Andy Dufresne https://telusuri.id/penulis/andy-dufresne/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Dec 2022 06:37:55 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Andy Dufresne https://telusuri.id/penulis/andy-dufresne/ 32 32 135956295 Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/ https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/#respond Thu, 08 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36522 “Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.” Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang...

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
“Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.”

Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang dikelilingi oleh tembok dan jeruji besi khusuk bermunajat kepada Tuhan Yang Esa. Berpasrah dan mengakui lemahnya diri adalah kunci bagi kami menjalani hari yang tersiksa oleh rindu dan waktu. Bagi negara, kami adalah penjahat yang harus disadarkan. 

Kali ini doa yang kami panjatkan berbeda dengan sebelumnya. Beberapa hari ini kami mendapat rezeki yang datang jauh dari seberang pulau, Bali. Seorang teman yang punya kegiatan berbagi nasi di Bali menghubungi saya, dia mau berbagi nasi buat teman-teman yang menjalani hidup di balik jeruji.

“Penjara adalah cerminan dari suatu negara,” kalau di negara ini masih banyak yang korupsi, tidak menutup kemungkinan hak-hak napi juga dikorup. Tapi apapun makanan harian yang diterima setiap hari wajib disyukuri, meskipun di bawah data dalam anggaran yang diajukan kepada negara.

ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara (TEMPO/ Gunawan Wicaksono)

Dari donasi yang diterima, kami pun memasak bersama. Bahan mentah beserta bumbunya beli di dapur kemudian dimasak dalam kamar. Lauk yang dimasak tersebut diperuntukkan untuk malam, tentunya setelah semua kegiatan kamar selesai.

Kebaikan yang diterima tentu saja tidak terabaikan. Sebagai manusia kurungan, mendoakan segala kebaikan bagi teman-teman yang berdonasi adalah cara untuk membalasnya dan tentu saja bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Rapalan-rapalan doa mustajab mengalun indah setelah salat Magrib. Pembacaan ibu surat dari Al-Quran yaitu Al-Fatihah dilantunkan bersama seiring pengucapan nama-nama teman-teman yang berdonasi, orang tua, keluarga ataupun kekasih yang masih setia menunggu kepulangan kami. 

Kami tidak hanya menerima donasi dari yang seiman, juga dari teman-teman yang tidak seiman. Betapa indahnya Tuhan memberikan warna berbeda dalam hidup, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Begitulah ajaran dari salah satu Khulafaur Rasyidin umat Islam, Ali bin Abi Thalib.

Semur ayam, gulai ayam, gulai daging, semur telor, semur daging, dan ayam balado adalah lauk yang kami masak selama beberapa hari. 

Di dalam penjara, perasaan lebih sensitif. Makanan hasil donasi terasa sangat nikmat, karena kami yakin ada keikhlasan di dalamnya. Menjadi penawar rindu yang sangat menyesakkan dada, berbagai tempaan hidup kami hadapi di sini. Dari orang tua yang meninggal, saudara dan anak yang masuk rumah sakit, diceraikan istri, hingga orang tua yang menua dan mulai lupa dengan anaknya.

“Penderitaan adalah jalan menemukan makna hidup,” mungkin itu kalimat yang tepat bagi kami. Perjalanan yang jauh ke dalam diri, perjalanan yang tidak dapat diukur oleh jarak. Jalan bagi kami untuk mulai menyayangi diri sendiri, dari menyayangi jiwa dengan ibadah, menyayangi pikiran dengan belajar dan menyayangi tubuh dengan asupan yang baik dan olahraga. 

sel di Penjara Banceuy
Sel nomor lima di situs Penjara Banceuy, Bandung, Jawa Barat. (TEMPO/Prima Mulia)

Penjara juga menjadi jalan menyelami perbedaan. Penjara adalah laboratorium manusia karena berbagai suku dan agama ada di sini. Tuhan, terima kasih untuk segala nikmat yang telah Engkau berikan. Terima kasih juga buat teman-teman yang telah berdonasi, segala kebaikan hidup selalu menyertai hidup kalian semua. 

Mengutip salah satu puisi Rendra, “Kita menyandang tugas, karena tugas adalah tugas. Bukannya demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/feed/ 0 36522
Kelaziman Baru di Balik Jeruji* https://telusuri.id/kelaziman-baru-di-balik-jeruji/ https://telusuri.id/kelaziman-baru-di-balik-jeruji/#respond Tue, 23 Jun 2020 07:03:08 +0000 https://telusuri.id/?p=22591 Suara gemuruh blok sel tahanan polres kota kecil menyambut kedatangan saya. “Jongkok! Jalan jongkok!!!” hardik mereka, memasang wajah sangar tanpa memasang baju, seakan saya adalah mangsa yang siap diterkam. Mereka berdiri di atas jeruji besi...

The post Kelaziman Baru di Balik Jeruji* appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara gemuruh blok sel tahanan polres kota kecil menyambut kedatangan saya. “Jongkok! Jalan jongkok!!!” hardik mereka, memasang wajah sangar tanpa memasang baju, seakan saya adalah mangsa yang siap diterkam. Mereka berdiri di atas jeruji besi yang membatasi kamar dan ruang tengah blok.

Nyali sempat ciut, akan tetapi ini adalah babak yang mengawali bab baru cerita perjalanan hidup saya. Berjalan jongkok menuju ruangan sel di pojok blok yang akan saya huni, saya dengar mereka teriak memerintah, “Tangan di atas kepala!”

“Saya bukan monyet!” bentak saya dalam hati. Suara hardikan mereka semakin keras, tetapi saya tidak menghiraukannya.

Sesampai di depan kamar, pintu jeruji dibuka. Saya disambut penuh senyum oleh para penghuni. Hati saya begitu lega. “Pertama masuk memang begitu tradisi di sini,” ucap salah seorang penghuni. Saya pun berkenalan dengannya, tak lupa disuguhi segelas air putih dan sebatang rokok.

Hari demi hari dilalui, saya berasa binatang di kebun binatang yang dikurung dan dikasih makan dan minum. Kadang lamunan terbang mengingat binatang-binatang yang dikurung untuk jadi tontonan manusia. Mungkin sama yang mereka rasakan dengan apa yang saya alami ini; kebebasan hidup direnggut, jauh dari keluarga. Dan pada saat itu juga saya berkomitmen tidak akan mengurung binatang dalam hidup ini.

Selama pandemi, kehidupan kami mungkin lebih merdeka daripada orang-orang yang hidup di luar sana, seperti sudah saya ceritakan pada catatan-catatan sebelumnya.

New normal.” Istilah yang didengungkan presiden itu hinggap juga di balik jeruji. Bagi saya istilah itu sudah terasa semenjak hari pertama saya berada di balik jeruji. Tidak ada yang istimewa.

Beberapa hari pertama dalam perenungan, saya sudah mempunyai program untuk diri sendiri: BIO. Kepanjangan dari belajar, ibadah, dan olahraga.

Saya kembali belajar membaca Alquran, bacaan salat, dan beruntung di kamar-kamar blok polres ada buku-buku yang siap disantap. Pertama masuk, para tahanan memang kelihatan sangar. Akan tetapi setelah itu mereka baik-baik semua. Mungkin karena kesamaan nasib, kami harus saling dukung untuk menghadapi ini semua.

Di dalam penjara saya merasakan kenikmatan beribadah, salat lima waktu dan membaca Alquran. Di sini pertama dalam hidup saya mengkhatamkan membaca dari al-Fatihah hingga an-Nas. Saya juga membaca terjemahannya. Perlahan-lahan saya belajar menafsirkannya, tentu dengan pengalaman hidup yang saya punya. Di kamar ada teman yang berbeda keyakinan. Dialah ujung tombak salat Subuh berjemaah di kamar. Dia tidak segan-segan membangunkan kami yang muslim untuk salat berjemaah. Bahkan dia bisa marah kepada yang tidur lagi.

Setelah salat Asar adalah waktunya olahraga. Biarpun kamar sempit, masih ada sedikit ruang untuk lari di tempat, push-up, dan sit-up. Saya menargetkan minimal satu jam sehari untuk olahraga.

Program BIO tersebut tidak berhenti hanya di polres saja. Saya pun melanjutkannya ketika dipindahkan ke lapas. Diam dan menyerah dengan keadaan adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.

Kebahagiaan pertama saya berada di lapas adalah melihat masjid, perpustakaan, dan tentunya ruangan terbuka untuk melakukan olahraga. “Saya tidak akan tunduk dengan keadaan.” Saya hunjam jauh kalimat itu ke dalam diri.

Lapas adalah ladang perbaikan diri, ladang silaturahmi, ladang bermain, dan tentu juga ladang mengorek kisah-kisah hidup para penghuninya untuk pelajaran hidup saya. Ada beberapa kalender yang harus saya habiskan selama menjalani hukuman, rentang waktu yang cukup buat memperbaiki diri.

Di balik jeruji ini perenungan demi perenungan hidup muncul, juga pertanyaan: “Untuk apa semua perjalanan yang telah saya lakukan ini?”

Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Nelson Mandela, Fidel Castro, Evo Morales, Buya Hamka, Malcolm X, Mahatma Gandhi, Bediuzzaman Said Nursi, Recep Tayyip Erdogan, hingga Nabi Yusuf AS, para mantan napi, yang menari di kepala ini cukup memberi semangat menghadapi perjalanan di balik jeruji.


*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kelaziman Baru di Balik Jeruji* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kelaziman-baru-di-balik-jeruji/feed/ 0 22591
Kasih Ama Sepanjang Jalan* https://telusuri.id/kasih-ama-sepanjang-jalan/ https://telusuri.id/kasih-ama-sepanjang-jalan/#comments Wed, 27 May 2020 06:51:11 +0000 https://telusuri.id/?p=21877 Hanya ama yang paling mengerti saya. Selama perantauan saya di ibu kota, ama paling sering menghubungi. Dan saya selalu cerita tentang hal-hal yang saya alami, dari bekerja di katering milik adik bapak, sopir travel, membawa...

The post Kasih Ama Sepanjang Jalan* appeared first on TelusuRI.

]]>
Hanya ama yang paling mengerti saya.

Selama perantauan saya di ibu kota, ama paling sering menghubungi. Dan saya selalu cerita tentang hal-hal yang saya alami, dari bekerja di katering milik adik bapak, sopir travel, membawa angkot, sopir truk, hingga membuat heboh keluarga besar di kampung tatkala saya bekerja selama enam bulan di salah satu gereja kawasan Karet.

Begitu juga selama saya di perjalanan. Komunikasi melalui seluler sering kami lakukan. Ketika saya keliling pulau-pulau Raja Ampat selama lebih kurang dua minggu dan tidak mendapat sinyal, ama marah-marah karena tidak bisa menghubungi saya.

Ama adalah orang pertama yang mendukung perjalanan hitchhiking saya. Setiap tahun saya selalu menceritakan tentang mimpi saya untuk melakukan perjalanan mengenal Indonesia. Ketika mudik dengan sepeda motor tahun 2010, saya sempat berucap, “Sekarang adalah langkah pertama perjalanan jauh. Suatu hari semoga saya bisa melakukan perjalanan keliling Indonesia.”

Ketika mengawali perjalanan dengan “mengangkat-jempol,” saya pulang kampung untuk meminta izin dan restu kepada ama. Saya sangat bersyukur mendapat dukungan penuh dari beliau. Ketika itu saya dibilang orang gila oleh orang kampung, karena berangkat hanya dengan uang seadanya. Ama sering mendengar ocehan-ocehan tentang saya di kampung, tetapi dia tidak pernah melenturkan semangat saya.

Bagi teman-teman pejalan di Merauke, saya adalah pejalan “anak mama.” Akan tetapi saya tidak peduli dengan anggapan tersebut, karena mumpung masih hidup. Penyesalan datang nanti ketika kita sudah kehilangan.

Ama adalah orang pertama yang kepadanya akan saya ceritakan kisah-kisah selama di perjalanan, tentang kehidupan sosial, budaya, hingga mengenalkan beliau kepada keluarga-keluarga angkat saya di perjalanan melalui telepon seluler. Bahkan sampai sekarang ama masih berkomunikasi dengan beberapa orangtua angkat saya, menjalin persaudaraan.

Pernah satu kali ketika kami berkomunikasi ama bercerita bahwa ternyata keliling-masuk-keluar kampung memang mengasyikkan. Bisa melihat pemandangan-pemandangan yang indah dan tentu saja mendapat teman-teman baru.

Saya pun penasaran dengan cerita ama tersebut, karena setahu saya kegiatan ama hanya berdagang kecil-kecilan di lapau keluarga kami. Setelah saya tanya tentang aktivitas ama sekarang, saya terkejut kemudian tertawa mendengar penuturan ama yang ternyata beralih profesi. Sekarang profesi ama adalah PNS alias pakang non-stop atau makelar tanah.

Ketika teman-teman dari luar daerah berkunjung ke kampung dan saya tidak ada, ama yang akan menyambut mereka. Bagi ama para pejalan adalah anaknya juga, sama seperti saya. Dia juga merasakan bagaimana saya sering dibantu orang-orang selama di perjalanan, karena ama tahu berapa isi kantong saya.

Pernah satu waktu ada kunjungan salah seorang prajurit TNI ke rumah. Kami berkenalan ketika saya melakukan perjalanan ke kampung paling ujung timur Indonesia di Papua sana. Dia menceritakan kepada ama bagaimana kala itu saya dicurigai sebagai mata-mata OPM. Saya berusaha untuk memberi kode kepada prajurit tersebut untuk tidak menceritakan persoalan keamanan kepada ama, akan tetapi dia masih terus bercerita.

Setelah kejadian tersebut, saya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan ama agar merestui perjalanan saya lagi. Bagi saya izin dari ama adalah yang paling penting di dalam perjalanan, karena saya yakin tentang “doa ibu sepanjang jalan.”

Setelah satu tahun mengelilingi Papua, ama meminta saya untuk pulang kampung. Akan tetapi saya malas untuk pulang karena ada beberapa daerah lagi di Papua yang ingin saya datangi.

“Pulanglah, Nak,” ucap ama dari balik telepon seluler.

Kemudian saya bercerita kepada kakak angkat saya tentang ama yang meminta saya pulang. Dengan santai, kakak angkat saya berbicara, “Pulanglah. Mana tahu ini adalah pesan terakhir.”

Ucapannya membuat saya langsung tertunduk lemas dan keesokan harinya saya mulai berangkat meninggalkan tanah Papua menuju kampung halaman, kembali “mengangkat-jempol.” Waktu yang saya tempuh untuk sampai kampung lebih kurang tiga minggu.

Banyak orang yang bertanya, selama di perjalanan saya memakai jimat apa? Kepada orang-orang tersebut saya hanya menjawab, “Hati-hati di jalan, jaga kesehatan, jangan lupa salat, dan ama yang selalu mendoakan di rumah.”

Doa. Itulah mantra mustajab yang sering saya dengar setiap akhir pembicaraan saya dengan ama lewat telepon seluler. Dengan mantra tersebut saya yakin bisa ke mana saja di muka bumi ini.


Bau jeruji besi sangat saya benci ketika pertama masuk sel tahanan polres kota kecil ini. Hari berganti minggu lalu berganti bulan. Berdiri dan memegangi jeruji besi menjadi kebiasaan sembari merenung—saya mulai menyukai baunya. Merenung dan membuka kotak Pandora kenangan membuat saya merasa sangat berdosa; wajah itu selalu muncul di benak mengisi hari.

Ama!


*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kasih Ama Sepanjang Jalan* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kasih-ama-sepanjang-jalan/feed/ 1 21877
Idul Fitri, Pram, Rindu, dsb.* https://telusuri.id/idul-fitri-pram-rindu-dsb/ https://telusuri.id/idul-fitri-pram-rindu-dsb/#respond Mon, 25 May 2020 18:58:57 +0000 https://telusuri.id/?p=21861 Menulis adalah pekerjaan untuk menjaga agar api harapan terus menyala. Demikian kata Pramoedya. Kawan, aku akan menuliskan kepadamu bagaimana kami para narapidana merayakan Idul Fitri di balik jeruji lapas kota kecil ini. Kami di sini...

The post Idul Fitri, Pram, Rindu, dsb.* appeared first on TelusuRI.

]]>
Menulis adalah pekerjaan untuk menjaga agar api harapan terus menyala. Demikian kata Pramoedya.

Kawan, aku akan menuliskan kepadamu bagaimana kami para narapidana merayakan Idul Fitri di balik jeruji lapas kota kecil ini.

Kami di sini mungkin lebih beruntung daripada kau yang berada di luar sana. Kami bisa menjalani salat Id secara berjemaah. Ratusan orang, sehabis salat Subuh kami sibuk mempersiapkan diri. Akan tetapi, kami tidak bisa merayakan lebaran bersama orang tua, istri, anak-anak, ataupun sanak famili. Soal yang disebut terakhir ini, Kawan, kami barangkali tidak seberuntung kau.

Setelah melakukan salat Id berjemaah, kami berbaris lalu bersalaman dan berpelukan, merasakan buncah di dalam diri, rasa yang sama sebagai orang-orang yang senasib. Aku tidak dapat membendung rasa ini, melihat tatap-tatap mata yang tidak dapat berbohong akan rindu kepada orang-orang yang disayangi di luar sana.

Kehilangan momen. Mungkin itu yang pantas kami terima. Kehilangan momen berbakti kepada orangtua, melihat anak tumbuh, mencari nafkah untuk keluarga, mengejar cita-cita ataupun menatap wajah istri yang sedang terlelap.

Lapas memberikan fasilitas untuk melakukan video call di lebaran ini, dan juga menerima titipan barang dari keluarga. Di masa pandemi tidak ada besukan. Kami sangat memahami hal tersebut; satu orang terpapar maka mungkin kami yang ratusan orang ini akan terpapar juga karena kami hidup berkumpul.

Melakukan panggilan video dengan orangtua di kampung sana cukup membuatku bahagia. Bertatap dengan orangtua, saudara, dan juga keponakan membuat lara di dalam hati sedikit berkurang.

Kawan, mungkin kau tahu anggapan masyarakat di luar sana tentang kami yang di balik jeruji ini: sampah masyarakat, manusia tak berguna, hingga penjahat. Akan tetapi kami ini juga manusia sama seperti kau. Kami juga mempunyai rasa kasih sayang, dan juga rindu.

Rindu.

Aih, rasa ini, Kawan. Aduuuuh….

Hanya butuh setengah hari untuk silaturahmi sesama napi di lapas kota kecil ini. Sisanya kembali kepada rutinitas biasa. Menenun hari demi hari, entah seperti apa tenunan itu ketika aku bebas nanti.

Sebelum menutup cerita ini, aku mau memberitahukanmu: ada seorang perempuan yang hadir di dalam perjalananku di balik jeruji. Dia itu fans beratnya Pramoedya Ananta Toer. Sementara aku, sebelum ditangkap, cuma baru baca Bumi Manusia. Sebagai manusia Indonesia yang literasi rendah aku tidak terlalu banyak tahu tentang Pram.

Kawan, kami berinteraksi melalu surat-surat. Dia memintaku untuk membaca semua karya Pram. Dia mengirimiku beberapa buku dan tentu saja tiga dari Tetralogi Buru. Tidak hanya itu saja, aku juga mulai mencari literatur-literatur tentang Pram. Perempuan itu mencekokiku; mungkin dia tahu aku masih bodoh.

Setelah menamatkan Tetralogi Buru, aku kembali mengirimi dia surat menceritakan bahwa apa yang kurasakan selama melakukan perjalanan keliling Indonesia sama dengan apa yang terjadi di zaman Minke. Cuma, bedanya sekarang “dijajah” oleh bangsa sendiri. Cakar-cakaran sesama anak bangsa masih sama—apalagi aparatur-aparatur yang berlagak priyayi.

Kawan! Mungkin sebagai orang yang masih bodoh dan tidak sekolah tinggi ini, dicekoki tentang Pram bagiku adalah anugerah. Apalagi yang mencekokiku seorang perempuan—masih jomblo. Penderitaan yang kualami di balik jeruji mungkin hanya seupil dari penderitaan yang dialami Pram di pembuangan.

Yang terakhir, Kawan, kau pasti ingin tahu siapa perempuan jomblo yang mencekokiku itu, ‘kan? Perempuan itu aku kenal dari buku sejarah.


*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Idul Fitri, Pram, Rindu, dsb.* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/idul-fitri-pram-rindu-dsb/feed/ 0 21861
Yang Hilang di Lapas Semasa Corona* https://telusuri.id/yang-hilang-di-lapas-semasa-corona/ https://telusuri.id/yang-hilang-di-lapas-semasa-corona/#respond Thu, 07 May 2020 10:45:04 +0000 https://telusuri.id/?p=21389 “Wajah penjara cermin hukum negara, sungguh-sungguh atau pura-pura,” kata Mbak Najwa. Satu per satu teman-teman di lapas pulang. Ketika program asimilasi alias pembebasan para narapidana yang memenuhi persyaratan dari Kemenkumham digulirkan, banyak teman yang mendapatkannya....

The post Yang Hilang di Lapas Semasa Corona* appeared first on TelusuRI.

]]>
“Wajah penjara cermin hukum negara, sungguh-sungguh atau pura-pura,” kata Mbak Najwa.

Satu per satu teman-teman di lapas pulang. Ketika program asimilasi alias pembebasan para narapidana yang memenuhi persyaratan dari Kemenkumham digulirkan, banyak teman yang mendapatkannya. Saya merasakan kebahagiaan mereka yang bisa berkumpul lagi dengan keluarga.

Melepas teman-teman yang pulang adalah hal yang sangat saya sukai. Ketika mendapat kabar ada yang bakal pulang, saya akan pergi ke kamar mereka hanya untuk mengucapkan selamat pulang. Tak bisa dipungkiri bahwa hati kecil merasakan iri. Akan tetapi, saya belajar untuk semakin sabar menghadapi rasa yang bergejolak di dalam diri, sekaligus untuk memahami bahwa “pulang” adalah kata yang mahal di sini.

Lalu bermunculan kabar soal para narapidana program asimilasi yang bikin ulah lagi. Saya tidak heran juga sebenarnya. Akan tetapi, dari 30.000 orang narapidana yang bebas di seluruh Indonesia, berapa persen saja sebenarnya yang bikin ulah? Juga, kita tak disuplai kabar soal apa yang dilakukan oleh narapidana yang tidak bikin ulah.

Berita jelek adalah berita baik bagi media di negeri ini.

Tapi, di masa pandemi ini, kami yang terpenjara ini masih bersyukur karena masih bisa nongkrong sembari menyeruput kopi sobek bersama-sama. Tidak hanya itu, kami bisa melakukan salat fardu, Jumat, dan tarawih secara berjemaah tanpa takut terserang corona. Bukan berarti tidak ada antisipasi. Pengecekan sangat ketat dilakukan terhadap siapa pun yang keluar-masuk lapas ini, meskipun mereka yang datang dan pergi hanyalah petugas serta orang-orang yang memasok pangan kami.

Saya melihat justru orang-orang yang berada di luar sanalah yang lebih terpenjara daripada kami; saling curiga antarsesama pun terjadi. Sementara, kami di sini hidup berkumpul berbagi apa pun yang kami punya tanpa harus saling curiga terkait corona. Kami tidak mengenal PSBB, social distancing, pun physical distancing. Setiap sore teman-teman menikmati permainan sepak bola di lapangan lapas, jalan kaki keliling lapangan dan tetap nongkrong bercanda tawa menunggu waktu berbuka datang. Kegiatan Ramadan berjalan meski sedikit ada pembatasan, karena aturan yang dikeluarkan oleh negara.

Salah satu pembatasan itu berujung pada ditiadakannya jadwal besukan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Bagi saya ruangan besukan adalah ruang kasih sayang, tempat seorang suami melepas rindu kepada istri dan memeluk anaknya, tempat seorang pujaan hati bertukar kabar dengan sang kekasih yang kepulangannya selalu dinanti, juga tempat para orangtua empunya maaf tak terhingga bercengkerama dengan anaknya.

Biarpun kami dicap penjahat oleh negara, kami juga manusia yang mempunyai hati nurani, kasih sayang, dan juga rindu. Selama saya menjalani hukuman di lapas ini, hanya sekali saya merasakan kunjungan dari seorang sahabat. Beberapa kali teman-teman mengajak saya untuk bertemu keluarganya, sebab mereka tahu keluarga saya jauh di kampung sana.

Setiap besukan, di meja pojok ruangan, saya sering melihat seorang ibu yang menyuapi serta membelai lembut kepala anaknya. Ibu tersebut memutuskan pindah dari rumahnya di provinsi lain dan mengontrak rumah tak jauh dari lapas. Setiap hari besukan dia selalu datang. Sudah lima tahun lebih hal ini dilakukannya.

Bagi kami hari besukan adalah hari rayanya penjara. Yang tidak dibesuk pun ikut bahagia karena teman-teman yang dibesuk pasti membawa camilan atau makanan yang dimasak oleh keluarganya. Makanan tersebut dijamin enak, sebab dimasak dengan kasih sayang dan disantap bersama-sama.

Pandemi corona mengubah segalanya—dan mungkin setelah pandemi ini berlalu kita akan masuk era baru. Mungkin!

Dua tangan menengadah ke atas, bersama rindu yang membuncah dan permohonan kepada Sang Maha Segalanya. Rapalan doa mustajab terlantun dan terkadang air mata menetes tanpa diminta; memohon kebaikan untuk IBU, IBU, IBU dan AYAH.


*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Hilang di Lapas Semasa Corona* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-hilang-di-lapas-semasa-corona/feed/ 0 21389
Mengenang Sekolah “Favorit”* https://telusuri.id/mengenang-sekolah-favorit/ https://telusuri.id/mengenang-sekolah-favorit/#respond Thu, 16 Apr 2020 16:36:37 +0000 https://telusuri.id/?p=20990 SMA X adalah sekolah keempat saya selama menuntut ilmu di bangku SMA. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruangan: pertama buat kantor, kedua untuk kelas 3, dan satunya lagi untuk kelas 2 dan 1. Berhubung tidak...

The post Mengenang Sekolah “Favorit”* appeared first on TelusuRI.

]]>
SMA X adalah sekolah keempat saya selama menuntut ilmu di bangku SMA. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruangan: pertama buat kantor, kedua untuk kelas 3, dan satunya lagi untuk kelas 2 dan 1. Berhubung tidak ada murid kelas 1, ruangan itu hanya digunakan kelas 2.

Bagi orang-orang di kampung, SMA X adalah sekolah terakhir untuk anak-anak nakal. Seandainya tidak selesai juga sekolah di sana, jalan satu-satunya adalah sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa).

Jumlah muridnya tidak terlalu banyak, hanya 46 orang satu sekolah: 29 orang kelas 3, 17 orang kelas 2, 0 murid kelas 1. Masuk sekolah pukul sembilan sementara pulangnya bebas semau kita. 

SMA X adalah sekolah paling asyik bagi saya. Sekolah yang istimewa, karena butuh jalan panjang kenakalan untuk bisa sekolah di sini. Sebenarnya ini sekolah yang sangat sulit dimasuki, karena perlu keluar dari tiga sekolah dulu untuk bisa bersekolah di SMA X.

Saat lulus SMP saya diterima di SMA negeri yang merupakan sekolah favorit di kota kami. Tidak butuh waktu lama, lapau (warung) mengalihkan perhatian saya dari ruang kelas; main domino sepanjang hari, pinjam motor senior hingga sore, sampai mulai belajar mengisap ganja.

Belum genap caturwulan pertama, ama (ibu) sudah dipanggil sekolah. Setelah itu beliau akrab dengan panggilan dari sekolah. Akhirnya saya putuskan berhenti sekolah sebelum caturwulan dua selesai. Enam bulan berikutnya saya habiskan dengan main domino dan mabuk-mabukan. Saya selingi dengan ikut les bahasa Inggris dua kali saja.

Bertahun-tahun lalu, sebelum dunia lebih beradab seperti sekarang ini, kampung saya adalah pusat judi amatiran. Apa saja bisa diperjudikan hingga game pacu kuda di PlayStation (PS). Kami, sampah-sampah masyarakat, berkumpul dalam kegembiraan tiada henti, seolah-olah surga mendahului kiamat datangnya.

Tahun ajaran berikutnya saya masuk SMKN. Sekolah itu berjarak kira-kira 200 meter dari warung orang tua saya. Ama berharap dengan bersekolah di sana saya lebih mudah diawasi.

Dua bulan pertama saya rutin belajar, mungkin karena banyak bidadari manis di kelas. Dan untuk PR saya tidak perlu khawatir, sebab sudah ada murid lain yang saya minta mengerjakan.

Tetapi masa menjanjikan itu tidak berlangsung lama. Bulan ketiga, saya kembali pada hari-hari normal sebelumnya. Siang hari di rental PS dan malam hari diisi dengan mabuk-mabukan.

Saat menerima rapor semester pertama, saya menduduki peringkat terakhir di kelas. Semester berikutnya saya tidak pernah lagi masuk sekolah.

Tahun berikutnya saya coba lagi mendaftar di sekolah swasta. Saya meminta langsung kelas 3. Tetapi akhirnya saya hanya bisa “dinaikkan” ke kelas 2 walaupun tidak pernah selesai kelas 1.

Saya mulai hidup layaknya remaja normal. Bertemu lagi saya dengan sahabat lama, jarang bolos, hingga jatuh cinta dan ditolak teman perempuan. Bahkan saya sempat ikut marching band. Tetapi itu hanya berlangsung empat bulan.

Tiba-tiba kepala sekolah mempertanyakan lagi rapor kelas 1 saya yang tidak lengkap. Dia meminta saya kembali ke kelas 1 dengan iming-iming kesempatan PMDK ke universitas negeri saat kelas 3 nanti.

Ilustrasi lorong sekolah via pexels.com/Pixabay

Saya berpikir, teman-teman angkatan saya sudah kelas 3, masa saya harus balik ke kelas 1? Akhirnya lantang saya katakan pada kepala sekolah, “Tiga tahun sekolah itu biasa, empat tahun itu nakal, dan lima tahun itu bodoh.”

Saya dikeluarkan dari SMA itu.

Setelah beberapa bulan menganggur atas ide sendiri, saya mendaftar di SMA X. Permintaan untuk naik kelas 3 segera disanggupi dengan tambahan biaya membuat rapor kelas 1 dan 2. Begitulah jalan panjang saya sampai di SMA “favorit” ini.

Biasanya sebelum masuk kelas kami berkumpul di warung pinggir sawah belakang sekolah. Kami menyebut ritual tiap pagi itu dengan istilah SPI (Selamat Pagi Indonesia), yaitu menghisap ganja bersama.

Setelah itu baru pindah ke warung depan sekolah untuk bermain batu domino. Di kampung, warung-warung di luar sekolah selalu menyediakan batu domino.

Ada atau tidak ada guru kami tetap tidak masuk kelas, kecuali ketika kepala sekolah menjemput ke warung. Kadang kami belajar sembari minum kopi di kelas.

Hal-hal seperti ini yang saya senangi di sekolah X; kami belajar sambil bermain. Padahal semuanya kosong. Hanya kesenangan yang kami dapatkan.

Teman-teman bermacam hobinya, mulai dari motor, band, judi domino dan koa, hingga berburu babi. Karena tidak punya hobi, saya ikuti semua kegemaran mereka itu.

Menjelang UAN, kepala sekolah mewanti-wanti: kalau sampai kami tidak lulus, maka sekolah favorit ini akan ditutup.

Kunci jawaban tergantung pada satu-satunya siswa pintar di sekolah kami. Setelah intimidasi tidak perlu, dia mau berbagi jawaban dengan cara memberi kertas jawaban di WC.

Akhirnya, dari 29 murid SMA X tercinta, cuma dua orang yang tidak lulus. Keduanya duduk berdekatan. Setelah ditelusuri, ternyata mereka salah mengisi contekan. Jawaban yang kami terima, nomor 10 dikosongkan sehingga harus dilewati. Sementara mereka tetap mengisi nomor 10 itu sehingga ke bawahnya salah semua.

Kami akan selalu dikenang sebagai alumni terbaik yang telah menyelamatkan sekolah.

Saat sekolah lain jadi belenggu, SMA X membebaskan kami. Tapi hidup ternyata tidak semudah itu.

Matahari mulai tampak dari celah pepohonan di belakang polres kota kecil ini. Menikmati sunrise menjadi salah satu hal yang paling saya sukai di balik jeruji ini. Sementara, teman-teman satu sel saya masih asyik dengan mimpi mereka, entah mimpi bagus atau jelek. Di sudut ruangan, Bang Teki masih duduk melamun. Sudah semalaman dia belum memejamkan matanya, memikirkan anak gadisnya yang sudah beranjak remaja dan satu lagi yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sel adalah ruangan penyesalan perbuatan yang telah mengantar kami hidup di balik jeruji, di mana tubuh kami berada di dalamnya namun otak kami sibuk berasumsi bagaimana keadaan orang-orang yang kami sayangi di luar sana.

Hanya butuh beberapa hari bagi saya untuk merenung menerima keadaan ini. Bahkan untuk mendiami sel kami harus membayar kepada polisi yang berjaga. Kami dijadikan sapi perah mereka. Jatah makan dua kali sehari porsinya hanya untuk anak kecil. Perut kami dipaksa lapar agar mereka leluasa mengeruk keuntungan dari kami. Sudah jatuh terus perut kami dihantam pakai palu.


*) Nama penulis dan tokoh-tokoh dalam cerita disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Sekolah “Favorit”* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-sekolah-favorit/feed/ 0 20990
Merenungi COVID-19 dari Balik Jeruji* https://telusuri.id/merenungi-covid-19-dari-balik-jeruji/ https://telusuri.id/merenungi-covid-19-dari-balik-jeruji/#comments Sun, 12 Apr 2020 02:17:00 +0000 https://telusuri.id/?p=20925 “Dilarang berkumpul.” Demikian imbauan pemerintah kepada masyarakat tentang bagaimana harus waspada menghadapi pandemi yang sedang melanda dunia. Akan tetapi, di dalam penjara lapas kota kecil ini, kami hidup berkumpul. Saya mencoba merenungkan kembali perjalanan yang...

The post Merenungi COVID-19 dari Balik Jeruji* appeared first on TelusuRI.

]]>
“Dilarang berkumpul.” Demikian imbauan pemerintah kepada masyarakat tentang bagaimana harus waspada menghadapi pandemi yang sedang melanda dunia. Akan tetapi, di dalam penjara lapas kota kecil ini, kami hidup berkumpul.

Saya mencoba merenungkan kembali perjalanan yang saya lakukan di republik tercinta ini, melihat bagaimana hutan-hutan dihabisi untuk dijadikan ladang sawit, perburuan-perburuan liar, kayu-kayu gelondongan yang dihanyutkan dari hulu Sungai Mahakam, kapal-kapal penumpang membuang sampahnya di laut, dan bagaimana bom-bom ikan meledak di atas perairan.

Tahun 2013 saya pernah diskusi dengan seorang teman di tepian Sungai Kayan, Bulungan, Kalimantan Utara.

Kami bercerita bagaimana cara menyelamatkan bumi dari keberingasan manusia yang tanpa ampun menghancurkan alam sekitarnya; soal kampanye demi kampanye yang terus dilakukan oleh aktivis-aktivis pencinta lingkungan, akan tetapi nihil hasil sebab kerusakan terus bertambah; sampai pada teori konspirasi, yakni bagaimana 3/4 populasi manusia di muka bumi ini harus dimusnahkan untuk memurnikan kembali alam, entah itu menggunakan bom kimia pun virus yang menjangkiti hanya manusia saja, tidak makhluk lain.

Kami pun sibuk mengkhayal bagaimana ketika manusia ini mati menjadi pupuk organik yang paling bagus bagi tanah dan memberi asupan nutrisi yang bagus bagi tanaman-tanaman yang hidup di atasnya.

Manusia menjadi virus bagi alam; mungkin hanya sangat sedikit yang benar-benar mencintainya dan hidup harmonis bersama. Di luar teori konspirasi, COVID-19 memberikan dampak positif bagi alam. Lapisan ozon semakin membaik. Bahkan dari Jakarta kita bisa melihat bagaimana cantiknya Gunung Salak dari kejauhan, awan-awan menari dengan indah, dan, di kota kecil ini, saya merasakan udara yang segar dan sinar matahari pukul 10 pagi tidak menyengat ketika saya maraton mengelilingi lapangan lapas.

Bagi saya, seorang pejalan dan juga narapidana, COVID-19 adalah doa rintihan alam yang teraniaya oleh manusia kepada Tuhan. Alam, yang sama dengan kita, makhluk ciptaan-Nya, selama ini sangat memberi manfaat atas keberlangsungan hidup manusia di muka bumi, akan tetapi apakah manusia memberi manfaat kepada alam?

Lampu-lampu di Italia di malam hari via pexels.com/Pixabay

Kampanye-kampanye pemerintah kepada masyarakat untuk menjaga alam hanya menjadi omong kosong belaka; pemerintah juga memberikan izin eksploitasi alam kepada para penghancur. Mereka berkata jagalah alam untuk anak cucu kita nantinya. Tapi, jika kondisi penghancuran terus jalan, bagaimana kehidupan mereka nanti?

Saya sangat bersyukur melakukan perjalanan di republik ini. Sempat saya berpikir bahwa generasi saya adalah generasi terakhir yang bisa menikmati keindahan-keindahan tersebut. Tidak tahu bagaimana generasi sesudah saya nanti. Apakah mereka hidup bersama bencana-bencana atau virus-virus yang lebih ganas dari COVID-19 ini?

“COVID-19 sedang berburu manusia,” begitu anggapan saya pada saat ini. Sama halnya bagaimana sebelumnya manusia berburu hewan-hewan yang bukan untuk dimakan, akan tetapi untuk melepaskan hasrat kepuasan berburunya. Manusia memiliki strategi untuk berburu, COVID-19 tidak mempunyai strategi untuk berburu manusia. Hanya mereka yang lengah bisa diserangnya. Kembali kepada disiplin manusia itu sendiri untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Saya masih bersyukur hidup di dalam penjara dalam situasi ini. Kami masih bisa melaksanakan salat Jumat dan salat fardu berjemaah walaupun menggunakan masker dan hand-sanitizer. Kami memang masih bisa berkumpul bercengkerama layaknya kehidupan normal, akan tetapi hati kami masih dilanda cemas terhadap keadaan keluarga di luar sana.

Mudah-mudahan pandemi segera berakhir dan kita semua bisa kembali melakukan aktivitas normal lagi tanpa melakukan perusakan alam—atau kita semua mesti siap-siap diburu sekali lagi.


*) Nama penulis dan tokoh-tokoh dalam cerita disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merenungi COVID-19 dari Balik Jeruji* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merenungi-covid-19-dari-balik-jeruji/feed/ 1 20925
Cerita Penjara* https://telusuri.id/cerita-penjara/ https://telusuri.id/cerita-penjara/#respond Sun, 12 Jan 2020 05:03:10 +0000 https://telusuri.id/?p=19268 “Mau tidur di kursi panjang itu?” ujar seorang polisi suatu ketika sembari menunjuk kursi panjang yang ada di ujung ruang piket. Saya menerimanya dan juga bersyukur karena ada tempat untuk merebahkan tubuh beristirahat setelah seharian...

The post Cerita Penjara* appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mau tidur di kursi panjang itu?” ujar seorang polisi suatu ketika sembari menunjuk kursi panjang yang ada di ujung ruang piket. Saya menerimanya dan juga bersyukur karena ada tempat untuk merebahkan tubuh beristirahat setelah seharian melakukan perjalanan.

Tidak terhitung sudah berapa kantor polisi di republik ini yang sudah saya singgahi sekadar untuk istirahat atau menumpang tidur. Tak sebatas itu saja, saya berkenalan, juga sering dikasih makan dan rokok oleh para tahanan di kantor-kantor polisi tersebut.

Pernah juga saya bermain kartu dengan para tahanan di dalam sebuah sel di daerah Papua Barat. Namun sekitar jam 11 malam petugas meminta saya untuk keluar dan kembali ke kursi panjang. Tahanan, katanya, sudah mau tidur.

Kadang, kala ruang tahanan kosong, rasa penasaran membuat saya iseng meminta izin untuk tidur di dalam.

“Nanti kamu beneran jadi tahanan [lho],” canda petugas kepada saya.

Dari sekian banyak interaksi, terkadang muncul perasaan ingin tahu bagaimana rasanya menjadi tahanan dengan segala anggapan negatif dari mata masyarakat. Padahal, para pendiri negara ini pun banyak yang pernah jadi tahanan—termasuk Tan Malaka sang jomblo revolusioner republik ini, begitu juga tokoh-tokoh lain dari penjuru dunia seperti Fidel Castro yang berusaha menggulingkan diktator Fulgencio Batista, atau Lula da Silva revolusioner Brazil, atau presiden pribumi pertama Bolivia Evo Morales.

Rasa penasaran itu membuat saya, dua tahun lalu, iseng-iseng mencoba cari jalan untuk merasakan hidup di penjara tanpa harus bikin kasus. “Paling satu bulan [cukup],” pikir saya waktu itu.

Mencari jalan, saya bertanya pada teman-teman. Banyak yang bilang saya gila. Tapi ada juga juga yang merespon secara konstruktif dengan menyarankan saya untuk mengurus surat izin ke Kemenkumham agar diizinkan “staycation” di penjara untuk keperluan akademik. Cuma, mana mungkin dikasih izin. Saya bukan dari kampus; ini hanya untuk diri saya sendiri.

Ketika sedang tenggelam mencari jalan, akhirnya seorang teman yang berprofesi sebagai penjaga Lapas bersedia mengajak saya main-main ke lembaga dan melihat kehidupan di dalam.

Tapi, tetap saja itu tidak sesuai ekspektasi saya, sebab saya hanya beberapa jam saja di dalam. Yang saya lakukan hanya menemani sang teman berjaga sambil cerita-cerita tentang masa lalu kami di sekolah dulu. Saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, yakni interaksi dengan para penghuni dan, kalau bisa, masuk ke kamar para narapidana.

Dipikir-pikir, mungkin saat itu Tuhan memang sengaja memberikan sedikit excerpt ke saya. Sebab ia tahu ada masanya saya akan melihat “film” penjara secara utuh.

“Bro… Bro… Bro… Udah jam setengah tiga!” T membangunkan saya. Sudah satu bulan lebih dia menjadi alarm tahajud karena insomnia yang dideritanya. Hari ini adalah hari terakhirnya di ruang tahanan ini, sebab ia akan dipindahkan ke Lapas sebagai titipan kejaksaan sebelum vonis dijatuhkan.

Demikian juga saya, sedang menanti berjalannya proses untuk berganti dari tahanan menjadi narapidana. Tapi, saya jadi seperti ini dengan alasan yang berbeda dari orang-orang hebat revolusioner, saya masuk karena ganja.


*) Nama penulis dan tokoh-tokoh dalam cerita disamarkan demi melindungi privasi penulis terkait statusnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Penjara* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-penjara/feed/ 0 19268