Abdillah Danny https://telusuri.id/author/abdillahdanny/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 13:37:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Abdillah Danny https://telusuri.id/author/abdillahdanny/ 32 32 135956295 Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/ https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/#comments Mon, 20 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45407 “…dalam perkembangannya yang terseok-seok, Sastra Indonesia selama ini telah menerima banyak jasa dari media massa, khususnya koran dan majalah.” —Ariel Heryanto1 Sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Setidaknya demikianlah kabar-kabarnya. Hal...

The post Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>

“…dalam perkembangannya yang terseok-seok, Sastra Indonesia selama ini telah menerima banyak jasa dari media massa, khususnya koran dan majalah.”

—Ariel Heryanto1

Sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Setidaknya demikianlah kabar-kabarnya. Hal ini jelas terasanya. Hanya dengan membuka ponsel, kita bisa memasukkan entri huruf-huruf sesuai keinginan untuk mengakses informasi, entah informasi itu sekadar di kecamatan tetangga, atau jauh di sana di Alaska. Oleh karena itu, kini jarang kita dengar pujian atau kekagetan pada kawan kita yang “masuk koran”. Hal itu kini biasa saja. 

Sekali ini, saya hendak membicarakan soal sastra koran. Cukuplah kita sederhanakan sastra koran menjadi karya sastra yang terbit di koran. Dahulu, saat majalah Sastra masih eksis, HB Jassin menjelma paus sastra Indonesia, seperti pernyataan Hamsad Rangkuti. Siapa yang lolos dari HB Jassin, maka dia sah sastrawan. 

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Tampak depan kantor koran harian Kedaulatan Rakyat di daerah Tugu, Yogyakarta/Abdillah Danny

Sedikit Soal Sastra Koran

Kemudian zaman beralih. Tibalah koran atau majalah yang menjadi penentu mutu suatu karya. Beberapa sastrawan senior, yang kini masih sering bergiat di komunitas-komunitas, tak dapat menyembunyikan gelagat kekaguman mereka ketika salah satu karya dari kawan saya dimuat di koran. Juga tak dapat mereka sembunyikan kekecewaan, semisal, dengan beralihnya Koran Tempo menjadi sepenuhnya digital dan banyaknya koran-koran yang mulai menghilangkan rubrik sastra atau menghilangkan honornya saja.2

Maka sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Akibatnya tentu banyak sekali, dan dari aspek atau bidang yang sama sekali jauh dan berbeda. Dalam konteks sastra, saya rasa ini mendukung pernyataan Budi Darma soal kesepintas-laluan sastra kita.

Sebenarnya, kurang tepat juga bila dikatakan koran sudah senjakala. Pasalnya, beberapa media seperti Kompas, Jawa Pos, dan Tempo, dan lain-lainnya lagi, telah melakukan penyesuaian dengan mengadaptasi sistem berlangganan secara daring. Tentu saja hal tersebut turut kembali menghidupkan semangat sastra koran. Ditambah, majalah Kalam kini juga telah menjadi media daring yang bisa diakses kapan saja.

Tetapi lihatlah kerutan di pelipis para senior saya di komunitas itu. Dia begitu resah dengan merosotnya mutu karya yang dimuat media daring hari ini. Saya pun tidak tahu alasannya dan dengan apa saya dapat memperbaikinya. Sebab, bahkan sekarang ini pun saya menulis pun untuk media daring.

Dari mata para senior itu, tampaklah kecintaan berlebih terhadap kertas koran yang perca itu. Namun, apa boleh buat. Toh, nasib adalah kesunyian masing-masing,3 dan kita sama-sama tidak ingin berhenti sampai di sajak.4 Maka mari kita terima sepenuh rasa, sebab bisa jadi, kalian hanya mimpiku saja/ dunia dan seluruh semesta yang kukenali ini/ karang-karangan sederhana/ yang ditulis penyair setengah mabuk setengah ngantuk.5

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Kursi-kursi penantian bagi penerima honorarium/Abdillah Danny

Kedaulatan Rakyat

Sudah jalan tiga tahun saya tinggal di Jogja. Rasanya kota ini, dengan beberapa catatan, telah terpatri di sanubari sehingga dengan suka rela saya berani berkata: seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Sebab di kota ini aku merasa kembali dilahirkan, meski harus berebut tempat dengan kecemasan.6

Kemarin sore, saya mendengar kabar dari pihak Kedaulatan Rakyat (KR) yang membuat saya semalaman terjaga karena perasaan yang sulit dijelaskan. Maka pagi ini, saya segera bersiap-siap untuk pergi ke daerah Tugu. Kabarnya, selain mereka mau memuat cerpen saya yang belum apa-apa, mereka juga menyuruh saya untuk datang ke kantornya, untuk mengambil honor. Maka Kedaulatan Rakyat adalah seperti kenangan yang terus dihidupkan, tatkala sekarang ini, bahkan kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu dan kota dikepung minimarket 24 jam.7

Jujur saja, pagi itu, sedari keluar kos, melintasi jalanan Condongcatur, kemudian belok kiri ke Jalan Affandi, lantas sedikit masuk, mungkin sekitaran Cik Di Tiro, dan sampai di Tugu, bahkan sampai di bibir pintu kantor KR, saya rasakan udara yang jernih tanpa serbuk seakan Jogja tidak sedang darurat sampah sehingga dapat bernafas sepenuh tenaga sambil membusungkan dada. Kepada satpam yang bertanya, saya berkata sambil mengeluarkan koran yang saya beli kemarin sore, “Mengambil honor, Pak!” Lalu dia seakan lebih mempersilakan masuk meski saya tahu itu hanya di mata saya.

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Di loket tujuh/Abdillah Danny

Di bagian keuangan, saya ulangi dialog yang meninggikan hati itu. Lalu saya dioper-oper dari loket tujuh ke tiga, kemudian ke tujuh dan kembali lagi ke tiga. Keruwetan administratif itu dengan ikhlas tulus hati saya jalani, sebab cerpen saya dimuat dan rasanya tiada yang lebih penting dari itu.

Dan inilah wajah masa lalu itu. Tentu masa lalu yang indah. Saya pun berfoto, dengan keyakinan: Tak semua kenangan bisa diulang.8

Setelah menerima uang, saya celingak-celinguk keluar, mencari-cari di manakah kedai mi ayam yang kabarnya makan di sana adalah ritual para penulis KR setelah menerima honor? Saat hendak mencarinya di Maps, saya dapati notifikasi dari media-media daring, yang membuat hati saya kacau, mengurungkan niat mi ayam, dan tak berani menengok nota atau kuitansi untuk mengetahui berapakah jumlah honor, juga pajaknya?


Catatan Kaki

  1. Sastra, Koran dan Sastra Koran oleh Ariel Heryanto, dimuat di Sinar Harapan, 12 Januari 1985. ↩︎
  2. Ruang Sastra, https://ruangsastra.com/alamat-email-redaksi-koran, diakses pada 19 Desember 2024. ↩︎
  3. “Pemberian Tahu” (1946), Chairil Anwar. ↩︎
  4. “Tidak Berhenti Sampai di Sajak!”, Indrian Koto dalam Pleidoi Malin Kundang (Yogyakarta: JBS, 2024). ↩︎
  5. “Mimpi”, Ibid. ↩︎
  6. “Yogya: Kelahiran Kedua”, Ibid. ↩︎
  7. Ibid. ↩︎
  8. “Perujumpaan”, Ibid. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/feed/ 1 45407
Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi https://telusuri.id/majelis-al-lobyu-dan-jalan-lain-menyanyikan-puisi/ https://telusuri.id/majelis-al-lobyu-dan-jalan-lain-menyanyikan-puisi/#comments Thu, 26 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44776 Kumandang Magrib hari itu (23/11/2024) membawa serta kabut dan keheningan. Seakan mengingatkan Festival Kolaborasi Fakultas Bahasa Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (FBSB UNY) 2024 untuk sejenak mengambil jeda. Sebab, hujan deras kian menipis, perlahan...

The post Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
Kumandang Magrib hari itu (23/11/2024) membawa serta kabut dan keheningan. Seakan mengingatkan Festival Kolaborasi Fakultas Bahasa Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (FBSB UNY) 2024 untuk sejenak mengambil jeda. Sebab, hujan deras kian menipis, perlahan menjelma gerimis hingga menyisakan renyai saja. 

Pembawa acara mengajak genap penonton untuk istirahat, sholat, dan makan (ishoma). Setelah ini Majelis Al-Lobyu tampil. Alangkah baiknya kalau kita mendirikan salat dulu, katanya. 

Diam-diam saya teringat malam menjelang larut yang tidak begitu jauh. Sekitar tiga hari sebelumnya, di Pendopo Tedjokusumo FBSB. Ada beberapa anak kecil sedang bermain game daring sambil mengepulkan asap rokok. Terka saya, mereka adalah bocah-bocah Karangmalang sini.

Saat saya goda dengan ancaman melaporkan kepada orang tua mereka, bocah-bocah itu santai saja. Kami sudah boleh merokok, kok, Mas—begitu alasannya. Kalau boleh, kenapa merokok di sini, bukannya di rumah, tanya saya. Bosan, Mas, jawab mereka enteng.

Di situ, saya anjurkan mereka untuk datang ke acara Festival Kolaborasi beberapa hari lagi. Tetapi di luar dugaan, mereka menjawab, “Halah, paling juga gitu-gitu aja.”

Malam menjelang larut. Langit sepi bintang, digantikan titik-titik rokok bocah-bocah Karangmalang yang berbaris seperti seribu kunang-kunang.

Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
Penampilan Majelis Al-Lobyu. Kami Al-Lobyu, kalian Allobyutu!/Abdillah Danny

Majelis Al-Lobyu: Sejarah Singkat untuk Napas yang Semoga Panjang

Irsyad Qalbi adalah mahasiswa Sastra Indonesia semester lima. Asalnya dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Jauh-jauh dia datang demi menimba ilmu. Sungguh semangat yang patut kita jadikan teladan.

Pagi itu dia masih terlelap tidur saat panitia menghubunginya untuk berkumpul di Pendopo Tedjokusumo. Ini terkait Festival Kolaborasi, kata mereka.

Maka begitu bangun, dengan segenap ketegaan dia memaksa Astrea tuanya membelah jalanan Godean menuju kampus. Di sana, sudah ada mahasiswa-mahasiswa lain. Di situlah Irsyad tahu, sekali ini KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) akan berkolaborasi dengan HIMA PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan UKMF Al-Huda (ini semacam takmir masjid fakultas begitu).

Singkatnya, Irsyad bersama Sasmita Musik (salah satu divisi dalam KMSI), yang beberapa kali memproduksi musikalisasi puisi, akan disuruh berkolaborasi dengan PBSI dan Al-Huda. Pihak panitia Festival Kolaborasi tentu akan mensponsori penuh proses musikalisasi puisi yang telah direncanakan itu, terlepas akan mengerjakan ulang (remastered) atau menciptakan yang baru nantinya. Meski ini adalah kolaborasi yang melompat-lompat, Irsyad cenderung menyikapinya sebagai tantangan, serta sesekali jebakan.

Di situlah Irsyad menghubungi saya, begitu pula kawan-kawan lainnya. Sehingga terhitung proyek tersebut beranggotakan sekitar dua puluhan orang.

Secara tidak langsung dan malu-malu, kami mengangkat Irsyad menjadi semacam ketua regu. Irsyad yang terlihat sudah capek dengan hal-hal seperti ini, mau-mau saja. Dia lantas membagi proses kami menjadi: (1) pemilihan puisi, (2) pembedahan puisi, dan (3) pengerjaan lagu.

Setelah proses diskusi yang alot, kami menyetujui untuk memproduksi musikalisasi puisi yang baru. Terpilihlah dua pilihan puisi: Taharah (Soni Farid Maulana) dan Nisan (Chairil Anwar). Berlanjutlah kami membedah puisi tersebut bersama-sama, guna menyepakati bentuk seperti apa yang mesti dilakukan nantinya.

Proses tersebut berlangsung kurang lebih satu setengah bulan. Di sela-sela kepadatan itu, beberapa kali terjadi kesalahpahaman, sehingga bentuk hadrah yang telah kami sepakati sebelumnya terkendala di alat. Alhasil, karena ada koneksi menuju Ponpes Al-Munawwir, alat-alat pun dipinjam dari sana. Untuk hal itu, kami ucapkan terima kasih banyak kepada Kang Muj dan segenap keluarga besar komplek Madrasah Huffadh 2, Al-Munawwir.

Saat Festival Kolaborasi kurang sepekan lagi, kami baru menyadari suatu hal yang luput. Adalah nama grup yang belum kami pikirkan. Beberapa nama sempat muncul, seperti “Nurul FBSB”, “Mafia Puisi”, hingga disepakatilah suatu nama, yakni “Majelis Al-Lobyu”.

Di hari acara, saat jeda Magrib, saya pandangi satu per satu penonton. Ada kawan, saudara, dan beberapa kerabat. Tetapi hati saya baru sumringah ketika bocah-bocah Karangmalang tempo hari ikut menonton, meski di pojok agak belakang.

Maka langsung saja, begitu selesai ishoma, Majelis Al-Lobyu mulai beraksi. Pembawa acara berteriak, “Takbir!” yang kemudian diikuti “Allahu Akbar” oleh para penonton.

  • Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
  • Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi

Sebuah Jalan Lain

Sebenarnya, mungkin telah ada banyak jenis grup musik maupun solois yang menyanyikan puisi. Mulai dari folk hingga rap, semuanya nyaris lengkap.

Sebagai pembuka, dinyanyikanlah Taharah (Soni Farid Maulana) dengan format gitar, gitar listrik, keyboard, floor, simbal, satu vokalis utama, dua backing, serta darbuka. Secara sengaja kami membagi lagu menjadi semacam tiga babak. Untuk mendengarnya lebih lanjut, silakan pula mengunjungi pranala ini.

“Hati yang karam ke dasar malam, betapa sulit dijangkau!”

Kemudian hadrah. Hadrah, atau beberapa orang menyebutnya dengan format Al-Habsyi: empat rebana, satu darbuka, satu bas, satu tam, satu vokalis utama, dan tiga backing, adalah sungguh hal yang cukup menarik. Dengan konsep yang matang dan pertimbangan yang setengah main-main setengah serius, puisi Nisan dari Chairil Anwar menapaki nada-nada selawat yang tak asing di telinga khalayak. Dibantu oleh pembagian lirik yang telah dilakukan di awal, penonton ikut bernyanyi sambil mengeja pelan-pelan. Untuk mendengarnya lebih lanjut, silakan pula mengunjungi pranala ini.

“Bukan kematian benar menusuk kalbu!”

Saat malam benar-benar telah larut, sementara lampu-lampu masih mengerlipkan cahayanya untuk para penampil lain, saya melipir menuju Pendopo Tedjokusumo. Di sana saya menyalakan rokok pertama saya di hari itu. Sembari menikmati turunnya keringat dari pelipis yang perlahan-lahan mencium bumi.

Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
Bocah-bocah Karangmalang, kaliankah itu?/Abdillah Danny

“Mas!” 

Bocah-bocah Karangmalang itu. Mereka menghampiri saya, tetap dengan rokoknya. Mereka menebar senyum, sambil meminta rokok saya yang kebetulan lebih enak. Seakan senyuman tersebut adalah pembatalan untuk “Halah, paling juga gitu-gitu aja”-nya kemarin hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/majelis-al-lobyu-dan-jalan-lain-menyanyikan-puisi/feed/ 1 44776
Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata https://telusuri.id/dari-penyair-kerajaan-ke-penyair-pemandu-wisata/ https://telusuri.id/dari-penyair-kerajaan-ke-penyair-pemandu-wisata/#respond Tue, 29 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42933 “Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan dengan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak.” —Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam...

The post Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>

“Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan dengan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak.”


—Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak (Balai Pustaka, 1997)

Beberapa jam kemudian, masih di kedai yang sama, setelah An Ismanto selesai menyodorkan buku kumpulan puisi Jalan Lain ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono dan lantas pamit pulang, saya hanya bisa ndelomong mencoba mengembalikan suatu petang yang lampau ketika dengan tanpa diduga-duga seorang dosen meminta untuk dituliskan ulasan sebuah kumpulan puisi, dan baru menyadari bahwa teh rosela hangat yang sejak kedatangannya belum saya seruput kini telah menjadi dingin. Tidaklah penting siapa itu An Ismanto, melainkan ucapannya yang memvonis saya sebagai orang yang tidak berterima kasih kepada buku dengan menganggapnya sebagai suatu yang hanya sepintas lalu.

“Masak berterima kasih saja nunggu ada yang nyuruh,” katanya.

Maka demi menjaga keharmonisan dengan buku, saya pun kembali menulis ulasan. Sebab hanya dengan menempuh jalan ini bukti terima kasih saya menjadi lebih kongkret sekaligus valid. Dan semoga buku-buku tidak melaknat saya.

Penyair Sebagai Pemandu Wisata

Berbeda dengan ulasan sebelumnya, sekali ini saya mendapat kumpulan puisi yang lebih tematik. Jika pada kesempatan lalu Suminto A. Sayuti selaku penyair mendokumentasikan perjalanan diri-nya dari titik tertentu menuju titik tertentu yang lain, kumpulan puisi Jalan Lain ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono (DAM) ini cenderung lebih meleburkan diri menjadi subjek yang, dugaan sementara saya, dapat dikatakan lebih kolektif. Pasalnya sedari judul DAM telah secara gamblang memberi tahu bahwa kumpulan puisinya akan berbicara tentang Majapahit; sebuah objek yang milik kita bersama, meskipun yang akan dibicarakan hanyalah jalan lain menujunya.

Sebagai bentuk yang tematik, kumpulan puisi ini setia pada jalan yang diambil. Buktinya, sedari daftar isi yang diistilahi sebagai rute kecil, kita akan disuguhkan periodisasi mendetail yang telah disusun oleh DAM sendiri, yakni pangkal jalan, jalan kemunculan, jalan penaklukan, jalan kejayaan, jalan para pemberontak, jalan keruntuhan, jalan raja-raja, tilas jalan, dan ujung jalan. Di sini, DAM melakukan pembagian yang difungsikan sebagai alur, mendukung bentuk sajak[1] yang keseluruhannya adalah naratif. Dengan juga menyebut penulis sebagai pemandu pada bagian akhir yang umumnya berisi tentang penulis, DAM seakan menempatkan pembaca sebagai wisatawan, yang tentunya bukan wisatawan biasa sebab rute kecil yang disusun DAM adalah sebuah jalan lain.

Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata
Potret “rute kecil” sebagai daftar isi/Abdillah Danny

Kembali kepada judul, dari sana dapat kita sepakati bahwa jika ada jalan lain maka mestinya ada jalan yang tidak lain. Artinya, sebagai jalan yang menyimpang, sajak-sajak yang termuat di dalamnya berupaya untuk menentang suatu jalan lurus yang sejak sebelum sajak-sajak itu tercipta telah menjadi common sense. Dalam perjalanan karya sastra, hal ini tentu sudah biasa. Misalnya, dalam sajak Pleidoi Malin Kundang karya Indrian Koto yang menggugat kedurhakaan Malin dalam folklor Malin Kundang, atau bagaimana cerita pendek Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang ‘mengganggu’ cara beragama umat Islam kebanyakan.

Yang menjadi sorotan saya adalah soal Majapahit. Dalam buku-buku pelajaran IPS dulu, salah satu kecenderungan yang sering dilakukan raja-raja di Jawa adalah mendewakan diri. Sederhananya, dalam masyarakat yang taat beragama, mengubah diri menjadi dewa adalah cara yang jitu untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu peran sosial yang dapat mewujudkan hal itu, di samping perajin patung atau juga Silpin (arsitek candi), adalah pujangga. Atas perintah raja, para pujangga akan mengarang cerita bahwa raja mereka adalah titisan dari dewa tertentu (kebanyakan Wisnu). Biasanya, cerita tersebut diabadikan dalam ukiran pada batu atau kitab-kitab seperti Pararaton dan Negarakertagama. Dapat dilihat pada sajak pembuka dalam periode pangkal jalan yang berjudul lewat di trowulan.

Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata
Halaman puisi pembuka/Abdillah Danny

Budaya mendayagunakan pujangga/penyair sebagai alat legitimasi, atau sederhananya ‘wakil Tuhan’ ternyata terus berlanjut. Sekitar satu abad setelah keruntuhan Majapahit, di Britania Raya sana juga dapat kita temukan budaya serupa dengan istilah Poet Laureate atau ‘Penyair Kerajaan’. Sebenarnya, dalam sejarah sastra di Indonesia pun praktik seperti ini terjadi pada setiap periodenya. Sejak era Balai Pustaka hingga angkatan terkini, katakanlah Angkatan 2000, misalnya, kuasa yang mendominasi hanya akan melegalkan komposisi estetika yang sejalan dengan misi-misinya dan akan membabat yang sebaliknya. Politik, agaknya, pada bidang apa pun itu, selalu menjadi dalang dalam penentuan-penentuan tentang legalitas komposisi tertentu. Di celah-celah seperti inilah, meminjam istilah Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak dapat dibongkar persembunyiannya.

Kepenyairan Pemandu Wisata

Akan tetapi, suara DAM sulit terdeteksi dalam keseluruhan kumpulan puisi, kecuali pada sajak pembuka, serta tiga sajak lain, yakni memandang rel; trowulan, november 2016; serta majapahit, setiap aku mengingatmu. Anehnya, sajak memandang rel dan trowulan, november 2016 berada pada periode tilas jalan bersamaan dengan sajak lain yang ukuran suara DAM-nya kecil bahkan nihil. Adalah sebuah kerancuan bila mengacu pada keteraturan yang telah diterapkan pada bagian lain, sementara pada bagian ini sajak berjudul candi bayi, misalnya, berada di tempat yang sama dengan sajak memandang rel, yang rasanya akan lebih tepat jika diletakkan pada ujung jalan yang hanya berisi satu sajak, yakni majapahit, setiap aku mengingatmu.

Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata
Potret sajak “candi bayi”/Abdillah Danny

Dalam sajak-sajak tersebut, keresahan DAM muncul ditandai dengan perubahan ekstrem soal sudut pandang. Sedari sajak pembuka, baru pada sajak memandang rel-lah aku-lirik muncul, setelah sebelumnya konsisten menggunakan orang ketiga.

Soal suara DAM, kita dapat melihat pada sajak trowulan, november 2016, misalnya. Sajak tersebut berjumlah 15 bait dan konsisten 2 baris pada masing-masing baitnya. Di sisi lain, terdapat citra-citra biner dengan hubungan yang paradoksal, seperti jazz – ruwatan; kejayaan, sumpah yang epik – aib, siasat licik; duka – luka, juga pada adegan dalam dua bait terakhir: dan seseorang, di tengah gelegak kebanggaan/ purba, tak mampu tak menyeka airmata/ sewaktu bergumam/ “selamat ulang tahun, majapahit”. Sesuatu yang sifatnya bertentangan tersebut dapat ditengarai sebagai suara DAM dalam sajak yang membagikan pengalaman pribadinya dan berada pada posisi netral saat menyikapi sesuatu yang dalam konteks ini adalah perayaan ulang tahun Majapahit.

Pada titik ini, terdapat potensi kekaburan antara DAM sebagai pemandu (subjek) Majapahit (objek), dengan DAM sebagai pemandu (subjek) Majapahit (objek yang telah diidentifikasikan dengan diri). Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya perubahan ekstrem dalam tubuh kumpulan puisi, terutama pada 3 sajak terakhir, yang dapat diintegrasikan dengan ketidakyakinan DAM pada sesuatu yang semula diyakininya dan terwujudkan dalam sajak-sajak. Pembelokan yang mendadak memang dapat menciptakan efek suspend. Hanya saja, salah satu aspek kunci dalam suspend, yang juga menjadikannya sulit dan karenanya menjadi istimewa, adalah bagaimana menciptakan kejutan tanpa paksaan. Dalam konteks kumpulan puisi ini, saya lebih merasa dipaksa.

Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata
Potret sajak “memandang rel”/Abdillah Danny

Jalan Lain yang Paradoksal

Meski menyusun jalan lain, bukan berarti DAM tidak berpotensi lepas dari segala yang umum. Pada hakikatnya, frasa jalan lain sebagai perwakilan sesuatu yang khusus akan tetap terperangkap pada tanda-tanda umum dari dirinya sendiri. Upaya DAM untuk menyusun jalan lain menuju Majapahit, mesti tunduk pada kerangka masyarakat tentang definisi jalan lain.

Kita mungkin setuju, bahwa tidak mungkin lahir jalan lain apabila tidak ada hambatan pada jalan umum. Masalahnya, hambatan di sini tentu amat relatif. Namun hal ini dapat diselamatkan oleh konteks ke Majapahit.

Selama ini, kita hanya mengakses Majapahit melalui buku sejarah, terjemahan kitab-kitab, berjilid-jilid novel Majapahit karya Langit Kresna Hariadi, atau Gajah Mada oleh Moh. Yamin. Kecuali Pararaton, sumber bacaan tentang Majapahit cenderung berbentuk prosa dan panjang. Berangkat dari hal tersebut, bila benar hambatan yang menjadi penyebab lahirnya jalan lain adalah bentuk prosa dan panjang naskah, maka jalan lain yang sah adalah segala bentuk selain prosa yang pendek. Di sini DAM tampil meyakinkan dengan membawa kumpulan puisinya. Satu-kosong dapat kita berikan untuk kemenangan sementara bagi DAM.

Sayangnya, meski berbentuk puisi, sajak-sajak DAM tetap mengandung unsur-unsur prosa sepeti alur yang teratur, tokoh yang jelas, dan juga konflik. Di sisi lain, bila dibandingkan dengan puisi pada umumnya, sajak-sajak DAM termasuk panjang dan membutuhkan energi lebih untuk dibaca. Seperti saga damarwulan dan metamorfosa sebilah pisau yang memakan hingga 10 halaman.

Pada akhirnya, tetap menjadi keyakinan bagi saya bahwa apa-apa yang telah saya utarakan tak lain suatu kesiaan belaka. Toh, hanya cinta, kata Rilke[2], yang mampu menyentuh hingga menggenggam karya seni, lantas berinteraksi dengannya. Dan di era ini, di mana cinta telah menjadi suatu yang saintifik dan bahkan matematis, saya rasa kecerdasan diri ini belum mumpuni untuk sekadar menjadi pecinta. Karenanyalah. Demikianlah.


Judul: Jalan Lain ke Majapahit
Penulis: Dadang Ari Murtono
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 160 Halaman
ISBN: 978-602-391-724-2

[1] Mengikut Nirwan Dewanto dalam Gerimis Logam, Mayat Oleander, istilah sajak dalam tulisan ini mengarah pada poem yakni salah satu judul yang khusus, sedangkan istilah puisi merujuk pada poetry secara umum (Yogyakarta: Penerbit OAK, 2016).

[2] Pada tulisan sebelumnya, Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi, saya juga mengutip perkataan Rainer Maria Rilke (Yogyakarta: JBS, 2020). Silakan baca di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita?
Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Penyair Kerajaan ke Penyair Pemandu Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-penyair-kerajaan-ke-penyair-pemandu-wisata/feed/ 0 42933
Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/ https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/#respond Sun, 04 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42457 “Karya-karya seni adalah kesunyian yang tak terbatas, dan tak ada pendekatan apa pun yang paling tak berguna seperti halnya kritik sastra. Hanya cinta yang bisa menyentuh dan menggenggam karya seni dan berhubungan dengan mereka.” —...

The post Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
“Karya-karya seni adalah kesunyian yang tak terbatas, dan tak ada pendekatan apa pun yang paling tak berguna seperti halnya kritik sastra. Hanya cinta yang bisa menyentuh dan menggenggam karya seni dan berhubungan dengan mereka.”

— Rainer Maria Rilke, Surat-surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak.

Saat Waton Diskusi Susastra baru saja selesai, Mas Mawai (dosen saya) memanggil saya seraya menyodorkan sebuah buku: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan, kumpulan puisi teranyar dari Suminto A. Sayuti. Belum sempat saya terkejut, Mas Mawai menepuk-nepuk bahu saya, sambil berkata, “Tolong dibuatkan ulasannya, ya.”

Yang tersisa kemudian adalah kelesah yang berusaha menerima. Serta sedikit batin, saya ini siapa?

Bagi saya, kegemilangan Pak Minto (demikian saya memanggilnya) pada masa sekarang ialah hasil dari tempaannya di masa lampau. Dahulu, di markas PSK (Persada Studi Klub), Pak Minto beserta penyair lain digembleng ketajaman hatinya oleh Umbu Landu Paranggi. Hal tersebutlah yang menjadi sebab status Pak Minto bukanlah sekadar pengajar atau dosen. Ia guru.

Setelah berdamai dengan perkara “kepantasan” yang melelahkan, tibalah saya pada sebuah keharusan menyisihkan waktu untuk mengakrabi kumpulan puisi itu. Di tengah jam kuliah yang seakan sengaja dibuat agar mahasiswa tak memiliki waktu untuk sekadar mengusap keringat. Kami pun—saya dengan kumpulan puisi itu—hanya bisa bertemu di tepian dini hari, diiringi alunan napas malam kawan-kawan asrama yang kompleks.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Sampul dalam buku kumpulan puisi karya Suminto A. Sayuti/Abdillah Danny

Melankolia dan Nostalgia

Untuk permulaan, saya ingin berangkat dari judul yang panjang. Mengingat di zaman kini, (saya rasa) manusia cenderung menyukai hal-hal praktis dan ringkas. Sekilas saya beralih pada daftar isi dan tak ada satu pun puisi berjudul demikian. Maka, kalimat judul itu mestinya perwakilan dari puisi-puisi di dalamnya. Saya kembali pada sampul, membaca ulang judul, dan mendapati bahwa kata kepulangan dan keberangkatan memiliki hubungan pertentangan. Dugaan awal saya, puisi-puisi dalam buku ini akan berisi pertentangan-pertentangan (oposisi biner) dan penyair, saya rasa, kesulitan menghimpunnya dalam satu kalimat yang ringkas dan padat.

Pertentangan dan kesulitan menjadi modal awal saya untuk mengakrabi kumpulan puisi tersebut, sambil berharap Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan merupakan sebuah kalimat judul yang utuh dan kuat. Ya, untuk permulaan, saya menggunakan paradigma strukturalisme, dan karenanya, saya menuntut ketunggalan makna. Sementara kata “ketika”, “diri”, dan “dan”, saya sisihkan terlebih dahulu untuk kemudian kembali dibahas pada bagian akhir.

Kemudian daftar isi. Ah, mata saya tak bisa lepas darinya ketika ditampilkannya judul-judul puisi yang seakan berpasangan atau bahkan berkelompok. Hal itu teramini oleh pembacaan awal saya yang tak menemui satu pun puisi yang benar-benar tunggal (tak berpasangan atau berkelompok). Selepas pembacaan awal itu, saya mengelompokkan puisi-puisi tersebut menjadi tiga kelompok: Kelompok Kepulangan (dari Notasi, 1 hingga Jarum Waktu), Kelompok Keberangkatan (dari Rendezvous, 1 hingga Dari Sebuah Ruang Maya), dan Kelompok Kepulangan sekaligus Keberangkatan (dari Hujan Akhir Tahun hingga Sebuah Nama Telah Ditulis). Pengelompokan ini bukanlah iseng belaka. Alasan-alasan terkaitnya akan terpapar setelah ini.

Mari mulai beralih ke puisi. Saya akan mencoba memaparkan betapa kumpulan puisi ini begitu teknis sekaligus mencoba menerangkan alasan-alasan dari setiap poinnya.

  1. Hampir keseluruhan puisi dalam buku ini berbentuk naratif. Seluruhnya ditulis tanpa keterangan tahun. Beberapa juga memiliki semacam bentuk kerangka yang sama. Seperti dalam beberapa puisi Ninabobo: terdiri dari tiga bagian, bagian pertama diawali dengan Aku pun, bagian tengah diawali dengan Tidurlah, dan bagian akhir kembali diawali dengan Aku pun. Betapa kumpulan puisi ini sungguh teknis (dan itu sungguh adalah modal yang bagus!);
  2. Hampir keseluruhan puisi di dalamnya menolak tanda baca selain tanda titik. Bahkan dalam Ninabobo Diri, 2, digambarkan secara lugas: Melampaui/ senyap antara. Tanpa koma. Ataupun titik dua. Tanda titik adalah, sederhananya, sebuah alat untuk mengakhiri. Dengan fakta bahwa penyair seakan menyengaja untuk sering menggunakan titik (kesengajaan yang terlalu kuat sehingga mungkin akan tepat bila disebut obsesi), tangkapan saya atas hal ini adalah selain untuk mempermainkan konvensi bahasa, penyair menghujani puisinya dengan tanda titik sebab ia menghadirkan tokoh aku yang memiliki obsesi untuk mengakhiri sesuatu. Berhubung simpulan tema besar dari saya untuk kumpulan puisi ini adalah hal-hal yang melankolik dan nostalgia, maka bisa jadi objek yang ingin diakhiri oleh tokoh aku adalah hal-hal tersebut (masa lalu, kenangan, dan lain-lain).

    Sementara tanda koma dan titik dua biasa dipergunakan untuk pemisahan dan atau perincian sesuatu. Berbekal simpulan terkait tema besar dan tangkapan atas tanda titik, tangkapan saya atas sedikitnya/dihindarinya tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) adalah representasi dari penolakan tokoh aku (upaya untuk mengusir) terhadap perpisahan dan perincian (penjelasan, kepastian, dan lain-lain.) Di sisi lain, kemunculan sesekali tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) dapat dipergunakan sebagai acuan untuk kondisi tokoh aku dalam gejolak ketakutan atas perpisahan (penolakan) dan hilangnya rasa takut tersebut (penerimaan).
  1. Banyak sekali terkandung oposisi biner yang seakan diupayakan oleh penyair untuk bersatu. Dalam Ninabobo Kamar, penyair menulis: Tidurlah kamar di antara dua tubuh satu jiwa; Bertegur sapa dalam diam; juga dalam Ninabobo Batu: Aku pun sejumput lumut di musim kemarau; Kita/ bakar dingin bukit. Keinginan untuk mempersatukan dua hal yang bertentangan ini saya tangkap sebagai ketakutan yang dialami tokoh aku dalam keseluruhan puisi terhadap hal-hal yang tidak mempersatukan (perpisahan). Namun, ironisnya, kedua hal yang bertentangan tersebut, ketika disatukan, akan mustahil berada dalam posisi setara. Mereka akan terjebak dalam bentuk: depan-belakang, kiri-kanan, yang berkaitan erat dengan skala kepentingan (hal ini akan dijelaskan kembali di bagian akhir).
Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Puisi pembuka/Abdillah Danny

Periodisasi Perjalanan

Poin-poin dalam bagian sebelumnya berkaitan erat dengan alasan saya mengelompokkan kumpulan puisi ini menjadi tiga kelompok. Dari pemilihan judul yang memuat kata ketika, yang hubungannya adalah dengan waktu, maka tiga kelompok yang saya maksudkan di awal adalah tentang periode perjalanan si tokoh aku dalam puisi.

Periode Kepulangan

Kepulangan secara harfiah berarti kondisi kembalinya sesuatu setelah keberangkatannya. Namun, dengan fakta bahwa dalam judul, kata tersebut diletakkan di awal (tempat yang seharusnya diisi oleh keberangkatan), saya menganggap bahwa kepulangan di sini mesti dimaknai lebih dalam.

Berbicara mengenai kepulangan, tema besar tentang hal-hal melankolik dan nostalgia mengarahkan saya pada pemaknaan kepulangan sebagai peristiwa kepergian. Dalam artian, tokoh aku bukanlah rumah yang menjadi tempat pulang sejati. Lebih lanjut, tokoh kau dalam kumpulan puisi ini secara sederhana akan atau telah pergi menuju suatu tempat, dan bagi si tokoh aku, hal tersebut adalah kepulangan (sebab tokoh aku bukanlah rumah sejati bagi tokoh kau).

Menanggapi hal tersebut, diri tokoh aku dilanda kesedihan yang membuatnya bergejolak (sebab tak ingin tokoh kau pergi). Namun, terdapat sedikit sisa kerelaan (atau justru harapan akan keadaan sebaliknya) dalam tokoh aku yang tergambar dalam baris terakhir dalam puisi-puisi Periode Kepulangan ini. seperti dalam Ninabobo Batu, Ninabobo Angin, Ninabobo Kamar, dan sebagian besar puisi dalam periode ini.

Di periode tersebut, secara sederhana, menganut teori kepribadian (psikoanalisis) oleh Sigmund Freud, saya simpulkan bahwa terjadi konflik dalam alam bawah sadar tokoh aku: antara Id dan Ego. Dan dimenangkan atau didominasi oleh Id.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Puisi Ninabobo Kamar/Abdillah Danny

Periode Keberangkatan

Sebab kata kepulangan tak dapat diartikan secara harfiah saja, maka dengan pertimbangan konteksnya dengan tema besar, saya asumsikan bahwa kata keberangkatan adalah kondisi ketika tokoh aku mulai menerima/berdamai dengan “kepulangan”. Sederhananya, kali ini konflik alam bawah sadar dimenangkan/didominasi oleh Ego.

Hal tersebut tergambar dalam puisi-puisi Periode Keberangkatan yang sarat dengan kestabilan (merujuk pada konflik) dan nama-nama tempat/perjalanan (merujuk pada kata keberangkatan itu sendiri).

Periode Kepulangan sekaligus Keberangkatan (atau justru tidak keduanya)

Puisi-puisi dalam periode ini sarat akan kestabilan dan pemaknaan kembali atas apa-apa yang telah maupun akan terjadi. Maka dari itu, posisi puisi-puisi dalam periode ini ambigu (jelas sekaligus tidak jelas). Dalam periode ini, tokoh aku dalam puisi tergambar lebih tenang dalam bersikap, bahkan beberapa kali mengalami peningkatan. Seperti dalam puisi Sepanjang Masih Punya dan Kita Masih Punya. Kedua puisi tersebut sarat akan optimisme, tetapi dalam puisi Kita Masih Punya, skala keoptimisan digambarkan secara lebih tegas dan lugas ketimbang puisi Sepanjang Masih Punya.

Dalam periode ini, tiada konflik antara Id dan Ego. Alam bawah sadar tokoh aku sepenuhnya didominasi oleh Superego.

Visualisasi Perjalanan

Tibalah saya pada titik yang mengharuskan saya untuk kembali pada judul. Untuk memudahkan, saya mencoba menggambar “judul” sembari menerka hubungan antarunsurnya.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi

Dalam suatu bingkai ketika, terdapat dua titik yang saling berlawanan, mari kita menyebutnya sebagai Pulau Kepulangan dan Pulau Keberangkatan. Kedua pulau tersebut dijembatani oleh sebuah kata hubung: dan. Di atas Jembatan Dan, Diri berjalan. Di sini, saya mengartikan diri sebagai sebuah puisi (atau dapat pula tokoh aku).

Artinya, kumpulan puisi ini mestinya berisi tentang perjalanan diri dari pulau kepulangan menuju pulau keberangkatan, sambil meniti jalur/jembatan dan. Akan menjadi sebuah kejanggalan ketika terdapat, meski barang satu atau dua puisi, yang berisikan sesuatu di luar hal itu.

Namun, saya cukup percaya bahwa setidaknya dalam pandangan Rilke, apa-apa yang telah saya lakukan di atas adalah ketidakbergunaan. Untuk menyikapinya, tidak kita perlukan sebuah keseriusan yang sangat. Dengan kata lain: mari melupakan apa-apa yang telah saya sampaikan dan kembali pada pengembaraan di pulau-pulau diri. Atas nama cinta. Salam.


Judul: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan
Penulis: Suminto A. Sayuti
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal: 112 Halaman
ISBN: 978-623-1390-39-4


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/feed/ 0 42457
Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/ https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/#respond Thu, 25 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42398 “Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.”  Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu...

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.” 

Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu lantas membuka lembar kertas yang digenggamnya erat; pandang serta tuturnya meloncat langsung pada bait terakhir:

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.(2001)

“Ternyata, Mas Joko sudah mengatakan ini jauh-jauh hari,” pungkasnya.

Saya cuma bisa duduk termenung bersama hadirin lain. Sesekali saya coba mencuri pandang ke arah bulu matanya, yang kata mendiang suaminya, bulu matamu: padang ilalang, di tengahnya sebuah sendang.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Gerobak angkringan dan langit sore jelang kumandang azan/Abdillah Danny

Sore yang gerimis di hati saya (dan tentu banyak orang). Dari arah selatan jalanan tak begitu ramai kendaraan. Sementara beberapa kali orang-orang yang melintas menyempatkan diri menoleh, mengira-ngira apa yang sedang diselenggarakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Kota Yogyakarta ini. Udara terasa sempit, mungkin sesak oleh doa-doa yang merangsek naik ke langit. Rabu yang khidmat (5/6/2024) untuk mengenang penyair keramat.

Sambil menunggu acara dimulai, saya membakar tembakau yang sudah saya linting dari kos pagi tadi. Sejak kemarin saya mendapat informasi dari cerita Instagram beberapa teman dan guru, sehingga sedapat mungkin saya berusaha menyelakan diri untuk hadir hari ini. Umbul Dunga, Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo. Sambil berharap kesempatan kongko-kongko bersama kawan lama yang semoga saja bertemu. Maka inilah sekarang, saya sudah di tempat sebelum waktunya.

Benar saja. Belum dapat selinting, datang kawan saya Aqsha. Ia mengenakan kaus putih dan topi fedora khasnya. Di jemarinya tergenggam selembar puisi. Saya jadi tahu, ia nanti akan membaca puisi bersama penyair serta budayawan lain.

Persembahan untuk Sang Penyair

Pembawa acara datang dan membuka dengan salam. Tibalah acara pertama, yakni pembacaan puisi dari komunitas-komunitas sastra, seperti Jejak Imaji (kawan saya Aqsha ikut di sini), Komunitas Kutub, dan Lingkar Pena. 

Di waktu yang bersamaan, sekumpulan pelukis melakukan live painting, mengalihwahanakan puisi-puisi Jokpin—sapaan Joko PInurbo—menjadi sebuah lukisan. Juga, di jarak sekitaran lima langkah dari panggung utama, sekumpulan perajin bekerja sama untuk membuat potret Jokpin dalam bentuk patung dengan ukuran seperempat badan dan skala 1:1. Sambil menikmati hal tersebut, saya melihat beberapa orang sedang sibuk di bakul angkringan. Terdapat total enam gerobak angkringan, yang menurut pendengaran saya, itu dari Danais (Dana Keistimewaan DIY) dan nantinya akan dibuka gratis. Sementara telinga saya menyimak pembacaan puisi, mata saya dimanjakan dengan momen-momen sengkarut yang puitis ini. Saya merasa katarsis.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Para perajin sedang berkarya/Abdillah Danny

Barulah kemudian azan Magrib berkumandang. Pembawa acara memberitahu sekarang waktunya jeda salat. Beberapa hadirin mengangkat badan dan mulai beranjak. Sedikit jauh, di jalanan, kendaraan melintas pelan; terlihat capek dan lesu. Sedang langit menyala jingga. Saya jadi teringat puisi Pacar Senja dan Cita-cita. Sila membacanya di buku atau laman internet.

Selepas salat, acara kembali bergulir. Kali ini, personil pembawa acara bertambah satu. Saya sedikit kaget sebab dari lagak-lagaknya, acara seakan dibuka ulang. Dua orang itu membacakan susunan acara (lagi). Katanya, akan ada sambutan-sambutan terlebih dahulu. Seperti dari Ketua Dinas Budaya DIY sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X serta pejabat-pejabat lain. Yang membikin ini menarik adalah bagaimana orang-orang tersebut tak hanya sekadar memberi sambutan yang formal. Lebih dari itu, tiap-tiap mereka membacakan setidaknya satu puisi Jokpin yang mereka pilih sendiri. Ambil contoh Sri Sultan. Beliau memilih puisi berjudul Kota Kecil sambil sebelumnya mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya beliau membacakan puisi.

Kembali pembawa acara masuk. Setelah coba-coba menyapa saya (dan tentu seluruh hadirin), disampaikanlah acara berikutnya, yakni pembacaan testimoni dari keluarga, kawan, serta penyair atau budayawan (perorangan, tak seperti kawan saya, Aqsha, sore tadi yang mewakili komunitas). 

“Namun, sebelum itu mari kita dengarkan musikalisasi puisi dari Oppie Andaresta featuring Bagus Mazasupa!” potong pembawa acara cewek membuyarkan lamunan saya. Masuklah orang yang dimaksud dan sungguh, begitu suara keyboard Mas Bagus mulai mengalun, kemudian suara Mbak Oppie menyanyikan puisi Pacarkecilku. Sebuah “sendang” tercipta di tengah bulu mata saya. Belum lagi sesekali Mbak Oppie melirik ke arah Ibu Ning, istri mendiang Jokpin. Saya merasa haru.

Mereka yang Ikut Mendoakan Joko Pinurbo

Adapun setelahnya, Ibu Ning naik ke panggung mewakili keluarga besar Jokpin. Ia menyatakan bahwa baginya, malam ini adalah malam yang penuh syukur. Malam yang bertepatan dengan 40 harinya orang yang dikasihi dipanggil Tuhan. 

“Tentu saja kami juga bersedih, tapi kami juga diajarkan untuk beriman, sebab Tuhan punya rencana yang baik bagi kami.” tambahnya. 

Sebelum mengakhiri, Ibu Ning sempat menyampaikan pesan titipan dari mendiang Jokpin. Katanya, saat masih dirawat di RS Panti Rapih sekitar Februari lalu, Jokpin menitip pesan maaf untuk semua orang. “Kalau-kalau kadang gojlokannya suka kelewatan, dan kesalahan-kesalahan lain. Kami memohon maaf kepada semua. Semoga perjalanan Mas Joko semakin terang dan lapang,” terangnya.

Kemudian, Ibu Ning bercerita soal nyekar dan membacakan puisi Pacarkecilku. Lantas ia meminta pamit.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Ibu Nuraeni Amperawati Firmina membaca puisi Pacarkecilku/Abdillah Danny

Selanjutnya adalah Butet Kertaradjasa. Dengan mimik wajah yang gagah, Pak Butet membacakan puisi Kamus Kecil. Saya merasakan perbedaan yang besar saat melihat beliau beraksi. Seakan ketika beliaulah yang membacakan, ‘anak panah kata’ akan semakin tepat sasaran, sebab dibawakan dengan mantap dan yakin. Kemudian dilanjutkan oleh Landung Simatupang. Lantas Faruk HT (saya meminta tanda tangan pada beliau selepas acara), Hairus Salim, Joni Ariadinata, Kris Budiman, hingga Raudal Tanjung Banua. Barulah kemudian seorang Romo masuk, memimpin hadirin melangitkan doa untuk Bapak Philipus Joko Pinurbo.

Pembawa acara itu masuk lagi. Namun, kali ini kabar yang ia bawa begitu menggembirakan hati. Katanya, sebelum acara kembali dilanjutkan, para hadirin dipersilakan untuk menikmati sajian di angkringan yang sudah siap. 

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Seperti kata Jokpin, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan/Abdillah Danny

Langsung saja, begitu pembawa acara memberi aba-aba, dengan tangkas saya mengambil nasi kucing dan sate usus. Namun, ternyata keserakahan saya tak disambut dengan keserakahan orang lain. Jadilah saya malu sendiri, lalu untuk kedua kalinya, kembali ke gerobak angkringan lantas menyeduh kopi dengan santai dan perlahan. Di sela keramaian itu, pembawa acara mengulang-ulang kutipan Jokpin soal angkringan: Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Acara berlanjut. Dari kelompok aktor, terdapat Kedung Darma Romansha yang baru saja main film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Lalu dari kalangan yang lebih muda, terdapat Mutia Sukma selaku sastrawan dan pengelola JBS (Jual Buku Sastra), juga Komang Ira Puspitaningsih yang kini gemar berpuisi di kamar dapur. Dilanjutkan dengan Ons Untoro, Heru Joni Putra, serta masih banyak lagi. Ada pula Rumah Pantomim yang menyajikan pertunjukan singkatnya sebagai penutup.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Mutia Sukma membaca puisi Jokpin/Abdillah Danny

Menyadari betapa menyentuh hatinya hari ini, saya tertunduk memekur. Ransel di punggung saya buka dan mengambil buku puisi Jokpin yang berjudul Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu. Selalu saja saya ngakak saat berjumpa puisi yang berjudul Duel. Kemudian saya menutup buku itu, melihat sekeliling yang tetiba hilang suara. Langit yang sesak, untuk sementara menyembunyikan bintang. Jalan raya terlihat ayem. Padahal ini hari seharusnya saya sedih. Namun, entah mengapa saya merasa belum. Hingga angin tiba-tiba berhenti dan terdengar suara jelas sekali di telinga saya:

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

Sebab kata-kata sudah besar,
sudah selesai studi,
dan mereka harus pergi
cari kerja sendiri.

(Telepon Genggam, 2003)*

* tentu saja kalimat terakhir di paragraf akhir tersebut adalah fiksi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/feed/ 0 42398