Adinan Rizfauzi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adinanrizfauzi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 11 Jun 2025 11:23:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Adinan Rizfauzi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adinanrizfauzi/ 32 32 135956295 Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/ https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/#respond Wed, 11 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47379 Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang...

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang yang kini terlihat, juga sebuah kubangan luas yang di dalamnya terdapat petak-petak tambak milik warga.

Kubangan luas itu dulunya adalah daratan, lalu terkena abrasi dan menjadi bagian dari Laut Jawa. Setelah tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer dibangun dengan memotong sebagian laut dangkal itu, bagian dalam laut itu berubah menjadi kolam “kubangan” retensi pengendali banjir rob.

Gofur tinggal di Tambak Lorok, sebuah kampung nelayan yang berada di Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara. Ia sendiri adalah seorang nelayan. Tiap menjelang malam Gofur berangkat melaut untuk menjaring udang dengan perahu oranye miliknya. Tengah malam Gofur kembali lagi ke darat, lalu menyetorkan hasil tangkapannya ke tempat pelelangan ikan di kampungnya.

“Bulan Desember itu harga hasil laut memang naik. Tapi kalau udang naiknya nggak seberapa. Yang naiknya melambung itu, ya, kerang hijau, kerang dara, ikan-ikan. Itu mahal semua. Kerang hijau dari lima ribu bisa naik sepuluh sampai lima belas (ribu),” katanya.

Saya pertama kali menemui Gofur di rumahnya pada Minggu, 8 Desember 2024. Kala itu, ia sedang duduk santai dengan salah seorang tetangganya di depan rumahnya. Ia mengenakan kaus putih bergambar wajah paslon Pilpres 2024, celana pendek hitam, dan sandal selop coklat. Sebuah ketu hitam tersampir di kepalanya, menutupi rambutnya yang mulai beruban. Umurnya 52 tahun.

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Gofur dan perahu warga oranye miliknya di dermaga sebelah timur kampung/Adinan Rizfauzi

Tambak Lorok Hari ini dan Muasal Warganya

“Orang Tambak Lorok ini rata-rata perantauan, orang pendatang. Yang asli Tambak Lorok, ya, yang masih kecil muda itu. Yang tua-tua aslinya orang luar. Banyak yang dari Demak seperti saya.” Gofur bercerita tentang kampungnya. Saya manggut-manggut mendengarkannya. 

Sebuah situs Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebut Tambak Lorok adalah perkampungan nelayan terbesar di Kota Semarang. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Tengah mencatat ada 700 lebih warga Tambak Lorok yang berprofesi sebagai nelayan. Kini, kampung itu memiliki 11.056 penduduk.

Belakangan ini Tambak Lorok tampak mendapat sorotan pemerintah. Sebuah pasar direvitalisasi. Saat saya berkunjung, pasar dua lantai dengan tembok biru itu banyak diisi oleh pedagang yang menjajakan hasil laut. Sebuah taman juga dibangun. Terletak di antara jalan satu arah kampung, memanjang lurus mengikuti jalan utama kampung. Banyak tetumbuhan di sana, juga tempat bermain dan kursi-kursi panjang, menjadi oase di tengah permukiman warga yang saling berdesakan.

Yang terakhir adalah pembangunan tanggul laut. Akhir 2024 lalu Presiden Joko Widodo meresmikan tanggul sepanjang 3,6 kilometer itu.

“Waktu pembangunan tanggul belum jadi, Pak Jokowi ke sini jam dua belas malam, hanya sama sopirnya saja. Nggak ada pengawalnya,” kata Gofur dengan suara bangga. “Sekarang kampung Tambak Lorok aman dari gelombang, aman dari pasang surut laut.” 

Efektifitas Tanggul Laut

Pemerintah mengklaim tanggul laut di Tambak Lorok akan bertahan sampai 30 tahun. Tapi saya mendengar bahwa tanggul laut itu sudah merembes pada waktu-waktu tertentu. Beberapa pakar menyebut tanggul laut memang efektif menanggulangi air pasang, gelombang, dan rob. Namun, ia hanya bisa diandalkan dalam jangka pendek. Di pesisir Semarang–Demak, daya tahan tanggul juga berpacu dengan penurunan muka tanah. Di sana penurunan muka tanah bisa mencapai 12 sentimeter per tahun.

“Menurut saya tanggul laut merupakan solusi yang efektif untuk jangka pendek. Tidak menyelesaikan akar masalah walau investasinya besar,” kata Ketua Departemen  Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang Ing Wiwandari Handayani dalam sebuah wawancara radio pada pekan ketiga Februari 2025 lalu.

Ketika saya menyusuri tanggul laut di Tambak Lorok, beberapa pemancing sedang khusyuk melakukan aktivitasnya. Kawasan industri Tanjung Mas terlihat jelas dari balik tanggul yang dibangun dengan anggaran 386 miliar itu. Seekor burung kuntul putih mencari mangsa di kubangan luas di kolam retensi. Melihat ada orang melintas tak jauh darinya, ia terbang rendah.

“Di Jakarta Utara tanggul laut dibangun lebih tinggi. Tapi sudah retak, air-airnya masuk ke dalam,” kata salah seorang rekan yang hari itu turut serta ke Tambak Lorok. Ia orang Bekasi. Barangkali ia sering menelusuri Jakarta Utara.

Jangan jauh-jauh sampai Jakarta Utara. Sekitar tiga tahun lalu, tanggul di PT Lamicitra Nusantara yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Tanjung Mas jebol. Akibatnya, air rob masuk ke kawasan pelabuhan, sampai berhari-hari. Aktivitas industri terhenti. Tambak Lorok yang hanya berjarak selemparan batu dari pelabuhan juga kena rob. Saat itu, tanggul di kampung tersebut belum selesai dibangun.

  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut

Tanggul Tol Laut Semarang–Demak

Kini, sebuah tanggul laut versi mercusuar sedang dibangun oleh pemerintah pusat. Tol Tanggul Laut Semarang–Demak. Tanggul sekaligus jalan tol sepanjang 27 kilometer itu akan melahap anggarannya 15 triliun. Sepuluh juta bambu digunakan sebagai material proyek tersebut, dirakit dan ditata sedemikian rupa menjadi matras untuk bangunan tanggul dan tol di atasnya. Konon, penggunaan matras bambu itu bisa menahan penurunan tanah.

Selain mempertanyakan efektivitas dan kekuatan matras bambu, beberapa kalangan khawatir keberadaan tol tanggul laut justru membawa malapetaka bagi daerah lain. Sebab, keberadaan tanggul Tol Tanggul Laut Semarang–Demak itu diperkirakan bakal mengubah arus laut. Daerah-daerah yang sebelumnya aman malah berpotensi kena rob hanya karena tidak dilalui tanggul.

Lantas, apa yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah agar tak melulu bergantung pada pembangunan tanggul laut? Ing Wiwandari Handayani mengatakan, “Akar masalah di hulu harus mulai diperbaiki dengan menjaga kawasan resapan air dan tata kelola kota yang baik.”

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Matras bambu pembangunan tol tanggul laut terdampar karena terbawa gelombang besar pada akhir Januari lalu/Achmad Rizki Muazam via Mongabay Indonesia

Pada hari lain Gofur mengajak saya ke dermaga sebelah timur kampung. Ia tetap mengenakan kaus kampanye. Hanya saja, hari itu ia mengenakan kaus milik paslon lain. Tampaknya kaus kampanye menjadi pemberian yang berguna betul bagi orang seperti Gofur.

Terdapat sebuah tangga kayu di tanggul yang membatasi dermaga dengan permukiman warga. Kami menaiki tangga itu agar tidak harus berjalan jauh memutar. Ketika kaki saya sudah menapaki dermaga, saya melihat bambu-bambu sepanjang tiga meter yang teronggok di pojokan, tepat di samping tanggul. “Itu bambu-bambu proyek tol tanggul laut. Lepas dari kerangka dan terbawa sampai sini,” tuturnya. 

Awan hitam menggantung di langit sebelah utara, di atas Laut Jawa yang airnya berkecipak membentur tepian dermaga. Gofur duduk di sebatang bambu yang melintang. Ia merogoh saku celananya, meraih bungkus rokok dan geretan. Asap tipis meliyuk-liyuk di udara. Baunya berbaur dengan aroma laut. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/feed/ 0 47379
Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/ https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/#respond Thu, 22 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47154 Sebuah patung berdiri di muka Kampung Tambak Lorok. Bentuknya menyerupai ikan marlin, ikan yang menjadi primadona para pelaut. Melihat patung tersebut, saya teringat sosok Santiago, si lelaki tua dalam novel The Old Man and The...

The post Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah patung berdiri di muka Kampung Tambak Lorok. Bentuknya menyerupai ikan marlin, ikan yang menjadi primadona para pelaut. Melihat patung tersebut, saya teringat sosok Santiago, si lelaki tua dalam novel The Old Man and The Sea gubahan Ernest Hemingway. Di atas perahunya, Santiago pontang-panting menangkap ikan marlin raksasa di Laut Kuba.

Pada Minggu (8/12/2024), saya melintasi patung marlin itu, lalu berkelok ke jalan utama Kampung Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara. Tak butuh waktu lama, rongga hidung saya langsung berjumpa dengan aroma ikan asin. Warga memang menjemur ikan asin di pinggiran jalan kampung. Pukul sembilan pagi, matahari sudah menyorot hebat. Semarang panas seperti biasanya. 

Setelah melewati pasar kampung Tambak Lorok, kendaraan yang saya tumpangi berhenti di sekitar bangunan Pos TNI AL. Beberapa orang berkumpul di pelataran dan di taman samping bangunan bercat putih itu. “Ada kunjungan Mbak Ita,” kata Bu Suntiah, 54 tahun, salah seorang warga Tambak Lorok, menjelaskan mengapa pagi itu ada ramai-ramai. 

Mbak Ita adalah nama sapaan Hevearita Gunaryanti Rahayu. Mantan Wali Kota Semarang yang kini sedang terjerat kasus korupsi dan pemerasan di lingkup Pemkot Semarang. Hari itu, ia datang ke Tambak Lorok untuk membagi-bagikan sembako.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Suasana Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kami dipersilakan masuk ke ruang depan Pos TNI AL. Sebuah karpet benang warna-warni digelar untuk kami. Lantai keramik warna putih dan cat bangunan yang serba putih membuat gerah sedikit tertahankan. Di salah satu sudut tembok, terbentang peta Kampung Tambak Lorok.

Saya tidak tahu persis mengapa Pos TNI AL menjadi tempat pertemuan kami dengan Bu Suntiah. Barangkali karena hari itu ada kunjungan wali kota, dan Bu Suntiah yang juga turut hadir ke pertemuan ingin agar kami sekalian menemuinya di sana.

Saya datang bergerombol bersama delapan orang lain. Lima orang di antaranya, ditambah saya, adalah peserta Urban Citizenship Academy (UCA) 2024. Itu adalah program pengembangan kapasitas dan kampanye untuk mengatasi masalah kota yang diselenggarakan oleh Kota Kita, sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Surakarta, Jawa Tengah. Tiga orang lain yang turut serta adalah fasilitator kegiatan dari Kota Kita. Sementara Bu Suntiah adalah fasilitator kami dari Kampung Tambak Lorok. 

Boleh dibilang Bu Suntiah adalah kunci. Ia memberi kami akses ke narasumber sesuai dengan kriteria yang kami butuhkan. Tiap orang dari kami memiliki kriteria narasumber yang berbeda, sebuah cara yang tepat untuk membuat Bu Suntiah repot. Di Kota Semarang, UCA 2024 mengambil tema soal keadilan iklim. Kami berusaha menggali informasi tentang dampak krisis iklim terhadap masyarakat pesisir. Dan kedatangan kami ke Kampung Tambak Lorok tak lain dan tak bukan adalah untuk itu.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Dermaga sebelah timur Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kampung Pemanen Hasil Laut

Kampung yang diimpit oleh dua dermaga ini memiliki 11.056 penduduk. Rumah-rumah dibangun berdempetan. Sebuah kampung yang sesak. Dari beberapa titik kampung, cerobong-cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) milik PT Indonesia Power di sebelah barat kampung terlihat memuntahkan kepulan asap hitam. Kampung ini bisa ditempuh 13 menit dari pusat Kota Semarang, dan hanya empat menit dari Pelabuhan Tanjung Mas. Kebanyakan warganya bekerja dengan mengandalkan tangkapan laut.

Selang beberapa saat setelah kami mulai menyusuri kampung, kami melihat beberapa perempuan sedang membersihkan cangkang kerang hijau. Dian Lestari (29), warga Kampung Tambak Lorok yang hari itu kami temui mengatakan bahwa pagi itu, ia dan tiga rekannya sudah membersihkan delapan ember kerang. 

“Per ember 15 kg. Sehari bisa dapat empat ember, kadang sampai delapan ember. Tergantung ambil banyak atau dikit,” katanya. “Per ember sepuluh ribu.”

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Kerang hijau yang sudah dibersihkan oleh Mbak Dian dan rekan-rekannya/Adinan Rizfauzi

Mbak Dian duduk di sebuah dingklik kayu di pelataran sempit rumahnya. Tangannya cekatan menggerakkan gagang pisau. Caranya membersihkan cangkang kerang terlihat sederhana. Mula-mula, ia memisahkan kerang-kerang yang bergerombol. Seketika pisaunya sudah memangkas kerak-kerak yang menempel di bagian cangkang kerang, lalu memotong julaian rambut pada bagian sudut-sudut kerang. Mata saya tak berkedip ketika melihat gerakan kilat itu.

“Nanti dijual ke pasar. Kalau dimasak siputan, dimasak sama kulitnya. Kalau digoreng cuma diambil dagingnya,” tuturnya. Sesekali ia berhenti bekerja, menjawab pertanyaan kami dengan suara bertempo cepat.

Tak jauh dari pelataran tempat Mbak Dian dan perempuan lain bekerja, ada dua orang bapak sedang bercengkrama. Mereka duduk di sebuah balai-balai panjang yang merekat di tembok belakang rumah warga lain. Salah satu dari mereka adalah seorang nelayan. Namanya Gofur, 52 tahun.

“Kemarin libur karena gelombang lagi tinggi. Desember memang sering gelombang tinggi.” Kepada kami Pak Gofur sering tersenyum ramah. Ketika kami dipersilakan turut duduk di balai-balai, salah seorang lelaki lain malah menyingkir.

Nestapa Warga Pesisir di Hadapan Gelombang Ganas

Gelombang tinggi memang jadi musuh nelayan seperti Pak Gofur. Gara-gara gelombang tinggi, para nelayan terpaksa meliburkan diri. Libur artinya tak ada pemasukan. Pak Gofur pernah tidak melaut sampai dua minggu. Saya bertanya, “Terus bagaimana?”

“Pakai simpanan. Kalau kepepet, ya, utang,” tukasnya.

Bagi warga pesisir, gelombang tinggi tidak sekadar berpengaruh pada urusan pekerjaan dan pendapatan, tapi juga pada seluruh aktivitasnya. Sebab, biasanya gelombang tinggi juga diikuti oleh malapetaka lain: banjir rob. Setidaknya itulah yang terjadi di wilayah pesisir Semarang–Demak. Sampai hari ini, beberapa wilayah di dua tempat itu tak bisa lolos dari bencana rob. Untungnya kini Tambak Lorok menjadi satu kampung yang selamat.

Pada 2024 lalu, pemerintah meresmikan pembangunan tanggul laut yang mengitari separuh Kampung Tambak Lorok. Tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer itu melahap anggaran 386 miliar. Saya sudah dua kali menyusuri tanggul itu dari ujung ke ujung. Panjang juga. Tanggul itulah yang menjadi penyelamat Tambak Lorok dari rob dan gelombang tinggi, yang sebelumnya sempat memorak-porandakan hunian warga. 

“Itu rumah saya kena gelombang, sampai sekarang belum saya perbaiki. Sudah satu tahun lebih, mau dua tahun,” tutur Mbak Dian, menunjuk ke arah bekas rumahnya. Karena peristiwa itu, sejak Desember 2023, ia beserta suami dan dua orang anaknya terpaksa tinggal satu rumah bersama mertuanya. 

Pak Gofur mengingat betapa dulu kampungnya menjadi langganan rob, “Dulu nggak ada tanggul ini, waduh, Tambak Lorok itu seperti lautan.” Rumah Gofur berada persis di sebelah bekas rumah Mbak Dian. Rumah itu kini lebih menyerupai rumah panggung yang berdiri di atas laut. Padahal, kata Mbak Dian, dua tahun silam rumah itu masih menapaki tanah.

Terbebas dari rob bukan berarti semua masalah telah selesai. Seperti daerah pesisir Semarang–Demak lain, Tambak Lorok juga mengalami penurunan permukaan tanah (land subsidence). Setiap tahunnya tanah di pesisir Aemarang bisa amblas sampai 12 sentimeter. Maka, saya tidak terkejut ketika melihat beberapa rumah di Tambak Lorok memiliki lantai yang jauh lebih rendah dari permukaan jalanan di hadapannya. Saya juga kerap melihat jendela yang menyentuh dasar lantai rumah atau rumah dengan kusen pintu rendah. Pak Gofur mesti merunduk apabila ingin keluar masuk rumah. Semua itu gara-gara penurunan muka tanah.

  • Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut

Mbak Dian merencanakan akan pindah ke tempat lain. Satu petak tanah telah dibeli di daerah Genuk, sebuah kecamatan di Semarang yang berjarak sekitar delapan kilometer dari Tambak Lorok. Kini ia bersama suaminya secara bertahap mulai membeli material untuk bangunan rumahnya kelak. 

“Sebenernya enak di Tambak Lorok. Di sini cari kerja agak gampang. Cuma kendalanya di sini tanahnya gerak. Pengeluarannya banyak untuk renovasi rumah,” kata Amin Marzuki. Mas Amin, 30 tahun, adalah suami Mbak Dian. Melihat ada orang berkumpul di pelatarannya, ia ikut nimbrung.

Setelah menyusuri beberapa ruas gang di Kampung Tambak Lorok, kami singgah di dermaga sebelah timur kampung. Ada beberapa orang berjongkok menghadap laut sambil memegang joran pancing. 

Menjelang siang, perahu-perahu nelayan di dermaga dengan berbagai ukuran dan warna terombang-ambing oleh gelombang laut. Tidak terlihat nelayan yang berkegiatan. Angin masih berembus kencang. Hari itu, barangkali Pak Gofur akan kembali absen ke laut. Untuk keselamatannya, Pak Gofur memang memilih untuk tidak meniru Santiago yang mati-matian menangkap ikan marlin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/feed/ 0 47154