Alifan Ryan Faisal, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/alifan-ryan-faisal/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 12 Jan 2022 12:43:17 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Alifan Ryan Faisal, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/alifan-ryan-faisal/ 32 32 135956295 Libur Akhir Tahun, Berkunjung ke Danau Linow hingga Bukit Kasih https://telusuri.id/berkunjung-ke-danau-linow-hingga-bukit-kasih/ https://telusuri.id/berkunjung-ke-danau-linow-hingga-bukit-kasih/#respond Wed, 12 Jan 2022 12:43:15 +0000 https://telusuri.id/?p=31958 Bolaang Mongondow Utara, 24 Desember 2021. Kala itu jam menunjukkan pukul 06.00 WITA. Pagi yang datang membawa sang surya mengembang. Sungguh cerah pikirku kala itu. Aku mulai mengemas beberapa pakaian ke dalam daypack kuning. Bersama...

The post Libur Akhir Tahun, Berkunjung ke Danau Linow hingga Bukit Kasih appeared first on TelusuRI.

]]>
Bolaang Mongondow Utara, 24 Desember 2021.

Kala itu jam menunjukkan pukul 06.00 WITA. Pagi yang datang membawa sang surya mengembang. Sungguh cerah pikirku kala itu. Aku mulai mengemas beberapa pakaian ke dalam daypack kuning. Bersama lima sahabatku, yaitu Yadi, Ratna, Baihaqi, Pak Agus dan Pak Emang rencananya akan pergi berlibur sejenak. Menghabiskan 3 hari yang berharga di Kota Tomohon.

Banyak yang menyebutkan bahwa Tomohon dan Manado adalah kota yang memiliki toleransi luar biasa. Maka dari itu, kami ingin tahu bagaimana rasanya menghabiskan malam Natal di kota yang penduduknya merayakannya. 

Kami mulai beranjak pukul 10.00 WITA. Kali ini, Pak Emang yang menjadi tour guide karena beliau asli Manado, sedangkan kami berlima berasal dari Jawa dan Sumatera. Kami berhenti di daerah Lolak pada pukul 11.45 WITA untuk menunaikan salat Jumat sekalian makan siang di Warung Makan Lamongan.

Kami memang sudah beberapa kali mencoba masakan di sana, biasanya aku mencari soto. Meskipun tidak senikmat soto Lamongan di Jawa, namun bagiku sudah cukup untuk mengobati rasa rindu akan tanah Jawa.

Danau Linow
Danau Linow/Alfian Ryan

Matahari Terbenam di Linow

Tujuan pertama adalah Danau Linow. Sebuah danau yang berada di dataran tinggi Tomohon. Rencananya kami akan melewatkan waktu matahari tenggelam dengan secangkir kopi atau teh di atas sana. 

Sesuai harapan, kami tiba disana pukul 16.30 WITA. Matahari masih menggantung di ufuk barat. Kami bergegas masuk ke restorannya setelah membayar tiket masuk kawasan seharga Rp30.000 per orang. Baihaqi dan Pak Agus berinisiatif untuk menukarkan kupon free coffee and tea yang kami dapatkan di loket pembayaran tadi, sedangkan kami berempat sibuk untuk mengeluarkan kamera dan drone yang telah kami bawa. 

Danau Linow
Senja di restoran Danau Linow/Alfian Ryan

Waktu berjalan terasa lebih cepat, beberapa jepretan dan secangkir kopi sudah kuhabiskan. Canda dan tawa saling kami lemparkan dalam lingkaran meja. Tibalah waktunya kami melanjutkan perjalanan menuju Manado. Lebih tepatnya ke wisma karyawan yang berada di sana. Wisma itu menjadi persinggahan ketika karyawan sedang berada di Manado. 

Di sepanjang perjalanan dari Tomohon menuju Manado, suasana malam Misa benar benar khidmat. Semua gereja penuh oleh jemaat. Hiasan pernak pernik Natal ada di mana-mana. Sungguh malam yang penuh suka cita.

Setibanya di Kota Manado, kami pun langsung menuju area Mega Mas untuk mencari santapan malam. Di sana sangat ramai oleh warga yang sedang merayakan malam Natal. Mungkin, hampir semua sudut Manado suasananya sama seperti ini, pikirku.

Selesai dengan makan malam, kami bergegas menuju wisma yang terletak di dalam perumahan Holland Village. Rintik hujan mengiringi kedatangan kami kala itu. Cocok untuk beristirahat sebelum esok menjelajah lagi.

Pagi 25 Desember 2021, aku berelegi

Tentang rintik semalam tadi yang enggan berhenti

Tentang sebuah mimpi yang pernah terucap dalam hati

Serta tentang film Hujan Bulan Juni

Yang  berlatar belakang disini, di kota ini

Kan kususurinya kali ini

Entah melayang di pantai malalayang

Hingga Bukit Kasih yang damai dan tenang

Kan ku rekam dalam ingatan kali ini

Sudut kota yang pernah kau singgahi

Serta janji yang harus tergenapi.

Pagi yang gerimis tak menyurutkan semangat kami untuk bergegas kembali. Tadi aku dan Pak Emang sempat membeli sarapan nasi kuning di tepi jalan. Kemudian, mulailah kami bersiap menelusuri jalanan Manado-Tomohon lagi setelah sarapan kami tunaikan. 

Bukit Kasih, Bukit Toleransi

Perjalanan sekitar 1,5 jam kami tempuh dengan beberapa candaan di dalam mobil. Sebenarnya kami sempat cemas akan cuaca di sana. Namun perasaan tersebut sirna ketika tugu Selamat Datang Kota Tomohon terlewati tanpa tetesan air hujan. “Semesta mendukung,” pikirku kala itu. 

Bukit Kasih menjadi tujuan utama kami. Sebelum memasuki kawasan wisata religi Bukit Kasih, tepatnya di Kecamatan Kawangkoan kami sempat terpukau oleh patung Yesus memberkati setinggi 20 meter.

Belerang di Bukit Kasih
Belerang di Bukit Kasih/Alfian Ryan

Tak perlu berpikir lama, aku segera membuka drone bag. Nahas sekali ternyata aku lupa memasukkan remote control. Rasanya jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir. Udara dingin Tomohon semakin membekukan tubuh ini seakan masih belum percaya akan keteledoranku kali ini. Untungnya sahabatku menenangkan, meskipun sesekali menyindir halus kejadian ini. 

Beberapa menit kemudian, kami pun memasuki loket pembayaran di Bukit Kasih. Harga tiketnya sangat terjangkau, yakni Rp10.000 per orang. Kami disuguhi pemandangan Tugu Toleransi setinggi 22 meter. Tugu itu adalah simbol kerukunan 5 agama yang ada di Indonesia. Sebelum menaiki anak tangga, Ratna tertarik untuk menyewa jasa foto yang ada di sana. Uniknya, bapak itu menawarkan jasa foto dengan burung hantu miliknya. 

Setelah selesai dengan sesi foto, ia menyusul kami untuk menaiki satu per satu anak tangga. Di puncak Bukit Kasih tersebut, terdapat tempat ibadah 5 agama, dan di lerengnya terdapat pahatan berbentuk dua wajah nenek moyang suku Minahasa yakni Toar dan Lumimuut. Udara yang dingin di puncak, serta bau belerang yang sangat tebal, membuat kami segera turun karena ingin menikmati pijat refleksi di salah satu warung di bawah. 

Tugu Perdamaian Bukit Kasih
Tugu Perdamaian di Bukit Kasih/Alfian Ryan

Sesampainya di bawah, kami silih berganti ditawari jasa pijat oleh ibu-ibu terapis. Tak menunggu lama, kami mengiyakan tawaran mereka. Pijat refleksi dengan air belerang ini dibanderol dengan harga Rp25.000 hanya untuk sepasang kaki.

Setelah asyik berpijat dan minum kopi serta makan gorengan hangat, kami pun bergegas mencari makan siang di Kota Tomohon. Cukup susah bagi kami untuk menemukan makanan halal disana.

Udara sejuk Tomohon, serta lalu lalang warga yang silih berganti pulang dari gereja membuat suasana tenang disini semakin akrab. Nampaknya mimpi itu tak hanya ilusi, dan janji pun segera tergenapi.

Setelah kami bersantap siap,  Kota Manado menjadi tujuan selanjutnya. Di hari Natal seperti ini, jalanan dari Tomohon menuju Manado padat merayap, banyak wisatawan yang berkunjung dari luar kota seperti kami.

Kami memasuki kawasan Manado Town Square guna membeli kebutuhan pribadi karena di Bolmut susah untuk mencari barang kebutuhan. Cukup lama kami berada di sana, tak terasa habis waktu tiga jam kami mengelilinginya. Perut pun rasanya semakin berontak menunggu asupan. Kami pun segera keluar dari kawasan Mantos dan mencari makanan yang searah jalan pulang.

Pilihan kami tertuju oleh sate kambing dan gulai. Warung tersebut tidak terlalu besar, namun banyak sekali pengunjung yang mampir untuk mencicipi masakannya. Kalau kata Pak Emang, warung ini sudah menjadi langganan banyak orang. Tak heran jika pesanan kami datangnya agak lama. Namun demikian, rasa yang kami dapat sungguh mengalahkan rasa capek menunggu pesanan. Memang tak salah jika warung ini menjadi langganan banyak orang.

Sesi makan sudah selesai, kini waktunya untuk beristirahat karena besok masih ada agenda yang tentunya butuh kondisi badan yang sehat.

Menutup Hari di Jembatan Ir. Soekarno

Jembatan Ir. Soekarno
Jembatan Ir. Soekarno/Alfian Ryan

Pagi menjelang, hujan pun seperti sudah menjadi rutinitas. Rencananya, kami hanya ingin ke Jembatan Ir. Soekarno dan membeli beberapa buah tangan lalu pulang menuju Bolaang Mongondow. Setelah semua barang terkemas rapi, kami pun langsung menuju area Mega Mas pada pukul 13.00 WITA.

Kami membeli beberapa buah tangan, lalu menuju utara Mega Mas. Untuk sejenak, kami menghabiskan sedikit waktu untuk bersantai di tepi pantai ini. Jembatan Ir. Soekarno pun nampak jelas dari sini.

Mungkin sore akan merenggut matahari dari cakrawala. Berganti malam yang penuh ketenangan, pun kejutan. Saatnya kami menelusuri jarak ratusan kilometer menuju Bolaang Mongondow. Suatu saat nanti akan ada cerita lagi di sela-sela kerjaan yang tak ada habisnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Libur Akhir Tahun, Berkunjung ke Danau Linow hingga Bukit Kasih appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkunjung-ke-danau-linow-hingga-bukit-kasih/feed/ 0 31958
Mendaki Gunung Ungaran dari Jalur Perantunan https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-dari-jalur-perantunan/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-dari-jalur-perantunan/#respond Mon, 15 Mar 2021 22:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27400 Sudah setahun ini dunia tersibukkan oleh pandemi COVID-19, nggak berasa ya. Di Indonesia sendiri, beberapa waktu lalu, rem darurat kembali ditarik, segala macam aktivitas yang berpotensi membuat kerumunan dibatasi. Seiring dengan itu, kita juga perlahan...

The post Mendaki Gunung Ungaran dari Jalur Perantunan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah setahun ini dunia tersibukkan oleh pandemi COVID-19, nggak berasa ya. Di Indonesia sendiri, beberapa waktu lalu, rem darurat kembali ditarik, segala macam aktivitas yang berpotensi membuat kerumunan dibatasi. Seiring dengan itu, kita juga perlahan mulai beradaptasi dengan segala bentuk protokol kesehatan yang ada. Termasuk pada sektor pariwisata yang belakangan ini mulai bangkit perlahan, mulai membuka diri untuk wisatawan, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Pendakian Gunung Ungaran kembali dibuka. Namun, tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan. Di basecamp pendakian Gunung Ungaran, Perantunan, para pendaki wajib menyerahkan surat kesehatan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin pendakian. Selain itu, jam operasional basecamp ini diperpendek, jumlah pendaki dibatasi, dan dilakukan pembatasan kapasitas tenda. Tak apa, toh tujuannya untuk keselamatan bersama.

pendakian gunung ungaran perantunan
Area Camp Ground Basecamp Perantunan/Alifan Ryan Faisal

Mendaki Gunung Ungaran dari Perantunan

Jalur pendakian melalui Perantunan ini tergolong baru. Mulai dibuka pada September 2019 lalu dan terjeda oleh pandemi di tahun 2020, membuat jalur Perantunan tergolong sepi pengunjung.

Di awal tahun ini, Gunung Ungaran melalui jalur Perantunan menjadi gunung pertama yang aku daki bersama 2 temanku, Dani dan Arijal. Rencana ini bermula ketika Sabtu pagiku disapa oleh Gunung Ungaran dari samping rumah. Seketika itu aku mengajak mereka untuk tektok dari Perantunan. Tanpa basa basi, mereka mengiyakan ajakanku untuk berangkat dini hari nanti.

Singkat cerita, kami berangkat hari minggu pukul 03.00 WIB. Sebelum sampai di basecamp, kami menyempatkan untuk sarapan bubur koyor langganan di perempatan pasar Bandungan. Setelah mengisi perut, kami langsung menuju basecamp untuk registrasi. Cukup dengan membayar Rp15 ribu per orang, dan Rp4 ribu untuk parkir per motornya. Tempat parkir terlihat sepi, mungkin orang – orang sekitar sini masih betah untuk tidak bepergian, terlebih mendaki Gunung Ungaran dari jalur Perantunan ini. 

Waktu menunjukkan pukul 04.39 WIB. Perjalanan pun kami mulai setelah menunaikan sholat subuh di mushola kecil yang terletak sebelum gerbang pendakian. Kami berjalan santai meskipun masing-masing dari kami hanya membawa tas daypack. Toh untuk apa terburu buru, justru tidak ada yang dinikmati ketika semua hal dilakukan dengan ketergesa – gesaan.

Di sepanjang perjalanan tidak ada satupun pendaki yang kami temui hingga Pos 4. Hanya dua orang warga yang terlihat membawa senapan angin. Sepertinya mereka adalah warga lokal yang sering memburu di area Gunung Ungaran.

Di Pos 4, kami akhirnya bertemu oleh rombongan pendaki dari Purwodadi. Kami saling menyapa dan memberikan semangat. “Dari mana Mas?” Tanya Arijal kepada salah satu leader mereka. “Purwodadi, kalau Mas dari mana?” Tanya dia balik. “Dekat sini aja Mas, Karangjati. Ini rombongan berapa orang Mas? Banyak sekali kayaknya.” Tanya Dani ganti. “18 orang ini Mas, hehehe.” Jawab dia lagi. “Yaudah kami duluan ya Mas, mari.” Kataku sembari memposisikan daypack supaya lebih nyaman dikenakan. “Iya mas, mari, nanti ketemu di atas Mas.” Sahut mereka bersamaan.

Perjalanan pun kami lanjutkan menuju Puncak Bondolan.

Menuju Puncak Bondolan dan Puncak Botak

Perlahan mentari mulai menampakkan rautnya. Sedangkan kami  masih berada di tengah hutan dengan vegetasi yang rapat. Mungkin 15 – 20 menit lagi sampai di Puncak Bondolan pikirku. Kami memang tidak mengejar sunrise ataupun puncak. Sampai di sabana pun sudah cukup bagi kami, yang terpenting bisa pulang sampai rumah dengan selamat.

Kami memang sudah beberapa kali menapaki puncak Gunung Ungaran, namun melalui jalur lain. Toh rumah kami dekat, jadi masih bisa sering kesini kalau ada waktu luang, gunungnya nggak akan pindah kemana-mana.

Di sepanjang perjalanan, kami sangat menikmati trek yang dilewati. Sungguh Jalur ini cukup membuat kami takjub. Dengan jarak tempuh yang lebih singkat, vegetasi yang masih cukup rapat, hingga sabananya yang membuat siapapun ingin berlama lama di sana. Kami sangat bersyukur tidak ada hujan yang menghampiri kami kala itu.

Setelah melewati 2 punggungan sabana, sampailah kami di Puncak Bondolan atau sering disebut dengan Sunrise Camp. Disana terdapat sekitar 10 tenda yang berdiri. Ini adalah tempat favorit mendirikan tenda sebelum summit saat dini hari. Sayangnya, suasana ramai sekali kala itu. Ada beberapa rombongan yang memainkan gitar, ada pula yang memutar musik melalui music box. Tak ada ketenangan yang kutemukan.

Untuk itu, kami melanjutkan perjalanan ke atas lagi. Entah akan sampai di mana, kami tidak menargetkan. Memang hanya butuh waktu sekitar 38 menit untuk sampai di Puncak Botak (2050 mdpl), namun kalau kondisinya ramai juga ya sama saja.

Di tengah perjalanan antara Puncak Bondolan dan Puncak Botak, kami menemukan tempat yang cukup untuk memasang flysheet dan menggelar matras. Berada di tepi jalur yang agak lebar, disebelah batu besar, disitulah kami beristirahat. Kala itu pukul 06.43 WIB, artinya waktu tempuh dari basecamp hingga tempat dimana kami beristirahat ini sekitar 2 jam perjalanan. 

Tak menunggu lama, kami pun mengeluarkan alat masak setelah flysheet dan matras terpasang. Sesi masak memasak ini kami jadikan waktu untuk quality time. Banyak obrolan yang kami perbincangkan saat itu. Entah gibahin orang hingga candaan yang frontal ada dalam lingkaran pagi itu.

Selesai dengan cemilan, obrolan, dan makanan, kami menyempatkan diri untuk menikmati suasana di sekitar tempat berteduh. Meskipun sesekali berkabut, namun ada beberapa momen yang memperlihatkan bersihnya langit pagi itu. Indah sekali saat sesekali awan turun, menggulung seperti ombak di laut lepas. Terlihat sangat jelas lanskap Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, hingga Lawu.

“Menjemput temu, di ujung penantian. Ketika aku dan kamu, di dataran tinggi Ungaran. Jumpa pertama, membungkam semua kata. Seolah dibisukan oleh pertemuan. Hingga aksara yang telah terangkai mendadak berhenti terkagum perangai. Dan jika sebenar – benarnya tualang telah usai, maka rumah lah yang menjadi tempat kembali. Namun, rerimba semesta masih kuat tuk mendekap, menenenggelamkan dan memerangkap apa apa yang ada di dalamnya. Kau yang baru saja mulai langkah tuk menggapai arah, sedang aku harus menuju rumah, tak hanya singgah.” Kala itu aku duduk di atas bebatuan, dan sebuah tulisan singkat selesai ku tulis di catatan ponselku.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, dan kami kembali ke dalam naungan flysheet. Rencananya kami akan memejamkan mata sejenak sebelum turun menuju basecamp. Satu jam ternyata tidak terasa, saatnya kami memasukkan kembali barang dan perlengkapan ke dalam tas. Setidaknya badan sudah kembali fit lagi untuk melakukan perjalanan pulang.

Turun kembali ke Basecamp Perantunan

Tepat pukul 10.24 WIB, kami pun berdoa sebelum berjalan kembali. Suasana perjalanan masih sepi. Ternyata, pandemi ini bisa dilihat sisi baiknya juga ya, pikirku. Alam memperbaiki diri, dan kami bisa menikmati perjalanan dengan tenang, tak terlalu ramai, tak ada suara gaduh. Mungkin peraturan yang cukup ribet untuk sebagian orang ini secara nggak langsung menyaring siapa saja yang benar-benar ingin mendaki. Karena menurutku, mendaki gunung itu pada dasarnya adalah perjalanan spiritual. Dan gunung akan kehilangan esensinya ketika di jalur pendakian padat merayap.

Perjalanan pulang pun terasa sangat menyenangkan. Kami ditemani awan yang menggulung-gulung dengan indah, vegetasi yang lebat, hingga perkebunan warga yang tidak bisa kami lihat ketika perjalanan naik dini hari tadi.

Tak terasa, satu jam perjalanan sudah kami tempuh. Pukul 11.36 WIB kami sampai di Basecamp Perantunan. Kami menyempatkan untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Mungkin suatu saat nanti akan aku ulangi lagi perjalan seperti ini, tak terencana namun terlaksana. 

The post Mendaki Gunung Ungaran dari Jalur Perantunan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-dari-jalur-perantunan/feed/ 0 27400
Titip Sebuah Rindu di Gunung Merbabu https://telusuri.id/titip-sebuah-rindu-di-gunung-merbabu/ https://telusuri.id/titip-sebuah-rindu-di-gunung-merbabu/#respond Thu, 03 Dec 2020 10:14:08 +0000 https://telusuri.id/?p=25686 Rindu tercipta karena adanya sebuah perpisahan, dan bertemu adalah cara terbaik untuk mengobatinya. Kala itu, Oktober 2018 aku berada di ujung kebosanan. Mungkin pekerjaan yang terlalu menyita sebagian besar waktuku. Jika diingat ingat, sudah lama...

The post Titip Sebuah Rindu di Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Rindu tercipta karena adanya sebuah perpisahan, dan bertemu adalah cara terbaik untuk mengobatinya. Kala itu, Oktober 2018 aku berada di ujung kebosanan. Mungkin pekerjaan yang terlalu menyita sebagian besar waktuku. Jika diingat ingat, sudah lama aku tidak mendaki gunung.

Adalah Zulma, sahabat dari Jogja yang mengajakku mendaki kali ini. Kami memang sudah merencanakannya ketika bertemu di Jogja sebulan sebelum pendakian. Kalau diingat-ingat, pendakian Gunung Sindoro tahun 2015 adalah terakhir kalinya aku mendaki bersamanya. Setelah itu tak ada pendakian bersama selanjutnya karena kesibukan masing-masing.

Kali ini kami akan mendaki Gunung Merbabu melalui jalur Gancik. Meski sudah pernah menapaki Puncak Kenteng Songo, namun rasanya, Merbabu mempunyai daya tarik yang membuat siapapun rindu untuk menapakinya lagi. Kami memutuskan untuk kembali.

Personil kami tambahkan 2 orang, Bang Rosso dari Solo— anggota Backpacker Joglosemar, dan Rosyid sahabatku dari Semarang, sama sepertiku. Sabtu pagi, kami menyempatkan untuk sarapan di pasar Selo. Sembari menunggu Zulma dan Bang Rosso yang belum datang, aku berkeliling pasar untuk membeli kebutuhan logistik. Tak lama kemudian, mereka tiba untuk menyapa kami. Usah membereskan urusan logistik di pasar, kami segera menuju Basecamp Mas Andi Gepenk. Setibanya di sana, terlihat tidak ada pendaki lain selain kami berempat.

Mas Andi menyambut kami dengan ramah, terlebih beliau sudah mengenal baik beberapa teman kami dari anggota Backpacker Joglosemar. Beliau menyuguhkan teh panas dan beberapa camilan untuk dihidangkan kepada kami disela-sela kesibukan kami saat mempersiapkan perbekalan. Setelah mengisi Simaksi, kami berdoa dan pamit kepada mas Andi. Dan perjalanan pun dimulai.

Gunung Merbabu
Jalur pendakian di tengah ladang warga/Alifan Ryan

Di awal pendakian, kami melewati beberapa rumah penduduk dan hamparan perkebunan warga. Cukup luas, membentang di kanan kiri jalan. Beberapa tukang ojek menawarkan diri untuk mengantarkan kami hingga Gancik Hill, namun kami menolaknya secara halus karena kami tidak mengejar waktu.

Tiba di Gancik Hill, kami istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pos 1. Dari ini, medan tanah landai menyambut. Sisi kanan dan kiri penuh dengan vegetasi pepohonan pinus. Perjalanan ini kurang lebih kami tempuh selama dua jam.

Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan canda tawa dan saling melempar semangat. Primadona di rombongan kami untungnya tak terlalu manja, mungkin karena sudah terbiasa mbolang, pikirku.

Setelah menghisap sebatang rokok lintingan saat beristirahat di Pos 1, perjalanan kami lanjutkan dengan posisi aku berada di urutan paling belakang, Zulma di depanku, dan Bang Rosso menjadi leader kami. Beberapa kali kami rehat untuk mengatur kembali nafas yang tersengal, dan menyamakan ritme agar jarak tidak terlalu jauh. Dua jam berlalu, kami pun tiba di Pos 2. Matras digelar, kami pun melaksanakan kewajiban beribadah dan makan siang. Tak terasa, waktu menunjukkan 13.00 WIB.

Langit terlihat mendung, matahari siang pun tak mampu menembus awan. Wajar, musim hujan pikirku. Setelah perut terisi karbo dari roti dan camilan, kami lanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Sesampainya di sana, kami disambut oleh gerimis yang semakin lama datang mengajak gerombolannya. Jas hujan menjadi pelindung sepanjang perjalanan ini. Dan akhirnya, kami bertemu dengan pendaki lain yang datang dari jalur Selo. Perjalanan terasa menyenangkan meski berjalan di bawah guyuran hujan yang sebentar reda sebentar datang.

Bermalam di Sabana 1

Beruntungnya, hujan reda setelah kami tiba di Sabana 1 yang berketinggian 2770 mdpl. Tenda didirikan di sebelah timur jalur pendakian dengan harapan bisa menikmati sunrise esok hari. Dua buah tenda berdiri tegak dan saling berhadapan dengan flysheet sebagai penyatunya. Memasak dan meracik kopi menjadi kegiatan seru sore itu. Ini adalah momen yang paling aku sukai ketika berada di perjalanan, terutama di gunung. Sayangnya tidak ada tetangga yang kami ajak bercengkrama, kebanyakan pendaki mendirikan tenda di sebelah barat jalur pendakian. Namun, kalau dipikir-pikir, kami jadi lebih akrab dan saling melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.

Petang datang tanpa senja yang menjadi aba-aba. Hanya guratan merah samar-samar terlihat. Maghrib dan isya’ sudah kami tunaikan. Dan malam pun terasa khidmat ketika yang ada hanya suara deru angin. Dingin memaksaku keluar tenda dan menyeduh kopi, baru saja kompor kunyalakan, teman pendakianku menyusul dan bergabung di muka tenda yang berlangitkan flysheet.

Bulan mulai menampakkan rautnya ketika malam menjelang larut. Kami berempat mulai memasuki tenda. Satu tenda lain digunakan untuk menaruh barang dan logistik. Sayangnya, kami ceroboh dan lupa menutup tenda logistik. Alhasil, seekor Luwak berhasil merampas sebagian makanan kami. Kami menyadarinya ketika suara gemuruh mengganggu tidur. Dan saat kubuka tenda, luwak tersebut lari dengan membawa hasil curiannya. Apes sudah.

Gunung Merbabu
Sunrise Dari Sabana 1/Alifan Ryan

Kami pun melanjutkan istirahat dan bangun sebelum matahari muncul. Kami tunaikan dua rakaat, sebelum pada akhirnya kami mencari spot sunrise. Puas dengan matahari terbit, kami bergegas membuat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.

Menuju puncak Gunung Merbabu

Pagi sangat cerah. Gunung Merapi terlihat gagah di belakang kami. Sabana 2 terlewati, dan ternyata banyak pendaki yang mendirikan tenda di sana. Ritme langkah dua temanku semakin cepat. Karena disamping beban hanya logistik, mereka belum pernah mencapai puncak. Sedangkan aku dan Zulma memilih untuk berjalan santai. Sampai puncak ya syukur, tidak sampai ya tidak masalah.

Berkali-kali kami rehat di jeda perjalanan. Zulma bahkan sempat tertidur pulas di tepi jalur pendakian. Dan aku menunggunya sembari memakan kentang yang sudah kurebus tadi pagi. Kaki kami langkahkan kembali, dan tak terasa dua jam perjalanan kami lalui. Sampailah kami di Puncak Triangulasi  3142 mdpl dan bertemu dengan dua sahabatku.

Puncak Gunung Merbabu
Puncak Gunung Merbabu/Alifan Ryan

Kami beristirahat dan membuka tas logistik demi kepentingan perut. Aku bahkan menyempatkan untuk menghisap rokok lintinganku, tembakau Madura yang kubeli dari salah seorang temanku. Sebelum turun ke camp ground lagi, kami menyempatkan untuk berfoto sebagai kenang-kenangan. Kulihat Zulma mengambil karung bekas yang berada di pinggiran puncak, sembari turun, kami memunguti sampah yang berada di jalur pendakian.

Di camp ground, kami memasak dan mengisi “bahan bakar” untuk perjalanan selanjutnya—turun ke basecamp. Aku mencoba merekam apapun yang ada di sini, udaranya, suasananya, serta orang-orangnya. Rasanya waktu berjalan lebih cepat, semuanya semakin cepat berlalu.

“Mencumbu Merbabu di ujung kisah. Menuntaskan temu di ujung pisah. Dalam senyumanmu yang selalu merekah. Anggun terbalut jaket merah. Semesta, bisakah kau ulur waktu sebentar. Agar rindu ini tak lagi terlantar. Bisakah kau buat biasa saja. Seperti pertama kali kunikmati senja. Bersamanya, di dataran tinggi Jogja.”

Afilian Ryan

Perjalanan turun yang kami lalui terasa sangat santai, penuh dengan cerita dan beberapa canda tawa. Dan sesekali mengambil sampah yang berserakan di jalur pendakian dan memasukkan ke dalam trash bag yang dibawa. Dan tak terasa, semua obrolan dan candaan mengantarkan kami sampai di basecamp.

Tepat pukul 15.00 WIB, kami rebahkan sejenak tubuh ini di rumah Mas Andi. Sebelum pada akhirnya kami mandi dan menunaikan Shalat Ashar. Cukup lama kami berada di rumah beliau, berbincang-bincang dengan Mas Andi dan keluarganya sebelum akhirnya memutuskan untuk berpamitan meskipun rasanya masih ingin berlama-lama di sana.

Kami benar-benar menikmati tiap detik yang berdetak. Karena apa yang terjadi hari ini, pasti akan kami rindukan di suatu saat nanti. Mungkin hanya lewat bingkai foto, atau beberapa potongan video. Sebuah perjalanan bersama sahabat lama, serta sahabat yang pernah menjadi sangat spesial. Kutitipkan lagi sebuah rindu ini di Merbabu. Entah esok atau kapan, akan kujemput rindu itu dalam sebuah pertemuan. 

The post Titip Sebuah Rindu di Gunung Merbabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/titip-sebuah-rindu-di-gunung-merbabu/feed/ 0 25686
Wingko Babat, Rumah Singgah, dan Kenangan-kenangan Lain di Lombok https://telusuri.id/wingko-babat-rumah-singgah-dan-kenangan-kenangan-lain-di-lombok/ https://telusuri.id/wingko-babat-rumah-singgah-dan-kenangan-kenangan-lain-di-lombok/#respond Wed, 25 Nov 2020 14:14:05 +0000 https://telusuri.id/?p=25538 Ini adalah cerita pengalaman pertamaku ke Lombok. Waktu itu, Juli 2017, aku mengambil cuti dua minggu. Rencana itu sudah tertata rapi dari akhir Maret. Tiket kereta api, tiket pesawat untuk pulang, penginapan, dan sewa motor...

The post Wingko Babat, Rumah Singgah, dan Kenangan-kenangan Lain di Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah cerita pengalaman pertamaku ke Lombok. Waktu itu, Juli 2017, aku mengambil cuti dua minggu. Rencana itu sudah tertata rapi dari akhir Maret. Tiket kereta api, tiket pesawat untuk pulang, penginapan, dan sewa motor pun sudah aku pesan dari jauh hari. Sebenarnya aku lebih menyukai perjalanan darat dan terbiasa dengan kereta api, mungkin karena bisa lebih leluasa berkelana. Namun supaya bisa tenang menyongsong akhir liburan, aku memesan tiket pesawat untuk pulang.


Pagi itu aku diantarkan udara pagi memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Aku membawa sejumlah barang termasuk lima bungkus wingko babat titipan dari temanku di Semarang yang bernama Daeng. Dia minta tolong untuk menyampaikan wingko babat itu ke teman kerjanya di Gili Trawangan.

Aku menghabiskan waktu selama di kereta dengan membaca buku, mendengarkan musik dari ponsel, dan minum kopi di gerbong restorasi. Sesekali aku berbincang dengan bapak-bapak yang duduk di sampingku atau dengan dua remaja putri yang duduk di depanku.

Peron Stasiun Lempuyangan/Alifan Ryan Faisal

Sekitar pukul 22.00 WIB sampailah aku di Stasiun Ketapang setelah menempuh perjalanan selama enam belas jam. Dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang aku jalan kaki sekitar sepuluh menit kemudian menyeberang naik feri sekira setengah jam. Di luar Pelabuhan Gilimanuk, bus Bahagia tujuan Padangbai sudah menunggu. Dalam perjalanan sekitar empat jam itu aku lebih banyak tidur.

Setiba di Pelabuhan Padangbai, sekitar pukul 6.00 WITA, aku sudah ditunggu temanku yang bernama Surya. Dia putra asli Bali yang sebelumnya sudah bikin janji denganku untuk mengitari Lombok bersama. Sebelum masuk terminal keberangkatan pelabuhan, kami cari sarapan dulu. Di kios milik seorang ibu, kami makan sego tempong, makanan berisi sayuran yang sudah direbus, gorengan tahu dan tempe, serta lauk sederhana seperti ikan dan ayam goreng, dan dibungkus daun pisang.

Tak lama setelah makan, segera kami memasuki area dermaga dan bersiap memasuki feri. Kami menikmati perjalanan di dek dekat buritan. Penyeberangan selama empat jam itu kami habiskan untuk bercerita, entah tentang perjalanan, kopi, atau pekerjaan. Setiba di Pelabuhan Lembar, kami langsung menuju Mataram menggunakan angkot. Di Mataram kami akan menyewa motor milik Pak Hamdan guna berkeliling Lombok. Awalnya aku ingin singgah di Rumah Singgah Lombok di Jalan Bangil, Mataram. Namun, karena mesti segera mengantarkan wingko babat, aku menunda rencanaku dan langsung menuju Gili Trawangan setelah mendapatkan motor sewaan.

Dermaga Gili Trawangan/Alifan Ryan Faisal

Perjalananku sudah berlangsung selama tiga puluh satu jam ketika menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Aku pun menelepon pemilik wingko babat itu, yaitu Kak Tita, namun nomornya sedang tidak aktif. Mungkin baterainya habis, pikirku. Lalu, tanpa pikir panjang aku dan Surya langsung menuju penginapan yang sudah kupesan melalui aplikasi daring. Setelah beres dengan check-in, aku pun langsung merebahkan tubuh di kasur. Aku terlelap hingga pukul 17.00 WITA. Begitu bangun, kuajak Surya ke pantai bagian barat untuk menikmati matahari tenggelam. Kami menyewa sepeda dari penginapan dengan biaya Rp70.000 per 24 jam. Kami menikmati tiap sudut Gili Trawangan, lalu berhenti di sebuah tempat dan bersantai di bean bag. Banyak turis lokal dan mancanegara yang juga bersantai seperti kami. Tak sedikit pula yang berfoto di ayunan tepi laut.

Jingga pun kian pudar, berganti hitam dengan jutaan kerlip bintang di langit. Kami pun kembali ke penginapan guna mengambil telepon genggamku yang tertinggal. Aku mencoba lagi menghubungi nomor Kak Tita, namun masih tak ada hasil.

“Dah, nyari makan aja, yuk? Laper banget ini,” ajak Surya.

“Yuk, lah. Siang juga belum makan kita,” sahutku.

Sepeda sewaan/Alifan Ryan Faisal

Selesai makan di warung makan depan penginapan, kami menghabiskan malam di tepi pantai sambil melihat dari kejauhan Party Tonight yang diadakan di Sama Sama Reggae Bar. Kami kembali ke penginapan pukul 01.00 WITA. Kak Tita masih belum bisa dihubungi. Mungkin besok pagi bisa bertemu, pikirku.

Pagi menjelang, harapan baru pun datang. Kubuka ponselku. Ternyata ada beberapa panggilan masuk dan sebuah pesan singkat dari Kak Tita. Isinya permintaan maaf sebab nomornya tidak aktif. Ponselnya jatuh di pantai dan mati terkena air laut, katanya. Singkat cerita, dia mengajak bertemu pukul 11.00 WITA di Juku Marlin, sebuah kafe dekat dermaga Gili Trawangan.

Pagi itu kami sempatkan untuk memasang hammock demi menikmati matahari terbit di ujung timur pulau. Lalu kami bersepeda mengitari Gili Trawangan, sebelum akhirnya sarapan di penginapan. Kami mencoba menikmati sarapan kali ini sebab siang nanti kami sudah tidak berada di Gili Trawangan lagi. Kami juga sempat meracik kopi di dapur. Usai bersantai, kami berkemas, check-out, lalu bergerak ke Juku Marlin.

Di Juku Marlin Kak Tita sudah menunggu.

“Kak Tita, ya?” sapaku.

“Iya. Ini Ivan dari Semarang pasti?” tebaknya.

Setelah menyerahkan wingko babat, kami diajak menyantap sajian istimewa yang rupanya sudah dibayar oleh Kak Tita.

Santapan siang di Juku Marlin/Alifan Ryan Faisal

“Terima kasih, lho, Van, wingko babatnya. Aku suka banget oleh-oleh satu ini,” ujar Kak Tita. “Tiap kali Daeng pulang pasti aku nitip ke dia.”

“Oh, iyakah? Besok kalau ke sini lagi saya bawain, Kak,” jawabku.

“Siap, Van. Kabar-kabar, ya,” sahut Kak Tita sambil mencicipi wingko babatnya.

“Beres, Kak. Terima kasih juga jamuannya kali ini,” balasku.

Perutku terasa sangat penuh. Siang pun semakin terik. Setelah mengobrol panjang, tepat pukul 14.00 WITA aku dan Surya pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Mataram. Rencananya kami akan ke Rumah Singgah Lombok.

Setiba di daratan Lombok, kami mengambil motor di tempat parkir. Dalam perjalanan ke Mataram, kami singgah di Pantai Setangi di utara Senggigi. Pantai itu sepi. Hanya ada beberapa pengunjung dan seorang pedagang bakso keliling di sekitar pantai. Kupasang ayunan di dekat tebing, bersebelahan dengan sepasang suami-istri muda yang sedang bersantai. Kami berkenalan dengan pasangan itu. Mereka ternyata dari Tangerang, sedang liburan di Lombok. Sang suami bernama Andre, istrinya Ana.

Pantai Setangi/Alifan Ryan Faisal

Lalu aku keluarkan kompor lapangan dan sebungkus kopi. Surya membantuku menggiling biji kopi Arabika dari Gunung Ungaran itu. Melihat kami sedang menyeduh kopi, Pak Andre tertarik. Rupanya ia punya kedai kopi di Tangerang. Kami pun mengobrol banyak tentang kopi dan hal-hal lain yang terkait. Ia menceritakan keinginannya membuka cabang kedai kopinya di Lombok, entah kapan. Tak kuduga, ternyata ia menyukai kopi buatan Surya. Ia pun memintaku mengirimkan sampel ke Tangerang nanti setelah aku tiba di Semarang.

Jam empat sore, Pak Andre dan Bu Ana pamit. Mereka hendak ke Gili Trawangan, tempat mereka akan menginap selama tiga hari ke depan. Aku dan Surya memilih menunggu matahari tenggelam di Pantai Setangi. Sesaat setelah matahari terbenam, kami pun meluncur ke Mataram.


Kami tiba di Rumah Singgah Lombok milik Bapak Ichsan dan Mamak Baiq ketika Mamak Baiq baru saja selesai memasak. Kami diajak makan bersama penghuni rumah. Mamak juga membikinkan kopi untuk kami. Makanan dan kopi itu benar-benar nikmat.

“Kalian berdua cuma semalam aja tinggal di sini?” tanya Bang Iyus, salah seorang tuan rumah, ketika kami mengobrol santai.

“Iya, Bang. Rencana tiga hari ke depan kami akan tinggal di daerah Kuta,” Jawab Surya.

“Oh, gitu. Oh, iya, itu Bang Arif Bandung juga mau ke Pantai Selong Belanak besok pagi. Bareng aja kalian,” balasnya.

“Oh, iyakah? Bagus, deh, kalau ada barengan,” sahutku. “Besok sebelum pulang ke Semarang kami mampir sini lagi, deh, Bang.”

Baru beberapa hari menginjakkan kaki di Pulau Lombok, sudah banyak pengalaman berharga yang kudapatkan. Aku juga dipertemukan dengan orang-orang baik yang dari mereka aku bisa mendapat cerita menarik dan ilmu yang bermanfaat serta nuansa hangat.

Malam belum habis, begitu pula cerita-cerita sekumpulan “buku hidup” berjudul Pejalan itu. Namun aku mesti segera menuju rehat sebagai persiapan memulai sebuah cerita baru.

The post Wingko Babat, Rumah Singgah, dan Kenangan-kenangan Lain di Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wingko-babat-rumah-singgah-dan-kenangan-kenangan-lain-di-lombok/feed/ 0 25538
Danau Rawapening Semasa Corona https://telusuri.id/danau-rawapening-semasa-corona/ https://telusuri.id/danau-rawapening-semasa-corona/#respond Thu, 05 Nov 2020 17:30:44 +0000 https://telusuri.id/?p=25020 Sebagian besar tujuan wisata di Kabupaten Semarang telah membuka diri dengan menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat, seperti yang telah disuarakan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang lewat akun Instagram dan situs web resminya. Sore itu tepat...

The post Danau Rawapening Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagian besar tujuan wisata di Kabupaten Semarang telah membuka diri dengan menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat, seperti yang telah disuarakan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang lewat akun Instagram dan situs web resminya.

Sore itu tepat pukul 15.00 aku masih berada di Salatiga. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, rasanya penat sekali. Lalu aku mengemas beberapa barangku ke dalam tas jinjing kemudian bergegas pulang ke rumah.

Di tengah perjalanan, aku memandang ke barat. Kulihat langit begitu bersih, matahari masih menggantung tak terlalu tinggi. Mungkin hujan seharian tadi yang menyapu awan di langit. Entah kenapa, tanpa pikir panjang aku membelokkan sepeda motorku setelah Jembatan Tuntang. Itu adalah jalan alternatif dari Tuntang menuju Ambarawa. Di Dusun Sumurup, aku memasuki gang yang kanan-kirinya adalah rumah warga, salah satu pintu menuju Danau Rawapening.

Biasanya, banyak orang yang datang sore hari seperti ini guna menyaksikan matahari terbenam. Entah sudah berapa jumlah manusia yang melihat matahari terbenam dari sini. Sejak zaman dulu, sebelum masa wisata, danau ini sudah menghidupi banyak manusia, yang lalu melahirkan banyak mitos dan legenda, semisal Baru Klinting.

Lalu kutaruh motorku di lahan parkir yang hanya setengah penuh itu. Jam di pergelangan tangan kiriku memberi tahu bahwa ini masih pukul 16.00. Segeralah aku menuju sebuah warung makan apung yang berada di tepian danau. Aku memesan kopi dan mengambil beberapa gorengan untuk camilan. Warung ini juga menyewakan perahu untuk para nelayan atau pengunjung yang ingin berkeliling danau. Harga sewanya cuma antara Rp15.000-50.000 tergantung jenis perahunya.Tapi, orang-orang yang sedang memancing di sana tampaknya tak berminat menyewa perahu, hanya ingin mencari ikan di tepian.

Di depan warung apung itu terbentang rel kereta peninggalan masa kolonial. Sekarang rel itu hanya dilewati kereta api wisata. Ada dua rute kereta api wisata lawas yang dapat dipilih, yakni Stasiun Ambarawa-Tuntang dan Stasiun Ambarawa-Bedono, membelah area persawahan, Danau Rawapening, sambil melihat gunung-gunung di Jawa Tengah seperti Merbabu, Telomoyo, Ungaran, Sindoro, dan Sumbing. Jika tak ada kereta wisata yang melintas, rel ini dimanfaatkan masyarakat untuk membawa rumput untuk pakan ternak atau eceng gondok sebagai bahan kerajinan.

Sudah pukul 16.45. Para nelayan dan pengunjung yang berkeliling danau silih berganti menyandarkan perahu. Dengan raut muka lelah mereka berbondong-bondong menuju rehat. Nelayan tak sebanyak hari-hari sebelum pandemi, mungkin karena adanya pembatasan jumlah pengunjung. Atau mungkin orang-orang memang membatasi diri untuk tidak bepergian di masa corona ini.

Sebelum senja tanggal, aku segera membayar kopi dan gorenganku, lalu menuju rel kereta api. Dari sini memang matahari menjelang pamit memang tampak indah. Kulihat lalu-lalang para pengunjung, nelayan, dan kerumunan bebek sedak digiring pulang pemiliknya, juga burung-burung yang terbang rendah di atas danau. Rutinitas senja yang sibuk.

Kuambil buku kecil dari dalam tas yang juga kecil, lalu kutulis ini:

“Pulanglah, petang telah mengambang di ujung barat. Segera bawa kakimu menuju rehat, karena hari ini tualangmu telah usai. Lekas bergegas sebelum sore semakin tandas dalam malam yang jatuh dengan damai, sedamai kala rumah telah kau jamah, dengan senyuman terkasih yang memanggil lirih. Menjemput pulangmu, memeluk rindumu.”

Matahari pun telah habis tenggelam dengan sempurna, menyisakan mega merah yang menggantung di langit. Beberapa orang masih sibuk berfoto. Ada pula yang masih berbincang dengan sahabat-sahabatnya menjemput malam. Sisanya memutuskan untuk pulang. Aku menjadi bagian dari sisanya. Bergegas kumasukkan buku dan ponsel ke dalam tas, lalu aku berjalan menuju tempat parkir.

Sayup-sayup terdengar suara azan Magrib berkumandang. Segeralah aku pulang.


Foto: Alifan Ryan Faisal

The post Danau Rawapening Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/danau-rawapening-semasa-corona/feed/ 0 25020
Kopi, Pejalan, dan Lembayung Bali https://telusuri.id/kopi-pejalan-dan-lembayung-bali/ https://telusuri.id/kopi-pejalan-dan-lembayung-bali/#respond Mon, 26 Oct 2020 06:40:32 +0000 https://telusuri.id/?p=24740 Sore itu, 14 Juli 2019, aktivitas pekerjaan tentang kopi telah kami rampungkan sebelum petang. Lalu menujulah kami mencari ketenangan dalam balutan senja. Karena Pantai Kuta yang menjadi tujuan semula ternyata ramai sekali, kami pun beralih...

The post Kopi, Pejalan, dan Lembayung Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore itu, 14 Juli 2019, aktivitas pekerjaan tentang kopi telah kami rampungkan sebelum petang. Lalu menujulah kami mencari ketenangan dalam balutan senja. Karena Pantai Kuta yang menjadi tujuan semula ternyata ramai sekali, kami pun beralih ke Pantai Berawa. Jaraknya tak terlalu jauh dari Kuta dan suasananya pun lebih enak karena tidak terlalu ramai.

Garis pantai dengan pasir putih bersih beradu dengan ombak yang berarak, memantulkan cahaya keemasan dari matahari yang kian terbenam. Sungguh perkawinan yang indah.

Dan aku pun beranjak ketika senja tergantikan oleh petang, bersama temanku, Rosyid, dan rekan kerja kami, Bu Metha. Bu Metha adalah seorang pengusaha asli Indonesia dan bisnis kopi adalah salah satu yang ia kerjakan. Selain melancong sampai ke berbagai negara, ia juga hobi menyelam hingga punya lisensi dive master. Kunjunganku bersama Rosyid ini adalah undangan darinya guna mengirimkan sampel kopi. Segala akomodasi dan pengeluaran pun ditanggung oleh dirinya.

Lalu kami pun menuju Jalan Dewi Sri untuk mencari santapan malam. Pilihan kami waktu itu adalah soto Medan. Seusai makan kami kembali ke penginapan di Jalan Nakula, Casa Dasa Legian Hotel namanya. Kami harus segera istirahat karena besok ada janji untuk mengirimkan kopi ke kafe daerah Ubud. Ini adalah hari ketujuh kami di Bali. Setelah beberapa hari kami mengitari Bali dan hanya berkutat dengan kopi, tiga hari ke depan akan kami sempatkan jalan-jalan.

Pagi itu, kami mengemas semua barang dan sekalian check-out. Bu Metha mengajak kami sarapan di 9 Angels. Resto itu terletak di Jalan Suweta no. 5, Ubud. Mengusung tema klasik, resto itu tampak sederhana. Lukisan dan kerajinan antik terpampang di tiap sudutnya. Resto prasmanan itu cocok untuk para vegan. Namun, meski kami bukan vegan, makanan 9 Angels tetap bisa kami nikmati. 

Selain tempat dan menunya, yang menjadi daya tarik 9 Angels adalah “kewajiban” pascamakan di sana. Pada umumnya, selesai makan kita hanya perlu membayar sesuai harga yang tertera, namun di resto itu ada hal lain yang perlu dilakukan. Kita diharuskan mencuci piring dan gelas sendiri. Setelah itu, kita membayar seikhlasnya dengan memasukkan uang ke kotak bertuliskan “Leave the money in the box. If you really love our food you can pay more. Thank you.” Mungkin ini mengajarkan pengunjung untuk menghargai sendiri apa yang telah disajikan oleh awak resto.

Kahiyang Coffee di Jalan Kajeng, Ubud/Alifan Ryan Faisal

Selesai sarapan, kami langsung meluncur ke Kahiyang Coffee milik Pak Iwan di Jalan Kajeng, Ubud, guna memberikan sampel kopi. Kami hanya mampir sebentar di sana dan bertemu dengan perempuan dari Filipina yang menginap di kafe itu lewat aplikasi Couchsurfing. Tak lama, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kintamani, tepatnya ke Kintamani Coffee-Eco Bike Coffee. Di sana kami mencicipi beberapa kopi dan menikmatinya sembari melihat Gunung- dan Danau Batur. Cukup lama kami mengobrol dengan pengelolanya yang ternyata sahabat Bu Metha.

Tak terasa sudah pukul 14.00. Mulanya kami hendak bergegas pulang. Namun Danau Batur ternyata menarik perhatian kami. Segeralah kami menuju ke sana untuk melihatnya lebih dekat. Kami juga mampir ke sebuah tempat penuh tumpukan batu hitam di lereng Gunung Batur. Konon itu adalah produk lava letusan Gunung Batur.

Kintamani Coffee-Eco Bike Coffee/Alifan Ryan Faisal

Rampung dengan Danau Batur dan lava hitam, kami ke Sanur untuk mencari penginapan di dekat dermaga, karena paginya kami ingin menjelajah Nusa Penida. Namun, sebelum ke penginapan, Bu Metha mengajak kami untuk bertemu sahabatnya di salah satu resto di Serangan. Resto Bu Rini namanya. Sesampai di sana ternyata sahabat Bu Metha belum tiba. Lalu Bu Metha bergegas memesankan beberapa makanan untuk kami dan sahabatnya. Sesaat setelah makanan datang, sahabat Bu Metha pun menyapa kami. Namanya Steven dan Christine, sepasang suami-istri WNA yang punya bisnis di Indonesia, salah satunya sebuah kafe di Labuan Bajo. Sembari makan mereka mengobrol asyik tentang bisnis, perjalanan, dll. Aku dan Rosyid asyik dengan makanan di hadapan kami.

Sudah setengah jam sebelum jam sembilan ketika makan malam kami usai. Lalu kami berpisah dengan mereka. Aku dan Rosyid menginap di Hotel Pulasari, sementara Bu Metha ikut kedua sahabatnya itu 


Pagi itu pukul 06.00 kami bangun dan memasak sarapan di hotel. Kami berangkat ke dermaga pukul 07.30. Di sana sudah menunggu Bu Metha dan sahabat-sahabatnya saat kuliah di Bandung dulu. Rencananya kami akan ke Nusa Penida berenam. 

Setengah jam kemudian kami mulai membelah laut dengan perahu cepat menuju Nusa Penida. Setiba di sana, sudah menunggu seorang pemandu yang kami panggil Bli Rudi. Dia yang akan mengantar kami ke beberapa tempat di Nusa Penida bagian barat. Tujuan pertama adalah Pantai Crystal bay. Cukup lama kami bermain air di sana sebelum geser untuk makan siang ke RM BTM.

Seusai makan siang, perjalanan kami lanjutkan. Di tengah perjalanan kami dikagetkan suara keras dari belakang mobil. Ternyata ada sepasang wisman yang jatuh dari motor, terpeleset di pasir saat melewati jalanan turun dan menikung. 

“Maaf, Bu. Kita tolongin sebentar, ya, Bu,” kata Bli Rudi. 

“Iya, Pak. Bapak bawa P3K, ‘kan?” tanya Bu Metha. 

“Bawa, kok, Bu,” jawab Bli Rudi.

Terlihat banyak luka di tangan dan kaki mereka. Motor mereka pun rusak bagian depan dan samping kanan akibat terpelanting dan mengenai sebuah pohon. Setelah selesai diobati Bli Rudi, kedua wisman itu dicarikan tumpangan menuju puskesmas. Motor yang rusak itu dibawakan oleh teman mereka yang menyusul.

Setengah jam setelah kejadian itu, kami pun tiba di Angel’s Billabong dan Pantai Pasih Uug (Broken Beach). Kami cukup berjalan kaki mengitari kedua tempat yang berdekatan itu. Sambil berfoto di titik-titik andalan di sana, sesekali kami mengobrol dan melempar candaan.

Pantai Kelingking/Alifan Ryan Faisal

Dari sana, kami ke Pantai Kelingking. Hanya perlu waktu dua puluh menit untuk ke sana. Karena Pantai Kelingking adalah tujuan terakhir hari itu, dan karena mesti melewati tangga terjal untuk ke pantai, kami menghabiskan waktu cukup lama di sana. Keelokan atraksi wisata yang mendunia itu memang tak terbantahkan. Dari kacamata drone pun tempat itu tampak indah, apalagi saat cuaca cerah. Rasanya ingin lebih lama di Pantai Kelingking. Namun, karena sudah pukul 16.30, kami terpaksa berkemas dan beranjak ke Pelabuhan Nusa Penida.

Pukul 17.30 kami sudah kembali ke perahu cepat. Ketika nakhoda mulai menjalankan perahu, matahari tanggal dari dinding langit. Namun mega merah masih bertahta. Lembayungnya bersolek cantik ketika melambaikan selamat tinggal pada kami di Dermaga Sanur.


Sebelum kembali ke penginapan, kami mampir ke Warung Mak Beng di dekat dermaga. Tempatnya tak terlalu luas, tapi warung makan itu sudah melegenda. Ada menu makanan paketan yang berisi nasi, ikan goreng, sambal, sop kepala ikan, dan es teh. Untuk santapan selengkap itu, harganya pas menurutku.

Setelah mengisi perut, aku dan Rosyid balik ke penginapan, sementara Bu Metha kembali ke rumah sahabatnya yang tak jauh dari situ.

Sudah pukul 20.00, tapi rasanya sia-sia saja jika kami hanya di penginapan. Kami pun pergi ke daerah Renon. Di sana ada sebuah tempat bernama Pondok Pejalan, tempat singgah atau menginap gratis bagi para pejalan. Pemiliknya adalah sahabatku, Bli Indra.

Setiba di depan gerbang, aku menelepon Bli Indra agar gerbang dibukakan. Selangkah masuk, kami disambut gonggongan anjing. Suara gonggongan itu berasal dari anjing-anjing yang diselamatkan dari jalanan. Kebanyakan dari mereka ditelantarkan oleh pemiliknya, entah karena sakit atau hal lainnya.

“Woy, Bang. Gimana kabar?” sapa Bli Indra sambil mengulurkan tangan. 

“Baik, Bli. Oiya, kenalin ini temenku. Rosyid namanya,” sahutku. 

Kemudian kami masuk ke rumah. Ternyata di dalam ada Bang Rahmat. Ia asli Jakarta namun sering ke Bali untuk urusan bisnis. Kami pun mengobrol banyak di sana, saling bertukar cerita, dan melakukan panggilan video ke beberapa sahabat kami di Medan dan Semarang. Reuni virtual, ceritanya. Waktu itu ada beberapa orang yang menginap di Pondok Pejalan, di antaranya adalah Bang Dani dari Bengkulu dan seorang perempuan dari Korea yang entah siapa namanya. Banyak pengalaman berharga yang kudapat dari perjalanan kali ini melalui pertemuan dengan orang-orang hebat.

Malam semakin larut, suasana kian hangat. Namun asa ‘tuk singgah lebih lama terpatahkan oleh realitas yang menanti esok hari, seakan-akan waktu menghakimiku dan menyadarkanku dari mimpi indah yang benar-benar sedang terjadi itu. Dengan berat hati kami pun pamit pulang ke hotel untuk mempersiapkan esok hari. 

Kami tiba di hotel pukul 01.30. Setelah barang terkemas dengan rapi dalam ransel, segera kami beristirahat. Rencananya kami pulang ke Semarang pukul 13.00. Tapi kami akan minum kopi dulu bersama Bli Indra dan Bang Rahmat. Mereka menawarkan diri untuk mengantarkan kami ke Terminal Ubung. Kami sengaja pulang lewat jalur darat karena aku rindu menghabiskan waktu empat belas jam dalam KA Sritanjung. Lagipula, waktu kami masih panjang sebelum kembali direnggut kesibukan.

The post Kopi, Pejalan, dan Lembayung Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kopi-pejalan-dan-lembayung-bali/feed/ 0 24740
Jogja dalam Senja https://telusuri.id/jogja-dalam-senja/ https://telusuri.id/jogja-dalam-senja/#respond Mon, 12 Oct 2020 08:13:58 +0000 https://telusuri.id/?p=24449 Bagiku, Jogja adalah rumah kedua. Hampir tiap bulan aku berkunjung ke sana, entah hanya bersilaturahmi ke rumah sahabat-sahabatku, mengantarkan tamu, atau untuk membeli kopi guna keperluan kedai. Tak jarang aku menginap di rumah sahabatku, sampai...

The post Jogja dalam Senja appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagiku, Jogja adalah rumah kedua. Hampir tiap bulan aku berkunjung ke sana, entah hanya bersilaturahmi ke rumah sahabat-sahabatku, mengantarkan tamu, atau untuk membeli kopi guna keperluan kedai. Tak jarang aku menginap di rumah sahabatku, sampai keluarganya pun sudah menganggapku sebagai saudara.

Pagi itu, tepatnya hari Kamis, 11 Oktober 2018, aku berencana menemui salah seorang sahabatku di Jogja. Zulma namanya. Aku mengenalnya sejak 2015 dalam perjalanan menuju puncak Sindoro. Dan hari itu kami akan nyore bareng di Jogja. Sebenarnya memang sudah lama itu direncanakan. Namun beberapa kali gagal terkendala oleh kesibukan masing-masing.


Pukul 10.00, aku berangkat dari Semarang menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan cuaca sangat terik. Sangat mendukung sekali untuk menikmati senja nanti, pikirku. Sejam di jalan raya, aku berhenti di sebuah pom bensin di Magelang, tepatnya sebelum pertigaan ke arah Kopeng. Biasanya memang di sanalah tempatku istirahat untuk sekadar membeli minuman di minimarket.

Perjalanan kulanjutkan setelah sebatang rokok habis kuhisap. Tak terasa, pukul 12.30 aku telah sampai di Erha Coffee & Literacy, sebuah kafe di Jalan Wahid Hasyim. Aku memilih transit di sana karena tempatnya lebih dekat dengan rumah Zulma. Sahabatku itu akan pulang kerja nanti jam 3. Selain itu, kafe itu kupilih karena aku sudah lama mengenal pengelolanya, seperti Mas Kempung, Mas David, dll. Nuansa kafe itu hijau, bukunya juga banyak.

Di sana sudah menunggu Nanda, sahabatku dari Semarang yang kuliah di Stiper Jogja. Cita-citanya menjadi petani mendorongnya untuk melanjutkan kuliah di bidang pertanian. Ternyata dia sudah lama menunggu, tampak dari kopi di cangkirnya yang sudah tinggal seperempat. Kami mengobrol banyak hal dan saling melempar candaan. Suasana memang lebih mudah cair ketika mengobrol dengan Nanda yang juga seorang anggota komunitas Stand Up Comedy Ungaran itu.

Kuhabiskan dua setengah jam di sana dengan beberapa gelas kopi dan camilan. Pukul 15.45 aku pergi ke rumah Zulma di Klitren, Gondokusuman. Nanda memilih tidak ikut karena masih ada tugas akhir yang harus diselesaikan. Sampai di depan rumah Zulma, kudapati dia sudah menunggu. Kami pun langsung berangkat.


Laju motor kuarahkan menuju perbukitan di Dlingo, Bantul. Di sana ada beberapa tempat wisata di mana kita bisa melihat keasrian pohon pinus dan matahari terbit serta terbenam, yakni Puncak Becici, Puncak Lintang Sewu, Hutan Pinus Mangunan, Pinus Asri, Jurang Tembelan, dll. Pilihan kami waktu itu adalah Bukit Lintang Sewu. Kala itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa motor yang terparkir di sana. Tiket Rp3.000 plus Rp2.000 untuk parkir motor (Rp5.000 untuk mobil) sangat terjangkau sekali. Fasilitas yang disediakan pun tak cuma toilet, musala, warung makan, dan tempat parkir yang luas, melainkan juga bumi perkemahan (camping ground) dan layanan glamping (glamour camping) bagi mereka yang ingin bermalam sambil melihat lampu kota Jogja.

Kami berjalan mengitari tempat itu, kemudian menjumpai tempat beralaskan kayu yang disusun rapi membentuk persegi delapan dengan ukuran besar di sana. Di atasnya ada bangku kayu yang menghadap ke barat. Sudah jam setengah 5.

“Nah, duduk di sini aja, Ul,” ajakku sambil memposisikan bangku. “Bagus view-nya dari sini, meskipun mataharinya agak tertutup awan.”

“Iya, nih. Beberapa hari ini Jogja mendung kalau sore. Padahal siangnya cerah, lho,” balasnya.

Senja di Lintang Sewu/Alifan Ryan Faisal

Setelah membenarkan tempat duduk, kami pun bertukar cerita, entah tentang pendakian, tempat wisata, buku, ataupun kesibukan dan pekerjaan. Di sekitar, beberapa remaja dan rombongan keluarga juga ikut menikmati sore. Mereka sebagian duduk di bangku yang telah disediakan, sebagian lagi berfoto-foto di hadapan mentari yang kian tenggelam. Aku menikmati matahari dari sini, di bangku ini, bersama obrolan hangat bersamanya. Kami memang sama-sama suka naik gunung. Tapi, terkendala jadwal, rencana naik gunung selalu saja gagal. Maka kami melepas rindu akan pendakian dengan menyore seperti ini di ketinggian.

Jam setengah 6, matahari sudah hilang rautnya, digantikan sinar kemerahan yang mengambang di ufuk barat, sebelum berganti dengan petang yang menjelang.


Biar, biarkan kurawat jeda ini. Kusemai dengan bersahabat semesta. Hingga pada akhirnya nanti, entah menuai melepas rindu atau gugur dan mati dalam sendu. Senja, tenggelamlah dalam indahmu. Sampaikan harapku pada temaram yang sebentar lagi menggantikanmu.


Selepas magrib, kami pun melaju ke Jalan Kaliurang menuju Djeladjah, kedai kopi langgananku ketika bertandang ke Jogja. Tempatnya sederhana namun mempunyai daya magis yang luar biasa. Barangkali karena konsepnya yang agak beda dari kedai-kedai lain. Slogannya “Kopi, Buku, Cinta,” sangat dekat dengan para pejalan.

Sudah pukul 19.00 ketika aku memarkirkan motor di depan Djeladjah. Setiap sudut tempat ini mengandung literasi dan perjalanan. Di dindingnya terpampang beberapa foto beserta puisi. Di samping meja bar ada rak buku besar. Kini Djeladjah sudah punya penerbit buku sendiri, yaitu Djeladjah Pustaka. Pemiliknya, Jazuli Imam, akrab disapa Mas Juju, adalah seorang penulis yang gemar berkesenian, melakukan perjalanan, dan berkegiatan sosial.

Suasana Djeladjah/Alifan Ryan Faisal

Kami langsung memesan kopi. Aku kopi Toraja, Zulma kopi Temanggung. Di balik meja bar tak tampak Mas Juju, hanya ada Mas Blangkon yang sedang meracik kopi. Mungkin Mas Juju sedang sibuk dengan teaternya, pikirku.

“Coba baca ini, deh, Ul. Dikit dulu aja nggak apa-apa,” kataku sambil menyerahkan buku yang kuambil dari rak depan kepada Zulma.

“Racun apa lagi ini, Van?” tanyanya penasaran sembari menerima buku itu. “Pejalan Anarki?

“Udah, baca aja dulu,” bujukku. “Cocok, nih, suasananya. Tenang.”

Zulma lalu tampak tenggelam dalam alur cerita buku itu. Selagi ia membaca, aku melihat sekeliling, melihat kata-kata yang tertempel di Puisi Pinus.

Malam semakin larut, buku tersebut tak habis dibaca Zulma, namun dua cangkir kopi yang kami pesan sudah dihabiskan tuan dan puannya. Sudah jam 10 malam. Segera kuantar Zulma pulang ke rumahnya. Rencananya, esok pagi kami akan pergi ke Nanggulan, Kulon Progo. Habis mengantar Zulma, aku ke kos Nanda di Maguwoharjo dan bermalam di sana.


Jam 5 pagi aku bergegas menjemput Zulma. Perjalanan sekitar dua puluh menit untuk sampai ke Nanggulan. Kami mampir sebentar di pasar membeli jajanan untuk sarapan. Daya tarik Nanggulan adalah hamparan persawahannya yang luas serta jalanan kecil yang membelahnya. Tak jarang orang-orang dari luar kota datang ke sana untuk mencari hawa sejuk.

Setiba di sana, kami memarkirkan motor di dekat jembatan kecil lalu berjalan menyusuri jalanan sebelum akhirnya duduk di teras kecil dekat jembatan. Kami pun membuka jajanan pasar sambil menikmati hijaunya persawahan.

Hamparan sawah di Nanggulan/Alifan Ryan Faisal

“Pagi di sini enak, ya? Seger bawaannya,” kataku membuka percakapan.

“Iya, Van,” jawab Zulma. “Kadang kalau aku masuk siang gini, biasanya aku melipir ke sini dulu biar fresh.

Setelah kurang lebih satu jam di sana, kami pun bergegas pulang, sebab Zulma hendak berangkat kerja jam 9.


Kami singgah di Jalan Colombo sepulang dari Nanggulan, mampir sejenak di warung kaki lima yang menjual bubur ayam. Isi perut dulu.

“Ini kamu langsung pulang ke Semarang, Van?” tanya Zulma sambil mengambil kursi.

“Iya, mumpung masih pagi [dan] jalanan nggak terlalu panas. Kalau kesiangan malah telanjur mager ntar,” jawabku sambil terkekeh.

“Rencana nanjak bareng harus jadi, nih, lho. Masa jadi wacana mulu,” lanjutnya.

“Oh, ya. Harus jadi, dong,” jawabku. “Besok dijadwalin ulang.”

Selesai dengan bubur ayam, kami segera menuju rumah Zulma yang berjarak berapa ratus meter saja dari sana.

“Dah sampai,” kataku setiba di depan rumah Zulma. “Aku langsung pulang, ya, Ul. Kapan-kapan dilanjut lagi.”

“Oh, iya, Van. Makasih, lho. Hati-hati pulangnya, ya,” balasnya.

Seketika itu kulanjutkan perjalananku menuju Semarang lewat Gejayan lalu tembus di Ring Road utara. Kutelusuri Jalan Magelang setelah melewati jembatan layang Jombor sampai akhirnya disapa udara Gunung Ungaran.


Jogja punya daya magis yang luar biasa, membuat siapa pun merasa betah berlama-lama tinggal di dalamnya, lewat budaya, orang-orangnya, keindahan alamnya, tata kotanya, yang semua terangkum dengan sangat rapi.

The post Jogja dalam Senja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jogja-dalam-senja/feed/ 0 24449
Cerita di Kota Kerajaan Prabu Joyoboyo, Kediri https://telusuri.id/cerita-di-kota-kerajaan-prabu-joyoboyo-kediri/ https://telusuri.id/cerita-di-kota-kerajaan-prabu-joyoboyo-kediri/#respond Tue, 06 Oct 2020 06:05:10 +0000 https://telusuri.id/?p=24280 Pagi itu, aku menjejakkan kaki pertama kali di Jombang, Kota Santri. Ketika itu bapak kernet mengisyaratkan bahwa tujuanku sudah sampai. Aku pun turun di pertigaan Taman Kebonratu. Tujuanku kali ini adalah Kampung Inggris Pare di...

The post Cerita di Kota Kerajaan Prabu Joyoboyo, Kediri appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, aku menjejakkan kaki pertama kali di Jombang, Kota Santri. Ketika itu bapak kernet mengisyaratkan bahwa tujuanku sudah sampai. Aku pun turun di pertigaan Taman Kebonratu. Tujuanku kali ini adalah Kampung Inggris Pare di Kediri, untuk menemui sahabatku, Indra namanya. Ia berpesan bahwa dari Jombang aku harus ganti bus tiga perempat yang bertuliskan “Bagong” dan turun di Terminal Pare. Seturun dari bus Eka, mataku merekam sekeliling.

Cari sarapan dulu, pikirku. Perutku terasa lapar sekali. Setelah kuingat, ternyata malam sebelum perjalanan ini aku belum makan.

Belum sempat mencari sarapan, seorang bapak tua menghampiriku untuk menawarkan jasa ojek. Jika kuterka, bapak itu berumur 60 tahunan. Karena merasa kasihan, aku pun setuju dengan tawaran beliau untuk mengantarku menuju Kampung Inggris Pare.

Penunjuk arah menuju Pare/Alifan Ryan Faisal

Tak terasa, dalam tiga puluh menit sampailah aku di Jalan Brawijaya, Pare. Seketika itu aku langsung menuju soto Lamongan di ujung pertigaan jalan di mana Indra menungguku. Lalu, bapak itu kubayar sesuai permintaannya tadi, yaitu 35.000 rupiah—dan kupersilakan untuk ikut sarapan. Awalnya memang ia menolak dengan alasan sudah bawa bekal dari rumah. Namun setelah dibujuk akhirnya beliau mengiyakan tawaranku tersebut.

Setelah selesai makan, aku dan Indra menuju ke kosnya yang berada di daerah Bendo. Di sana aku menumpang mandi dan istirahat sejenak.

“Kuliah gimana, Bos?” tanyaku padanya yang sibuk mencari buku yang ingin kupinjam.

“Belum, nih. Baru mulai perkenalan lewat daring. Tapi nggak tau kapan waktunya,” jawabnya lemas karena kekenyangan.

“Ya udah. Ntar temenin keliling Kediri, ya. Lama kita nggak ngopi bareng,” ajakku sembari mengambil peralatan mandi.

“Oke siap. Ntar kuajak ke kedai kopi langganan,” jawabnya sumringah.


Siang itu jam 1 kami pergi ke kedai kopi di daerah Pare. Kupesan secangkir kopi Toraja, sedangkan Indra memesan kopi susu. Banyak obrolan yang kami bicarakan, hingga suatu waktu ponselnya berbunyi.

“Bentar, ya. Kuangkat dulu,” ujarnya. Aku mengiyakan dengan anggukan kepalaku.

Tampak serius dari raut wajahnya. Dan seusai menutup obrolan di ponselnya, ia meminta izin untuk pulang ke Surabaya. Dia menjelaskan bahwa ada urusan dengan keluarganya di rumah.

“Yah, nggak ada yang nemenin ke Kediri, dong?” kataku penuh kekecewaan.

“Duh, sori banget,” jawabnya. “Ibu minta aku pulang secepatnya. Dahlah, motorku bawa aja. Yang penting kamu nganterin aku ke terminal dulu.”

Setelah aku mengantarkannya ke terminal, kuputuskan untuk ke Kediri memakai motornya. Seketika itu kubuka salah satu aplikasi booking hotel. Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di Hotel Penataran, tepatnya di pusat kota. Sebenarnya tidak menjadi masalah aku jalan-jalan menelusuri suatu tempat sendirian, karena memang aku sudah terbiasa dengan itu. Namun, karena ini di luar rencana, rasa kecewa itu sedikit timbul di benakku. “Okelah. Aku jalan sendiri,” kataku dalam hati.

Gumul, monumen paling terkenal di Kediri/Alifan Ryan Faisal

Setelah check-in, tibalah aku di kamar. Aku tak mau hanya menghabiskan waktu untuk rebahan. Selang lima belas menit, kuambil lagi pouch yang berisi dompet, ponsel, dan buku kecil. Rencananya aku akan menyore di pinggiran Sungai Brantas.


Jam setengah lima. Kala itu, di pinggiran Sungai Brantas yang terik, terjejer pedagang kaki lima yang menjual berbagai makanan, minuman, serta camilan.

“Sepertinya akan bagus senja kali ini,” batinku sambil mengunyah rujak cingur yang telah kubeli. Mungkin pembaca sudah tak asing lagi dengan rujak cingur, makanan khas Jawa Timur yang berisikan sayur, buah, dan irisan mulut sapi alias cingur. Bumbu rujaknya pun tidak seperti biasanya, namun dengan bumbu kacang. Juga, pelengkapnya adalah lontong, menjadikan makanan ini mempunyai nilai karbo yang cukup tinggi, namun tetap sehat karena adanya buah dan sayuran tersebut.

Di sepanjang pinggiran sungai, beberapa orang sedang asyik memancing. Di atas mereka ada dua jembatan besar, yakni Brawijaya dan Dahanapura. Jembatan Brawijaya adalah jembatan baru yang dipergunakan untuk mengganti jembatan lama, yaitu Jembatan Dahanapura. Di ujung timur jembatan, tepatnya di sebelahnya, terhampar Taman Brantas yang cukup rindang. Fasilitas umumnya pun terlihat sangat terawat. Taman itu dilengkapi arena BMX dan skatepark.

Sungai Brantas dan Jembatan Brawijaya, Kediri/Alifan Ryan Faisal

Selesai memanjakan perut dan mata, aku dikejutkan oleh suara seorang pria.

“Permisi, Mas. Boleh minta tolong fotoin?” pinta dia menyadarkanku dari lamunan.

“Owh, iya, Mas, monggo. Satu, dua, tiga,” kataku memberi aba-aba.

Setelah tombol rana kutekan, kuperlihatkan hasilnya kepada mereka.

“Terima kasih, Mas. Masnya sendirian?” tanya pria itu yang ternyata—setelah berkenalan kutahu—namanya Dani. Yang berfoto dengannya ternyata adalah pacarnya. Ika namanya.

“Iya, Mas. Lagi pengen nikmatin Kota Kediri. Mas sama mbak ini dari mana?” tanyaku balik.

“Saya dari Jogja, Mas. Lagi liburan juga sekalian pengen ketemu pacar saya. Dia kuliah di Kediri. Masnya dari mana?” tanya dia ganti.

“Saya dari Semarang, Mas. Hehehe,” jawabku, tertawa sambil menikmati senja.

“Salam kenal, Mas. Kami pamit dulu, ya. Terima kasih fotonya tadi,” kata Dani sambil berjabat tangan.

“Sama-sama. Salam kenal juga, Mas,” jawabku sambil beranjak menuju parkiran motor dan kembali ke hotel.


Hari kian petang, magrib pun mengambang. Di ujung senja, di Jembatan Brawijaya. Biarkan semua yang terekam, terkenang. Sertakan doa-doa baik menuju waktu yang kian melekang.


Setelah mandi dan rebahan sekitar tiga puluh menit, aku berniat untuk pergi ke kedai kopi. Rasanya mengantuk berat setelah seharian berjalan sendiri. Setelah berselancar di Google Maps, aku mendapatkan referensi kedai kopi di Jalan Dr. Setiabudi, namanya Sandei. Jaraknya hanya 300 meter dari hotel, dan letaknya ada di belakang persis. “Wah lumayan deket, nih,” pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan kaki saja. Sesampai di sana, ternyata tak terlalu ramai. Padahal menurut ulasan di Google Maps kedai kopi itu selalu ramai. Mungkin karena ini bukan hari libur, pikirku.

Di meja bar, kutemukan beberapa stoples berisikan biji-biji kopi dengan labelnya masing-masing—Aceh, Wamena, Temanggung, dan Bali. Pilihanku kala itu adalah kopi dari Temanggung. Untuk camilan, aku beli kentang goreng. Aku sengaja tidak makan berat karena ingin merasakan pecel Kediri di depan hotel.

Aku mencoba menikmati suasana di kedai kopi itu. Mataku tertuju pada rak buku yang berada di pojokan ruangan ber-AC itu. Aku memilih membaca buku yang berjudul Singgah. Kubaca beberapa halaman sambil menikmati kopi di mejaku. Dan terdengar sayup-sayup alunan lagu Float yang berjudul “Sementara” di daftar putar musik kedai itu.

Suasana Kedai Kopi Sandei, Kediri/Alifan Ryan Faisal

Kulihat jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 22.00. Belum terlalu malam, pikirku. Namun aku harus makan pecel Kediri dulu sebelum beristirahat di hotel. Segera aku bergegas menuju kasir untuk membayar pesananku tadi. Lalu kulanjutkan berjalan kaki menuju depan hotel, di mana banyak penjual makanan. Sejujurnya aku lebih suka suasana makan yang sederhana, walaupun ngemper. Tepat di depan gang sebelah Hotel Penataran, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Salah satunya adalah pecel Kediri. Pecel itu tampak seperti nasi pecel biasa. Pembedanya adalah sambel tumpang yang menjadi pelengkap. Harganya pun sangat terjangkau dan bikin perut kenyang.

Setengah malam kuhabiskan di emperan toko, dengan segelas kopi yang kubeli di samping ibu penjual pecel. Tampak ampas kopi yang mengendap di dasar gelas, mengisyaratkan aku untuk segera beristirahat. Kala itu, pukul 23.45, aku kembali ke hotel demi me-recharge tubuhku untuk perjalanan pulang besok.


Pagi itu, aku bersepeda motor melewati Jalan Wahid Hasyim. Di sana aku menemukan Warung Soto Ayam Kampung Lamongan Pak Ran. Karena aku pecinta soto, maka kusempatkan untuk sarapan di sana. Soto Lamongan menurutku rasanya sangat gurih, dengan kuah kuning dan taburan bubuk oranye yang menjadikan kuahnya lebih kental setelah diaduk. Harganya pun sangat terjangkau, mungkin karena lokasinya dekat area kampus dan perkantoran.

Selesai dengan soto, aku pun menuju Gunung Klotok. Di lerengnya terdapat Goa Selomangleng. Dengan tiket 4.000 rupiah dan parkir motor 2.000, kita bisa berkeliling melihat beberapa peninggalan sejarah. Suasananya pun cocok untuk ngadem ketika berkunjung ke Kediri. Dan ketika akan pulang ke hotel, aku sengaja lewat Jalan Lingkar Maskumambang. Jalan itu hanya melingkari Gunung Maskumambang saja, namun keasriannya menarikku untuk lewat.

Sesampai di hotel, aku mengemas semua barangku ke dalam ransel. Bersiaplah aku untuk pulang ke Semarang. Nantinya, aku akan bertemu dengan teman Indra terlebih dahulu di Terminal Pare guna mengembalikan motor yang kupinjam.

Pukul 11.30, aku meninggalkan hotel dan menuju terminal. Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk sampai di terminal. Di sana telah menunggu Bagas, teman kos Indra.

“Sori, Bro. Nunggu lama, ya?” tanyaku sesampai di sana.

“Ah, enggak. Baru lima belas menit paling,” jawabnya. Lalu, sambil menjabat tanganku, ia bertanya, “Gimana jalan-jalannya? Seru gak?”

“Seru nggak seru tuh tergantung bagaimana kita yang menjalani. Betul nggak? ” Jawabku santai sambil tertawa.

“Yap, betul, tuh. Nah, tuh bus Bagong-nya sudah dateng. Buruan gih masuk,” kata Indra waktu melihat bus itu masuk terminal.

“Oiya, nih. Ya udah, cabut dulu, ya. Terimakasih banget, lho. Kapan-kapan bakal ke sini lagi, kok. Eh, salam buat Indra, ya. Bye!“ kataku sambil menyerahkan kunci motor.

“Siap, santai aja. Hati-hati, ya, Bro,” balasnya di depan pintu bus.


Di dalam bus, aku memandangi jalanan menuju Terminal Jombang, tempat nantinya aku akan pindah bus besar jurusan Semarang. Mataku masih merekam apa pun di luar sana. Sebuah cerita telah kutulis di Kota Tahu, kota yang menuliskan sejarah panjang di masa silam. Kusemai dulu rindu; kelak aku akan menuainya melalui sebuah temu.

The post Cerita di Kota Kerajaan Prabu Joyoboyo, Kediri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-di-kota-kerajaan-prabu-joyoboyo-kediri/feed/ 0 24280