Aldino jalu Seto https://telusuri.id/penulis/aldinojaluseto/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:02:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Aldino jalu Seto https://telusuri.id/penulis/aldinojaluseto/ 32 32 135956295 Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/ https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/#respond Fri, 02 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46826 Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono....

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono.

Tak jarang saya mengunjungi jejak peninggalannya yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Kerajaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 979 Masehi—masih menjadi perdebatan—ini meninggalkan pemandian, arca, masjid, hingga makam orang-orang penting, seperti R. Ng Yosodipuro

Umbul Sungsang adalah salah satunya. Tempat ini populer bagi masyarakat untuk kungkum atau ciblon. Sebelah barat Umbul Sungsang terdapat Masjid Cipto Mulyo. Usianya telah menginjak 120 tahun, tapi masih sangat terawat dengan arsitektur Jawa kunonya. Jalan lurus ke arah selatan sekitar 200 meter, kita dapat menemui Umbul Pengging, salah satu jejak peninggalan Pakubuwono X. Meski dibangun pada masa yang tidak berbarengan, bangunan ini menjadi saksi bisu peradaban Pengging. 

Di era sekarang, tempat-tempat tadi seakan mulai luntur nilainya. Mereka “kalah bersaing” dengan hal-hal modern yang lebih menarik perhatian masyarakat. Peninggalan bersejarah ini hanya dimaknai selayaknya fungsi pragmatisnya saja. Meninggalkan nilai, juga mengubah pemaknaannya terhadap tempat tersebut. 

Dalam beberapa kunjungan saya ke Umbul Sungsang, misalnya, tempat ini digunakan sebagai tempat meminum minuman keras, bahkan asusila. Tak jarang saya melihat coretan dinding yang tak berhubungan sama sekali dengan tempat ini. Merusak pemandangan dan nilai prestisiusnya.

Kerajaan Pengging, atau bahkan peradaban sebelumnya meninggalkan nilai tak terkira bagi masyarakat sekitar bahkan sejarah nasional. Secara pragmatis, tempat tersebut dapat dimonetisasi sebagai objek wisata. Namun, lebih jauh lagi, peninggalan pengetahuan akan identitas pendahulu kita menjadi nilai yang tak dapat diukur, bahkan dapat menjadi “ruang” mengembangkan arah kebudayaan. 

Jika ditelisik, banyak peninggalan Kerajaan Pengging yang masih berada di tempat yang tak terduga. Dulu sempat ada yang menemukan sebuah arca di makam saat menggali kubur, ada juga yang menemukannya saat hendak ke petirtaan. Keduanya diduga menjadi peninggalan Kerajaan Pengging. 

Pencarian menjadi kata paling dekat dengan kebenaran. Kebenaran mesti terus dicari. Salah satunya lewat kepingan-kepingan warisan sejarah. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Tampak samping pabrik rokok yang sudah tak terpakai/Aldino Jalu Seto

Berawal dari Dongeng 

Ngomong-ngomong soal sejarah, beberapa waktu lalu saya memikirkan “mitos” sebuah arca di sebelah barat bekas pabrik rokok di Banyudono. Kabarnya, Kraton Pengging memiliki banyak arca yang tersebar di desa-desa sekitarnya, salah satunya bernama Ketaon. Saya ingat mitos dan sejarah sering kali dicampuradukkan, “Kenapa tidak saya cari saja kebenarannya?” pikir saya. 

Mulanya, cerita tentang arca itu sampai pada saya semasa kecil; kira-kira sekolah dasar (SD). Tak sedikit orang tua yang bercerita bahwa dulunya di sebelah barat pabrik rokok ini terdapat sebuah arca. Orang sekitar biasa menyebut reca (dibaca dalam bahasa Jawa: reco)

Masih menurut cerita masyarakat sekitar, reca ini terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya serupa manusia yang bersila. Ada yang mengatakan jika hanya sebagian orang yang beruntung yang dapat bertemu dengan reca. Jika pertemuan itu terjadi, maka apa yang diinginkan (mungkin) akan tercapai. Begitu kurang lebih ceritanya. 

Ingatan ini sangat akrab bagi saya dan masyarakat sekitar. Tak dijelaskan siapa pembuat reca tersebut, dan tahun berapa reca tersebut dikisahkan ada di sana. Juga, entah siapa yang pertama kali memulai cerita ini. 

Pertanyaan itu selalu timbul di benak saya yang belum pernah melihat bentuk dari reca itu sejak lahir, hingga usia saya sudah menginjak kepala dua. Bagi kami warga sekitar yang belum melihat langsung, kami hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng belaka. 

Saya bersekolah tak jauh dari lokasi pabrik rokok yang tak beroperasi itu. Sekitar 200 meter ke arah timur, dari perempatan jalan penghubung Dukuh Gatak dengan Dukuh Ketaon. Waktu pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kami sekelas diminta jogging untuk mengelilingi areal persawahan, termasuk mengelilingi pabrik mati itu. Tak pernah sekalipun kami menemui reca di sana.

Tentu kami sudah tahu tentang cerita reca, tapi tak satu pun dari kami yang pernah menemuinya. Malah sering kali, karena saking tak pernah menemukannya, kami percaya dengan dongeng yang diciptakan masyarakat sekitar. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Jalur menuju lokasi penemuan reca tak berkepala/Aldino Jalu Seto

Menjadi Realitas

Kini, setelah sekian lama saya percaya terhadap dongeng reca tersebut, besar keinginan saya untuk melihat benda itu secara langsung. Berangkat dari pertanyaan sederhana, “Apakah benda itu benar ada?”

Seolah pertanyaan tersebut ingin memberikan tantangan, bahwa “dongeng” tentang keberadaan reca yang telah lama dikonsumsi ini, dapat dipatahkan menjadi kebenaran setelah reca ditemukan. Pertanyaan tadi membawa rasa optimis akan menemukannya. 

Sebelum terjun ke lapangan, saya mencoba mencari data tentang areal pabrik tersebut. Sayang, informasi tentang jejak peninggalan Hindu-Buddha tak ketemu. Saya mencoba menyusuri sebuah jalan penghubung antara Desa Danyangan dengan Gatak yang terletak di area persawahan. Hasilnya nihil.

Beberapa bulan kemudian, kembali saya menyusuri areal tersebut. Di sepanjang jalan pabrik mati terdapat pertigaan jalan. Pada ekspedisi kedua ini saya mengambil jalan ke arah barat. Saya menggunakan sepeda motor, berjibaku dengan tanah yang basah bekas hujan. Kadang kala, ban motor saya yang tidak diatur untuk area lumpur tergelincir. 

Saya mencoba mencari jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya. Harapannya, saat melewatinya ada sesuatu yang dapat ditemukan. Sekitar 200 meter terdapat jembatan kecil yang menghubungkan antarparit. Terdapat sebuah bangunan yang menonjol di parit tersebut, masyarakat Jawa biasa menyebutnya buk (tembok rendah). Dari situ saya ambil jalan ke arah kanan masuk di kebun sengon sekitar 20 meter, kemudian belok kanan. 

Dari jauh samar terlihat seonggok batu yang berada di tengah jalan. Lambat laun, batu itu terlihat semakin besar ketika didekati. Ternyata ia tertanam di tanah. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata terdapat tangan menyerupai bentuk tangan manusia di batu tersebut. “Perjalanan berbuah manis,” kata saya dalam hati.

Batu itu tak berbentuk bulat, melainkan seperti badan manusia yang menancap di tanah. Bahkan jika dibandingkan, lebih besar dari badan saya—tinggi saya 166 cm dan berat badan hampir 60 kg. “Tak dapat diragukan lagi, itu dia,” saya melanjutkan penelusuran.

Ia duduk bersila, tangannya menengadah di pangkuannya. Sepertinya tak berbaju hingga dadanya terlihat seperti laki-laki telanjang. Sebagian kakinya masih ada di dalam tanah. Belum dapat diketahui seberapa besar reca ini. Yang pasti kondisinya miris. sebagian tangan kanannya sudah patah dan hilang, serta sudah tak punya kepala. 

Di bagian punggungnya sudah terdapat tanda. Kurang jelas bertuliskan apa, tapi sepertinya “60”. Karena saya bukan seorang sejarawan atau arkeolog, pertanyaan tentang reca ini—dari mana asalnya, siapa pembuatnya, dari agama apa, bagaimana sejarahnya—tak bisa saya jawab, malah hanya berputar di kepala saya.

Yang sangat disayangkan lagi, saya tak bisa langsung mengetahui bagaimana wajah dari reca ini karena kerusakannya. Minimnya informasi valid mengenai keberadaannya menjadi kendala buat saya menerangkannya. 

Beberapa bulan sebelumnya, saya sempat singgah di Rumah Arca Boyolali. Kata penjaga tempat wisata tersebut, memang banyak arca atau reca yang ditemukan di daerah Ketaon, Banyudono. Bahkan sebagian besar koleksi di tempat itu bisa dibilang ditemukan di wilayah tersebut. 

Namun, kadang terdapat sebuah kepercayaan untuk tidak memindahkan arca dari lokasi penemuannya karena masih dipercaya sebagai barang yang sakral oleh masyarakat. Atas dasar itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memindahkannya. Sayang sekali sangat sedikit bahan bacaan yang bisa dibagikan kepada pengunjung tentang benda-benda bersejarah di sana. 

Sulitnya informasi mungkin membuat masyarakat tidak mengetahui seberapa berharga pusaka, reca, bangunan cagar budaya, atau peninggalan bersejarah lainnya. Sehingga perusakan seperti yang ada di Umbul Sungsang menjadi wajar bagi para oknum. 

Banyudono menjadi potensial untuk menggali epos-epos tentang kerajaan, agama, identitas masyarakat lokal—setidaknya bagi wilayah sekitarnya. Pencarian yang saya lakukan hanyalah hal kecil. Sangat disayangkan sekali pertemuan dengan reca yang sudah dicari dua puluhan tahun ini berujung pada pertemuan dalam kondisi mengenaskan. Seolah kehilangan kegagahan masa lalunya.

Tapi, mau tak mau, reca ini tetap menjadi benda penting. Penting dalam melengkapi kepingan-kepingan sejarah Banyudono yang belum terangkai secara utuh. Penting sebagai pengetahuan untuk mempertahankan identitas tempat ini. Bahkan, penting dalam merekonstruksi pemikiran tanah kelahiran banyak orang. 

Di sisi lain, secara pribadi, perasan puas telah menemukan reca ini menjawab kegelisahan saya selama puluhan tahun. Akhirnya dongeng itu tak hanya menjadi dongeng belaka, tetapi menjelma menjadi realitas dalam sebuah usaha membentuk narasi kebenaran sejarah yang utuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/feed/ 0 46826
Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/ https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/#respond Thu, 03 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42778 Sebuah sudut dekat Pasar Gede di Jl. Suryo Purwodiningratan, Kota Solo, tampak sebuah bangunan usang bertuliskan Rental Komik Victory. Tempat ini mempertemukan saya dengan seorang bernama Sugeng Wiyono. Ia adalah pencinta sekaligus pemilik tempat persewaan...

The post Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah sudut dekat Pasar Gede di Jl. Suryo Purwodiningratan, Kota Solo, tampak sebuah bangunan usang bertuliskan Rental Komik Victory. Tempat ini mempertemukan saya dengan seorang bernama Sugeng Wiyono. Ia adalah pencinta sekaligus pemilik tempat persewaan komik bernama Victory Komik. 

Ini kunjungan pertama saya ke Victory Komik. Baru kali ini saya mendengar informasi mengenai sebuah persewaan komik fisik yang masih buka hingga sekarang. Karena, semasa saya kecil, saya tak pernah mendengar informasi tentang persewaan komik. Paling mentok saya hanya membaca buku cerita yang tersedia di perpustakaan.

Menurut kabar, Victory Komik adalah satu-satunya persewaan komik yang masih eksis di Solo. Sugeng mulai mengoleksi komik sejak tahun 1990. Lima tahun setelahnya, Sugeng membuka Victory Komik. Awal Sugeng mendirikan Victory Komik bukanlah di Jl. Suryo Purwodiningratan, melainkan di Jl. Ir. Sutami, Kecamatan Jebres, Solo. 

Saya mendapat sambutan hangat dan senyum dari Sugeng bersama istrinya, Anik, dan anak perempuannya. Tujuan kunjungan saya ke Victory Komik sebetulnya untuk mengenang komik sebagai bahan untuk merawat imajinasi, sekaligus melihat-lihat koleksi dari tempat ini. 

“Ada yang bisa dibantu?” tawarnya semringah.

“Saya ke sini ingin melihat-lihat koleksi komik, Pak,” balasku.

 “Baik, silakan dilihat-lihat. Di sini jika ada judul komik yang diinginkan, bisa saya carikan,” ujar Sugeng sambil menawarkan beberapa judul komik.

Sugeng bercerita bahwa komik yang populer di Victory Komik adalah karya-karya dari pengarang Jepang. Ternyata, dari cerita Sugeng, tak hanya komik-komik lama yang bisa disewa di sini. Victory Komik juga menyewakan majalah, seperti National Geographic, atau buku-buku populer terkini, misalnya Serial Bumi Tere Liye: “Petualangan Dunia Paralel”. 

  • Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman
  • Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman

Mengenang Perjalanan Victory Komik

Pada 1995, saat Victory Komik masih bertempat di Jl. Ir. Sutami, Victory Komik terkenal sebagai persewaan dengan koleksi komik Jepangnya. Kala itu yang laris antara lain Kungfu Boy, Doraemon, dan One Piece. Sugeng senang mengingat masa-masa itu. Ia fasih berkisah soal para pelanggannya—didominasi mahasiswa UNS—menyerbu tokonya untuk menyewa komik miliknya.

Wo, nek itu, awal-awal terbitan komik Jepang [seperti] Doraemon, Kungfu Boy. Belum ada HP. Jadi, anak sekolah pulangnya juga siang-siang. Waktu baca di rumah itu masih panjang. Kebanyakan [anak-anak] pulang sekolah mampir, nyewa komik,” kata Sugeng sambil mengingat.

Menurut Kompas, booming komik-komik Jepang memang berawal pada tahun 1990-an dan 2000-an. Komik seperti Dragon Ball dan Doraemon jadi primadona. Alasan komik Jepang menjadi sangat populer di kalangan remaja kala itu adalah ceritanya yang beragam dan menyentuh ke realitas sosial yang dekat dengan mereka. Cerita yang sering ditampilkan antara lain kehidupan sekolah, cerita romantis di sekolah, dan petualangan pahlawan.

Sebagai tambahan informasi, komik Indonesia juga sempat menduduki masa jaya. Bukan di tahun 1990, melainkan dua puluh tahun sebelumnya, yaitu 1960 sampai dengan 1970-an. Tak kalah bersaing dengan para pengarang Jepang, Indonesia juga memiliki komikus kondang, seperti Ganes TH., sang bapak dari komik Si Buta Dari Gua Hantu dan Hasmi, pembuat karakter komik Gundala Putra Petir.

Setelah periode 1990–2000, komik masuk ke era online (daring). Waktu itu persebaran internet mulai meluas sehingga memungkinkan komikus menerbitkan karya mereka secara daring tanpa melibatkan penerbit. Era daring ini menjadi tanda mulai bergesernya selera komik fisik ke virtual. “Si Juki” menjadi salah satu komik yang terkenal di kancah digital.

Victory Komik sendiri berdiri di masa transisi dari cetak menuju daring. Awal pendiriannya dibarengi dengan menjamurnya komik Jepang di Indonesia. Judul-judul Kungfu Boy, Doraemon, Naruto, Dragon Ball, One Piece, dan Detective Conan menjadi incaran utama para pembaca. Bahkan, Sugeng harus membeli berangkap-rangkapan untuk memenuhi hausnya permintaan pembaca kala itu.

Beuh! Rangkepnya banyak, bisa rangkep lima, bisa rangkep tujuh. Itu satu judul satu nomer,” kata Sugeng. 

Komik yang dibeli oleh Sugeng harganya cukup variatif. Waktu itu, untuk mengumpulkan komik-komik yang menjadi koleksinya sekarang, selain langsung mengambil dari penerbit. Sugeng juga mengambil dari agen.

Cara meminjam komik di Victory Komik dari dulu sampai sekarang tak berubah. Untuk bisa menjadi anggota (member) caranya adalah mendaftarkan diri lalu memberikan uang registrasi sebesar Rp10.00. KTP penyewa akan difoto untuk data keanggotaan. Setelah terdaftar, pembaca dapat meminjam komik untuk dibawa pulang.

Harga sewanya pun tak banyak berubah. Sugeng memiliki cara yang unik untuk menentukan harga sewa setiap komik. Setiap komik memiliki harganya tersendiri. Cara menghitung harga sewa satu komik adalah dengan mengambil 10% dari harga komik aslinya. Jika harga komik Detektif Conan Rp 100.000, maka harga sewanya adalah Rp10.000.

Sugeng selalu memperbarui komik baru per harinya di antara koleksi-koleksi lama (Aldino Jalu Seto)

Bergulat dengan Era Daring dan Rayap

Seperempat abad lalu adalah kenangan yang membuat hati senang, baik bagi Sugeng maupun para pencinta komik. Pasalnya, masa-masa itu adalah waktu di mana penggemar komik berkumpul di toko Sugeng. Mereka menyalurkan gairah remajanya ke dalam tiap lembar-lembar buku kecil itu, yang bergambar karakter-karakter kesukaan mereka masing-masing.

Sekarang, para pembaca yang menemani Victory Komik bertumbuh menjadi dewasa bahkan berkeluarga. Sugeng mengungkapkan, “Generasi pembacanya, ya, yang dulu suka baca [komik] itu nyaman membaca [komik] daripada HP. Jadi, [pembaca sekarang] ya, sudah punya dunia sendiri, [walaupun orang yang] menikmati membaca buku [komik] secara fisik, ya, sampai sekarang masih ada.”

Mereka yang membaca komik fisik tak lain adalah orang yang sama di era lebih dari dua dekade lalu. Beberapa kali Sugeng bertemu dengan pembaca komik lamanya di Victory Komik. Kebanyakan dari mereka membawa anak. Harapannya sederhana, agar anaknya menjadi pembaca komik seperti orang tuanya dulu. 

“Orang tua mengajak ke sini keinginannya agar mereka membaca komik seperti papa dan mamanya dulu,” ujarnya.

Menurut Sugeng, salah satu persoalan menurunnya pembaca komik adalah kalahnya daya tawar komik fisik jika dibandingkan dengan komik daring, atau hal lain yang berhubungan dengan internet. “[Lebih bagus] membaca komik daripada main HP terus. Tapi anak tetap lari ke HP, sih. Di sana apa-apa ada, jadinya banyak persewaan yang tutup,” sambung Sugeng dalam bahasa Jawa.

Selain menurunnya minat membaca komik fisik, Victory Komik juga berhadapan dengan penjualan daring. Jika dulu pembelian harus lewat penerbit atau agen, sekarang penjualan bisa lebih fleksibel hanya dengan memasangkan iklan di platform daring. 

Sugeng pun sampai sekarang masih kebingungan dalam menilai era daring. Entah ini merupakan peluang atau ancaman bagi tokonya. Di satu sisi, pembacanya banyak beralih ke media digital, sedangkan di sisi lain Sugeng jadi satu-satunya toko komik di Solo. Victory Komik bahkan dilabeli sebagai toko yang memiliki keunikan oleh para pengunjungnya yang mempromosikan di media sosial.

Tantangan lain yang dihadapi Sugeng adalah musuh alami dari komik, yaitu rayap. Meskipun demikian, hingga kini Victory Komik tetap menanti pembacanya, entah yang masih setia atau yang sedang bertumbuh. Ia akan selalu setia di jalan literasi untuk memberi imajinasi pada setiap lembar-lembar bergambarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/feed/ 0 42778
Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/ https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/#comments Mon, 12 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42496 Pertama kali aku mengetahui Buku Akik adalah dari Instagram. Waktu itu, lagi scrolling di Instagram, tiba-tiba menemukan konten video tentang toko buku yang unik. Setelah kucermati, toko buku itu bernama Buku Akik. Lokasinya di Jogja....

The post Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
Pertama kali aku mengetahui Buku Akik adalah dari Instagram. Waktu itu, lagi scrolling di Instagram, tiba-tiba menemukan konten video tentang toko buku yang unik. Setelah kucermati, toko buku itu bernama Buku Akik. Lokasinya di Jogja. Sepintas dari video tersebut, tempatnya cukup ramai dengan pernak-pernik beragam bentuk dan warna yang memenuhi setiap sudut ruangan. 

Eh, iya. Namaku Leya. Aku tinggal di Semarang. Setelah melihat reels tadi, aku merasa tertarik. Keinginan untuk berkunjung muncul seketika. Soalnya aku jarang melihat toko buku yang estetis. Seperti jadi keunikan sendiri dan tampaknya cocok untuk mengisi konten pribadiku.

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Kutipan menarik di depan pintu masuk/Aldino Jalu Seto

Kunjungan Pertamaku

Setelah penantian beberapa waktu, di bulan April lalu, akhirnya aku punya kesempatan untuk datang ke Buku Akik. Apa yang menjadi bayanganku dari Instagram dengan realitasnya ternyata tak jauh berbeda—bukan berarti sama persis.

Aku kira, lokasinya di seberang Jalan Kaliurang. Namun, setelah dicari, ternyata tempat ini masuk ke dalam gang desa sampai beberapa belokan. Agak susah, sih, mencarinya. Walau setelah dipikir-pikir, letaknya cukup strategis karena tidak terlalu berisik dengan keramaian jalan raya. 

Tampak dari luar, kita disambut dengan tempat duduk yang berbentuk mirip seperti mesin tik jadul. Lengkap dengan huruf dan angka di setiap kursinya. 

Tak kalah menariknya, aku melihat bangunan dari toko buku ini mencolok dengan batu bata merah yang menjadi ciri khas. Terdapat jendela-jendela besar, termasuk yang paling ikonis adalah jendela yang di bawahnya terdapat dua buah kursi, lalu di atasnya bertuliskan “Buku Akik” dan “Independent Bookstore”.

Aku juga mengira jika tempat ini cukup luas dan terdapat beberapa ruangan yang digunakan untuk memajang buku. Akan tetapi, begitu pertama masuk, ternyata tak seluas bayanganku. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit. Mirip seperti perpustakaan rumahan.

Meskipun begitu tempat ini cukup nyaman. Mungkin karena banyaknya tumpukan buku yang tingginya bisa mencapai tiga meter. Dan mungkin karena saking banyaknya pernak-pernik yang dipajang, membuat tempat ini serasa kecil. 

Kesan pertamaku terhadap Buku Akik adalah, “Wah, banyak sekali barang-barang lucu, apalagi ditambah dengan tone warna yang kecokelatan yang menjadikan impresinya hangat dan sangat homey,” ujarku dalam hati sambil mataku menjelajah ke seluruh ruangan. 

Ragam dekorasi mengisi setiap sela rak di Buku Akik. Ada foto, lukisan, tanaman, Lego, action figure, patung, piringan hitam lengkap dengan alat putarnya, dan mesin tik.

Yang Membedakan Buku Akik dengan Toko Buku Lainnya

Di Buku Akik, interiornya memancarkan suasana era tempo dulu. Termasuk gambar tokoh revolusioner, seperti Tan Malaka. Namun, masih ada juga beberapa hiasan yang identik di zaman modern, seperti miniatur rumah yang mirip dengan instalasi mini Buku Akik. Karena keunikan dekorasi dan pernak-pernik ini, orang biasa menyebut Buku Akik memiliki nuansa Ghibli.

Ghibli adalah studio animasi Jepang yang didirikan Hayao Miyazaki dan Isao Takahata pada 1985 di Koganei, Tokyo. Studio ini dikenal menghasilkan film dengan visualisasi yang memanjakan mata, seperti My Neighbor Totoro, Kiki’s Delivery Service, dan Ponyo. Keunikan dari film-film itu terletak di tone atau nada warna yang unik dan konsisten digunakan oleh sang sutradara. Tone warna tersebut menjadi sebuah daya tarik bagi masyarakat untuk membuat hal serupa, lalu memunculkan sebuah diksi “Ghibli vibes” atau suasananya Ghibli banget. 

Oleh karena itu, aku menduga Buku Akik terinspirasi dari Studio Ghibli. Alasannya, terdapat banyak kesamaan, mulai dari warna hingga karakter-karakter menggemaskan yang menjadi hiasan di Buku Akik. Namun, meriahnya dekorasi tak mengaburkan Buku Akik sebagai toko buku. Buku-buku baru tetap dipajang di sana. Judul-judul buku yang tak familiar di benakku juga banyak tersaji di raknya.

Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa kawan, Buku Akik ini adalah toko buku independen. Prinsip itu jelas tertulis di jendela kaca yang terletak persis di depan toko. Aku melihat banyak buku yang tak banyak diketahui orang. Aku mengira, independensi dari Buku Akik ini sampai mengarah ke tata letak penempatan buku-buku yang dijual.

Aku membaca sebuah wawancara Mojok.co dengan Tomi Wibisono (13/12/2022). Pemilik Buku Akik itu bilang, buku-buku yang ditaruh di tempat yang sering dilihat—atau dianggap strategis—bukanlah buku-buku best seller atau sering ditemui di toko buku besar. Ia menempatkan buku-buku yang (memang) perlu dibaca oleh para pembaca, atau dianggap penting untuk dibaca menurut Tomi. 

Menurutku, konsep ini cukup menarik karena sepertinya Buku Akik jadi tidak kaku. Berbeda dengan pakem toko-toko buku besar lainnya. Sepertinya, Tomi ingin membantu para penulis kecil yang tulisannya menarik untuk dibaca, tapi tidak memiliki kesempatan untuk memperluas jangkauan bukunya. 

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Instalasi miniatur toko Buku Akik/Aldino Jalu Seto

Hal menarik lainnya yang saya lihat adalah penggabungan antara toko buku dengan perpustakaan. Melihat perpustakaan di dalam toko buku memberikan sebuah perspektif baru tentang toko buku. Aku cukup antusias ketika melihat koleksi di perpustakaan yang menyatu dengan toko buku itu. Ternyata tak hanya aku, orang yang kuajak ke Buku Akik pun terkejut dengan koleksinya. 

“Wah, koleksinya bagus-bagus sekali. Kayaknya aku bisa deh bertapa di sini buat membaca. Kalau semisal toko ini tak jauh dari Kota Jogja, tiap hari aku bakal ke sini,” ujarnya sambil senyum-senyum siput. 

Aku sempat salah fokus dengan keberadaan meja yang bisa memuat sampai enam orang. Letaknya di tengah-tengah ruangan sempit itu. Meja tersebut bertuliskan sebuah instruksi agar tidak mengerjakan tugas di sana, tetapi hanya boleh membaca. Setelah sebelumnya dibuat kagum dengan segala pernak-pernik sekaligus koleksi mereka, sekarang kian kagum dengan kepekaan para pengelola Buku Akik tentang pentingnya literasi.

Sebetulnya, lawatanku ke sana hanyalah ingin melihat keunikan dari toko buku ini. Namun, ternyata kedatanganku justru membawa ke sebuah perspektif baru tentang konsep toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/feed/ 2 42496
Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/ https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/#respond Thu, 06 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42112 Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan...

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan berbagai tradisi.

Jauh sebelum festival Peken Pinggul hari itu, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk berkunjung sehari sebelum acara dimulai. Mereka berangkat dari Jogja, Sabtu sore (9/3/2024) pukul 15.00 WIB. Estimasi perjalanan dari Jogja ke Klaten hanya sekitar 1 jam. Sementara saya harus ke Semarang dulu untuk menjemput pacar saya, baru meluncur ke Klaten.

Kami akan menginap di salah satu rumah warga yang pernah digunakan untuk tempat tinggal teman seorganisasi yang pernah KKN di sana. Namanya Abi atau akrab dipanggil Irul. Ia sudah berangkat lebih dulu untuk melihat serangkaian acara sebelum Peken Pinggul. Kebetulan kami datang bertepatan dengan ulang tahun ke-5 Peken Pinggul.

Setibanya kami di Melikan, Irul sudah mengenakan pakaian pesa’an khas Madura yang dipadupadankan dengan kaus hitam. Lengkap dengan celana berwarna senada, blangkon, dan sebatang cerutu. 

Saat Irul bertemu kami, ia berkata, “Seko omah warga, hayo rene melu nang omahe pak Tugiman (Dari rumah warga, ayo ikut ke rumah Pak Tugiman).” Kami pun memutuskan beristirahat di sana. Tanpa diminta, kopi, teh, dan rokok diberikan Tugiman secara sukarela. 

Perbincangan cukup panjang hadir sore itu. Irul sebagai mahasiswa yang berkecimpung di bidang sejarah cukup fasih menjelaskan serpihan-serpihan sejarah di Melikan. Tugiman, yang memang penduduk asli Desa Melikan, turut menyahut untuk memberikan perspektifnya mengenai sejarah dan kebudayaan lokal. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Keunikan Ragam Kuliner Peken Pinggul

Setelah semalaman beristirahat bersama kawan-kawan yang lain, keesokan paginya, kami bersiap menuju tempat berlangsungnya festival budaya Peken Pinggul. Kami hanya perlu berjalan kaki karena lokasinya yang tak terlalu jauh. Tepatnya di samping sungai yang berada di tengah-tengah Desa Melikan.

Awan gelap membuat pagi itu sedikit dingin. Matahari pun ikut terlambat bersinar. Oleh karena itu, suasana perdesaan sangat asri dengan pepohonan yang masih rindang. Bekas hujan semalam menambah hawa awal hari kian menusuk kulit. 

Sesampainya di lokasi, Peken Pinggul sudah tampak ramai. Padahal waktu baru menunjukan pukul 07.00. Para penjual terlihat sibuk melayani para pembeli. Tak mau menunggu lama, kami segera menukarkan sejumlah uang menjadi koin gerabah untuk melakukan transaksi.

Di Peken Pinggul, metode transaksinya memang menggunakan koin gerabah. Cara mendapatkannya, saat masuk ke lokasi Peken Pinggul, akan ada sebuah stan yang terbuat dari bambu. Di sana penjaga menjereng koin-koin tersebut. Sebutir koin nilainya sama dengan Rp2.000.

Tak menunggu lama, saya pun menukarkan sebanyak 10 koin gerabah untuk menikmati kuliner di sana. Hasilnya saya mendapatkan soto dan teh hangat senilai tiga koin. Harganya yang cukup murah tidak mengurangi rasa dari soto tersebut. Selain terjangkau, yang menjadi daya tarik dan menggugah selera adalah penggunaan gerabah sebagai mangkuk soto dan gelas teh. Ini memberikan kesan tradisional yang kental. 

Setelah kenyang, selanjutnya saya mencoba menu lain yang mengingatkan saya saat masih sekolah dasar, yaitu es goreng. Jajanan ini membawa saya ke kenangan masa lalu. Jika dulu saya membelinya dengan harga seribu rupiah, di Peken Pinggul saya bisa menikmatinya dengan harga satu koin. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Kenikmatan wisata kuliner tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menilik lebih jauh, ternyata masih banyak kuliner yang sudah jarang ditemui, tetapi bisa dicicipi lewat Peken Pinggul. Salah satunya adalah getuk, yang terbuat dari singkong bercampur gula. Kudapan khas Jawa tersebut sangat populer di kalangan masyarakat desa. Rasanya yang manis dan mengenyangkan dipadu dengan kelapa parut sangat cocok untuk menjadi menu sarapan.

Usai kenyang dengan asupan soto, teh, getuk, dan es goreng, saya berangan makanan penutup adalah hal yang pas untuk pagi ini. Dari awal saya datang ke Peken Pinggul, saya sangat ingin menikmati makanan tradisional bernama sawut. 

Meskipun terbuat dari singkong, tekstur dari sawut sangat lembut dan mudah dicerna. Penganan ini memiliki rasa manis alami yang berasal dari singkong, serta taburan gula yang bercampur dengan gurihnya parutan kelapa. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membelinya dengan dua koin. 

Sebenarnya masih banyak kuliner yang bisa dicoba, misalnya dawet ayu, telur gulung, dan cilor. Bahkan tak hanya makanan olahan yang dimasak, Peken Pinggul juga menjual buah, seperti salak dan manggis. Namun, sayangnya perut dan dompet saya tak mampu mengakomodasi semangat berlebih dari wisata kuliner ini. 

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Sawut, kudapan jadul yang saya nanti-nantikan sejak sebelum berangkat ke Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Belajar Pengembangan Desa dari Peken Pinggul

Setelah menelusuri dari ujung ke ujung, saya melihat banyak keunikan dari Peken Pinggul. Selain jajanan pasar yang sangat dekat dengan saya semasa kecil, Peken Pinggul juga menghadirkan panggung kesenian yang diisi oleh masyarakat Desa Melikan sendiri, seperti karawitan. 

Dalam sebuah obrolan dengan Sri Lestari, sekretaris KUBe (Kelompok Usaha Bersama) yang membantu pelaksanaan Peken Pinggul, mengungkapkan alasan mengapa Peken  Pinggul hanya diadakan setiap Minggu Legi. 

Legi [dalam bahasa Jawa] itu [artinya] manis. [Legi] diambil mungkin biar laris manislah. Kalau Peken Pinggul, [kata] pinggul diambil dari ‘pinggir tanggul’,” terangnya. Adapun arti dari peken adalah pasar.

Akan tetapi, tidak setiap Minggu Legi ada panggung pertunjukan yang ditampilkan. Pementasan tersebut hanya dilakukan untuk merespons momentum-momentum besar agar keunikan di Peken Pinggul tetap terjaga. 

“Kalau biasanya kita cuma dagang. Kadang ada yang senam, kalau Hari Ibu kita adakan lomba apa [yang setema], [atau] agustusan. Kita sesuaikan dengan momen di bulan tertentu. Kalau tahun kemarin sebelum [pandemi] COVID-19 ada arak-arakan, bisa buka [dokumentasinya] di Instagram,“ jelas Lestari. Ia juga menambahkan kalau dulu para peserta harus pakai baju kebaya, lurik, caping, dan menggunakan bahasa Jawa.

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Kelompok karawitan Desa Melikan sedang pentas di panggung Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Lima tahun lalu Dani Utomo, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Melikan, memikirkan cara agar para penerima PKH ini dapat sejahtera lewat usahanya sendiri. Lantas ia bersama ibu-ibu anggota PKH mulai berembuk membuat sesuatu yang unik dan lekat dengan tradisinya.

“Awalnya itu dari ibu-ibu yang menerima bantuan PKH. Kita bikin acara apa yang bisa menambah pemasukan, paling tidak, [bisa] bermanfaat dari bantuan-bantuan yang diterima itu ben dapat penghasilan. Ya, itu, dari kelompok PKH dirasa kok ramai dan unik akhirnya banyak yang gabung,” ungkap Dani.

Peken Pinggul memberikan kesan di benak saya. Tak hanya makanannya yang enak, tetapi imajinasi mengenai desa yang hidup dengan swadaya dapat direngkuh. Hasil yang didapatkan Peken Pinggul pun tak main main. Menurut keterangan salah satu pengurus, Peken Pinggul mampu menarik minat 500–1.000 orang dalam sehari. 

Lewat Peken Pinggul saya melihat potensi Melikan bagi masyarakatnya sangat besar. Apalagi ditambah dengan masih suburnya kebudayaan lokal di desa. Jika masyarakat merawat kebudayaannya, tak menutup kemungkinan kebudayaan tersebut dapat menghadirkan nilai-nilai tersendiri bagi perawatnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/feed/ 0 42112
Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/ https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/#respond Thu, 30 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42061 Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan.  Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa...

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian masyarakat perkotaan, hidup berdampingan dengan penuh sesak dan panasnya kota merupakan keseharian yang menyebalkan. Dingin serta sunyinya pegunungan menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari pengap perkotaan. 

Beruntung. Di Indonesia, kekayaan alam berupa gunung tersebar hampir di setiap pulau. Tiap gunung memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Salah satu gunung yang memikat karena pemandangan alam yang masih asri adalah Gunung Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga wilayah administratif, yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Semarang. Jika kita melihat pemandangan gunung ini dari daerah Boyolali bagian timur, seperti Kecamatan Banyudono, Teras, dan Mojosongo, kita akan melihat pemandangan dua gunung berdampingan: Merbabu dan Merapi. Mirip dengan lukisan pemandangan alam anak-anak sekolah dasar. 

Di lereng Gunung Merbabu, cukup banyak tempat yang bisa digunakan untuk sekadar ngopi atau menikmati alam. Dari sekian pilihan, saya memilih untuk berkunjung ke sebuah kafe bernama Selosa Coffee Hills. Letaknya tidak jauh dari Simpang PB VI Selo—warga sekitar menyebutnya Alun-alun Selo. Jika dari timur, sebelum simpang tersebut bisa berbelok ke arah kanan lalu mengikuti jalan naik. Nantinya akan ada plang petunjuk arah menuju lokasi parkir kafe tersebut. 

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Pintu masuk Selosa Coffee Hills/Aldino Jalu Seto

Fasilitas dan Keunikan Selosa Coffee Hills

Selosa Coffee Hills terletak di atas bukit. Bagian depannya berhadapan langsung dengan Gunung Merbabu. Inilah yang menjadi ciri khas Selosa. Sepanjang mata memandang terlihat hijaunya pepohonan, tanah dan lahan yang subur ditanami sayur, serta pepohonan yang tinggi menjulang. Terlihat di atasnya keluarga bahagia dari burung ciblek gunung membuat rumah bersama anaknya. 

Jika melihat lebih luas, suasana asri tersebut berbanding terbalik dengan pemandangan kota yang terlihat samar. Tak hanya gedung yang membumbung tinggi, tetapi juga udara bermuatan debu polusi dari kendaraan bermotor. Dari kejauhan tampak kontras corak warna perkotaan menjadi lebih putih dan kuning, yang menandakan wilayah tersebut lebih panas. Selain itu, hampir tak terlihat hijaunya pepohonan di sana. 

Sementara hari masih cerah dan terasa sedikit panas, saya segera memesan segelas regal dingin dengan tambahan bakpao rasa ayam dan cokelat. Saya bertanya pada kasir, “Apakah kopinya bisa diberi wadah di gelas saja?”

Kasir tersebut menjawab, “Maaf, Kak. Untuk persediaan gelas kita terbatas, biasanya kita menggunakan gelas plastik [sekali pakai].”

Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
Menikmati pemandangan lereng Gunung Merbabu ditemani segelas minuman dan buku yang saya bawa/Aldino Jalu Seto

Percakapan kecil itu jadi sentilan bagi saya pribadi. Di tempat yang dianggap sebagai paru-paru dari suatu daerah, ternyata masih memproduksi limbah anorganik yang akan menghancurkan keasrian tempat tersebut suatu hari nanti. 

Sayang sekali kesadaran kecil seperti itu belum terbentuk. Pemandangan tadi kembali mengalihkan perhatian saya. Dengan suasana setenang itu, saya berpikir untuk mengeluarkan sebuah buku. Tulisan Mas Marco Kartodikromo yang dibukukan menjadi pilihan saya. Bukunya berisi kritikan kepada pemerintah kolonial dengan gaya jurnalisme.

Selain kumpulan tulisan Mas Marco Kartodikromo yang sengaja saya bawa dari rumah, saya juga melihat koleksi buku dari Selosa Coffee Hillis. Menarik. Banyak buku bergenre cinta bertengger di rak buku itu. Kebanyakan hasil terjemahan dari novel luar negeri.

Namun, masih terdapat novelis indonesia, seperti Andrea Hirata. Ia terkenal dengan novel fiksi yang dipadupadankan dengan sains. Saya rasa, pemandangan alam akan sangat pas bila dikombinasikan dengan ketenangan membaca buku fiksi bergenre cinta. Perasaan seolah diaduk.

Bagi orang yang kurang suka membaca, Selosa menyediakan permainan yang bisa dimainkan bersama. Contohnya kartu UNO. Bila bosan pun, masih banyak opsi permainan lain yang bisa dicoba. Tak perlu repot untuk meminjam, permainan tersebut tersedia langsung di ruang semi outdoor, asal nanti dikembalikan seperti semula. 

Variasi Pilihan Tempat Nongkrong

Yang tak kalah menarik adalah keberadaan kamar mandi, sesuatu yang biasanya luput dari perhatian pengelola. Saya sendiri sering menemukan kamar mandi di tempat wisata yang kurang terawat sehingga kotor dan tak nyaman untuk dipakai. Di Selosa, saya menemukan kamar mandi yang terbilang estetis dan tidak “malu-maluin” jika difoto.

Selosa memberikan beberapa tempat nongkrong dengan desain yang berbeda. Pertama, ruangan indoor yang didesain secara modern. Dilengkapi kursi kayu, lampu, lukisan, cermin, serta kaca yang menghadap langsung ke pemandangan sekitar—daya tarik utama ruangan ini. Di dalamnya juga terdapat bar untuk memesan makanan dan minuman.

  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills
  • Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills

Kedua, semi outdoor, yang berada di sebelah ruangan indoor. Identik dengan angin dingin yang berembus langsung mengenai tubuh. Pada bagian yang lain saya masih menjumpai tempat yang benar-benar terbuka. Di atasnya terdapat pohon untuk memayungi pengunjung yang duduk di bawahnya dari panas dan hujan.

Pemandangan Merbabu dari Selosa memang memiliki daya tariknya sendiri. Jika berlibur ke sana, jangan melewatkan tempat tersembunyi di atas bukit. Bahkan kalau mau naik sedikit lagi, kita bisa mengunjungi Goa Raja. Gua ini merupakan tempat tapa brata atau semedi Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Menurut beberapa literatur, Goa Raja digunakan oleh keduanya untuk mengatur strategi melawan kolonialisme Belanda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Kesegaran Alam Gunung Merbabu dari Selosa Coffee Hills appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-kesegaran-alam-gunung-merbabu-dari-selosa-coffee-hills/feed/ 0 42061
Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/ https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/#respond Mon, 06 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41828 Joko Pinurbo pernah bilang, “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan, angkringan.” Ucapan Pak Joko bak sihir yang menarik wisatawan untuk berkunjung (kembali) ke Jogja. Alasannya, karena banyaknya tempat wisata, tak ayal Jogja dijuluki sebagai “kota...

The post Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Joko Pinurbo pernah bilang, “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan, angkringan.” Ucapan Pak Joko bak sihir yang menarik wisatawan untuk berkunjung (kembali) ke Jogja. Alasannya, karena banyaknya tempat wisata, tak ayal Jogja dijuluki sebagai “kota wisata”.

Biasanya, Malioboro jadi pilihan utama. Pilihan kedua dan ketiganya, tentu jatuh pada Kraton Jogja dan tugu pal putih alias tugu Jogja. Sebab, tempat-tempat tersebut merepresentasikan sisi romantis, berbudaya dan keberagaman di Yogyakarta. 

Namun, tahukah Anda, masih banyak tempat wisata tersembunyi yang jarang diketahui orang?

Tempat itu adalah Pasar Senthir. Sebuah pasar yang tak biasa. Pasar ini menawarkan aneka barang bekas atau klithikan yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Pasar Senthir berlokasi di dekat Taman Budaya Yogyakarta, hanya sepelemparan batu dari Pasar Beringharjo.

Pasar Senthir biasanya banyak dikunjungi oleh mahasiswa dan warga lokal. Mereka datang malam hari sekitar pukul enam sore—saat pasar mulai buka—dan pulang ketika pukul sepuluh malam ketika pedagang sudah mulai memberesi dagangnya. 

Pasar ini menjual berbagai barang bekas yang masih berfungsi elok. Tak hanya beragam barang bekas, jika beruntung, pengunjung juga bisa menemukan barang bermerek dengan kualitas kelas dunia. Barang-barang unik yang tak terduga pun bisa didapatkan di sana. Berikut daftar barang yang bisa Anda cari di Pasar Senthir.

1. Buku dan Majalah Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Lapak dagangan yang menjual buku dan majalah bekas/Aldino Jalu Seto

Jika kebanyakan pasar menjual hasil bumi, seperti sayur-mayur, di Senthir Anda tidak akan menemukannya. Anda malah lebih mudah menemukan penjual buku sejauh mata memandang. 

Rata rata penjual di sini menjual buku di lapaknya sendiri. Buku-buku yang mereka jual adalah buku bekas yang masih terbilang bagus. Genrenya pun beragam, seperti sastra, komik, politik, hukum, buku pelajaran sampai sejarah kerajaan dan dunia. Salah satu novel bagus dan masih asli yang pernah saya temui di Pasar Senthir yaitu Sampar karya Albert Camus. Karena bekas, buku tersebut dihargai kurang dari Rp50.000.

2. Kamera Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Kamera analog yang dijual di Pasar Senthir/Aldino Jalu Seto

Di pasar ini, tidak semua kamera yang dijual sudah rusak atau tak layak pakai. Masih banyak barang, yang walaupun bekas, kualitasnya tetap teruji. 

Kebanyakan kamera di sini bermerek Fujifilm. Kamera tersebut berjenis analog. Pemakaiannya menggunakan rol film yang harus dipasang terlebih dahulu sebelum mengambil gambar. Hasil jepretan dari kamera ini cukup bagus, efeknya mengingatkan dengan suasana foto tempo dulu. Tak terlalu mahal, harga dari kamera analog ini hanya berkisar kurang lebih 50.000–200.000 ribu rupiah.

Selain Fujifilm, kamera berjenis Sony keluaran lama pun banyak ditawarkan. Harga kamera digitalnya sekitar 500 ribu–1 juta rupiah. Saya sarankan, sebelum membelinya Anda bisa mengecek secara keseluruhan fitur dan tools dalam kamera tersebut. Setelah dirasa cocok, jangan ragu untuk menawar harga kepada penjual, Ini juga berlaku untuk membeli barang-barang yang lain.

3. Pakaian Bekas

Hampir segala jenis pakaian dan aksesoris bekas dijajakan di Pasar Senthir. Mulai dari pakaian untuk tubuh bagian atas, seperti baju, jaket, topi, kalung, sampai jam tangan. Kemudian jenis pakaian bagian bawah meliputi celana hingga sepatu.

Di Pasar Senthir, pakaian adalah barang paling dicari oleh para pengunjung. Hal ini dikarenakan pakaian, utamanya  baju, celana, dan sepatu, biasanya berasal dari barang impor bermerek dunia macam Adidas atau Nike. Merek-merek tersebut banyak ditemui di lapak-lapak yang sudah disortir barangnya. Harga yang ditawarkan oleh penjual yang relatif berbeda-beda, tergantung merek, kualitas, serta kondisi barang tersebut. Untuk mendapatkan harga yang murah, kuncinya tetap sama: menawar.

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Salah satu lapak penjual sepatu bekas/Aldino Jalu Seto

Pedagang yang memiliki barang bagus tidak selalu berada pada lapak yang sudah disortir barangnya. Biasanya terdapat pula lapak yang baju dan celananya tanpa ditata, atau kadang pakaian bekas yang belum dicuci. Pembeli harus mencari sendiri pakaian yang ia inginkan dalam tumpukan pakaian sembari berebut dengan pembeli lain. Cara semacam ini dikenal dengan nama awul-awulan.  

Setahu saya, nama awul-awul sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya berantakan. Kata awul-awul biasa saya dengar ketika baju di lemari yang semula sudah tertata rapi, berubah menjadi berantakan. Hal ini disebabkan karena saat mencari baju yang diinginkan, kita harus mengobrak-abrik semua baju yang ada di lemari. Lantas ibu saya memarahi saya menggunakan kata itu.

Golek klambi siji wae ndadak diawul-awul kabeh (mencari baju satu aja harus dibuat berantakan semua [bajunya],” ujar ibu saya.

Jika di lapak yang sudah disortir harganya masih lumayan tinggi, di lawak awul-awulan ini tentu harganya jauh lebih murah. Kualitas barangnya menggambarkan harganya, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat harta karun dalam gunungan pakaian tersebut.

4. Arsip Foto, Kartu Pos, dan Mainan Anak

  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
  • Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta

Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Pasar Senthir tanpa melihat koleksi foto yang dijual para pedagang. Koleksinya sangat beragam, tak hanya terbatas pada tema tertentu. Para pedagang mendapatkan foto-foto ini dari pedagang foto lain juga. Biasanya mereka mencari foto yang banyak disukai oleh pengunjung.

Di salah satu lapak saya menemukan kartu pos bergambar pesawat. Bagian belakangnya bertuliskan sebuah pesan yang bernada romantis. Kartu pos itu sepertinya milik sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Harga kartu pos tersebut Rp5.000.

Koleksi lain yang saya temukan adalah sebuah buku berisi arsip foto penjajahan di masa Jepang. Buku tersebut berisi foto-foto yang menunjukan kekejaman kolonial Jepang saat menduduki Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Terlihat salah satu foto masyarakat Hindia Belanda yang ditembak mati di jalan.

5. Piala Bekas

Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta
Piala bekas yang dijual salah satu pedagang/Aldino Jalu Seto

Umumnya pasar tradisional akan menjual berbagai macam bahan pangan atau sentra industri rumahan yang tentu saja baru. Namun, Pasar Senthir justru menghadirkan hal tak biasa. Sesuatu yang unik karena tak dapat ditemui di pasar pasar pada umumnya,

Contohnya, piala juara buatan tahun 1975 ini. Meski tak diketahui pasti apa fungsinya, tetapi barang tersebut masih layak guna untuk dijual.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rekomendasi Barang Bekas di Pasar Senthir Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rekomendasi-barang-bekas-di-pasar-senthir-yogyakarta/feed/ 0 41828
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/#respond Thu, 11 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41654 Saya menduga, serangga itu sedang berkembang biak. Keduanya melekat, berkelip-kelip memunculkan warna hijau metalik. Terbang bersama ke sana kemari. Namanya Chrysochroa fulminans atau lebih akrab disebut samber lilin.  Sudah sangat jarang saya melihat samber lilin....

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya menduga, serangga itu sedang berkembang biak. Keduanya melekat, berkelip-kelip memunculkan warna hijau metalik. Terbang bersama ke sana kemari. Namanya Chrysochroa fulminans atau lebih akrab disebut samber lilin. 

Sudah sangat jarang saya melihat samber lilin. Di sini keberadaanya sekarang cukup langka. Sewaktu kecil, saya cukup sering berburu hewan tersebut. Umumnya samber lilin digunakan untuk hiasan, seperti kalung atau gelang karena warnanya yang memikat. 

Dulu, hewan ini dipercaya masyarakat memiliki kekuatan magis. Seringkali ia digunakan sebagai susuk, yang berguna untuk memikat lawan jenis. Beruntung, saya bisa menjumpainya lagi di Sendang Siwahyu.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Serangga samber lilin di area Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Kontradiksi Sendang Siwahyu

Siwahyu, nama yang cukup unik dari sebuah sendang. Bahkan lebih mirip dengan nama manusia. Saya menemukan nama Siwahyu tertulis samar-samar di gapura masuk berwarna kuning putih yang terbuat dari kayu. Tampaknya umur gapura tersebut cukup tua, karena terlihat kayunya juga sudah usang. 

Tertulis pula tahun 1958 di sebelah nama “Siwahyu”. Sementara di sebelah gapura, tepatnya di tembok batu yang dicor tertulis tahun 1973. Di atasnya masih terdapat kata-kata, tetapi sayangnya sudah tidak dapat dibaca dengan jelas. Entah mana tahun lahir dari Sendang Siwahyu ini yang benar.

Berbicara lokasi, Sendang Siwahyu terletak tak jauh dari Balai Desa Cangkringan. Dari balai desa tinggal lurus sejauh kurang lebih 300 meter. Sendang ini berada di sebelah kiri jalan. Selain lokasinya yang strategis—di tengah desa—akses masuknya juga sangat nyaman karena sudah terdapat jalan setapak berupa anak-anak tangga. 

Ketika turun menuju sendang, hanya terdapat sebuah pohon di sendang ini. Namun, terdapat bekas pohon lain yang tumbang sudah cukup lama, tepat di sebelah pohon tersebut. Saat saya datang masih belum ada pohon pengganti. Padahal pohon ini digunakan untuk menyerap air ke tanah. 

Saya pun langsung mengecek kondisi Sendang Siwahyu. Mulai dengan mengamati sekitar, mencari perbedaan antara sendang ini dengan yang lain, serta memotret hal-hal menarik, seperti samber lilin tadi. 

Setelah saya amati, sendang ini tak jauh berbeda dengan sendang lainnya. Ia memiliki dua kolam yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Bentuk bangunannya pun kurang lebih sama, persegi seperti di beberapa sendang yang saya temui sebelumnya. Bedanya, tuk atau mata air di kedua kolam ini berada sedikit lebih tinggi dari kolam yang digunakan untuk berenang.

Tak hanya sama secara bentuk bangunan, kesamaan Sendang Siwahyu dengan sendang yang lain adalah kedalaman airnya. Di Cangkringan, rata-rata kedalaman air sendang hanya seukuran perut orang dewasa atau kurang dari satu meter. 

Satu hal unik yang saya temui di Sendang Siwahyu adalah adanya tempat untuk mencuci. Lokasinya berada tepat di depan sendang putra dan putri. Tempatnya cukup luas dan juga berbentuk persegi. Sayangnya, sekarang airnya kotor dan berlumut.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Sampah deterjen kemasan yang mencemari Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Malah saya menemukan seseorang sedang mencuci pakaian di tempat yang (seharusnya) digunakan untuk mandi dan berenang. Alhasil, kotoran yang dihasilkan dari proses mencuci tadi mengalir menuju kolam yang digunakan untuk mencuci. Tak hanya berupa kotoran sabun, tetapi juga limbah plastik bekas kemasan ikut hanyut terbuang. 

Saya dan kedua kawan, Ardha dan Akbar, awalnya berencana ingin mencoba mandi di Sendang Siwahyu. Sayang sekali, melihat kondisi kolam, kami harus mengurungkan niat untuk mandi. Padahal waktu sudah menunjukkan tepat pukul 12.00, yang menandakan matahari tengah panas-panasnya. Rasanya, kesegaran air dari petirtaan alami adalah solusi yang pas.

Tak lama saat kekecewaan itu muncul, ajakan untuk berpindah ke sendang lain pun muncul beriringan. Ardha mengajak kami bergeser ke sebuah sendang yang biasa ia pakai bersama teman-temannya dulu. Saya menyebutnya Sendang Pancuran Limo.

Pancuran Limo yang Mulai Ditinggalkan

Kurang lebih sepuluh tahun lalu saya mengunjungi tempat ini. Saat itu usia saya 12 tahun. Pancing, jaring, ember, dan umpan adalah alat perang saya untuk mencari ikan.

Saya bukan warga lokal Cangkringan. Saya adalah penduduk desa sebelah. Untuk mencapai ke Sendang Pancuran Limo, sepeda mini adalah transportasi paling efektif di masa itu. Akhirnya saya kembali lagi ke sini. Selain untuk bernostalgia, juga menelusuri jejak sejarah. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Lima aliran air di Sendang Pancuran Limo yang berkumpul di satu kolam/Aldino Jalu Seto

Sendang ini dibuat pada 1954. Usianya terpaut tujuh bulan lebih muda dari Sendang Karang Kulon. Nama “Pancuran Limo” berasal dari pancuran yang berjumlah limo (baca: lima). Sendang Pancuran Limo tak banyak berubah. Secara fisik, bangunannya masih sama persis dibandingkan beberapa tahun silam saat saya ke sini.

Sedikit perbaikan dilakukan. Dulunya, tuk atau sumber mata air yang berada di belakang sendang terbuka. Sekarang sudah ditutup. Sepertinya ada ketakutan jika tuk akan kotor jika tetap dibuka, sehingga bisa tersumbat dan tidak mengeluarkan air kembali. 

Selain tuk yang ditutup, di depan sendang juga digunakan untuk budidaya pohon jambu. Padahal tempat itu dulunya lahan basah saya untuk mencari ikan mujair dan nila. Kini semuanya telah diuruk tanah. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)

Meskipun begitu, lagi-lagi Sendang Pancuran Limo tetap tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan tradisi pemberian sesajen masih dilakukan sampai sekarang. 

Secara arsitektur, sendang ini terbagi menjadi dua bagian. Lagi-lagi pembagiannya berdasarkan jenis kelamin, yaitu putra dan putri. Sendang putra berbentuk persegi panjang dengan panjang kurang lebih 5×2 meter. Kedalamannya tidak seberapa, hanya sekitar setengah meter. Bentuk sendang putri pun sama, dengan kedalaman tak jauh berbeda. 

Saat ini, penggunaan Sendang Pancuran Limo lebih didominasi oleh orang yang sudah sepuh. Kebanyakan warga mulai meninggalkan sendang karena telah memiliki kamar mandi sendiri.

Fenomena sosial perpindahan tempat membersihkan diri masyarakat, dari sendang menuju ke kamar mandi, telah berlangsung belakangan. Makin lama, sendang yang awalnya didamba sebagai ritus budaya berubah menjadi tempat mandi, lalu berganti menjadi tempat angker karena terlalu lama ditinggalkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/feed/ 0 41654
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/#respond Wed, 10 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41645 Dua buah patung duduk bersila di pojok bangunan tua. Wujud patung tersebut bertubuh mirip manusia, sementara wajah, tangan, dan, kakinya seperti kera. Telinga, mata, dan kepalanya bulat. Kedua kakinya duduk bersila. Bagian kakinya sama-sama patah....

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dua buah patung duduk bersila di pojok bangunan tua. Wujud patung tersebut bertubuh mirip manusia, sementara wajah, tangan, dan, kakinya seperti kera. Telinga, mata, dan kepalanya bulat.

Kedua kakinya duduk bersila. Bagian kakinya sama-sama patah. Patung di sebelah kanan duduk membelakangi yang lain. Tangannya terangkat ke langit; yang satu menggenggam, satunya lagi menengadah. Ekspresinya seperti sedang berdoa menghadap Sang Pencipta. Saya menyangka, keduanya adalah perwujudan patung manusia setengah kera.

Sontak saya bertanya kepada kawan saya, “Iki opo iki (Ini apa ini)?”

Ardha menjawab, “Ora ngerti, aku malah lagi ngerti (Tidak tahu, saya malah baru tahu),” sahutnya. Jawaban Akbar pun serupa, “Ra reti (tidak tahu).”

Patung manusia setengah kera itu tidak berada di tempat biasa. Saya menemukan patung tersebut dalam bangunan tanpa atap, tepatnya di jalan setapak masuk ke Sendang Sinogo. Bangunannya tampak tua, sampai diselimuti oleh lumut di sekujur dinding batanya.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3)
Sepasang patung manusia setengah kera/Aldino Jalu Seto

Misteri Patung-patung dan Kesan Wingit Sendang Sinogo

Berhadapan dengan patung manusia setengah kera tersebut, terdapat sebuah bangunan mirip rumah berwarna putih. Pintunya tertutup. Menyatu dengan tembok bangunan tua yang penuh lumut. 

Di sekelilingnya berjajar pohon-pohon tinggi. Setiap batang pohon dibalut kain putih. Entah untuk apa kain tersebut. Daunnya lebat menutupi cahaya yang masuk. Hawa dingin menambah kuat pandangan saya untuk melabeli tempat ini mistis. 

Tak lupa untuk menambah kesan mistis, terdapat kemenyan kering yang sepertinya sudah lama terpasang di sana. Kemenyan tersebut berada persis di depan pintu masuk, ditempatkan di atas sebongkah batu berwarna cokelat agak keputihan. Dugaan saya, saking seringnya diberi kemenyan, batu itu memiliki bercak putih-putih.

Secara kebetulan, tak jauh dari tempat kami berdiri ada dua pria yang sedang memperbaiki pipa paralon. Saya mengira mereka adalah warga lokal. Tanpa pikir panjang, demi mengetahui identitas kedua patung tadi, saya berinisiatif mendekat. Perkiraan saya benar, rumah bapak-bapak itu tak jauh dari tempat saya menemukan sepasang patung manusia setengah kera. 

Saya melontarkan pertanyaan serupa seperti pada Ardha dan Akbar. “Wonten ndalem bangunan niku enten patung nopo, Pak (Di dalam bangunan itu ada patung apa, Pak)?”

Ternyata jawaban keduanya setali tiga uang. Kedua bapak bapak tersebut pun menjawab sama, “Mboten ngertos, Mas (Tidak tahu, Mas),” ujarnya.

Sayang saya masih belum menemukan identitas dari patung-patung tersebut. Akan tetapi, saya mendapatkan informasi mengenai asal usul tempat yang saya kunjungi ini. Bapak-bapak itu secara sukarela bercerita mengenai sejarah Sendang Sinogo.

Menurut mereka, dalam bahasa Indonesia, nogo berarti naga. “Ceritane ndhisik sendang niki ditunggu kalih nogo, Mas. Mangkane jenenge dadi Sendang Sinogo (Ceritanya dulu sendang ini dijaga oleh naga, Mas. Makanya namanya jadi Sendang Sinogo),” jelas seorang di antaranya.

Tak heran. Selain patung manusia setengah kera, terdapat beberapa monumen naga di sekitar sendang. Sampai sekarang, cerita mengenai mitos naga di sendang masih dijaga oleh masyarakat sekitar. Mitos tersebut jadi cerita turun-temurun. Cerita si bapak menambah kuat label yang saya lekatkan pada tempat ini.

Bagaimana tidak, akses masuk menuju sendang saja melewati kuburan Desa Cangkringan wilayah utara. Walaupun masih ada jalan lain, seperti gang sempit sebelah timur sendang atau lewat area persawahan, akses via kuburan relatif lebih mudah diakses. 

Kesan angker sepertinya tidak dihiraukan oleh pengunjung Sendang Sinogo. Menurut bapak yang saya temui, kebanyakan pengunjung malah datang pada malam hari. Rupanya malah kesan wingit ini yang dicari-cari. Biasanya pengunjung melakukan ritual atau doa-doa untuk membantu agar rezeki mereka dilancarkan. 

Masih menurut bapak-bapak tadi, ritual doa yang dilakukan pengunjung dilakukan di tempat yang memang dikhususkan untuk ritual. Seperangkat dupa, kemenyan, payung jenazah, serta bangunan joglo semipermanen, menjadi perantara antara dunia manusia dan dunia roh.

Kebanyakan pengunjung memanggil juru kunci terlebih dahulu ketika ingin melakukan ritual. Biasanya malam Jumat adalah waktu yang pas untuk ritual. Alasannya Jumat dianggap sebagai hari yang disucikan. Setelah melakukan ritual, pengunjung biasanya melakukan aktivitas kungkum sebagai bagian dari tirakat.

Bapak tadi melanjutkan, tempat ini—Sendang Sinogo dan sekitarnya—dirawat oleh seorang juru kunci yang tinggal di desa bernama Ngendo. Ia lupa namanya, tetapi sejauh obrolannya dengan sang juru kunci, perawatan Sendang Sinogo menjadi seperti ini adalah bagian dari nguri-uri (melestarikan) budaya Jawa yang sudah mulai ditinggalkan. 

Tak lama obrolan pun berakhir. Kami dipersilakan lanjut melihat-lihat Sendang Sinogo. 

Manfaat Besar yang Masih Terasa

Bangunan sendang merupakan satu kesatuan. Tak jauh berbeda dengan sendang pada umumnya, Sendang Sinogo terbagi menjadi dua tempat berdasarkan jenis kelamin, yaitu putra dan putri. 

Sendang yang sudah ada sejak 1959 itu mempunyai keunikannya sendiri. Bagian sendang putra dan putri masih dalam satu bangunan yang sama. Hanya dipisahkan oleh sebuah tembok. Tembok pemisah tersebut tidak terlalu tinggi, hanya sekitar dua meter dari permukaan air.

Secara keseluruhan, bentuk bangunannya lonjong memanjang. Ada dua pintu masuk di masing-masing ruang. terdapat pula sesajen yang berisi kemenyan yang sudah kering, gelas kosong (mungkin bekas kopi), dan juga rokok batangan. 

Seperti yang terlihat, bangunan sendang ini terbuat dari batu alam yang disatukan menggunakan semen. Batu tersebut ditumpuk membentuk bangun ruang memanjang, kemudian diberikan sekat pembatas antara putra dan putri di tengah. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3)
Sekat tembok yang memisahkan sendang putra dan putri/Aldino Jalu Seto

Melihat atap dari Sendang Sinogo, saya bisa menyimpulkan bangunan ini baru direnovasi. Alasan kesimpulan saya, atapnya terbuat dari baja ringan sebagai penopang dan seng sebagai penutupnya.

Penutup atau atap tersebut adalah inovasi baru untuk menjaga keasrian sendang. Soalnya, kebanyakan sendang lain menggunakan atap alami seperti dahan pohon untuk melindungi sendang agar tidak terpapar langsung dari panas matahari. Inovasi atap ini dapat menyelamatkan sendang dari kematian, sebab atap mampu mencegah limbah organik, seperti daun yang bisa menyumbat mata air alami di dalam sendang.

Masih sama dengan sendang lain, mata air alami itu berasal dari air tanah yang tertampung karena siklus hujan. Debit air di sekitar Sendang Sinogo dapat dibilang cukup besar. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pepohonan sekitar yang masih cukup asri, sehingga akarnya dapat menyimpan tangkapan air di dalam tanah. 

Selain sebagai tempat ritual, mata air di Sendang Sinogo juga digunakan warga untuk beternak ikan. Si bapak yang saya temui di sendang adalah salah satu yang memanfaatkannya. Ia beternak berbagai jenis ikan di sebelah sendang, di antaranya koi.

Mungkin masih sangat banyak yang bisa dimanfaatkan dari Sendang Sinogo. Terlepas dari kepercayaan atau misteri apa pun, sampai sekarang kegunaan mata airnya menjadi berkah tersendiri bagi warga sekitar.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/feed/ 0 41645
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/#respond Tue, 09 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41633 “Minggu pisan ados janti kene sulit (Seminggu sekali mandi di Janti, di sini [Sendang Sidomulya] sulit.” Begitulah tulisan yang terpampang jelas di tembok Sendang Sidomulya (baca: Sidomulyo). Menurut cerita Akbar, kalimat itu ditulis oleh beberapa...

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu pisan ados janti kene sulit (Seminggu sekali mandi di Janti, di sini [Sendang Sidomulya] sulit.” Begitulah tulisan yang terpampang jelas di tembok Sendang Sidomulya (baca: Sidomulyo).

Menurut cerita Akbar, kalimat itu ditulis oleh beberapa kawannya saat mandi di Sendang Sidomulya. Sayangnya, ia juga tidak mengetahui cerita di balik penulisan kalimat itu. Ia hanya mengakui jika tulisan itu dibuat oleh kawan kawannya. 

Sependek interpretasi saya, kalimat itu merupakan wujud kritik sosial kepada masyarakat yang jarang mandi di Sendang Sidomulya, sendang milik masyarakat Cangkringan. 

Kata “janti” merujuk pada sebuah desa yang terkenal akan wisata air. Di Janti, terdapat wisata air berupa kolam renang untuk segala usia dan pemancingan air tawar. Pemancingan tersebut juga sekaligus mengakomodasi tempat makan. 

Semasa saya kecil, Janti merupakan wisata air dan pemancingan yang sangat diidamkan. Bahkan, Janti selalu jadi tawaran pilihan untuk rekreasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada di desa, seperti ibu-ibu pengajian, adik-adik TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan bapak-bapak maniak mancing. Bisa dibilang Janti cukup mendominasi wisata perairan.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Coretan di dinding Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Sendang Sidomulya dan Ciri Khasnya

Kepopuleran Janti menyebabkan kalah pamornya tempat seperti Sendang Sidomulya ini. Menurut hemat saya, atas dasar itu tulisan di tembok Sendang Sidomulya dibuat. Meskipun sepertinya kalah populer, sendang ini sebenarnya memiliki karakteristiknya sendiri. 

Yang menjadi ciri khas adalah sendang ini jelas terlihat berada di tengah perdesaan. Lokasinya berada di sebelah jalan, menghadap langsung ke sawah.

Jika kebanyakan sendang berada di dekat kali yang dipenuhi pohon bambu atau pohon beringin, sendang ini justru tidak. Sendang Sidomulya berada di dekat jalan utama desa, sehingga terlihat lebih bersih daripada Sendang Kali Nyamplung dan Sendang Mbergundung.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Tampak luar bangunan Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Dari sisi sejarah, saya juga tak menemukan adanya tahun atau tanggal pembuatan sendang ini. Menurut Ardha, dulunya di luar area sendang terdapat batu yang bertuliskan tahun pembuatannya. Sekarang batu tersebut telah hilang. 

Akbar menambahkan, dulunya sendang ini memiliki kedalaman sekitar setengah meter. Dalam beberapa tahun terakhir, debit airnya mulai menurun. Selain itu, Sendang Sidomulya juga mengalami pendangkalan. 

Selain letaknya yang membedakan dengan sendang-sendang lain, Sendang Sidomulyo juga memiliki keunikan dari sisi bangunannya. Kebanyakan bangunan sendang yang saya temui di Desa Cangkringan memiliki dua tempat untuk membedakan pemakaian sendang berdasarkan gender. Akan tetapi, sendang ini hanya ada satu tempat. Sepengetahuan Akbar, Sendang Sidomulyo hanya dikunjungi oleh laki-laki. 

Secara arsitektur, bentuk bangunan Sendang Sidomulya kurang lebih sama dengan sendang lain. Berbentuk persegi dengan dinding yang mengelilingi setiap sisinya. Terdapat dua pintu dari sisi timur dan barat. Ditambah sebuah sekat untuk membedakan kolam sebagai tempat mandi dan mata air.

Kami bertiga tak lama berada di Sendang Sidomulya karena tidak menemukan hal hal baru. Setelah beberapa jepretan foto, kami beranjak menggunakan motor. Kami berjalan ke arah utara menuju jalan utama desa Cangkringan, lalu belok kiri ke arah barat menuju pertigaan. Selanjutnya masuk ke sebuah gang sempit di tanah milik warga untuk tiba di Sendang Karang Kulon. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Kolam pemandian untuk putri di Sendang Karang Kulon/Aldino Jalu Seto

Melawat ke Sendang Karang Kulon

Menurut kedua kawan saya, yaitu Ardha dan Akbar, Sendang Karang Kulon adalah sendang yang masih sangat terjaga keasriannya. Sendang ini masih memiliki tuk alami dari bawah tanah. Pohon beringin raksasa masih mengakar kuat di tanahnya, begitu pun daunnya yang jatuh dibersihkan oleh penjaga sendang. 

Kami bertiga melihat banyak hal menarik di Sendang Karang Kulon. Pohon beringin raksasa, berbagai kolam di sendang, batu serupa stupa, joglo persatuan silat, “oven” tempat pembakaran batu bata, dan juga tempat BAB (buang air besar) yang masih autentik. 

Sebelumnya, saya sudah pernah melawat ke Sendang Karang Kulon. Dulu kunjungan saya tak sedekat sekarang, yang mana saya hanya menapakkan kaki dari sisi atas sendang. Kebetulan, akses di sekitar Sendang Karang Kulon sekaligus menjadi jalan penghubung antara Desa Cangkringan dengan Desa Jembungan.

Terdapat dua sendang yang biasa digunakan. Terbagi berdasarkan gender, yaitu putra dan putri. Sendang putri berada di depan bangunan menghadap ke barat. Di atasnya terdapat sebuah tulisan aksara Jawa. Sayang sekali saya tidak dapat menerjemahkannya. 

Sendang putri tersebut berbentuk persegi. Sama seperti sendang pada umumnya—yang terdapat tembok di setiap sisinya—tingginya sekitar tiga meter dari dasar sendang. Ada pula dua sisi lantai yang berbahan dasar keramik di timur dan selatan. 

Dari dasar tanahnya mengeluarkan air yang disebut tuk atau sumber air alami. Airnya yang bersih serta dingin sangat cocok untuk berenang. Sendang ini juga tak terlalu dalam, mungkin hanya setengah meter atau kurang lebih setinggi perut orang dewasa. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali

Pada tampak depan, sendang putri ini dihiasi pula dengan sebuah batu yang mirip lingga. Saat saya tanya kepada Ardha dan Akbar, mereka membenarkan bahwa batu itu adalah sebuah lingga dari masa kerajaan Hindu. Namun, ketika saya bertanya tentang sejarah batu itu, mereka tidak mengetahui asal mulanya. 

Sampai sekarang, batu yang dianggap lingga masih terjaga di Sendang Karang Kulon. Tidak ada relief atau gambar di tubuh lingga tersebut. Batu tersebut dihiasi oleh batu bata persegi yang disusun mengelilingi lingga. Saya melihat batu itu digambarkan mirip dengan sebuah yoni. Menyatu dengan lingga dan yoni, terdapat pula susunan batu bata dua tingkat yang berukuran hanya lebih kurang 20 sentimeter. Di tengahnya tersedia sebuah tempat untuk pembakaran dupa.

Adapun sendang putra berada di sebelah barat. Saya melihat ada keterangan tahun pembuatan sendang tersebut: 20 April 1954. Bentuk bangunannya kurang lebih sama dengan sendang putri. Hanya lokasi yang membedakan kedua sendang tersebut. Karena lokasi sendang putra yang berada di barat, maka air yang terbuang kemungkinan mengalir ke sungai yang ada di sebelahnya dan ke sendang putri. 

Tak jauh dari lokasi sendang putri, di sebelah timur saya melihat sebuah kolam yang menyimpan banyak air. Tampaknya, kolam tersebut tidak lagi difungsikan dengan baik. Banyak daun jatuh dan tidak dibersihkan di sana. Tak hanya itu, banyak ikan badar—alias wader—yang juga berkembang di sana. Terlihat seperti tak terpakai layaknya sendang putra dan putri.

Sebagai pelengkap, terdapat pula padepokan perguruan silat. Saya bertanya kepada Ardha, “Apakah bangunan permanen ini milik perguruan silat tersebut?” Ardha mengiyakannya.

Ardha lanjut bercerita, orang yang membuat joglo semipermanen serta dua bangunan padepokan permanen tersebut adalah perguruan silat setempat. Tampilan fisiknya bernuansa tradisional, kokoh, dan sederhana. Terbuat dari bambu yang dirangkai dan dicat berwarna cokelat, sehingga makin menambah suasana keasriannya. 

Bangunan padepokan permanen di dekat sendang putra dan putri. Keduanya berbentuk persegi panjang. Sejauh penglihatan saya, bangunan tersebut difungsikan untuk tempat beristirahat para pesilat.

Sedikit menyusuri ke arah timur, saya melihat peninggalan masa lampau berupa bangunan bata tua yang masih tersisa puing-puingnya. Masyarakat sekitar menyebutnya “oven” tempat pembakaran batu bata.

Ardha dan Akbar kompak menuturkan, “Ndhisik jek kerep kanggo, tapi saiki wes ora (Dulunya [oven ini] sering dipakai, tetapi sekarang sudah tidak).”

Secara keseluruhan, sejak saya menapakkan kaki di Sendang Karang Kulon ini, kesan yang sangat melekat dalam diri saya adalah tempat ini suci atau keramat. Indikatornya berupa tempat yang sangat rindang, sangat lekat akan hal-hal pemujaan, ditambah di setiap sudut bangunan terdapat dupa yang menciptakan bau khas tersendiri.

Hal terakhir yang tak bisa dilepaskan dalam kunjungan ke Sendang Karang Kulon adalah pohon beringinnya. Melihat dari atas, pohon ini tampak gagah sebagai penjaga ekosistem di Sendang Karang Kulon. Ia adalah aktor utama yang menjaga kelestarian tuk atau mata air di petirtaan tersebut tetap eksis sejak 1954, atau bahkan mungkin jauh sebelumnya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/feed/ 0 41633
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/#respond Mon, 08 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41620 Semasa masih SD, menelusuri jejak budaya di desa—seperti petirtaan—adalah kegiatan sehari-hari saya. Ajakan lumban (berenang di kali) dan nyobok (mencari ikan) adalah hal yang lumrah saya dan kawan-kawan dapati. Pernah suatu waktu, kami tertangkap basah...

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Semasa masih SD, menelusuri jejak budaya di desa—seperti petirtaan—adalah kegiatan sehari-hari saya. Ajakan lumban (berenang di kali) dan nyobok (mencari ikan) adalah hal yang lumrah saya dan kawan-kawan dapati. Pernah suatu waktu, kami tertangkap basah mencuri ikan di kolam milik warga. Sontak kami dikejar warga menggunakan arit. 

Setelah diingat-ingat, petirtaan-petirtaan itu membawa banyak cerita yang mungkin tak bisa saya dapatkan lagi. Ingatan tersebut membawa saya kembali ke Desa Cangkringan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali (20/2/2024). 

Saya pun mencoba menghubungi dua kawan saya sewaktu SMP dulu. Mereka adalah “warlok” alias warga lokal asli Cangkringan bernama Ardha dan Akbar. Tak berselang lama, Akbar meminta saya untuk datang ke rumah Ardha. Sangat pas sekali mereka berdua sedang berkumpul.

Tak berselang lama, Ardha bercerita, “Nang kene ki pendak RT nduwe sendang dewe-dewe. Enek sekitar 16 RT terus dibagi dadi pirang-pirang padukuhan. Berarti sak RT enek sendang siji (Di sini, setiap RT memiliki sendang sendiri-sendiri. Ada sekitar 16 RT yang terbagi menjadi beberapa pedukuhan. Berarti kurang lebih ada 16 sendang juga di satu desa).”

Saya cukup terkejut mendengar pernyataan sohib saya satu ini. Bahkan ketika saya kecil, saya tidak menemukan sendang sebanyak itu di sini. Saya sejenak berpikir dalam hati, “Karena zaman dulu itu gak ada kamar mandi, orang-orang mandinya di sungai kayaknya. Terus karena banyak mata air juga, mereka membuat sendang-sendang yang bisa digunakan secara kolektif, ya. Menarik.”

Saya iseng bertanya sudah sejak kapan sendang ini ada kepada Ardha dan Akbar. Keduanya kompak menjawab tidak tahu. Saat mereka masih kecil, sendang-sendang itu sudah ada. Lagi-lagi saya membatin, “Berarti kegiatan lumban di kali ini sudah menjadi tradisi sejak lama.”

Sesaat kemudian, obrolan kami berakhir. Kami sepakat mencoba menelusuri sisa-sisa jejak kebudayaan desa tersebut.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Sarang burung tengkek di dekat Sendang Kali Nyamplung/Aldino Jalu Seto

Keunikan Sendang Kali Nyamplung

Kami berjalan sekitar 200 meter ke arah utara rumah Ardha. Melewati gang-gang sempit juga hutan bambu. Konon kabarnya tempat ini merupakan habitat banyak sarang burung konon kabarnya terdapat banyak sarang burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Ardha menyebutnya tengkek.

Sendang pertama yang kami kunjungi bernama Kali Nyamplung. Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di sendang tersebut. Bahkan sebelumnya saya tak tahu jika ada keberadaan sendang di tempat seperti ini. 

Sayang sekali, kami bertiga tidak tahu asal usul dari sendang ini. Ardha berinisiatif bertanya ke seorang ibu, yang juga penduduk desa setempat. Hasilnya nihil.

Saya mencoba tak ambil pusing soal sejarah. Saya langsung mengambil beberapa gambar dari sudut pandang yang berbeda beda dengan penuh antusias. Tak lupa, saya juga mencari tanggal atau tahun pembangunan sendang Kali Nyamplung. Ternyata tidak ada informasi mengenai hal itu. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali

Sendang ini berbentuk persegi. Terdapat sekat berupa tembok di tengah sendang. Kata Ardha, sekat tersebut untuk membedakan tempat mandi laki laki (sebelah timur) dan tempat mandi perempuan (sebelah barat). Di masing-masing tempat itu juga terdapat sekat khusus yang memberikan jalan air agar kotoran bisa berpindah ke arah sungai.

Ada sedikit keunikan pada Sendang Kali Nyamplung. Jika sendang-sendang lain pada umumnya yang saya temui tidak terdapat atap untuk menutup sendang, tetapi Kali Nyamplung memilikinya. Saya menduga karena banyaknya daun pohon bambu yang berjatuhan, sehingga dikhawatirkan akan menutup dan mengotori sendang jika tidak rutin dibersihkan. Maka oleh warga dahulu dibuatlah atap.

Setelah puas melihat-lihat, kami bergeser ke tempat kedua. Akbar mengatakan bahwa perjalanan tak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba di sana jika melewati jalan belakang rumah warga—alias melipir kali.

Saya tidak tahu jalan, sehingga memilih mengikuti instruksi dari kawan saya satu ini. Namun, ternyata saya cukup menyesal melewati akses jalan tersebut. Bukan hanya sulit dilalui, melainkan juga jalan tersebut telah menjadi tempat untuk membuang sampah berupa popok bayi. Ditambah kumpulan nyamuk saling bergantian menggigit sekujur tubuh kami hingga berbentol-bentol. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Sendang Mbergundung yang sudah tertutup banyak seresah daun bambu/Aldino Jalu Seto

Nasib Menyedihkan Sendang Mbergundung

Wes suwe ra dinggo. Padahal ndhisik aku karo cah-cah kerep nganggo adus. Terakhir aku adus nang kene ki SMP meh munggah SMA (Sudah lama tidak dipakai. Padahal dulu aku dan teman teman sering menggunakannya untuk mandi. Terakhir saya menggunakannya waktu SMP mau naik SMA,” ujar Akbar.

Sewaktu kami sampai di lokasi, kami langsung menggerutu. Bukan karena nyamuk tadi, melainkan kondisi sendang yang sudah mengenaskan. Perkiraan saya soal daun bambu sepertinya benar, karena akhirnya menjadi limbah yang akan mengotori sendang bila sendang tidak diberi atap.

Sendang Mbergundung terbagi menjadi dua bangunan, yaitu kolam terbuka dan kolam tertutup. Secara arsitektur, Sendang Mbergundung berbeda dengan Sendang Kali Nyamplung. Keduanya juga dipisahkan oleh batas administratif dalam rukun tetangga (RT), tetapi fungsi masih tetap sama. 

Bangunan pertama yang saya lihat adalah area sendang terbuka. Kolam ini berbentuk persegi panjang dengan kedalaman kurang dari satu meter. Di sini terdapat mata air dari tanah, atau masyarakat menyebutnya “tuk” dalam bahasa Jawa. Pada salah satu tembok tertulis tahun pembuatan Sendang Mbergundung, yakni 10 November 1988. Menurut cerita Ardha dan Akbar, dulunya kolam ini digunakan untuk mencuci atau sekadar bermain air.

Adapun kolam tertutup sebagai bangunan kedua berbentuk gabungan antara setengah lingkaran dan persegi panjang. Jika dilihat secara sekilas, tinggi dindingnya kurang lebih dua meter dari dasar kolam. Ketika masih beroperasi, masyarakat Desa Cangkringan menggunakan kolam ini untuk berendam.

Sama seperti kolam sebelumnya, terdapat sekat pembatas antara mata air dengan tempat berendam. Fungsinya semata agar mata air tidak rusak. Hanya terdapat sebuah jalan masuk ke kolam ini, yang mana di depan jalan tersebut terdapat sebuah tempat dari batu dekat sungai untuk BAB (buang air besar). Hal ini lumrah dilakukan masyarakat desa seperti saya dulu, apalagi pada masa kejayaan awal pembangunannya.

Dari kedua tempat tersebut, saya menilai jejak peninggalan budaya di desa Cangkringan memang sangat kaya. Potensinya akan petirtaan atau sendang sangat bisa digali lebih dalam. Tidak hanya soal tuk yang menjadi sumber penghidupan warga, tetapi juga mungkin kajian budaya dan sejarah sebagai penemuan atas identitas desa Cangkringan. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/feed/ 0 41620