Ajo https://telusuri.id/penulis/ajo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 05 Dec 2020 14:16:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ajo https://telusuri.id/penulis/ajo/ 32 32 135956295 Q&A: Pendakian Perdana Admin Jelajah Pendaki Indonesia https://telusuri.id/qa-pendakian-perdana-admin-jelajah-pendaki-indonesia/ https://telusuri.id/qa-pendakian-perdana-admin-jelajah-pendaki-indonesia/#respond Mon, 30 Nov 2020 08:45:06 +0000 https://telusuri.id/?p=25635 Di balik unggahan Jelajah Pendaki Indonesia (@pendakiindonesia), salah satu akun Instagram pendakian dengan follower terbanyak di Indonesia, ada sesosok petualang bernama Khaerul Ikhwan. Beberapa hari yang lalu, Arul meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan saya soal...

The post Q&A: Pendakian Perdana Admin Jelajah Pendaki Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik unggahan Jelajah Pendaki Indonesia (@pendakiindonesia), salah satu akun Instagram pendakian dengan follower terbanyak di Indonesia, ada sesosok petualang bernama Khaerul Ikhwan. Beberapa hari yang lalu, Arul meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan saya soal pendakian perdananya.

jelajah pendaki indonesia
Khaerul Ikhwan (Arul) difoto memakai kaus merah TelusuRI via instagram.com/unyil20

Jadi, kapan kamu pertama kali naik gunung, Rul?

Kelas 2 SMA, Jo. Kalau aku lulus SMA tahun 2001/2002, berarti kelas 2 itu tahun berapa, ya? Waktu itu liburan habis ujian akhir kelas 3. Jadi ada teman, cowok-cowok, entah siapa, yang nyeletuk kasih ide naik Gunung Slamet. Akhirnya teman-teman pada sepakat naik gunung, deh.

Kok kamu dan teman-teman kepikiran naik gunung? Sekitar 2000-2001 itu kayaknya di media juga belum banyak tayangan yang bikin orang tertarik naik gunung. Baru zaman Friendster juga, ‘kan, itu? Media sosial belum ada.

Aku hidup di Pemalang, Jo. Waktu itu aku belum kenal Internet—baru kenal PC. Dan di sekolahku itu nggak ada izin sispala, Jo. Tapi ada OPA [Organisasi Pencinta Alam] yang bergerak bawah tanah, namanya Narata Paksi.

Kami nggak ada yang ikut Narata Paksi, tapi. Dan waktu itu ada edaran di rapor yang dibagi ke orangtua, dalam bentuk fotokopi, yang isinya larangan-larangan selama liburan, salah satunya naik gunung. Makanya aku sempat ndak dapat izin dari bapak. Tapi, dari dulu aku emang ngeyelan. Aku bersikeras naik gunung. Akhirnya diizinkan.

Sekitar seminggu sebelum hari-H ada yang survey, Jo. [Menurut] hasil keputusan rapat, emang harus ada yang survey dulu, setidaknya [biar tahu] akses transportasi ke base camp.

Tapi, anak-anak muda di Pemalang waktu itu sudah banyak yang naik gunung?

Ada beberapa OPA di luar lembaga, Jo. Yang paling terkenal waktu itu… sek, aku lupa—Paduraksa.

Sudah lewat sekitar dua dekade soalnya, ya, makanya lupa?

Yang Paduraksa itu ternyata pernah didiklat mapalaku juga, Jo. Sekarang udah ndak eksis juga soalnya [makanya tadi aku lupa]. Kami itu ndak ada yang punya pengalaman, ndak ada yang pernah dapat pendidikannya [OPA], dan aku cuma pernah aktif di pramuka aja waktu SMP. SMA udah ndak aktif lagi karena ndak respek sama senior.

Culun-culun pokoknya.

Selain survey itu tadi, apa saja persiapan pendakian perdanamu itu, Rul? Alat-alat pendakian pun kayaknya masih mahal, ya, dulu?

Alat apaan, Jo? Kami ndak tahu alat yang seharusnya kami bawa. Kami cuma tahu kami mau kemping. Ya, peralatan layaknya mau kemping aja yang kami bawa—bahkan ada yang bawa gitar.

Jadi, saat meeting bahas apa aja yang harus dibawa, ada beberapa peralatan dalam daftar—aku ingat, nih. Kami bawa tenda pramuka—lupa waktu itu punya siapa—terus senter. Bahkan temanku ada yang bawa senter yang biasa dipakai untuk ngobor kodok [mencari kodok] di sawah yang tenaganya pakai aki. Terus bawa tikar gitu-gitu, deh.

Cupu pokoknya.

Terus dulu kamu naiknya dari jalur mana, Rul? Naik apa ke sana?

Lewat Bambangan, Jo. Dulu pendaki yang mau naik itu registrasinya cuma mengisi buku tamu, pakai buku yang biasa untuk catat keuangan itu, di base camp lama. Naik apanya ini aku agak lupa juga—

Eh, aku ingat, nih. Teman-teman yang survey pakai motor, tapi kami ke sana pakai transportasi umum. Dari titik kumpul kami naik bus tuyul [bus kecil dalam kota] ke Moga. Dari Moga kami naik pikap bareng ibu-bapak yang baru dari pasar mau pulang ke rumah. Sampai di Pasar Pratin kami ganti mobil, pakai pikap. Di perbatasan Pemalang dan Purbalingga waktu itu ada kebijakan angkutan Pemalang nggak boleh masuk bawa penumpang ke Purbalingga.

Sampai base camp sore? Naik malam berarti?

Nggak. Kalau ndak salah kami itu naik siang, Jo. Aku ingat base camp agak ramai waktu itu. Ada beberapa pendaki yang baru turun.

Setelah registrasi, kami siap-siap berangkat. Kayak yang tadi aku bilang, di antara kami ada yang bawa gitar, mi instan pun kami bawa sama dus-dusnya. Belum ada yang kenal keril di antara kami. Beberapa pakai tas PDL-nya TNI itu, ada yang pakai sepatu PDL juga. Kalau ndak salah kami sempat diketawain juga sama pendaki yang ada di base camp. Sempat ada kalimat, “Mau jualan, ya, Mas, di atas?”

Pokoknyalah, Jo, ini cerita konyol.

‘Kan kamu naiknya ramai, Rul. Rombongannya dibagi nggak kayak pendakian massal?

Mana kepikiran kita soal bagi-bagi kelompok. Pokoknya jalan bareng aja gitu. Tapi, di tengah perjalanan kami terpisah jadi dua, menjelang magrib.

Pas mendaki itu, di menit keberapa muncul rasa penyesalan? Atau kamu malah nggak menyesal?

Bukan penyesalan, sih, Jo. Kalaupun ada, aku ndak ingat aku merasa menyesal. Cuma, ada obrolan di tengah jalan di antara kami, “Kalau disuruh emak beli garam ke warung aja susah. Ini naik gunung, payah begini, berangkat.” Semacam itu. Beberapa dari kami tercecer, termasuk aku yang sempat terbaring di jalur beberapa saat. Lelah banget.

Ada yang muntah, nggak?

Ada, tapi ini waktu kami sudah bikin tenda, di kamp. Tapi pas sampai di Pos 4 aku kaget, Jo. Ternyata di situ ramai. Dulu masih boleh bikin api, ‘kan, dan api di situ ndak kecil. Pokoknya pos itu pengap asap. Aku ndak lama di situ.

Pos 4 itu Samarantu, ‘kan? Kalian tancap sampai ke sana dari siang?

Iya, Samarantu. Seingatku Pos 4—atau Pos 5, ya? Dari siang, Jo. Pergerakan kami lambat.

Terus kalian kemping di sana?

Nggak. Di Pos 7 kalau ndak salah [kami kemping]. Aku lupa tepatnya jam berapa waktu itu kami sampai di pos dan bikin tenda.

Bajindal! Sampai sana sudah tengah malam pasti?

Iya, Jo. Beberapa teman sudah ndak berdaya. Satu teman ‘jackpot’. Dan aku bikin air panas pakai sisa air yang ndak ada setengah panci. Dan… pancinya ndak sengaja ketendang, dong. Asli, Jo, ini cerita konyol.

Lha, itu habis pancinya ketendang gimana? Habislah persediaan air?

Jadi, karena merasa bersalah numpahin air terakhir, aku turun ke mata air bawa botol-botol kosong, ditemani seorang taman—aku lupa siapa. Tahulah, Jo, gimana rasanya. Sudah pengen istirahat terus kudu turun dalam kondisi fisik yang sudah capek.

Sampai mata air aku isi botol-botol yang kubawa. Aku masukkan dalam tas dan satu botol aku pegang untuk diminum di jalan. Segar rasanya bisa minum air malam itu. Aku naik lagi dengan kewalahan. Capek banget rasanya. Beberapa kali aku duduk terus berbaring di jalur, minum air dari botol yang kupegang tadi.

Akhirnya aku sampai lagi di kamp dan kami bisa masak air. Terus aku istirahat, tapi ndak bisa tidur soalnya dingin banget.

Tapi pas tidur perut sudah terisi to? Masih ingat makan apa aja waktu itu?

Kayaknya sudah, Jo. Aku makan mi sama snack yang aku bawa kayaknya. Ndak kenyang-kenyang banget, tapi terisi.

Aku lupa jam berapa, ada pendaki yang ngingetin [pendaki lain] untuk muncak. Waktu itu aku lagi kedinginan banget. Sempat ragu mau muncak apa ndak.

jelajah pendaki indonesia
Arul (kiri) saat pendakian perdana ke Gunung Slamet/Istimewa

Tapi akhirnya kamu dan teman-teman pada bangun terus muncak?

Ada yang ndak ikut ke puncak—aku lupa berapa orang—salah satunya yang ‘jackpot’ tadi. Pelan-pelan kami bergerak. Sampai di batas vegetasi kami memastikan jalur ke atas, bertanya ke pendaki lain, terus menguatkan tekad, dan cus.

Sampai puncak sebelum matahari terbit?

Nggak, Jo. Pergerakan kami, ‘kan, lambat. Sampai di atas kami menikmati pemandangan, turun ke Segara Wedi, dan foto-foto.

Turun dari puncak jam berapa, Rul?

Nah, ini. Turunnya, kok, aku lupa, Jo. Yang aku ingat cuma [pas perjalanan turun] aku mampir ke mata air. Turun, ‘kan, itu. Dan di situ aku shock. Aku lihat banyak banget ‘ranjau’ di mata air tempat semalam aku ngambil air. Mana sebotol aku minum di jalan pula tanpa dimasak. Damn, Jo. Kalau ingat, tuh, rasanya… beuh!

Sampai bawah sudah gelap?

Aku lupa, nih. Kayaknya iya, deh. Nginap lagi di base camp. Tapi aku nggak yakin—

Terus, habis pendakian perdana itu, jaraknya berapa lama sampai kamu naik gunung lagi, Rul?

Lumayan lama, Jo. Kayaknya setahun. Naik lagi sama yang di foto itu juga. Slamet lagi, Bambangan lagi.

The post Q&A: Pendakian Perdana Admin Jelajah Pendaki Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/qa-pendakian-perdana-admin-jelajah-pendaki-indonesia/feed/ 0 25635
Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/ https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/#comments Sat, 31 Oct 2020 18:00:46 +0000 https://telusuri.id/?p=24949 Obreng, sahabat saya, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, pernah cerita soal petualangannya di Indonesia bagian timur. Tapi sepintas saja. Intinya, suatu ketika cuaca buruk memaksa pesawat yang ditumpanginya melipir ke utara, lalu mendarat di sebuah...

The post Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina appeared first on TelusuRI.

]]>
Obreng, sahabat saya, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, pernah cerita soal petualangannya di Indonesia bagian timur. Tapi sepintas saja. Intinya, suatu ketika cuaca buruk memaksa pesawat yang ditumpanginya melipir ke utara, lalu mendarat di sebuah bandara yang di tiang-tiangnya berkibar bendera yang punya warna lebih dari dua.

Karena saya rasa cerita itu terlalu berkesan untuk tak diabadikan, suatu malam saya menghubunginya lewat sebuah aplikasi berkirim pesan dan mengajaknya mengobrol. Pertanyaan pertama pun terkirim.

“Nyasar ke Filipina itu, tuh, bonus, Jo,” ketiknya, dari Bandung, menjawab pertanyaan itu, membuyarkan pikiran-pikiran saya tentang kisah yang akan saya terima soal perjalanan udara itu. Ia bilang ada cerita yang lebih seru dalam petualangannya itu.


Jadi ceritanya begini:

Suatu siang di tahun 2012, nasib mengantarkannya ke Waiwo, sebuah pulau di Raja Ampat. Ia bersama dua orang kawan baru beberapa menit yang lalu meminta izin ke warga dan membuka tenda di atas pasir pantai. Lalu duduk-duduklah mereka sambil menyerap asap Gudang Garam Filter—Garpit—dan mengisap panorama.

Riak air dan suara alam menjelang tengah hari bikin suasana jadi syahdu. Namun kesyahduan itu diusik suara seorang wisatawan mancanegara sedang berlari-lari di pasir, dari sebuah hotel ke pantai. Sekali, dua kali, bolak-balik. Iseng sekali dia, pikir Obreng. Saat orang itu sedang sibuk mengkhatamkan putaran ketiga, Obreng mengajaknya bicara, “Can I help you? Do you need any help?

Ternyata dia sedang mencari kakaknya. Pemuda itu dari Finlandia. Dari negeri utara itu ia berangkat bertiga bersama kakak dan istri kakaknya. “Kakaknya, tuh, honeymoon,” jelas Obreng. “Dia jadi porter-nyalah.”

Persoalannya, ponsel sang pemuda ketinggalan di kamar, sementara kunci dibawa kakaknya. Ia sudah usaha minta tolong pada resepsionis. Tapi, malang, kecakapan bahasa Inggris sang awak hotel kurang. Komunikasi gagal. Jadilah ia menghabiskan waktu bolak-balik dari hotel ke pinggir laut. Menghilangkan kegalauan, barangkali. Singkat cerita, Obreng digiring nasib jadi interpreter dadakan.

Sambil menunggu sang kakak tiba, ia ikut nongkrong bareng Obreng dkk. dan mengobrol santai. Rupanya ia punya lisensi scuba diving. Sudah lama ia tahu soal Raja Ampat dan dunia bawah lautnya. Perjalanan bulan madu sang kakak ke Raja Ampat itu adalah idenya.

Mereka merokok. Manusia Eropa itu mengisap Marlboro seharga Rp100 ribu per bungkus, sementara Obreng merokok Garpit yang harganya berlipat-lipat lebih murah. Aroma cengkih yang menguar dari kretek filter murah itu menarik perhatian hidung sang musafir. Ia penasaran, akhirnya meminta sebatang, lalu membakarnya.

“Habis ketemu kakakku nanti, tolong antar beli rokok itu, ya?” ujarnya.

Sang pemuda lalu bercerita bahwa mereka sudah menyewa kapal untuk keliling perairan Raja Ampat. Tapi ternyata ia keliru memesan logistik. Awak kapal menyiapkan bekal untuk enam orang, padahal mereka cuma bertiga. Sewaktu mengurus pemesanan, agen kapal bertanya: kapal itu disewa untuk berapa hari dan untuk berapa orang makanan mesti disiapkan?

Three,” jawab sang pemuda. Maksudnya, tolong persiapkan makanan untuk tiga orang. Namun ujung-ujungnya yang datang adalah makanan porsi enam orang untuk tiga hari. Angka memang rumit—dan akan jadi lebih rumit jika diperbincangkan dalam bahasa asing.

“Jadi makanannya kebanyakan,” lanjut Obreng.

Kakak dan kakak iparnya pun tiba. Mereka berkenalan. Sang kakak bernama Erik. “Istrinya Ryiandrjik—apa gitu, susah namanya,” lanjut Obreng. Adiknya—sang pemuda itu—bernama Alex.

Alex semula ingin menghibahkan makanan yang berlebih itu pada trio Obreng. Tapi Erik malah sekalian mengajak mereka ikut berlayar.

Beh, baik bener,” ketik Obreng. “Ya, aing mau-mau aja, ya, Jo, naik kapal keliling-keliling Raja Ampat.”

Tenda yang sudah berdiri di atas pasir Waiwo itu pun dibongkar.


“Si Alex ini ternyata orangnya bengak level 100!” kenang Obreng. “Pelupa, sembronolah. Kocak juga. Kalau kakaknya serius.”

Menjelang naik kapal, Erik sang kakak bertanya ke Alex, “Nakhodanya mana?” Si Alex dengan tengil menjawab, “Buat apa pakai nakhoda kalau sudah ada Alex?!”

Setelah jangkar diangkat dan kapal melaju, baru Obreng sadar kalau ia lupa menemani Alex beli rokok. Akhirnya mereka tengmenan. Alex rupanya benar-benar bisa mengendarai kapal. Dengan rokok di tangan, sudah macam nakhoda lokal saja dia.

Tiba di lokasi penyelaman—yang sudah dicari tahu Alex sebelum bertolak ke Raja Ampat—keenam wetsuit yang dibawa dikeluarkan oleh awak kapal. “Di situ aing baru pertama kali pakai baju selam. Ternyata makenya harus dibalik, ya,” tulisnya, disambung “wkwkwkwkw.”

“Lho, maneh turun pakai tabung?”

Dia anak gunung sejati; jauh dari laut.

“’Kan kita bilang belum pernah diving,” jawab Obreng. “’Kata Alex, ‘santai aja.’ Jadi kita ikut turun pakai tabung. Dikasih les singkat sama Alex.”

Di sela-sela penyelaman-penyelaman itu, ada satu perkataan Alex yang diingat Obreng sampai sekarang: “Indonesia harusnya ganti nama jadi ‘Enormous’.”

Malamnya mereka menyelam lagi di perairan sebuah pulau di selatan Waiwo. Lalu mereka berlayar terus ke utara, mendekati garis khatulistiwa. Kata Alex, di utara sana ada titik untuk menyelam malam.

Terumbu karang di kawasan Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu, 3 Juni 2012 via TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Dalam penyelaman selanjutnya itu, dekat Pulau Batang Pele, Alex lupa menjangkarkan kapal. Begitu muncul ke permukaan, mereka lihat kapal sudah terbawa gelombang sampai jauh. Untuk mengejar kapal mereka enggan sudah. Maka, mereka biarkan kapal itu—dan Erik serta istrinya yang sedang berbulan madu—jauh di sana. Tak ada pilihan yang lebih bijaksana kala itu ketimbang bermalam di atas pasir Pulau Batang Pele.

“Kebanyakan merokok sama ngebir [dia],” kenang Obreng.

Mereka ngaso di pinggir laut sambil bakar-bakar ikan. Alex cerita kalau ia pernah lihat video orang menyemburkan api di Indonesia. “Itu, loh, yang dari mulut, Jo,” cerita Obreng. “Sama si Kandang diajarinlah caranya.”

Dan tenda Alex kebakaran.

Paginya, saat pulang ke kapal, bajunya gosong. Erik bertanya, “Kenapa bajunya? Tendanya mana?”

“Kena semburan mulut api penyihir Indonesia,” jawabnya.

Dua hari Obreng dan kawan-kawannya bertualang bersama ketiga orang Finlandia itu. Di hari ketika Erik mendapati baju Alex gosong itu, Obreng dan kedua kawannya diantar ke Bandara Marinda, sebab mereka mesti pulang keesokan harinya. Salam perpisahan dipertukarkan. Kenyataan segera berubah jadi kenangan.

Dari Marinda, mereka terbang ke Sorong menumpang pesawat kecil Aviastar. Di Soronglah cerita soal nyasar ke Filipina itu bermula.


“Mungkin pas di Raja Ampat aing udah beruntung bisa main gratisan sama bule dari Finlandia,” tulisnya di aplikasi pesan. “Makanya, pas naik pesawat, baru, deh, kena sialnya.”

Trio Obreng hendak ke Manado. Sore hari, sekira pukul 15.30 waktu setempat, mereka terbang menumpang Merpati tipe M60 yang berbaling-baling itu. Di awal penerbangan, lewat corong pilot memberi tahu bahwa cuaca di Maluku sedang kurang baik. Makanya sang pilot meminta izin terbang lewat utara Maluku.

Pesawat Merpati melintas di atas Kota Sorong, Papua Barat, Kamis, 31 Mei 2012 via TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Rupanya badai semakin melebar. Sudah kadung di utara, susah untuk berbalik ke selatan. Pilot kembali bersuara, meminta maaf kepada para penumpang karena perjalanan akan lebih lama ketimbang biasanya demi menghindari badai.

“Alhasil, pesawatnya terbang terlalu [ke] utara,” Obreng bercerita.

Melambung ke utara mendatangkan persoalan lain: bahan bakar tak cukup jika dipaksakan terbang langsung ke Manado.

“Aing kira mau ke mana. Eh, Filipina,” kenang Obreng. “Pilot bilang mau ke Filipina itu jam 6 sore.”

Pesawat pun akhirnya mendarat di General Santos International Airport, Mindanao, jam 7 malam. Muka para penumpang tampak lega sebab sudah terbebas dari badai. Obreng jelas lega juga, tapi pikirannya malah pergi ke kawan barunya. Alex, yang mestilah kala itu sedang merokok Garpit di kapal sewaannya.

The post Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/feed/ 1 24949
Ketika Semen Padang Tandang ke Kediri https://telusuri.id/ketika-semen-padang-tandang-ke-kediri/ https://telusuri.id/ketika-semen-padang-tandang-ke-kediri/#respond Sat, 18 Jul 2020 13:38:56 +0000 https://telusuri.id/?p=23145 Sore itu, menjelang pertengahan tahun 2014, entah bagaimana caranya saya lupa, kami berkumpul di sebuah pertigaan beberapa kilometer dari titik keramaian Kampung Inggris, Pare, Kediri. Buku catatan dan diktat Bahasa Inggris kami tinggal di tempat...

The post Ketika Semen Padang Tandang ke Kediri appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore itu, menjelang pertengahan tahun 2014, entah bagaimana caranya saya lupa, kami berkumpul di sebuah pertigaan beberapa kilometer dari titik keramaian Kampung Inggris, Pare, Kediri. Buku catatan dan diktat Bahasa Inggris kami tinggal di tempat nongkrong atau pondokan masing-masing. Yang kami bawa hanya sedikit uang yang pas untuk ongkos pergi-pulang.

Itu hari penting. Semen Padang akan bertanding lawan Persik Kediri. Sebagian besar kawan—jumlah kami sekitar 10-15 orang barangkali—mengorbankan satu-dua pertemuan kursus yang sangat berharga itu. Pengorbanan yang beralasan saya kira. Sebagian besar di antara mereka adalah pelaut yang lebih banyak menghabiskan waktu bercengkerama dengan cakrawala di samudra ketimbang beradu pandang dengan lanskap daratan—apalagi tanah kelahiran. Menonton Semen Padang seperti perjalanan singkat ke kampuang nan jauah di mato.

Lucunya, tak semua dari kami orang Sumatera Barat. Dua kawan sekamar saya—satu dari Sulawesi Selatan, seorang lagi NTB—juga ikut. Dengan baju yang juga merah senada warna seragam Semen Padang, mereka sudah sukses menyaru menjadi suporter Kabau Sirah. Asal tak buka mulut, status mereka sebagai “penyusup” takkan ketahuan; karakter muka kami sama-sama Melayu.

Berdebar-debar kami menunggu bus kecil menuju Kediri yang tak kunjung lewat. Sambil menunggu, kami mengobrol entah apa, melempar lelucon-lelucon garing, saling mengejek, bertingkah tengil sewajarnya anak muda. Saya sendiri besar kemungkinan menghabiskan penantian itu dengan belajar menyempurnakan pronunciation umpatan bahasa Toraja dan Sasak pada dua orang sahabat sekamar.

Lama menunggu, bus belum lewat-lewat juga. Pare-Kediri tak terlalu jauh. Naik kendaraan umum sekitar 30-45 menit saja engkau sudah bisa mencapai Kediri dari Pare. Mujurnya, kepala suku kami jago mengatur waktu sehingga tak perlu khawatir akan telat. Kami masih punya banyak waktu untuk menunggu. Seburuk-buruknya, jika memang tak ada bus yang lewat, kami bisa mengacungkan jempol ke atas sambil berdoa pada semesta supaya ada orang baik yang mau memberi kami tumpangan ke Kediri.

Suporter kesebelasan Semen Padang mendukung tim Semen Padang saat bertanding melawan kesebelasan Mitra Kukar pada laga final Piala Jenderal Sudirman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu, 24 Januari 2016 via TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Lalu harapan datang. Dari jauh, sebuah truk besar meluncur. Dari baknya, kepala-kepala manusia tampak bergoyang-goyang mengikuti getaran truk. Makin lama mereka makin dekat. Mungkin kami bisa menumpang angkutan itu ke Kediri.

Kami pun mulai bergerak ke pinggir jalan dan melambai-lambaikan tangan. Truk itu tampak melambat dan akhirnya berhenti sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Tapi orang-orang dalam bak truk bergeming. Lalu seseorang menepuk dinding kabin truk itu, memberi kode bagi sang sopir untuk menginjak pedal gas si besar. Sejurus kemudian truk itu pun melaju meninggalkan kami. Orang-orang di bak truk itu pun tertawa.

Mereka suporter Persik.

Menang 2-1

Akhirnya ada bus yang lewat dan membawa kami ke Kediri. Sekitar setengah jam kemudian kami tiba di kota. Cuma perlu jalan sebentar agar kami tiba di stadion. Sambil menunggu gerbang dibuka, kami bertukar cerita dengan beberapa orang suporter Semen Padang lainnya yang sengaja jauh-jauh datang ke Kediri demi menonton tim kesayangan. Ada yang datang dari Malang, Surabaya, bahkan dari Bandung dan Jakarta.

Sekitar sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, kami masuk stadion dan ditempatkan di ruas penonton umum. Sekarang jumlah kami sekitar 20-25 orang. Jelas masih kalah jumlah dibanding suporter Persik yang mengisi sebagian besar stadion. Ribuan orang mungkin jumlahnya.

Dan mereka terbagi tiga. Sebelum bertanding saja mereka sudah saling berbalas nyanyian dan berusaha memamerkan kelompok mana yang paling asyik. Suara kami pendukung Semen Padang tentulah tak terdengar. Tak mengapa. Tak kuasa menyatakan keberadaan lewat suara, kami masih bisa menyuarakan eksistensi lewat warna.

Ribuan suporter kesebelasan Semen Padang mendukung tim Semen Padang saat bertanding melawan kesebelasan Mitra Kukar pada laga final Piala Jenderal Sudirman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu, 24 Januari 2016 via TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Pertandingan pun dimulai. Suara pemain di lapangan tak terdengar, tertutupi suara suporter yang bergemuruh seperti suara ombak Laut Selatan. Bendera-bendera Persik berkibar ke kanan dan ke kiri. Suara-suara manusia bergabung memproduksi nyanyian yang menggetarkan hati. Pemain Persik pasti bersemangat sekali kala itu. Pertandingan kandang memang selalu berharga bagi sang tuan rumah.

Kami barangkali tak bisa menggetarkan hati para pemain Semen Padang, tapi orang-orang Indarung itu mampu menggetarkan gawang Persik. Tak main-main, dua kali! Sementara itu Persik hanya bisa membobol gawang Semen Padang sekali.

Momen-momen setelah Semen Padang berhasil membobol gawang Persik adalah momen-momen canggung. Satu stadion diam kecuali sekitar 25 orang berbaju merah di pojokan. Kedua gol itu seperti inside joke yang hanya pemain Semen Padang dan kami, para suporternya, yang paham—atau seperti lelucon kering ala orang Inggris.

Usai peluit panjang berbunyi, kami mesti menunggu sekitar 15-20 menit sebelum bisa keluar. Menunggu massa pendukung Persik bubar dulu dan pulang ke rumah masing-masing adalah pilihan yang bijaksana.

Mungkin sebenarnya kami tak perlu menunggu, sebab saya yakin suporter sepak bola Indonesia sudah cukup dewasa. Itu cuma bentuk antisipasi, sebab sebagian besar kami tumbuh bersama cerita-cerita kelam tentang kerusuhan pascapertadingan sepak bola. Dulu, saya baru berani menonton Semen Padang di GOR Agus Salim kelas 3 SMA, ketika saya merasa sudah mampu menghadapi keadaan-keadaan darurat.

Saat stadion sudah sepi barulah kami bersama-sama berjalan ke luar. Kami pulang ke Pare dengan langkah ringan. Tak ada yang lebih membahagiakan ketimbang melihat klub kotamu menang di rantau. Dan saya yakin sebagian besar kawan—tentunya selain kawan dari Sulawesi Selatan dan Lombok—pulang sambil menahan rindu pada telur asin dan kacang rebus yang selalu ada ketika kami menonton Semen Padang bertanding di GOR Agus Salim.

The post Ketika Semen Padang Tandang ke Kediri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketika-semen-padang-tandang-ke-kediri/feed/ 0 23145
Salopek https://telusuri.id/salopek/ https://telusuri.id/salopek/#respond Sun, 05 Jul 2020 15:46:50 +0000 https://telusuri.id/?p=22877 Saya lupa lagu-lagu siapa yang jadi latar waktu itu, suatu malam di tahun 2013. Pokoknya salah di antara Iwan Fals, Bob Marley, dan The Panas Dalam. Seperti biasa, lampu utama kamar itu mati. Penerangan hanya...

The post Salopek appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya lupa lagu-lagu siapa yang jadi latar waktu itu, suatu malam di tahun 2013. Pokoknya salah di antara Iwan Fals, Bob Marley, dan The Panas Dalam. Seperti biasa, lampu utama kamar itu mati. Penerangan hanya dari bohlam bercahaya lindap di kamar mandi, neon balkon, cahaya kota yang berisik, dan gemintang.

Kawan baik saya cerita kalau dia baru saja baca soal seseorang bernama Paul Salopek. Salopek adalah jurnalis peraih Pulitzer, dengan latar belakang pendidikan biologi lingkungan. Beberapa bulan sebelum malam itu, pada usia 51 tahun, Salopek memulai ekspedisi jalan kaki selama tujuh tahun dari satu titik di Ethiopia, Herto Bouri, di mana salah satu fosil tertua manusia ditemukan. Titik akhir perjalanannya berada sekitar 21.000 mil (33.796 km) dari sana, di Tierra del Fuego, Argentina.

Ia berjalan bukan untuk mencari konten Instagram, tapi untuk “mengulang kembali perjalanan kuno manusia menyebar ke penjuru dunia, yang barangkali telah memicu revolusi terbesar dalam kesadaran kita sejak kita [manusia] mampu berdiri tegak.”[1] Dia akan menelusuri jalur migrasi manusia dari “Taman Eden” sampai ke perantauan terjauh dari sana. Di lokasi-lokasi tertentu, ia akan berhenti sejenak, mencari manusia tertua, dan mencatat cerita mereka.

Ekspedisi itu bernama “Out of Eden Walk.”

Terang saja saya tertarik mengikuti perjalanan Paul Salopek. Selama beberapa waktu setelah malam itu, saya baca tulisan-tulisannya yang sudah tayang di laman National Geographic. Kadang-kadang, Salopek juga mengunggah rekaman-rekaman suara/bunyi yang ia tangkap ketika jalan kaki. (Di etape awal, seingat saya, ia pernah membagikan rekaman suara onta sedang mengunyah sesuatu, juga suara angin di padang gurun.)

Lama-lama, kesibukan membuat saya menjauh dari catatan-catatan Paul Salopek. Tapi saya tetap mengikutinya sekali-sekali lewat tautan-tautan yang dikirimkan laman National Geographic ke surel saya. (Setiap kali berjumpa kawan baru di perjalanan, saya pasti akan bercerita soal Paul Salopek pada mereka.) Jika judulnya bikin penasaran, saya buka. Jika tak terlalu menarik, saya abaikan. Toh nanti setelah perjalanan Salopek berakhir—mulanya direncanakan tahun ini, 2020—saya bisa mencari bukunya dan membaca kisahnya secara utuh.

Tadi sore, entah kenapa saya tiba-tiba ingat soal Paul Salopek. (Tulisan Salopek terakhir yang saya baca adalah soal perjalanannya jalan menembus hutan-gunung di perbatasan Bangladesh dan Myanmar, beberapa bulan lalu.)

Saya coba masukkan sebaris kata kunci ke mesin pencari (“Paul Salopek’s current location”) dan sampailah saya pada tiga buah cuitannya di Twitter. Dua cuitan berisi puisi dan foto lanskap dan langit Putao, Myanmar, sementara cuitan termutakhirnya berbunyi begini: “I was walking the global trail of our ancestors. Then the pandemic struck.” Di belakang dua kalimat itu ada sebuah tautan ke artikel Salopek di National Geographic. Saya klik.

“My global walk is on hold,” tulisnya di ujung catatan.[2]

Ternyata jurnalis kawakan itu masih tertahan di Myanmar, di Putao, Negara Bagian Kachin, yang dari sana kau bisa melihat ekor Himalaya. Pandemi belum berakhir dan ia tak bisa ke mana-mana.

Ia bisa saja marah dan mengutuk. Tapi, perjalanan panjang sejak 2013 itu tampaknya benar-benar sudah menumbuhkan kebijaksanaan pada diri Salopek. Tulisan di National Geographic itu ia tutup dengan indah: “If nothing else, long walks teach patience. And that destinations are always uncertain.”

Lalu, kita sudah mengambil pelajaran apa dari perjalanan-perjalanan (panjang) dulu?


[1] Salopek, P. (2013, January 22). Setting Out. Retrieved July 05, 2020, from https://www.nationalgeographic.org/projects/out-of-eden-walk/blogs/lab-talk/2013-01-setting-out

[2] Salopek, P. (2020, May 22). I was walking the global trail of our ancestors. Then pandemic struck. Retrieved July 05, 2020, from https://www.nationalgeographic.com/history/2020/05/what-like-walk-earth-during-pandemic/

The post Salopek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/salopek/feed/ 0 22877
Menonton “Kutu/Kota” di Jagongan Wagen Juni 2020 https://telusuri.id/menonton-kutu-kota-di-jagongan-wagen-juni-2020/ https://telusuri.id/menonton-kutu-kota-di-jagongan-wagen-juni-2020/#respond Sun, 28 Jun 2020 16:22:21 +0000 https://telusuri.id/?p=22708 Meskipun tak tahu akan menghadapi apa ketika menonton Jagongan Wagen Juni 2020, sebab tak sempat baca rilisnya, “Kutu/Kota” bikin saya terpana dari mula. Dari kegelapan, seseorang yang tampak sedang asyik memainkan sampler muncul. Sampel-sampel suara...

The post Menonton “Kutu/Kota” di Jagongan Wagen Juni 2020 appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun tak tahu akan menghadapi apa ketika menonton Jagongan Wagen Juni 2020, sebab tak sempat baca rilisnya, “Kutu/Kota” bikin saya terpana dari mula.

Dari kegelapan, seseorang yang tampak sedang asyik memainkan sampler muncul. Sampel-sampel suara aneh tak-teridentifikasi terdengar. Saya hanya menduga-duga itu semua bunyi apa. Pertengkaran rumah tangga? Suara latar film-film horor ala The Conjuring? Kaleng Khong Guan yang bolak-balik dilempar? Entahlah.

Cahaya pucat yang semula hanya seluas lampu sorot semakin membesar, kamera semakin mundur, dan bingkai gambar bergerak itu ketambahan empat sosok lagi. Keempat orang itu melakukan macam-macam gerakan yang hanya mereka saja yang tahu. Dari mata saya yang tak tahu apa-apa, sepertinya salah seorang dari mereka bolak-balik rukuk, satu lagi mengarahkan leher dan pandangan mata berulang-ulang ke tempat itu-itu saja, dua lagi seperti sedang SKJ.

Tapi mereka semua seperti takluk pada tempo dan irama yang dikeluarkan sampler. Mereka berputar ke sana kemari, berlarian, dansa-dansi, mencari. Pada satu titik, dua orang di antara mereka naik ke panggung, mengambil gitar dan jimbe, lalu, bersama-sama sang pemain sampler yang menjelma sebagai pemain bas, jamming memainkan irama ala orkes dangdut. Dua orang yang tersisa di panggung tampak spontan berjoget, meliuk-liuk digendam alunan musik.

Di momen inilah saya mulai memaknai pertunjukan ini.

Tentang manusia (dan ketertundukannya) pada irama kota

Seni bagi saya adalah sebuah ruang luas yang memfasilitasi manusia untuk berefleksi. “Kutu/Kota” membuat saya merenung soal relasi manusia dan habitatnya.

Sebagai entitas yang membentuk kota, menjadi mengenaskan ketika manusia akhirnya dikuasai oleh ritme kota yang dibangunnya. Orang-orang ter-reifikasi, tak lagi punya kuasa terhadap geraknya sebagai manusia; mereka berubah menjadi objek dari kota yang mereka bangun—atau disubjugasi orang lain/kelompok yang punya kapital lebih besar.

Dokumentasi poduksi Jagongan Wagen edisi Juni 2020 via PSBK/Sito Adhi Anom

Tapi, “Kutu/Kota” juga seakan berusaha menyampaikan pada khalayak bahwa kemampuan (skill) adalah salah satu—sebab barangkali terlalu serampangan untuk mengatakan “satu-satunya”—perangkat yang bisa membuat manusia bisa (sekurang-kurangnya) menjadi “co-composer” dari irama kota, bukan sekadar pengikut atau pelengkap penderita. Hanya saja, persoalan muncul ketika sistem yang ada gagal membuat manusia-manusia, para warga kota, punya skill selain menyelesaikan persoalan-persoalan industrial. Jika sudah begini, selamanya mereka akan terombang-ambing dilamun nada-nada kota yang tak jarang sumbang.

Maka, tidak mudah untuk berganti peran seperti yang dilakukan dua penampil dalam “Kutu/Kota,” yang berubah dari penari pengikut nada menjadi seorang gitaris (yang mampu mengubah suasana dengan kord-kord yang dipetik) dan sesosok penabuh jimbe (yang mampu mengendalikan tempo). Berganti peran, mengembangkan hobi, adalah salah satu dari sedikit privilese yang harus disyukuri. Lagipula, tampaknya kini definisi seorang individu adalah pekerjaannya (sesuatu yang menghasilkan uang). Ini rasa-rasanya tak cuma berlaku bagi mereka yang menerima slip gaji setiap bulan, tapi juga mereka-mereka yang menerima invoice beberapa waktu setelah proyek usai.

Renungan saya di atas berakhir ketika adegan joget dangdut itu berakhir, saat di lampu sorot cuma ada seorang penampil yang tampaknya baru sadar bahwa jogetannya barusan hanya berlangsung dalam angan-angan.

Pertunjukan indah, tapi…

Babak berikutnya adalah bingkai-bingkai gambar bergerak di mana para seniman hanyut menonton klip-klip sudut Yogyakarta. Saya menonton orang sedang menonton. Lalu, usai menonton, mereka terjebak dalam krisis eksistensial; meracau, bergerak tak tentu arah, melakukan entah-apa terhadap kursi lipat masing-masing. Di ujung, mereka menyanyikan sebaris lirik yang nadanya mirip alunan Mazmur.

Dokumentasi poduksi Jagongan Wagen edisi Juni 2020 via PSBK/Sito Adhi Anom

Imajinasi saya makin dibungkam oleh pembingkaian dan pencahayaan yang apik. Jangan salah, saya menikmati pertunjukan ini. Tapi, sekali lagi, saya hanya merasa imajinasi saya benar-benar dibatasi oleh kepiawaian penata artistik dan para juru kamera. Saya merasa disuapi, tak seperti ketika menonton langsung di teater mini PSBK, di mana saya merasa demikian bebas untuk mencoba menginterpretasi.

Sampai akhir pertunjukan yang berlangsung selama setengah jam ini, saya terkesima. Memang saya telat menonton; saya baru mengklik tautan ke laman YouTube PSBK beberapa saat setelah pertunjukan “perdana” usai. Tapi saya menonton “Kutu/Kota” dalam sekali tegukan, tanpa memencet tombol pause, tanpa jeda sejenak ke kamar mandi. Produksi “Kutu/Kota” memang sekeren itu, meskipun…. ah, sudahlah… keadaan memang sedang tak memungkinkan untuk berkumpul ramai-ramai.

Saya cuma bisa berharap bahwa suatu saat pertunjukan-pertunjukan PSBK semasa corona ini bisa diulang, rerun. Hitung-hitung nostalgia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton “Kutu/Kota” di Jagongan Wagen Juni 2020 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menonton-kutu-kota-di-jagongan-wagen-juni-2020/feed/ 0 22708
Masih Terlalu Dini untuk Tidak Khawatir https://telusuri.id/masih-terlalu-dini-untuk-tidak-khawatir/ https://telusuri.id/masih-terlalu-dini-untuk-tidak-khawatir/#respond Wed, 10 Jun 2020 16:59:37 +0000 https://telusuri.id/?p=22278 Saya masih ingat ketika pertama kali mendengar virus misterius mewabah di utara sana. Kami sedang duduk-duduk santai di sebuah siang, di teras sebuah hostel di Kanchanaburi yang sepi. Sebuah portal berita daring mengangkat berita soal...

The post Masih Terlalu Dini untuk Tidak Khawatir appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya masih ingat ketika pertama kali mendengar virus misterius mewabah di utara sana.

Kami sedang duduk-duduk santai di sebuah siang, di teras sebuah hostel di Kanchanaburi yang sepi. Sebuah portal berita daring mengangkat berita soal makhluk renik itu. Menyebabkan gejala-gejala seperti pneumonia, katanya. Saya sampaikan berita itu ke kawan baru yang ternyata meminati patologi. Obrolan kami pun melipir ke soal ketahanan tubuh manusia-manusia yang terbiasa hidup di tempat-tempat “bersih.” Virus misterius itu pun terlupakan.

Lalu berita soal virus misterius itu makin sering terdengar. Mereka jadi pusat perhatian, menyebar ke segala penjuru, menembus batas-batas imajiner yang diciptakan manusia—tanpa paspor tanpa visa, merenggut banyak nyawa. Mereka tak lagi misterius. Mereka sudah diberi nama.

Mereka tak dapat dilihat. Mungkin itu penyebab mereka mula-mula ditertawakan. Tapi tak dapat dilihat bukan berarti membuat mereka tak nyata. Dari utara, mereka hitchhiking tanpa mengacungkan jempol ke selatan, lalu entah bagaimana cara menyeberang ke Indonesia.

Mereka disambut dengan tertawa. Lalu ada pengumuman. Lalu ada kepanikan. Cairan pencuci tangan menjadi langka, demikian pula masker. Mereka-mereka yang tadinya tertawa kemudian mengimbau orang-orang untuk beraktivitas di rumah saja.


Rutinitas saya pun berubah. Saya tak lagi bekerja dari sebuah sudut kafe yang dikelola kawan. Sandal saya lebih sering tergeletak di lantai, tak lagi dipakai untuk jalan kaki sekira lima kilometer per hari. Lalu ada kawan yang dirumahkan, lalu kawan-kawan lain menyusul, dan semua orang menyusul.

Di luar, langit menjadi semakin cerah dan udara kian segar. Polusi berkurang. Namun manusia hanya bisa melihat keajaiban itu dari balik jendela—atau melihatnya sesekali ketika terpaksa harus keluar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Matahari terbit dan terbenam berubah jadi komoditas wisata virtual.

Dunia luar, bagi saya, terasa seperti medan perang. Ada protokol yang harus dilalui sebelum memasrahkan tubuh pada udara bebas. Benda-benda yang sebelumnya tak digubris, kini saya akrabi: jaket, masker, dan cairan pembersih tangan. Gagang pintu bilik ATM adalah benda yang pantang untuk dipegang. Rasanya aneh melihat wastafel dan wadah air di mana-mana. Kini kedua benda itu bukan semata ada di toilet dan rumah makan.

Kota-kota dikunci. Dari dalam rumah, dengan berdebar-debar saya hanya bisa memantau semuanya dari layar komputer atau ponsel. Statistik COVID-19 dipajang di portal-portal berita. Otoritas dan rakyat biasa “berdialog mesra.” Ini-itu digelontorkan. Tapi pusing juga leher saya melihat semua bergerak seperti bola liar dari kiri ke kanan.

Ramadan dan Idulfitri tak pernah seugahari ini—meskipun tetap masih ada yang nekat masuk lewat pintu belakang mal untuk membeli baju lebaran.

Ketika dunia berjuang menahan laju persebaran makhluk renik bermahkota itu, berita-berita kekacauan dari Dunia Baru pun bermunculan. Protes di mana-mana; semua orang ingin keluar dan kembali bekerja. Lalu leher seorang warga biasa diinjak penegak peraturan. Dunia Baru berkobar. New York menjadi Gotham.

Di dalam negeri, “new normal” menjadi populer. Mulai muncul gagasan untuk melonggarkan akses. Lalu penerbangan dibuka, meskipun calon penumpang dipersyaratkan untuk membawa dokumen-dokumen tertentu. Orang-orang sudah berani kemping di Bukit Alas Bandawasa, melihat matahari terbit dan tenggelam, seperti hari-hari biasa di masa-masa sebelum corona.

Mengernyit wajah saya melihat tumpukan orang di bandara besar di barat Jawa sana, juga mereka-mereka yang berebut mendapat surat sehat di sebuah dermaga.

PSBB di beberapa kota dihentikan, sementara kenaikan angka dalam statistik terus berjalan. Dan saya terus berdebar-debar dalam ruangan. Masih terlalu dini untuk tidak khawatir.


Enam bulan berlalu dari sore di Kanchanaburi itu. Tapi saya masih ingat betul suasana ketika pertama kali mendengar virus misterius yang kelak diberi nama COVID-19 itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masih Terlalu Dini untuk Tidak Khawatir appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masih-terlalu-dini-untuk-tidak-khawatir/feed/ 0 22278
Kenangan Perjalanan Pulang dari Lombok https://telusuri.id/kenangan-perjalanan-pulang-dari-lombok/ https://telusuri.id/kenangan-perjalanan-pulang-dari-lombok/#respond Sat, 06 Jun 2020 18:30:33 +0000 https://telusuri.id/?p=22192 Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita di portal daring soal peraturan (sementara) untuk memasuki Pulau Bali. Pendatang yang masuk lewat udara mesti menunjukkan hasil tes PCR, sementara mereka yang datang lewat laut diminta memperlihatkan...

The post Kenangan Perjalanan Pulang dari Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita di portal daring soal peraturan (sementara) untuk memasuki Pulau Bali. Pendatang yang masuk lewat udara mesti menunjukkan hasil tes PCR, sementara mereka yang datang lewat laut diminta memperlihatkan hasil tes cepat (rapid test).

“Wah, ribet juga,” pikir saya.

Lalu pikiran saya melayang ke pertengahan tahun 2013 ketika manusia masih leluasa untuk masuk dan keluar Pulau Dewata.

Malam itu dengan bersemangat kami turun dari feri lalu berjalan ke luar pelabuhan Padang Bai. Kami—tentu saja—tak perlu menunjukkan surat apa pun. Setelah hampir dua minggu berkelana, kami sudah tak sabar lagi untuk segera kembali ke Pulau Jawa. Rencananya kami akan mencari angkutan umum malam itu juga ke Gilimanuk. Kalau bisa yang langsung. Malangnya, angkutan yang tersisa cuma melayani carteran. Terlalu mahal ongkosnya.

Terpikirkanlah alternatif lain: naik truk. Kami pun berdiri di depan pos polisi sambil mengangkat ibu jari. Akhirnya ada truk yang berhenti. Ketika sang supir membuka pintu dan melongokkan kepalanya, kami nyatakan keinginan kami. Ia mengiyakan. Tapi tidak gratis. Kami mesti membayar Rp50.000. Kalau tidak salah ia menawarkan akan mengangkut kami sampai Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi.

Tak perlu waktu lama bagi kami untuk berunding. Tawaran itu menarik sekali. Saat kata sepakat sudah terlontar dan kami sedang bersiap menaikkan ransel ke kabin truk, beberapa orang datang menghampiri. Ternyata para awak angkutan sewaan.

Mereka tak rela kami menumpang truk. Setengah berteriak, mereka menegaskan pada sang supir truk bahwa itu adalah wilayah mereka. Kami disuruh menjauh. Sebentar kemudian, truk itu mulai jalan. Kami ditinggalkan. Para awak angkutan sewaan itu pun bubar dan kembali ke tongkrongan masing-masing.

Hanya ada dua pilihan sekarang. Pertama, jalan kaki malam-malam sampai ke jalan besar dan mencari tumpangan di sana. Kedua, tidur di kawasan pelabuhan untuk menunggu pagi. Karena pegal di kaki belum sepenuhnya hilang setelah perjalanan berhari-hari melintasi Gunung Rinjani dan mengelilingi Gili Trawangan, kami ambil pilihan kedua.

Pelabuhan Padang Bai di Bali, 1985 via TEMPO/Nanang Baso

Atas saran seorang polisi yang sedang berjaga, kami menggelar matras dan kantong tidur di teras rumah kosong samping pos polisi. Untuk mengisi perut, kami keluarkan kompor, kami masak air, lalu kami racik makanan dari bahan-bahan yang masih tersisa dalam keril-keril besar yang kami bawa. Setelah perut kenyang, saya coba tidur. Ternyata susah. Banyak nyamuk dan angin bertiup lumayan kencang. Beginilah kalau bermalam di pinggir laut. Akhirnya malam itu saya cuma tidur-tidur ayam sampai pagi.

Keesokan pagi, ketika warna langit sedang berubah dari hitam ke biru, bus tujuan Gilimanuk datang. Kami bergegas mengemas barang-barang, meloncat naik, kemudian mengempaskan bokong ke kursi empuk. Di kursi bus itulah saya baru bisa tidur nyenyak. Kami sempat berhenti di beberapa terminal dan sarapan nasi jinggo. Hari itu Bali sepi. Dari kernet bus kami tahu bahwa hari itu akan ada pemilihan umum daerah di Pulau Dewata. Orang-orang diliburkan agar bisa mencoblos di TPS.

Rute yang berputar-putar membuat bus itu perlu waktu lumayan lama untuk mencapai Gilimanuk. Siang menjelang sore barulah kami tiba di pelabuhan. Segera saja kami masuk, membeli tiket, lalu menaiki feri yang hendak berangkat. Sekitar satu jam kemudian kami tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Hari sudah sore. Kami berencana menumpang KA Sritanjung esok pagi.

Malam pun tiba dan kami mesti mencari tempat menginap. Ada Indomaret dekat pertigaan stasiun. Kami berjalan ke sana lalu menggelar jas hujan di teras. Supaya aman, kami tidur bergantian. Lama-lama, teras itu terasa makin tak nyaman; lantai keramik putih itu terlalu dingin. Kami pun menggeser lapak ke pekarangan berlapis paving block. Lumayan, jadi lebih hangat.

Entah jam berapa, saya terbangun. Eka, salah seorang kawan saya, entah kenapa malah tertawa. Saya tak melucu padahal.

“Kenapa?” saya bertanya.

Ia bercerita bahwa tadi ada tiga orang turis mancanegara—bapak, ibu, dan anak kecil—yang mampir ke Indomaret. Melihat saya dan Teguh, kawan satu lagi, sedang tidur di pekarangan minimarket itu, sang anak berhenti, dan, sambil menudingkan telunjuk ke kami, bilang, “Mom, look!

“Terus,” Eka bercerita, “ibunya langsung buru-buru bawa anaknya masuk ke dalam.”

Kalau jadi anak itu, saya juga pasti akan heran.

Akhirnya Subuh. Kami bergegas kembali ke stasiun untuk membeli tiket kereta api menuju Yogyakarta. Eka yang mengantre. Saya dan Teguh menunggu di pinggir lobi. Agak lama sampai Eka tiba di depan loket. Ketika akhirnya berhadap-hadapan dengan petugas, dengan muka kikuk ia menoleh ke arah kami, lalu nyengir.

“Ongkosnya naik,” ujarnya setengah berteriak.

Ongkosnya memang naik banyak. Lebih dari dua kali lipat kalau tidak salah. Itu memang waktu yang bersejarah bagi dunia perkeretaapian Indonesia. Kereta kelas ekonomi dan bisnis mulai diberi pendingin ruangan. Dan keberadaan pendingin ruangan itu—juga peraturan-peraturan lain—membuat ongkos melambung tinggi. Terpaksa kami merogoh kantong lebih dalam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan Perjalanan Pulang dari Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-perjalanan-pulang-dari-lombok/feed/ 0 22192
Nanti ketika Semua Membaik https://telusuri.id/nanti-ketika-semua-membaik/ https://telusuri.id/nanti-ketika-semua-membaik/#respond Fri, 05 Jun 2020 16:40:41 +0000 https://telusuri.id/?p=22179 Sekitar dua bulan lalu, saya pergi ke luar sore-sore mengendarai sepeda motor. Langit cerah dan udara sepertinya segar. Tapi saya tak bisa menghirupnya karena hidung dan mulut tertutup masker. Semenjak kasus pertama COVID-19 di Indonesia...

The post Nanti ketika Semua Membaik appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar dua bulan lalu, saya pergi ke luar sore-sore mengendarai sepeda motor. Langit cerah dan udara sepertinya segar. Tapi saya tak bisa menghirupnya karena hidung dan mulut tertutup masker. Semenjak kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan, tak pernah lagi saya berkendara tanpa masker. Terlalu berisiko.

Selesai urusan, saya kembali lewat jalan yang sama. Ketika melintas di samping tanah lapang, saya lihat matahari sudah amat condong di ufuk barat. Cahaya oranye terpancar ke mana-mana. Matahari sedang di atas atap. Saya lambatkan laju sepeda motor. Karena jalanan kecil itu sepi—daerah itu memang sepi, saya bisa curi-curi pandang ke arah matahari.

Elok sekali. Keelokan seperti itu yang sering saya lewatkan sebelum pandemi. Jarang sekali saya berdiri di luar sore hari untuk menerima cahaya senja yang memeluk tubuh saya seperti pelukan seorang sahabat hendak berangkat berkelana sembari berkata, “Aku akan kembali.” Padahal matahari terbenam bisa setiap hari saya lihat; yang perlu saya lakukan hanya membuka pintu.

Ini jelas perasaan saya saja yang berbicara. Tapi, sore itu, ketika saya meluncur naik sepeda motor di jalanan kecil itu, waktu terasa berjalan lebih lambat. Beberapa detik di ruas jalan itu terasa seperti bermenit-menit. Di ujung lapangan, ketika matahari sudah tak tampak lagi karena terhalang dahan-dahan pohon, mata saya tiba-tiba saja berembun seperti seorang anak TPA yang baru saja menyelesaikan muhasabah pertamanya.

Ah, nanti ketika semuanya membaik saya akan lebih sering melihat matahari.


Lewat berita, saya tahu nanti dini hari akan ada gerhana bulan. Satelit alami bumi itu akan berubah warnanya menjadi senada stroberi. Bulan purnama stroberi. Bulan purnama stroberi, semasa corona.

Maka tadi, ketika hari sudah gelap, saya melongok ke luar memastikan hari cukup terang untuk melihat bulan. Lewat celah pintu garasi saya mendapati purnama bersinar, perlahan-lahan naik, bermain-main bersama gemawan tipis. Sebagian besar muka sang candra bersinar terang, sebagian kecil, mengikuti pola yang barangkali acak, agak gelap. Samar-samar, saya bisa melihat “wajah di bulan.”

Purnama, 05 Juni 2020/Ajo

Terus saya jalan cepat ke dalam mengambil kamera saku. Itu kamera tahan banting. Bisa dibawa ke dasar laut sampai kedalaman 30 meter, tanpa pelindung. Dia juga tak pernah mengeluh dibawa ke gunung-gunung tinggi. Hujan atau panas terik dia tak peduli. Sangar dia memang.

Tapi kamera itu ternyata tak cukup berdaya untuk memotret purnama. Terbatas sekali jangkauannya. Sampai perbesarannya mentok, dia hanya sanggup membingkai purnama sebagai bola pingpong yang mengambang di atas pagar. Akhirnya saya cuma melihat bulan penuh dengan mata telanjang, sampai rombongan awan datang dan menutupinya.

Sebelum corona, saya mungkin takkan ragu mengajak Nyonya pergi ke sebuah tempat terbuka untuk melihat purnama. Mungkin ke Gumuk Pasir, bisa juga ke Kaliurang, atau ke Plengkung Gading. Di sana saya akan meletakkan kamera di suatu tempat, memilih mode pengambilan gambar time-lapse, lalu kami akan menunggu kamera itu selesai memotret beberapa ratus bingkai.

Sekarang perjalanan seperti itu jadi terasa tak masuk akal. Kini, untuk pergi ke luar, semua mesti didasarkan pada urgensi. Tak perlu ke dunia luar untuk hal-hal yang tak perlu. Lagipula, bulan akan di situ-situ saja. Dia hanya akan berputar-putar saja mengelilingi bumi yang juga berputar-putar saja mengelilingi matahari.

Ah, nanti ketika semua membaik saya akan lebih sering melihat bulan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nanti ketika Semua Membaik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nanti-ketika-semua-membaik/feed/ 0 22179
Dalgona dan Melodi “Pupus” https://telusuri.id/dalgona-dan-melodi-pupus/ https://telusuri.id/dalgona-dan-melodi-pupus/#respond Thu, 04 Jun 2020 15:32:50 +0000 https://telusuri.id/?p=22140 Pandemi mengajarkan saya cara membuat kopi dalgona. Suatu hari, Nyonya berkata bahwa ia akan meracik sebuah minuman yang sedang viral di Instagram. Ketika ia menyebut nama minuman itu, telinga saya salah dengar. Telinga kiri sedang...

The post Dalgona dan Melodi “Pupus” appeared first on TelusuRI.

]]>
Pandemi mengajarkan saya cara membuat kopi dalgona.

Suatu hari, Nyonya berkata bahwa ia akan meracik sebuah minuman yang sedang viral di Instagram. Ketika ia menyebut nama minuman itu, telinga saya salah dengar. Telinga kiri sedang cuek, sementara telinga kanan masih mengantuk.

“Drogona?”

Nama itu bikin saya ingat Khal Drogo, salah seorang tokoh sangar dalam serial terbaik sepanjang masa (menurut saya): Game of Thrones.

“Bukan,” katanya. “Dalgona.”

Ia beri penjelasan sedikit soal minuman itu. Katanya, itu minuman viral setelah diminum oleh seorang artis Korea Selatan. Jangan minta saya menyebutkan namanya. Nama Korea yang saya hafal cuma Komang, Mekanin, Gwedopang, Ahn Jung-hwan, Park Ji-sung, Ban Ki-moon, dan tiga generasi keluarga Kim di utara.

“Mirip latte,” ujarnya. “Tapi kalau yang ini yang jadi topping kopi, bukan susu.”

Saya bayangkan sebentar. Ternyata sukar.

Lalu ia ke dapur. Beberapa menit kemudian ia kembali lalu berkata, “Nggak bisa.”

Saya tertantang.

“Sini aku bikin,” ujar saya.

Saya lalu ke dapur. Saya tanya bahan-bahannya. Kopi (kami hanya punya kopi yang digiling kasar), gula, air, katanya. Setelah semua ada di mangkuk, saya ambil saringan teh untuk mengaduk mangkuk berisi calon kopi dalgona itu. Saya aduk dengan bersemangat. Satu menit, lima menit, sepuluh menit. Harusnya lima menit sudah jadi. Daging di persimpangan antara telapak tangan dan jari kelingking saya mulai perih. Rasanya seperti habis diamplas. Semangat menipis. Setelah lima belas menit menjadi alat pengaduk, saya menyerah.

“Nggak bisa,” ujar saya, memperlihatkan kepadanya kubangan hitam dalam mangkuk.

Tapi saya masih penasaran. Ia ternyata sedang membuka-buka video tutorial membuat dalgona di YouTube. Saya nimbrung. Memang cepat sekali mbak-mbak di video itu membuatnya. Mbak-mbak di kanal YouTube itu sedang memamerkan adonan dalgona yang mengental dan berbuih. Sungguh lihai. Saya hampir tak bisa membedakan apakah ia sedang meracik adonan dalgona atau sekadar membolak-balik telapak tangannya. Kurang dari lima menit jadi.

“Kayaknya mesti pakai kopi tanpa ampas, deh,” Nyonya menarik kesimpulan.

Keesokan harinya, sepulang belanja bahan-bahan makanan, Nyonya dengan gembira mengeluarkan kopi tanpa ampas—dan sebuah pengaduk adonan berwarna hijau. Ia ambil mangkuk, dimasukkannya bahan-bahan ke dalam wadah itu, lalu ia beraksi membuat adonan dalgona. Kopi tanpa ampas itu bekerja dengan baik. Sebentar kemudian, dua gelas kopi dalgona terhidang di meja. Embun menggumpal di bagian luar gelas kemudian meliuk-liuk turun perlahan-lahan ditarik gravitasi.

Ada sensasi aneh waktu menyeruput kopi (atau susu?) dalgona pertama kali. Susu dan adonan kopinya terasa sama-sama keras kepala dan hanya menyatu ketika sudah sama-sama mengisi rongga mulut.

Tapi enak. Saya suka. Sejak hari itu, sering sekali saya membuat kopi dalgona.


Pandemi juga mengajarkan saya memainkan solo—melodi gitar—lagu “Pupus.”

Ketika masih aktif bermain musik waktu SMP dulu, memainkan melodi lagu “Pupus” adalah hal yang mustahil bagi saya. Sebab pertama, grup band kami memainkan cover lagu-lagu beraliran pop punk gubahan Green Day dan Blink-182. Sebab kedua, kemampuan bermain gitar saya tak mendukung untuk itu. Saya pernah les gitar di sebuah kursusan, waktu SMP kelas 2. Tapi saya kabur di bulan kedua karena bosan; setiap pertemuan hanya diisi dengan latihan senam jari—ascending dan descending dan picking. Jadi, malas senam membuat jari-jari saya kaku seperti akar bonsai. Akibatnya, skill saya cuma mentok pada memainkan power chord dan melakukan palm-muting.

Sebenarnya ada sebab ketiga: tahun 2002, ketika Cintailah Cinta—album Dewa yang di dalamnya ada lagu “Pupus”—dirilis, YouTube belum ada. (Itu adalah masa kejayaan majalah MBS.) Saya bahkan belum pernah sepertinya mendengar istilah “tutorial.” Di SMA, beberapa tahun setelah itu, sebenarnya ada kawan yang jago sekali main gitar. Saya yakin sekali dia bisa memainkan melodi “Pupus.” Tapi saya terlalu gengsi untuk belajar kepadanya.

Tapi saya tak berhenti main gitar selepas SMP. Saya terus menggenjreng gitar. Selera musik saya pun makin fleksibel. Ketika kuliah, amarah masa remaja saya mula mereda dan saya mulai menikmati musik-musik dari genre yang secara musikalitas lebih disiplin ketimbang pop punk.

Masa-masa yang begitu mengasah kemampuan main gitar saya adalah ketika dapat lungsuran gitar kopong bersenar nilon hampir hancur dari kawan saya, yang di belakang tabung resonansinya ada stiker Prosus Inten warna kuning. Senarnya, ketika gitar itu pertama kali tergeletak di kamar saya, ada lima. Selang sebentar, satu senar lagi putus. Dengan sisa empat senar itu saya belajar banyak lagu—juga melatih jari-jari kiri menari-nari pada pola diatonik dan pentatonik.

Malam-malam di sekretariat organisasi juga berperan dalam memelihara kemampuan bergitar saya. Pencapaian saya di masa itu—ketika indeks prestasi pada kartu hasil semester terlalu memalukan untuk dicetak—adalah berhasil memainkan lagu “KKEB” yang dinyanyikan Andre Hehanusa. Buat amatiran, ya, ini adalah sebuah pencapaian.

Jari-jari saya pun semakin luwes. Kelingking yang waktu SMP tak berdaya sekarang bisa diandalkan untuk menjangkau fret-fret yang mustahil dicapai jari manis. Sekarang saya sudah santai saja memainkan intro “Little Wing.”

Kelincahan jari saya—dan asam garam kehidupan yang sudah dilaluinya—akhirnya menemukan alasannya ketika pagebluk. Bosan dalam ruangan, saya mencari cara untuk melewatkan waktu. Mengombinasikan YouTube, Spotify, dan situs web Ultimate Guitar, saya belajar lagu-lagu baru.

Selama beberapa waktu, saya tenggelam dalam “Starman” dan “Space Oddity” yang dinyanyikan David Bowie. Lalu Spotify membawa saya pada “Don’t Speak,” lagu legendaris No Doubt. Sudah lama saya ingin belajar solo “Don’t Speak” yang memikat itu. Lewat mendengar, saya berhasil menemukan beberapa baris nada. YouTube membantu saya menemukan sisanya. “Don’t Speak” saya ulang terus sampai bisa memainkannya sambil merem-melek.

Lalu, merasa percaya diri, beberapa hari yang lalu saya mencari tantangan lebih. Dan langsung saja saya memikirkan “Pupus.” Tapi apa saya bisa belajar solo lagu legendaris itu dengan gitar kopong yang fret atasnya sudah banyak yang mati ini? Sempat saya ragu. Jangan-jangan “Pupus” masih jauh dari rengkuhan saya. Tapi saya cuma ingin belajar. Rasa-rasanya tak ada yang salah dari itu. Lihat saja nanti.

Saya jelajahi YouTube. Ada satu video yang tampaknya menarik, kanalnya Sobat P. Judul videonya, saya tulis sebagaimana adanya, “Tutorial Gitar Melodi Dewa 19 – PUPUS By Sobat P [Detail & Slow Tempo].” Ah, cocok. Saya perlu yang detail dan “slow.”

Sobat P saya simak dari awal hingga akhir, lalu saya ulang-ulang. Sakti juga dia. Sakti tapi begitu rendah hati. Kerendahan hati Sobat P membuat saya bisa memainkan solo “Pupus” hampir sampai akhir. Saya menemukan masalah ketika mesti mencapai fret-fret atas dan melakukan “bending” maut alat Andra Ramadhan. Tapi, sembari menemukan cara mengatasi lick pamungkas itu, saya ulang-ulang terus nada-nada awal solo “Pupus.”

Malamnya saya hampir tak bisa tidur. Sebelum mengistirahatkan badan, saya sempatkan menonton beberapa tutorial “Pupus” yang lain. Saya teliti cara mereka memainkan nada-nada tinggi dan cara jari mereka menari-nari di leher instrumen itu. Tak ingat saya memang, tapi bisa jadi malam itu saya mimpi memainkan solo lagu Dewa itu.

Keesokan harinya, seperti hari-hari lain semasa pandemi, saya bangun menjelang tengah hari. Saya langsung mengambil gitar dan melatih kembali jari-jari saya untuk memainkan “Pupus.” Berpuluh-puluh kali repetisi kemudian akhirnya saya bisa memainkan solo “Pupus” sampai tuntas. Saya bahagia meskipun jari-jari saya merana. Terus saja lagu itu saya ulang-ulang. Saya sampai mencari backing track lagu itu demi melatih kemampuan menyesuaikan permainan gitar dengan tempo lagu. Saya, saya ulangi lagi, bahagia.

Sampai naskah ini ditulis, saya masih tak percaya bisa memainkan solo “Pupus.” Nada-nada syahdu yang dicuplik Andra Ramadhan dari pustaka Semesta itu, bagi saya, seolah-olah memuai, membuka, menampakkan detail-detailnya yang selama ini tersembunyi oleh kecepatan kehidupan saya, ketika pagebluk ini, dan membuatnya bisa dimengerti amatiran kelas teri seperti saya ini.

Omong-omong, kumis baplang saya baru saja dipotong tadi sore. Agak sedih sebenarnya, sebab mulanya saya ingin memelihara kumis itu sampai vaksin COVID-19 ditemukan. Entah kapan. Tapi, kumis cuma benda. Saya masih punya resep dalgona dan solo gitar “Pupus” untuk dijadikan kenang-kenangan semasa corona. Dua hal itu, saya yakin, takkan pernah hilang, sebab ia tertanam dalam kenangan. Meskipun suatu saat kedua hal itu takkan lagi saya ingat karena sudah pikun, ia akan tetap ada dalam jaringan otak saya, menempel di lokus-lokusnya, dan akan kembali menyatu dengan Semesta ketika saya akhirnya menutup mata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dalgona dan Melodi “Pupus” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dalgona-dan-melodi-pupus/feed/ 0 22140
Momen Terlama di Udara Terbuka Semasa Corona https://telusuri.id/momen-terlama-di-udara-terbuka-semasa-corona/ https://telusuri.id/momen-terlama-di-udara-terbuka-semasa-corona/#respond Sun, 03 May 2020 17:21:41 +0000 https://telusuri.id/?p=21323 “Tak dapat dibantah, memang sampar telah memusnahkan kekuatan rasa cinta dan bahkan rasa kesetiakawanan penduduk,” tulis Camus—atau N.H. Dini—dalam Sampar. Dalam konteks sampar yang melanda Oran, barangkali benar. Corona, tidak. Setidaknya bagi saya. Di ujung...

The post Momen Terlama di Udara Terbuka Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak dapat dibantah, memang sampar telah memusnahkan kekuatan rasa cinta dan bahkan rasa kesetiakawanan penduduk,” tulis Camus—atau N.H. Dini—dalam Sampar.

Dalam konteks sampar yang melanda Oran, barangkali benar. Corona, tidak. Setidaknya bagi saya.


Di ujung April 2020, setelah berbuka puasa, saya menggeber sepeda motor dari arah selatan. Masker di wajah. Sudah lama sekali rasanya hidung dan mulut saya tak perpapar angin saat berkendara. Lalu lintas sepi. Saya tak perlu sering-sering bermanuver di Jalan Bantul agar segera tiba di tujuan, satu titik kecil di Gamping.

Beberapa hari sebelumnya, saat sedang asyik membaca terjemahan La Peste, seorang sahabat menghubungi saya. Ada dua kabar darinya. Pertama, usaha kuliner keluarganya yang baru saja buka di Gamping akan tutup untuk sementara waktu. Mereka akan fokus pada kedai pertama di Kota Bersenyum. Kedua, adiknya akan boyongan dan ia perlu tambahan tenaga untuk angkat-angkat barang beberapa hari yang akan datang.

Sebelum wabah, saya pasti takkan berpikir dua kali untuk membantu sahabat saya angkat-angkat barang. Sekarang saya mesti pikir-pikir panjang. Keluar ruangan rasanya seperti memasuki medan perang. Saya perlu membaca peta, menyusun strategi, menyiapkan logistik, dll. untuk menghindari sesuatu yang bahkan tak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Selama beberapa hari sebelum hari-H, saya terus berpikir, menimang keputusan apa yang akan saya buat: membantu angkat-angkat atau tidak. Kenangan-kenangan soal persahabatan kami berputar dalam kepala. Dalam beberapa momen besar dalam hidupnya selama beberapa tahun belakangan, saya ada. Tiada alasan untuk tak muncul kali ini.

Akhirnya, sore pada hari-H, saya memutuskan untuk membantu sahabat saya angkat-angkat barang.


Piye meneh,” ujarnya saat kami berkomunikasi lewat panggilan video. “Lagi bukak telung dino wes corona.

Baru tiga hari buka, usaha kulinernya mesti menghadapi pandemi terbesar di awal abad ke-21. Mau bagaimana lagi? Wabah COVID-19 memaksa semua orang masuk ke cangkangnya masing-masing. Sekarang, pemandangan sehari-hari yang dilihat (hampir) semua orang sama saja: tembok, pintu, dan jendela. Mereka yang beruntung bisa melihat tanaman di kebun belakang.

Pekerja kerja dari rumah. Pelajar tingkat dasar sampai menengah belajar dari rumah. Mahasiswa, target pasar usaha kuliner sahabat saya itu, merespons secara lebih sungguh-sungguh dengan mengunci rapat-rapat pintu kamar kos mereka, pergi ke terminal, bandara, atau stasiun, dan pulang ke rumah orangtua.

Hanya makhluk-makhluk renik yang sekarang sedang mengguncang dunia itu yang bisa menjawab kapan para mahasiswa akan kembali ke Jogja. Sebulan, dua bulan, enam bulan lagi? Manusia-manusia yang tak tahu apa-apa ini hanya bisa menebak-nebak menggunakan akalnya atau berdoa dengan perasaannya.

Makanya usaha kuliner sahabat saya itu sepi pelanggan.

Hari kedua atau ketiga puasa, saya sahur di rumah makan sahabat saya itu. Hanya sekitar 1-1,5 jam di sana, saya lihat ia sudah punya beberapa orang pelanggan tetap. Ini luar biasa, sebab di kawasan itu ada beberapa usaha kuliner dengan genre serupa; persaingan lumayan ketat. Jika dalam sebulan ia sudah bisa menggaet beberapa pelanggan tetap, tentulah itu tanda-tanda bahwa ada cahaya di ujung terowongan sana.

Dari mata awam saya, sudah lumayan. Tapi ternyata tetap tak nutup.

Lagipula, ujar sahabat saya itu, konon mulai 7 Mei pemerintah akan memberikan sanksi pada orang-orang yang nekat mudik. Jadi, dalam beberapa hari lagi akan menjadi sulit untuk keluar-masuk Jogja. Ia tak ingin terjebak di Jogja dan mesti lebaran jauh dari rumahnya yang berada di sebuah tempat indah di pengunungan Jawa Tengah.

Ujung terowongan masih jauh.


Dari jalan kecil itu, saya belok kanan memasuki kawasan perumahan. Di pos satpam, beberapa petugas keamanan berkumpul. Seorang perempuan bersepeda motor berhenti dekat mereka. Dari balik masker saya tersenyum. Pasti mereka tak bisa melihatnya.

Saya ambil jalan memutar sesuai rambu. Dari belokan terakhir, saya sudah bisa melihat sebuah truk terparkir di pinggir jalan. Dengan truk itulah nanti barang-barang milik adik sahabat saya dibawa ke provinsi sebelah.

Usai memarkir sepeda motor di ceruk kecil yang semestinya untuk memarkir mobil, saya jalan ke pintu depan dan disambut A. Kawan saya itulah yang nanti akan menyupiri truk itu. Ia memang sudah terbiasa membawa truk. Jauh sudah mainnya, sampai ke Pekanbaru di Sumatera sana.

Kami tak bersalaman, hanya menyapa; norma baru semasa corona.

Sahabat saya keluar dari rumah. Kami lalu duduk di seberang jalan, di pembatas antara jalan berlapis paving block dan taman kecil berisi bunga dan beberapa jenis tanaman obat keluarga. Di sana kami mengobrol sambil berkelakar. Sudah lama sekali sejak kami bisa duduk di bawah langit dan bercengkerama dengan (merasa) bebas seperti itu. Bulan separuh mulai tampak dari balik tembok kompleks. Langit cerah.

Selang sebentar, kawan lain datang membawa makanan. Kami pindah ke ruang tamu dan duduk di lantai. Saya sudah makan tadi. Tapi, tak punya hati untuk menolak, akhirnya saya makan sebungkus penyetan ayam dan tahu itu. Kenyang. Porsinya besar dan sambalnya luar biasa.

Usai makan dan merokok sebatang, kami menyingsingkan lengan baju dan mulai angkat-angkat. Satu-satu barang dinaikkan ke bak truk. Beberapa menit sebelum jam 12 malam, bak truk itu sudah kembali terkunci. Proses memuat barang selesai. Usai sudah momen terlama yang saya habiskan di udara terbuka semasa corona.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Momen Terlama di Udara Terbuka Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/momen-terlama-di-udara-terbuka-semasa-corona/feed/ 0 21323