Abdul Masli https://telusuri.id/author/abdulmasli/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 25 Jun 2024 05:41:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Abdul Masli https://telusuri.id/author/abdulmasli/ 32 32 135956295 Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/ https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/#respond Tue, 25 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42225 Bagi banyak budaya, pergerakan manusia selalu berpindah ke tempat-tempat yang berbeda. Semakin luas gerak yang dibuatnya, semakin luas pula ruang yang dibentuknya. Tempat-tempat yang didatangi menjadi ruang yang lahir karena perpaduan rasa dan gerak yang...

The post Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi banyak budaya, pergerakan manusia selalu berpindah ke tempat-tempat yang berbeda. Semakin luas gerak yang dibuatnya, semakin luas pula ruang yang dibentuknya. Tempat-tempat yang didatangi menjadi ruang yang lahir karena perpaduan rasa dan gerak yang direkam oleh tubuhnya.

Beberapa bulan datang dan pergi di Yogyakarta, mengakrabkan saya tentang kota yang banyak dibangun oleh cerita wisata, daerah istimewa, dan berbagai penyematan lainnya. Pariwisata dan media telah membangun citra Yogyakarta, bahkan itu (mungkin) telah sampai kepada mereka yang belum sempat menjejakkan kaki di sini. Saya akhirnya menyadari betapa pentingnya narasi yang harus dibangun.

Akhir Februari 2024, dengan rasa ingin tahu lebih tentang keistimewaan Yogyakarta, bersama seorang kawan, Budi, kami mencoba melihat Jogja satu jam sebelum pergantian tanggal. Mengendarai sepeda motor Budi, kami membuka pembacaan terhadap Jogja dengan menyusuri jalan dari Tugu Golong Gilig, Malioboro, Titik Nol, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak, dan berbagai tempat di sekitarnya.

Perjalanan singkat malam itu mengantar bertemu beragam hal tentang “yang diabai dari yang Istimewa”. Perjalanan memantik rasa ingin tahu tentang ruang halaman depan dan halaman belakang (space), motor Budi mengantar tubuh sebagai medium untuk merekam emosi maupun gerak (mobilitas).

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kondisi lalu lintas malam di Jl. Diponegoro, Yogyakarta/Abdul Masli

Memanggil Ingatan lewat Wedang Ronde

Sudah lama saat pertama kali mengenal dan mengecap wedang ronde. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika pertama kali pula datang ke Yogyakarta. Sejak itu, jajanan ini menjadi salah satu yang menetap cukup lama di ingatan. Pada suatu malam di dekat Pasar Kranggan, saya kembali mencoba wedang ronde yang dijajakan oleh pedagang kaki lima dengan gerobak dorongnya.

William Wongso, ahli kuliner Nusantara dalam pidato kebudayaannya di Jakarta (10/11/2023), menyampaikan bahwa lidah secara otoritatif dan linguistik menjadi anatomi pada manusia yang memiliki kemampuan mengingat jangka panjang, yang bisa jadi melebihi otak. William Wongso merujuk pendapat Prof. Dr. Jenny Sunariani, drg., M.S., Guru Besar Ilmu Biologi Oral Universitas Airlangga Surabaya, yang menyatakan otak manusia memengaruhi emosi karena desakan memori masa lalu. Mengutip pendapat Prof. Jenny yang dimuat di Kumparan (19/10/20148), William Wongso menyampaikan, saat lidah mengecap sebuah makanan yang pernah dikenalnya, secara tidak sadar otak manusia akan mengingat kembali kapan saat makanan itu (pernah) dirasakan.

Dalam suasana malam yang dingin, suapan kuah jahe hangat dan taburan kacang sangrai mendarat di lidah, seperti membenarkan pandangan William Wongso. Ingatanku terbawa pada tahun 2017 saat pertama mengecap wedang ronde bersama beberapa teman di depan sebuah hotel di Yogyakarta. Sejak saat itu, saya berpikir, suatu waktu saat kembali ke kota ini, wedang ronde mesti saya coba kembali. Senangnya, kini hal itu telah saya tunaikan.

Aroma wedang ronde yang saya hirup malam itu memberi suasana menenangkan. Kuah jahenya wangi. Ada potongan roti yang lembut di dalamnya. Ada pula ronde, yang berbentuk bulat putih dan terbuat dari tepung beras isi kacang. Ketika dikunyah, ronde pecah seperti bom di mulut. Kacang bercampur gula yang dimasukkan di tengahnya memenuhi seisi mulut. Malam itu, usai beberapa suapan, dingin pada tubuh oleh angin malam mulai terasa hangat.

Di bawah remang lampu jalan, di antara riuh knalpot kendaraan, wedang ronde mengundang ingatan untuk bernostalgia. Makanan, rasa, dan ingatan; tiga kata untuk mewakili jelajah kuliner jalanan malam itu.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk wedang ronde untuk menghangatkan malam/Abdul Masli

Perjalanan dan Kuliner sebagai Bagian Tak Terpisahkan

Makanan dan perjalanan adalah satu bagian tersendiri untuk merasakan pengalaman di suatu tempat. Relasi keduanya ini bahkan disambut beberapa orang dalam bentuk kelembagaan untuk melayani para pejalan, seperti yang dilakukan oleh World Food Travel Association (WFTA).  Salah satu otoritas terkemuka dunia dalam pariwisata makanan (juga dikenal sebagai “wisata kuliner” dan “wisata makanan”) yang berdiri sejak tahun 2003 dan berkantor pusat di Portland, Amerika Serikat. Studi mereka menunjukkan bahwa 93% wisatawan menciptakan kenangan yang abadi dan menyenangkan berdasarkan pengalaman mereka dengan keahlian memasak suatu daerah.

Setiap tahunnya, WFTA mendedikasikan satu hari, tanggal 18 April, untuk menyoroti bagaimana dan mengapa mereka melakukan perjalanan untuk merasakan budaya kuliner unik dunia. Hari itu diperingati sebagai World Food Travel Day (WFTD). Mereka mengundang wisatawan pencinta makanan dan minuman, industri perjalanan dan perhotelan dunia, serta siapa pun yang menyukai makanan dan minuman lokal untuk bergabung merayakan WFTD bersama-sama. 

WFTA melihat produk makanan lokal, sejarah kuliner dan keramahan adalah fondasi dari karakter suatu daerah. Itulah yang menarik pengunjung dan membuat penduduk lokal menjadi duta untuk daerah mereka. WFTD pertama kali diluncurkan pada tahun 2018 dengan tujuan menyadarkan konsumen dan pelaku perdagangan akan alasan nomor satu untuk bepergian, yaitu mencoba produk dan pengalaman pada makanan dan minuman baru. Perayaan ini mendukung misi WFTA untuk melestarikan dan mempromosikan budaya kuliner, salah satunya melalui pariwisata.

“Ini adalah hari yang didedikasikan untuk membangun kesadaran global mengenai pentingnya melindungi dan melestarikan budaya kuliner unik dunia,” ungkap Erik Wolf, pendiri dan Direktur Eksekutif WFTA. Senada dengan Amanda Katili Niode, Direktur Climate Reality Indonesia, melalui tulisan Rasa-Rasa dan Tradisi Kuliner Pulau yang dimuat di GBN.top (20/04/2024). Amanda menyebut di Indonesia, makanan adalah jendela ke dalam jiwa masyarakatnya. Tidak hanya menawarkan sekadar rasa, tetapi juga lebih dari itu; pengalaman imersif ke dalam keragaman dan kekayaan budaya yang membuat Indonesia unik.

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Kedai Es Buah PK yang sederhana di pinggiran Jalan Pakuningratan, Yogyakarta/Abdul Masli

Merayakan World Food Travel Day dengan Es Buah

Sehari sebelum peringatan keenam WFTD yang jatuh pada tanggal 17 April 2024, saya sempat mengayuh sepeda mengitari sekitar jantung kota Yogyakarta. Menyusuri Jl. Magelang menuju Jl. Pakuningratan, Jl. P. Mangkubumi, Tugu Golong Gilig, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Diponegoro, kemudian melewati wilayah sekitar Pasar Kranggan.

Di pertigaan antara Jl. Magelang dan Jl. Pakuningratan, tepat di samping bangunan Indomaret berdiri, saya singgah menikmati semangkuk es buah yang kabarnya melegenda bagi lidah warga setempat maupun pendatang. Namanya Es Buah PK, yang disematkan oleh para pelanggannya dengan mengambil dari singkatan nama Jl. Pakuningratan, tempatnya berada. 

Kedai Es Buah PK mulai berjualan sejak tahun 1976 oleh Haji Hadi Suprapto di ujung barat Jl. Pakuningratan. Kini, kedai ini tak hanya menjual es buah, tapi juga bakso. Pelayanan yang diberikan juga cepat dan ramah saat pesanan disampaikan. Saya hanya menunggu sekitar lima menit sebelum semangkuk es buah berisi buah avokad, kelapa muda, sawo, cincau gelap, serta sirup dengan serutan es dan susu cokelat di atasnya tersaji di depan saya. Dari beberapa sumber menyebut jika sirup yang digunakan adalah racikan langsung dari pemiliknya dan diwariskan secara turun-temurun.

Saya menikmati es buah sambil berbagi ruang dengan sepasang pengunjung lainnya di atas tikar. Mereka duduk lebih awal, memesan bakso dan es buah. Namun, karena saya lihat hanya tikar tersebut yang luang, saya pun izin bergabung. Ruang sempit dan lalu lintas kendaraan yang kadang sibuk sedikit mengganggu saat menikmati es buahnya. Meski soal rasa, justru sebaliknya. Ketika pengunjung sedang ramai, kita juga mesti siap berbagi ruang dengan sepeda motor pengunjung yang parkir. 

Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta
Semangkuk es buah komplet khas Kedai Es Buah PK/Abdul Masli

Kekuatan dari es buah ini adalah rasa manis sirupnya tidak menutupi ragam buah yang ada di dalamnya. Setiap buah terasa pas disertai aromanya masing-masing. Susu cokelatnya juga memberi rasa dan aroma berbeda, terlebih saya yang terbiasa dengan es buah bercampur susu kental manis putih. Bagi saya ini menjadi pengalaman pertama yang berkesan dan tidak mengecewakan. Tentunya suatu waktu akan kembali menyantapnya.

Selesai menikmati semangkuk es buah PK, perjalanan saya lanjutkan untuk melihat riuhnya jalanan Yogyakarta. Merekam kota yang terus disibukkan riuhnya kendaraan dan manusia. Manusia yang mencari penghidupan, berwisata, bersantai, atau bahkan diri saya yang bersepeda dengan tujuan berbeda. Menjadi seorang petualang untuk mengecap rasa dan merasakan pengalaman di tempatnya berada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengecap Rasa, Melihat Sisi Lain Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengecap-rasa-melihat-sisi-lain-yogyakarta/feed/ 0 42225
Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-kalimantan-utara-dengan-tiga-moda-transportasi/ https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-kalimantan-utara-dengan-tiga-moda-transportasi/#respond Tue, 18 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42174 Perjalanan bukan hanya tentang mengunjungi suatu tempat, melainkan juga perihal mengalami kehidupan tempat yang didatangi. Hal ini wujud dari gagasan mobilitas yang memandang tubuh sebagai “kendaraan” untuk merasakan emosi dan gerak. Membuka November 2023, suasana...

The post Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan bukan hanya tentang mengunjungi suatu tempat, melainkan juga perihal mengalami kehidupan tempat yang didatangi. Hal ini wujud dari gagasan mobilitas yang memandang tubuh sebagai “kendaraan” untuk merasakan emosi dan gerak.

Membuka November 2023, suasana masih remang saat kereta yang berangkat pada Subuh membawaku dari Stasiun Yogyakarta menuju Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo, lalu melanjutkan penerbangan ke Kalimantan. Pulau yang dihuni oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dari YIA, sang burung besi terbang melintas di atas garis khatulistiwa selama dua jam sampai mendarat di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Tujuan penerbanganku hari itu menuju Tarakan sebagai pintu masuk perjalanan ke beberapa daerah di Kalimantan Utara. Namun, belum ada layanan pesawat yang langsung terbang menuju Tarakan, sehingga pesawat mesti berhenti sementara di Balikpapan. 

Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi
Pesawat terparkir di Bandara Sultan Aji Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur/Abdul Masli

Satu jam menunggu di bandara, perjalanan dengan pesawat berlanjut dengan tujuan Tarakan. Durasinya kurang lebih satu jam. Karena tertidur, waktu penerbangan terasa berlalu cepat. Aku terbangun beberapa saat sebelum mendarat, yakni ketika petugas mengimbau kepada seluruh penumpang untuk menegakkan sandaran kursi dan mengenakan sabuk pengaman.

Tatapan mata kuarahkan pada jendela. Rasa kantuk yang menyerang karena mesti berangkat sejak Subuh sudah hilang. Terlihat dari luar sana mengalir sungai berkelok dengan air cokelat yang bermuara ke laut. Petak-petak empang tampak di pinggir sungainya. Deretan tanaman bakau tumbuh menjadi batas laut dengan empang warga tersebut.

Pesawat perlahan membelok ke kiri. Hamparan empang, bakau, dan laut mulai menghilang dan berganti deretan bangunan kantor, rumah-rumah warga, dan jalanan di antaranya. Bising terdengar, pesawat terguncang saat rodanya menyentuh landasan Bandara Juwata, Tarakan. Tidak lama, pesawat mulai melambat, arahnya berputar mendekati terminal penumpang. Turun dari pesawat, paparan sinar matahari terasa sedang terik-teriknya. Waktu itu pesawat yang kutumpangi mendarat saat bayangannya telah condong ke timur.

Dari bandara, aku menumpang mobil bergerak menuju sebuah kafe di Karang Balik untuk berjumpa Kak Mail, Kak Bata, dan Millah. Di sana kami santap siang dan mengobrol sebentar, sebelum bersiap kembali bergerak ke Pelabuhan Tengkayu untuk menumpang perahu cepat. Daratan Tanjung Selor, sebuah kecamatan di Kabupaten Bulungan yang sekaligus ibu kota provinsi, menjadi tujuan akhir perjalanan hari itu.

Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi
Pelabuhan Tengkayu Kota Tarakan/Abdul Masli

Tarakan, Kota Pertambangan Minyak yang Multietnis

Tarakan memiliki makna tempat singgah. Dahulu banyak pelaut yang singgah ke Tarakan untuk beristirahat dan makan di pulau ini. Tarakan sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Tidung, tarak (tempat singgah) dan ngakan (makan). Tarakan pada masa Perang Dunia II lewat buku yang ditulis oleh Iwan Santosa (2004) disebut sebagai “The Pearl Harbor of Indonesia” (1942–1945).

Tarakan terus mengalami proses perkembangan dan perubahan karena adanya aktivitas pertambangan minyak. Perubahan ini belakangan melahirkan representasi penanda identitas masyarakat Kota Tarakan yang multietnis. Kita bisa lihat dari penduduk yang menghuninya sebagian besar perantau, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Toraja, Palu, Manado, Buton, Batak, Padang, Aceh, Palembang, Ambon, Bali, dan Tionghoa. Tahun 2011, Polres Tarakan merilis data bahwa penduduk terbanyak datang dari etnis Jawa dan Bugis, masing-masing berjumlah 89.418 dan 75.941 jiwa, sedangkan etnis Tidung sebagai penduduk lokal sebanyak 5.900 jiwa.

Penduduk perantau yang lama hidup di Tarakan ini kemudian mendirikan perkumpulan sebagai upaya saling mencari, menjaga, dan merawat eksistensi budaya asal. Lembaga masyarakat memang satu dari sekian ekspresi budaya untuk menandai kehadiran migrasi warga. Sepanjang tahun 2020–2022, tercatat 23 kerukunan dan lembaga adat dari 156 organisasi masyarakat yang terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Tarakan. Selain itu, masih ada 20 paguyuban yang belum terdaftar dan ikut dalam pawai pembangunan tahun 2022. Artinya, sekurang-kurangnya ada 43 organisasi masyarakat yang bergerak meramaikan kelindan kebudayaan Kota Tarakan.

Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi
Peta Kota Tarakan Tahun 1940-an/Abdul Masli

Sejarah perkembangan kota ini bermula pada tahun 1896, saat rombongan geolog Belanda yang bekerja untuk Nederlandsch-Indische Industrie en Handel Maatschappij (NIHM) datang ke Pulau Tarakan untuk melakukan penelitian, mencari potensi tambang minyak bumi. Tahun 1897, mereka memasuki wilayah hutan belantara di tengah pulau setelah mendapat informasi bahwa masyarakat menemukan rembesan cairan berminyak hitam, beraroma khas, dan mudah terbakar. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Pamusian. Saat itulah ladang minyak di Tarakan pertama kali ditemukan.

Sepanjang tahun 1897–1905, konsesi pertambangan minyak di Tarakan dimiliki oleh perusahaan NIHM. Periode tersebut adalah masa-masa perintisan tambang minyak di sana. Tahun 1905, konsesi NIHM berakhir dan ladang minyak Tarakan dialihkan ke Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Perusahaan ini kemudian memegang konsesi sampai tahun 1942. Namun, ketegangan karena Perang Dunia II membuat pemerintah Hindia Belanda memerintahkan untuk membumihanguskan sebagian besar fasilitas dan ladang minyak Tarakan agar tidak dikuasai oleh Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan “Bumi Hangus Tarakan.” 

“Waktu itu, Belanda tidak mampu mengatasi gempuran pasukan Jepang. Akhirnya Tarakan jatuh ke tangan pasukan Jepang, bersamaan dengan pengelolaan tambang minyak yang turut diambil alih,” terang Pak Salam, kepala bidang kebudayaan Dinas Budporapar Kota Tarakan dalam suatu pertemuan dengannya.

Jepang kemudian menguasai tambang minyak Tarakan hingga tahun 1945. Kondisi tambang yang sebelumnya terbakar pun berhasil mereka pulihkan dan produktif kembali. Selanjutnya, ketika memasuki masa kemerdekaan, Indonesia melalui Permin— cikal bakal Pertamina—mengelola ladang minyak Tarakan.

Pertamina melakukan kerja sama dengan technical assistance contract (TAC) Tesoro, perusahaan minyak Amerika untuk mengelola kawasan tersebut dari tahun 1972 sampai 1992. Periode berikutnya (1992–2018) dikelola dengan pola TAC oleh Expan-PT Medco EP. Setelah itu, barulah Pertamina, melalui Pertamina EP mengelola lapangan minyak Tarakan hingga hari ini.

Berlayar Menuju Tanjung Selor

Tiba di Pelabuhan Tengkayu bersama Kak Mail dan Kak Bata, kami memesan tiket perahu cepat untuk pelayaran menuju Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Millah belum bisa ikut karena sakit. Dia akan menyusul sekitar dua atau tiga hari ke depan setelah pulih.

Perahu Sekatak AAA Express membawa kami menyusuri Laut Sulawesi, lalu memasuki Sungai Kayan yang mengalir di kawasan Bulungan selama satu jam lebih. Sungai Kayan yang berwarna cokelat, berhulu di Gunung Ukeng dan bermuara ke Laut Sulawesi, memiliki panjang hampir 576 km dengan luas 36.993,71 km. Aliran Sungai Kayan menjadi penghubung dan sumber pangan warga yang sering dimanfaatkan sebagai jalur transportasi dan kegiatan pertanian serta perikanan.

Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi
Perahu Sekatak AAA Express sandar di Dermaga Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan/Abdul Masli

Pelayaran hari itu membawa ingatanku pada obrolan dengan Aan, seorang pemuda berdarah Bugis yang sudah lama menetap di Tarakan. Kami berjumpa pada 2022 saat kedatangan pertamaku di Bumi Paguntaka, sebutan lain Kota Tarakan.

“Kalau mau menikmati perjalanan di Kalimantan Utara usahakan jangan lewat udara. Mending lewat laut. Pasti terasa sekali itu, tidak bisa kita lupa,” ucap Aan waktu itu. Ia menyambut kesan pertamaku terhadap Kalimantan Utara yang sepertinya banyak dialiri sungai besar, karena melihat hamparan alamnya dari balik jendela pesawat.

Panas, sempit, dan segala kesibukan manusia dengan beragam tujuan di atas perahu adalah sepenggal emosi dan gerak yang mampu direkam oleh tubuh. Termasuk cerita dan hiburan dari tontonan “film” yang sedikit mengurai kebosanan berlayar sebelum tiba di tujuan. Pendingin dalam ruang kapal tidak berfungsi, jendela yang terbuka tidak mampu mengisi udara yang diperebutkan oleh puluhan orang. Aku hanya bisa pasrah. Keringat mengalir menembus pori-pori kulit. Beruntung karena aku duduk tepat di kursi belakang sehingga bisa berdiri dan berpindah duduk di buritan kapal dekat mesin. Namun, risiko duduk dekat mesin, hidung akan mencium aroma bahan bakar yang bisa membuat pusing jika terlalu lama dihirup.

Sesekali kuamati sempadan kiri dan kanan sungai. Bergantian kulihat tanaman bakau, nipah, pohon kelapa, dan hamparan hutan hijau. Beberapa kali perahu yang kami tumpangi berpapasan dengan perahu lain sedang hilir mudik di atas sungai yang sama. Terlihat juga penduduk yang sedang mencari penghidupan di sekitarnya.

Bukan hanya merekam emosi dan gerak, mobilitas juga memandang tubuh sebagai medium perekam bentang alam suatu wilayah. Kalimantan Utara misalnya, melalui pergerakan aku bisa merekam bahwa daratan ini bukan sekadar hamparan hutan seperti di media-media yang biasa terlihat, tetapi juga ditopang oleh aliran sungai dan laut. Peran penting hamparan air ini memiliki posisi sebagai penyatu antar wilayah dan manusia di dalamnya, menghubungkan mereka yang hidup dari hulu hingga hilir juga memberi sumber penghidupan.

Satu setengah jam pelayaran, perahu cepat yang kami tumpangi telah sandar di Dermaga Speed Besar Tanjung Selor.

“Malinau! Berau! Carter mobil, Pak?” sorak para sopir mobil sewa bergantian di tengah lalu lalang penumpang yang turun dari perahu. Mereka menawarkan jasanya dengan memadati pintu keluar dermaga. Satu pemandangan yang lumrah dijumpai selain jasa porter.

Kami berjalan menuju halaman depan dermaga dekat loket pembelian tiket perahu untuk menunggu mobil jemputan. Dari dermaga perjalanan kami lanjutkan menuju penginapan karena hari sebentar lagi malam.

Perjalanan panjang sejak pagi hingga sore dengan berbagai moda transportasi cukup mengundang keinginan untuk segera meluruskan badan. Saking lelahnya, tidak lama saat tiba di penginapan, mata sudah tertutup membawaku ke alam mimpi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Panjang ke Kalimantan Utara dengan Tiga Moda Transportasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-kalimantan-utara-dengan-tiga-moda-transportasi/feed/ 0 42174
Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/ https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/#respond Mon, 29 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41789 Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan...

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Mandar, salah satu suku bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut di antara suku bangsa maritim lainnya, seperti Makassar, Bugis, Bajau, Madura, dan Buton. Melalui buku Orang Mandar Orang Laut (KPG, 2005), Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut keulungan bahari suku Mandar bisa ditemukan pada bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan seperlunya untuk mengatasi tantangan alam yang terbentang di depan mereka.

Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut bahwa laut “dalam” adalah pembeda antara Mandar dan lima suku bangsa bahari lainnya di Indonesia. Menurutnya, jika kita meneliti peta kedalaman laut Indonesia, Mandar adalah satu-satunya suku bahari yang langsung dihadapkan ke laut dalam terbuka tanpa gugusan pulau. Setidaknya, kedalaman itu mencapai 100-2000 meter di bawah permukaan laut.

“Jika boleh dikata sifat kebaharian suku Mandar bukan muncul dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik, militer, atau ekonomi, melainkan lewat cara yang bersahaja namun konkret, yakni menghadapi tantangan alam dengan mengembangkan teknologi untuk mengatasinya,” tulis Muhammad Ridwan Alimuddin.

Salah satu teknologi perikanan yang menjadi warisan budaya Mandar adalah perahu sandeq. Perahu yang menurut antropolog maritim, Horst Liebner, sebagai puncak revolusi perahu bercadik khas Austronesia. Dahulu, perahu sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang sampai Selat Malaka, Laut Sulu, Papua, dan Pulau Jawa.

Cerita keulungan itu ternyata perlahan berubah sejak nelayan mulai mengenal motorisasi perahu. Posisi perahu sandeq yang bertenaga angin dan ramah lingkungan sebagai perahu warisan budaya mulai tergeser posisinya. Kondisi ini mendorong lahirnya upaya pelestarian sandeq, terutama mewariskan nilai budaya maritim yang terkandung di dalamnya.

Tahun 1995, bermula dari tugas Horst Liebner untuk meneliti tentang pembuatan perahu Sandeq. Setelah satu perahu yang Horst Liebner teliti selesai dibangun di Tanangan, Majene, hari itu juga langsung didorong ke laut dan mengapung-apung di depan kampung. Horst Liebner lalu bertanya pada nelayan yang baginya dianggap teman, “Sekarang kita bikin apa dengan perahu itu?” Para nelayan waktu itu justru memberi jawaban untuk dibuat lomba. Horst Liebner lalu bertanya balik ingin lomba ke mana, yang kembali dijawab dari Majene ke Makassar. Mereka pun membuat lombanya dalam rangka HUT RI Ke-50. Lomba perahu tersebut yang kini dikenal dengan nama Sandeq Race..

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Deretan perahu sandeq pangoli yang akan digunakan peserta Student on Sandeq/Abdul Masli

Student on Sandeq, Pelajaran Pemajuan Kebudayaan dari Mandar

Selasa pagi (08/08/2023), angin kencang berembus, mengingatkanku pada lirik lagu Mandar “Wattu Timur di Pamboang” gubahan Andi Syaiful Sinrang dan HM Abdullah yang dulu biasa saya dengar lewat saluran TV kabel. Hari itu, awal mula Student on Sandeq (SOS) dilaksanakan, sebuah upaya pewarisan nilai budaya di atas laut oleh para passandeq (orang yang mengemudikan perahu sandeq) kepada generasi muda.

Saya memperoleh informasi dari Nasa, seorang teman yang menjadi panitia pelaksana, saat dalam perjalanan dari Tammerodo menuju Banggae, Majene. Kuputuskan singgah di Pamboang, berjalan menyusuri lorong menuju Dapur Mandar, menyaksikan kegiatan yang menghadirkan nelayan Mandar sebagai pelaku budaya untuk mengajarkan anak sekolah tentang semesta laut. Khususnya budaya maritim dan perahu sandeq.

Saya tiba di lokasi pukul 09.30, lalu berdiri di atas tanggul pesisir Pantai Pamboang, tepat samping Dapur Mandar. Saya mengarahkan pandangan ke laut melihat enam perahu sandeq pangoli berjejer di pantai. Jenis perahu sandeq yang biasa digunakan menangkap ikan dan mencari telur ikan terbang dengan menghanyut di tengah laut. Nelayan menyebutnya motangnga. Pada dinding perahu tertulis nama masing-masing sandeq, yakni Dewa Ruci, Buah Kurma, Cari Selamat, Palippis Indah, Bintang Laut, dan Sahara.

Setengah jam menunggu, rombongan peserta telah tiba. Kulihat Ridwan, Nasa, dan beberapa panitia keluar dari Dapur Mandar menyapa para passandeq. Nasa menyerahkan kaos bertuliskan SOS dan lukisan sandeq di depannya kepada passandeq. Saya menyapa mereka, berjabat tangan, kemudian bergabung ke lokasi untuk mengikuti kegiatan pembukaan. Terlihat para panitia giat menyiapkan acara pembukaan, para siswa dari enam sekolah sibuk registrasi dan duduk bercerita di halaman depan Dapur Mandar. Tidak lama, mereka diminta untuk mengganti baju dengan seragam yang telah disiapkan. Semua berlangsung cepat.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Seorang Passandeq melintas di pantai belakang Dapur Mandar/Abdul Masli

Student on Sandeq ini adalah bagian awal dari rencana jangka panjang. Kalau dulu Sandeq Race dimulai tahun 1995 dan hari ini alhamdulillah masih berlangsung, sudah lebih 20 tahun, bahkan hampir 30 tahun. Kali ini idenya adalah semua SMA, SMK, dan MA yang sekolahnya di pesisir itu punya perahu sandeq,” ucap Muhamad Ridwan Alimuddin, penulis buku Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara terbitan Penerbit Ombak tahun 2013 dalam sambutannya.

“Ini, kan, di sekolah sudah ada [ekstrakurikuler] sepak bola, voli, takraw, pramuka; kenapa tidak ada kegiatan berlayar? Kebetulan ada juga kegiatan Merdeka Belajar, jadi bisa dikonversi ke nilai. Nah, yang akan menjadi guru-guru itu para passandeq. Jika sebelumnya sudah ada kegiatan seniman masuk sekolah—kalau tidak salah seniman itu mengajar dan ada gajinya—maka kegiatan ini serupa dengan itu, sehingga passandeq tidak akan jual sandeq-nya kalau ada program seperti itu. Terus teman-teman (siswa) juga akan belajar berlayar dan dalam event-event tertentu, misalnya Hardiknas atau 17 Agustus, itu berlomba. Namun, lombanya bukan cuman kecepatan, tapi dinilai bagaimana kolaborasi di atas perahu sandeq. Jadi, akan ada kolaborasi yang indah antara pelajar dan para passandeq. Dengan cara itu bisa memperpanjang umur perahu sandeq, dan mungkin akan bertambah,” lanjutnya.

SOS melibatkan tiga sawi untuk satu perahu yang akan mewariskan pengetahuannya kepada masing-masing lima siswa dari enam sekolah yang diundang, yakni SMK Labuang, SMK Balanipa, SMAN 1 Tinambung, SMAN 1 Majene, SMAN 2 Majene, dan SMAN 3 Majene. Keenam sekolah ini berada di pesisir Mandar. Siswa menginap di lokasi untuk mengikuti berbagai rangkaian acara, mulai dari praktik memasang layar sandeq, melayarkan perahu, tali temali, navigasi pelaut Mandar, dan sebagainya. Pengalaman berlayar itu mereka tulis menjadi sebuah warisan pengetahuan. Posisi pencatatan setiap peristiwa dipandang penting agar nanti bisa menjadi pengetahuan yang diwariskan bagi generasi selanjutnya.

“Intinya, kegiatan ini bukan melahirkan siswa untuk jadi nelayan atau passandeq—kalau ada yang mau itu malah lebih bagus—tapi bagaimana karakter ke-pelaut-an itu dimiliki oleh kita.” Muhammad Ridwan Alimuddin diam sebentar. Rasa haru nampaknya memenuhi ruang hatinya hingga menitikkan air mata. Kemudian lanjut bicara dengan suara bergetar. 

“Jadi, di passandeq itu, komunitas maritim secara umum, banyak sekali yang punya pengetahuan atau ussul kalau bagi orang Mandar, misalnya tiba sebelum berangkat, terus harus berpikir positif. Hal itu harus kita miliki juga. Paling penting adalah passandeq itu cukup inovatif, apa pun masalah di laut itu mereka bisa atasi. Nah, di kehidupan sehari-hari kita juga harus bisa seperti itu, harus berpikir positif, berkolaborasi, misalnya kalau di laut kita melihat orang mengalami kerusakan perahunya itu harus dibantu. Semangat-semangat seperti itu juga harus dimiliki oleh generasi Mandar. Jadi, kita tidak cuma bangga sebagai cucu pelaut ulung.”

Usai rangkaian acara formal pembukaan, para peserta memasuki rangkaian pertama proses belajar semesta budaya bahari Mandar. Kurang setengah jam matahari tegak lurus di atas kepala, praktik belajar dimulai dengan memasang layar perahu di pinggir pantai. Siswa yang sebelumnya telah dibagi menjadi enam kelompok sesuai jumlah sekolah yang diundang mulai praktik. Passandeq sebagai guru mereka menjelaskan, memberi contoh, lalu dipraktikkan oleh siswa. Layar berupa terpal putih dengan lukisan di tengahnya dibentangkan di pasir, pada sisi lainnya dijahit ke tiang layar menggunakan tali. Proses ini berlangsung cukup cepat, kurang lebih dua puluh menit, satu per satu layar telah terpasang pada tiang layar, yang kemudian diangkat bersama-sama untuk dipasang pada perahu.

Kusaksikan wajah siswa yang mengikuti kegiatan, beserta orang-orang yang turut menyaksikan kegiatan ini. Ada kebahagiaan, antusias, euforia, bercampur menjadi satu. Kolaborasi antara siswa dan passandeq, terjalin harmonis seperti yang telah disampaikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam sambutannya.

Contoh yang Diharapkan untuk Pelestarian Kebudayaan Lainnya

Pukul 11.40 satu perahu yang lebih awal memasang layar mulai membuka layar dan berlayar di perairan yang tidak jauh dari pantai. Lima lainnya ada yang masih sibuk memasang tiang layar, bahkan ada yang masih menjahit layar ke tiangnya. Dua puluh menit berlalu, semua perahu siap berlayar. Namun, tiba-tiba salah satu perahu sandeq mengalami kerusakan. Pada jarak sekitar 50 meter dari pinggir pantai, perahu yang diikuti oleh siswa SMAN 1 Tinambung, yakni sandeq Buah Kurma, tiang layarnya patah. Mereka pun kembali dengan mendayung hingga ke pinggir pantai.

Menyikapi kasus tersebut, Muhammad Ridwan Alimuddin menyampaikan untuk belajar langsung memperbaiki perahu rusak. Kasus kerusakan perahu biasa terjadi, pengalaman ini justru bisa menjadi pengalaman berbeda bagi peserta dibanding yang lainnya. Mereka bisa belajar lebih dalam mengenai pengetahuan keperahuan.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Kondisi perahu sandeq Buah Kurma yang tiang layarnya patah/Abdul Masli

Student on Sandeq serupa perahu yang mengarungi gelombang perubahan zaman. Ia wujud nyata dari inisiatif baik dan keteguhan masyarakat yang orientasi budayanya maritim. Ia menjadi penanda upaya pemajuan kebudayaan yang berpijak pada keseharian masyarakat untuk mencapai kemandirian. Masyarakat pemilik dan penggerak kebudayaan, maka sejatinya mereka tidak dilepaskan dari perkembangan kebudayaannya.

Perkembangan kebudayaan sepatutnya tidak dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menempatkan masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan nasional. Masyarakat sebagai pelaku aktif kebudayaan, dari tingkat komunitas sampai industri. Mereka pihak yang paling akrab dan paling paham tentang kebutuhan dan tantangan untuk memajukan ekosistem kebudayaan.

Student on Sandeq menjadi contoh praktik baik dari realisasi strategi kebudayaan berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumber daya kebudayaan yang tidak lepas dari konteks warganya. Nelayan sebagai pelaku dan pemilik pengetahuan mewariskan nilai budaya, peneliti atau pemerhati kebudayaan hadir sebagai fasilitator yang menjembatani nelayan, pemerintah, dan generasi muda. Sementara itu, pemerintah hadir memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dengan memberikan dukungan materiel dan jaminan keberlanjutan program. Generasi muda yang terlibat mengikuti kegiatan belajar dan merefleksikannya untuk diambil pembelajaran dan nilai-nilai budaya di dalamnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/feed/ 0 41789