Adzkia Arif, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adzkia-arif/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 May 2025 04:06:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Adzkia Arif, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/adzkia-arif/ 32 32 135956295 Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/ https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/#respond Tue, 27 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47232 Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living...

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living kata orang zaman sekarang.

Sawahlunto hari ini ibarat orang dewasa yang sudah lelah dengan ambisi dan persaingan kehidupan, ia sudah selesai dengan semangat mudanya. Jauh sebelum mencapai ketenangan ini, ia telah melewati masa-masa penuh gejolak dengan gelimang kekayaan, kemakmuran, juga masa kelam yang pahit.

Dulu, Sawahlunto hanyalah daerah antah-berantah di pedalaman Pulau Sumatra, hingga W.H. de Greve, dalam petualangannya pada tahun 1868 menemukan tempat ini.1 Geolog muda Belanda itu menemukan lapisan batu bara di Ulu Aie, daerah aliran Batang Ombilin yang saat itu belum berpenghuni.2

Temuan ini diabadikan dalam publikasi berjudul Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust tahun 1871.3 Diceritakanlah ihwal ratusan juta ton emas hitam yang bersemayam di rahim bumi Sawahlunto, titik balik sebuah wilayah yang sebelumnya nyaris tak dikenal menjadi salah satu kota penghasil batu bara berkualitas di dunia, mengubah nasib kota ini selamanya.4

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret Sawahlunto masa lampau yang terpajang di Museum Goedang Ransoem/Adzkia Arif

Masa itu, Sawahlunto benar-benar jaya—dari cerita orang tua di sini. Entah lebih masyhur mana kota ini daripada Batavia. Wilayah ini bahkan mendapat julukan Belanda Kecil.

Antropolog asal Amerika Serikat, Susan Rodgers menerangkan bahwa sebagai tanah jajahan, Sawahlunto menempati posisi elit bahkan di antara orang-orang Belanda itu sendiri. Kelas sosial orang-orang kulit putih yang ada di sini berada pada tingkatan yang berbeda.5 Begitulah suksesnya Sawahlunto kala itu, 600.000 ton batu bara yang dikeluarkan dari perutnya membuat 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda dapat tercukupi.6

Pascakepergian Belanda, hingga pusat pertambangan di Sawahlunto dikelola oleh PT Bukit Asam UPO, kemakmuran itu mulai memudar. Sebab, cadangan batu bara mulai menipis. Tahun 2001 menjadi titik transformasi selanjutnya bagi Sawahlunto demi menyongsong kehidupan pascatambang. 

Persiapan terus dilakukan. Pada tahun 2019 Sawahlunto ditetapkan menjadi salah satu kota Warisan Dunia UNESCO dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah kejayaan dan kesibukan kota ini pada masa lalunya, salah satunya adalah Museum Goedang Ransoem.

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret kesibukan di dapur umum pada masa lampau/Adzkia Arif

Hiruk-piruk dalam Catatan Sejarah

Lokasi Museum Goedang Ransoem agak tersembunyi di sudut kota. Pendatang baru tak akan menemukannya tanpa pemandu atau bertanya pada warga lokal. Begitu memasuki museum, kita seolah berada dalam mesin waktu. Melihat masa lalu sedang memamerkan keperkasaan dan kesuksesan luar biasa dari kota ini.

Gedung ini dibangun Belanda sebagai dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang. Bayangkan betapa sibuknya dapur ini karena harus memasak 3,9 ton beras setiap harinya untuk ribuan pekerja.7

Kita dapat menemukan papan menu terpajang di dinding. Isinya informasi makanan untuk disantap tiap harinya oleh para pekerja. Pada hari-hari tertentu mereka akan disajikan menu daging, jeroan, roti goreng, dan telur asin. Pada hari-hari biasa, mereka akan mendapat nasi, ikan asin, sayur, dan lepeh-lepeh (sejenis cemilan atau teman makan nasi seperti tumisan).

Ketel raksasa buatan firma Senking, perusahaan alat masak terkenal yang berasal dari Jerman, masih bisa kita lihat di sini. Sebelumnya, ketel-ketel ini berada di rumah warga dan digunakan sebagai penampungan air. Ini karena alih fungsi gedung pada tahun 1950 sebagai kantor administrasi tambang batu bara ombilin. Barulah pada saat akan dijadikan museum, ketel ini diambil dan ditata kembali di museum.8

Ketel yang ada terdiri atas dua jenis dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk memasak air dan satu lagi untuk memasak nasi. Teknologi yang digunakan untuk memasak sangat canggih pada masanya. Uap panas yang berasal dari tungku pembakaran raksasa yang berada di luar gedung ini dialirkan dengan pipa besi ke bagian bawah tungku dapur utama.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Berjalan di dalam museum, udara terasa sejuk namun sunyi. Seakan memberikan kesempatan untuk kita merenung dan mereka ulang kejadian di masa lalu yang terjadi di sini. Adegan sejarah dalam kepala kita akan menjadi lebih nyata dengan adanya foto dan cerita kejadian masa lalu yang disediakan pengelola. Ada pula QR code yang bisa dipindai untuk melihat video dokumentasi kegiatan di dapur ini. Video-video ini juga dapat dilihat pada saluran Youtube Southeast Asia Museum Services, dan saluran “bidang warisan budaya” yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Di kompleks Museum Goedang Ransoem juga terdapat pabrik es, pabrik kedua di Sumatra Barat setelah Padang. Pada masa kolonial, e dari pabrik digunakan untuk memenuhi kebutuhan kompeni Belanda, rumah sakit dan masyarakat, hingga didistribusikan ke Padang, Bukittinggi, dan Solok.9

Inilah yang saya suka dari museum sejarah. Mereka menampilkan kecanggihan di masa lalu yang bahkan membuat kita takjub meski hidup pada zaman yang jauh di depan. Saya selalu bertanya, kenapa hanya sejarahnya saja yang bertahan melintasi zaman, sementara kejayaannya tidak?

Ada yang berpendapat, daerah bekas jajahan Belanda memang begini. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang lebih maju. Entah memang begitu adanya, atau sebenarnya hanya menjadi pembenaran atas kegagalan mengelola warisan kejayaan dari masa lalu?

Dari kiri ke kanan: Pakaian koki dan mandor yang bekerja di dapur umum. Menu makanan yang disajikan di dapur umum untuk para pekerja tambang ombilin, ada menu harian dan menu khusus yang lebih mewah. Tungku pembakaran yang ada di belakang gedung utama Museum Goedang Ransoem, yang berfungsi sebagai sumber uap panas untuk dialirkan menggunakan pipa ke dapur utama/Adzkia Arif

Noda Hitam dalam Catatan Sejarah Kejayaan

Dalam gemerlap kejayaan, ada noda hitam yang tak akan bisa terhapus dari catatan sejarah. Pada salah satu lemari kaca yang ada di ruangan ini, terdapat batu nisan tanpa nama milik ‘orang rantai’. Sejarah perbudakan kelam yang mengutuk pertambangan batu bara ombilin. Mereka adalah pekerja tambang yang dipaksa bekerja dengan cara tak manusiawi. Kondisi kaki dan badan yang dirantai satu sama lain agar tak ada yang kabur. Bagi Belanda kala itu, mereka adalah orang-orang pembuat onar.

Beberapa orang rantai di Sawahlunto adalah orang yang menentang Belanda dan dijadikan tawanan politik. Sementara yang lainnya adalah pelaku kriminal atau dianggap sebagai “penjahat”.10

Orang rantai juga tak diterima oleh masyarakat karena propaganda Belanda tentang keburukan mereka. Mereka mati dan dikuburkan tanpa identitas, tak diberi nama. Hanya angka, dan dipisahkan dari pemakaman masyarakat umum.

Bagaimana rasanya mati di tempat asing, tempat ketika hidup kita telah diasingkan? Hingga akhir hayat, nama kita pun tak pernah disebut lagi, digantikan hanya dengan angka.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Kini jadi Destinasi Wisata Sejarah

Mengunjungi Goedang Ransoem menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya setelah tiga tahun tinggal di Sawahlunto. Melihat sisi lain kota yang saat ini hanya meninggalkan kisah untuk diceritakan. Goedang Ransoem adalah saksi sebuah kota yang telah melewati masa kekosongan, memimpin kejayaan, hingga meninggalkan sunyi yang mengajarkan banyak hal.

Bagi yang ingin berkunjung, museum ini beralamat di Jl. Abdurrahman Hakim, Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Jalan menuju lokasi bagus dan luas, tetapi padat penduduk. Untuk tempat parkir tak perlu khawatir, museum ini punya kantung parkir yang luas untuk mobil keluarga ataupun bus pariwisata. 

Tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp10.000 untuk orang dewasa, dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tak hanya itu, museum ini juga memiliki IPTEK Center yang menyediakan permainan edukatif yang menarik untuk anak-anak. Layak untuk dikunjungi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. R. A. van Sandick, “Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie”, (Amsterdam: De Indische Gids, 14 Jrg (1892). ↩︎
  2. Erwiza Erman, “Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatra Barat (1892—1996)”, (Depok: Desantara, 2005), h. 29. ↩︎
  3. Widjaja Martokusumo, “The Ex-Coal Mining City of Sawahlunto Revisited: Notions on Revitalization, Conservation and Urban Development”, makalah dalam Seminar on Recent of Research Works at the School of Architecture, Planning and Policy Development ITB, Bandung, 17 April 2008. ↩︎
  4. Andi Asoka dkk., “Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, (Padang: Pusat Studi Humaniora Unand, 2005), h. 9-10. ↩︎
  5. Susan Rodgers, “A Nederlander woman’s recollections of colonial and wartime Sumatra: from Sawahlunto to Bankinang interment camp”, Indonesia, 79, April 2005. h. 99-100 ↩︎
  6. Carin van Empel, “Dark mine. Labour conditionsof coolies in the State coal mines of West Sumatra”, dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Linblad, dkk. Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Studi of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), h. 179. ↩︎
  7. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, (2020, 2 Oktober), “Cerita Dari Gudang Ransum Sawahlunto”, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/cerita-dari-gudang-ransum-sawahlunto/. ↩︎
  8. Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, (2024, 3 November), “Pabrik Es Museum Goedang Ransoem”, Bidang Warisan Budaya, https://www.youtube.com/watch?v=vQ42u8vB61k. ↩︎
  9. Ibid. ↩︎
  10. Dahlia Braga Yova, Abdul Rahman, dan Maisatun Najmi, “Ekspositori Orang Rantai Sawahlunto”, Cinelook: Journal of Film, Television and New Media, 2024, Volume 2(2), DOI: http://dx.doi.org/10.26887/cl.v2i2.4653. ↩︎

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/feed/ 0 47232
Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/ https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/#respond Mon, 10 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45895 Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain...

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain bermain bola dan memetik rambutan yang sedang berbuah di halaman rumah.

Setelah berdiskusi cukup lama, kami sepakat untuk pergi berdarmawisata ke daerah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Kami memilih tempat ini untuk menghindari lokasi wisata lainnya yang sudah overtourism. Saya dan istri lebih suka tempat yang santai. Namanya juga pergi untuk healing, jangan sampai kami malah stres karena harus terjebak macet dan berenang di lautan manusia.

Pada hari Senin (27/1/25) pukul 09.00 WIB, dengan mengendarai mobil, saya dan keluarga sudah memasuki kawasan Alahan Panjang. Menyusuri jalan yang masih mulus, menghirup udara segar ditemani panorama alam yang hijau dan asri sepanjang jalan.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Hamparan kebun teh milik PT Perkebunan Nusantara di kawasan Alahan Panjang/Adzkia Arif

Bagi saya, kawasan Alahan Panjang sangat nyaman dan tidak terlalu padat pengunjung bila dibandingkan dengan lokasi wisata favorit lainnya di Sumatra Barat. Tujuan kami adalah wisata petik stroberi yang ada di kawasan ini. Mengingat anak kami suka sekali buah merah tersebut, tentu ia akan senang juga apabila bisa memetiknya langsung di kebun. 

Dalam perjalanan ke sana kami disambut oleh hamparan perkebunan teh yang hijau. Katanya melihat warna hijau dapat menghilangkan lelah mata dan mengurangi stres akibat bekerja.

Memacu mobil pada kecepatan 60 km/jam sambil mengamati sisi kiri dan kanan jalan, saya melihat sebuah gapura berwarna hitam putih yang menarik perhatian. Gapuranya cukup tinggi dan muat dilewati oleh satu badan mobil. Di atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang, Masjid Tuo Kayu Jao”.

Melihat itu saya teringat pada konten berjudul “5 Masjid Terindah di Sumatera Barat” yang muncul di Instagram, salah satunya adalah Masjid Tuo Kayu Jao. Maka saya pikir, setelah memetik stroberi kami harus singgah ke tempat ini.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Pintu masuk menuju Masjid Tuo Kayu Jao/Adzkia Arif

Masjid Tua dengan Alam yang Asri

Sekembalinya dari memetik stroberi, saya menunaikan hasrat untuk singgah dan melihat Masjid Tuo Kayu Jao. Lokasi di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Masuk melewati gapura, saya menyetir mobil dengan pelan karena yang dilalui adalah jalan desa padat penduduk. Melewati jalan lurus menurun sekitar satu kilometer, saya bertemu turunan jalan yang cukup curam dan berbelok. Di bawah sanalah bangunan Masjid Tuo Kayu Jao berada. Melihat kondisi medan yang dilalui, saya sarankan bagi yang ingin ke sini untuk menggunakan sepeda motor atau mobil keluarga saja, kendaraan besar seperti bus wisata tampaknya tak bisa masuk dan mencapai lokasi.

Melihat langsung Masjid Tuo Kayu Jao, betul kata video Instagram yang saya lihat itu, masjid ini indah dan membawa suasana dari masa lampau yang damai. Seluruh bangunan terdiri dari material kayu dengan warna hitam yang khas serta atap dari ijuk yang sudah ditumbuhi lumut, memperkuat kesan klasik dari masjid yang dibangun dengan bentuk empat persegi dan atap bergonjong.

Melihat bentuknya, arsitektur Masjid Tuo Kayu Jao jelas dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pada zaman dahulu, masjid ini tidak hanya digunakan untuk ibadah dan syiar Islam saja, tetapi juga sebagai tempat musyawarah tiga jorong (desa) yang berada di sekitar masjid. Masjid ini juga difungsikan sebagai tempat musyawarah untuk menentukan strategi dalam melawan penjajah, bahkan digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata rahasia. (Harun dkk, 2019).

Udara di sekitar masjid sangat sejuk. Diramaikan suara aliran sungai yang terdapat di samping masjid, sekaligus menjadi sumber air di sini.

Saya masih berada di masjid hingga azan zuhur berkumandang. Sewaktu mengambil wudu untuk menunaikan salat, dinginnya air terasa sangat segar dan menghilangkan rasa lelah. Tak lama setelah azan selesai dikumandangkan, jemaah mulai datang dan mengisi saf-saf masjid, baik laki-laki maupun perempuan.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kisah Turun-temurun Berusia Ratusan Tahun

Selesai beribadah, rasa ingin tahu saya tentang masjid ini membuat saya memberanikan diri untuk menyapa imam yang memimpin salat Zuhur berjemaah tadi. Namanya Dani Darmansyah, Imam Nagari Batang Barus yang biasa memimpin salat jemaah disini. Saya awali percakapan dengan menanyakan tahun pendirian Masjid Tuo Kayu Jao.

“Kalau tahunnya itu, sekitar tahun 1419, Pak. Dari cerita nenek ke nenek, masjid ini sudah dibangun oleh leluhur dari zaman dahulu,” cerita Pak Dani.

Kalau dihitung dalam angka, usia masjid sudah sekitar enam abad, tepatnya 606 tahun. Tak ada lagi manusia hidup yang melihat sendiri pembangunan masjid ini, makanya hanya bisa diketahui melalui kisah yang diceritakan secara turun-temurun.

Namun, dalam jurnal Harun dkk (2016) berjudul “Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatera Barat”, dituliskan bahwa masjid dibangun sekitar tahun 1567. Jika dihitung, maka usia masjid saat ini kurang lebih 458 tahun.

Kayu yang menjadi material bangunan masjid ini bernama kayu jao. Saya terkagum dengan kokohnya bangunan masjid ketika mengetahui bahwa materialnya tak pernah diganti sejak awal dibangun. Hal ini juga termaktub dalam jurnal Suwito dan Sari (2022), bahwa Masjid Tuo Kayu Jao tetap terjaga keaslian bangunannya tanpa ada perubahan pada struktur dan arsitekturnya.

Meski ada lubang-lubang rayap di badan kayu, ketika dipukul masih terasa kokoh dan kerasnya kayu pada bangunan ini. Ketika disentuh, kayu ini terasa dingin, membuat masjid terasa sejuk. Pak Dani menambahkan, yang pernah diganti dari masjid ini hanya tiang tengahnya saja. Itu pun bukan karena lapuk, melainkan karena tiang yang begitu besar sehingga menyulitkan penerangan di sisi-sisi dalam masjid.

“Ceritanya dahulu, tiang tengah itu adalah sebatang kayu, saking besarnya, baru bisa dipeluk jika ada empat orang dewasa yang berpegangan tangan melingkari tiang tersebut,” kata Pak Dani.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kandungan Falsafah pada Arsitektur Masjid

Tak puas hanya dengan mendengar cerita dari Pak Dani, saya juga mewawancarai Pak Awal. Nama lengkapnya Aguswal Rianto. Beliau merupakan pengurus masjid ini.

Dengan semangat Pak Awal menceritakan bahwa Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Syekh Masyhur. Hal ini juga tertera dalam situs web kebudayaan.kemdikbud.go.id, masjid ini dibangun oleh dua orang tokoh, yaitu Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai. 

Pak Dani menjelaskan setiap bagian pada bangunan masjid dibuat dengan nilai falsafah yang kuat. Tangga, jendela, dan tiang yang ada pada masjid, memiliki jumlah ganjil yang menggambarkan rukun Islam dan rukun salat. Memang kedua rukun ini jumlahnya ganjil, rukun Islam ada lima, sedangkan rukun salat ada tiga belas.

Beralih ke atap masjid, dengan gonjong ciri khas bangunan tradisional Minangkabau yang dibuat tiga tingkat. Ketiga tingkatan ini bermakna Tigo Tungku Sajarangan, yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Dalam falsafah adat Minangkabau, Tigo Tungku Sajarangan merupakan konsep kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Niniak mamak merupakan pemimpin yang mengatur adat istiadat dan menjaga tradisi masyarakat Minangkabau. Alim ulama bertugas memimpin dalam aspek spiritual dan moral masyarakat, sedangkan cadiak pandai merupakan kelompok intelektual yang memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk memberi saran pembangunan dan kemajuan masyarakat Minangkabau.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Beberapa Kisah Spiritual dari Masjid Tuo Kayu Jao

Mimbar masjid pernah dipindahkan ke masjid yang lebih besar oleh pemerintah. Pak Dani bercerita, pasca mimbar dipindahkan, masjid ini terasa seperti bergetar tiap harinya. Sampai ada jemaah masjid yang bermimpi bahwa tetua masjid marah karena mimbarnya dipindahkan. Akhirnya setelah mimbar dikembalikan ke tempat asalnya, masjid tak lagi bergetar.

Ada lagi cerita dari Pak Awal, masjid ini posisi mihrabnya selalu bergeser mengikuti arah kiblat. Ia meyakinkan hal ini dapat diuji sendiri oleh para jemaah, boleh diukur dengan aplikasi pencari arah kiblat atau alat lainnya. Jika pada masjid lain, pergeseran kiblat membuat karpet harus diubah posisinya. Lain halnya dengan Masjid Tuo Kayu Jao, bangunan masjid akan bergeser sendiri mengikuti perubahan arah kiblat.

Pak Dani menyarankan, jika ingin merasakan sensasi beribadah yang lebih khusyuk, cobalah datang melaksanakan salat malam di sini. Suasana malam yang hening dan sepi, akan membawa kita dalam kondisi yang begitu tenang untuk bersujud dan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun Dosa.


Referensi

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2019, 30 Agustus). Masjid Tuo Kayu Jao. [Artikel]. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/masjid-tuo-kayu-jao.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Di Sumatera Barat. (2016). Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Vol. 4, No. 2. https://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jma/article/view/208.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. (2019). Pelestarian Arsitektur Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Sumatera Barat. Yogyakarta: Maha Karya Pustaka.
Suwito, R. A. & Sari, D. M. (2022). Motion Graphic Masjid Tuo Kayu Jao di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. DEKAVE: Jurnal Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Padang, Vol. 12, No. 3. http://dx.doi.org/10.24036/dekave.v12i3.118368.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/feed/ 0 45895