Ammar Mahir Hilmi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ammar-mahir-hilmi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 18 Dec 2023 03:17:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ammar Mahir Hilmi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ammar-mahir-hilmi/ 32 32 135956295 Dari Jogja ke Nepal Van Java https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/ https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/#respond Thu, 21 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40505 Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu...

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
Kecanggihan teknologi perlahan menggeser pola berinteraksi manusia. Dari interaksi fisik secara langsung menuju interaksi virtual oleh kehadiran berbagai media sosial. Namun, bagi saya apa pun hal-hal baru yang ditawarkan oleh ruang virtual, tidak akan mampu menggantikan interaksi fisik yang lebih mampu menyentuh emosi dan sisi kemanusiaan kita.

Sehabis turun dari Gunung Api Purba, Nglanggeran, Jogja, meski dengan rasa lelah yang belum pergi, masjid kampus UIN Sunan Kalijaga kembali menjadi titik kumpul sebelum berangkat menuju destinasi wisata selanjutnya, yakni Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Perjalanan kali ini saya ditemani Irwansya, kawan lainnya yang sedang menempuh studi S-2 dan pertama kali berkenalan di forum pengaderan sebuah organisasi. Irwansya akan berboncengan dengan Nurul, sedangkan saya bersama Eka.

Diksi Kaliangkrik mungkin terdengar asing di telinga. Namun, ketika kita menyebut Nepal Van Java, sebagian dari kita akan terbayang dengan konten-konten yang pernah viral di media sosial. Konten tersebut menampilkan pemandangan suatu desa di lereng Gunung Sumbing. Panorama rumah-rumah penduduk yang tersusun berundak-undak dengan cat warna warni menambah kesan unik dan estetik.

Kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.50 WIB. Harapannya saat tiba di lokasi kami masih sempat mendapatkan suasana pagi pegunungan, udara dingin, dan lautan awan yang menyambut sebelum matahari terbit. Akan tetapi, saat kami mampir di sebuah SPBU di Jalan Magelang untuk mengisi bahan bakar, teman Irwan, Yudi, bersama pacarnya baru memberi kabar jika mereka jadi ikut. Alhasil kami pun memutuskan menunggu mereka menyusul. Kami sempatkan menyantap hidangan angkringan pagi yang berada persis di samping SPBU.

Setelah beberapa saat menanti, Yudi akhirnya tiba. Perjalanan tetap kami lanjutkan meski matahari telah meninggi. Tidak masalah jika suasana pagi pegunungan telah lewat. Bagaimanapun tujuan kami adalah menikmati perjalanan. Sekaligus mengunjungi tempat yang sama sekali belum pernah kami datangi sebelumnya.

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Rumah-rumah penduduk bercat warna-warni di lereng gunung, yang menyebabkan dusun ini mendapat julukan Nepal Van Java/Ammar Mahir Hilmi

Desa Wisata di Lereng Gunung Sumbing

Jarak tempuh mencapai 90 kilometer dengan cuaca cerah mengiringi perjalanan kami. Kurang lebih dua jam berkendara menyusuri jalan poros Jogja—Magelang. Melewati pusat Kota Magelang hingga Jalan Raya Kaliangkrik yang menanjak dan berkelok-kelok. Dengan mengandalkan insting, sambil membaca petunjuk jalan dan sesekali melihat Google Maps, akhirnya kami tiba di gerbang bertuliskan “Desa Wisata Nepal Van Java”.

Usai membayar registrasi Rp10.000/orang, kami langsung naik menyusuri jalanan desa. Menuju warung makan yang terletak persis di samping gerbang pendakian Gunung Sumbing. Sebenarnya ada opsi menyewa jasa ojek, tetapi kami memutuskan untuk berjalan saja. Hitung-hitung sebagai olahraga. Apalagi saya, Eka, dan Nurul sebelumnya sudah mendaki Gunung Api Purba. Jadi, tidak masalah untuk kembali mendaki dan melewati rumah-rumah warga yang elok dengan nuansa warna-warni nan cerah.

Kami berjalan sesekali berbincang dan menyapa penduduk setempat. Tidak terasa warung makan yang dituju terlihat. Letaknya berada di ujung paling atas permukiman yang cukup membuat energi kami terkuras habis. Momen yang sangat tepat untuk memesan makanan sambil menikmati indahnya pemandangan desa dari atas warung. Udara dingin sesekali menerpa kami, sehingga mau tidak mau kami memesan minuman hangat.

Sesaat setelah saya memesan mi telur rebus, jahe susu hangat, dan air mineral, saya langsung menuju meja makan yang memberikan panorama perkebunan dan rumah-rumah warga. Sesekali kabut datang menutupi pemandangan, tetapi syukurlah cuaca hari ini bersahabat. Meski matahari sudah cukup tinggi, udara khas pegunungan mampu mengalahkan terik matahari yang menyembul setiap kali kabut pergi.

Obrolan kami selama menikmati hidangan dan pemandangan mengalir begitu saja. Mulai dari politik, perkuliahan, adat istiadat, hingga perilaku ibu-ibu dan bapak-bapak menjadi topik yang cukup membuat kami menertawakan satu sama lain. Saking larutnya dalam obrolan, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hari sudah siang. Tidak terasa memang, mengingat suhu yang tetap menyejukkan dan matahari bersembunyi di balik awan membuat kami lupa waktu. 

Usai membayar tagihan makanan, kami memutuskan turun kembali ke parkiran untuk bersiap-siap pulang. Selepas salat Zuhur, kami menyempatkan diri berfoto-foto. Mengabadikan momen yang entah kapan akan terulang lagi. Betapa sebuah dokumentasi visual sangat berharga di era digital ini. Selain keperluan merawat ingatan, tentunya untuk konten media sosial. 

Dari Jogja ke Nepal Van Java
Foto bersama teman-teman dengan latar belakang perkampungan Dusun Butuh/Ammar Mahir Hilmi

Perjalanan Pulang

Keluar dari area parkiran, oleh petugas setempat kami diarahkan mengambil jalur lain untuk turun. Demi keselamatan, mengingat jalan di kawasan ini cukup curam dan beberapa titik tidaklah mulus. Begitu pun saat keluar dari desa wisata. Kami memutuskan melalui rute berbeda, yakni jalan raya yang tembus ke kawasan Candi Borobudur. Alasannya sederhana, karena saya pribadi sudah cukup lama tidak melalui area yang telah menjadi prioritas pariwisata nasional tersebut.

Benar saja. Kawasan Candi Borobudur makin cantik dengan berbagai pernak-pernik. Menambah kesan kuat sebagai objek prioritas pariwisata nasional. Jalanan mulus dan lampu-lampu khas akan kita temukan sepanjang rute ini. 

Sempat beristirahat sebentar di salah satu masjid, kami pun lanjut memacu motor menuju Yogyakarta. Sekitar pukul lima sore kami tiba kembali di Kota Jogja, lalu mengantar Eka dan Nurul kembali ke kos mereka. Saya dan Irwan pun berpamitan sekaligus berterima kasih atas waktunya hari ini.

Selama dua hari mengendarai motor, menuju dua dataran tinggi di dua provinsi berbeda, serta menjadi tour guide untuk dua teman asal Subang jelas menguras tenaga. Namun, semua itu terbayarkan dari kesan dan cerita perjalanan yang kami dapatkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Jogja ke Nepal Van Java appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-jogja-ke-nepal-van-java/feed/ 0 40505
Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/ https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/#respond Tue, 05 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40152 Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang...

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang sedang berlibur ke Yogyakarta.

Jarum arloji menunjukkan pukul 13.45 WIB ketika saya tiba di parkiran depan poliklinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Jumat, 2/6/2023). Sehari sebelumnya, saya bersama Eka dan Nurul, dua orang kawan saya asal Subang, Jawa Barat, telah bersepakat untuk menjadikan masjid kampus ini sebagai titik kumpul sebelum berangkat bersama ke Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul dengan berboncengan mengendarai sepeda motor.

Dengan ekspresi wajah menahan terik matahari, Eka dan Nurul mengaku sudah lama menunggu saya. Saya menghampiri mereka sembari mencoba menenangkan dan meyakinkan bahwa penantian mereka akan terbayarkan dengan perjalanan di hari ini. 

Tak lama, Asrijal, kawan satu daerah dan satu prodi selama kuliah S1 juga datang dan menggenapkan rombongan kami menjadi empat orang. Serentak kami memulai perjalanan menuju lokasi, meninggalkan Kota Yogyakarta yang teriknya saya rasakan membasahi jersey tandang Timnas Sepakbola Indonesia di balik jaket outdoor yang saya kenakan.

Perjalanan kami menuju Gunung Api Purba Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul memakan waktu sekitar 50 menit. Estimasi waktu ini termasuk ketika mampir di salah satu minimarket untuk membeli cemilan. Lokasi gerai ini berada di Piyungan, sesaat sebelum menanjak ke “lantai dua Yogyakarta”, sebutan popular untuk menggambarkan Kabupaten Gunungkidul yang terletak di jajaran Pegunungan Sewu.

Roda kendaraan dengan mulus melewati jalur menanjak dan berkelok-kelok ala pegunungan. Kami pun mengikuti petunjuk jalan dan melewati jalan kabupaten hingga tiba di di Desa Nglanggeran—sebuah desa wisata yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan Desa Wisata Mandiri Inspiratif dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2 Desember 2021, Nglanggeran juga berhasil masuk dalam salah satu desa wisata terbaik di dunia oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO), sebuah badan PBB yang memiliki kewenangan dalam mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pintu masuk sekaligus pos registrasi Gunung Api Purba Nglanggeran/Ammar Hilmi

Setibanya di sana, kami membeli tiket masuk seharga Rp15.000/orang dan membayar parkir motor. Usai menunaikan ibadah salat Asar, barulah kami memulai pendakian menuju ketinggian kurang lebih 700 mdpl.

Melansir dari situs gunungapipurba.com, material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuannya antara lain breksi andesit, tufa, dan lava bantal. Singkapan batuan vulkaniklastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi  lokasi tipe (type location)  dan diberi nama Formasi Geologi Nglanggeran.

Berbeda dengan jalur pendakian pada umumnya yang didominasi oleh vegetasi rapat dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, pepohonan di jalur Gunung Api Purba tidak terlalu lebat sehingga kita masih dapat permukiman penduduk. Tingkat kemiringan jalur juga tidaklah terlampau ekstrem sehingga aman bagi orang yang belum pernah mendaki sebelumnya. Beruntunglah kami, meski di awal terkesan shock dengan trek yang dilalui namun langkah demi langkah tetap terlewati. 

Kedua kawan saya, Eka dan Nurul rupanya tidak menyangka jika kami akan mendaki. Hal ini sangat kontras dengan outfit mereka kenakan yang lebih cocok untuk wisata-wisata ‘santai’. Efeknya, beberapa kali kami harus singgah beristirahat untuk mengatur pernafasan. Beruntungnya, mereka telah punya pengalaman mendaki gunung, tidak begitu kaget meski persiapan fisik kurang.

Beberapa kali kami melewati jalur sempit yang berada di celah-celah bebatuan besar. Saking sempitnya, jalur hanya mampu dilewati oleh satu orang saja. Untuk keamanan, di beberapa bagian jalur telah terpasang alat bantu yang memudahkan wisatawan melewati jalur. Tangga besi misalnya, sangat membantu kami dalam menapaki batu-batu besar. Begitupun dengan tali webbing di beberapa titik sangat efektif menjaga kami agar tidak terpeleset.

Sekitar satu jam perjalanan dengan diselingi beberapa kali istirahat, tibalah kami di puncak Gunung Api Purba, titik tertinggi Yogyakarta. Tekstur puncak berupa bebatuan purba membuat pohon sama sekali tidak tumbuh di area ini. Di sekeliling tampak perkampungan warga yang terlihat kecil. Vegetasi terbuka membuat angin bertiup kencang menerpa kami. Beberapa orang mendirikan tenda di camp area yang sebelumnya kami lewati sesaat sebelum mencapai puncak.

Di sebelah barat matahari semakin turun yang menandakan sebentar lagi siang berganti malam. Kurang lebih 30 menit kami duduk dan berbincang di puncak sembari menikmati senja. Selepas itu, tentu saja bergegas turun agar saat tiba di pos registrasi suasana belumlah terlalu gelap.

Jalur turun yang kami lalui berbeda dengan jalur saat naik. Barangkali karena jalur sempit tadilah yang membuat pengelola kawasan akhirnya menyediakan jalur yang berbeda untuk turun. Perjalanan ke bawah, memakan waktu kurang dari satu jam.

Setelah istirahat dan menunaikan ibadah salat Magrib, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah warung makan yang berada di kawasan Bukit Bintang. Sembari memandangi gemerlap lampu rumah-rumah penduduk dari kejauhan, kami pun kembali mengobrol santai membicarakan lelah hari ini. Hangatnya obrolan ini, ternyata mampu menghilangkan kejenuhan saya yang perlahan tapi pasti suatu saat akan terjebak kembali pada rutinitas yang sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/feed/ 0 40152
SulSel Expo 2023: Forum Ekspresi Budaya Sulawesi Selatan di Bumi Mataram https://telusuri.id/sulsel-expo-2023/ https://telusuri.id/sulsel-expo-2023/#comments Mon, 03 Apr 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38017 Genangan air masih nampak di beberapa titik Jogja National Museum (JNM) usai hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta sejak sore hari hingga waktu Magrib tiba. Malam, merupakan malam kedua dari perhelatan Sulawesi Selatan (Sulsel) Expo 2023....

The post SulSel Expo 2023: Forum Ekspresi Budaya Sulawesi Selatan di Bumi Mataram appeared first on TelusuRI.

]]>
Genangan air masih nampak di beberapa titik Jogja National Museum (JNM) usai hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta sejak sore hari hingga waktu Magrib tiba. Malam, merupakan malam kedua dari perhelatan Sulawesi Selatan (Sulsel) Expo 2023.

Meski gerimis sisa hujan belum berlalu, tampak orang-orang mulai berdatangan ke lokasi acara demi menyaksikan berbagai pementasan yang akan ditampilkan pada malam ini. Dari berbagai dialeg daerah ataupun penggunaan bahasa yang keluar dari bibir mereka untuk berkomunikasi satu sama lain, tampak jelas bahwa mereka berasal dari Sulawesi Selatan. 

Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia (IKAMI) Sulawesi Selatan Cabang D.I. Yogyakarta, sebuah organisasi kedaerahan yang mewadahi mahasiswa perantau asal Sulawesi Selatan yang menempuh studi di Yogyakarta yang menggelar salah satu dari berbagai rangkaian acara dari gelaran SulSel Expo 2023 di kompleks Jogja National Museum. Acara ini berlangsung sejak Kamis (16/3/2023) hingga Sabtu (18/3/2023).

Ajang ini mengusung tema Wattu Sikarannuang yang memiliki arti waktu saling melepas kerinduan. Pemilihan tema membawa harapan agar para peserta yang hadir di lokasi dan mengikuti seluruh rangkaian acara dapat mengobati kerinduannya akan suasana kampung halaman di Sulawesi Selatan yang terpisah ribuan kilometer jauhnya dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

  • SulSel Expo 2023
  • SulSel Expo 2023
  • SulSel Expo 2023
  • SulSel Expo 2023

Rangkaian acara pada agenda SulSel Expo 2023 antara lain napak tilas, pawai budaya, diskusi kebudayaan, pameran seni rupa, penyajian makanan khas daerah, hingga pertunjukan kesenian tradisional asal Sulawesi Selatan. Napak tilas di sini yaitu menyusuri sejarah masyarakat Bugis Makassar di tanah Mataram. 

Dari agenda napak tilas ini pula, diketahui asal mula pemberian nama Bugisan pada salah satu kawasan yang saat ini secara administratif masuk pada wilayah Kecamatan Wirobrajan, Yogyakarta. Selain itu, diadakan pula ziarah makam  Daeng Naba, seorang tokoh asal Sulawesi Selatan yang cukup berjasa bagi Kesultanan Mataram Yogyakarta.

Sementara itu, pada agenda diskusi kebudayaan, hadir sebagai pembicara guru besar bidang ilmu filsafat Universitas Gadjah Mada, Prof. M. Mukhtasar Syamsuddin. Hadir pula ketua program studi MA Center For Religius and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada, Dr. Samsul Maarif.

Kedua pembicara ini menjadi pemantik diskusi yang mengangkat tema “Dekonstruksi Kebudayaan”. Diskusi ini membahas tentang suatu warisan berdasarkan hasil pemikiran yang digunakan untuk memahami kontradiksi yang ada di dalam kebudayaan atau adat untuk membangun kembali makna-makna yang telah melekat dalam kebudayaan atau adat tersebut sejak dahulu.

Adapun pameran seni rupa merupakan langkah awal bagi teman-teman seniman se-Nusantara yang berkolaborasi dengan SulSel Expo 2023. Pameran ini mengemas budaya dan tradisi dengan konsep visual art dan diwarnai oleh beragam karya yang tertata rapi di Lantai 2 Ruang Paviliun JNM Bloc Yogyakarta. Karya seni berupa lukisan, patung, instalasi, hingga video animasi diracik sedemikian rupa oleh para senimannya sehingga memanjakan mata para pengunjung, penikmat, dan pengapresiasi seni.

  • SulSel Expo 2023
  • SulSel Expo 2023
  • SulSel Expo 2023

Selain untuk mengobati kerinduan akan kampung halaman, SulSel Expo memperkenalkan berbagai kesenian, tradisi, dan budaya Sulawesi Selatan ke khalayak luas. Hal ini tidak lepas dari kemajemukan masyarakat di Yogyakarta yang berasal dari berbagai daerah sehingga mendapat julukan miniatur Nusantara. Memanfaatkan keistimewaan Yogyakarta yang plural, gelaran SulSel Expo sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan pengenalan budaya. Baik itu antar sesame kabupaten di Sulawesi Selatan, maupun dengan daerah-daerah lain di luar Sulawesi Selatan.

Terkait malam pertunjukan, penampilan yang disajikan bukan hanya kesenian tradisional dari Sulawesi Selatan. Turut diundang dan tampil pula beberapa penampil di luar Sulawesi Selatan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan mewakili setiap pulau. Partisipasi aktif dari organisasi daerah lain di luar Sulawesi Selatan ini juga sebagai bukti bahwa IKAMI SUL-SEL Cabang DIY sangat terbuka dengan daerah lain dalam menjaga keharmonisan demi mewujudkan cita-cita bersama sebagai anak bangsa.

Malam semakin larut seiring dengan berakhir pula seluruh agenda pementasan pada malam itu. Satu per satu peserta beranjak meninggalkan lokasi. Beberapa pula tampak memanfaatkan momen swafoto dengan latar belakang berbagai dekorasi yang ditampilkan dengan nuansa khas Sulawesi Selatan.

Lampu kompleks JNM satu per satu dipadamkan oleh pihak keamanan yang menandakan batas waktu berkegiatan telah usai. Saatnya pulang dengan perasaan senang akan rindu telah terobati di malam ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post SulSel Expo 2023: Forum Ekspresi Budaya Sulawesi Selatan di Bumi Mataram appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sulsel-expo-2023/feed/ 1 38017
Mendaki Gunung: Dulu dan Kini https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/#respond Tue, 07 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37156 Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera...

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera organisasi, tak salah memang jika orang-orang ramai-ramai untuk mengupload dan membagikannya di media sosial masing-masing. 

Berbekal caption dari karangan sendiri—mungkin juga mengutip quote tokoh tertentu—plus berbagai hastag kekinian, para pendaki ini berharap unggahan mereka mendapat banyak like dan repost oleh akun-akun yang membahas dunia pendakian. Dengan harapan postingannya bisa viral, bertambah followers, dan semakin dikenal oleh khalayak ramai.

Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit geli dengan fenomena pendakian zaman sekarang. Walau saya sendiri tidak mengklaim diri sebagai pendaki profesional yang telah berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan mendaki yang canggih nan mahal, tapi saya turut dibuat gatal untuk mengomentari, atau sedikit memberi pencerahan kepada mereka-mereka yang hendak mencoba merasakan sensasi mendaki gunung. 

Saya jadi teringat dengan salah satu pesan dari kanal YouTube salah pendaki terkenal negeri ini. Dia mengatakan bahwa setelah mendaki gunung itu, hanya akan ada dua kemungkinan: pertama, kapok dan tidak akan mendaki gunung lagi. Kedua, ketagihan dan ingin lanjut mencoba mendaki di gunung yang lain. 

Kita tidak bisa menafikan bahwa atmosfer pendakian gunung yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan pendakian zaman dahulu. Zaman dahulu, yang mana orang tua kita mungkin masih berusia 20 tahunan, pendakian itu identik dengan kegiatan rutin organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (disingkat MAPALA, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Soe Hok Gie). Namun di zaman sekarang semua golongan bisa merasakan sensasi mendaki gunung tanpa harus berstatus sebagai anggota aktif MAPALA. Tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semuanya bisa melakukan  pendakian.

Sindoro Sumbing
Gunung Sumbing tampak dari Gunung Sindoro/Ammar Mahir Hilmi

Zaman yang lebih lampau, kegiatan mendaki gunung biasanya untuk tujuan observasi lapangan, pemetaan kondisi geografis, penelitian keanekaragaman flora dan fauna, hingga ekspedisi penaklukan puncak gunung yang belum pernah terjamah oleh manusia sebelumnya. 

Sedangkan di zaman sekarang, [kebanyakan] pendakian saat ini lebih didominasi untuk tujuan wisata—kalau tidak dikatakan untuk mengikuti tren masa kini. Untuk sekedar foto-foto atau video dokumentasi. Namanya juga era Revolusi Industri 4.0, semuanya tidak akan lengkap tanpa ada bukti digital.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tren seperti ini. Foto-foto, membuat vlog, lalu kemudian mengunggahnya sebagai konten di media sosial selama untuk tujuan edukasi ataupun promosi pariwisata justru merupakan hal yang harus kita dukung agar penyebaran konten yang edukatif dapat mengimbangi arus konten negatif yang sering wara-wiri.

Ada salah satu kanal YouTube pendaki yang menjelaskan bahwa tujuan ia mendokumentasikan perjalanan pendakiannya adalah agar orang-orang yang belum pernah mendaki gunung bisa turut merasakan sensasi mendaki gunung dan melihat pemandangan meski hanya melalui perantara dunia virtual.

Yang menjadi permasalahan saat ini yaitu jika pendakian hanya sekedar untuk pamer ria hasil jepretan maupun vlog di media sosial namun tidak peduli dengan kondisi lingkungan di gunung yang ia kunjungi. 

Saya kira slogan “gunung bukan tempat sampah,” “bawa turun sampahmu,” “pendaki bijak meninggalkan jejak, bukan sampah,” mungkin sudah sangat familiar dan banyak terpampang di basecamp, petunjuk arah jalur pendakian, hingga di puncak gunung. Ini harusnya bukan sekedar slogan hiasan semata, tapi merupakan himbauan yang wajib dipatuhi bagi siapa saja yang hendak mendaki gunung.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kita akan anugerah keindahan alam, maka sudah seharusnya kita menjaganya, tidak malah membiarkan atau bahkan ikut merusak lingkungan tanpa ada rasa bersalah sama sekali. 

  • Sindoro Sumbing
  • Gunung Sumbing
  • Gunung Prau

Saya menyaksikan sendiri, orang banyak yang mengaku pendaki tapi malah meninggalkan sampahnya di lokasi berkemah. Saya tidak habis pikir dengan kejadian seperti ini. Tujuan mereka mendaki gunung untuk apa sih? Kalau hanya untuk sekedar swafoto, kan masih banyak spot foto lain yang lebih mudah dijangkau dan tidak harus capek-capek mendaki sampai badan jadi pegal. 

Bahkan yang lebih parah, saya pernah menyaksikan sendiri seorang pendaki yang tanpa merasa bersalah mencabut bunga yang ada di puncak gunung lalu ia gunakan untuk berfoto-foto dengan pasangannya. Anjay, lebay kali. Lagi-lagi, walau saya bukanlah pendaki hebat yang telah menaklukkan seven summit dunia, saya merasa jengkel saja jika melihat kelakuan-kelakuan pendaki seperti ini. Bukan untuk merefleksikan kehidupan, ia malah merusak dan membunuh kehidupan. Bukannya bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan, ia malah dibuat  angkuh dengan postingan di media sosialnya yang full filter plus caption ala-ala dunia percintaan.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa jika pendakian hanya untuk tujuan serendah dan sesempit ini, maka lebih baik gunung-gunung ditutup saja dan tidak ada lagi yang boleh masuk kecuali para petugas ataupun relawan pemerhati alam dan lingkungan. Atau setidaknya hanya mereka yang berstatus sebagai anggota pecinta alam yang telah lulus pelatihan dasar yang boleh melakukan pendakian. 

Atau ambilah solusi yang paling realistis, ikut dulu pelatihan singkat tentang dunia pendakian sebelum memulai langkah mendaki. Setelah mendapat sertifikat kelulusan, barulah diperbolehkan untuk masuk ke wilayah pendakian. Kenapa? agar orang-orang bisa mengerti bahwa tujuan mendaki tidak sekedar mencari sensasi, melainkan untuk tujuan mulia tentang rasa syukur dan penuh tanggung jawab.

Ketahuilah bahwa pada hakikatnya tujuan dari pendakian itu untuk merefleksikan kehidupan, tentang kerendahan hati, tentang rasa syukur akan nikmat Tuhan, hingga mencoba menemukan makna dari setiap perjalanan. Bukan malah pamer kemampuan membawa carrier yang begitu besar, berlomba-lomba siapa yang paling cepat sampai ke puncak, atau bahkan untuk mencari sensasi lewat postingan di dunia maya yang acap kali serba menipu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/feed/ 0 37156
Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/ https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/#respond Tue, 27 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36746 Sebagai orang yang terlahir di tanah Sulawesi Selatan, ada suatu kebanggaan tersendiri melihat salah satu klub sepak bola—PSM Makassar—masih eksis dan bersaing di Liga 1, kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia. PSM Makassar menjadi satu-satunya klub dari...

The post Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai orang yang terlahir di tanah Sulawesi Selatan, ada suatu kebanggaan tersendiri melihat salah satu klub sepak bola—PSM Makassar—masih eksis dan bersaing di Liga 1, kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia. PSM Makassar menjadi satu-satunya klub dari Indonesia timur yang masih bertahan sepeninggal Persipura Jayapura yang terdegradasi ke Liga 2 musim lalu.

Atas dasar kebanggan melihat PSM inilah yang kemudian mendorong saya untuk menonton pertandingannya secara langsung melawan Persis Solo di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah. Dengan mengendarai motor yang telah terisi dengan BBM Pertalite tiga liter, saya bersama kawan saya—Asrijal—berangkat menuju Solo tepat pada jam 12.30 WIB (Kamis, 29/9/2022).

Ini memang bukan perjalanan yang singkat, tapi demi klub kebanggan, jarak kurang lebih 60 km tak menjadi halangan. Paling, punggung jadi pegal karena berkendara sekitar dua jam.

Stadion Manahan Solo
Stadion Manahan Solo/Ammar Mahir Hilmi

Kami lalu tiba di Stadion Manahan, Kota Surakarta, atau yang lebih akrab disebut Solo. Setelah membayar tarif parkir stadion sebesar Rp3.000, kami langsung menemui perwakilan kelompok suporter The Macz-Man zona Jogja untuk menukarkan tiket yang telah kami pesan beberapa hari sebelumnya. Harga tiket sebesar Rp70.000 untuk kelas VIP sayap selatan. Harganya sebanding, bahkan tergolong murah untuk ukuran Stadion Manahan yang telah berstandar Internasional.

Sembari menikmati sore hari di tribun stadion, saya kagum melihat bagaimana mewahnya stadion ini berdiri. Sulawesi Selatan sendiri, belum punya stadion bertaraf internasional. Bahkan untuk sekedar menggelar pertandingan skala nasional Liga 1, PSM harus bekerja keras hingga menit-menit akhir batas waktu verifikasi Stadion B.J. Habibie di Kota Parepare agar masuk kategori “layak” menggelar pertandingan.

Entah apa yang ada di dalam pikiran para pemangku kebijakan sehingga tidak tampak niatan membangun stadion berstandar Internasional di sana. Para suporter setia PSM—termasuk saya—hanya bisa mengelus dada setiap kali ada agenda awayday di Pulau Jawa dan menyaksikan sendiri stadion-stadion di sini lebih apik.

Sungguh situasi yang sangat bertolak belakang dengan yang ada di Sulawesi Selatan. Semoga kelak ide membangun stadion tidak hanya menjadi wacana yang terus menerus diulang setiap kali menyambut pilkada demi meraih suara rakyat.

Kembali ke Stadion Manahan, mulai dari check in dan pemeriksaan barang bawaan di pintu masuk, hingga masuk ke area tribun, kita akan disuguhi dengan desain dan tata kelola stadion yang bersih, rapi, dan modern. Meski pada rancangan model stadion yang masih menggunakan lintasan atletik, kursi penonton telah menggunakan single seat dan bercorak batik kawung khas Solo berwarna biru, kuning, dan merah.

Skor babak pertama antara Persis Solo versus PSM Makassar berkedudukan imbang 1-1. Langit telah mulai gelap ketika kick off babak kedua dimulai. Pada momen ini lagi kita dapat melihat keunggulan fasilitas Stadion Manahan, yang membuat kami suporter PSM Makassar kembali iri. Kapasitas lampu yang mencapai 1.500 lux yang berstandar FIFA menambah kesan mewah stadion yang juga akan menjadi salah satu venue Piala Dunia U-20 tahun 2023. Dengan pencahayaan yang merata di semua titik dan tidak membuat silau, keseruan pertandingan tetap dapat kita nikmati tanpa harus khawatir kekurangan pencahayaan.

Berbagai fasilitas yang ada, tambah dengan jalannya pertandingan yang seru dengan saling jual beli serangan, kiranya tidak sia-sia telah menginvestasikan uang dan waktu untuk motoran jauh dari Jogja menuju Solo untuk menyaksikan pertandingan ini. Tampak kelompok suporter baik dari tuan rumah Persis Solo maupun PSM Makassar tidak henti-hentinya menyanyikan yel-yel masing-masing sebagai bentuk dukungan ke tim kebanggan. 

Meski terdapat beberapa kali insiden antar pemain yang membuat beberapa kali pertandingan sempat terhenti, kedua suporter tetap aman dan damai, bahkan berbagi tribun di area VIP sayap selatan stadion. Pemandangan dan sikap supporter inilah yang harus ada di setiap pertandingan sepak bola. Kiranya sepak bola adalah pemersatu dan hiburan rakyat, maka sudah layaknya rivalitas hanya 90 menit di lapangan. Selebihnya semua kembali melebur jadi satu sebagai saudara.

Koridor Stadion
Koridor stadion/Ammar Mahir Ilmi

Hingga akhir babak kedua, tidak ada lagi tambahan gol yang tercipta. Kedua tim praktis berbagi satu poin di klasemen liga. Seperti tradisi-tradisi klub sepak bola setiap kali pertandingan selesai, tiap tim akan menyempatkan untuk menyanyikan anthem-nya masing-masing sebagai tanda terima kasih kepada suporter yang telah hadir dan mendukung timnya. Tidak terkecuali PSM dan Persis yang melakukan hal serupa secara bergantian setelah pertandingan berakhir.

Setelah menyanyikan anthem tim kebanggan, satu per satu supporter mulai berjalan keluar stadion untuk selanjutnya pulang ke rumah masing-masing. Begitupun saya dengan teman saya Asrijal yang langsung motoran, pulang kembali ke Jogja pada malam itu juga. Terima kasih kepada masyarakat Kota Solo atas jamuannya dan juga kepada tim kebanggan PSM Makassar yang telah memberikan hiburan malam ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/feed/ 0 36746
Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/ https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/#respond Fri, 14 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35310 Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir...

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir setahun lalu, tepatnya saat mendaki ke Gunung Lawu Oktober 2021. Meski telah berlalu, namun kurang rasanya jika saya tidak menuliskannya menjadi sebuah cerita.

Berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya yang hanya bersama teman-teman dekat, pendakian kali ini terasa istimewa karena menjadi pengalaman pertama bagi saya untuk mengikuti ajang pendakian bersama yang dihadiri oleh para pendaki dari berbagai wilayah. Ketika pertama kali saya mendapat informasi pendakian ini melalui akun media sosial, tanpa berpikir panjang saya langsung menghubungi kontak tertera dan mendaftar untuk turut berpartisipasi. Sembari mengajak juga salah satu kawan agar saya ada teman perjalanan dari Yogyakarta.

Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, para pendaki yang tergabung dalam kegiatan pendakian bersama bertajuk Consina Responsible Tracker Gunung Lawu 2021 melaksanakan pendakian di Gunung Merbabu via Candi Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah. Kegiatan ini diinisiasi dan difasilitasi oleh Consina, salah satu brand kegiatan outdoor di Indonesia. Stasiun Solo Balapan dipilih sebagai meeting poin karena letaknya yang cukup strategis dan mempunyai akses langsung ke Basecamp Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar.

Malam pun hadir beriringan dengan hujan yang sangat deras hingga memaksa rombongan pendaki dan tim pelaksana untuk segera bergeser meninggalkan Kota Solo menuju basecamp. Perjalanan dari Kota Solo menuju Basecamp Candi Cetho di Karanganyar memakan waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat. 

Gunung Lawu Candi Ceto
Gerbang Candi Ceto/Ammar Mahir Hilmi

Setibanya di basecamp pada malam hari sebelum memulai pendakian, para rombongan pendaki bersama panitia pelaksana dari pihak Consina melakukan briefing terlebih dahulu demi kelancaran dan kesuksesan agenda acara keesokan harinya. Selepas briefing, beberapa rombongan lanjut bercengkerama agar saling mengenal satu sama lain. Namun ada pula beberapa rombongan yang memilih untuk langsung beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk memulai pendakian esok hari.

Di pagi hari waktu pendakian (Rabu, 27/10/2021), sehabis sarapan, briefing terakhir, dan doa bersama, rombongan memulai pendakian tepat pada pukul 08.00 WIB. Cuaca cerah dan sejuk ala pegunungan menemani pendakian kami yang keseluruhan rombongan berjumlah 25 orang. Waktu pendakian yang bertepatan dengan musim peralihan dari penghujan ke kemarau membuat jalur masih sedikit becek. Namun kondisi seperti ini masih cukup bersahabat bagi kami jika dibandingkan kondisi trek berdebu yang sangat mengganggu pernafasan.

Hujan sempat mengguyur deras ketika rombongan telah berada di Pos 3 yang terdapat mata air. Perundingan sempat berlangsung antara peserta dengan panitia penyelenggara terkait kelanjutan perjalanan apakah akan tetap mendirikan tenda di Pos 5 atau cukup di Pos 3 demi keselamatan bersama. Beruntung tidak lama kemudian hujan perlahan mereda dan perjalanan dapat dilanjutkan. Perlahan kabut datang menggantikan air hujan yang menandakan hari telah sore dan akan segera berganti malam. Otomatis langkah harus dipercepat agar rombongan tiba di camp area sebelum malam.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Sempat dibuat khawatir akan kemalaman tiba di camp area, ternyata rombongan kami berhasil tiba di Pos 5 Bulak Peperangan sesaat sebelum malam tiba. Tampak di camp area tidak terlalu banyak tenda yang berdiri. Selain tenda-tenda dari rombongan pendakian kami dan porter, hanya ada 3 tenda lain yang didirikan di pos ini. 

Dinamakan Bulak Peperangan karena konon di lokasi inilah pernah terjadi perang pada zaman Majapahit. Kesaksian dari cerita para pendaki yang mendirikan tenda di pos ini, tidak sedikit yang pernah mendengar suara iring-iringan pada malam hari bahkan ada juga yang pernah mendengar keriuhan suara perang di pos ini. Percaya atau tidak, itu semua kembali ke kepercayaan masing-masing.

Setelah mendirikan tenda dan makan bersama, tanpa banyak basa basi, beberapa anggota rombongan memilih untuk langsung beristirahat untuk selanjutnya melanjutkan perjalan keesokan harinya.

Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB pagi (Kamis, 28/10/2021) ketika rombongan memulai summit attack melanjutkan perjalan dari camp area menuju puncak Gunung Lawu. Memang sudah terlambat jika ingin mengejar sunrise, tapi bukan itu tujuan dari pendakian ini dilaksanakan. Mengingat setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, maka rombongan pendakian juga telah merencanakan untuk melakukan upacara bendera dan pembacaan teks sumpah pemuda di puncak nantinya.

Cuaca pagi ini sangat cerah, jauh lebih baik dari cuaca kemarin yang sempat hujan dan lebih banyak berkabut. Kita pun dapat menikmati keindahan sabana Gunung Lawu di sepanjang perjalanan dari Pos 5 hingga puncak. Di Pulau Jawa, gunung dengan hamparan sabana yang cantik salah satunya bisa kita temukan di Gunung Lawu ini. Bila beruntung, kita bahkan dapat melihat langsung gerombolan rusa yang minum di area Gupak Menjangan, tidak jauh dari Pos 5 tempat rombongan mendirikan tenda.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Setelah sempat beristirahat dan mengganjal perut di warung legendaris Mbok Yem, warung legendaris yang dinobatkan sebagai warung tertinggi di Indonesia, rombongan pun kembali melanjutkan pendakian menuju puncak yang tinggal sedikit lagi dari lokasi warung Mbok Yem. Meski matahari telah meninggi dan waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi, cuaca masih sangat cerah ketika kami telah tiba di Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu di ketinggian 3265 mdpl.

Kami cukup beruntung ketika sampai di puncak. Selain cuaca cerah yang membuat kita dapat menikmati 360 derajat pemandangan Gunung Lawu, waktu pendakian weekday juga membuat situasi puncak tidak terlalu ramai sehingga kita dapat leluasa mengabadikan momen tanpa harus mengantre dan berebutan plakat.

Kembali ke agenda awal tadi, dikarenakan hari ini bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, rombongan pun melaksanakan upacara di puncak dengan mengibarkan bendera Merah Putih sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu dilanjutkan dengan pembacaan Sumpah Pemuda. 

Suasana khidmat tentu tidak bisa dihindari. Berhasil mencapai puncak lalu kemudian menyanyikan lagu kebangsaan di hari besar nasional jelas merupakan momen yang langka. Menjadi suatu kenangan tersendiri bagi kami semua yang terlibat di dalamnya.

Gunung Lawu Candi Ceto
Puncak Gunung Lawu/Ammar Mahir Hilmi

Sumpah Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial Kaum Muda

Sehabis mendokumentasikan acara seremonial peringatan Hari Sumpah Pemuda, rombongan akhirnya turun dan kembali ke tenda masing-masing di Pos 5 untuk bersiap-siap pulang. Tapi rangkaian acara tidak berhenti sampai di sini saja. 

Rombongan tidak langsung turun ketika semua tenda telah dibongkar dan mengemasi barang-barang. Masih dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, rombongan pendaki yang kesemuanya adalah kaum muda melanjutkan kegiatan dengan bersih-bersih gunung. Rombongan memunguti sampah-sampah anorganik yang ditinggalkan pendaki lain di sekitaran Pos 5, lalu membawanya turun. Sesuai dengan nama kegiatannya yaitu Consina Responsible Tracker yang secara bahasa berarti pendaki yang bertanggung jawab.

Kita sepakat bahwa bukan pendakian namanya jika tidak berkesan. Maka kesan yang didapatkan dari pendakian gunung kali ini yaitu tentang tanggung jawab sosial pemuda. Kilas balik sejarah perjuangan bangsa ini yang banyak dimotori oleh golongan muda, maka sudah seharusnya golongan muda saat ini senantiasa merefleksikan perjuangan tersebut dalam konteks masa kini. Tidak harus dalam skala besar, memulainya dari hal-hal kecil seperti memunguti sampah di gunung adalah salah bukti nyatanya.

Begitupun dengan solidaritas yang ditunjukkan selama pendakian berlangsung. Saling bantu ketika melewati jalur dan tidak saling meninggalkan rombongan menjadi catatan penting yang harus diterapkan di setiap pendakiannya. Apresiasi tinggi juga pantas ditujukan kepada panitia penyelenggara yang selama kegiatan berlangsung tiada henti saling berkoordinasi dan benar-benar bertanggung jawab penuh atas keselamatan semua peserta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/feed/ 0 35310
‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/ https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/#respond Mon, 05 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35173 Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping,...

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping, atau dalam  istilah pendakian lebih dikenal dengan sebutan “tektok”. Kali ini saya tektok-an ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah, pendakian pertama setelah lebih dari 3 tahun absen.

Di perjalanan kali ini saya kembali menjadikan rumah Pak Hartanto di Magelang sebagai tempat untuk transit dan beristirahat sejenak setelah mengendarai motor dari Yogyakarta pada Jumat malam (15/7/2022), sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp Merbabu via Wekas keesokan harinya. Di rumah ini juga turut menginap pula Dwi Cahyono, kawan pendaki lainnya asal Purwodadi yang juga telah sering ikut mendaki ataupun sekedar tektok bersama kami.

Waktu menunjukkan pukul 5 kurang 10 menit pagi,  ketika motor kami memulai perjalanan dari Magelang menuju basecamp Gunung Merbabu via Wekas (Sabtu, 16/7/2022) yang berlokasi di Desa Wekas, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Udara sejuk dan segar pagi hari khas pegunungan telah menghampiri kami ketika tiba di basecamp untuk selanjutnya bersiap-siap memulai pendakian.

Di basecamp ini pula turut bergabung Pak Bowo, Mas Sulis, dan Mbak Yeni yang sebelumnya juga telah janjian untuk tektok bareng sehingga menggenapkan rombongan ini menjadi enam orang. Tampak dari kejauhan Gunung Andong yang terlihat mungil ketika disandingkan dengan Gunung Merbabu.

Setelah berdoa dan foto bersama, tektok pun dimulai tepat pukul enam pagi melalui perkampungan warga yang keseluruhan jalannya telah dicor beton. Jasa ojek sebenarnya tersedia di jalur ini. Namun dikarenakan jarak antara basecamp dengan batas kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang relatif dekat, maka rombongan kami pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Hitung-hitung juga sebagai pemanasan sebelum merasakan bagaimana sensasi jalur pendakian.

Jika di jalur pendakian gunung pada umumnya didominasi oleh perkebunan warga sebelum memasuki hutan, maka hal ini tampaknya tidak berlaku di jalur ini. Hanya sekitar 5.00 meter dari basecamp, setelah melewati beberapa rumah warga dan jalan beton, hutan Gunung Merbabu langsung menyambut kedatangan kami dengan berbagai petunjuk arahnya yang telah dipasang oleh petugas taman nasional. Dikarenakan masuk dalam kategori taman nasional, tentunya untuk mendaki di Gunung Merbabu mempunyai prosedur tersendiri. Hal ini diberlakukan demi tetap terjaganya kelangsungan kehidupan flora dan fauna di dalamnya.

Di semua jalur pendakian Gunung Merbabu, ada patok penanda jalur yang di pasang sebagai penunjuk arah bagi para pendaki sekaligus penghitung jarak yang telah ditempuh secara keseluruhan semenjak dari pintu masuk kawasan. Jarak antar patok ini berkisar 100 meter. Sebagai aset taman nasional, maka sudah menjadi kewajiban untuk tidak merusak patok-patok ini.

Sepanjang jalur dari basecamp hingga Pos 1 dan 2, trek masih cukup landai dengan semak belukar dan vegetasi yang tidak terlalu rapat. Begitupun dengan pepohonan yang jaraknya tidaklah terlalu mepet sehingga cahaya matahari dan birunya langit masih tampak jelas meski telah memasuki kawasan hutan. Di beberapa kesempatan kami menemukan gerombolan kera yang menjadi penghuni hutan ini. Begitupun beberapa kali kami juga sempat mendengar suara kijang yang tampaknya sedang berkomunikasi dengan kijang lainnya.

Jalur pendakian Gunung Merbabu via Wekas bisa dikata jalur yang paling singkat di antara jalur pendakian Gunung Merbabu lainnya. Hal ini tidak lain karena letak basecamp yang berada di ketinggian 1.800-an mdpl. Mendaki melalui jalur ini praktis mampu menghemat waktu dan tenaga. Dengan posisi basecamp yang sudah cukup tinggi ini pula, jarak menuju puncak jelas tidak terlalu jauh. Maka pilihan tektok bukanlah hal yang berlebihan.

Kawah mati
Kawah mati/Ammar Mahir Hilmi

Ketika memasuki Pos 3, jalur bebatuan dan tanjakan ekstrim telah menanti. Di pos ini juga terdapat penanda batas tiga wilayah yakni Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Semarang. Dari Pos 3 ini pula kita dapat melihat kawah Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif lagi. Menurut keterangan Mas Sulis yang merupakan penduduk setempat dan sudah sangat sering mengantar para pendaki, kawah ini masih sering mengeluarkan gas ketika musim kemarau datang. Namun intensitas aktivitas kawah Gunung Merbabu tentunya sudah tidak massif Gunung Merapi yang letaknya berdampingan langsung dengan Gunung Merbabu.

Vegetasi sudah sangat terbuka di jalur setelah Pos 3. Pepohonan tinggi telah berganti ilalang dengan jalur yang saking miringnya membuat kita harus menggunakan bantuan tali webbing untuk melaluinya. Bukan Merbabu namanya jika tidak ditemukan edelweiss di jalurnya. Sepanjang jalur dari Pos 3 menuju puncak ini pula kita dapat menemukan bunga edelweiss, tanaman langka yang dilindungi dan hanya bisa ditemukan di pegunungan. 

Pijakan yang di jalur sebelumnya masih berupa tanah, kini telah didominasi batuan vulkanik yang rapuh dan sangat rawan bergeser. Teman saya, Dwi, bahkan sampai menamai jalur ini sebagai Watu Urip yang berarti batu hidup dikarenakan struktur batuannya yang mudah bergerak dan mengakibatkan kita dapat terpeleset jika salah mengambil pijakan.

Tugu batas 3 kabupaten
Tugu batas 3 kabupaten/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 4 jam 45 menit perjalanan menyusuri jalur Merbabu atau pada pukul 10.45 WIB, kami akhirnya sampai di Puncak Syarif di ketinggian 3137 mdpl. Gunung Merbabu memiliki tiga puncak yang masing-masing terdapat tugu berwarna kuning sebagai penandanya. Ketiga puncak tersebut yakni Puncak Kenteng Songo, Puncak Trianggulasi, dan Puncak Syarif. Namun pada Tektok kali ini kami hanya mendatangi puncak Syarif saja untuk menghemat waktu dan tenaga meski kedua puncak lainnya telah tampak dari puncak sini. 

Mengingat posisi matahari telah berada di atas kepala dan kabut yang sudah mulai turun, maka setelah menyantap perbekalan dan mendokumentasikan kegiatan di puncak, rombongan kami pun akhirnya turun. 45 menit waktu yang sudah kami habiskan di puncak, rasanya sudah cukup.

Sekilas agak aneh untuk sebagian orang, apalagi yang tidak terbiasa mendaki gunung. Bagaimana tidak, perjalanan membutuhkan waktu lebih dari empat jam menuju puncak, namun ketika sampai di sana, kami hanya menghabiskan waktu ala kadarnya. Sebentar saja untuk makan dan berfoto. Tapi bagi mereka yang menyukai kegiatan di luar ruangan, hal terpenting justru adalah proses perjalanannya.

Saat hendak turun, rombongan kami memutuskan memilih jalur yang berbeda dengan pertimbangan jalurnya lebih aman dan landai walau kita harus berputar arah. Namun pemandangan melalui jalur yang akan bertemu di Pos 4 ini tidak kalah indahnya. Hamparan sabana hijau memanjakan mata yang membuat kita benar-benar menikmati perjalanan turun tanpa harus tergesa-gesa.

Monumen penghormatan di helipad
Monumen penghormatan/Ammar Mahir Hilmi

Pada jalur turun antara Pos 4 dan Pos 3 ini pula terdapat mata air yang dapat kita minum langsung. Saya pun tidak ingin ketinggalan merasakan kesegaran air pegunungan ini. Bahkan saya mengisi kembali tumbler saya hingga penuh dan membawanya sepanjang perjalanan turun bahkan hingga tiba kembali di Yogyakarta. Di jalur ini pula saya bersama Pak Hartanto dan Dwi menyempatkan singgah dan berfoto sejenak di helipad yang terdapat di jalur ini. Helipad ini difungsikan sebagai tempat mendarat helikopter untuk keperluan evakuasi ketika dalam kondisi darurat.

Perjalanan turun
Perjalanan turun/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan turun dari puncak atau tepat pukul dua siang, kami akhirnya tiba lagi di basecamp dengan selamat dan lengkap berjumlah enam orang seperti di awal perjalanan. Sejenak melemaskan otot-otot yang sempat menegang akibat perjalanan naik turun gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl sebelum pulang meninggalkan basecamp. Sebuah perjalanan pendakian yang mungkin lebih tepat disebut latihan fisik.

Aktivitas ini memang membutuhkan persiapan fisik dan mental untuk memulainya. Walau otot terasa nyeri setelahnya, namun kesan yang didapatkan selama perjalanannya membuat kita tiada henti ingin mengulanginya lagi. Benar kata orang-orang, keindahan Merbabu membuat kita ketagihan dan ingin kembali lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/feed/ 0 35173
Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/#respond Mon, 25 Jul 2022 02:55:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34707 Waktu telah menunjukkan pukul dua siang ketika rombongan telah sampai di pos lima yang merupakan camp area dengan kapasitas sekitar 20-25 tenda. Pada rencana awal, tim kami akan mendirikan tenda di pos tujuh dengan pertimbangan...

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Waktu telah menunjukkan pukul dua siang ketika rombongan telah sampai di pos lima yang merupakan camp area dengan kapasitas sekitar 20-25 tenda. Pada rencana awal, tim kami akan mendirikan tenda di pos tujuh dengan pertimbangan tidak memakan waktu lama untuk sampai ke puncak. Namun dengan pertimbangan stamina yang telah terkuras serta cuaca yang mendung, tim akhirnya memutuskan untuk mendirikan tenda di pos lima. Sehingga, waktu istirahat lebih banyak dan kami pun bisa mendapat tidur yang cukup untuk summit di keesokan harinya.

Tampak beberapa rombongan pendakian lainnya juga memutuskan untuk mendirikan tenda di pos ini. Bagi yang tidak terbiasa dengan pendakian dan suasana berkemah, di sinilah keunikan sekaligus keutamaan dari kegiatan di alam terbuka tampak. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun kehangatan interaksi antar sesama pendaki tetap terjalin di tengah dinginnya udara ketinggian. 

Di tengah hutan dengan segala keterbatasannya, semua golongan melebur menjadi satu tanpa ada sekat-sekat yang memisahkan. Sungguh tidak ada yang bisa disombongkan di hadapan alam. Kita hanyalah butiran kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan alam. Suasana camping benar-benar menggambarkan tidak adanya sekat yang membatasi kita antar sesama manusia, semuanya sama.

***

Alarm smartphone membangunkan kami dari tidur lelap di dalam tenda ketika waktu telah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Pertanda sudah saatnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Suasana masih gelap gulita ketika kami telah memulai summit untuk mencapai puncak Slamet. 

Berbekal alat penerangan, kami kembali menyusuri jalur pendakian dengan ditemani suhu dingin yang membuat tubuh menggigil. Jelas kemampuan untuk mengontrol suhu tubuh agar tetap terjaga sangat dibutuhkan di kondisi ini. Ketika merasa lelah, sesekali kita harus singgah beristirahat, mengatur nafas serta irama jantung dan paru-paru. Namun di sisi lain, dinginnya udara juga menjadi tantangan untuk tidak berhenti terlalu lama agar tidak terkena hipotermia.

Vegetasi Rapat
Vegetasi yang rapat/Ammar Mahir Hilmi

Tidak jauh berbeda dengan jalur sebelum camp area, kondisi jalur selanjutnya masih didominasi oleh vegetasi yang rendah dan rapat. Kencangnya angin kian terasa seiring dengan semakin berkurangnya pepohonan yang menandakan jalur sebentar lagi akan memasuki batas vegetasi. Perlahan cahaya jingga pun mulai tampak dari ufuk timur ketika tim telah memasuki area pelawangan atau yang bermakna perbatasan. 

Sesuai namanya, area ini merupakan batas vegetasi dimana tumbuhan tidak ditemukan lagi dan kondisi jalur berganti menjadi bebatuan dan kerikil. Kewaspadaan harus ditingkatkan ketika memasuki area ini. Selain memperhatikan pijakan pada trek yang didominasi batuan dan kerikil, kita juga harus senantiasa waspada pada bebatuan yang bisa saja meluncur dari arah depan tanpa kita duga.

Sinar mentari pagi perlahan memberi kehangatan ketika kami telah melewati setengah perjalanan dari trek berbatu dan berkerikil ini. Sesekali kami terdiam sejenak, beristirahat sembari memandangi indahnya pemandangan dan sejuknya udara pagi pegunungan. Suasana yang membuat kita candu akan pendakian, yang membuat kita tiada hentinya untuk kembali mendaki gunung lagi dan lagi. 

Puncak Gunung Slamet
Puncak Gunung Slamet/Ammar Mahir Hilmi

Langkah demi langkah tidak terasa semakin mendekatkan kami pada puncak Gunung Slamet. Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari camp area berjuang melewati trek berkerikil yang sangat menguras tenaga, kami akhirnya sampai di puncak Gunung Slamet pada ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut.

Angin kencang dan kabut tipis yang sempat menyelimuti puncak perlahan menghilang sehingga membuat kita dapat menyaksikan pemandangan dari puncak Gunung Slamet. “Sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang hendak engkau dustakan,” merupakan kalimat yang sering saya ucapkan dalam hati setiap kali berhasil meraih puncak dan melihat pemandangan yang indah di bawah. 

Dinamai Gunung Slamet karena penduduk setempat percaya bahwa gunung merupakan bagian dari bumi yang membawa keselamatan sehingga kelestarian flora dan fauna di dalamnya harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dengan merawat kelestarian alam di sekitarnya, Gunung Slamet pun juga akan memberikan keselamatan pagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Mengingat batas aman berada di puncak maksimal pukul sembilan pagi, maka beres mendokumentasikan perjalanan di puncak, kami pun akhirnya memutuskan turun untuk kemudian selanjutnya bersiap-siap pulang kembali ke rumah. Sungguh kegiatan pendakian gunung yang akan selalu memberi kesan dan cerita tersendiri di balik peristiwanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-2/feed/ 0 34707
Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/#respond Sun, 24 Jul 2022 02:19:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34706 Pendakian bukanlah tentang perlombaan siapa yang paling cepat sampai ke puncak untuk saling unjuk kebolehan. Bukan pula saling merendahkan untuk mencapai level tertinggi. Pendakian sejatinya tentang menikmati seluruh proses yang ada di setiap langkahnya, tentang...

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pendakian bukanlah tentang perlombaan siapa yang paling cepat sampai ke puncak untuk saling unjuk kebolehan. Bukan pula saling merendahkan untuk mencapai level tertinggi. Pendakian sejatinya tentang menikmati seluruh proses yang ada di setiap langkahnya, tentang bersyukur dan bersujud syukur rapat ke arah bumi, namun didengarkan oleh penghuni langit. 

Ajakan kawan dari Magelang dan Semarang tidak mampu saya tolak untuk kembali mendaki ke Gunung Slamet via Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut ini telah saya kunjungi sebelumnya di bulan September 2018 lalu. Statusnya sebagai puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa membuat saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk kembali berkunjung. Momen ini juga merupakan kali pertama saya kembali mendaki dan ngecamp di tahun 2022. Sebelumnya, saya hanya bisa merasakan tektok atau pendakian tanpa kemping di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah pada bulan April lalu.

Langit malam Yogyakarta masih gerimis ketika saya berangkat mengendarai sepeda motor menuju Magelang (Senin, 13 Juni 2022) untuk berkumpul dengan rombongan lainnya. Kami menjadikan rumah Pak Hartanto sebagai titik kumpul dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju basecamp Bambangan keesokan harinya. Di sini telah berkumpul juga Tri dan Yogi dari Semarang yang menggenapkan jumlah rombongan kami sebanyak empat orang. Jumlah yang sekiranya telah pas untuk satu tenda kapasitas lima orang.

Keberangkatan dari Magelang menuju Purbalingga dimulai pada pukul 04.00 dini hari (Selasa, 14 Juni 2022) dengan menggunakan kendaraan roda empat yang telah dicarter sebelumnya dan diantar oleh sopir yang juga bernama Pak Tri. Lama perjalanan memakan kurang lebih tiga jam hingga tiba di basecamp. Waktu yang cukup untuk melanjutkan tidur ketika kondisi masih setengah mengantuk dikarenakan harus bangun dan berangkat dini hari.

Mentari pagi telah menampakkan dirinya dari sisi timur ketika rombongan kami telah tiba di basecamp Bambangan, Kabupaten Purbalingga. Cuaca cerah telah cukup memberi kehangatan bagi rombongan kami dan rombongan pendaki lainnya untuk memulai pendakian pada hari itu juga. Dengan membayar retribusi Rp25.000 per orang dan meninggalkan kartu identitas salah satu anggota rombongan pendaki, kita dapat menjelajahi serta menikmati keasrian dan kesejukan hutan Gunung Slamet yang konon bagi penduduk setempat dipercaya sebagai “paku” Pulau Jawa. 

Hutan Slamet
Hutan Slamet/Ammar Mahir Hilmi

Atas keinginan untuk menghemat tenaga dan waktu, serta untuk membantu penduduk setempat, maka rombongan kami memutuskan untuk menyewa jasa ojek yang bersedia mengantarkan para pendaki dari basecamp hingga menjelang pos satu. Tarif dari jasa ini yaitu Rp30.000 per orang. Harga yang sebanding dengan skill dan kemampuan tukang ojek dalam mengendarai motornya di trek yang berlumpur serta menanjak. 

Layaknya gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa, lereng Gunung Slamet sebelum memasuki hutan didominasi oleh perkebunan penduduk dengan berbagai macam jenis sayuran. Begitupun ketika telah mulai memasuki hutan, pepohonan rimbun serta vegetasi rapat telah menyambut para pendaki di sepanjang jalur pendakian. Melansir dari berbagai sumber, hutan Gunung Slamet merupakan satu dari sekian hutan di Pulau Jawa yang masih dihuni oleh macan tutul, salah satu spesies dilindungi dan terancam punah.

Seperti jalur pendakian lainnya, pos satu hingga pos tiga jalur pendakian Gunung Slamet juga terdapat warung yang dikelola oleh penduduk sekitar. Keberadaan warung-warung ini telah sedikit mengurangi beban para pendaki sehingga tidak harus membawa logistik terlalu banyak. Terkait harga, tentunya akan ada perbedaan dengan harga di warung pada umumnya. Namun harga yang dipatok oleh para pemilik warung kiranya sebanding dengan usaha mereka untuk mengangkut barang dagangan dari perkampungan masing-masing.

Cuaca yang mulanya cerah perlahan mendung, kemudian menjadi hujan, air perlahan membasahi hutan Gunung Slamet. Alhasil, rombongan secara refleks mengeluarkan mantel masing-masing agar hujan yang turun tidak membasahi pakaian, logistik, serta peralatan elektronik yang kami bawa. Namun ternyata hujan tidak berlangsung lama, hanya sekitar 30 menit. Hujan berhenti ketika tim sedang beristirahat di pos tiga sekitar pukul 11.00. Setelahnya, suasana hutan cenderung berkabut tipis beserta angin yang bertiup perlahan menambah suasana sejuk tapi dingin khas pegunungan.

Kabut Tipis
Kabut tipis di hutan/Ammar Mahir Hilmi

Jika jalur pendakian dari basecamp hingga pos tiga didominasi oleh perkebunan dan hutan-hutan dengan pohon tinggi dan rindang, lain halnya kondisi trek setelah pos tiga. Vegetasi yang rendah dan rapat mendominasinya. Bahkan di beberapa kondisi jalur hanya mampu dilalui oleh satu orang saja. 

Kami berjalan sambil menunduk dan memperhatikan langkah kaki. Jalur pendakian setelah pos tiga benar-benar menuntut kita untuk berhati-hati, jangan sampai terpeleset ataupun tersangkut di dahan-dahan ilalang. Saking sempitnya, kadang kita harus setengah membungkuk ketika berjalan agar tas carrier di punggung tidak tersangkut karena rapatnya vegetasi.

Sungguh jalur yang banyak menguras energi! Pandangan kita dituntut untuk melihat kedua arah sekaligus. Melihat ke atas untuk memastikan carrier tidak tersangkut dan melihat ke bawah untuk mendapatkan pijakan yang tepat agar tidak terpeleset.Rapatnya vegetasi juga mengakibatkan jalur yang semulanya terang menjadi remang bahkan gelap walau jam masih menujukkan waktu masih siang. Beruntungnya kami yang mendaki di waktu weekday, jadi kami sedikit diuntungkan dengan kondisi jalur yang lumayan sepi sehingga kami tidak harus sering-sering berpapasan dan berbagi jalan dengan rombongan pendaki lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Slamet via Bambangan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-slamet-via-bambangan-1/feed/ 0 34706