Adipatra Kenaro Wicaksana, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adipatrakenaro/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:55:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Adipatra Kenaro Wicaksana, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adipatrakenaro/ 32 32 135956295 Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/ https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/#respond Mon, 24 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46414 Pada Januari lalu kami, tim dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, tiba di Maluku Barat Daya untuk menganalisis dampak lingkungan dari beberapa kegiatan di wilayah tersebut. Tujuannya memberikan rekomendasi untuk pengelolaan...

The post Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Januari lalu kami, tim dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, tiba di Maluku Barat Daya untuk menganalisis dampak lingkungan dari beberapa kegiatan di wilayah tersebut. Tujuannya memberikan rekomendasi untuk pengelolaan yang lebih.

Namun, siapa sangka bahwa kunjungan ini justru membawa kami pada pengalaman sosial budaya yang mendalam?

Perjalanan kami dari Jakarta tidak hanya disambut bentang alam yang memesona, tetapi juga masyarakat yang begitu hangat. Setiap kali kami menginjakkan kaki di Pulau Masela dan Pulau Babar, ada satu hal yang selalu hadir, yakni Tari Seka Besar.

Awalnya, kami mengira ini hanyalah bentuk penyambutan biasa. Namun, semakin kami melihat dan mendalaminya, semakin kami penasaran, apa sebenarnya makna dari tarian ini?

Bersama para penari setelah acara penyambutan Tari Seka Besar/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Sejarah Kelahiran Tari Seka Besar

Dalam esainya terkait kebudayaan, Wakim (2014) menyebut Tari Seka merupakan sebuah tarian yang merepresentasikan seni budaya tradisional dan menggambarkan kehidupan masyarakat Masela. Tari Seka Besar adalah warisan seni budaya yang menggema dari gerakan ritmis sambil mencerminkan cerita, nilai, dan sejarah yang terus hidup di tengah masyarakat.

Tari Seka Besar biasanya ditampilkan dalam acara-acara adat, seperti syukuran atau bahkan saat menyambut tamu penting. Lebih dari sekadar hiburan, Tari Seka Besar ternyata merupakan cara masyarakat Masela menyampaikan cerita kehidupan mereka, sekaligus menjaga tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Dibawakan oleh puluhan penari dengan pakaian adat berwarna cerah, Tari Seka Besar menjadi cerminan keramahtamahan serta kebersamaan masyarakat setempat. Gerakan mereka menyerupai tarian gelombang laut yang terus menari di pesisir pantai Masela. Gerakannya sederhana, tetapi penuh makna, mengingatkan kita akan hubungan erat antara manusia dan alam.

Di balai desa Masela, suasana terasa hangat meskipun terik panas matahari mulai menerjang. Sejumlah tetua adat dan kepala desa berkumpul, membentuk lingkaran. Di antara mereka, Pak Stevanus Tiwery membuka percakapan dengan suara tenang dan berwibawa. 

Beliau menjelaskan, secara etimologi istilah “Seka Besar” memiliki makna mendalam yang berasal dari beberapa istilah lokal. Ada “Ehe Lawn”, terdiri dari ehe yang berarti tari dan lawn  yang berarti besar. Ada pula “Nyilai Lewna” dengan makna serupa: nyilai (tari) dan lewna (besar). Selain itu, masyarakat Masela juga mengenal istilah lokal lainnya, yakni “Wneyseka” yang berarti menyanyi bergembira sambil menggerakkan kaki secara serentak.

“Tari Seka Besar lahir dari pengamatan seorang lelaki sederhana bernama Kowjer Penaonde, yang menemukan inspirasi dari kambing-kambingnya,” ujar Pak Stevanus Tiwery sembari mengingat kembali kisah lama yang diwariskan secara turun-temurun. 

Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar
Forum Group Discussion di balai desa Masela dengan para tetua adat dan kepala desa/Hera Ledy Melindo

Sehari-harinya, Kowjer menggembalakan kambing di hutan yang disebut Amukryene, sebuah tempat subur yang sejak lama menjadi lokasi penggembalaan. Namun, pada suatu hari yang tampaknya biasa, sebuah peristiwa luar biasa mengubah hidupnya dan melahirkan salah satu tradisi paling berharga di daerah itu. 

Menurut cerita yang disampaikan oleh Pak Stevanus Tiwery, Kowjer seperti biasa membawa kambing-kambingnya ke hutan. Dalam penggembalaan itu, dia menyadari ada satu ekor kambing yang hilang dari kawanan. Dengan perasaan gelisah, ia masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk mencarinya. Langkah-langkahnya membawa Kowjer ke sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Pipnukra, sebuah kawasan lokal yang sering digunakan untuk memelihara kambing.

Di sana, Kowjer menemukan pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Ketika berada di naungan pohon beringin yang rindang, ia melihat beberapa ekor kambing bermain dengan riangnya. Mereka melompat-lompat, saling mendorong, dan tampak menikmati permainan. Namun, yang paling mengejutkan adalah suara kambing-kambing itu terdengar seolah-olah sedang bernyanyi.

Rasa penasaran Kowjer membawanya bersembunyi di balik semak-semak. Ia ingin memastikan apa yang dilihat dan didengarnya bukanlah ilusi. Ternyata, kambing-kambing itu memang bergerak dan bersuara seirama, seperti sedang melakukan sebuah pertunjukan. 

Terinspirasi oleh pemandangan tersebut, Kowjer mulai mengikuti gerakan mereka, melompat, dan menyanyikan melodi yang muncul begitu saja dalam pikirannya. Dalam perjalanan pulang, Kowjer terus menyanyikan lagu yang ia ciptakan sambil menirukan gerakan kambing-kambing tadi. 

Orang-orang kampung yang melihat tingkahnya mengira ia sudah tidak waras. Mereka menyebutnya “kemasukan setan” bahkan “gila”, atau dalam bahasa lokalnya neploa, tetapi Kowjer tidak peduli. Baginya, momen di hutan itu adalah suatu pengalaman yang luar biasa.

Hari-hari berikutnya, Kowjer semakin sering menampilkan gerakan dan lagu yang ia ciptakan di Pipnukra. Rasa ingin tahu membuat warga kampung mendekatinya, mencoba memahami alasan di balik tingkah lakunya. 

Dari pertemuan itu, mereka akhirnya mengerti bahwa Kowjer tidak gila. Ia justru telah menemukan sesuatu yang luar biasa, sebuah gerakan tari yang terinspirasi oleh kambing-kambing di hutan. Lengkap dengan lagu yang ia beri judul Pipyo Mkyalimyese Wullyo atau Lihatlah Betapa Indahnya Buluh Kambing Itu.

Penemuan Kowjer berkembang menjadi tradisi yang lebih besar. Lagu dan tarian tersebut kemudian dikenal sebagai Tari Seka Besar. Sebuah seni yang juga bersifat sakral. 

Dalam sejarahnya, tari ini digunakan sebagai bagian dari upacara adat untuk para ksatria yang akan pergi berperang. Tari Seka Besar dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi dan memberikan keberanian kepada para pejuang yang membela negeri.

Tari Seka Besar kini menjadi simbol kebanggaan masyarakat Masela. Sebuah warisan budaya yang lahir dari kepekaan seorang peternak kambing terhadap alam sekitarnya. Kowjer Penaonde, dengan kreativitas dan keberaniannya, membuktikan bahwa inspirasi dapat datang dari mana saja, bahkan dari hewan-hewan yang digembalakan. Tarian ini bukan hanya seni gerak, tetapi juga sejarah hidup yang terus bercerita tentang hubungan erat antara manusia, alam, dan tradisi.

Tari Seka Besar dari jarak lebih dekat dengan puluhan penari lainnya/Alin Rahma Yuliani

Makna Filosofis dan Simbolisme Gerakan dalam Tari Seka Besar

Di depan kami, para penari berbaris, mengenakan kain basta merah yang melambangkan keberanian dan solidaritas. Berdiri di tengah lapangan terbuka, para penari bergerak dengan ritme yang teratur. Tidak ada yang bergerak sendiri. Semua kaki melangkah serempak, tangan saling bergandengan.

Gerakan mereka dimulai dengan Newtala, yang menyimbolkan penyatuan manusia dengan alam, refleksi dari kehidupan masyarakat pesisir yang erat dengan laut. Sementara Npeya adalah gerakan lembut yang dimainkan para penari perempuan, sebagai simbol dukungan dan semangat bagi penari yang berada di garis depan (Ayowane). Adapun gerakan Nweuk memiliki arti kaki yang tegas mengentak, melambangkan keberanian menghadapi tantangan hidup.

Kain basta merah yang digunakan para penari dalam upacara penyambutan Tari Seka Besar/Siti Erwina Youwikijaya & Hera Ledy Melindo

Sebagai penonton, momen paling mendalam adalah ketika salah satu penari Ayowane memimpin kelompok dengan gerakan penuh keyakinan. Penari terdepan menjadi simbol haluan perahu yang mengarungi lautan. “Kami hidup dari laut, dan tarian ini mengajarkan kami untuk terus maju, apa pun ombak yang mengadang,” ujar Pak Stevanus Tiwery.

Gemuruh tifa besar atau praya dimainkan dengan irama mengentak memenuhi udara. Alat seni musik tradisional ini memainkan peran penting dalam Tari Seka Besar. Berbentuk menyerupai tabung panjang, tifa besar menghasilkan suara yang dalam dan menggema, menciptakan ritme yang kuat dan dinamis.

Bunyi praya disebut-sebut menyerupai kokok ayam jantan di pagi hari. Simbol kesiapan dan semangat untuk memulai hari baru atau menghadapi tantangan. Dalam konteks Tari Seka Besar, praya tidak hanya menjadi pengiring musik, tetapi juga pengatur tempo bagi para penari.

Alat musik praya yang memainkan peran penting dalam Tari Seka Besar/Siti Erwina Youwikijaya

Tari Seka Besar memiliki makna sosial yang mendalam. Saat para penari bergandengan tangan dalam formasi melingkar, mereka menunjukkan solidaritas dan persatuan. Setiap lekukan gerak di tarian tersebut membuat kita seperti merasakan makna sosial dan kehidupan yang sederhana, tetapi kuat. Menandakan kita semua adalah bagian dari perjalanan yang dipandu oleh solidaritas dan saling mendukung.

Di balik keindahan gerakannya, Tari Seka Besar menjadi penghubung yang tak tergantikan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat. Setiap langkah kaki yang bergerak serentak adalah jejak dari nilai-nilai luhur yang terus mereka rawat, seolah ingin berbisik kepada dunia, bahwa tradisi adalah cara terbaik untuk tetap mengenali diri sendiri.


Referensi:

Wakim, M. (2014, 29 Juli). Kesenian Tradisional Seka Besar (Ehe Lawn): Warisan Budaya Takbenda Di Pulau Masela Kini Diakui Sebagai Warisan Budaya Indonesia. Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw20/wp-content/uploads/sites/70/2014/07/Artikel-ini-telah-di-cetak-dalam-Bruklet-WBTB-2013-untuk-mendapatkanya-silakan-download-di-sini..pdf.
Wakim, M. (2015, 12 Mei). Sejarah Tari Seka Di Pulau Masela. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/sejarah-tari-seka-di-pulau-masela/.
Wawancara dengan Bapak Stevanus Tiwery, tokoh adat Pulau Masela.

Foto sampul: Tari Seka Besar di Kepulauan Babar Timur/Alin Rahma Yuliani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/feed/ 0 46414
Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan https://telusuri.id/kisah-letwurung-dan-emplawas/ https://telusuri.id/kisah-letwurung-dan-emplawas/#respond Tue, 18 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46293 Siapa sangka, jauh di timur Indonesia, di antara ombak lautan yang terus menghantam karang dan angin yang membawa aroma laut, ada sebuah kepulauan yang jarang terdengar namanya: Kepulauan Babar, Maluku Barat Daya. Pulau Babar mungkin...

The post Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa sangka, jauh di timur Indonesia, di antara ombak lautan yang terus menghantam karang dan angin yang membawa aroma laut, ada sebuah kepulauan yang jarang terdengar namanya: Kepulauan Babar, Maluku Barat Daya.

Pulau Babar mungkin bukan destinasi wisata yang sering muncul di feed Instagram atau masuk dalam daftar rekomendasi travel blogger. Namun, kalau kita bicara tentang sejarah panjang, warisan budaya yang masih bernapas, serta realitas hidup yang lebih keras dari sekadar kata “hidden gem”, maka Letwurung dan Emplawas—dua desa di pulau ini—adalah tempat yang wajib disinggahi.

Perjalanan ke sana juga lebih dari sekadar jalan-jalan biasa. Ini bukan tentang mencari spot foto estetik atau berburu kuliner viral. Ini adalah perjalanan untuk memahami bagaimana masyarakat desa ternyata dapat menjaga cerita leluhur, bertahan dengan apa yang mereka miliki, dan menghadapi tantangan zaman modern yang datang begitu saja tanpa permisi. 

Tentu saja, perjalanan ini tidak melulu soal romantisasi tradisi. Masih ada fakta pahit yang sulit dihindari.

Fakta Pahit di Desa Letwurung dan Emplawas

Dua desa tersebut seperti dua sisi mata uang. Letwurung merupakan kampung lama yang masih dianggap sakral, sedangkan Emplawas menyimpan kisah panjang para leluhur ketika berjuang mempertahankan tanah mereka sejak masa penjajahan.

Keduanya punya cerita yang jauh lebih kompleks daripada sekadar keindahan alam yang sering dipuja-puja di brosur wisata. Di Letwurung, misalnya, sejarah berbisik dari sumur tua yang masih berdiri kukuh. Kampung lama, yang dulunya jadi pusat kehidupan marga-marga asli, kini menjadi situs sakral yang tak boleh sembarangan diusik.

Sementara itu, di Emplawas, warisan yang paling nyata bukan hanya sejarah perlawanan melawan penjajah, melainkan bagaimana masyarakatnya bertahan dengan sumber daya yang mereka miliki. Air bersih? Harus mencari ke mata air atau sumur yang sudah ada sejak entah kapan. Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti PAMSIMAS (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), yang diharapkan bisa menjadi solusi, hanya jadi saksi bisu bahwa tidak semua janji pembangunan berakhir bahagia.

Di Letwurung dan Emplawas, kesehatan tidak hanya menjadi urusan medis formal. Ketika hipertensi, kolesterol, dan asam urat datang tanpa undangan, tanaman herbal hadir sebagai penyelamat.

Namun, terlepas dari semua tantangan itu, Letwurung dan Emplawas tetap punya daya tarik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Bukan bangunan tinggi atau wisata komersialnya, melainkan karena mereka menyimpan kisah yang seharusnya tidak boleh hilang.

Dari kiri bawah, searah jarum jam: Bentuk rumah adat di Desa Letwurung. Informasi pendirian bangunan rumah adat pada tahun 1906. Kawasan kampung lama di Desa Letwurung. Peninggalan sumur tua di kampung lama/Hera Ledy Melindo

Tantangan Kesehatan di Desa Letwurung

Kisah di Desa Letwurung mungkin tidak banyak diketahui orang, meski lebih dalam daripada omongan penduduk tentang gosip dunia. Letwurung lebih dari sekadar perkampungan yang dilindungi oleh sejarah panjang. 

Di desa ini terdapat sumur tua hingga sisa-sisa kampung lama yang masih berdiri kukuh. Seolah menceritakan masa lalu ketika marga asli penduduknya bertahan di sini, meskipun sebagian sudah menyebar ke desa lain. 

Kampung lama di Maluku Barat Daya (MBD) umumnya disebut dengan sebutan dusun atau kampung adat lama, sebelum masyarakat masing-masing desa di setiap pulau bermukim saat ini. Rentang waktunya cukup panjang, hingga sekitar satu abad.

Setelah itu orang MBD telah berpindah dari beberapa kampung lama sebelum ke kampung baru sekarang. Tonggak perpindahan tersebut terjadi karena adanya perang, menghindari bencana, atau adaptasi agroekologi sesuai kedekatan dengan sumber daya mereka.

Kampung lama ini bukan hanya sekadar situs bersejarah, melainkan bagian dari jiwa desa yang harus dijaga dan dihormati. Seperti kata orang tua, “Setiap kampung ada penghuninya, jangan sampai diganggu.”

Kampung lama sebenarnya terdapat di setiap desa di Pulau Babar, yang ditandai dengan adanya peninggalan sumur tua. Kampung lama ini merupakan kawasan pemukiman yang ditempati oleh penduduk asli dari setiap marga pada zaman dahulu. 

Penguasaan lahan kampung lama dimiliki oleh marga asli yang berasal dari kampung lama. Saat ini, kondisi marga yang berasal dari kampung lama beragam. Ada yang bertahan di dalam kampung, ada pula yang menyebar ke kampung-kampung lain untuk kepentingan mencari nafkah ataupun karena hubungan pernikahan. 

Area berhutan di kampung lama Desa Letwurung, yang salah satu titiknya digunakan untuk memelihara ternak seperti babi (kanan)/Alin Rahma Yuliani

Bagi masyarakat di Kepulauan Babar, khususnya Desa Letwurung, kampung lama merupakan tempat yang sakral dan harus dijaga sehingga lokasi kampung lama dijadikan situs. Masyarakat percaya bahwa suatu kampung pasti ada penghuninya maka setiap orang dilarang merusak dan mengganggu kampung tersebut. Kini kampung lama dimanfaatkan oleh masyarakat keturunan dari kampung tersebut untuk memelihara ternak dan lahan pertanian.

Meskipun kampung lama itu sakral dan penuh makna, masyarakat Desa Letwurung juga menghadapi perjuangan lain yang tak kalah berat. Dalam beberapa dekade terakhir, desa ini menghadapi ancaman yang lebih nyata, yaitu masalah kesehatan. 

Tidak ada yang menyangka, di tengah keindahan alam yang tampak tenang dan damai, kesehatan masyarakat menjadi persoalan besar. Di Letwurung, banyak anak yang menderita ISPA, balita menghadapi masalah gizi kurang, dan orang dewasa yang harus bertarung melawan hipertensi, kolesterol, diabetes, serta asam urat. Penyakit-penyakit ini seolah menjadi teman setia di desa yang terletak jauh dari hiruk-piruk kota, tempat yang jangkauan aksesnya ke fasilitas medis sangat terbatas.

Namun, siapa sangka, masyarakat Desa Letwurung tidak menyerah begitu saja. Masyarakat di sini, meski tidak memiliki banyak akses ke obat-obatan modern, telah memilih cara yang lebih alami untuk melawan penyakit. Dalam kebersamaan dengan alam, mereka menemukan penyembuhan dari daun sukun yang digunakan untuk meredakan masalah hati, serta daun binahong yang dipercaya dapat mengatasi berbagai keluhan fisik, seperti nyeri otot, gatal, dan luka.

Ramuan-ramuan yang dimanfaatkan dari tanaman herbal ini bukan hanya sekadar pengobatan, melainkan juga simbol kekuatan sosial, kesehatan, dan budaya masyarakat yang melampaui fungsi fisiknya. Tanaman herbal adalah bagian dari kekuatan dari daya bertahan hidup mereka.

  • Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan
  • Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan

Perlawanan, Pembantaian, dan Perjuangan di Desa Emplawas

Di balik hamparan hijau yang tenang dan embusan angin dari Laut Banda, nama yang jarang terdengar sebagai bahan pembicaraan di luar sana, ternyata Emplawas menyimpan banyak cerita soal tembakau, sejarah perjuangan, bahkan kenangan pahit pembantaian di masa lampau.

Sejak dulu, Emplawas dikenal sebagai penghasil tembakau yang luar biasa. Setiap tahun, desa ini bisa memanen sekitar enam ton tembakau, hasil bumi yang menjadi simbol kehidupan masyarakat desa ini. Namun, meski tembakau menjadi sumber ekonomi, kehidupan di Emplawas bukan hanya tentang gulungan tembakau atau asap yang mengepul.

Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan
Melihat lebih dekat tembakau Emplawas/Hera Ledy Melindo

Ada sesuatu yang lebih dalam, yang sudah lama berakar di desa ini, sebuah sejarah yang tak boleh dilupakan. Desa Emplawas menyimpan kisah yang lebih kelam dari sekadar ingatan samar tentang penjajahan. Desa ini adalah saksi sejarah sekaligus medan perlawanan yang pernah dibasahi darah para leluhurnya.

Pada tahun 1944, ketika tentara Jepang menanamkan teror di Kepulauan Babar, Emplawas menjadi salah satu titik yang menolak tunduk. Akan tetapi, keberanian itu berujung pada pembantaian. Banyak lelaki yang ditangkap, diinterogasi dengan cara yang tak manusiawi, sebelum akhirnya dihabisi tanpa ampun. Tak sedikit pula perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekejaman, meninggalkan luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Mereka hidup dalam ingatan kolektif masyarakat desa, terutama dalam peristiwa pembantaian tragis terhadap 700 orang di Kali Tiwi. Di tempat inilah, setahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga Emplawas yang membangkang. Mereka yang tertangkap dipaksa berjalan ke tepi kali sebelum dihabisi secara brutal. Darah para pejuang mengalir di sungai itu, meninggalkan luka yang tak terlupakan. 

Dari kiri, searah jarum jam: Melihat langsung lokasi pembantaian zaman Jepang di Kali Tiwi, ditemani ketua adat Desa Emplawas. Monumen peringatan pembantaian Jepang. Kerangka manusia korban pembantaian di dalam monumen/Siti Erwina Youwikijaya

Untuk mengenang tragedi tersebut, masyarakat kemudian mendirikan monumen peringatan di dekat lokasi kejadian. Simbol penghormatan dan pengingat bahwa perjuangan mereka ternyata tidak sia-sia.

Di Emplawas, sejarah, perjuangan, dan tradisi bertemu, membentuk karakter yang tak mudah pudar. Tak ada hotel mewah di sini, tak ada tempat wisata komersial yang menonjol.

Jika kamu ingin merasakan bagaimana suatu tempat mempertahankan jati dirinya, meski tertinggal jauh dari arus modernisasi, Emplawas adalah tempat yang tepat untuk berkontemplasi, bahwa sebuah desa tidak perlu pengakuan dunia luar untuk menjadi legenda dalam dirinya sendiri.


Foto sampul: Pesisir Pantai Desa Letwurung Kepulauan Babar Maluku Barat Daya/Alin Rahma Yuliani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Letwurung dan Emplawas, Menjaga Warisan hingga Mengingat Perlawanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-letwurung-dan-emplawas/feed/ 0 46293
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/#respond Thu, 06 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45545 Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan Babar.

Kali ini dimulai lewat jalur udara menuju Maluku hingga Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Dari atas ketinggian, gugusan pulau-pulau kecil di Maluku tampak seperti bintik hijau di atas lautan biru. Saat roda pesawat akhirnya menyentuh landasan Bandara Mathilda Batlayeri, saya tahu perjalanan ini akan membawa banyak pelajaran.

Dari Saumlaki menuju Masela dan Babar, jalur laut kembali menjadi pilihan. Kapal yang tidak terlalu besar itu memotong gelombang dengan membawa kami menyusuri lautan lepas selama beberapa jam. Ombak yang menggulung, angin yang menusuk, dan suara mesin kapal yang meraung menjadi teman perjalanan yang tak terlupakan.

Masyarakat Masela dan Babar hidup sederhana dengan sejarah panjang budaya, kesehatan, kondisi geografis, dan keterbatasan fasilitas publik. Saya ingin mencatat detail tentang upaya masyarakat di sana bertahan menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
KM Sabuk Nusantara, kapal perintis penghubung pulau-pulau di perairan Maluku dalam jaringan tol laut, yang sangat diandalkan masyarakat/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Menyusuri Jejak Budaya dan Kesehatan di Masela

Pulau Masela menyambut kami dengan udara yang sejuk dan tenang. Setibanya di Desa Iblatmuntah, suasana berbeda langsung terasa. 

Desa ini menyimpan banyak kisah unik, salah satunya keberadaan sumur tua dengan nama lokal Tua Tanyema. Warga setempat percaya, sumur itu tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau panjang. Saya bertemu dengan Bu Maria, seorang kader posyandu yang sudah 10 tahun mengabdi.

Tua Tanyema bukan hanya sekadar sumber air, melainkan juga dianggap sakral oleh masyarakat. “Sumur ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Airnya tidak pernah habis, bahkan saat musim kemarau,” katanya sambil menatap sumur berair jernih itu.

Melihat prosesi Tari Seka untuk menyambut tamu di Pulau Masela (kiri) dan mengunjungi sumur tua di Desa Iblatmuntah/Adipatra Kenaro Wicaksana

Saya sempat mencicipi air dari sumur tersebut, rasanya segar dan jernih tanpa perlu dimasak. Seperti menyimpan jejak waktu dari masa lampau.

Kemudian saya mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah rusak selama lebih dari tujuh tahun. “Sekarang, pelayanan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa,” tambah Bu Maria dan Pak Melkisoa Kolabora, Kepala Desa Iblatmuntah. 

Untuk melahirkan, bidan dari puskesmas akan datang langsung ke desa. Namun, dalam banyak kasus, dukun beranak masih menjadi andalan. Uniknya, keberadaan dukun beranak tidak hanya dilihat sebagai solusi darurat, tetapi juga bagian dari tradisi. 

Kondisi bangunan Puskesmas Pembantu Iblatmuntah yang memprihatinkan/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Dukun kami bekerja secara sukarela. Mereka tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga menangani luka luar dan dalam,” ujar Bu Maria. Tradisi ini tetap hidup berdampingan dengan layanan kesehatan modern yang mulai dikenalkan ke masyarakat. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan, terutama lansia, adalah stroke, asam urat, dan asam lambung.

Kehidupan masyarakat banyak bergantung pada hasil laut, terutama ikan yang menjadi sumber protein utama. Sayur-mayur dan kacang-kacangan juga tersedia meski dalam jumlah terbatas, karena tanah di pulau ini lebih banyak berbatu sehingga sulit untuk bertani. Meski begitu, warga desa tidak menyerah pada keterbatasan. 

Langkah saya berlanjut ke Puskesmas Marsela. Perjalanan ini memberikan gambaran lebih luas tentang cara masyarakat Pulau Masela bertahan di tengah keterbatasan akses kesehatan. Jalanan berbatu dan berlumpur menjadi tantangan tersendiri, terlebih cuaca sedang terik sekali dari biasanya. Pak Toni Walkim, Kepala Puskesmas Marsela yang menemani perjalanan saya, menyebut akses ke puskesmas sering menjadi masalah besar.

Kondisi akses jalan yang cukup menantang dilalui untuk menuju Puskesmas Marsela/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Kalau musim hujan, jalan ini bisa tertutup banjir. Kadang puskesmas harus tutup karena tidak ada yang bisa ke sana,” ujarnya sambil menunjuk genangan air yang hampir menutup sebagian jalan.

Setibanya di Puskesmas Marsela, saya disambut oleh bangunan sederhana yang tampak mulai menua. Beberapa bagian dinding terlihat retak, ditopang dengan kayu untuk mencegahnya roboh. “Ini akibat gempa beberapa tahun lalu,” jelas Pak Toni, “dana perbaikan belum turun, jadi kami hanya bisa menahan agar bangunan ini tetap berdiri.”

Di Pulau Masela, masalah sanitasi air bersih menjadi tantangan terbesar. Pak Toni menceritakan dua proyek besar, yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan instalasi PDAM, yang gagal total. 

“Airnya asin dan berlumpur. Salah titik pengeboran menjadi masalah utama,” katanya kecewa. “Banyak yang bergantung pada sumur, terutama saat musim kemarau. Tapi, kami harus bijak menggunakannya agar tidak habis.”

Di akhir perjalanan saya di Marsela, saya duduk bersama warga dan kepala puskesmas di dekat gedung lama puskesmas yang mulanya terletak di bibir pantai. Gedung lama itu kini berkarat akibat paparan air garam, dan rencananya akan dialihfungsikan menjadi tempat rawat inap bagi staf. 

Berlatar suara deburan ombak, kami membincangkan perjuangan masyarakat. “Kami jauh dari segala hal, tapi kami punya semangat untuk bertahan,” kata Pak Toni sambil menatap puskesmas lawas itu.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Gedung rawat inap Puskesmas Letwurung di Babar Timur/Adipatra Kenaro Wicaksana

Refleksi Diri di Ujung Pulau Babar

Perjalanan berikutnya membawa kami ke Pulau Babar, tepatnya di Desa Letwurung. Pulau ini memiliki keadaan yang sedikit berbeda dari Masela. Saya menemui kepala Puskesmas Letwurung, yang berbagi cerita tentang kondisi kesehatan masyarakat. 

“Diare sering terjadi saat musim buah tiba. Anak-anak langsung makan buah tanpa mencucinya,” katanya sambil menunjukkan data yang ia kumpulkan. Meski begitu, Puskesmas Letwurung cukup maju dengan sejumlah fasilitas, seperti panel surya, genset, dan ambulans.

Salah satu hal unik di Babar adalah penggunaan ramuan tradisional untuk kesehatan. Daun sukun, misalnya, dimanfaatkan menjadi teh untuk mengatasi masalah hati, sedangkan daun binahong digunakan untuk luka dan nyeri otot.

“Kami memadukan tradisi dengan medis modern. Itu cara kami untuk memaksimalkan alam dengan kehidupan kita,” jelas Bu Lina, seorang kader kesehatan.

Di Babar, saya juga melihat cara masyarakat memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain ikan, mereka juga mengonsumsi sayur-mayur seperti talas, ubi, dan kacang hijau. Kehidupan di sini sederhana, tetapi penuh dengan pemanfaatan pangan lokal.

Ketika saya meninggalkan Marsela dan Babar, saya merasa membawa cerita yang layak untuk dibagikan tentang daya juang, budaya, dan harapan dari ujung negeri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Foto bersama kepala Puskesmas Letwurung/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Maluku ke Sulawesi Tengah

Dari Maluku Barat Daya, saya melanjutkan ekspedisi ke destinasi berikutnya, yakni Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjalanan kali ini kembali dimulai dengan jalur udara, membawa saya melintasi lautan biru yang membentang luas. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk.

Udara hangat Luwuk menyambut saya, begitu pula semangat untuk mengeksplorasi wilayah ini. Ibu kota Kabupaten Banggai ini tidak hanya terkenal dengan pesona alamnya, tetapi juga menjadi saksi adaptasi masyarakat dengan kehidupan pesisir yang penuh dinamika. Setibanya di Luwuk, saya melangkah ke Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong.

Lingkungan kampung yang tenang dan asri di kawasan perdesaan Kabupaten Banggai/Adipatra Kenaro Wicaksana

Desa Mulyoharjo dikenal dengan program posyandu yang rutin dilakukan setiap bulan. Kegiatan ini meliputi layanan untuk ibu hamil, balita, hingga lansia. Masyarakat memanfaatkan fasilitas antara lain pemeriksaan tekanan darah tinggi dan pemberian makanan tambahan berbahan lokal, seperti umbi-umbian dan jagung.

Namun, tantangan tetap ada. “Stunting di sini bukan soal kekurangan makanan, tapi pola asuh yang kurang peduli,” jelas Bu Yanti, seorang kader kesehatan. Puskesmas setempat merespons dengan penyuluhan langsung kepada ibu hamil, bahkan melibatkan aparat desa untuk mendatangi warga yang enggan mengikuti posyandu.

Sementara di Desa Sumberharjo, pasar harian menjadi denyut nadi ekonomi sekaligus tempat berkumpul warga. Dari hasil bumi hingga jamu herbal seperti sereh dan kunyit, pasar ini menawarkan ragam kebutuhan hidup.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)

Kegiatan penyuluhan dan pelayanan kesehatan langsung di Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong/Adipatra Kenaro Wicaksana

Selain itu, aktivitas fisik juga menjadi fokus utama desa. Puskesmas sering mengadakan senam lansia dan jalan sehat, bahkan pertandingan voli untuk ibu-ibu. “Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga mempererat kebersamaan,” kata Bu Nina, kader kesehatan yang aktif di berbagai kegiatan.

Namun, permasalahan kesehatan seperti hipertensi dan asam urat masih banyak dijumpai. Untuk mengatasinya, puskesmas bekerja sama dengan desa mengadakan edukasi tentang pola makan sehat dan program inovatif, di antaranya lomba masak makanan bergizi.

Dari Mulyoharjo hingga Sumberharjo, saya melihat semangat warga dalam menjaga tradisi dan kesehatan tetap hidup. Meskipun tantangan ada, kerja sama antara masyarakat, puskesmas, dan aparat desa menjadi kunci keberhasilan. Kabupaten Banggai bukan hanya tempat, tapi sebuah pelajaran bahwa hidup yang harmonis tetap bisa diwujudkan.


Terima Kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/feed/ 0 45545
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
“Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela https://telusuri.id/limuk-limor-kweunun-kweamam-filosofi-hidup-masyarakat-pulau-masela/ https://telusuri.id/limuk-limor-kweunun-kweamam-filosofi-hidup-masyarakat-pulau-masela/#respond Fri, 31 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45499 Pulau Masela, yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, menyimpan kekayaan budaya yang begitu khas. Salah satunya adalah filosofi hidup “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, yang bermakna ‘susah senang kita tetap bersama-sama’. Filosofi ini tidak hanya...

The post “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela appeared first on TelusuRI.

]]>
Pulau Masela, yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, menyimpan kekayaan budaya yang begitu khas. Salah satunya adalah filosofi hidup “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, yang bermakna ‘susah senang kita tetap bersama-sama’. Filosofi ini tidak hanya menjadi semboyan yang dihafalkan, tetapi juga pedoman hidup yang menyatu dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat.

“Pela Gandong” menjadi dasar dari Limuk Limor Kweunun Kweamam dan pilar utama dalam menjalin hubungan antarkomunitas. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial yang diwarnai dengan semangat bahu-membahu dan rasa kepercayaan antarsesama.

Pela Gandong merupakan ikatan persaudaraan dan perjanjian damai yang dilakukan oleh masyarakat Maluku untuk menyatukan berbagai perbedaan. Dalam bahasa lokal pela berarti ikatan, relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain; sementara gandong berarti bersaudara, yang berasal dari kata kandung atau kandungan (Malisngorar dan Sugiswati, 2017). Bentuk nilai yang dihasilkan dari pela dan gandong inilah yang menjadi cikal bakal dari Limuk Limor Kweunun Kweamam sebagai bagian dari nilai kehidupan sehari-hari yang penuh kebersamaan.

Masyarakat Pulau Masela percaya bahwa kebersamaan adalah fondasi untuk menghadapi tantangan hidup. Dalam tradisi mereka, tak ada yang dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan. Sebaliknya, setiap individu adalah bagian penting dari komunitas besar yang saling menopang.

Filosofi Limuk Limor Kweunun Kweamam tercermin dalam berbagai kegiatan kolektif, mulai dari upacara adat hingga tradisi sehari-hari, seperti membantu tetangga tanpa perlu diminta. Filosofi ini seakan menjadi jantung budaya Pulau Masela, menjaga identitas dan cara hidup mereka tetap kokoh di tengah arus globalisasi.

“Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
Warga Desa Babyotang tengah bersantai di pesisir pantai

Makna Filosofis Limuk Limor Kweunun Kweamam

Dalam esai Wakim (2021), ungkapan Limuk Limor Kweunun Kweamam secara etimologis mencerminkan nilai budaya lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Masela. Limuk-Limor merujuk pada kondisi susah dan sengsara, sedangkan “Kweunun-Kweamam” menggambarkan kebersamaan yang erat dan saling mendukung. 

Filosofi Limuk Limor Kweunun Kweamam membuat setiap orang merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan bersama. Makna yang terkandung juga mengajarkan bahwa tidak ada yang ditinggalkan, terutama dalam menghadapi kesulitan. Masyarakat Pulau Masela selalu bergandengan tangan, saling mendukung, dan tidak membiarkan seorang pun merasa sendiri.

“Filosofi ini menjadi bagian dari kehidupan kami. Misalnya, jika ada warga yang membutuhkan bantuan atau masalah mendesak, biasanya masyarakat sekitar langsung berkumpul untuk membantu, tanpa harus diminta. Kebiasaan seperti ini sudah ada sejak dulu,” ungkap Tyjas Maylona, Kepala Desa Babyotang, Pulau Masela.

Sebagai bagian penting dari kearifan lokal, Limuk Limor Kweunun Kweamam mengingatkan kita betapa pentingnya kebersamaan dalam menjaga identitas budaya. Terutama di tengah kondisi dunia yang semakin terpolarisasi.

  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela

Tradisi-tradisi yang Berakar pada Limuk Limor Kweunun Kweamam

Salah satu tradisi yang paling mencolok dan berakar dari filosofi hidup masyarakat Pulau Masela adalah Tari Seka. Tarian ini melibatkan gerakan yang menggambarkan kebersamaan. Setiap penari saling bergandengan dan bergerak seirama. Tari Seka tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat untuk memperkuat solidaritas dan identitas budaya masyarakat.

Selain Tari Seka, ada juga tradisi Hela Tali, sebuah kegiatan mencari ikan secara gotong-royong oleh seluruh masyarakat desa yang sudah berlangsung turun-temurun. Hela Tali biasa dilaksanakan saat air laut surut sembari melihat kondisi cuaca, agar jarak tali dan daratan tidak terlalu jauh. 

Ikan yang ditangkap biasanya berupa baronang, kakap kuning, dan kerapu macan. Selain dijual untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, hasil tangkapan tersebut nantinya juga akan dibagi rata kepada masyarakat yang terlibat Hela Tali. Pembagian hasil tangkapan biasanya dilakukan setelah proses penangkapan selesai. 

Tradisi Hela Tali menggambarkan kesadaran ekologis yang sangat tinggi. Tercermin dari cara mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai peraturan. Masyarakat memahami bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari tanggung jawab mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.

Lebih dari itu, masyarakat Pulau Masela juga memiliki tradisi adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan dan lahan pertanian. Ada aturan adat yang secara tegas melarang eksploitasi berlebihan atau perusakan alam.

Tari Seka dan Hela Tali bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan juga simbol nyata dari Limuk Limor Kweunun Kweamam. Masyarakat Pulau Masela mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam menjaga kelangsungan hidup komunitas dan melestarikan alam sekitar pulau. Kekuatan sejati berasal dari kerja sama yang erat, sehingga segala tantangan dapat dihadapi. Mereka menyadari, dengan bergandengan tangan identitas budaya dan lingkungan hidup dapat terjaga sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela
  • “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela

Kesadaran Kolektif dalam Memperkuat Identitas Budaya

Di tengah kemajuan zaman, nilai-nilai kebersamaan yang terkandung dalam Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadi semakin penting. Meskipun modernisasi sering membawa pengaruh yang bisa mengikis tradisi lokal, masyarakat Pulau Masela berhasil menjaga identitas budaya mereka dengan menjadikan filosofi tersebut sebagai pedoman dalam hidup sehari-hari. Tak terkecuali dalam pelaksanaan upacara-upacara adat, seperti momen pernikahan, kelahiran, dan kematian. Seluruh masyarakat terlibat di setiap upacara, baik sebagai penyelenggara maupun pendukung.

Toni Walkim, kepala puskesmas yang saya ajak bicara dengan warga lainnya ketika di pinggir pantai, menguatkan itu. “Bahkan ketika ada warga yang sakit, masyarakat langsung menengok dan memberikan bantuan, baik berupa makanan, obat-obatan, atau sekadar dukungan moral. Hal ini membuat mereka yang sakit merasa tidak sendirian dan membantu mempercepat proses pemulihan.”

Selain itu, nilai-nilai Limuk Limor Kweunun Kweamam juga diterapkan dalam bidang pendidikan dan pembangunan. Masyarakat Pulau Masela bekerja bersama untuk mendukung anak-anak mereka agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi, meskipun terkadang menghadapi keterbatasan sumber daya.

Kiri: Memanggang ikan-ikan hasil tangkapan Hela Tali untuk makan bersama dengan masyarakat Pulau Masela. Kanan: Bincang santai dengan masyarakat Iblatmuntah, desa di ujung selatan Pulau Masela.

Semangat kolektif tersebut menunjukkan bahwa mereka percaya kemajuan bersama lebih penting daripada pencapaian individu. Upaya saling dukung bertujuan memastikan masa depan yang lebih baik untuk generasi berikutnya.

Tentu pengaruh budaya luar jadi tantangan yang harus dihadapi. Modernisasi berpotensi membawa perubahan dalam pola pikir generasi muda, yang terkadang membuat mereka kurang menghargai tradisi lokal. 

Namun, ada harapan besar bahwa nilai-nilai Limuk Limor Kweunun Kweamam akan tetap bertahan. Terutama dengan adanya usaha pelestarian budaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan pemerintah daerah. Pendidikan berbasis budaya juga menjadi salah satu cara untuk menanamkan filosofi tersebut kepada generasi muda, sehingga mereka dapat menghargai dan melestarikan warisan budaya mereka.

Nilai-nilai itu nantinya bakal menjadi pilar yang memperkuat identitas budaya masyarakat Pulau Masela. Semangat kebersamaan akan menguatkan mereka dalam menghadapi masa depan dengan penuh harapan, tanpa melupakan akar tradisi yang kaya dan bermakna.


Foto-foto oleh Alin Rahma Yuliani dan Hera Ledy Melindo.
Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB).


Referensi:

Malisngorar, J. dan Sugiswati, B. (2017). Pela Gandong sebagai Sarana Penyelesaian Konflik. Jurnal Perspektif, Vol. 22 No. 1 (2017): Edisi Januari. https://doi.org/10.30742/perspektif.v22i1.589.
Wakim, M. (2017). Pancasila Harus Dibathinkan: Membaca Ulang Konsep Limok-Limor Kweunun Kweamam, dalam Perspektif Budaya Masyarakat Masela Maluku Barat Daya. Direktorat Jenderal Kemdikbud, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw20/pancasila-harus-dibathinkan-membaca-ulang-konsep-limok-limor-kweunun-kweamam-dalam-perspektif-budaya-masyarakat-masela-maluku-barat-daya/#_ftn5.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Limuk Limor Kweunun Kweamam”, Filosofi Hidup Masyarakat Pulau Masela appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/limuk-limor-kweunun-kweamam-filosofi-hidup-masyarakat-pulau-masela/feed/ 0 45499
Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari https://telusuri.id/nilai-sopi-bagi-masyarakat-maluku-dari-adat-ke-kehidupan-sehari-hari/ https://telusuri.id/nilai-sopi-bagi-masyarakat-maluku-dari-adat-ke-kehidupan-sehari-hari/#respond Wed, 18 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44611 Indonesia, negeri yang dianugerahi kekayaan budaya yang tak ternilai, menyimpan berbagai tradisi yang menggambarkan hubungan erat antara manusia, alam, dan nilai-nilai kehidupan. Salah satu simbol kearifan lokal yang unik adalah sopi. Minuman tradisional khas masyarakat...

The post Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia, negeri yang dianugerahi kekayaan budaya yang tak ternilai, menyimpan berbagai tradisi yang menggambarkan hubungan erat antara manusia, alam, dan nilai-nilai kehidupan. Salah satu simbol kearifan lokal yang unik adalah sopi. Minuman tradisional khas masyarakat Maluku dan Indonesia bagian timur ini merupakan bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual.

Sopi sering kali terlibat dalam acara-acara adat, perayaan, bahkan kegiatan sehari-hari masyarakat Maluku. Di balik setiap gelas sopi yang diminum dalam acara-acara adat, ada sejarah panjang, nilai kebersamaan, dan rasa syukur kepada alam yang telah memberikan bahan baku bagi minuman ini.

Dalam penelitian Pattiruhu dan Therik (2020), kata sopi berasal dari bahasa Belanda, yakni “zoopie”, yang berarti alkohol cair. Sopi merupakan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi dan penyulingan dari bahan-bahan alami. Ada yang dari buah aren—masyarakat lokal sering menyebutnya koli—ada juga yang terbuat dari kelapa, yang sering disebut sageru bahkan nira.

Tipar mayang, tradisi lokal pengambilan nira dan menjadi salah satu mata pencaharian utama/Adipatra Kenaro Wicaksana dan Franklin Untailawan, M.Pd.

Asal usul Sopi dan Fungsinya dalam Masyarakat Maluku

Sopi bukan hanya tentang rasa atau tradisi minum bersama, melainkan juga sebuah simbol identitas. Untuk memahami mengapa sopi begitu penting bagi masyarakat Maluku, kita perlu menelusuri sedikit sejarahnya.

Masyarakat di wilayah perdesaan Maluku memanfaatkan hasil perkebunan lokal, seperti nira dan aren, untuk memproduksi sopi. Hal ini tidak hanya menggambarkan kekayaan alam yang menopang tradisi ini, tetapi juga cara masyarakat setempat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mendukung kehidupan sehari-hari. Termasuk untuk kebutuhan kesehatan.

Dengan bahan yang mudah didapat, cara pembuatan sopi juga bisa dibilang cukup mudah, hanya disuling menggunakan gentong yang tersambung pipa. Kadar alkohol sopi cukup tinggi (mencapai 40%), bahkan bisa menyala bila disulut dengan api.

Minuman ini telah ada dan berakar sejak lama dalam kehidupan masyarakat Maluku, meski keberadaannya dianggap ilegal. Sebab, menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai ritual adat. Tidak hanya untuk perayaan, sopi juga memiliki nilai penting dalam ritual perdamaian, penyambutan tamu, pengukuhan hubungan kekerabatan hingga hubungan sosial.

Misalnya, dalam acara adat seperti tarian Seka Besar (ritual penyambutan maupun ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta), sopi disajikan sebagai simbol penghormatan dan penyatuan. Sopi juga sering digunakan dalam upacara-upacara adat lain sebagai persembahan untuk leluhur atau simbol keakraban di antara sesama anggota komunitas.

Menurut cerita yang berkembang dari masyarakat Pulau Masela, Maluku Barat Daya, mereka bercerita pada saya bahwa budaya minum sopi awalnya berkembang di kampung-kampung pelosok di pegunungan. Bukan karena kebiasaan mabuk-mabukan, melainkan sulitnya mendapatkan sumber air. Sebab, kondisi geografis Masela banyak diselimuti bebatuan.

Di masa lalu, sopi berganti peran menjadi pengganti air karena relatif mudah didapat. Sopi ini disadap dari pohon koli atau lontar setiap pagi dan sore. Umumnya diminum memakai mangkok dari batok kelapa. Sebelum diteguk, sebagian dituang ke tanah sebagai tanda penghormatan kepada arwah leluhur.

Tarian adat Seka Besar saat penyambutan tamu di Pulau Masela, Maluku Barat Daya/Adipatra Kenaro Wicaksana

Filosofi Penting Sopi

Sebagai minuman adat, sopi memiliki filosofi mendalam. Masyarakat Maluku menganggapnya sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan. Dalam setiap acara adat, sopi menjadi media untuk mempererat ikatan sosial dan memperteguh rasa kebersamaan di antara masyarakat. 

Jika kita menyelami lebih jauh, sopi tidak hanya sebuah produk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, tetapi juga medium yang sarat fungsi. Dalam acara-acara adat, misalnya, sopi hadir sebagai bentuk penghormatan kepada tamu, tanda syukur kepada leluhur, atau bahkan sebagai simbol untuk menyelesaikan konflik antarwarga.

Sebelum teknologi komunikasi modern memudahkan dialog jarak jauh, sopi sudah menjadi “bahasa universal” yang mempertemukan orang-orang dalam satu ruang sosial. Riset Pattiruhu dan Therik (2020) menyiratkan bahwa sopi lebih dari sekadar minuman tradisional. Minuman ini adalah simbol, pengikat, dan cerminan cara masyarakat Maluku memahami hubungan mereka dengan tradisi, alam, dan komunitas. Dalam konteks ini, pelarangan total terhadap sopi dianggap setara dengan menghapus sebagian dari identitas budaya masyarakat Maluku.

  • Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari
  • Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari

Sopi sebagai Tradisi yang Berdampingan dengan Pengobatan Modern

Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil, masyarakat Maluku menemukan cara untuk menggunakan apa yang mereka miliki. Minum sopi merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kesehatan sehari-hari. 

Sopi kerap digunakan sebagai solusi alami untuk berbagai keluhan kesehatan. Di beberapa tempat, seperti Desa Nura dan Dusun Uwily, sopi akar menjadi pilihan utama. Sopi jenis ini diracik dengan merendam batang akar tumbuhan, seperti tanaman (dalam bahasa lokal) apipmena, atewkelya, dan loliweya dalam cairan fermentasi dari koli atau buah enau. Kombinasi tersebut diyakini mampu mencegah asam lambung, meredakan peradangan, bahkan membantu nelayan menahan lapar sebelum melaut. Dalam tradisi setempat, sopi juga dipercaya meningkatkan nafsu makan dan meredakan sakit macam mag dan flu.

Namun, pemanfaatan sopi sebagai bagian dari pengobatan tradisional memiliki tantangan tersendiri. Meski memiliki manfaat dalam konteks tradisional—karena dicampur dengan tanamanan herbal—penggunaan yang tidak tepat atau berlebihan bisa menimbulkan masalah kesehatan lainnya, termasuk gangguan fungsi hati dan risiko kecanduan. Maka, diperlukan keseimbangan antara menghargai tradisi dan memastikan bahwa penggunaan sopi tetap dalam batas yang aman bagi kesehatan. Meskipun begitu, kenyataan bahwa sopi sebagai pengobatan tradisional terus hadir di tengah masyarakat Maluku, menunjukkan bagaimana budaya dan kesehatan sering kali berjalan beriringan.

Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari
Sopi akar yang biasa dikonsumsi masyarakat pesisir Pulau Masea (kiri), serta akar dan batang tanaman lokal yang dijadikan tanaman herbal/Adipatra Kenaro Wicaksana

Potensi Pengembangan Sumber Ekonomi dari Sebotol Sopi

Melihat potensi ekonomi yang dihasilkan dari penjualan sopi, ada peluang besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan industri ini lebih profesional, sembari tetap menghormati nilai-nilai tradisional. Jika dikelola dengan baik, sopi bisa menjadi salah satu komoditas ekonomi lokal yang mampu meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Program-program pelatihan dan regulasi yang mendukung pembuatan sopi secara legal dan aman juga bisa membantu para produsen tradisional untuk lebih berkembang, tanpa harus bersinggungan dengan hukum.

Bagi banyak keluarga di daerah terpencil, penjualan sopi menjadi salah satu tulang punggung ekonomi yang membantu mereka mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat di wilayah pedesaan, yang aksesnya terbatas ke pekerjaan formal, turut memanfaatkan keterampilan turun-temurun dalam pembuatan sopi sebagai cara bertahan hidup dan meningkatkan taraf ekonomi keluarga.

Menariknya, keuntungan dari penjualan sopi sering kali dimanfaatkan untuk hal-hal penting. Tidak jarang ditemui kisah sukses karena hasil dari penjualan sopi, yang memungkinkan orang tua menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana.

Di pasar lokal, sopi dijual dengan harga yang bervariasi, tergantung kualitasnya. Harga per botol sopi berkisar antara Rp25.000–50.000. Meskipun terlihat sebagai harga yang terjangkau, penjualan dalam jumlah besar mampu mendatangkan penghasilan yang cukup signifikan. Misalnya, seorang penjual yang menjual 10 hingga 20 botol sopi per minggu bisa mendapatkan pendapatan tambahan yang stabil.

Beberapa tahapan dalam proses pembuatan sopi di Maluku Barat Daya/Adipatra Kenaro Wicaksana

Sopi sebagai Identitas Budaya

Sopi adalah bagian penting dari identitas Maluku, sehingga upaya untuk melestarikannya harus selalu dihargai. Seperti halnya pada semua tradisi, ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan aturan yang dibuat untuk kebaikan bersama. Dengan dialog yang baik, sopi bisa tetap menjadi simbol kebersamaan, sambil menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Lebih jauh lagi, sopi juga berbicara tentang kebersamaan. Di tengah kehidupan modern yang sering kali membuat kita terpisah satu sama lain, sopi menjadi alasan sederhana bagi masyarakat untuk berkumpul. Tidak jarang, diskusi penting atau keputusan besar diambil di sela-sela tegukan sopi.

Sopi menciptakan ruang di mana orang-orang bisa saling berbagi cerita, keluh kesah, dan kebahagiaan. Dalam hal ini, sopi bukan hanya sekadar minuman, melainkan juga perekat sosial. Sopi adalah cerita tentang Maluku, dan tentang kita semua yang ingin tetap terhubung dengan apa pun yang membuat kita menjadi siapa hari ini.


Referensi:

Franklin Untailawan, M.Pd., Dosen Universitas Pattimura (UNPATTI) dan Ketua Umum Gerakan Membangun Bumi Kalwedo (GMBK), sebagai informan pendukung.
Jemahan, A. E. dan Purwanti, A. R. (2024). Analisis Kontradiksi Tuak dan Sopi Ditinjau dari Budaya dan Hukum. Journal of Management Education Social Sciences Information and Religion, Vol 1, No 1 (2024). https://doi.org/10.57235/mesir.v1i1.2068.
Luturmas, R., Adam, S., dan Leasa, E. Z. (2023). Kajian Kriminologis Terhadap Minuman Beralkohol (Sopi) Dengan Tindak Pidana Yang Terjadi Di Kabupaten Kepulauan Aru. Bacarita Law Journal, 3(2), pp. 76-81. https://doi.org/10.30598/bacarita.v3i2.8403.
Pattiruhu, G. M. dan Therik, W. M. A. (2020. Sopi Maluku diantara Cultural Capital dan Market Sphere. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 6(2), pp. 104-118. https://doi.org/10.23887/jiis.v6i2.28175.
Wawancara dan Forum Group Discussion kepada masyarakat Pulau Masela–Pulau Babar yang diwakili 32 orang, di antaranya pemangku adat dan pimpinan desa dengan pembahasan sosial, budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nilai Sopi bagi Masyarakat Maluku, dari Adat ke Kehidupan Sehari-hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nilai-sopi-bagi-masyarakat-maluku-dari-adat-ke-kehidupan-sehari-hari/feed/ 0 44611
Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/ https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/#respond Tue, 10 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44494 Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri...

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri perjalanan yang tak hanya penuh dengan pesona alam, tetapi juga cerita-cerita masyarakat lokal yang begitu kental.

Ketika pertama kali mendengar nama Pulau Sapeken, saya membayangkan sebuah pulau kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Namun, begitu kaki ini menginjak tanahnya, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Pulau ini, meskipun hanya seluas sekitar 3,5 kilometer persegi, ternyata penuh dengan kehidupan. Bahkan, beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sapeken menyebutnya sebagai “pulau metropolis.”

Saat menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah penduduk, saya mendapati betapa berbedanya Sapeken dibandingkan dengan bayangan saya tentang pulau terpencil dan terluar. Penduduk di sini sangat ramah, meskipun banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Nelayan mengangkut jala berisi hasil tangkapan di bibir pantai Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyelami Dinamika Demografi Sapeken

Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan desa dan 33 pulau kecil lainnya. Bayangkan, dari 33 pulau itu, hanya lima yang tidak berpenghuni. Jadi, sisanya? Penuh dengan cerita dan kehidupan yang tersebar di antara pulau-pulau tersebut. Desa Sapeken sendiri juga mencakup beberapa pulau kecil, seperti Pulau Sadulang Besar, Pulau Sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Semua pulau ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan budaya yang unik.

Menurut BPS Kecamatan Sapeken (2022), populasi penduduk pulau ini sekitar 10.359 jiwa, baik laki laki maupun perempuan. Tak heran jika Pulau Sapeken terasa begitu padat. Dari kejauhan, deretan rumah-rumah di sepanjang pantai terlihat begitu rapat, seperti puzzle yang saling melengkapi.

Pulau Sapeken ini memang hanya memiliki satu dusun, tetapi kehidupan di sini sangat dinamis. Setiap sudutnya seperti dipenuhi energi, entah dari para nelayan yang baru pulang melaut, ibu-ibu yang sibuk di pasar, atau anak-anak yang berlarian di jalan-jalan sempitnya.

Memang, dengan penduduk yang padat dan berbagai macam gaya hidup, masyarakat Sapeken bisa dibilang “metro kepulauan.” Berbeda dengan pulau lain yang biasanya lebih tenang dan seragam, di sini kehidupan terasa lebih hidup. Ada tiga masjid yang menunjukkan kehidupan keagamaan yang dinamis. Banyak aliran keorganisasian Islam, seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah. Umat nonmuslim hanya sekitar 0,5 persen.

Uniknya, penduduk di Pulau Sapeken justru berbahasa Sulawesi (cenderung bahasa Bajau, bahasa Mandar, dan sebagian kecil berbahasa Bugis), bukan berbahasa Madura. Sebab, dalam sejarahnya populasi penduduk Sapeken memang merupakan pendatang dari daerah Makassar (dulu Ujung Pandang). 

Ketika itu, orang Kampung Bajo dari Sulawesi Selatan sedang melaut untuk mencari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Hal tersebut yang menjadi tradisi maritim dan mengakar kuat, sehingga membuat Sapeken menjadi salah satu pusat perikanan yang paling penting di wilayah ini.

Pernah suatu waktu, Drs. Abdul Muiz Aliwafa, yang dulu pernah menjabat wakil bupati Sumenep, memberi sambutan saat peresmian Kantor MWC NU Sapeken dengan logat Madura. Namun, para tamu undangan malah kebingungan. Ternyata, banyak yang tidak paham bahasa Madura yang dipakai. Akhirnya, ia beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Aktivitas nelayan saat melaut di perairan Pulau Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyatu dalam Kehidupan Nelayan

Begitu tiba di dermaga, aroma laut dan ikan segar seraya menyambut. Para nelayan dengan ramah menyapa kami, dan di sinilah narasi perjalanan saya di Sapeken benar-benar dimulai. Setiap sudut dermaga disesaki aktivitas nelayan yang baru saja kembali dari laut. Kapal-kapal kecil mereka penuh dengan ikan yang siap dijual di pasar lokal atau dikirim ke tempat-tempat yang lebih jauh.

Aktivitas di pulau kecil ini tak kalah sibuk dengan kota-kota besar. Di pagi hari, suara klakson perahu nelayan dan obrolan riuh di pasar lumrah jadi pemandangan sehari-hari. Laut yang mengelilingi pulau tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sini, saya benar-benar merasakan bagaimana hubungan masyarakat antara laut dan kehidupan sehari-hari sangat erat. Laut bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, melainkan juga bagian dari identitas masyarakat.

Sapeken yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, dikenal sebagai lumbung ikan yang penting di kawasan ini. Sapeken menjadi rumah bagi para nelayan yang sehari-harinya mengarungi laut demi membawa hasil tangkapan terbaik.

Muhandis Sidqi menjelaskan secara mendalam peran Pulau Sapeken dalam bukunya Pulau Sapeken: Lumbung Ikan di Timur Madura (2013). Di buku terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, peran Pulau Sapeken dalam menopang industri perikanan sangat besar. Laut di sekitarnya dikenal memiliki kekayaan biota laut yang melimpah, berkat arus laut yang stabil dan ekosistem terumbu karang yang sehat. Para nelayan setempat memanfaatkan kondisi ini untuk menjadikannya pusat perikanan yang hidup. Bukan hanya untuk Madura, melainkan juga bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Saking eratnya, hampir setiap keluarga di Sapeken menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Selain dijual di pasar lokal, ikan-ikan dari Sapeken juga dikirim ke berbagai daerah lain, termasuk Surabaya dan Bali. Tak heran jika Muhandis Sidqi menyebut pulau ini sebagai lumbung ikan. Setiap hari, kapal-kapal pengangkut hilir mudik, membawa ikan segar keluar dari pulau. 

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Hasil tangkapan ikan nelayan Sapeken, di antaranya teri, layang, sampai tongkol/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Pantai yang Sunyi, hingga Mangrove yang Asri

Pulau ini bukan cuma tentang ikan. Sapeken juga menyimpan pesona alam yang begitu memikat. Saya sempat mengunjungi pantainya. Hanya ada deru angin dan suara ombak di sana. Pulau ini menawarkan pemandangan pantai-pantai sepi yang begitu tenang, pasir putihnya begitu halus di bawah kaki. Sementara air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari seolah mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk piruk kehidupan.

Keindahan alam Sapeken tidak berhenti hanya pada pantainya saja. Di sisi lain pulau, terdapat hutan mangrove yang luas dan asri. Akar-akar mangrove yang menjulur di bawah permukaan air membentuk habitat bagi berbagai jenis satwa laut. Hutan mangrove di Sapeken juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pulau ini. Selain melindungi garis pantai dari abrasi, juga memberikan tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil.

Pantai dan mangrove di Pulau Sapeken seakan memberi penegasan. Bukti nyata bahwa pulau ini tidak hanya sebagai pusat perikanan, tetapi juga destinasi wisata alam yang menakjubkan.

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pulau

Selama perjalanan mengelilingi Desa Sapeken, saya juga berkesempatan melihat langsung bagaimana pelayanan kesehatan berlangsung. Ada sebuah bentuk inisiatif yang luar biasa, yaitu kapal layanan kesehatan. Meski beroperasi hanya empat kali dalam setahun, kapal kesehatan tersebut memberikan berbagai jenis pelayanan medis dasar serta lanjut, mulai dari operasi bedah hingga kontrol kesehatan rutin. 

Keterbatasan transportasi dan sumber daya kesehatan hanya dapat diatasi dengan pelayanan kesehatan bergerak. Saya jadi semakin sadar betapa pentingnya solidaritas dan kerja sama di daerah-daerah terpencil.

Menurut saya, pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil seperti Sapeken adalah contoh nyata dari dedikasi yang luar biasa dalam memberikan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat. Mengingat tantangan geografis—pulau-pulau terpisah oleh lautan—dan sulitnya akses transportasi, program ini merupakan solusi cerdas dan sangat efektif.

Pelayanan kesehatan bergerak di Sapeken mengajarkan saya bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang teknologi maju, melainkan juga adaptasi dan keberanian untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri. Cerita tentang kapal kesehatan yang datang seperti “penyelamat” bagi warga Desa Sapeken adalah bukti nyata, bahwa layanan ini sangat penting untuk memastikan setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama atas kesehatan.

Sapeken mungkin kecil, tetapi kisah dan kehidupan di dalamnya sangat besar. Rasanya, tak cukup sehari untuk bisa benar-benar memahami dan merasakan setiap detak kehidupan di pulau ini. Dengan semua keramaiannya, Sapeken tetap menawarkan daya tarik yang membuat saya ingin terus kembali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/feed/ 0 44494