Anggi Kurnia Adha Harahap, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/anggikurnia/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 05 Sep 2022 01:39:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Anggi Kurnia Adha Harahap, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/anggikurnia/ 32 32 135956295 Menyusuri Pelaruga di Langkat https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/ https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/#respond Thu, 21 Jul 2022 03:28:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34624 Pagi itu, saya bersama dengan keenam teman indekos pergi meninggalkan Kota Medan, melaju menuju suatu tempat yang direkomendasikan Gina. Kebetulan rumah Gina berada di Kabupaten Langkat yang tak jauh dari lokasi yang ingin kami tuju...

The post Menyusuri Pelaruga di Langkat appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, saya bersama dengan keenam teman indekos pergi meninggalkan Kota Medan, melaju menuju suatu tempat yang direkomendasikan Gina. Kebetulan rumah Gina berada di Kabupaten Langkat yang tak jauh dari lokasi yang ingin kami tuju yakni Pelaruga.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya menikmati perjalanan selama satu jam lebih. Sebelumnya, saya dan teman-teman menjemput Gina di persimpangan jalan. Sesaat setelahnya, kami melipir ke tepi karena beberapa laki-laki menghentikan motor saya. Berbagai hal muncul di kepala, yang saya ingat hanya orangtua di kampung. Lalu merasa bersalah karena belum meminta izin terlebih dahulu kepada mereka.

Mujurnya, ada warga yang melihat saya dari kejauhan dan memberi isyarat untuk meninggalkan sekumpulan laki-laki tersebut. Saya dan teman-teman mulai panik dan mengikuti langkah warga tersebut. Beliau adalah tokoh masyarakat setempat. Dengan baiknya beliau mengakui saya dan teman-teman sebagai saudara yang ingin berkunjung ke rumahnya kepada sekumpulan laki-laki yang menghentikan sepeda motor tadi. Akan tetapi, tak semudah itu untuk menerima kebaikan orang yang baru dikenal, beberapa pertanyaan juga muncul di kepala saya, “Bisa saja beliau bagian dari sekumpulan laki-laki  yang mencegat kami di jalan, bukan?” Kemudian bantahan itu terpatahkan, sebab Gina mengenali si bapak. 

Perjalanan pun kami lanjutkan dengan rasa takut, senang, dan sedih yang bercampur menjadi satu. Sekitar lima belas menit dari kediaman si bapak, kami sampai di tujuan. Motor telah terparkir rapi, akan tetapi kolam abadi tak kunjung saya temui. Hanya ada sambutan hangat dari sablon ukuran besar yang bertuliskan “Mejuah juah Pelaruga”. Kata mejuah juah sendiri merupakan bahasa Karo yang berarti sejahtera. Biar saya beri tahu dahulu, saya bersama enam rekan lain. Mereka adalah Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. Tak ada satu pun laki-laki di antara kami.

Pemandu Alam Rumah Galuh
Pemandu Alam Rumah Galuh/Anggi Kurnia Adha

Seorang laki-laki kemudian menghampiri dan berkata “Mau ke Pelaruga, Kak?” serentak kami mengiyakan pertanyaannya. Ternyata ia adalah salah satu guide di Pelaruga, namanya Bang Asrul. Dengan membayar lima puluh ribu rupiah, sudah bisa menikmati keindahan Pelaruga. Biaya tersebut sudah termasuk parkir dan guide.

Bang Asrul menjelaskan peraturan selama di Pelaruga dan memberitahu kami untuk membawa satu ponsel saja menuju lokasi. Hal ini dilakukan agar meminimalisir hal-hal yang tak diinginkan. Sebab destinasi yang kami kunjungi adalah wisata air. Selain itu, Bang Asrul juga menjelaskan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan berbicara kotor. Tentu saja, sebagai pengunjung kita wajib mematuhinya.

Bang Asrul, Guide di Pelaruga
Bang Asrul, guide di Pelaruga/Anggi Kurnia Adha

Setelah mengurus registrasi dan menitipkan barang-barang, saya dan teman-teman mengikuti langkah kecil Bang Asrul menuju lokasi pertama, “kolam abadi”. Perlahan langkah demi langkah menyusuri jalanan. Kanan dan kiri alam masih asri, hijau, pohon-pohon masih terus bertumbuh. Sesekali terdengar suara kicauan burung yang menjadi asupan energi  tersendiri.

Di tengah perjalanan, kami harus melewati titian yang terbuat dari bambu. Awalnya saya ragu karena takut jatuh, terlebih jika melihat ke bawah. Ada aliran air yang cukup deras. Namun, saya kumpulkan keberanian karena kami semakin dengan tujuan. Saya menandainya dengan suara gemericik air semakin keras, pertanda sumber air semakin dekat.

“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca
“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening/Anggi Kurnia Adha

Tak lama, kami sampai di sana. Dari kejauhan tampak “kolam abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca. Warnanya biru, agak kehijauan. Kedalamannya mencapai hampir 3 meter. Karena sudah mengenakan pelampung, saya tak ragu untuk menceburkan diri, menikmati dingin dan segarnya kolam yang mulai terkenal setelah masuk dalam tayangan program travelling di salah satu stasiun televisi.

Dari sini, Bang Asrul kemudian mengajak saya dan teman-teman menuju titik “wisata” kami selanjutnya. Dengan pakain basah, kami menapaki jalanan naik dan turun untuk sampai tujuan. Ia membawa kami ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk bisa merasakan lompatan menuju aliran kolam. Tanpa berpikir panjang, satu persatu diantara kami pun mencobanya. Tentu saja bukan saya yang pertama mencoba, mengingat kaki baru saja pulih dari operasi.

Tak lupa, Bang Asrul memberi arahan untuk duduk di dalam air dengan saling mengulurkan kaki ke depan dan memegang erat kaki teman-teman. Dengan begitu tubuh kami membentuk seperti rel kereta api atau biasa disebut body rafting, siap melaju dengan arus air menuju Air Terjun Teroh-Teroh, lokasi berikutnya.

Saat mendekati air terjun, kami kembali trekking dengan medan yang cukup miring setelah keluar dari air. Lalu, kami menapaki anak tangga dengan tali yang tergenggam erat di tangan untuk sampai ke permukaan air terjun. Air tampak mengalir deras dari tebing-tebing bebatuan, tanda bahwa kami sudah tiba di Air Terjun Teroh-Teroh. 

Air terjun Teroh-Teroh
Air Terjun Teroh-Teroh/Anggi Kurnia Adha

Kami menepi di salah satu tumpukan kayu besar yang berada di dalam permukaan air. Dengan langkah penuh hati-hati dan saling menggenggam tangan satu sama lain, kami akhirnya bisa berdiri di atas bongkahan kayu besar. Dengan begitu, air dari Air Terjun Teroh-Teroh langsung mengalir dan menyentuh tubuh kami.

Setelah menyusun barisan dengan rapi di bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengabadikan kebersamaan kami yang bagaikan tujuh bidadari penghuni air terjun. Sesekali saya dan teman-teman memijat bahu satu sama lain untuk menambah stamina yang sudah terkuras selama perjalanan. 

Sekitar lima belas menit berada di atas bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengarahkan kami untuk turun kembali ke dalam air agar tidak terus menggigil kedinginan. Pun, hari semakin gelap. Pertanda kami harus berpisah dengan Air Terjun Teroh-Teroh. 

Anak tangga kembali kami naiki dengan sedikit beban yang semakin bertambah, yaitu baju saya dan teman-teman sudah basah. Sehingga tali kembali menjadi pacuan untuk bisa sampai ke atas. Saya dan teman-teman mengucapkan terima kasih dengan adanya Bang Asrul yang begitu mengayomi dan memaklumi  tingkah laku perempuan seperti saya, Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. 

Perjalanan menyusuri Pelaruga di Kabupaten Langkat akan menjadi perjalanan yang sangat dirindukan. Setelah sampai di posko awal, saya dan teman-teman berbenah diri dan kemudian berpamitan dengan Bang Asrul juga masyarakat setempat. Perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju indekos di Medan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Pelaruga di Langkat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/feed/ 0 34624
Mengelilingi Kota Medan dalam Sehari https://telusuri.id/mengelilingi-kota-medan-dalam-sehari/ https://telusuri.id/mengelilingi-kota-medan-dalam-sehari/#comments Mon, 04 Jul 2022 13:41:25 +0000 https://telusuri.id/?p=34232 Aku seorang alumni dari salah satu universitas negeri di Sumatera Utara. Pagi itu, aku ke kampus untuk mengurus beberapa hal. Alih-alih menunggu “kejelasan” di kampus, aku tiba-tiba berniat mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Medan, Kota...

The post Mengelilingi Kota Medan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku seorang alumni dari salah satu universitas negeri di Sumatera Utara. Pagi itu, aku ke kampus untuk mengurus beberapa hal. Alih-alih menunggu “kejelasan” di kampus, aku tiba-tiba berniat mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Medan, Kota “Ini Medan Bung”.

Kali ini aku tidak sendiri. Aku bersama seorang mahasiswa dari universitas yang sama. Namanya Mamat. Aku mengenalnya dari salah satu organisasi jurnalis kampus. Setelah mengenakan helm, kami pun melaju meninggalkan kampus yang identik dengan warna hijau tersebut.

Menara Air Tirtanadi

Lokasi pertama kami tuju yakni  Menara Air Tirtanadi di Jalan Sisingamangaraja. Selama empat tahun menempuh pendidikan di sini, aku belum pernah ke sini. Padahal, bisa dibilang Menara Air Tirtanadi merupakan salah satu ikon Kota Medan. 

Kami tiba di sana setelah dua puluh menit berkendara. Usai memarkirkan motor dan melepas helm, kami melangkah menuju pos penjagaan. Di hadapan Satpam, Mamat menjelaskan maksud tujuan kami mengunjungi Menara Air Tirtanadi. Aku lalu menukarkan KTP dengan sebuah name tag sebagai tamu sebelum Satpam membawaku bertemu seseorang di sebuah kantor untuk mendapatkan izin kunjungan.

Menara Air milik Tirtanadi dibangun tahun 1906, merupakan tangki penyimpanan air bersih sejak zaman kolonial Belanda. Konstruksi bangunan tua dengan ketinggian 42 meter ini memiliki arsitektur yang khas, dan menurutku mirip mercusuar di pinggir laut. Perpaduan warna bata dan oranye identik dengan bangunan Belanda. Pak Satpam mengatakan bahwa hingga sampai saat ini menara tersebut masih berfungsi sebagai tangki penyimpanan air bersih. 

Terdapat beberapa pohon rindang di sekitar menara, aku dan Mamat sejenak istirahat di bawah pepohonan karena langit semakin cerah. Ku lihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sebelas. Kami pun beranjak setelah berpamitan.

Istana Maimun

Motor kembali menyusuri Kota Medan menuju sebuah istana identik dengan warna kuning yang melambangkan kebijaksanaan atau kearifan, yakni Istana Maimun. Selain itu, warna kuning juga melambangkan corak Melayu. Nama Maimun sendiri diambil dari nama permaisuri Sultan Deli Makmun Al Rasyid yaitu Maimunah. Maimun berasal dari bahasa Arab yang artinya berkah, dan didirikannya Istana tersebut sebagai bukti cinta sultan pada istrinya.

Kalau beruntung, kita bisa melihat penampilan lagu melayu lengkap dengan alat musiknya yaitu akordeon. Cara memainkan alat musik akordeon adalah dengan menarik dan mendorong untuk mengatur pergerakan udara yang kemudian akan menghasilkan suara. 

HTM ke dalam istana Rp5.000 saja, per orang. Namun karena terhimpit oleh waktu, kami hanya menghabiskan waktu di lapangan Istana.

Beberapa anak-anak terlihat bermain di lapangan rumput hijau yang luas; ada yang bermain bola, lalu beberapa remaja sedang mengambil potret di depan istana. Aku dan Mamat juga mengabadikan kebersamaan kamiseperti turis sedang meliput kearifan lokal nusantara. 

Dari kejauhan terlihat seekor kuda sedang makan rerumputan di bawah pohon, aku menghampirinya. Lucu sekali pikirku, entah sejak kapan ada seekor kuda cokelat gradasi putih tersebut bermukim di istana.

Masjid Raya Medan Al Mahsun 
Masjid Raya Al Mahsun/Anggi Kurnia Adha

Masjid Raya Al Mahsun 

Kali ini tempat yang kami kunjungi Masjid Raya Al Mahsun. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Istana Maimun. Menggambarkan saksi kehebatan suku Melayu dari kesultanan Deli Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam di tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909. Arsitekturnya khas Timur Tengah dengan perpaduan India serta Spanyol. Prinsip sang sultan, membangun tempat ibadah lebih megah dibanding kemegahan istananya sendiri. 

Masjid berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, dan utara ini mampu menampung hingga 1.500 jemaah. Bentuk kubahnya pipih, terdapat bulan sabit di puncaknya. Seni lukis cat minyak tumbuhan dan bunga melekat dan menghiasi di dinding masjid.

Letaknya yang strategis juga memudahkan siapa saja untuk bisa berkunjung dan beribadah. Aku dan Mamat menyempatkan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum melanjutkan lokasi selanjutnya. 

***

Hari semakin cerah, aku dan Mamat melipir ke parkir dan memutuskan kembali lagi ke kampus untuk menyelesaikan urusanku—yang sebenarnya tak selesai. Setelah menyelesaikan semuanya, perjalanan destinasi akan berlanjut setelah waktu Asar. 

Jalanan kiri dan kanan mulai dipenuhi pengendara, sudah waktunya jam pulang kerja. Aku dan Mamat akhirnya sampai di Lapangan Merdeka. Kami memarkirkan motor dan berjalan menuju sebuah bangunan tua. 

Kantor Pos Indonesia
Kantor Pos Indonesia/Anggi Kurnia Adha

Kantor Pos Indonesia

Kantor Pos Indonesia, bangunan tua yang kokoh berdiri di jantung kota ini menjadi saksi atas sejarah perjalanan Kota Medan pada zaman kolonial Belanda. Kantor Pos Indonesia berdiri sejak ratusan tahun lalu, masih berfungsi hingga saat  ini dengan tulisan “ANNO 1911,” yang artinya tahun 1911. Gedung ini menjadi salah satu kawasan heritage di Kota Medan dan masih berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. 

***

Langit kian gelap, aku dan Mamat kembali menuju tempat parkir setelah menikmati langkah demi langkah di jantung Kota Medan. Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan berkeliling di Kota Medan akhirnya selesai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengelilingi Kota Medan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengelilingi-kota-medan-dalam-sehari/feed/ 1 34232
Perjalanan Panjang ke Bukit Sipolha https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-bukit-sipolha/ https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-bukit-sipolha/#respond Wed, 06 Apr 2022 05:42:21 +0000 https://telusuri.id/?p=33236 Perjalanan kami mulai dari titik kumpul yakni indekos Ade. Meskipun janji temu pukul 10, namun baru sekitar pukul 2 siang kami bergerak meninggalkan indekos Ade menuju indekos Fitri di daerah Medan Tuntungan. Perjalanan sekitar tiga...

The post Perjalanan Panjang ke Bukit Sipolha appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kami mulai dari titik kumpul yakni indekos Ade. Meskipun janji temu pukul 10, namun baru sekitar pukul 2 siang kami bergerak meninggalkan indekos Ade menuju indekos Fitri di daerah Medan Tuntungan. Perjalanan sekitar tiga puluh menit, sebelum akhirnya kami berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan salat Ashar. Aku yang sedang datang bulan hanya duduk di pelataran tempat air wudhu.

Langit mulai gelap saat kami melanjutkan sisa perjalanan, angin pun masuk melalui celah jaket tebal yang baru saja aku beli di toko barang layak pakai. Harganya memang jauh lebih miring, tapi tetap berfungsi baik untuk menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan.

Setelah menempuh waktu kurang lebih satu jam, aku, Lili, Rido, dan Fahwir ketinggalan rombongan di persimpangan jalan. Sedangkan teman-teman lainnya sudah menunggu di pom bensin yang lumayan jauh dari tempat persinggahan kami. Karena ada perbaikan jalan, kami pun harus putar balik dan mencari jalan lain. Kami kemudian melewati perkebunan stroberi yang belum berbuah sebelum akhirnya tiba di pom bensin.

Terlihat Ade, Fitri, Ihsan, Eka, dan Dimas menanti kehadiran kami. Satu persatu mulai membasuh wajah yang kian letih. Namun tidak dengan Fahwir yang sedang menyalakan kompor untuk memanaskan air. Lelaki gondrong tersebut membuat kopi dengan racikannya sendiri, sementara yang lain hanya ikut nimbrung mencicipi. Aku yang sudah menggigil setelah membasuh wajah sangat menikmati kopi buatan Fahwir.

Perjalanan Menuju Bukit Sipolha yang Luar Biasa

Jalanan menuju Bukit Sipolha/Anggi Kurnia

Usai menunaikan ibadah salat, kami melanjutkan perjalanan. Cuaca begitu bersahabat, tidak ada hujan, hanya saja udara dingin kian masuk menyusuri pori-pori kulit. Satu per satu motor beriringan membelah jalan. Sesekali obrolan terlontar di motor, agar sopir tak merasa kantuk. Aku yang membonceng Rido saling menyahut, “Apa? Nggak dengar?” “Oh, iya iya.”

Sekitar pukul sembilan, kami sampai di Kota Saribu Dolok, Kabupaten Simalungun. Udara semakin dingin, perut juga mulai keroncongan. Kami kemudian mencari tempat makan dan memilih menu yang sama, sebab tidak ada pilihan lain. Ayam cepat saji beberapa saat kemudian tersaji di meja. Dalam hitungan menit, hanya tersisa tulang ayam dengan piring plastik sebagai alasnya.

Perlahan, aku menilik wajah mereka. Kutemui wajah letih, lesu, namun masih mampu tertawa lepas. Sesekali asap rokok mengelilingi senda gurau di meja makan. Aku yang tidak tahan dengan gumpalan asap tersebut, memundurkan kursi makan. Setelah merasa cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.

Istirahat sejenak di perjalanan/Anggi Kurnia

Carrier, gitar, dan perlengkapan lain sudah menaiki punggung kami. Ihsan menjadi komando di depan dan lainnya mengikut di belakang. Benar saja, setelah perut kenyang, kantuk pun datang. Agar tidak terjatuh oleh kibasan angin, aku menarik jaket Rido dari belakang. Malam begitu panjang, sebab tubuhku rasanya ingin tumbang.

Selain jalan berlubang, sekitar pukul dua belas malam kami mendapat “cerita” menarik lain. ‘Si Boy,’ motor yang aku kendarai mengalami ban bocor. Malam itu tak ada bengkel buka. Sampai akhirnya kumpulan bapak-bapak yang sedang nongkrong memberi tahu kami kalau di depan ada kios tambal ban. Dan sayang sekali, kios tersebut tutup. Sambil meringis karena meski sudah mengetuk pintu namun tak ada jawaban dari pemilik, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan kondisi ban bocor.

Empat motor lainnya melaju pelan mengikuti motor kami hingga gapura Sipolha. Aku kira penderitaan Rido mengendarai ‘Si Boy’ berakhir di sini. Ternyata tidak. Tempat kami akan camping cukup jauh dari gapura, pun jalan menuju ke sana tak rata. Masih bebatuan dan curam. Kami memilih menyusuri jalan tanpa menaiki kendaraan. Meski lelah, bulan dan bintang malam itu menghibur kami hingga tiba-tiba ‘Si Boy’ mengeluarkan asap.

“Apa lagi ini?” Tanyaku.

Beruntungnya setelah kami periksa, ternyata keadaan motor baik-baik saja. Kami tidak mengerti asap tersebut keluar dari mana. 

Malam di Bukit Sipolha

Akhirnya, setelah menempuh satu jam lebih perjalanan dengan ban sepeda motor bocor, kami tiba di lokasi camping. Kulihat jam di tangan, sudah pukul satu malam. Kelima anak lanang: Rido, Fahwir, Eka, Ihsan, dan Dimas mengurus administrasi dan menyampaikan masalah sepeda motor yang bocor kepada si penjaga parkir. Bapak itu memberikan solusi agar besok saja di pompa angin, ia meminta kami segera mendirikan tenda dan beristirahat.

Untuk mendirikan tenda pilihannya ada dua, yaitu di atas bukit dan di bawahnya. Sementara, tengah dini hari tenda-tenda sudah berdiri tegak di bawah perbukitan. Sehingga kami hanya punya satu pilihan untuk mendirikan tenda yakni, di atas bukit. 

Perlahan kaki menapaki tangga yang sudah diberi kayu pegangan. Flash ponsel ikut menyinari perjalanan kurang lebih sepuluh menit mencari lokasi datar untuk mendirikan tenda. Tanpa banyak bicara, Fahwir dan keempat orang lain sigap melaksanakan tugas, sementara aku dan perempuan lain mengikuti perintah untuk membantu mereka. Sekitar lima belas menit berlalu, dua tenda kami pun berdiri tegak di atas bukit. 

Nesting pun dikeluarkan dari carrier, milam (mie malam-malam) siap untuk disajikan. Aku yang cukup kelaparan menyantap milam buatan Fahwir dengan lahap ditambah dengan jajanan kacang super renyah. Tak lupa, aku menyeruput secangkir kopi. Ah, malam yang luar biasa.

Ihsan memetik gitar, tubuh kami yang lelah kini mulai berayun ke kiri dan kanan mengikuti alunan genjrengan gitarnya. Pukul tiga dini hari kami pun masuk ke dalam tenda karena merasa lelah.

Tim ekspedisi panorama Bukit Sipolha/Anggi Kurnia

Sekitar pukul empat pagi, perutku mulai menggerutu. Kali ini bukan karena lapar, mules yang kian memanas. Aku membangunkan Lili untuk menemaniku ke toilet di bawah bukit. Dengan lampu ponsel, kami menyusuri jalanan. Suasana sangat sepi, tampak gelap. Ada kejadian aneh pula.

Jadi, saat aku ke toilet, aku meminta Lili berada di toilet sebelah. Kami saling berbincang satu sama lain sampai akhirnya aku mendengar suara aliran air seperti orang sedang mandi dari toilet sebelah. Aku lalu bertanya kepada Lili, apakah ia masih berada di toilet sebelah, dan ternyata dia sudah di luar menunggu aku selai. Kami lalu buru-buru meninggalkan toilet, memanggil Fahwir dan Rido namun tidak ada balasan dari mereka.

Langkah kaki semakin cepat, sesampainya di tenda, aku menceritakan semuanya. Fahwir berkata, toilet sebelah memang kran airnya terus mengalir. Tapi yang terdengar olehku dan Lili bukan suara keran air, melainkan suara air yang sedang jatuh dari gayung seperti seorang sedang mandi. Ah, sudahlah, pikirku. Aku pun masuk ke tenda dan meninggalkan perdebatan dengan mereka. Mungkin mereka tidak ingin aku dan Lili merasa takut. 

Menyambut Pagi

Bermain musik kalimba dengan panorama Danau Toba/Anggi Kurnia

Pagi pun menyapa, beberapa alarm terdengar nyaring di telinga. Aku keluar tenda dan berjalan-jalan menikmati panorama Bukit Sipolha. Mata ini memandang ujung ke ujung Danau Toba dari Bukit Sipolha, membayar tumpukan lelah perjalanan sehari sebelumnya.

Semilir angin mengibas ilalang ke kiri dan kanan. Sejenak, aku bermain alat musik kalimba yang baru saja aku pelajari. Petikannya begitu nyaring terdengar, membuatku merasa sangat bersyukur atas apa yang ada di hadapanku pagi ini.

Setelah sarapan pagi dengan nasi, sosis, dan tempe goreng, kami turun dari atas bukit. Menyusuri pinggir Danau Toba, bermain-main air, dan bercengkrama. Kami habiskan waktu sekitar satu jam di sini sebelum akhirnya kembali bertualang dalam perjalanan pulang ke Medan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Panjang ke Bukit Sipolha appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-panjang-ke-bukit-sipolha/feed/ 0 33236
Wisuda dan Wisata di Danau Toba https://telusuri.id/wisuda-dan-wisata-di-danau-toba/ https://telusuri.id/wisuda-dan-wisata-di-danau-toba/#respond Fri, 18 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32812 Sehari sebelumnya, aku menghadiri acara yudisium di temani ayah, ibu, dan juga adik-adikku. Keesokan harinya, dengan persiapan serba mendadak aku dan keluarga memutuskan pergi ke Danau Toba. Perkiraan waktu sampai ke lokasi pukul tiga sore sejak...

The post Wisuda dan Wisata di Danau Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
Sehari sebelumnya, aku menghadiri acara yudisium di temani ayah, ibu, dan juga adik-adikku. Keesokan harinya, dengan persiapan serba mendadak aku dan keluarga memutuskan pergi ke Danau Toba. Perkiraan waktu sampai ke lokasi pukul tiga sore sejak berangkat  tepat pukul sepuluh pagi dari Kota Medan. Ternyata perkiraanku meleset jauh, mobil dengan  muatan sembilan orang itu mengalami kerusakan. Kaca mobil tak berfungsi, sehingga tak  bisa tertutup dan terbuka dengan baik. 

Aku yang tak mengerti tentang mobil hanya bisa memasang headset dengan memutar lagu-lagu kesukaanku sambil mengamati sekeliling. Sekitar kurang lebih tiga jam bergelut dengan bengkel yang berbeda, akhirnya mobil kembali dalam keadaan sehat dan  siap untuk melanjutkan perjalanan.

Sudah pukul sembilan malam, akhirnya aku dan keluarga beristirahat di homestay. Dengan  fasilitas dan harga terjangkau cukup memberi kenyamanan dan ketenangan malam itu. Namun, tiba-tiba terdengar lantunan musik dari belakang penginapan, ternyata ada sebuah kafe. Aku ke sana.

Beberapa permainan air juga tersusun rapi di tepi danau. Tempat yang kamu tuju telah di depan mata, aku dan keluarga  memilih Pulau Samosir untuk liburan kali ini, tepatnya di Pantai Pasir Putih Parbaba.

Mataku yang sudah tak bersahabat, ingin segera memejamkan mata. Berharap esok pagi  akan menikmati matahari terbit di tepi salah satu danau vulkanik terbesar di dunia tersebut. Aku kembali  ke penginapan dan mengambil selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuh yang sudah menggigil kedinginan.  

Danau Toba
Danau Toba/Anggi Kurnia

Pagi hari di Danau Toba

Beberapa alarm terdengar, seakan memanggilku untuk keluar dari balutan selimut dan  menyambut matahari terbit. Namun ternyata, keinginanku melihat sunrise terkalahkan dengan  beratnya mata untuk terbuka. Akhirnya aku terbangun sekitar pukul setengah tujuh pagi. Aku  pun bergegas lari menuju tepi danau. Seperti mimpi melihat barisan bukit berdiri gagah di  depan mata. Aku lalu merasakan dinginnya air menyentuh kaki. Udara sejuk dengan tiupan angin menyapa tubuh letih menjadi bugar.  

Perlahan aku berlari kecil di tepian danau, olahraga ringan menyambut hari yang indah.  Beberapa patung ikan mas terlihat berdiri di tepi danau, mengingatkanku pada kisah ikan mas  yang identik dengan Danau Toba. Apakah itu hanya sebuah legenda untuk menidurkan seorang  bocah atau justru kisahnya nyata? 

Tepat di hari Jumat yang penuh berkah menjadi momentum aku akan menyandang status  baru yaitu menjadi seorang sarjana. Hari ini, universitas mengadakan wisuda yang ke-77.  Wisudanya diadakan secara daring. Tak pernah terpikir olehku akan wisuda bersamaan dengan  pandemi COVID-19. Sehingga dua tahun belakangan ini semua acara dilakukan secara daring, termasuk wisuda. Walaupun demikian, semua harus tetap dilanjutkan, bukan?

Danau Toba
Suasana wisata di Danau Toba/Anggi Kurnia

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, aku pun membuka laptop untuk  segera memasuki acara wisuda yang sedang berlangsung melalui sebuah tautan. Teman-teman yang mengenakan seragam lengkap terlihat antusias dengan riasan make up di wajahnya.

Aku  hanya tersipu malu dengan keadaan gamis yang setengah basah akibat main air. Meskipun demikian, beberapa kali aku mengarahkan kamera tertuju pada latar Danau Toba. Memang bukan Anggi namanya kalau tak jahil hingga salah satu dosen menegur melalui pesan di  WhatsApp, “Anggi hari ini wisuda.” Aku pun membalasnya dengan emoji tersenyum dan segera  kembali ke layar laptop.

Namun, tak sampai disitu, aku yang memang gemar bermain air tak tahan ingin segera berseluncur dengan beberapa mainan air di Danau Toba. Seperti banana boat. Tak hanya itu, sampan kecil yang siap membawa tubuh untuk berkeliling di danau vulkanik juga telah di depan mata. Aku pun mematikan kamera  di layar laptop dan menitipkannya dengan kakak ipar yang sedang sedang duduk di pondok.  

Setelah mendengarkan arahan dari Bang Togar, pemilik sampan dan memakai  pelampung akhirnya aku menaiki sebuah sampan kecil. Sampan ini hanya muat untuk dua orang, dengan tarif lima puluh ribu dan unlimited waktu penggunaanya. 

Untuk mendayung sampan, aku dan  adikku harus punya strategi mendayung secara bersamaan. Tapi, sudah dipastikan tak ada kekompakan di antara kakak dan adik, yang satu  mendayung ke kanan dan satunya lagi ke kiri. Bahkan ini sudah seperti latihan militer bagiku,  otot-otot tangan bergetar dan suara pun serak akibat tertawa dengan hebohnya.  

Danau Toba
Wisuda di Danau Toba/Anggi Kurnia

Rasanya seperti mimpi memakai toga di Danau Toba, berharap agar masa depanku juga  akan seindah Danau Toba. Aku kembali menghidupkan kamera di acara wisuda dengan pakaian  yang sudah basah. Hanya bertahan lima menit di depan layar, aku pun segera menaiki banana  boat bersama saudara lainnya. Bang Togar mengiringi dari depan dengan boat nya bersama ayah  dan ibu yang siap mengabadikan kebersamaan anak-anaknya. 

Permainan pun dimulai, sayup-sayup angin menghampiri tubuh dengan kecepatan rendah boat yang dibawa oleh Bang Togar.  Tak sampai sepuluh menit banana boat melaju dengan kecepatan tinggi, aku berteriak kencang, takut dijatuhkan mendadak. Benar saja, ketika boat yang dikendarai Bang Togar  membelok, dengan hitungan detik banana boat pun ikut terguling. Bersamaan dengan itu, aku  dan saudara-saudara jatuh ke Danau. Aku yang  terkejut dan berteriak sebelum terjatuh menelan banyak air, hingga batuk-batuk dan hampir  muntah. 

Meskipun demikian, detak jantungku tak bisa berbohong ketika Bang Togar memberikan aba-aba akan menjatuhkan untuk kelima kalinya.  Disaat itu, aku mengangkat tangan. Bang Togar pun paham dan menggagalkan aksinya.  

Setelah turun dari banana boat, aku dan keluarga bergegas membersihkan diri dan  berganti pakaian, karena kami sudah kedinginan. Ku lihat jam di dinding kamar sudah menuju pukul  setengah dua belas siang. Sekitar tiga jam lagi wisudawan dan wisudawati dari fakultasku akan  segera dilantik menjadi sarjana secara daring

Tepat pukul dua belas aku dan keluarga meninggalkan penginapan. Mobil melaju ke arah  jalan berkelok yang dinamakan” Kelok 8” atau sering juga disebut “Sibe-bea”.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisuda dan Wisata di Danau Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisuda-dan-wisata-di-danau-toba/feed/ 0 32812
Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/ https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/#comments Sat, 25 Sep 2021 00:52:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30543 Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri.  Setelah mengadakan diskusi...

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri. 

Setelah mengadakan diskusi ringan, dan menyelesaikan makan siang kami memutuskan untuk mengunjungi pantai. Sebuah pantai yang sudah lama menjadi pusat perhatian warga Sumatera, khususnya Kota Medan, namanya “Pantai Bali Lestari”. Letaknya juga tak jauh dari kota Medan. Kurang lebih 1 jam untuk sampai di lokasi, tepatnya di Serdang Bedagai. 

Matahari bersahabat hari ini, saya yang mengendarai motor sendiri harus sabar menyaksikan genggaman erat para istri di belakang supirnya masing-masing, yang tak lain adalah suami mereka sendiri. Sedangkan saya, harus bergenggaman dengan setir motor. Tak apa, pikir saya. Kelak juga akan merasakan yang sama. 

Payung Gantung
Payung Gantung/Anggi Kurnia Adha

Setelah menempuh jalanan penuh debu dan angin yang kian masuk ke tubuh, kami pun sampai di Pantai Bali-nya Sumatera. Baru saja memarkirkan motor, lagu khas Jawa sudah berdendang di telinga. Padahal jarak parkiran dengan pintu masuk cukup jauh. Kami pun  disambut dengan ramah oleh pelayan yang mengenakan bunga tepat di belakang telinganya, lengkap dengan pakaian khas Jawa.

Berdirinya pohon pinus dengan sejajar menambahkan suasana yang damai di tepi pantai.  Tidak hanya itu, berbagai patung yang diukir menjadikan pantai ini benar-benar ingin mengenalkan budaya Bali. Di pintu masuk saja sudah berdiri kokoh beberapa patung besar beserta gapuranya. Bukan cuma patung Bali yang menjadi daya tarik, akan tetapi payung-payung yang bergantungan menjadi hal unik. Saya tidak mengerti filosofi payung warna-warni tersebut, yang saya tahu payung berfungsi untuk melindungi diri dari buruknya cuaca.

Patung Bali
Patung Bali/Anggi Kurnia Adha

Perlahan saya mulai mendekati suara yang sedari tadi sudah memanggil ketenangan jiwa. Itu adalah deburan ombak. Meskipun air lautnya tidak sebening Bali, tapi angin laut tetap memberikan ketenangan yang sama. Alam sungguh magis, sebab mampu menyejukkan hanya dengan sekali tarikan napas. 

Deburan ombak beradu keras dengan suara kapal-kapal kecil mencari penumpang yang ingin menyeberang. Tak banyak yang menaiki kendaraan laut tersebut, mungkin karena cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini menjadi alasannya. Atau tidak ada pulau di seberang yang bisa dikunjungi. Meski begitu, beberapa remaja terlihat bermain banana boat dengan serunya. Sesekali teriakan dan tawa terdengar nyaring. 

Saya urungkan niat untuk bermain air dan meninggalkan mereka Saya memilih berjalan mengitari tepi pantai, melihat senja mulai menunjukkan rupanya. Perlahan matahari mulai turun, pertanda malam akan segera turun. Semilir angin menyadarkan saya dalam lamunan, bahwa yang saya lihat adalah senja, bukan kenangan bersama mantan. 

Berjalan Mengitari Tepi Pantai
Berjalan Mengitari Tepi Pantai/Anggi Kurnia Adha

Ketika mengitari tepi pantai, saya melihat sebuah patung wanita yang sangat tak asing tokohnya dalam cerita Indonesia. Rambutnya diukir begitu panjang, dengan mengenakan pakaian duyung. Di satu sisi patung itu mirip dengan putri duyung, di sisi lain ia juga terlihat seperti Ratu Roro Kidul. Saya tak memahami apa maksud patung tersebut berdiri kokoh di tepi pantai. Untung saya tak mengenakan baju hijau, seperti yang dikisahkan. Konon katanya Ratu Laut tersebut akan membawa siapa saja ke dunianya yang memakai baju hijau jika di laut. Tak perlu untuk dipercaya, tapi tak salah juga jika tak ingin mengenakan warna baju yang dimaksud. Hidupkan pilihan, apa lagi soal keyakinan. 

Setelah menikmati alam dan segala kemistisannya, saya dan tiga pasang suami istri mulai mengabadikan gambar dan beberapa video. Sudah dipastikan saya yang akan memotret mereka dan sudah jelas bahwa mereka juga yang mengambil gambar saya. Namanya juga manusia, harus saling membutuhkan. Mereka perlu gambar untuk mengenang kebersamaan di pantai, saya perlu juga untuk mengabadikannya di sosial media. 

Icon Pantai Bali Lestari
Icon Pantai Bali Lestari/Anggi Kurnia Adha

Angin sepoi-sepoi membuat daun pinus menari ke kanan dan kiri seirama. Menyejukkan mata melihatnya. Saya pun duduk tepat dikelilingi pohon-pohon tersebut. Ternyata perut mulai menggerutu, waktunya menyantap makanan sesuai dengan isi kantong masing-masing. Kalau di pantai enaknya makan seafood, akan tetapi cuan tak mencukupi. Saya hanya memesan semangkuk mie instan dan secangkir kopi. Perpaduan yang dapat mengenyangkan dan mengurangi rasa kantuk ketika berkendara akan pulang. Maklum, saya masih mahasiswa. Bisa liburan di pantai saja sudah bahagia, apa lagi adanya kopi dan semangkuk mie, inilah definisi jomblo happy

Langit semakin gelap, matahari tak lagi terlihat. Waktunya untuk pulang. Saya lupa, kalau semakin sedikit cahaya, semakin sulit untuk melihat. Silindris ini menjadi tantangan bagi saya agar bisa menaklukan rasa takut. Bila saat perjalanan menuju Pantai Bali Lestari memakan waktu 1 jam. Untuk pulang ke rumah saya harus sabar menempuh waktu kurang lebih 2 jam. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/feed/ 1 30543
Sehari di Sibolga https://telusuri.id/sehari-di-sibolga/ https://telusuri.id/sehari-di-sibolga/#comments Thu, 04 Mar 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27288 Akhir-akhir ini banyak hal yang membuat saya penat, terlebih lagi ada banyak informasi dari berbagai media tentang isu-isu berat. Oleh karenanya, tepat di hari Jumat sore, saya dan beberapa rekan berangkat dari Medan menuju Sibolga....

The post Sehari di Sibolga appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini banyak hal yang membuat saya penat, terlebih lagi ada banyak informasi dari berbagai media tentang isu-isu berat. Oleh karenanya, tepat di hari Jumat sore, saya dan beberapa rekan berangkat dari Medan menuju Sibolga.

Terletak di pantai barat Sumatera dan berada pada kawasan Teluk Tapisan Nauli, Sibolga dijuluki sebagai “Negeri Berbilang Kaum” karena di sini terdapat kurang lebih 15 etnis. Adalah etnis Batak Toba, Pesisir, Mandailing, Minang, Jawa, Nias, Tionghoa, Melayu, India, Simalungun, Karo, Aceh, Angkola, Padang Lawas, dan Bugis (Pemko Sibolga, 2019).

Setibanya di Terminal CV Makmur, kami disambut oleh hujan yang tiba-tiba mengguyur dengan begitu derasnya. Tak apa, pikir saya. Perjalanan dari medan menuju kota Sibolga sendiri memakan waktu hingga 9 jam lamanya. Karena Karena perjalanan malam, saya dan keempat teman tidak banyak berbicara. Kami sibuk menghabiskan waktu masing-masing dengan tidur.

Mie Tek-Tek 

Mie Tek-tek
Mie Tek-tek/Anggi Kurnia

Kibasan angin dan udara segar menyambut hangat kedatangan kami di Sibolga. Jalanan yang tidak dipenuhi lampu lalu lintas menjadi tanda bahwa tempat ini masih cukup sepi, belum punya banyak ‘perdebatan dan kekacauan’.

Begitu sampai di Terminal Sibolga, kami beristirahat sejenak. Salah satu dari teman kami, Dinda, menyediakan tempat untuk dihuni selama kami berada di Sibolga. Beruntungnya, jarak tempuh dari terminal ke rumahnya tidak begitu jauh, cukup dengan berjalan kaki saja.

Sesampainya di rumah, kami disuguhi makanan yang katanya adalah makanan khas Sibolga yakni mie tek-tek.  Karena cacing di perut sudah mulai berdendang, tanpa pikir panjang saya pun menyantap mie yang belum kami ketahui asal mula nama uniknya tersebut. 

Tangga Seratus 

Tangga Seratus Sibolga
Tangga Seratus Sibolga/Anggi Kurnia

Salah satu tempat wisata di Sibolga adalah Tangga Seratus, lokasinya tidak begitu jauh dari rumah Dinda. Cukup dengan berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai di sana. Alasan tempat ini diberi nama Tangga Seratus ternyata karena jumlah anak tangganya ada ratusan. Semudah itu memang, orang Indonesia memberikan nama pada sebuah tempat.

Kami pun mencoba menghitung jumlah anak tangga tersebut, hasilnya  adalah  288 anak tangga. Namun, ada peristiwa yang sangat memalukan sekaligus memilukan ketika kami menaiki Tangga Seratus. Sebuah kain celana dalam wanita tergantung pada ranting pohon liar yang tumbuh.

Tak habis pikir, kedua bola mata kami saling berbicara membayangkan kenapa benda semacam ini berada di tempat umum, yang tak lain adalah kawasan wisata. Dinda pun angkat bicara. Ia bilang, Tangga Seratus kerap dijadikan sebagai tempat pemuda “bermain”. Miris, pikir saya!

Akhirnya, kami tiba di anak tangga terakhir. Dari sini, kami melihat panorama kota Sibolga. Langit sedang biru-birunya, seperti warna laut. Pemandangan yang merusak mata tadi tergantikan dengan yang lebih indah.

Ritual Mencari Ikan

Nelayan/Anggi Kurnia

Selain dijuluki “Negeri Berbilang Kaum”, Sibolga juga dikenal sebagai “Kota Ikan”. Hal ini tentu karena Sibolga merupakan daerah pesisir. Diceritakan, pada beberapa puluh tahun silam masyarakat merasa sangat bersyukur atas pemberian laut untuk keberlangsungan hidup mereka. Hasil laut nelayan selalu tumpah ruah. 

Mereka meyakini bahwa rezeki datangnya dari Tuhan, akan tetapi mereka menyalurkan rasa syukurnya dengan memberikan persembahan kepada laut. Ritual persembahan ini dilakukan dengan menyembelih empat atau lima ekor kerbau tergantung yang diterima dan disediakan oleh para toke dan tekong kapal masing-masing serta memanggil anak yatim untuk makan bersama di atas kapal. Namun sejak tahun 2000-an, ritual ini tidak dilakukan lagi karena tidak ada penerus yang melestarikan. Para tokoh masyarakat yang bisa memimpin ritual, sudah meninggal dunia. 

Kini, julukan “Kota Ikan” pun tak lagi ada gaungnya, kata nelayan ikan tidak sebanyak ketika melakukan ritual persembahan.

Sarayan dan Masjid Agung Sibolga

Kami mengajak salah seorang warga yang sedang menjaga barang dagangannya untuk berbincang. Beliau adalah Bapak Sakirin, berusia 45 tahun, belum memiliki anak dan keadaan mata istrinya tidak mampu lagi melihat.

Saat ditanya penyebabnya, Bapak Sarikin mengatakan bahwa ini sudah takdir, walau pada awalnya ia percaya penyakit tersebut dikarenakan gangguan dari makhluk gaib. Meski begitu, Pak Sakirin akhirnya dapat menerima kondisi istrinya.

“Sudah dilakukan pengobatan medis, namun dokter tidak mampu mengatasinya,” ujar beliau.

Perbincangan kami berlanjut. Dari Pak Sakirin, kami diceritakan tentang sarayan, sebuah kepercayaan tentang adanya gangguan dari makhluk halus. Sarayan bisa juga diartikan gangguan saat seseorang tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri dan sama sekali tidak responsif terhadap rangsangan sekitar. Di beberapa tempat, orang menyebutnya kesurupan.

“Sarayan biasa terjadi saat nelayan melaut, ketika pulang tubuhnya mengalami kejang-kejang. Dipercaya, hal ini terjadi karena ketika melaut, orang tersebut tidak meminta izin terdahulu pada alam,” lanjutnya.

Masyarakat di sini juga percaya, jika seseorang terkena serayan, maka ia tak boleh disuntik oleh dokter. “Bisa meninggal,” ia menyebutkan alasannya.

Walaupun demikian, Pak Sakirin memiliki pendapat yang berbeda. Ia mengatakan semua kembali lagi dengan kepercayaan masing-masing. Ia sendiri tidak percaya akan hal tersebut.

Selesai berbincang, kami menunaikan shalat Ashar di Masjid Agung Sibolga.

Senja di Pantai Sibolga 

Senja di Sibolga
Senja di Sibolga/Anggi Kurnia

Perjalanan kami lanjutkan ke pantai di sekitaran Hotel Wisata Indah. Untuk masuk ke area pantai, kami tidak perlu mengeluarkan kocek. Hemat!

Rona merah jambu mulai mewarnai langit, pertanda matahari ingin pamit. Deburan ombak menggema di telinga, seakan ikut menyaksikan senja. Tiupan angin berdansa ria menyambut langit yang mulai berubah warna.

Pelan-pelan matahari mulai turun sesuai irama. Warna langit jadi kebiruan. Menutup hari yang menyenangkan.

The post Sehari di Sibolga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sehari-di-sibolga/feed/ 1 27288