Afifa Lestari https://telusuri.id/penulis/afifa-lestari/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 07 Oct 2024 00:40:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Afifa Lestari https://telusuri.id/penulis/afifa-lestari/ 32 32 135956295 Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/ https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/#respond Sat, 05 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42788 Di Desa Kebonsari, bambu memiliki peran yang tidak kaleng-kaleng. Bukan hanya untuk bahan perabot rumah, melainkan juga sudah dijadikan sebagai pendamping hidup. Bambu bertumbuh lebat dan hijau, selalu ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Bambu...

The post Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Kebonsari, bambu memiliki peran yang tidak kaleng-kaleng. Bukan hanya untuk bahan perabot rumah, melainkan juga sudah dijadikan sebagai pendamping hidup. Bambu bertumbuh lebat dan hijau, selalu ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Bambu menikah, dimakan, menari, bermain, menulis, bersuara, dan sebagai bambu sumber kehidupan. Begitu banyaknya makna bambu yang tumbuh di lingkungan Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Magelang.

Ada banyak jenis bambu yang tumbuh lebat di Kebonsari. Seluruh bagian bambu dimanfaatkan masyarakat, seperti daun untuk membungkus makanan, batang dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, rebung atau tunasnya menghasilkan hidangan lezat, dan akarnya berfungsi menahan erosi tanah.

Dari banyak kegunaan bambu tersebut, ada satu sorotan yang hanya akan kita temukan di Kebonsari, yaitu bambu menari dan bambu bermain. Kita akan diajak menari dan bermain bersama bambu atau pring, juga dimanjakan dengan berbagai permainan (dolanan) yang dihasilkan dari bilah-bilah bambu. Bambu adalah dolanan yang menggembirakan di Desa Kebonsari. Tidak kalah pamor dengan game di gawai.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Lomba permainan anak-anak dengan alat-alat bambu di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari/Afifa Lestari

Keragaman dolanan membentuk citra atau ciri khas, yang membedakan Kebonsari dengan desa-desa lain di kawasan Borobudur. Jika desa lain menonjol karena kerajinan dan peninggalan bangunan bersejarah, Kebonsari melejit sebagai “Kampoeng Dolanan Pring”. Kebonsari menjadi desa wisata edukasi permainan tradisional bambu yang menawarkan pengalaman lain saat berwisata.

Kampoeng Dolanan Pring memiliki sebuah sanggar dolanan yang dibangun secara gotong royong oleh masyarakat. Sanggar ini berbentuk joglo terbuka dengan bambu sebagai struktur utama bangunannya. Masyarakat sukarela menyumbang bambu agar sanggar dapat berdiri dengan kokoh.

Terdapat sekitar 70 buah replika dolanan sebagai pengisi pajangan sanggar yang dibuat oleh masyarakat, yang sepertinya sudah digariskan sebagai perajin bambu sejak dini. Dolanan yang dibuat antara lain wayang siladan, layangan, bedil, panahan, angklung, blenderan, long bumbung, plintengan, blengkeran, egrang, plencungan, sontokan, sempritan, kumbangan, kitiran, gepyek bontosan, angkrek, pentongan, kecrek bambu, suling, tulup, getek, kendang, motor mabur, barongan, oncor, pedang, pecut, glindingan, tukmul, gangsingan, dan masih banyak lagi. Dari beberapa dolanan, ada dua jenis dolanan yang menjadi unggulan di Kebonsari, yaitu wayang siladan dan layang-layang.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Bentuk wayang siladan/Afifa Lestari

Dolanan Wayang Siladan

Wayang siladan menjadi dolanan pertama yang menarik perhatian, karena ini adalah wayang khas Kampoeng Dolanan Pring. Berbeda dari kebanyakan wayang lain yang berukuran lumayan besar, ukuran wayang ini lebih mungil, hanya sekitar 20 cm.

Wayang siladan berbahan dasar bambu jawa. Bambu jawa dipilih karena teksturnya yang lebih lentur dan mudah dibentuk, atau biasa disebut dengan gebes. Siladan sendiri istilah eratan bambu yang berbentuk bilah-bilah tipis, yang biasa digunakan untuk menganyam eblek, irik, dan tedo yang juga merupakan kerajinan khas Desa Kebonsari. 

Dalam perkembangannya, wayang siladan hanya mempunyai dua karakter, yaitu perempuan dan laki-laki. Perempuan disimbolkan dengan bentuk bulat di atas kepala, sedangkan laki-laki berbentuk segitiga. Untuk membuat wayang siladan ada dua versi. Pertama, wayang sederhana hanya menggunakan dua bilah siladan. Kedua, bentuk wayang yang agak rumit dengan menggunakan 4–5 siladan.

Cerita-cerita tua ikut andil dalam memperelok makna dari wayang mungil tersebut. Orang tua zaman dahulu, khususnya di Dusun Gunung Mijil, hampir semuanya adalah pengrajin eblek. Eblek adalah wadah berbentuk bulat sebagai tempat untuk bumbu dapur atau beras. Setiap harinya, apabila tidak pergi ke sawah atau kebun, masyarakat akan pergi ke pengirasan—tempat seperti gubuk untuk membuat eblek yang bisa dipakai 6–15 orang).

Dari keseharian itu, untuk menenangkan anak-anak agar tidak menangis dan mengganggu pekerjaan ketika di pengirasan, orang tua membuat wayang dari siladan bambu sebagai orang-orangan untuk bermain anak. Mereka juga menggunakan wayang siladan untuk menidurkan anak, lalu menyanyikan lagu Lelo Ledung sampai anak tertidur pulas. Para orang tua juga sering mengajak anak dan cucunya pergi ke sawah sekaligus bermain wayang siladan, menceritakan dongeng-dongeng penuh petuah sembari mengawasi padi mereka dari burung-burung yang usil.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Pementasan wayang siladan oleh dalang/Afifa Lestari

Layang-layang Bambu

Dolanan kedua ini memiliki bentuk yang bermacam-macam. Ada yang seperti hewan, tumbuhan, hingga tokoh-tokoh dalam sejumlah dongeng. Kita mengenalnya sebagai layang-layang atau layangan

Layangan di Kebonsari memiliki bentuk yang bermacam-macam. Biasanya dimainkan di Bukit Kukusan Kebonsari, pematang sawah, maupun sepanjang irigasi desa. Selain bentuknya yang beragam, keunikan layangan di desa ini adalah jampi-jampi yang dipakai untuk menerbangkan layangan. Anak-anak memiliki mantra-mantra ajaib atau sering disebut jampi-jampi, agar layangan tersebut dapat terbang tinggi.

Aneka jenis layangan di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari/Afifa Lestari

Jampi-jampi sudah ada sejak zaman dahulu. Ini bukan bermaksud memercayai suatu hal selain Tuhan, melainkan hanya sebagai pancingan untuk mengundang angin, hujan, dan unsur zat alam lainnya. Selain itu, jampi-jampi juga digunakan untuk menghibur anak-anak—misalnya yang jatuh saat bermain—agar menambah seru suasana, sebagai pelipur lara dan penyemangat saat bermain. Desa Kebonsari juga memiliki banyak jampi-jampi ikonis, salah satunya seperti ini:

Jejempa-jejempe undangno barat gede,
jejempa-jejempo undangno barat dawa
Jejempa-jejempe undangkan angin besar,
jejempa-jejempo undangkan angin yang panjang atau lama

Mantra ini dipakai untuk memanggil angin saat bermain layangan. Saat kata-kata tersebut diucapkan, tangan diangkat ke atas untuk mengetahui arah angin yang datang. Pada zaman dahulu, anak-anak yang mendendangkan mantra akan merasa bahwa angin muncul secara tiba-tiba dan layangan dapat terbang dengan tinggi. Entah benar atau tidak, nyatanya jampi-jampi menjadi andalan setiap bermain. Seolah-olah alam memberikan restu dengan mendatangkan angin dan menjemput sang layang-layang. Layangan memiliki tempat tersendiri di hati warga Kebonsari. Tidak hanya menjadi primadona ketika musim kemarau, tetapi juga dimainkan setiap pagi atau sore hari hari libur tiba.

Layang-layang mengandung nilai-nilai filosofis. Menurut para orang tua di Kebonsari, layangan yang diterbangkan harus memiliki keseimbangan. Ibaratnya, hubungan manusia juga harus seimbang dalam kehidupan di dunia dan dengan Sang Pencipta. Ekor layangan yang dekat dengan badan saat diterbangkan, akan diam atau hanya sedikit bergerak, sedangkan yang jauh akan terus bergerak. Jika manusia dekat dengan Sang Pencipta maka akan selamat hidupnya. Begitu pun sebaliknya, yang akan mudah tersesat jika menjauh.

Ketika menerbangkan layang-layang, cara yang digunakan adalah menarik ulur layangan supaya bisa terbang tinggi. Ulur berarti jika kita ingin maju, maka kita harus menggantungkan impian kita. Begitulah ujaran sesepuh desa Kebonsari.

Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
Anak-anak bermain layang-layang dan wayang siladan di Bukit Kukusan/Afifa Lestari

Ragam Wisata Lainnya

Selain memainkan wayang siladan dan layang-layang, ada pula paket wisata dalam bentuk travel pattern dengan tema dolanan di setiap posnya. Pos pertama biasanya dinamakan Pos Apus. Di pos ini kita akan belajar membuat kerajinan dari siladan bambu menjadi wayang siladan, anyaman berbentuk persegi untuk dilukis, dan terakhir lomba eblek dan egrang.

Pos kedua adalah Pos Petung. Di sini kita akan bermain berbagai dolanan yang menguji ketangkasan, kecepatan, dan kekompakan, seperti panahan, gepyak bontosan, bedilan, dan bakiak. Semua dolanan ini dibuat seseru mungkin dengan panduan dari masyarakat lokal.

Pos ketiga bernama Pos Ampel. Di sini kita akan menari dan menyanyikan lagu-lagu dolanan tradisional dengan menggunakan alat musik dari bambu, seperti angklung, suling, pentongan, dan kendang.

  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari
  • Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari

Nama-nama unik pos tersebut berdasarkan jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dasar membuat dolanan di setiap posnya. Apabila ingin memainkan layangan, kita bisa meminta tambahan waktu untuk menerbangkannya di Bukit Kukusan, sembari menikmati pemandangan hamparan persawahan kawasan Borobudur.

Mari berwisata ke Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari. Berwisata sembari bermain, menyanyi, menari, dan meraih bekal pitutur yang penuh dengan petuah hidup. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berwisata sembari Bermain di Kampoeng Dolanan Pring Kebonsari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berwisata-sembari-bermain-di-kampoeng-dolanan-pring-kebonsari/feed/ 0 42788
Desa Banyuurip https://telusuri.id/desa-banyuurip/ https://telusuri.id/desa-banyuurip/#respond Tue, 07 Jan 2020 08:21:17 +0000 https://telusuri.id/?p=19171 Persiapan perjalanan kami ke sana dibumbui prasangka-prasangka negatif tentang tempat itu. Berbagai hal juga tak henti-henti mencoba menghapus semangat yang dengan susah payah kami bangun. Bagi saya sendiri yang sudah cukup lama tinggal di Semarang,...

The post Desa Banyuurip appeared first on TelusuRI.

]]>
Persiapan perjalanan kami ke sana dibumbui prasangka-prasangka negatif tentang tempat itu. Berbagai hal juga tak henti-henti mencoba menghapus semangat yang dengan susah payah kami bangun.

Bagi saya sendiri yang sudah cukup lama tinggal di Semarang, pindah sementara ke tempat itu sedikit membuat hati resah. Ditambah lagi bayak cerita tidak enak soal daerah itu yang saya dengar dari orang-orang, dari mulai panas yang menyengat setiap hari, air yang susah, sampai keterpencilannya; hal-hal yang terus saya diskusikan bersama teman-teman setiap kali ada pertemuan.

Namun, semua itu tak mampu menghalangi keberangkatan saya dan teman-teman ke sana. Kami berangkat tanggal 3 Januari kemarin dan harus bertahan di sana selama sekitar 45 hari. Bukan untuk liburan, tapi untuk tinggal dan hidup bersama masyarakat, untuk mengabdi dan menerapkan/membagi ilmu yang kami peroleh di kampus: Kuliah Kerja Nyata. Mudah-mudahan segala yang kami berikan dapat berguna bagi masyarakat setempat.

Kebun singkong di Desa Banyuurip/Afifa Lestari

Tempat yang kami tuju adalah Desa Banyuurip, salah satu desa di Kecamatan Margorejo, Pati. Begitu mendengar nama desa itu, saya sebenarnya bertanya-tanya; masa iya ada sebuah desa bernama Banyuurip (desa yang selalu dilimpahkan air dan kesuburan) di Pati yang disebut-sebut selalu susah air?

Pertanyaan saya itu terjawab dalam perjalanan—yang biasanya memang “menampar” kesoktahuan tanpa dasar.

Dari Alun-alun Pati, perlu sekitar 20 menit naik kendaraan menuju Desa Banyuurip. Jalan sedikit menanjak sebab kami memang mesti melewati bukit. Lalu lintas tidak seramai di kota sehingga tentu saja kami tidak harus bertemu dengan kemacetan. Sepanjang perjalanan, mata saya melihat hamparan ladang tebu yang luas. Udara juga sejuk, sama sekali berbeda dari yang kami bayangkan.

Melewati gapura selamat datang Desa Banyuurip, kami disambut hamparan pertegalan jagung dan umbi-umbian yang jadi komoditas perekonomian wilayah itu. Mata saya menangkap sebuah keunikan di ladang Desa Banyuurip, yakni tanaman singkong biasanya dipadukan dengan jagung. Jadi, di desa ini singkong yang berdampingan dengan jagung adalah pemandangan wajar.

Beberapa hari di desa ini, kami larut dalam kekaguman, sebab, selain dikaruniai pemandangan indah, tempat ini begitu asri dan terjaga. Udara segar, yang mungkin susah dihirup di tempat lain, melimpah di desa ini.

Selain itu, meskipun bermukim di daerah rural, masyarakat Desa Banyuurip dan sekitarnya juga punya kemauan tinggi untuk menjaga lingkungan, seperti yang bisa dilihat di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang dimiliki secara bersama oleh Desa Banyuurip dan Desa Sukoharjo. Sampah bagi mereka bukan cuma untuk dibuang. Jika diolah, buangan itu bisa bermanfaat bagi semua orang.

Desa ini diisi oleh orang-orang kreatif. Banyak sekali perajin kayu rumahan di sini. Mereka membuat perabotan berkualitas istimewa seperti meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya. Soal harga, silakan mampir sendiri dan bertanya pada para perajin itu.

Prasangka yang menggelayut sebelum saya dan kawan-kawan terjun ke Desa Banyuurip perlahan luntur. Kami betah berada di desa yang asri, jalan kaki menelusuri tegalan singkong dan jagung, mengagumi keelokan alam. Alih-alih “mengajar,” kami justru belajar bahwa sesuatu yang indah tak harus mewah; sederhana juga bisa jadi istimewa, seperti Desa Banyuurip.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Desa Banyuurip appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-banyuurip/feed/ 0 19171
Belajar Memilah Sampah “Iso Bosok” dan “Ora Iso Bosok” di Kongres Sampah https://telusuri.id/kongres-sampah-desa-kesongo/ https://telusuri.id/kongres-sampah-desa-kesongo/#respond Thu, 24 Oct 2019 10:21:15 +0000 https://telusuri.id/?p=18266 Sebelum mulai bercerita, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu: Apa kamu sudah siap mengorbankan sedikit waktu untuk lepas dari Instagram, Twitter, FB, atau media sosial lain? Kalau jawabanmu “OK,” mari kita mulai. Jadi, ceritanya,...

The post Belajar Memilah Sampah “Iso Bosok” dan “Ora Iso Bosok” di Kongres Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum mulai bercerita, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu: Apa kamu sudah siap mengorbankan sedikit waktu untuk lepas dari Instagram, Twitter, FB, atau media sosial lain? Kalau jawabanmu “OK,” mari kita mulai.

Jadi, ceritanya, beberapa waktu lalu aku dan beberapa orang teman meluncur dari Kota Semarang ke arah Rawa Pening. Pagi sekali, masih jam 6. Tentu kami ke sana bukan untuk memotret matahari terbit—yang tentu saja sudah terbit—di pinggir rawa. Tujuan kami adalah sebuah desa bernama Kesongo di Tuntang, Kabupaten Semarang.

Ada apa di sana?

Oke, siap-siap, ya, mendengar jawabannya. Kalau kamu sedang menyeruput teh atau kopi, mending ditelan dulu. Jadi, ada apa di sana? Jawabannya: Kongres Sampah. Betul, kamu tidak salah baca. Sekali lagi: Kongres Sampah.

desa kesongo tuntang
Ladang dan sawah di Desa Kesongo, Tuntang/Afifa Lestari

Aku yakin kamu pasti mengernyit. Barang apa ini? Aku, yang mendengar tentang acara ini sejak sebulan sebelumnya, juga agak kesulitan awalnya menalar acara ini. Tapi, setelah cari-cari informasi, aku jadi tahu sedikit-sedikit soal Kongres Sampah.

Kongres Sampah ini sengaja digelar pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 12-13 Oktober 2019 lalu untuk meningkatkan kepedulian [masyarakat] soal pengelolaan sampah dan lingkungan. Kegiatan ini diharapkan bisa menelurkan berbagai ide dan kebijakan baru untuk menangani kedua persoalan itu.

Yang membuatku makin antusias ke sana, Kongres Sampah disemarakkan dengan aneka festival—fesyen, karnaval, seni pertunjukkan, dan kuliner. Semuanya—kecuali festival kuliner tentunya—memanfaatkan sampah yang sudah didaur ulang.

desa kesongo, tuntang, semarang
Keranjang sampah di Desa Kesongo/Afifa Lestari

Maka, pagi itu aku bersemangat sekali menggeber si roda dua ke Desa Kesongo. Dari jalan raya, aku dan teman-teman masuk ke perkampungan. Pepohonan, jalan yang sedikit berlubang, dan warga lokal yang tersenyum lebar, menyambut kami, orang asing, dengan ramah.

Lalu, aku kemudian sadar bahwa ada sesuatu yang menarik dari desa ini. Di depan setiap rumah tersedia dua tempat sampah anyaman. Dilihat-lihat dari bentuknya, tempat-tempat sampah itu adalah handmade alias bikinan sendiri.

Menariknya, di bawah tulisan “sampah organik” dan “sampah non organik” ada terjemahan dalam bahasa Jawa, yakni “iso bosok” dan “ora iso bosok.” Dengan terjemahan itu, tentu warga akan lebih paham soal jenis sampah dan bagaimana memperlakukannya. Penyertaan tulisan berbahasa Jawa itu adalah ide cemerlang.

kongres sampah
Instalasi “ecobrick” di Kongres Sampah/Afifa Lestari

Melihat kearifan ini, sebagai manusia yang mengerti arti “organik” dan “anorganik/non-organik,” aku jadi tertampar. Mengetahui saja memang belum cukup untuk membuat seseorang konsisten beraksi.

Warga Desa Kesongo, sementara itu, yang belum tentu paham luar-dalam tentang keorganikan atau keanorganikan sampah, sudah mulai memisahkan sampah. Selain memisahkan sampah, perhatian mereka ke lingkungan juga tercermin dalam usaha mereka untuk membuat kerajinan tangan berbahan dasar sampah—juga eceng gondok dan rotan.

Kesenangan bagi penduduk Desa Kesongo adalah apabila seluruh warga bahagia, berkecukupan, sehat, dan hidup di lingkungan yang bersih.

Lalu kami tiba di lokasi Kongres Sampah. Banyak sekali produk olahan sampah yang kulihat di sana, mulai dari tas, dompet, pupuk, baju, bahkan minyak. Ada pula hiasan seperti bunga, ecobrick, lampu, gantungan kunci, dan lain-lain. Semuanya dikemas semenarik mungkin. Konon, karya masyarakat lokal berbagai usia itu sudah ada yang menembus pasar luar negeri.

kongres sampah
Peserta karnaval Kongres Sampah/Afifa Lestari

Tentang kuliner, makanan yang tersaji di kongres pelopor itu adalah makanan lokal. Jadi, kalau yang kamu cari adalah makanan-makanan luar seperti pizza, spaghetti, atau steak, siap-siap saja untuk kecewa. Kamu, kawan, salah tempat.

Rangkaian acara Kongres Sampah ternyata bukan hanya eksebisi namun juga diskusi. Urun ide itu tidak hanya menguap begitu saja, melainkan akan dijadikan dasar untuk gebrakan-gebrakan baru dalam hal pengelolaan lingkungan.

Jadi, kawan, penantianku selama sebulan tidak sia-sia. Aku belajar banyak dari Kongres Sampah dan Desa Kesongo. Dalam perjalanan pulang, aku bertekad untuk lebih peduli pada pengelolaan sampah, sebab sampahku tanggung jawabku. Perlahan-lahan aku juga mungkin akan lebih peduli pada lingkungan.

Nah, sekarang silakan kembali ke Instagram, Twitter, FB, atau media sosial lain apa pun yang jadi rumah mayamu. Ceritaku selesai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Memilah Sampah “Iso Bosok” dan “Ora Iso Bosok” di Kongres Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kongres-sampah-desa-kesongo/feed/ 0 18266