sendiri. Ada yang merebus basah, ada pula yang menggoreng paru mereka sampai kering dan “kriuk”. Saya lebih menyukai paru kering seperti cara pengolahan di warung Coto Abah ini. Parunya terlihat mengambang di air coto putih yang tampak kental, begitu menggugah selera. 

Sama seperti di setiap warung coto kota ini, warung Coto Abah juga menyediakan sambal tumis, kecap manis, semangkuk penuh irisan jeruk nipis, dan ketupat yang tertata rapi di piring-piring rotan. Lidah orang Makassar sangat akrab dengan jeruk nipis. Segala jenis makanan terasa kurang lezat tanpa kehadiran rasa kecut dari jeruk nipis. Kami senang dengan kehadiran jeruk nipis di soto, coto, sate, sup konro, sop saudara, bahkan nasi goreng.

Bertahun-tahun tinggal di kota ini, saya sudah terbiasa dengan jeruk nipis di aneka makanan. Bahkan saya juga kerap menawarkan warung coto legendaris kepada teman-teman dari luar Makassar ketika mereka datang berkunjung. Bagi orang-orang yang tinggal di kota ini, coto bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas yang hadir di setiap momen keseharian. Coto selalu membangkitkan kerinduan ketika berada jauh dari Makassar, menjadi yang selalu dicari dalam perantauan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/feed/ 0 41976
Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/ https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/#respond Thu, 18 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41717 Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup...

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup dekat dengan golongan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, uwi hingga tanaman garut atau nggarut. Selain itu di sekitar tempat tinggal saya, sumber karbohidrat nonberas masih cukup mudah ditemui.

Bagi saya pribadi, karbohidrat tidak melulu harus bersumber dari satu atau dua centong nasi. Soalnya diversifikasi karbo yang bersumber dari umbi tidak kalah enaknya, kok. Apalagi kalau dinikmati lengkap dengan kombinasi lauk selayaknya makan nasi. Kalau disantap dengan nilai gizi yang seimbang sesuai anjuran kesehatan, rasa-rasanya tidak perlu khawatir yang berlebihan saat menemui kelangkaan beras di pasar atau supermarket. Sebab selain nasi, masih banyak opsi karbo lain yang bisa dinikmati. 

Singkong, misalnya. Dilansir dari Kompas.com, dokter dan ahli gizi masyarakat DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum. menjelaskan bahwa dalam 100 gram nasi mengandung 129 kkal kalori dengan 27,9 gram karbohidrat, sedangkan 100 gram singkong mengandung sekitar 160 kkal dengan 38,06 gram karbohidrat. Dengan harga yang jauh lebih rendah dari beras, seperti halnya nasi, singkong juga dapat diolah menjadi beragam sumber karbohidrat yang enak dan mengenyangkan. Macam tak ada nasi, olahan singkong pun jadi. 

Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
Saya biasa memakan growol sebagai pengganti nasi, lengkap dengan sayur dan lauk/Retno Septyorini

Menikmati Growol, Pengganti Nasi yang Tak Kalah Enak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, singkong berhasil diolah menjadi beragam makanan yang cukup eksis di kancah lokal. Selain ada yang diolah menjadi camilan bercita rasa manis, seperti getuk, gatot, dan tiwul. Ada pula yang diolah khusus menjadi pengganti karbo, di antaranya telo kukus, telo liwet (singkong yang dimasak dengan santan gurih), tiwul gurih (biasa dijual paketan bersama dengan urap dan ikan asin), mie lethek, dan growol. Kudapan yang disebut terakhir adalah olahan singkong khas Kulon Progo.

Lini penjualan growol bahkan sudah sampai Pasar Bantul. Salah satu pasar tradisional yang kerap menjadi rujukan saya untuk berbelanja sayur. Jadinya, selain ngliwet telo, sampai sekarang growol masih menjadi alternatif karbohidrat yang acap kali tersedia di rumah. Sayangnya, saya sendiri belum pernah melihat pembuatan growol secara langsung. Sedari dulu tahunya hanya lokasi jualan growol di pasar tersebut.

Growol sendiri dibuat dengan mengolah singkong kupas yang direndam selama beberapa hari. Saat proses perendaman, air akan diganti setiap hari. Selanjutnya untuk menghilangkan aroma kecing (asam), singkong dicuci berulang kali sampai bersih, Setelah itu singkong masuk ke tahap penggilingan, pengukusan, dan pencetakan. Di Pasar Bantul, growol utuh dicetak dalam bentuk menyerupai tabung dengan diameter sekitar 20 cm. Harga jual growol tergantung besar kecilnya ukuran cetakan.

Tak hanya utuhan, growol juga dijual dalam bentuk potongan dengan harga mulai Rp2.500. Selain dimanfaatkan sebagai pengganti nasi, growol di rumah saya sering diolah dengan cara digoreng dalam balutan tepung asin yang tipis. Bisa dinikmati bersama dengan lauk yang ada tersedia di rumah. Sekilas bentuk dan tekstur growol mirip getuk. Keduanya sama-sama empuk dan tanpa serat, tetapi hanya beda di cita rasa saja. Kalau getuk condong ke manis, sedangkan growol cenderung tawar dengan sekelebat aroma asam. 

Di Bantul, growol biasa dijual bersama dengan pasangannya yang bernama kethak. Kethak merupakan kudapan yang dibuat dari ampas atau sisa pembuatan minyak kelapa (blondo), dengan ditambah bumbu manis maupun asin. Oleh karena itu di Pasar Bantul juga terdapat dua jenis kethak, yakni kethak manis dan kethak asin. Karena bukan penggemar kudapan manis, saya cenderung membeli kethak asin sebagai pelengkap growol. Seporsi kethak gurih biasa dijual dengan harga Rp5.000. 

  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi

Manfaat Growol

Meski terlihat sederhana, ditengarai growol baik dikonsumsi bagi penderita diabetes karena menawarkan indeks glikemik (IG) yang rendah. Indeks glikemik merupakan penanda yang digunakan untuk mengetahui seberapa cepat makanan yang dikonsumsi akan berpengaruh pada kenaikan gula dalam darah. 

Semakin tinggi indeks glikemik dalam suatu makanan, semakin cepat pula makanan tersebut menaikkan kadar gula dalam darah. Sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik suatu makanan, maka semakin lama pula reaksi makanan tersebut menaikkan gula darah. Tidak heran jika kini beragam makanan dengan indeks glikemik rendah mulai banyak diminati. Tujuan pokoknya sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh lonjakan gula darah. Termasuk si growol khas Kulon Progo ini. 

Karena sudah lumayan lama mengenal growol, saya sangat mengapresiasi kinerja para pembuat growol yang senantiasa berinovasi dari waktu ke waktu. Pasalnya dulu growol dikenal luas dengan sebutan growol kecing. Sesuai namanya, growol di masa lampau memang berbau asam yang cukup menyengat di hidung. Jadi, jangan heran kalau dahulu penggemar growol kebanyakan adalah orang tua atau lansia. Terutama mereka yang harus menjalani pola makan sehat agar kadar gula dalam darah tetap terjaga.

Seiring berjalannya waktu pula, belakangan bau kecing dari growol sudah banyak berkurang. Kalaupun ada, baunya hanya sepintas lalu saja. Di indra penciuman saya, saat ini bau asam dari growol tidak begitu mengganggu sehingga sama sekali tidak mengurangi selera makan saya untuk menikmatinya.

Sekiranya penasaran ingin mencicipi sensasi makan growol saat berkunjung ke Bantul, teman-teman bisa langsung menuju jalan di belakang Pasar Bantul. Kios growol tepat berada di selatan pintu belakang pasar, tepatnya pasar yang berada di sisi timur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/feed/ 0 41717
Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/ https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/#respond Mon, 25 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41470 Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di...

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di DeLoano Glamping, Purworejo. Sayangnya saya lupa nama mereknya. Sedang satu lainnya saya temui saat ada pameran produk UMKM yang dihelat di Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta. Namanya Samigiri Artisan Tea milik Ibu Surati. Meski berbeda merek, keduanya merupakan jenis teh premium dari Kulon Progo.

Kenapa saya menduga keduanya masuk kelas teh premium? Karena salah satu ciri termudah mengidentifikasi teh premium dapat dilihat dari daun teh yang mengembang sempurna saat diseduh. Selain itu, tehnya juga tidak menyisakan potongan batang. Aroma wanginya menyeruak di hidung. Pendek kata isinya murni daun teh saja.

Kalaupun ada jenis teh premium yang dicampur dengan aneka bunga atau buah kering, keduanya akan dipilih dan diproses dengan cara yang baik. Jadi, ketika diseduh dengan air hangat tanpa gula saja rasanya sudah enak. Tidak terlalu sepet seperti teh wangi atau teh tubruk pada umumnya.

Akan tetapi, sebelum berdebat lebih jauh, tentu kita harus menyadari kalau berbicara tentang teh itu berbicara pula perihal selera. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki preferensi rasa dan kesenangan masing-masing. Dalam hal ini tentu tidak ada yang benar dan salah. Tidak ada pula yang lebih baik atau sebaliknya. Namun, pada perut yang sudah tidak kuat dengan kombinasi asam pahitnya teh tubruk yang “leginastel” alias legi (manis), panas, dan kentel (kental) seperti perut saya, teh premium menjadi opsi yang lebih baik saat kangen ngeteh di pagi atau malam hari. 

Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
Contoh tanaman teh di perkebunan Nglinggo, Kulon Progo/Retno Septyorini

Mengenal Teh Gumilir Purwosari

Perkenalan saya dengan teh dari Kulon Progo ini bisa dikatakan karena ketidaksengajaan. Ceritanya Oktober tahun lalu saya dapat slot untuk mengikuti salah satu acara Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), yaitu Searah Rasa.

Dalam acara yang diampu oleh Komunitas Dje Djak Rasa tersebut, saya dapat sesi ke-5 dengan tema “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro”. Acara yang dihelat di Desa Wisata Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo tersebut menjadikan teh gumilir sebagai welcome drink. Sesi ngeteh pagi itu disajikan bersama satu olahan singkong khas Kulon Progo bernama geblek goreng. 

Saat itu fokus acara bukan bercerita tentang teh, melainkan membahas tentang Nok Santri. Sebuah menu khas Purwosari yang konon menjadi menu perbekalan pasukan Pangeran Diponegoro saat terdesak di kawasan Bukit Menoreh. Nok Santri sendiri merupakan set menu berisi nasi dengan lauk seadanya yang ditemukan di Purwosari, seperti tumis pepaya muda, urap sayur, tempe dan peyek gereh petek. Kalau banyak yang penasaran, kapan-kapan saya ceritakan lebih lanjut tentang menu yang kini menjadi daya tarik unggulan dari paket wisata di Desa Wisata Purwosari ini. 

Saat memasak Nok Santri inilah peserta acara Searah Rasa juga dikenalkan pada dua komoditas khas Kulon Progo yang lain, yakni kopi dan teh gumilir. Kami pun dipersilahkan untuk mencoba proses pengeringan teh dan kopi. Caranya dengan memanggangnya secara manual sampai tekstur keduanya menjadi agak kering. Di akhir sesi, teh dan kopi yang kami panggang ternyata sengaja dibagikan untuk para peserta. Senang rasanya membawa buah tangan yang sebagian proses produksinya sempat kami rasakan bersama-sama.

  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari

Siang itu, peserta tur juga diberi tips terkait cara menyeduh teh hijau yang benar. Kata pemandu yang mendampingi, “Untuk memaksimalkan manfaat antioksidan yang ada pada teh, seduh teh dengan air bersuhu sekitar 80 derajat. Bukan dengan air mendidih. Dengan cara demikian, selain tidak merusak manfaatnya, seduhan tehnya pun tetap enak dan tidak over pahit.”

Perkara seberapa lama proses menyeduhnya, itu balik lagi ke selera masing-masing. Kalau saya pribadi cukup dua sampai tiga menit saja.

Karena saya tidak punya termometer khusus, tetapi tetap menginginkan hasil seduhan teh yang enak, saya mengakalinya dengan mendiamkan sebentar didihan air rebusan yang akan saya gunakan untuk menyeduh teh. Selain untuk diseruput selagi hangat-hangatnya, saya kerap memanfaatkan teh untuk dibuat kombucha, sebutan untuk teh yang telah mengalami proses fermentasi oleh scoby (symbiotic culture of bacteria and yeast). Senang rasanya mendapati teh premium yang dipanen langsung dari kebunnya. 

Di akhir acara, saya baru ngeh kalau di sebelah pendopo yang kami kunjungi juga menyediakan berbagai opsi buah tangan khas Purwosari. Ada geblek siap goreng, wedang sari salak, aneka kletikan, legen (tidak selalu tersedia), serta kopi dan teh gumilir.

Kabar baiknya, teh gumilir khas Purwosari ini sudah dikemas dengan sangat baik. Jadi, wangun (pantas) banget kalau dijadikan opsi oleh-oleh usai mengeksplorasi salah satu desa wisata unggulan Kulon Progo tersebut. Harganya terbilang ramah di kantung pula. Belakangan produk lokal memang sudah sebagus itu.

Cara Memesan dan Menikmati Teh Gumilir

Bagi yang penasaran dengan cita rasa teh gumilir, bisa langsung memesannya via Instagram @gumilirtea. Di akun tersebut tersemat tautan yang dapat digunakan untuk memesan teh enak ini.

Karena ingin mengulang momen menikmati welcome drink seperti di awal acara Searah Rasa, akhirnya saya memutuskan untuk membawa serta dua pak teh gumilir. Lengkap dengan geblek siap goreng yang sudah dikemas dengan sangat baik oleh warga setempat. Saat itu teh kemasan 100 gram dibanderol dengan harga Rp20.000 saja, sedangkan geblek Rp10.000/pak. 

Oh, ya. Bagi para penikmat teh di mana pun teman-teman sedang berlabuh, jangan lupa minum tehnya ketika snacking time saja. Misalnya, dinikmati bersama dengan geblek goreng seperti yang disuguhkan pengurus Desa Wisata Purwosari. Bukan saat atau sehabis makan besar. Sebab kandungan tanin dan polifenol pada teh dapat mengikat protein dan zat besi yang terkandung dalam makanan. Sayang kalau niatnya makan sehat, eh malah kandungan gizinya jadi kurang terserap.

Jadi, gimana? Ada yang tertarik mencicipi wisata teh di Kulon Progo? Atau sekalian saja berkunjung ke Desa Wisata Purwosari supaya bisa sekalian menikmati Nok Santri?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teh-gumilir-dari-desa-wisata-purwosari/feed/ 0 41470
Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/ https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/#respond Tue, 05 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41288 Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan...

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan lokal Mollo hingga agenda makan bersama tertera di sana. 

Maklum, saya memang hobi kulineran. Sayangnya setelah dicermati dengan saksama, jadwal pameran tersebut ternyata berbarengan dengan rentetan agenda yang sudah saya susun jauh-jauh hari. Alhasil saya tidak berjodoh dengan helatan menarik tersebut. Duh!

Di luar dugaan, sebulan kemudian Galeri Lorong kembali mengunggah event serupa bertajuk Em He Tah, yang berarti “Mari Kita Makan”. Acara yang dihelat pada Minggu, 27 Agustus tahun lalu itu digawangi oleh Mbak Steffi. Seorang food science enthusiast yang akun Instagramnya sudah lama saya ikuti. Menariknya, dalam poster tersebut juga disematkan cerita di balik layar terkait pameran sekaligus demo dua resep masakan.

Ceritanya setahun belakangan Mbak Steffi dipercaya untuk mendampingi beberapa guru bimbingan belajar (bimbel) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang difasilitasi oleh Sunshine Project tersebut meliputi pengarsipan tanaman pangan lokal beserta resep-resep olahannya. Beragam tulisan dan foto yang terkumpul nantinya juga akan dibukukan. 

Saat artikel ini saya kirim ke Telusuri, buku yang berjudul Em He Tah tersebut sudah terbit. Kabar baiknya satu eksemplar di antaranya sudah ada di rak buku saya. Bukunya menarik sekali. Pegiat pangan lokal wajib punya! 

Pameran Pangan Lokal dan Demo Memasak

Kembali ke acaranya Mbak Steffi. Selain menawarkan pameran dan acara makan-makan, event dengan tiket masuk sebesar Rp65.000 ini ternyata juga dilengkapi dengan demo meracik dabu-dabu teri dan dabu-dabu alpukat. Sebagai orang yang gemar mencatat makanan dan perjalanan, tentu saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Apalagi saya belum berjodoh di event Galeri Lorong sebelumnya. 

Senang rasanya melihat event terkait pangan lokal banyak dihelat di Jogja. Tidak hanya memperluas kesempatan banyak pihak untuk mencicipi potensi pangan dari pelosok Nusantara dengan harga yang lebih terjangkau. Acara seperti ini juga dapat menjadi ajang pelestarian kekayaan pangan lokal kita. Karena hal yang tidak pernah dibicarakan, lambat laun akan hilang dari peradaban. Tidak terkecuali dengan ragam pangan lokal yang ada di sekitar kita.

Saking senangnya melihat acara makan-makan ini, saya sempat mengajak beberapa kawan yang kegemarannya seiring jalan dengan hobi saya untuk mengikuti acara ini. Sayangnya yang bisa ikut cuma satu orang saja, tetapi lumayanlah ada teman yang saya kenal untuk gabung di gelaran Em He Tah ini.

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Menikmati Jagung Bose

Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Sayangnya, meski berjarak 2,5 km saja dari rumah, nyatanya saya sempat wara-wiri mencari galeri yang beralamat di Jalan Nitiprayan, Dusun Jeblok RT 01 Dukuh 3, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta tersebut. Meski sudah dibantu Google Maps, saya sempat kebingungan mencari lokasi bangunan berdesain unik itu. 

Terlebih lagi letak Galeri Lorong terbilang cukup menjorok dari jalan utama. Plus tempat parkirnya juga agak masuk ke halaman. Setelah dua kali kebablasan barulah saya menyadari keberadaan galeri tempat pameran Em He Tah ini dihelat. Sesampainya di lantai dua, ternyata sudah banyak peserta yang duduk sembari menikmati berbagai olahan tangan Mbak Steffi. 

Setelah mengantre akhirnya seporsi jagung bose beserta “teman-temannya” sudah berada di pangkuan. Sore itu, lidah saya begitu gembira menyambut tiap sendok jagung bose yang saya nikmati bersama segarnya dabu-dabu teri. Beberapa suap berikutnya, saya selingi pula dengan menyeruput es asam timor. 

Tak lupa pula saya cicipi menu lain yang tersaji di samping bubur jagung khas Timor Tengah Selatan tersebut. Ubi ungu kukus bertekstur menul-menul itu sengaja saya colekkan dulu ke sambal lu’at, sebutan untuk sambal ulek segar yang difermentasi selama beberapa hari. Baru pada suapan selanjutnya, ubi kukus yang masih hangat saya nikmati dengan sedikit dabu-dabu alpukat. Ah, sedap betul.

Mungkin ini yang dinamakan cinta pada kunyahan pertama. Meski rasanya terbilang sederhana, tetapi lidah saya mengingatnya sebagai kudapan yang istimewa. Bahan pangan yang diolah dengan bumbu minimalis ternyata mampu mengeluarkan rasa asli makanan yang nyaman di lidah. Jagung bose yang kali ini dibuat dari campuran jagung putih, jagung pulut, kacang uci, kacang tunggak, labu, dan daun kelor bisa menciptakan rasa manis alami yang ringan dan cukup menyenangkan. 

“Kalau nanti bisa nyediain bahan sendiri, rasanya saya ingin mengulangi moment ini lagi,” batin saya sembari mendengarkan dengan saksama semua proses pembuatan yang tengah diceritakan Mbak Steffi.

Olahan Jagung Serupa di Bantul

Usai semua kudapan beserta segelas es asam timor tandas, saya langsung bergegas untuk bergabung sekaligus turut mengerumuni meja pameran. Saat melihat Mbak Steffi membuat dabu-dabu teri, saya sempat mencicipi teri goreng yang diletakkan di meja panjang berwarna cokelat itu. Ternyata teri dari Timor rasanya enak. 

Selain terlihat bersih, rasanya dominan gurih. Bukan tipikal teri yang diasinkan dengan kadar garam tinggi. Sebagai pencinta sambal teri, lidah saya merasa cocok dengan tipikal teri timor ini. Mencicipi jagung bose mengingatkan saya pada olahan jagung serupa yang masih banyak dijual di sekitar tempat tinggal saya. 

Di Bantul, jagung biasa diolah menjadi grontol. Sebutan untuk jagung pipil rebus yang dibumbui dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Seperti halnya mi pentil, grontol biasa dijual di pagi hari. Kudapan ini bisa ditemukan di pasar tradisional maupun berbagai titik yang biasa menjajakan aneka jajanan pasar. 

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Sampai saat ini, grontol masih kerap hadir di meja makan rumah. Sayangnya dari awal jumpa, grontol yang saya temui dikemas menggunakan plastik, bukan dedaunan. Lain di Bantul, lain pula di Imogiri. Kalau di kawasan ini, jagung biasa diolah sebagai pengganti atau pelengkap nasi. Orang sana mengenalnya dengan sebutan sego (nasi) jagung. 

Belum lama ini saya malah menemukan nasi jagung yang agak berbeda dari biasanya. Kalau sajian nasi umumnya memiliki tekstur yang pera ataupun tanak, nasi jagung bercita rasa gurih yang saya temui di Pasar Imogiri malah berbentuk padat. Dalam penyajiannya, sego yang dikemas menggunakan daun pisang tersebut dilengkapi dengan sambal terong. Ada yang pernah mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/feed/ 0 41288