Anggardha Paramita, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/anggardha-paramita/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 03 Sep 2023 07:48:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Anggardha Paramita, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/anggardha-paramita/ 32 32 135956295 22 Jam Berlayar Menuju Lembar https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/ https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/#comments Mon, 28 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39674 Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak...

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak dari ruang tunggu.

Sampai akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “Yuk, teman-teman, kapalnya sudah datang,” seru Kak Izul seraya mengumpulkan kami menuju lokasi pengecekan tiket dan barang bawaan. 

Untuk pelayaran sekali jalan dari Tanjung Perak menuju Lembar kala itu aku mengeluarkan biaya 160 ribu rupiah. Rinciannya yaitu tiket Kapal DLN Batu Layar seharga Rp130.000 dengan fasilitas tempat tidur (bunk bed), toilet, musala, dan listrik gratis selama di kapal. Sisanya membayar dua kupon makan seharga Rp15.000 per kupon. Meski pembelian kupon juga dilayani setelah kapal berlayar, tetapi penumpang akan dikenai harga lebih mahal, yaitu Rp20.000/kupon. Sebelum hari keberangkatan, Kak Izul telah membantu kami mengurus pemesanan tiket dan kupon makan secara daring melalui website. Informasi jadwal dan pemesanan tiket kapal DLN Batu Layar juga tersedia di kanal resmi Instagram @damai_lautan_nusantara

Pukul dua dini hari, tepat tanggal 6 Oktober 2022 kami akhirnya meninggalkan Surabaya. Aku tidak sendiri, melainkan ditemani keluarga baruku: Lampak Mengabdi. Setelah beberapa kali bercakap via Google Meet, akhirnya kami memulai perjalanan panjang menuju Gumantar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak hal yang menjadi serba pertama bagiku dalam perjalanan ini.

Setelah bergelut dengan rasa kantuk dan gatal akibat serangga di kursi ruang tunggu pelabuhan, rombongan kami menemukan kasur untuk istirahat selama 22 jam ke depan. Aku segera menelan obat alergi dan berganti kostum yang lebih santai untuk tidur. Tidak banyak yang aku lihat kala itu. Hanya takjub, ternyata toilet di kapal yang kami tumpangi lebih bersih daripada toilet di ruang tunggu tadi malam. 

Beradaptasi dengan Ombak dan Angin

Baru sempat memejamkan mata, aku kembali bangun untuk salat Subuh. Karena tidak tahu letak musala, aku pilih kembali ke kasur dan beribadah sambil duduk. Paginya setelah berjalan keluar dan mengeksplorasi beberapa bagian DLN Batu Layar, akhirnya aku menemukan musala di bagian paling atas kapal. Aku jadi membayangkan jika tadi salat di sana, maka aku harus melintasi tangga kecil dengan angin laut yang berhembus kencang kala matahari masih terlelap. Cukup seram juga untuk badanku yang kerempeng ini.

Pukul sembilan pagi kulihat aplikasi peta di gawai. Kami masih berada di sisi utara pulau Madura. Kapal terus melaju ke arah timur membelah air laut yang tenang. Ombak yang berdebur di sekelilingnya tidak terlalu besar dan angin bertiup hangat. Pagi itu aku masih berkabar dengan keluarga tentang situasi kapal. Bahkan aku sempat membalas pesan dari dosen pembimbing untuk mengurus jadwal seminar proposal. Namun, selang beberapa jam ketika armada telah memasuki Laut Bali, sinyal ponsel sudah tidak lagi muncul. Pun ombak yang tadinya tenang berubah menjadi besar dan angin berembus cukup kencang.

Setelah selesai briefing untuk kegiatan kami di lokasi pengabdian esok hari, seluruh rombongan kembali beristirahat. Saat keluar dari ruang tengah tempat rombonganku berkumpul, aku cukup kaget karena ombak laut menggoyangkan tubuhku begitu hebat. Badanku menjadi tidak stabil dan harus menggenggam dinding kapal untuk tetap berjalan pindah ke ruang istirahat. Tak sengaja ketika itu aku menoleh ke arah lautan lepas dengan ombak naik turun sangat tinggi. Seketika perutku terasa mual dan aku pun menyadari, oh, jadi begini rasanya mabuk laut. Langkahku menjadi cepat, aku kembali ke kasur dan segera meneguk air teh untuk meredam mualku. 

Sore harinya sebelum matahari terbenam aku ingat belum melaksanakan salat. Karena situasi di luar sudah cukup terkendali, aku menuju ke atas kapal untuk sholat di musala. Sekaligus berniat menghabiskan waktu di kantin bersama kawan-kawan yang lain. Sayangnya ketika tiba di musala dan hendak salat, kapal terasa berguncang kembali hingga tubuhku tidak bisa berdiri tegak. Posisi duduk pun bisa menggeser tubuhku dengan sendirinya. Dengan terpaksa akhirnya aku kembali ke bawah dan memutuskan salat di kasur lagi. Walau harus menanggung risiko naik turun tangga, tetapi rasanya lebih khusyuk jika salat di atas kasur. Daripada berguncang di musala dengan lantai dari karpet yang licin.

Selesai salat kawanku mengajak kembali ke kantin yang letaknya satu lantai dengan musala. Ya, memang harus naik lagi. Untung saja anginnya sudah tidak sekencang tadi siang. Memang ombaknya saja yang belum bersahabat.

Di sana kami berbincang cukup intens dengan kawan-kawan volunteer lainnya sambil menyantap mi instan dan bakso. Topik ringan hingga berat menjadi obrolan panjang kami sore itu. Kawan yang sudah berkali-kali melakukan perjalanan panjang mengabdi di luar pulau membagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada kami yang masih anak baru.

Memaknai Perjalanan Panjang

“Lampak sendiri berasal dari bahasa Sasak yang artinya jalan, dan sederhananya Lampak Mengabdi punya makna jalan mengabdi,” kata Kak Toni, sang pendiri Lampak Mengabdi. Kegiatan Lampak Mengabdi batch keempat atau disingkat LMB4 adalah program yang berada di bawah naungan Yayasan Aksi Sahabat Nusantara. Fokus utamanya ingin mengembangkan potensi sumber daya alam dan UMKM lokal di lokasi pengabdian berlangsung.

LMB kali ini akan dilaksanakan di Desa Gumantar, Kabupaten Lombok Utara selama kurang lebih 10 hari. Menurut Kak Toni, daya tarik program LMB adalah kegiatan pengabdiannya selalu tersaji bersamaan dengan kegiatan adat desa setempat, seperti meriahnya rangkaian maulid adat yang bertepatan dengan LMB 1, 2, dan 4. Serta event spesial seperti MotoGP di Mandalika yang bertepatan dengan pelaksanaan LMB 3.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Kantin di dek atas kapal/Anggardha Paramita

Berbagai dorongan dan motivasi datang untuk melakukan perjalanan ini. Kalau kata Kak Dhimas, si anak sastra yang memimpin divisi ekonomi kreatif, perjalanan ini bermakna ibadah baginya. Seluruh ilmu dan pengalaman hidupnya ingin ia implementasikan dalam pembangunan pariwisata di daerah pengabdian yang dituju. Seingatku perjalanan ini adalah kali ketiganya ambil peran di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Beda lagi dengan Sherita, anak bisnis yang nyangkut ke divisi kesehatan. Pengabdian ini jadi tugas besar baginya karena pihak kampus tempat ia menuntut ilmu mewajibkan mahasiswanya ambil peran dalam pengabdian masyarakat. Meski demikian aku ingat betul ia menjalankan program divisi dengan maksimal, mengimbangi kami yang punya latar belakang pendidikan kesehatan.

Lalu bagaimana denganku? Aku jadi menanyakan makna perjalanan ini kepada diri sendiri. Sejak pertama pengumuman lolos volunteer ini kuterima, tujuanku masih sebatas ingin berbagi ilmu dan traveling ke daerah yang jauh atau mustahil untuk kudatangi sendiri tanpa pendampingan orang dewasa.

Namun, setelah beberapa waktu kegiatan berjalan perspektif baru mulai muncul. Ternyata dibanding memberi, di sana aku justru lebih banyak menerima. Bagiku perjalanan ini memang tempatku melihat makna hidup yang lain. Jawaban atas pertanyaan yang muncul di malam hari sewaktu mau tidur atau ketika adu nasib dengan teman di tongkrongan.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Pemandangan sore di tengah lautan/Anggardha Paramita

Lembar, Pemungkas Perjalanan

Pemandangan sewaktu Magrib dari atas kapal membuat mulutku menganga seraya berucap, wow! Di sisi selatan kami bisa melihat Pulau Bali dan Gunung Agung yang indah. Langit mulai membiru dan matahari perlahan berganti posisi dengan bulan. Saat itu ombak mulai tenang seperti awal kapal mulai berlayar dari Surabaya.

Lagi-lagi ini adalah pengalamanku pertama kali. Menyaksikan matahari terbenam di laut lepas dengan suasana sunyi dan tenteram jauh dari keramaian kota.

Selepas salat seluruh rombongan berpisah. Kami para wanita turun ke ruang istirahat. Menghabiskan waktu dengan bermain Uno, ngemil, dan diselingi pembahasan program kerja untuk keesokan harinya. Adapun para pria juga menyibukkan diri, mulai dari sibuk menyeduh kopi hingga ngobrol entah berapa lama di dek atas.

Kapal DLN Batu Layar yang kami tumpangi tiba di Lembar sekitar pukul 01.30 WITA. Perjalanan laut kami pun berakhir hari itu. Sepasang kaki sibuk menuruni tangga berjalan keluar kapal. Tangan dan pundak kembali menopang tas carrier dan membawa muatan untuk serangkaian program kerja esok hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/feed/ 4 39674
Ragam Herbal untuk Memelihara Kesehatan dan Daya Tahan Tubuh https://telusuri.id/ragam-herbal-untuk-kesehatan-dan-daya-tahan-tubuh/ https://telusuri.id/ragam-herbal-untuk-kesehatan-dan-daya-tahan-tubuh/#respond Wed, 20 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29869 Obat herbal masih jadi andalan masyarakat kita dalam penanganan masalah kesehatan, baik untuk pencegahan maupun mengobati penyakit. Utamanya saudara dan kerabat yang berasal dari kalangan seusia nenek kami. Obat herbal disebut sebagai obat tradisional warisan...

The post Ragam Herbal untuk Memelihara Kesehatan dan Daya Tahan Tubuh appeared first on TelusuRI.

]]>
Obat herbal masih jadi andalan masyarakat kita dalam penanganan masalah kesehatan, baik untuk pencegahan maupun mengobati penyakit. Utamanya saudara dan kerabat yang berasal dari kalangan seusia nenek kami. Obat herbal disebut sebagai obat tradisional warisan leluhur untuk menunjang kesehatan. Lalu, apa benar semua obat tradisional mampu mengatasi penyakit dan memelihara daya tahan tubuh?

Dalam dunia pengobatan dikenal istilah herbal artinya tanaman yang memiliki khasiat obat dan digunakan dalam penyembuhan maupun pencegahan penyakit. Namun, jika suatu obat telah mengandung unsur hewani maka ia tidak dapat disebut sebagai herbal lagi, melainkan masuk dalam kategori obat tradisional. Artinya, tidak semua obat tradisional adalah obat herbal, namun obat herbal termasuk obat tradisional.

Bagaimana obat tradisional bisa bermanfaat untuk daya tahan tubuh?

Sebelum dinyatakan berkhasiat untuk mengatasi atau mencegah penyakit, obat tradisional tidak hanya dibuktikan berdasarkan pengalaman empiris—pengalaman dan penuturan dari generasi ke generasi. Beberapa tanaman obat telah dilakukan penelitian ilmiah dalam skala laboratorium, uji ke hewan coba, serta uji ke manusia (terbatas). Dengan demikian, beberapa obat tradisional yang secara empiris telah lama dimanfaatkan dan dinyatakan aman–didukung oleh data ilmiah, dapat digunakan untuk memelihara daya tahan tubuh.

Melimpahnya tanaman obat di negara kita, membuat masyarakat semakin rajin mengeksplorasi khasiat dari herbal-herbal tersebut. Berikut beberapa herbal yang saya jumpai memiliki khasiat dalam memelihara kesehatan dan daya tahan tubuh.

Daun Kelor
Daun Kelor/Anggardha Paramita

Daun Kelor

Tanaman kelor yang dijuluki The Miracle Tree atau Pohon Ajaib ini ternyata memiliki berbagai manfaat sebagai obat herbal. Hasil penelitian Winarno tahun 2018 menunjukkan dalam setiap 100 gram daun kelor segar memiliki kandungan protein 2 kali lebih tinggi dibanding yoghurt; vitamin A 7 kali lebih tinggi dibanding wortel; kalium 3 kali lebih tinggi dibanding pisang; kalsium 4 kali lebih tinggi dibanding susu; dan vitamin C 7 kali lebih tinggi dibanding jeruk. Tidak hanya itu, daun kelor juga mengandung berbagai senyawa asam amino dan flavonoid yang sangat tinggi sebagai antioksidan sehingga bermanfaat dalam menangkal radikal bebas.

Konsumsi daun kelor di masyarakat saat ini begitu beragam. Mengingat kandungan gizinya yang tinggi mampu berperan dalam memelihara daya tahan tubuh. Mulai dari pengolahan yang paling sederhana yaitu menggunakan daun kelor sebagai sayur untuk menu sehari-hari, membuat camilan dari tepung daun kelor, mengambil ekstrak rebusan daun kelor untuk diminum langsung, hingga pengembangan obat herbal oleh tenaga ahli untuk mengatasi berbagai penyakit.

Meniran

Meniran (Phyllanthus niruri) adalah tanaman liar yang sering kita jumpai tumbuh di tempat lembab dan berbatu di sekitar kebun atau pekarangan rumah. Beberapa daerah menyebut meniran dengan istilah lain seperti: sidukung anak, bolobungo, atau belalang bahiji. Tanaman meniran tidak dipelihara karena dianggap tumbuhan rumput biasa. Namun berbagai komponen kimia yang tersebar dalam seluruh bagian tanaman membuat tumbuhan ini menjadi istimewa. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak meniran mengandung tanin, flavonoid, lignin, serta terpenoid yang bermanfaat memodulasi sistem imun dan aktivasi limfosit T dan B. Sifat ini disebut imunomodulator yang bermanfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri, virus, dan mikroba penyebab penyakit. Hasil rebusan herba meniran segar sebanyak 15-30 gram dapat diminum 2 hingga 3 kali sehari, untuk memelihara daya tahan tubuh, obat peradangan, terapi pendamping pada pasien TB, dan sebagai antioksidan.

Tanaman Sambiloto via TEMPO/ Suyatmin

Sambiloto

Herba sambiloto dikenal sebagai bahan obat tradisional di berbagai negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tanaman yang dijuluki King of Bitters karena rasanya yang sangat pahit ini dikenal sebagai obat demam dan antidiabetes. Saat ini di Indonesia sendiri banyak masyarakat yang mulai melakukan budidaya tanaman sambiloto untuk pengobatan herbal. Kandungan terpenoid andrographolide pada daun sambiloto merupakan komponen utama yang berperan untuk memelihara daya tahan tubuh dan mengurangi gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas. Tak hanya itu, banyak manfaat lainnya seperti aktivitas antivirus sebagai obat HIV, antioksidan, memelihara kesehatan hati, dan pereda nyeri. Sambiloto dapat dikonsumsi dengan cara merebus daun segar sebanyak 25-75 gram dalam 250 ml air selama 15-30 menit, atau menyeduh serbuk kering sebanyak 3-9 gram dengan 150 ml air panas.

Herbal Rimpang
Herbal Rimpang/Anggardha Paramita

Rimpang Jahe, Kunyit, dan Temulawak

Tanaman jahe, kunyit, dan temulawak termasuk dalam satu keluarga yang disebut Zingiberaceae. Dari beberapa tanaman yang masuk dalam famili tersebut, rimpangnya banyak digunakan sebagai bahan obat juga sebagai rempah atau bumbu masak, bahan pewarna alami, hingga kosmetik.

Jahe memiliki peran yang penting sebagai tanaman obat dan rempah baik dari segi manfaat maupun dalam perdagangan dunia.  Di Indonesia sendiri kita mengenal 3 varietas jahe berdasarkan warna dan ukurannya yaitu, jahe merah (jahe sunti), jahe besar (jahe gajah), dan jahe kecil (jahe emprit).

Jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri tertinggi diantara jenis jahe lainnya dan digunakan untuk berbagai macam pengobatan diantaranya, rematik, flu, masuk angin, hingga radang tenggorokan. Kandungan minyak atsiri gingerol dalam rimpang jahe diketahui dapat meredakan nyeri, demam, mual, migrain, radang, dan memiliki aktivitas antibakteri. Beberapa olahan jahe yang sering kita jumpai yaitu wedang jahe, bajigur, bandrek, wedang angsle, sekoteng, kopi jahe, dan masih banyak lagi. 

Kunyit sejatinya telah digunakan oleh para leluhur sebagai rempah dan obat herbal sejak 4500 tahun silam. Kebangkitan kunyit sebagai herbal dan rempah saat ini sedang dalam momentum yang baik didukung oleh banyaknya penelitian dan uji terkait manfaat kunyit. Kandungan nutrisi kurkumin dalam rimpang kunyit berperan sebagai imunomodulator yang dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh. Kurkumin juga merupakan antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas sehingga bersifat antikanker serta mampu menangkap ion superoksida yang bermanfaat melindungi kesehatan hati.

Temulawak merupakan tanaman obat yang tak kalah penting setelah kunyit. Kandungan kurkumin yang juga ditemukan dalam temulawak menyebabkan adanya beberapa kesamaan manfaat dengan kunyit. Selain kurkumin, komponen lain yang bermanfaat dari rimpang temulawak ialah xanthorrhizol. Khasiat temulawak dalam pengobatan tradisional antara lain yaitu menyembuhkan peradangan, mengatasi kram perut terutama ketika datang bulan, memperlancar ASI, mengurangi bau keringat, serta mengobati gangguan hati.

Tanaman yang disebutkan di atas hanyalah sebagian dari banyaknya herbal berkhasiat yang digunakan dalam memelihara kesehatan dan daya tahan tubuh. Beberapa daerah di Indonesia pun sering kita jumpai beragam herbal yang memiliki manfaat luar biasa dalam pengobatan tradisional. Indonesia, sebagai negara beriklim tropis dianugerahi tanah yang subur sehingga banyak tanaman obat yang dapat tumbuh dengan baik. Lalu, sudahkah kalian mengenal, menggunakan, atau bahkan membudidayakannya?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ragam Herbal untuk Memelihara Kesehatan dan Daya Tahan Tubuh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ragam-herbal-untuk-kesehatan-dan-daya-tahan-tubuh/feed/ 0 29869
Menepi di Akar Langit https://telusuri.id/menepi-di-akar-langit/ https://telusuri.id/menepi-di-akar-langit/#respond Thu, 08 Jul 2021 13:25:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28605 Tempat luas, lokasi outdoor, jam operasional mulai sejak pagi. Setidaknya dua dari ketiga syarat itu harus terpenuhi jika ingin berkunjung atau mencari destinasi untuk ‘ngumpul’ dengan kawanku. Kebetulan beberapa hari lalu aku menemukan sebuah unggahan...

The post Menepi di Akar Langit appeared first on TelusuRI.

]]>
Tempat luas, lokasi outdoor, jam operasional mulai sejak pagi. Setidaknya dua dari ketiga syarat itu harus terpenuhi jika ingin berkunjung atau mencari destinasi untuk ‘ngumpul’ dengan kawanku. Kebetulan beberapa hari lalu aku menemukan sebuah unggahan di Instagram tentang suatu kafe di daerah Ungaran. Adalah Akar Langit.

Setelah melakukan riset kecil tentang tempat tersebut, aku menghubungi kawanku. Kami sepakat untuk pergi akhir pekan dan tentunya sebelum matahari tepat di atas kepala.

Pukul 9.30 aku dan kawanku, Tika, keluar rumah mengendarai roda dua dengan kecepatan sedang. Perjalanan dari rumahku ke tempat tujuan menempuh waktu sekitar 45 menit. Dalam perjalanan mendekati lokasi, kami memasuki gang kecil yang tidak terlihat begitu jelas dari jalan raya. Beberapa ratus meter dari gang itu, kami melewati jalan setapak yang sedikit lebih lebar, menurutku masih bisa dilalui oleh dua mobil yang berpapasan.

Hamparan sawah dan gembala kerbau menyambut. Matahari yang terasa begitu terik di rumah berubah menjadi ramah. Roda dua kami tinggalkan di area parkir yang terletak di samping sungai. Sedang tempat tujuan kami, Akar Langit, berada tepat di seberangnya. Aliran sungai membuka suara, tanaman hijau memanjakan mata. Aku dan kawanku menyeberang, melewati jembatan bambu yang disediakan pengelola.

Akses Menuju Akar Langit/Anggardha Paramita

Kami berdua memasuki area kafe dan memesan beberapa menu untuk disantap sembari menikmati lanskap hijau yang mengelilingi Akar Langit. Jenis makanan dan minuman yang dijual pun beragam. Tidak hanya makanan ringan tersedia pula berbagai jenis makanan berat. Mulai dari menu kekinian hingga wedang-wedangan tradisional.

Ada beberapa tempat yang dapat dipilih, mulai dari rooftop, joglo, hingga bagian outdoor yang menghadap langsung ke sungai. Ada juga beberapa meja dan kursi yang tersedia di area depan menghadap bangunan utama kafe ini.

Aku sendiri awalnya memilih kursi di bagian outdoor agar bisa menikmati pemandangan yang menyegarkan ini. Ah sayang sekali, belum lama bersandar, hujan keburu datang. Tika mengajakku untuk berteduh. Kami pun buru-buru pindah ke joglo dan tentunya memilih kursi yang paling strategis.

Pramusaji mengantar satu per satu hidangan yang kami pesan. Ada dua gelas es kopi dan dua piring makanan sejuta umat di meja kami, nasi goreng dan bihun goreng. Sembari menyantap makanan, kami menikmati suara hujan dan melodi yang timbul dari derasnya aliran sungai. 

Pikirku melayang, hujan siang ini sepertinya akan awet entah sampai kapan. Aku juga baru ingat kalau lupa membawa jas hujan, sedangkan Tika hanya membawa satu pasang. Hujan turun semakin deras, begitu pula pengunjung yang datang. Sudah kuduga semakin siang pasti akan semakin banyak orang. Beruntungnya aku bisa tiba lebih awal disini. Kalau tidak, mungkin kami sudah basah kuyup di jalan.

Menikmati fasilitas di Akar Langit

Pukul 13.30 hujan sedikit reda. Aku dan Tika mulai menjelajahi fasilitas yang tersedia. Setelah hujan, cuaca tak lagi terik seperti saat awal tiba di sini. Kami pun mencoba naik ke bagian rooftop. Untuk sampai ke atas, kami hanya perlu menaiki tangga kecil di samping kasir. 

Pemesanan dan Kasir/Anggardha Paramita

Menurutku bagian rooftop adalah tempat paling menarik. Dari atas sini kita bisa menikmati berbagai macam pemandangan di sekitar lokasi kafe. View Gunung Ungaran terlihat begitu menawan, namun sayang tertutup kabut. Sedangkan di sisi lain terlihat sungai yang kami seberangi ketika memasuki kafe tadi. Aliran airnya cukup besar, maklum hujan yang turun juga deras.

Bangunan rumah limas yang terletak pada bagian tengah menambah kesan tradisional dari tempat ini. Atap-atap jerami dan jembatan kecil yang dibuat dari bambu membawa suasana menyatu dengan alam semakin erat. Di tengah hiruk-pikuk dan panasnya Kota Semarang, tak ada salahnya membawa diri untuk sedikit menepi di tempat ini. 

Bukan sekadar untuk remaja, menurutku tempat ini bisa dinikmati oleh berbagai kalangan usia. Akar Langit menyajikan fasilitas lain seperti kolam renang dan area pemancingan. Kolam renang yang disediakan menjadi daya tarik sendiri untuk anak-anak sehingga betah menghabiskan waktu dengan keluarga. Sedangkan untuk orang yang punya hobi memancing, tak ada salahnya mampir ke area pemancingan di bagian ujung kafe.

Area Pemancingan/Anggardha Paramita

Setelah hujan benar-benar berhenti, aku mengajak Tika untuk bergegas pulang. Kami meninggalkan Akar Langit sekitar pukul 2 siang. Dalam perjalanan singkat kali ini aku berpikir, sepertinya ini akan jadi tempat pilihanku untuk menepi.

The post Menepi di Akar Langit appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menepi-di-akar-langit/feed/ 0 28605
Pulang ke Jogja dan Peringatan Hari Kesehatan Jiwa https://telusuri.id/pulang-ke-jogja-dan-peringatan-hari-kesehatan-jiwa/ https://telusuri.id/pulang-ke-jogja-dan-peringatan-hari-kesehatan-jiwa/#respond Thu, 05 Nov 2020 07:34:19 +0000 https://telusuri.id/?p=25008 Kalau aku disuruh bercerita tentang Jogja tidak akan ada habisnya. Biasanya setiap berkunjung ke kota itu aku pasti datang bersama bapak, ibu, atau eyang. Namun perjalananku kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya aku berkunjung seorang...

The post Pulang ke Jogja dan Peringatan Hari Kesehatan Jiwa appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau aku disuruh bercerita tentang Jogja tidak akan ada habisnya. Biasanya setiap berkunjung ke kota itu aku pasti datang bersama bapak, ibu, atau eyang. Namun perjalananku kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya aku berkunjung seorang diri, benar-benar sendiri. Waktu itu aku berangkat dari Semarang hari Sabtu pagi pukul 6.30 dengan travel.

Karena masih hari kerja, tentunya aku harus melaksanakan kuliah daring di perjalanan. Beruntungnya hari itu adalah hari terakhir perkuliahan sebelum ujian. Jadi dosen hanya memberikan materi dan penugasan.

Sampai di Jogja aku langsung tancap gas menyelesaikan tugas dan mengumpulkan materi untuk bahan ujian di hari Senin. Nyaman dengan suasana yang berbeda dari rumah membuatku bersemangat. Rasanya tugas-tugasku selesai dalam waktu singkat. Setelah bergelut dengan tugas aku menarik selimut hingga fajar kembali nampak. Begitulah hari pertamaku di Jogja—menikmati perjalanan, menyelesaikan tugas, lalu tidur dengan nyenyak.

Minggu pagi aku dibangunkan suara ayam milik tetangga dan sinar surya yang menyelinap masuk melalui jendela kamar bertirai merah. Aku beranjak dari kasur lalu merapikan selimut yang menghangatkan tubuhku semalaman.

Pagi itu cuaca sangat cerah. Aku duduk di teras menikmati angin sejuk khas desaku sambil ditemani gemercik air sungai di samping rumah. Air mengalir tak terlalu deras, terkadang juga ada sekelompok bebek dan angsa mandi di sana. Sesekali aku berdiri memandangi hamparan sawah di sana.

Seekor ngengat hinggap di semak-semak belakang rumah/Anggardha Paramita

Tergiur hamparan hijau yang indah, aku pun berjalan menuju sawah. Ada beberapa bukit yang bisa kulihat dari sini, salah satunya yang biasa disebut penduduk desa sebagai Gunung Gedhang. Sungguh, suasana ini yang selalu membuatku rindu dengan Jogja.

Siang harinya aku sibuk membantu kedua “kakak” sepupu menyelesaikan tugas sekolah. Keduanya memang masih SD dan SMP. Namun karena ayah mereka adalah kakak dari ibuku, aku memanggil dengan sebutan “mbak”. Rupanya mereka tak mau membuang kesempatan ini. Lama tak bersua, aku diminta membantu menyelesaikan tugas sekolah mereka minggu ini. Tugasnya yang satu membuat video memasak, yang satu lagi membuat video membaca. Membuat video memang bukan keahlianku, tapi kalau sekadar untuk tugas anak SD dan SMP aku yakin karyaku masih layak pakai.

Selesai membuat tugas sembari bercengkerama, kedua kakakku bermain layang-layang dengan ayahnya. Kata pakde, layang-layang memang sedang marak saat itu. Aku tidak bergabung dengan mereka. Aku sudah berencana untuk belajar di luar rumah dan mencetak beberapa materi untuk dipelajari karena besok akan ada ujian.

Setelah bersiap aku menggendong tas dan mengaktifkan Google Maps. Walaupun sering pulang ke Jogja, sudah kubilang bahwa ini adalah kali pertamaku berpergian sendiri. Aku pergi mengendarai Vario merah milik pakde. Baru menempuh perjalanan sekitar lima menit gerimis mulai datang. Pikirku sebentar lagi pasti reda, jadi aku tak mengeluarkan jas hujan. Ternyata benar, setelah berjalan agak jauh menyusuri Selokan Mataram gerimis pun berhenti.

Sampai di tempat tujuan aku bersyukur sore itu belum banyak pengunjung yang datang. Jadi aku tak perlu putar balik mencari tempat lain. Maklum, menempuh pendidikan di bidang farmasi membuatku waspada dengan COVID-19. Mencari tujuan untuk didatangi pun aku jadi sangat pemilih dan punya banyak hal yang dipertimbangkan.

Tempat yang aku kunjungi ini adalah sebuah kafe milik seniman muda Indonesia yang karya-karyanya sangat inspiratif. Bernama Rumah Senja dan Pagi, pemiliknya adalah Alffy Rev. Bangunannya sederhana dan masih erat dengan budaya Jawa. Meja pengunjung tertata sedemikian rupa dalam sebuah joglo dan ada juga yang di luar. Suasananya pun sangat artistik. Lampu mewah dengan sinar kuningnya menggantung di tengah joglo. Dinding, meja, dan kursi yang ada hampir semuanya dilukis sangat teliti dengan kata-kata motivasi.

RUmah Senja dan Pagi/Anggardha Paramita

Aku memilih duduk di kursi depan meja biliar. Setelah memesan, aku mengeluarkan laptop dan mulai mengulang materi kuliah dari dosen. Sesekali aku melihat pengunjung mulai mengayunkan tongkat mendorong bola yang ada di meja itu. Beberapa pengunjung juga mulai berdatangan dan ada yang sudah pulang. Terlalu asyik mengulang materi kuliah dan membaca artikel, ternyata aku sudah berada di kafe ini lebih dari dua jam. Tak heran aku lupa waktu. Suasana di tempat ini memang cocok dengan seleraku. Tak ingin sampai rumah terlalu larut aku pun berkemas dan melanjutkan perjalanan.

Dari kafe aku mengendarai motor menuju kota. Aku melewati Tugu dan berjalan lurus menuju Universitas Gajah Mada. Kawasan kampus terlihat lebih sepi dibandingkan biasanya. Pikirku mungkin karena dampak kuliah daring. Aku pun tak menemukan tempat untuk mencetak materi kuliah.

Alih-alih langsung pulang, aku mengendarai motor dan berkeliling kota. Tak pernah bosan, aku selalu senang menyusuri jalanan Malioboro sampai Keraton. Berkendara tanpa tujuan khusus sembari mengamati suasana jalan yang dilewati memang sudah jadi hobiku.

Aku tiba di rumah jam 9 malam. Sebelum tidur aku sempat merapikan materi yang telah kucetak di dekat Pasar Godean. Beruntung ada tempat fotokopi yang masih buka saat perjalanan pulang.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi. Ini adalah hari Senin, hari terakhirku di Jogja. Aku mengemas barangku karena sore nanti harus kembali ke Semarang. Jam 10 pagi aku melaksanakan ujian daring terlebih dahulu. Hal ini adalah pengalaman baru untukku.

Tadinya aku berencana untuk bertemu dengan kawan jauh sebelum kembali ke Semarang. Dia menghubungiku bahwa sedang melaksanakan tes masuk Angkatan Udara di Jogja. Sayang sekali jadwal ujiannya belum selesai hingga sore hari, sedangkan aku harus segera pulang. Kami pun sepakat untuk menunda rencana ini karena tak ingin membebani satu sama lain.

Plengkung Gading/Anggardha Paramita

Masih ada waktu sekitar 1,5 jam sebelum travelku datang. Aku memikirkan hal lain daripada harus duduk dan menunggu. Akhirnya aku mampir dulu ke Alun-alun Kidul dan berjalan menelusuri trotoar di sepanjang alun-alun dan gang di sekitarnya. Suasana sore itu belum terlalu ramai. Para pedagang pun baru sedikit yang datang dan menjajakan sajiannya. Aku mampir di sebuah angkringan untuk mengganjal perutku yang mulai menggerutu karena melewatkan makan siang.

Pukul 16.00 aku melanjutkan perjalanan, melewati beberapa warung di rumah warga, bertemu dengan banyak becak di tepi jalan, dan menyebrangi Plengkung Gading. Tepat pukul 16.30 travel yang aku pesan membawaku kembali ke Semarang.

Oh, ya, aku lupa bercerita. Perjalananku ke Jogja kali ini tepat pada peringatan hari kesehatan jiwa. Tujuanku ke sini memang bukan untuk berlibur, maka dari itu aku datang sendiri. Bagaimanapun aku harus tetap bijak menghadapi rutinitas yang monoton selama di rumah saja. Aku berniat menemukan suasana baru dalam perjalananku dan memberikan ruang untuk memperbaiki diri, karena, mengutip sebaris kalimat dalam One Tree Hill, “If there is no breaking then there is no healing, and if there is no healing then there is no learning.”

The post Pulang ke Jogja dan Peringatan Hari Kesehatan Jiwa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulang-ke-jogja-dan-peringatan-hari-kesehatan-jiwa/feed/ 0 25008
Ingatan tentang Perjalanan ke Malang bersama Kawan-kawan https://telusuri.id/ingatan-tentang-perjalanan-ke-malang-bersama-kawan-kawan/ https://telusuri.id/ingatan-tentang-perjalanan-ke-malang-bersama-kawan-kawan/#respond Mon, 17 Aug 2020 10:45:48 +0000 https://telusuri.id/?p=23650 Jalan-jalan mungkin adalah salah satu hal paling menyenangan untuk dilakukan. Namun, sejak kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan bulan Maret lalu, perjalanan mesti ditunda dulu. Orang-orang disarankan untuk di rumah saja. Ini tentu menjadi cobaan...

The post Ingatan tentang Perjalanan ke Malang bersama Kawan-kawan appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan-jalan mungkin adalah salah satu hal paling menyenangan untuk dilakukan. Namun, sejak kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan bulan Maret lalu, perjalanan mesti ditunda dulu. Orang-orang disarankan untuk di rumah saja. Ini tentu menjadi cobaan tersendiri bagi para pejalan.

Masa-masa di rumah saja memberiku banyak waktu untuk mengenang perjalanan lewat foto. Aku punya sebuah folder bernama “Tiket Liburan.” Suatu hari, folder itu membawaktu ke dalam sebuah kenangan perjalanan pada awal tahun 2020.

Pada 12 Januari lalu, KA Matarmaja membawaku dan tiga kawanku—Ana, Elen, dan Sita—beranjak dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Malang. Kami duduk dalam kereta sejak pukul 6 petang hingga pukul 3 pagi. Sembari menunggu sang fajar menampakkan diri, kami beristirahat sekaligus menumpang salat Subuh di musala yang terletak di ujung stasiun.

Sekitar pukul 6 kami keluar dari stasiun menuju penginapan dengan ojek daring. Kami menyewa sebuah kamar homestay di Rumah Jl Jaksa Agung. Tempatnya cukup nyaman untuk penginapan seharga Rp480.000/dua malam. Lokasinya juga masih dekat dengan stasiun, hanya terpaut sepuluh menit perjalanan. Karena check in baru bisa dilakukan jam 1 siang nanti, kami menitipkan barang bawaan di sana, menumpang mandi, beristirahat di ruang depan, lalu jalan-jalan.

Kami mampir ke tempat wisata yang cukup terkenal yaitu Kampung Warna-warni Jodipan. Bapak jurumudi ojek daring menurunkan kami di depan gang perkampungan. Kami berjalan menuruni anak tangga di gang tersebut dan bertemu dengan dua wanita, sepertinya mereka penduduk setempat. Untuk memasuki Kampung Jodipan, kami dikenai biaya Rp3.000/orang. Banyak titik foto menarik dan instagenik di segala sisi. Menurutku yang paling ikonis dari tempat ini adalah jembatan kacanya. Dari jembatan kaca kita bisa melihat kedua kampung cantik yang terpisahkan oleh sungai itu.

Lorong Kampung Warna-warni Jodipan/Anggardha Paramita

Kemudian kami menyeberangi jembatan kaca dan tiba di Kampung Tridi (3D). Di sini kami dikenai biaya lagi sebesar Rp3.000/orang untuk keluar dari area perkampungan. Uniknya, di Kampung Tridi uang kita ditukar dengan tiket berupa gantungan kunci lucu dari kain flanel. Usai menjelajahi Kampung Jodipan dan Kampung Tridi, kami menuju ke Malang Town Square untuk mencari makan siang sembari menunggu waktu lapor-masuk penginapan.

Kampung Tridi (3D)/Anggardha Paramita

Jam 1 siang aku dan ketiga kawanku sudah kembali ke penginapan. Kami hendak istirahat saja di kamar karena tengah malam nanti akan dijemput untuk pergi ke Bromo.

Tiba-tiba sebuah pesan muncul di Line-ku. Seorang kawan yang merantau tahun lalu melihat di Instagram bahwa aku sedang di Malang. Namanya Mas Aldi. Dulu Mas Aldi bekerja di Malang, namun sekarang sudah dipindahkan ke Pasuruan. Sepulang kerja dia menempuh perjalanan sekitar 1 jam menuju penginapanku. Kawan-kawanku merespons baik kedatangannya. Kami berbincang cukup lama kemudian memutuskan untuk keluar mencari makan malam. Karena hanya ada satu motor, aku pergi bersama Mas Aldi lalu kembali ke penginapan mengantar makan untuk kawan-kawan.

Sebelum pulang, Mas Aldi mengajakku keliling Malang. Karena tidak ada tempat yang dituju, dia membawaku ke Bukit Paralayang di Batu. Perjalanan ke sana tidak memakan banyak waktu karena kami berdua menaiki motor dan jalanan yang kami lewati tidak terlalu ramai. Suasana di sana lumayan dingin karena berada di ketinggian, apalagi saat itu sudah cukup malam. Dari atas bukit, aku bisa melihat lampu kota Malang yang gemerlapan. Di tempat itu ada warung yang menjual makanan dan minuman. Walau sudah malam, masih banyak orang yang berdatangan. Sebagian besar bersama pasangan.

Mas Aldi segera mengantarku kembali ke penginapan, sebab aku sudah membuat janji dengan pihak tur untuk dijemput tengah malam. Setelah mengantarku, Mas Aldi langsung bertolak ke Pasuruan karena keesokan harinya harus kembali bekerja.

Melihat Bromo

Di penginapan, kami berempat dijemput perwakilan tur dan dibawa dengan Mobilio menuju Tumpang. Sampai di Tumpang barulah kami melanjutkan perjalanan ke Bromo menggunakan jip. Sepanjang perjalanan aku tertidur karena sejak tiba di Malang aku belum memejamkan mata sama sekali.

Setiba di kawasan Bromo, kami menikmati matahari terbit ditemani suasana dingin yang menusuk tulang. Beruntung sekali kami mendapat cuaca cerah hari itu. Kata Kang Doni, pemandu sekaligus sopir jip kami, beberapa hari terakir di Bromo sering turun hujan mengingat saat itu masih bulan Januari.

Berfoto dengan latar belakang matahari terbit di Bromo/Anggardha Paramita

Dari sana, Kang Doni mengantar kami ke Lautan Pasir. Di sana tidak ada apa-apa selain hamparan pasir luas dibatasi bukit-bukit berumput. Walau begitu, ternyata tempat itu cukup indah untuk diabadikan. Berfoto di hamparan pasir itu seperti sedang berada di dalam lukisan berhiaskan langit biru cerah.

Tempat selanjutnya yang akan kami tuju adalah Pura Luhur Poten dan Kawah Bromo. Karena jaraknya dari tempat parkir jip cukup jauh, kami tidak naik sampai ke kawah, hanya berfoto di depan Gunung Batok yang terlihat gagah. Banyak kuda yang berlalu-lalang bersama jokinya serta penjual bakso yang menjajakan dagangannya naik motor.

Tempat terakhir adalah dua titik yang paling aku suka, yaitu Bukit Teletubbies dan sabana. Kedua lokasinya cukup berdekatan dan suasananya bisa dibilang mirip. Jip yang kami naiki melewati sebuah jalur di antara bukit-bukit berwana hijau. Kang Doni sempat meminggirkan jip lalu mengambil foto kami di depan bukit sebagai kenang-kenangan perjalanan ke Bromo.

Sabana Bromo/Anggardha Paramita

Usai mengitari kawasan Bromo, kami kembali ke Tumpang. Dari sana, dengan mobil yang mengantar kami tadi malam, kami kembali ke penginapan. Setiba di penginapan, sebelum beristirahat, kami mengisi perut dengan makanan yang sudah disiapkan.

Selepas beristirahat dan mengisi tenaga, kami menyewa dua motor untuk mencari oleh-oleh dan mengunjungi Kota Batu. Aku berboncengan dengan Sita, sedangkan Ana berboncengan dengan Elen. Kami sangat menikmati sisa waktu yang sedikit itu sebelum kembali ke Kota Lumpia keesokan harinya.

Begitulah kiranya ingatanku tentang perjalanan bersama kawan-kawan dan Kota Malang.

Aku pernah membaca sebuah kutipan:“A photograph is a return ticket to a moment.” Kini aku mengerti maksudnya. Mengambil gambar dalam suatu perjalanan sebenarnya lebih dari sekadar mengumpulkan konten untuk Instagram. Bagiku, gambar-gambar itu adalah “tiket liburan.”

The post Ingatan tentang Perjalanan ke Malang bersama Kawan-kawan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ingatan-tentang-perjalanan-ke-malang-bersama-kawan-kawan/feed/ 0 23650