Annisa Fatkhiyah Sukarno, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/annisafatkhiyah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 20 Dec 2024 13:14:43 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Annisa Fatkhiyah Sukarno, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/annisafatkhiyah/ 32 32 135956295 Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/ https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/#respond Fri, 20 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44637 Tidak jauh dari Kota Surabaya, sekitar 1,5 jam perjalanan, terdapat objek wisata Pantai Tlangoh yang terletak di Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Dari pusat kota Bangkalan, jaraknya sekitar 50 km atau kurang lebih...

The post Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak jauh dari Kota Surabaya, sekitar 1,5 jam perjalanan, terdapat objek wisata Pantai Tlangoh yang terletak di Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Dari pusat kota Bangkalan, jaraknya sekitar 50 km atau kurang lebih satu jam berkendara.

Dulunya Pantai Tlangoh sepi. Bahkan hanya dikunjungi oleh orang-orang yang ingin berendam menyembuhkan berbagai penyakit. Sebelum dibuka untuk umum pada bulan Mei 2020, pantai ini kotor—banyak sampah berserakan dan tidak terawat. Belum adanya pengelolaan yang jelas juga menjadi salah satu alasan. 

Siapa sangka, kini Pantai Tlangoh seperti terlahir kembali, menjadi destinasi wisata yang ramai dan layak dikunjungi. Saya bersama teman-teman pun penasaran dan segera mengunjunginya saat akhir pekan.

Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Anak-anak asyik bermain air di Pantai Tlangoh yang ombaknya relatif tenang/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dari Obat Penyakit sampai Penambangan Pasir

Dahulu, masyarakat setempat pernah meyakini bahwa Pantai Tlangoh memiliki kekuatan tersendiri. Perairan pantai ini dipercaya serupa obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti penyakit kulit—kadas dan kurap—hingga stroke dengan cara berendam dengan harapan besar bisa sembuh.

Bahkan jika ingin lebih maksimal, orang yang menderita penyakit tersebut bisa berendam mulai dari dini hari hingga sore menjelang matahari terbenam. Tidak hanya itu, warga sekitar juga meyakini, orang yang telah berendam di pantai tidak boleh membilas tubuhnya menggunakan air tawar jika tubuhnya belum kering.

“Mereka baru boleh mandi air tawar setelah air hasil berendam menguap tuntas atau bersih,” ungkap Kudrotul Hidayat, Kepala Desa Tlangoh, seperti dikutip Detik.com pada 30 November 2024.

Di sisi lain, Pantai Tlangoh juga menjadi lokasi penambangan pasir putih liar. Hasilnya dijual keluar desa. Oleh sebab itu, yang tersisa di pantai ini hanya karangnya. Pasir putih yang dulunya melimpah, kini telah berubah.

Untuk sekian lama, keberadaan Pantai Tlangoh memang belum memberi manfaat yang berdampak langsung pada ekonomi warga yang tinggal di sekitar pantai. Sebab, pengunjung yang datang dan ingin mandi air laut untuk menyembuhkan penyakit kerap tidak dipungut biaya alias gratis. Ditambah lagi lingkungan yang kurang resik. 

Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Kios-kios warga mengapit pintu masuk menuju Pantai Tlangoh/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Perlahan Bangkit Mengubah Citra

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia di kuartal pertama 2020 justru menjadi titik balik bagi Pantai Tlangoh. Sepinya kunjungan karena kebijakan pembatasan perjalanan oleh pemerintah dimanfaatkan untuk mengubah citra pantai. Tatkala pengelolaan sudah mulai tertata, Pantai Tlangoh akhirnya dibuka kembali untuk umum pada Mei 2020.

Secara bertahap, stigma pantai sebagai penyembuh penyakit dan tak terurus akibat sampah dan penambangan pasir ilegal mulai terkikis. Transformasi pun terjadi. Saat ini Pantai Tlangoh bisa dinikmati banyak orang untuk berekreasi melepas penat sembari menikmati berbagai kuliner lezat.

Perubahan yang signifikan tersebut ternyata berkat dukungan Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) melalui Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dan program tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR). Pertamina bekerja sama dengan perangkat desa yang dipimpin Kudrotul Hidayat, kepala desa yang masih menjabat sampai sekarang.

Kedua pihak juga berkolaborasi dengan anak-anak muda desa yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun pemangku kepentingan lainnya untuk mengubah citra pantai. Salah satu upaya pengembangan wisata Pantai Tlangoh melalui program ini antara lain membuat jalan untuk kemudahan akses transportasi menuju pantai. Tujuannya agar masyarakat bisa dengan mudah mengunjungi tanpa alasan jalanan rusak. 

Pendirian dan pendampingan kelembagaan pokdarwis yang solid juga turut digagas oleh PHE WMO. Berbagai fasilitas untuk pengunjung kini sudah lengkap, seperti toilet umum, gazebo, payung pantai, dan warung-warung milik warga yang berjejer. Uniknya, bangunan di area pantai mayoritas menggunakan bambu yang dinilai lebih ramah lingkungan. 

Retribusi wisata pantai ini bisa dibilang cukup terjangkau. Tiket masuk pantai hanya Rp5.000 per orang, sedangkan biaya parkir motor Rp5.000 dan mobil Rp10.000. 

  • Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat
  • Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Kolaborasi Antarpihak untuk Menjaga Eksistensi Pantai

Penerapan mekanisme partisipasi yang melibatkan berbagai pihak bisa menciptakan kemandirian dan keberlanjutan dalam mengembangkan wisata Pantai Tlangoh. Di samping itu, PHE WMO juga berkolaborasi dengan sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Bangkalan.

Kerja sama yang terjalin di antaranya dengan dinas lingkungan hidup untuk mendukung program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). Pada dasarnya program tersebut berfokus pada pengembangan pariwisata yang berada di daerah pesisir utara Bangkalan. Hal ini untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui pengembangan sumber daya alam yang telah dimiliki. Selain itu, PHE WMO juga mengajak dinas kebudayaan dan pariwisata untuk membantu pokdarwis Desa Tlangoh dalam mengembangkan keterampilan pemasaran digital. 

Langkah-langkah taktis tersebut membuat Pantai Tlangoh mulai bisa memberikan dampak bagi warga sekitar. Termasuk melakukan sejumlah pendampingan agar mereka bisa membuka usaha dan berjualan di area pantai. Sebab, saat pandemi melanda, banyak warga desa yang menjadi pekerja migran di Jepang terpaksa dipulangkan. Pendampingan dari pemerintah dan perusahaan tentu sangat membantu masyarakat untuk terus menghidupi keluarganya dengan berdagang di area wisata. 

Berdasarkan data pokdarwis, selama periode Juli–September 2020 terdapat 9.500 pengunjung yang mengunjungi Pantai Tlangoh. Total pendapatan dari tiket masuk dan parkir mencapai Rp40.000.000 saat itu. 

Mendengar capaian positif saat berkunjung ke Pantai Tlangoh membuat kami sadar. Pantai dengan segala mitos dan tantangan yang dihadapi semasa dulu, bisa menjadi inspirasi bagi pantai lain di Indonesia yang mungkin masih sepi pengunjung. Kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci perubahan signifikan pada objek wisata pantai ini.

Kami pun betah di sini berjam-jam. Sebab, udara di sini tidak terlalu panas menyengat seperti pantai-pantai di Sumenep. Ombaknya tidak besar. Kuliner pun beragam, seperti rujak madura, nasi goreng, soto, bebek goreng, dan aneka gorengan. Kami menikmati sore sembari bersantai dengan minum kopi dan duduk di gazebo pinggir pantai.

Pantai Tlangoh tidak hanya sekadar destinasi pantai yang hanya menawarkan keindahan semata. Lebih dari itu, warga dan pengelolanya pun turut andil membangun pantai secara berkelanjutan, sehingga bisa membantu meningkatkan perekonomian keluarga. 


Referensi:

Amin, S. dan Wispandono, R. M. M. (2023). Peran Karyawan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Era-Digital  Pada Pokdarwis Pantai Tlangoh Bangkalan. Journal of Business Finance and Economic (JBFE), Volume 4, Nomor 2, Desember 2023. https://doi.org/10.32585/jbfe.v4i2.4674.
Yasmine, F. (2020, 7 Desember). Menilik Buah Manis Konservasi Ekosistem Pantai di Kabupaten Bangkalan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132459876/menilik-buah-manis-konservasi-ekosistem-pantai-di-kabupaten-bangkalan?page=3, diakses pada 9 November 2024.
PHE Pertamina. (2020). Menebar Inspirasi di Tengah Pandemi. Media-National Geographic – Area Konservasi Mangrove PHE WMO, Tahun 2020. https://phe.pertamina.com/uploads/Kehati/Upload/File/e4420a58-c822-4f80-b54f-98e752527df2MediaNationalGeographicAreaKonservasiMangrovePHEWMOTahun2020.pdf, diakses pada 9 November 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-tlangoh-bangkalan-mengubah-mitos-dengan-pariwisata-berbasis-masyarakat/feed/ 0 44637
Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/ https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/#respond Fri, 30 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42582 Waduk Pacal seolah memiliki magnetnya tersendiri, bahkan sebelum saya berkunjung. Cerita mitos dan sejarahnya yang menyelimuti hingga kini, menjadi dominasi kuat sebagai salah satu destinasi menarik di Bojonegoro.  Tetangga dan saudara saya bahkan tidak berani...

The post Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 appeared first on TelusuRI.

]]>
Waduk Pacal seolah memiliki magnetnya tersendiri, bahkan sebelum saya berkunjung. Cerita mitos dan sejarahnya yang menyelimuti hingga kini, menjadi dominasi kuat sebagai salah satu destinasi menarik di Bojonegoro. 

Tetangga dan saudara saya bahkan tidak berani berkunjung ke tempat tersebut. Alasannya pun beragam, salah satunya karena tempat ini angker. Dulunya saat waduk dibangun, banyak warga setempat dipekerjakan secara paksa, hingga berujung meninggal dunia.

Namun, terlepas dari cerita dan berbagai mitos yang beredar di masyarakat, Waduk Pacal menjadi tujuan wisata yang paling membuat saya penasaran. Saya bersama keluarga pun langsung pergi ke waduk yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1927 dan diresmikan tahun 1933 tersebut.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Perbukitan hijau yang mengelilingi Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Perjalanan Menuju Waduk Pacal 

Kami berangkat hari Jumat pagi waktu itu. Perjalanan terbilang sebentar, hanya setengah jam saja dari rumah. Sepanjang perjalanan menuju Waduk Pacal tidak terasa membosankan. Kondisi jalan sudah beraspal atau cor.

Jalanan menuju Waduk Pacal melewati hutan jati dan tebing-tebing yang digunakan sebagai ladang oleh masyarakat setempat. Tidak banyak warga yang tinggal di daerah yang dilalui. Ini terlihat dari jumlah rumah di sepanjang jalan yang bisa dikatakan tidak terlalu padat. 

Sesampainya di waduk, kami membayar tiket masuk Rp5.000 per orang dan parkir roda empat sebesar Rp5.000. Terbilang cukup murah untuk kawasan objek wisata. Menurut juru parkir, tempat ini biasanya akan ramai pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, hanya nelayan dan pemancing yang berkunjung dari dalam maupun luar kota. 

Kami harus sedikit berjalan kaki sedikit menanjak ke area waduk yang berlokasi di Dusun Tretes, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang itu. Bagi orang tua maupun lansia, bisa menyewa tukang ojek yang ada di area parkir dengan membayar Rp5.000 sekali jalan menuju lokasi tepat di depan waduk. 

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Sudut pohon di tepi waduk tempat nelayan bersiap memancing/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dibangun Sebelum Indonesia Merdeka

Waduk ini dibangun untuk menampung air dari Sungai Pacal, dan menjadi bendungan beton pertama di Indonesia pada tahun 1933. Dibangun sebelum Indonesia merdeka.

Pembangunan waduk terjadi pada masa malaise, yakni situasi dan kondisi di mana depresi ekonomi sedang melanda Indonesia. Dimulai pada tahun 1929 hingga 1930–an akhir. Pada masa tersebut juga kesengsaraan dan kelaparan terjadi karena daya beli masyarakat semakin melemah akibat krisis ekonomi. 

Oleh sebab itu, saat pembangunan waduk, pemerintah Belanda mengerahkan banyak tenaga kerja dari masyarakat sekitar agar bisa meningkatkan sumber penghasilannya. Sebagai bangunan bersejarah peninggalan kolonial, waduk ini masih berfungsi hingga kini sebagai irigasi lahan pertanian di Bojonegoro. Bahkan, air dari waduk ini bisa mengalir hingga jembatan Kedungjati yang berlokasi di Kecamatan Temayang.

Menyusuri Waduk Pacal dengan Perahu

Keindahan alam di sekitar waduk menjadikannya lebih dari sekadar tempat penampungan air semata. Pepohonan rindang dan perbukitan kecil yang mengelilingi waduk ini menambah suasana asri dan kesejukan bagi para pengunjung. 

Kami duduk di depan warung yang berada di dekat waduk sembari menikmati suasana. Udara segar menyeruak, kami melepaskan penat sejenak. Tak lama seorang bapak menawarkan jasanya pada kami untuk menyusuri waduk menggunakan perahu miliknya yang tengah bersandar. Tanpa pikir panjang, kami bersedia. Cukup membayar Rp10.000 per orang, kami bisa menyusuri Waduk Pacal lebih dekat.

Mengunjungi Waduk Pacal pada pukul 10 pagi terbilang panas. Namun, akhirnya tetap menjadi pilihan tepat karena langit sedang cerah. Terlihat beberapa pemancing melemparkan kail mereka ke waduk setelah memasang umpan. Ada juga beberapa nelayan yang memancing dari atas perahu, sambil menjelajahi lokasi-lokasi potensial untuk mendapatkan ikan. Sementara jaring-jaring nelayan terlihat dengan adanya botol plastik sebagai pelampung untuk memberi tanda lokasi perangkap ikan berada.

Para pemancing bisa menyewa perahu milik warga dengan tarif sekitar Rp20.000 selama setengah hari. Sementara nelayan biasanya mulai berdatangan ke waduk setelah subuh. Sebelum berangkat dengan perahunya, mereka memastikan memantau kondisi air terlebih dahulu. Jika kondisi air tenang, maka para nelayan memutuskan untuk mencari ikan.

Menurut Pak Samin, pemilik perahu yang kami sewa, banyak pengunjung memanfaatkan Waduk Pacal ini untuk memancing. Terutama ikan nila, dengan menggunakan umpan lumut. Jika menggunakan umpan cacing, kemungkinan besar yang didapat adalah ikan bloso atau betutu. 

Selain dua jenis tersebut, ikan lainnya yang biasa ditangkap oleh para nelayan di waduk ini antara lain wader dan udang. Para nelayan biasanya menjual hasil tangkapan mereka ke pengepul yang terletak di sisi selatan waduk, atau langsung menawarkannya ke warung makan sekitar waduk.

Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933
Kuliner khas di warung sekitar Waduk Pacal/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Mencicipi Kuliner Khas Waduk Pacal

Setelah berkeliling dengan perahu, kami pun bergegas untuk mencicipi ikan bloso yang menjadi kuliner khas dari Waduk Pacal. Kami memutuskan untuk mampir ke Warung Makan Ikan Kali. Lokasinya tidak jauh dari area waduk.

Selain bloso, beragam menu lainnya antara lain ikan wader, udang, dan nila. Ada pilihan nasi putih dan nasi jagung yang bisa diambil sesuai porsi yang diinginkan. Untuk harga seporsi berkisar Rp25.000 sudah termasuk paket nasi, ikan, tempe, tahu, dan sambal. 

Daging ikan bloso terkenal dengan tekstur lembut dan tidak berserat. Sebenarnya saya sendiri sedikit kurang suka. Padahal ikan ini memiliki kandungan protein yang tinggi. Untungnya, masih ada pilihan ikan wader yang gurih dan crispy dipadu dengan sambal tomat matang.

Mengunjungi Waduk Pacal menjadi momen berkesan saya saat berada di Bojonegoro. Terlepas dari cerita mitos yang beredar turun-temurun hingga sekarang, waduk ini memiliki daya tarik tersendiri, termasuk kisah sejarahnya, yang akan tetap abadi.


Referensi:

Kemdikbud. Malaise. Ensiklopedia Sejarah indonesia. Diakses pada 27 Juni 2024, https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Malaise.
Putri, J. R. (2019). Pembangunan Waduk Pacal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat Bojonegoro Tahun 1927–1998. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/35453/1/3111413014_Optimized.pdf.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Waduk Pacal Bojonegoro, Bangunan Warisan Belanda Sejak 1933 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-waduk-pacal-bojonegoro-bangunan-warisan-belanda-sejak-1933/feed/ 0 42582
Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/#respond Tue, 06 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42465 Latar belakang perjalanan kali ini sebenarnya cukup sederhana. Saya ingin membuktikan perkataan teman tentang cerita keindahan Pantai Sembilan dan Gili Labak. Apakah benar demikian atau hanya sebuah jawaban yang berusaha menyenangkan?  Awalnya saya sedikit ragu...

The post Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Latar belakang perjalanan kali ini sebenarnya cukup sederhana. Saya ingin membuktikan perkataan teman tentang cerita keindahan Pantai Sembilan dan Gili Labak. Apakah benar demikian atau hanya sebuah jawaban yang berusaha menyenangkan? 

Awalnya saya sedikit ragu untuk pergi ke sana, karena jaraknya lumayan jauh dari Kota Surabaya. Saya sempat memutuskan mengikuti paket wisata sendirian, sebelum akhirnya berubah wacana mengajak kedua teman saya.

Alasannya, jadwal kapalnya tidak tentu. Sementara kami hanya luang di hari Sabtu dan Minggu. Padahal kedua tempat tersebut mengharuskan kami menyeberangi lautan. Selain itu, kebetulan ada paket wisata yang menawarkan dua destinasi sekaligus, yakni Pantai Sembilan dan Gili Labak. Perjalanan kali ini mungkin terbilang singkat karena kami berangkat malam hari, lalu kembali ke Surabaya keesokan harinya. 

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Berlabuh di Pantai Sembilan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Kesabaran Diuji Menuju Pantai Sembilan

Perjalanan dimulai dari Surabaya pada malam hari pukul 23.00 WIB. Kami bersama rombongan peserta tur yang berasal dari berbagai daerah. Kami pergi menggunakan mobil Isuzu Elf dengan jumlah 12 orang. Estimasi perjalanan menuju Sumenep, Madura sekitar empat jam, belum termasuk penyeberangan.

Ternyata, perjalanan tidak sesuai ekspektasi karena ada kecelakaan truk yang mengangkut tabung gas LPG 3 kg di suatu tempat. Alhasil, terjadi macet berkepanjangan dan kendaraan mengular tak bergerak sampai dua jam. Total durasi perjalanan kami menjadi enam jam.

Rasanya cukup frustrasi dan melelahkan karena kami baru tiba pukul 05.00 WIB. Setelah istirahat, sekitar pukul 08.00 WIB kami kemudian menuju dermaga pelabuhan penyeberangan di wilayah Bringsang, Kecamatan Giligenting.

Menurut pemandu wisata, ombak di bulan Agustus sedang tinggi-tingginya sehingga kami sebaiknya berangkat lebih pagi. Salah seorang warga pemilik perahu sewaan bercerita, bahwa ada seorang yang mengangkut melon di perahu, terpaksa harus diceburkan ke laut karena perahu kelebihan muatan akibat besarnya terpaan ombak.

Bersama rasa cemas, kami tetap menyeberangi lautan selama kurang lebih 40 menit menuju destinasi pertama, yakni pantai Sembilan.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Cottage unik di Pantai Sembilan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Fasilitas Lengkap di Pantai Sembilan

Ternyata, sebelum dikenal dengan Pantai Sembilan, pantai ini sempat dinamai pantai “Mareddan” dalam bahasa Madura, yang artinya “kuburan”. Hal ini karena memang letaknya bersebelahan dengan pemakaman umum warga. 

“Dulu sebelum dibuka untuk umum, pantai ini terkesan mistis dan angker karena memang bersebelahan langsung dengan makam yang membuat pantai ini sepi pengunjung,” cerita seorang tour guide kami sembari menunjuk pagar yang dimaksud.

Kini kesan tersebut tidak tampak karena sudah ada pagar tinggi yang menutupi. Para pengunjung bisa menikmati pantai tanpa perlu khawatir lagi. Selain itu, untuk menghilangkan kesan mistis juga dilakukan perubahan nama menjadi Pantai Sembilan. Jika dilihat dari ketinggian, memang menyerupai lengkungan angka sembilan.

Terlepas dari kesan yang dulunya mistis, Pantai Sembilan memiliki daya tarik yang membuat saya kagum. Panasnya pantai tidak terlalu menyengat. Bentang pasir putih serta birunya air laut membuat semakin betah. Terdapat banyak gazebo di pinggir pantai untuk bersantai, tempat berfoto, serta dilengkapi berbagai wahana, seperti banana boat dan ATV.

Menariknya, tidak ada sampah yang berserakan di pantai. Ada banyak tong sampah tersebar di area pantai sehingga pengunjung bisa membuang sampahnya dengan mudah. Ini upaya menarik yang bisa diterapkan di wisata pantai lain agar kebersihan tetap terjaga. Tak hanya itu. Pantai ini juga memiliki aspek ramah lingkungan. Pasokan listrik di Pantai Sembilan menggunakan panel surya.

Bagi yang ingin bermalam, tersedia penginapan di pinggir pantai yang bisa disewa dengan harga sekitar Rp300.000 per malam. Namun, banyak juga pengunjung yang berkemah dengan tenda pada akhir pekan.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Suasana pesisir Gili Labak/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Teriknya Gili Labak

Tak terasa dua jam kami habiskan di Pantai Sembilan. Kami pun melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua, yakni Gili Labak. Perlu waktu kurang lebih 30 menit menuju pulau yang terletak di tenggara Pulau Poteran, Desa Kembang, Kecamatan Talango tersebut.

Dahulu, sebelum ramai wisatawan, Gili Labak adalah sarang tikus. Tak heran jika masyarakat menyebutnya “Pulau Tikus”. Hingga akhirnya nama tempat ini berubah menjadi Gili Labak untuk menggambarkan keindahan alam, serta memiliki potensi wisata yang besar jika dikembangkan lebih baik lagi. 

Sejujurnya, Gili Labak menjadi tempat dengan panas paling menyengat yang pernah saya kunjungi. Matahari di sini seakan menusuk kulit, bahkan menjelang sore hari. Akan tetapi, beruntung telah tersedia sejumlah gazebo di sini untuk berlindung dari sengatan teriknya matahari.

Setelah menikmati hidangan ikan bakar yang termasuk dalam paket wisata, kami menuju spot snorkeling di Gili Labak. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan perahu lagi karena memang berada tak jauh dari Gili Labak. Untuk aktivitas snorkeling sendiri sudah termasuk dalam paket, yakni seharga Rp250.000 lengkap dengan peralatan. 

Biota bawah lautnya cukup beragam. Ada berbagai jenis ikan yang saya temui, seperti clown fish, palette surgeonfish, hingga ikan dengan corak tubuh menyerupai zebra. Terumbu karang di sini dijaga dengan baik oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) setempat.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Biota bawha laut di sekitar Gili Labak/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Tantangan Kehidupan Warga Setempat

Di balik geliat pariwisata, ternyata masyarakat Gili Labak masih menghadapi tantangan ekonomi yang berdampak pada pendidikan anak-anak. Banyak anak terpaksa putus sekolah karena harus menyeberang satu jam ke Pulau Talango untuk bersekolah. 

“Bahkan dulunya ada sekitar 35 keluarga di Gili Labak, tetapi kini hanya tersisa sekitar 25 keluarga karena memilih untuk merantau,” ungkap pemandu tur kepada kami.

Selain itu, warga juga kesulitan mendapatkan air tawar. Pengeboran hanya menghasilkan air payau atau asin di area ini. Warga harus membeli air bersih yang berasal dari pulau lain dengan harga Rp5.000 per jeriken. Sementara itu, listrik di Gili Labak juga menyala saat malam hari saja.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Pemandangan matahari terbenam saat perjalanan kembali ke pelabuhan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Tepat pukul 15.00 WIB kami bergegas kembali ke dermaga. Matahari terbenam mulai terlihat, semakin lama semakin menawan. Perjalanan kali ini ditutup dengan pemandangan kesekian kalinya yang saya rindukan, yaitu menikmati sunset hampir satu jam.

Apa kata teman tentang Pantai Sembilan dan Gili Labak memang benar. Kami membuktikan, masih ada pantai dengan segala potensi ekowisatanya yang harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Terlepas dulunya dianggap mistis, kedua destinasi tersebut kini menjadi lebih menarik untuk dikunjungi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/feed/ 0 42465
Menikmati Lezatnya Bebek Soponyono Madura di Tepi Suramadu https://telusuri.id/menikmati-lezatnya-bebek-soponyono-madura-di-tepi-suramadu/ https://telusuri.id/menikmati-lezatnya-bebek-soponyono-madura-di-tepi-suramadu/#respond Tue, 02 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38493 Sudah hari Sabtu, tetapi masih saja saya terpaku sembari menghabiskan drama First Love. Serial yang terinspirasi dari lagu Hikaru Utada berjudul sama. Jiwa malas gerak (mager) saat akhir pekan ini begitu besar merasuk. Sampai akhirnya...

The post Menikmati Lezatnya Bebek Soponyono Madura di Tepi Suramadu appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah hari Sabtu, tetapi masih saja saya terpaku sembari menghabiskan drama First Love. Serial yang terinspirasi dari lagu Hikaru Utada berjudul sama. Jiwa malas gerak (mager) saat akhir pekan ini begitu besar merasuk. Sampai akhirnya saya menemukan alasan bangkit dari rasa malas. 

“Kuliner!” batin saya antusias. 

Seketika jiwa malas memudar, tergantikan dengan semangat berburu bebek Madura. Saya membayangkan sepiring nasi bebek goreng, bumbu hitam yang lezat dengan rempah lengkap berpadu sambal mangga muda segar. Sungguh kombinasi yang susah untuk ditolak.

Berkat rekomendasi dari teman saya, Ido, tanpa ragu saya bersama keluarga bergegas menuju Bebek Soponyono, Sekarbungoh, Lebang, Bangkalan. Warga sekitar mengenalnya sebagai bebek pinggir laut. 

Jalanan di gang sempit menuju Warung Bebek Soponyono
Jalanan di gang sempit menuju Warung Bebek Soponyono/Annisa F. S.

Warung Bebek Soponyono sangat unik, karena berada di tepi jembatan Suramadu. Jika dari arah Surabaya, akan ada bendera merah putih yang berkibar di seberang jalan sebagai penanda tempatnya. Meski menuju tempat makan ini melintasi jalan setapak, tetap mudah menemukannya dengan bantuan petunjuk dari Google Maps

Jangan lupa siapkan uang receh, karena ada banyak “Pak Ogah” di pinggir jalan. Mereka adalah orang-orang yang membantu kita menyeberang dan memberikan aba-aba di setiap tikungan. Saya sempat menghitungnya dari belokan pertama setelah jembatan hingga mendekati tempat makan. Sepertinya ada sekitar enam orang. 

Makan Syahdu Sambil Memandang Suramadu

Sesampainya di warung Bebek Soponyono, angin segar menerpa walau sedikit menyengat menerpa. Gazebo di bawah pohon rindang nan teduh, bentang jembatan Suramadu yang menghubungkan Kota Surabaya dan Pulau Madura, dan perahu bersandar memberi kesan keindahan.

Sejauh mata memandang, jembatan Suramadu yang dibangun pada tahun 2003 tersebut tampak menawan dengan lalu-lalang kendaraan melintas di atasnya. Dengan panjang hampir 5,5 kilometer, Suramadu saat ini menjadi jembatan terpanjang di Indonesia. 

Keberadaan Suramadu cukup mempersingkat waktu tempuh dari Surabaya menuju Madura dan sebaliknya. Dari hampir satu jam perjalanan kapal feri lewat laut, menjadi hanya 10 menit saja dengan kendaraan bermotor. 

Selain itu dampak ekonomi-sosial masyarakat ikut meningkat. Tak terkecuali nasi bebek Madura sebagai kuliner lokal yang menjadi daya tarik untuk dicicipi.

  • Keramaian pengunjung Warung Bebek Soponyono yang sederhana di bawah pohon rindang
  • Perahu nelayan yang tengah bersandar dengan latar belakang jembatan Suramadu

Kami duduk di gazebo yang tepat menghadap laut dan Suramadu. Tempat ini cocok untuk disinggahi menjelang sore hari, sebab matahari tidak terlalu menyengat dan membuat berkeringat. Untuk menyiasati itu, saya memesan segelas es kelapa muda segar sembari menunggu makanan tiba. 

Beruntung, antrean tidak terlalu panjang. Tak lama pramusaji datang membawa pesanan kami: tiga porsi nasi bebek bumbu hitam khas Madura dan seporsi ayam bakar. Ya, Bebek Soponyono tidak hanya menjual menu bebek saja. Ada juga rawon, soto, dan ayam. 

Rahasia Kelezatan Bebek Soponyono

Di tempat ini, bebek dihidangkan bersama nasi putih pulen dan bumbu hitam yang cenderung basah seperti yang sering saya temui. Perpaduan bumbu hitamnya kaya rempah khas nusantara: jahe, lengkuas, dan kunyit. Cita rasa pedas, gurih, dan sedap menjadi satu perpaduan yang pas. Hal yang menarik adalah warna hitam ternyata bukan berasal dari kluwek—bahan baku yang biasa untuk rawon—melainkan dari proses memasak. 

Bebek khas Madura ini dimasak menggunakan minyak sayur yang banyak. Bebek direndam dengan berbagai bumbu rempah lengkap dalam satu wajan. Proses ungkep bebek dalam minyak tersebut memakan waktu lama, sampai bumbu berubah warna menjadi hitam dan berminyak. 

Biasanya, bebek yang digunakan memang tidak sembarangan. Hanya bebek jantan saja, karena kandungan lemaknya lebih sedikit. Kemudian sebelum proses ungkep dan bercampur bumbu lain, bebek terlebih dahulu dibakar untuk menghilangkan lemak dan membuat rasa amis hilang.

Seporsi nasi bebek bumbu hitam Madura khas Warung Soponyono
Seporsi nasi bebek bumbu hitam Madura khas Warung Soponyono/Annisa F. S.

Rupanya seperti itulah rahasia bebek khas Madura. Sesuai namanya, “soponyono”, yang berarti “siapa sangka”.

Tekstur bebeknya pun empuk. Saya tidak perlu susah payah saat menyantap, sehingga membuat kepuasan semakin lengkap. Biasanya saya emosi sendiri ketika makan bebek yang dagingnya alot. Kenikmatan menjadi berkurang.

Menariknya lagi, pemilik warung memberikan bumbu hitam dengan porsi yang melimpah. Bahkan masih tersisa sampai suapan terakhir, karena saking banyaknya. Satu hal yang agak saya sayangkan adalah sambalnya tidak menggunakan mangga muda, tetapi sambal bawang biasa yang lumayan pedas dan gurih. Namun, bagi saya masih tetap lezat untuk disantap. 

Terlebih seporsi nasi bebek yang hanya Rp20.000 membuat warung Soponyono makin ramai pengunjung, terutama saat akhir pekan. Selain rasanya mantap, harganya juga merakyat. Minuman es kelapa muda di sini juga murah, hanya lima ribu rupiah saja per gelas.

Madura tidak hanya terkenal dengan satenya yang melegenda. Masih ada bebek bumbu hitam, soto, rujak, dan rawon bening khas yang tak kalah lezatnya untuk dicoba saat berburu kuliner di pulau ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Lezatnya Bebek Soponyono Madura di Tepi Suramadu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-lezatnya-bebek-soponyono-madura-di-tepi-suramadu/feed/ 0 38493
Senja dan Cerita di Bukit Watugupit Yogyakarta https://telusuri.id/senja-dan-cerita-di-bukit-watugupit-yogyakarta/ https://telusuri.id/senja-dan-cerita-di-bukit-watugupit-yogyakarta/#respond Mon, 13 Jun 2022 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34003 Menunggu akhir pekan tiba adalah perihal yang menyenangkan. Namun, menjelang akhir pekan kali ini saya belum ada rencana ingin pergi ke tempat yang menarik. Beruntungnya, Nanda, teman saya mengajak ke Pantai Parangtritis—awalnya. Merasa tidak puas...

The post Senja dan Cerita di Bukit Watugupit Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Menunggu akhir pekan tiba adalah perihal yang menyenangkan. Namun, menjelang akhir pekan kali ini saya belum ada rencana ingin pergi ke tempat yang menarik. Beruntungnya, Nanda, teman saya mengajak ke Pantai Parangtritis—awalnya. Merasa tidak puas dengan usulannya, saya pun belum menyetujui karena ingin mencoba tempat baru yang lebih seru. Setelah berdiskusi singkat dan mencari referensi, akhirnya kami sepakat untuk pergi ke Bukit Watugupit yang letaknya berada di atas Pantai Parangtritis. 

Kawasan Parangtritis memang banyak tempat menarik untuk dijelajahi, termasuk Bukit Watugupit ini. Bukit Watugupit atau yang dikenal Bukit Paralayang ini terletak di Desa Giricahyo, Kabupaten Gunungkidul. Berbeda dengan Pantai Parangtritis yang masih masuk Kabupaten Bantul. Watugupit menjadi salah satu tempat menarik, untuk menyaksikan senja yang begitu memanjakan mata dengan pemandangan sekelilingnya.

Menuju Lokasi Bukit

Lokasi bukit sangat mudah ditemukan, hanya saja untuk menuju ke sana jalannya sedikit rusak dan menanjak sehingga perlu hati-hati. Jarak dari Pantai Parangtritis ke sini tidak terlalu jauh, sekitar tiga kilometer saja. Saya dan teman-teman menggunakan Google Maps untuk memandu perjalanan menuju lokasi. Sesampainya di lokasi, saya hanya membayar parkir kendaraan di area bukit sebesar Rp3.000 untuk sepeda motor. 

Saat menaiki anak tangga bukit, angin segar khas pantai menerpa. Akhirnya, saya bisa menikmati liburan akhir pekan yang berkesan. Kebetulan, beberapa atlet paralayang sedang berlatih meskipun di bawah terik matahari yang masih menyengat pada pukul 15.00 WIB. 

Memang, sebelum dibuka sebagai tempat wisata, bukit ini dulunya sering digunakan untuk perhelatan acara Jogja Air Show yang diselenggarakan setiap tahunnya. Mendatangkan beberapa atlet paralayang dari berbagai daerah di Indonesia, untuk beraksi mengitari kawasan Pantai Parangtritis ini. 

Birunya langit di atas pantai/Annisa F S

Cerita Ngalor-ngidul

Sembari menunggu sore dan matahari tidak terlalu panas menyengat, saya mencari tempat yang sedikit rindang, untuk minum kopi dan bercerita ngalor-ngidul yang tak tahu arah, dan berujung pada pembahasan salah satu buku karya Elizabeth D. Inandiak yang berjudul Babad Ngalor-Ngidul

Ternyata, ngalor-ngidul di Jogja bisa memiliki makna yang berbeda, tidak hanya sebatas arti arah utara-selatan saja. Namun lebih dari itu, yakni perbincangan akrab antara pihak lor yang berarti utara dan pihak kidul yang berarti selatan. 

Sebab, secara konsep mitologi di Yogyakarta memang kotanya berada di tengah-tengah, yakni di antara lor yang erat kaitannya dengan Gunung Merapi. Sementara kidul yang memiliki kaitan dengan Ratu Pantai Selatan. Lantas, peran Keraton Yogyakarta adalah di tengah-tengah atau yang menengahi dari segala sesuatunya. 

Cerita pun disudahi dengan ajakan teman saya Nanda yang tertarik untuk berfoto. Padahal, matahari masih lumayan menyengat. Saya pun bangkit dari cerita ngalor-ngidul dan mengambil beberapa objek menarik yang sayang untuk dilewatkan. 

Para atlet bersiap terbang/Annisa F S

Melihat Pantai Parangtritis Dari Sudut Berbeda

Sejauh mata memandang, hanya hamparan keindahan Pantai Parangtritis yang terbentang; deburan riuh ombak menggulung ketepian, orang-orang di pinggir pantai yang sibuk berfoto, dan kuda-kuda yang berjalan santai di area pantai. Lalu lalang kuda-kuda yang disewa untuk mengelilingi pantai nampak jelas terlihat dari bukit ini. Terpaan angin khas pantai, birunya langit, dan panasnya terik masih terasa pada pukul 15.30 WIB. 

Nampaknya keinginan kuat menyaksikan matahari terbenam dari bukit ini membuat saya harus sabar. Namun, sekitar pukul 16.00 para pengunjung mulai ramai berdatangan memenuhi area bukit, duduk sembari mengambil foto, menikmati birunya langit, dan menyaksikan atraksi paralayang dari para atlet. 

Tempat ini memang sangat cocok untuk menghabiskan akhir pekan, kali ini saya merasa beruntung menyetujui tawaran teman saya. Ternyata, di sini para pengunjung juga bisa mencoba terbang dengan paralayang dan didampingi oleh pemandu. Dengan membayar sebesar Rp300.000 per orang, kamu sudah bisa terbang mengelilingi kawasan pantai Parangtritis ini. Menikmati sensasi mengitari luasnya Pantai Parangtritis, dan melihat secara langsung indahnya pantai dari ketinggian.

Indahnya Matahari Terbenam

Menjelang petang/Annisa F S

Selama hampir lima tahun tinggal di Yogyakarta, rasanya spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam ada di Bukit Watugupit ini. Bisa menikmati dari ketinggian dan melihat pemandangan indahnya Pantai Parangtritis tidak pernah terasa membosankan. 

Ada rumor yang beredar mengatakan bahwa Pantai Parangtritis ini jika difoto dengan kamera apa saja, akan tetap indah dilihat. Oleh sebab itu, tak jarang banyak fotografer yang menyukai pantai ini terutama saat menjelang matahari terbenam. 

Terlepas hal itu merupakan rumor  di kalangan para fotografer, saya pun setuju jika Pantai Parangtritis ini sungguh menakjubkan menjelang matahari terbenam. Banyak teman yang menyarankan, jika ingin berkunjung ke pantai ini menjelang sore hari sambil menikmati senja. Sebab, pemandangan keindahan suasana pantainya akan terlihat menakjubkan. 

Garis pantainya yang panjang, ditambah deburan ombak yang menawan membuat pantai ini menjadi incaran banyak orang. Tak heran jika sebagian dari para pengunjung, mengatakan bahwa kalau ke Yogyakarta, tampaknya memang belum lega jika belum pergi ke sini. 

Keindahan suasana Watugupit akan terlihat semakin nyata, saat atraksi paralayang masih beterbangan di sekitar area bukit. Semakin sore, Bukit Watugupit akan semakin indah dan membuat betah untuk berlama-lama menyaksikan matahari terbenam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Senja dan Cerita di Bukit Watugupit Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/senja-dan-cerita-di-bukit-watugupit-yogyakarta/feed/ 0 34003
Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/ https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/#respond Tue, 05 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29539 Beberapa daerah di Indonesia telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), melalui pemanfaatkan energi potensial dari air yang diubah menjadi energi kinetik. Sebagai energi terbarukan, PLTA juga ada di beberapa kota untuk memenuhi kebutuhan listrik...

The post Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa daerah di Indonesia telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), melalui pemanfaatkan energi potensial dari air yang diubah menjadi energi kinetik. Sebagai energi terbarukan, PLTA juga ada di beberapa kota untuk memenuhi kebutuhan listrik di suatu daerah. Menariknya, kini eksistensinya tak hanya sebagai PLTA semata, seiring waktu juga dikembangkan sebagai destinasi wisata di berbagai daerah.

Salah satunya yakni PLTA Garung yang letaknya di Desa Maron, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. PLTA Garung menggunakan Telaga Menjer sebagai bendungan air, untuk kemudian dialirkan ke pipa berukuran besar yang ada di sepanjang jalan. Kini, luas areanya telah bertambah. Bendungan tersebut juga merupakan bangunan bersejarah, dibangun pada tahun 1982.  Sampai saat ini pun, masih beroperasi aktif sebagai PLTA dan juga objek wisata. 

Memancing di telaga- Annisa F
Memancing di Telaga Menjer/Annisa F

Menariknya, Telaga Menjer yang merupakan bendungan dari PLTA Garung, juga dijadikan destinasi wisata alam oleh pemerintah daerah Wonosobo. Dulu memang masih sepi, namun kini telah dikenal lebih banyak orang seiring dengan pengembangan dan pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah  bersama para penggiat wisata. Bahkan, tempat ini semakin berkembang sebagai destinasi unggulan Kota Wonosobo. 

Berada di ketinggian 1.300 mdpl, Telaga Menjer memiliki luas mencapai 70 hektare, dengan kedalaman kurang lebih 45 meter. Akses menuju ke sini pun mudah, banyak petunjuk jalan tersebar di sekitarnya.

Awalnya, Telaga Menjer terbentuk dari letusan vulkanik kaki Gunung Pakuwaja yang dulunya aktif. Sebelum letusan terjadi, air di telaga hanya berasal dari mata air kecil saja, yang dimanfaatkan oleh warga desa setempat untuk memenuhi berbagai kebutuhan air sehari-hari. Tentu ini menjadi hal menarik, bagaimana eksistensi PLTA kini bisa memberikan sumbangsih lebih bagi beberapa sektor yang berperan, dan masyarakat setempat.

Telaga Menjer memang dikenal memiliki pemandangan alam yang begitu menawan, dikelilingi perbukitan, dan pepohonan. Ditambah udara segar khas pegunungan, juga menambah daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke sini.

Persewaan perahu di telaga - Annisa F
Persewaan perahu di telaga/Annisa F

Fasilitas umum untuk para pengunjung juga sudah lengkap. Bahkan para pengunjung bisa berkeliling Telaga Menjer dengan menggunakan perahu, harga sewa perahu juga cukup terjangkau yakni Rp20.000 untuk satu orang. Menikmati hijaunya pemandangan yang asri, dipadu dengan udara segar sungguh bisa membuat hati senang. 

Telaga Menjer menjadi destinasi yang menarik untuk dikunjungi saat berada di Kota Wonosobo. Sebab, bisa dinikmati dari berbagai sisinya. Beragam spot menarik untuk menyaksikan pemandangan alam, sembari berfoto di area telaga, hingga ada warung apung yang di bangun oleh para pengelola wisata. Pengunjung bisa berfoto, dan melihat ikan-ikan yang dipelihara di keramba jaring apung (KJA) oleh para pengelola. 

Kerambah ikan di telaga - Annisa F
Kerambah ikan di telaga/Annisa F

Selain bermanfaat sebagai PLTA yang bisa memenuhi kebutuhan listrik, ternyata sektor perikanan juga mendapatkan dampak positifnya. Pariwisata daerah pun juga. Orang-orang yang tergabung sebagai pengelola wisata bisa mengembangkan budidaya ikan konsumsinya. Ada ikan nila, braskap, dan tawes. Airnya yang jernih dan selalu deras, membuat ikan-ikan-ikan yang ada di kerambah berkembang dengan sehat. Tentu hal tersebut bisa menjadi nilai ekonomi, dan nilai sosial lebih bagi para pengelola wisata dan warga setempat.

Di kawasan Telaga Menjer juga ada bukit-bukit yang letaknya tidak jauh dari telaga, di bukit tersebut para pengunjung bisa menikmati keindahan Telaga Menjer dari ketinggian. Melihat secara jelas bentang keindahan alam telaga, hijau airnya, dan bisa menikmati suasana sejuknya.

Sama halnya yang ada di PLTA Wadaslintang, lokasinya berada di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kebumen. PLTA Wadaslintang memanfaatkan kali Gede sebagai sumber airnya. Waduk tersebut juga terkenal akan lokasinya yang menarik untuk tempat rekreasi. Para pengunjung menikmati pemandangan alam yang indah, dan melakukan kegiatan memancing. Hanya saja, PLTA Wadaslintang memang belum dikembangkan secara maksimal oleh pemerintah dan pengelolanya. 

Kedua PLTA tersebut tidak hanya berfungsi sebagai sumber listrik yang berkelanjutan, namun lebih dari itu. Eksistensi PLTA bisa memberikan sumbangsih terhadap pengembangan sektor pariwisata suatu daerah juga. Hal tersebut karena adanya kerjasama antar Dinas Pariwisata, kelompok pengelola wisata, dan warga setempat dalam merealisasikan destinasi menarik untuk para wisatawan.

Nilai ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat juga bisa meningkat berkat pemanfaatan air berkelanjutan, dan bisa menciptakan destinasi menawan jika dikembangkan. Hal ini juga bisa diaplikasikan untuk PLTA lain daerah di Indonesia kedepannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/feed/ 0 29539
Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/ https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/#respond Sat, 18 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29279 Saat berada di Kota Bojonegoro, saya sempat heran, kenapa ada begitu banyak kerupuk yang rupa-rupa warnanya seperti nyanyian “Balonku Ada Lima”? Sebab kerupuk ini identik dengan warna merah muda, hijau, kuning, dan putih. Saya sering...

The post Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat berada di Kota Bojonegoro, saya sempat heran, kenapa ada begitu banyak kerupuk yang rupa-rupa warnanya seperti nyanyian “Balonku Ada Lima”? Sebab kerupuk ini identik dengan warna merah muda, hijau, kuning, dan putih. Saya sering menjumpainya pada hidangan ibu-ibu pengajian, hidangan pendamping sarapan, maupun acara tasyakuran. 

“Oh, mungkin masyarakat di sini begitu mengidolakan kerupuk berwarna rupa-rupa,” batin saya penasaran. 

Saya pun berusaha mencari tahu apa penyebabnya. Melalui penelusuran Google, saya mencari tahu “kerupuk berwarna Bojonegoro” yang ternyata memiliki nilai sejarah panjang sejak 1929 hingga sekarang tetap bertahan. Tanpa pikir panjang, saya pun berkunjung ke lokasi di mana kerupuk Klenteng ini diproduksi. 

Kerupuk warna-warni/Annisa S

Kerupuk Klenteng d/h Tan Tjian Liem ini letaknya di pusat kota Bojonegoro, sehingga sangat mudah untuk ditemukan. Lokasinya pun tak jauh dari Klenteng Hok Swie Bio, tepat di depan lampu lalu lintas dan pangkalan becak di Jalan Jaksa Agung Suprapto 132 (Timur Klenteng), Banjarejo, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro. 

Untuk memastikan keaslian Kerupuk Klenteng tersebut, biasanya masyarakat setempat menyebutnya “kerupuk bangjo” karena lokasinya memang tepat di lampu lalu lintas. 

Sekilas tentang kerupuk Klenteng - Annisa S
Sekilas tentang kerupuk Klenteng/Annisa S

Sudah ada sejak tahun 1929 

Kerupuk yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1929 ini memiliki sejarah cukup panjang, wajar jika masyarakat Bojonegoro maupun luar kota mengidolakannya. Bertahan hingga 92 tahun, tentu sudah melewati berbagai rintangan, namun kerupuk Klenteng ini mampu bertahan hingga sekarang. Usaha ini milik pasangan suami istri Tan Tjian Liem dan Oci Hay Nio yang merintis usaha pembuatan kerupuk tradisional. Kini, Usaha produksi kerupuk dikembangkan oleh generasi ke-4 dari pasangan tersebut.  

Setiap hari kerupuk selalu produksi, karena memang kerupuk ini selalu ramai dibeli. Baik dari orang Bojonegoro, maupun warga luar kota yang membeli sebagai oleh-oleh. Saat saya berada di lokasi, hilir mudik orang-orang berdatangan untuk membeli. Wajar jika masih pagi pun sudah antri pembeli. Buka jam 06.00 – 19.00 WIB, tempat ini sudah bisa melayani pembeli, mulai dari yang membeli secara langsung, maupun online melalui berbagai aplikasi.

Memiliki cita rasa yang begitu khas, tidak terlalu gurih, kerupuk ini berhasil membuktikannya kepada para pelanggan. Tanpa campuran bahan pengawet seperti borax, maupun formalin. Ada hasil uji laboratorium yang terpampang jelas di lokasi pabrik, oleh sebab itu pembeli bisa merasa yakin dengan kerupuk yang akan dibeli.

Hasil uji laboratorium kerupuk
Hasil uji laboratorium kerupuk/Annisa S

Menjadi kerupuk khas Bojonegoro

Terjawab sudah rasa penasaran saya mengenai kerupuk berwarna merah muda, hijau, kuning, dan putih ini. Wajar jika masyarakat Bojonegoro menyukai kerupuk ini, saya sendiri juga menyukainya. Kerupuk Klenteng bisa dibeli di pasar tradisional, namun untuk memastikan keasliannya, beberapa pembeli memilih membelinya secara langsung dari pabrik sebab banyak jenis kerupuk Klenteng yang beredar di pasaran.

Kerupuk ini cocok untuk cemilan karena rasanya yang gurih alami, maupun hidangan saat makan nasi. Nampaknya kerupuk Klenteng memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bojonegoro. 

Kerupuk Klenteng kerap ditemukan dalam acara-acara kemasyarakatan. Di pengajian, kerupuk ini biasanya dihidangkan bersama asem-asem daging khas Bojonegoro yang begitu lezat. Daun kedondong muda, irisan cabai, dan daging yang sudah dipotong dadu, serta renyahnya kerupuk Klenteng selalu menghiasi toples-toples besar saat pengajian. Di tasyakuran, biasanya kerupuk ini dibawakan oleh orang-orang dalam kemasan plastik untuk dibawa pulang bersama berkat yang sudah dibagikan. 

Pembeli kerupuk
Pembeli kerupuk/Annisa S

Digoreng secara tradisional 

Di pabrik ini tempat penggorengan dan pembelian menjadi satu, para pengunjung yang datang sekitar pukul 10.00 WIB akan melihat bagaimana proses penggorengannya. Ada tungku besar yang terbuat dari batu bata ditata rapi, serbuk kayu digunakan sebagai bahan bakar utama. Wajan penggorengan ada dua, satu untuk memanaskan kerupuk menjadi setengah matang, lalu pindah ke wajan dua untuk mematangkan kerupuk hingga mengembang sempurna. 

Setelah itu ditiriskan minyaknya, dan kerupuk akan dimasukkan di plastik-plastik berukuran besar untuk stok esok harinya. Dari kerupuk itu pun masih dipilih berdasarkan kualitasnya, kerupuk yang mengembang lebih bagus akan dipisahkan di plastik tersendiri. Terlihat para Ibu-ibu sibuk memilih kerupuk mana saja yang kualitasnya bagus dengan cepat.

Petugas yang siap melayani pembeli - Annisa S
Petugas yang siap melayani pembeli – Annisa S

Harga Kerupuk Terjangkau

Untuk 1 kg kerupuk dibandrol dengan harga Rp35.000. Jumlahnya terlihat banyak sekali, satu plastik besar. Bisa juga membeli hanya 1/4 atau 1/2 kilo. Umumnya, orang-orang biasanya membeli 1/2 – 1 kilo dan ada yang lebih, untuk stok di rumah atau dibawa untuk oleh-oleh keluar kota.

Kerupuk Klenteng juga dikemas dengan aman menggunakan plastik berwarna putih dengan kualitas bagus, tidak mudah robek.  Adanya logo kerupuk Klenteng dan bertuliskan  “Sejak Dulu Disukai karena Rasa” menjadikan keunikan dan bukti kepercayaan bagi masyarakat Bojonegoro terhadap kerupuk Klenteng  yang satu ini. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kerupuk Klenteng Bojonegoro, Warisan Legendaris yang Tetap Eksis Sejak 1929 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kerupuk-klenteng-bojonegoro/feed/ 0 29279
Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/ https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/#respond Sun, 15 Aug 2021 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28826 Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke...

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke Dieng, lain cerita sebelum pandemi singgah. Mereka datang untuk berkunjung ke Pasar Kumandang, Bongkotan. Pasar ini berhasil mencuri perhatian karena mengusung konsep pasar tempo dulu dan terletak di tengah hutan yang masih asri. 

Saya sendiri penasaran dan berkesempatan mengunjungi Pasar Kumandang bersama teman SMP. Kebetulan saya sedang berada di rumah Wonosobo, dan ingin menghabiskan akhir pekan dengan lebih produktif—tidak hanya sekedar rebahan di pojokan kamar.

Kami ke sana mengendarai sepeda motor dari rumah dengan estimasi waktu kurang lebih sekitar satu jam. Begitu tiba, suasana di area pasar sudah ramai pengunjung, dan rupanya saya kesiangan karena sudah begitu antre kendaraan yang terparkir. Terlihat tukang parkir dan beberapa petugas mulai kewalahan saat memberikan karcis pada para pengunjung sudah mulai mengular.

Letak pasar di tengah hutan/Annisa S

Lokasi Pasar Kumandang

Lokasi Pasar Kumandang mudah ditemukan, karena tidak jauh dari pusat Kota Wonosobo. Terletak di Jl. Candi Bongkotan, Dukuh Bongkotan, Desa Bojasari, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Pasar ini hanya buka di hari minggu saja, mulai pukul 07.00 – 13.00 WIB.

Ini pasar wisata, bukan pasar tradisional pada umumnya. Letaknya berada di tengah hutan rindang, menggunakan koin atau kepingan kayu sebagai alat transaksi di dalam pasar. Tentu membuat saya penasaran ingin segera bertandang.

Begitu memasuki pintu masuk pasar, alunan musik angklungan menyambut. Para pemusik lengkap menggunakan blangkon dan pakaian batik khas tempo dulu bermotif garis berwarna coklat tua.

Dari pintu masuk, rupanya harus melewati tangga yang terbuat dari tanah. Ada papan penunjuk arah yang tersebar di area pasar sehingga memudahkan para pengunjung memilih area yang dituju. Setelah tiba di area pasar, banyak hal menarik yang saya jumpai. 

Koin untuk bertransaksi di pasar/Annisa S

Transaksi menggunakan kepingan kayu

Untuk bisa bertransaksi di pasar ini, para pengunjung harus membeli kepingan kayu terlebih dahulu di tempat pembelian yang bernama Bakul Koin. Satu keping kayu nominalnya adalah Rp2 ribu. Pengunjung bebas membeli berapa keping pun selama kepingan kayu masih tersedia di tempat pembelian.

Kebetulan saya dan teman sampai pasar pukul 10.00 WIB, Bakul Koin sudah ramai. Beruntungnya, saya masih kebagian walaupun hanya 5 keping saja. Sebab, peredaran koin di pasar ini memang dibatasi.

Suasana khas tempo dulu

Memasuki area pasar, ada banyak ornamen zaman dulu yang direpresentasikan di sini. Lihat saja para penjual yang berasal dari Desa Bongkotan, mereka mengenakan menggunakan jarik, kemben, dan blangkon. Para penjual di sini harus menggunakan tungku dari tanah liat guna memasak makanan yang dijual.

Menariknya, penggunaan besek bambu, dan daun pisang wajib digunakan sebagai pengganti plastik untuk semua kemasan makanan. Pengunjung yang membuang sampah sembarangan juga diberlakukan denda, dan tidak boleh merokok sembarangan di area pasar. Para pengelola telah menyediakan tempat khusus di salah satu sudut pasar.

Sayup-sayup alunan musik gamelan terdengar, serta lalu-lalang pengunjung yang datang membuat semakin riuh pasar. Ada yang menarik di sini, yakni penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi saat bertransaksi.

Kuliner yang disajikan pun semua khas Wonosobo, dipadu jajanan tempo dulu untuk nostalgia para pengunjung. Ada cilok bumbu kacang, tiwul, rujak buah, klepon, cenil, lopis, tempe kemul, nasi megono, pecel, mie ongklok, soto, dan masih banyak jajan lain yang lezat saya temui disini. 

Harganya pun terjangkau. Saya membeli satu porsi cilok seharga Rp4 ribu, dibayar dengan dua keping koin. Untuk nasi megono, harganya 3 keping sudah termasuk lauk tempe kemul. Tak hanya kuliner yang menggoda, sebagai pecinta kopi, saya dan teman saya juga mencicipi kopi tubruk khas Pasar Kumandang. Gelasnya terbuat dari bambu seperti gelas zaman dulu. Secangkir kopi ini, kebetulan saya mendapatkan secara gratis. Kebetulan, pemiliknya adalah teman kami SMP yang tak sengaja bertemu di pasar ini. 

Susana pasar Kumandang/Annisa S

Mainan anak tradisional 

Beragam permainan anak tradisional ada di sini, mulai dari egrang kayu, egrang batok kelapa, sirkuit ndeso, jungkat-jungkit, lumbungan, hingga memberi makan kambing.

Ada yang disediakan gratis, dan ada juga yang berbayar. Para pengunjung juga banyak mengajak anak-anaknya untuk bermain di sini. Nampaknya pelbagai permainan  di sini erat kaitannya dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa “permainan anak adalah pendidikan.”

Belajar aksara Jawa

Para pengunjung bisa mengikuti les Bahasa Jawa dan aksara Jawa gratis, di gubuk bambu di area pasar. Pengajar yang merupakan anak muda desa penuh semangat menerangkan, saya jadi sadar pentingnya belajar aksara Jawa.

Tetiba, saya ingat kalau dulu selalu malas untuk menghafalnya. Maka setiap ujian tiba, saya selalu membawa gantungan kunci beraksara Jawa yang saya pasang di tempat pensil. Memang, aman-aman saja dari pantauan guru kelas untungnya. 

Tidak hanya les aksara Jawa, beragam koleksi buku cerita, sejarah, juga tersedia. Pengunjung yang ingin membaca dan misal tidak tertarik dengan kelas aksara Jawa, bisa membaca beragam koleksi buku. Gubuk ini cocok untuk singgah sebentar, setelah memutari pasar dari pojok ke pojok sebelum akhirnya pulang. 

Candi peninggalan Mataram Kuno 

Menjelang pukul 12.00 WIB, saya bersama teman pun bergegas untuk pulang karena pasar segera tutup. Tak disangka, pintu keluar mengarahkan kami pada situs Candi Bongkotan.

Konon, ini merupakan situs bersejarah peninggalan Dinasti Syailendra. Ditemukan pada tahun 1996, di kawasan kebun milik seorang warga. Berdasarkan data penelitian Badan Arkeologi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dilihat dari struktur bangunan batuan candinya, diketahui candi ini lebih tua jika dibandingkan dengan Candi Dieng.

Candi Bongkotan dibangun saat kerajaan Mataram Kuno, tepatnya saat Dinasti Syailendra menempati Dukuh Bongkotan untuk menjadikan pusat kajian spiritual. 

Berkunjung ke Pasar Kumandang banyak cerita menarik yang bisa saya bawa pulang; wisata, sejarah, dan kuliner lokal bisa semakin berkembang berkat kolaborasi para warga desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/feed/ 0 28826
Energi Terbarukan untuk Listrik Daerah Wisata Terpencil https://telusuri.id/energi-terbarukan-untuk-listrik-daerah-wisata-terpencil/ https://telusuri.id/energi-terbarukan-untuk-listrik-daerah-wisata-terpencil/#respond Mon, 14 Jun 2021 01:56:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28363 Susahnya listrik dari PLN untuk daerah wisata terpencil masih jadi kendala di sektor pariwisata Indonesia. Peraturan Presiden No. 03 Tahun 2016 yang membahas mengenai percepatan pembangunan infrastruktur, listrik, transportasi, dan air, guna kemajuan perkembangan kawasan...

The post Energi Terbarukan untuk Listrik Daerah Wisata Terpencil appeared first on TelusuRI.

]]>
Susahnya listrik dari PLN untuk daerah wisata terpencil masih jadi kendala di sektor pariwisata Indonesia. Peraturan Presiden No. 03 Tahun 2016 yang membahas mengenai percepatan pembangunan infrastruktur, listrik, transportasi, dan air, guna kemajuan perkembangan kawasan pariwisata unggulan di beberapa daerah di Indonesia masih belum berhenti hingga kini. Apalagi di daerah wisata terpencil yang memiliki fasilitas terbatas.

Inilah yang terjadi di wisata Pantai Sendiki, letaknya di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing, Kabupaten Malang. Lokasinya yang lumayan jauh dari rumah-rumah warga menyebabkan Pantai Sendiki belum ada listrik dari PLN. Adanya permasalahan tersebut, tak membuat para pengelola kelompok sadar wisata berpasrah begitu saja membiarkan Pantai Sendiki gelap gulita. Pemanfaatan sistem panel surya yang merupakan energi terbarukan, menjadi solusi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerah pantai. 

Panel surya di Pantai Sendiki/Annisa S

Berdasarkan keterangan para pengelola wisata, hal ini terjadi berkat adanya kerjasama dengan mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya Malang. Panel Surya dipasang di berbagai titik di area pantai. Di jalan setapak saat menuju area pantai, dan di beberapa atap warung. Kini terang berkat cahaya dari panel surya, memiliki daya 100 WP yang bisa bertahan hingga 10 jam lamanya. Penerangan di kawasan pantai pun sudah ada di pos penjagaan 24 jam, setiap rumah pohon, musala, dan kamar mandi. 

Sebelum pandemi melanda, Pantai Sendiki memang cukup ramai dikunjungi. Adanya penerapan panel surya memberikan rasa aman, dan nyaman pada para pengunjung pantai. Sebab Pantai Sendiki memang memiliki pesona keunikan tersendiri, yang belum dimiliki pantai lainnya di Malang. Keasrian, keunikan, dan kesejukan melekat erat di pantai ini. Biasanya para pengunjung berbondong-bondong untuk mendirikan tenda pada malam minggu, ada juga yang menginap di rumah pohon sambil menikmati suasana pantai hingga matahari terbit. Makanya tidak heran jika Pantai Sendiki beroperasi 24 jam untuk para pengunjung. 

Tak bisa dibayangkan jika tidak ada cahaya atau listrik di sini. Mungkin tak ada Pantai Sendiki yang telah dikenal saat ini. Listrik memang menjadi prasarana dasar pariwisata yang penting untuk pengembangan. Hal tersebut guna para pengunjung merasa aman, dan nyaman saat menikmati liburan mereka di pantai. Sinergi, dan kolaborasi antar berbagai sektor pendidikan, pengelola wisata, dan pemerintah amatlah penting untuk bisa merealisasikan adanya listrik di daerah wisata terpencil.

Penggunaan panel surya juga ada di daerah wisata Pantai Sembilan yang letaknya di Gili Genting, Kabupaten Sumenep, Madura. Letaknya yang terpencil membuat Pantai Sembilan belum ada listrik dari PLN. Namun adanya hibah berupa panel surya dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya pada tahun 2017, pantai ini telah ada aliran listriknya. Oleh sebab itu, kini Pantai Sembilan ramai dikunjungi dan menjadi destinasi unggulan Kabupaten Sumenep. 

Keindahan Pantai Sembilan/Annisa F S

Listrik menjadi kebutuhan sangat penting, adanya fasilitas beragam telah disediakan oleh pengelola wisata Pantai Sembilan. Mulai dari transportasi perahu, gazebo di pinggiran pantai, warung makan, toilet dan kamar mandi, hingga penginapan juga tersedia di sini. Tentu dengan penerangan memadai supaya pengunjung bisa menikmati suasana pantai lebih nyaman, tanpa was-was gelap gulita tak ada cahaya. Sebab panel surya telah dipasang di bagian atap penginapan, dan di atap gazebo area pantai dan warung-warung di pantai pun sudah teraliri listrik. 

Berbeda dengan wisata Gili Labak, di sini listrik dari pemerintah maupun panel surya belum ada. Mengingat Pantai Sembilan dan Gili Labak adalah wisata unggulan Kabupaten Sumenep, Madura. Banyak paket wisata juga menawarkan paket komplit untuk kedua wisata ini. Saya mencoba pergi kesana pada saat bulan Agustus 2019, dimana objek wisata ini sedang ramai dikunjungi. Sungguh disayangkan jika Gili Labak belum ada listrik yang bisa mempermudah para pengelola wisata, dan warga yang mencari nafkah dengan berjualan makanan dan minuman. 

Menjelang Sore Hari di Gili Labak/Annisa F S

Orang-orang yang berjualan di Gili Labak mau tidak mau menggunakan mesin diesel atau genset setiap harinya untuk kebutuhan listrik. Bahan bakar solar juga harus selalu ada, jika butuh harus rela menyeberang selama kurang lebih 1,5 jam dari Gili Labak ke tempat pembelian solar. Padahal, Gili Labak menyimpan banyak keindahan yang menarik jika dikembangkan, memiliki terumbu karang dan biota laut yang beragam, warna laut yang jernih cocok untuk spot snorkeling. 

Setelah berkunjung ke Pantai Sendiki dan Pantai Sembilan, kedua pantai tersebut dapat menjadi contoh penggunaan panel surya untuk PLTS di lokasi wisata terpencil. Hal ini bisa terealisasikan karena adanya sinergi dan kolaborasi dari instansi pendidikan, dan kelompok pengelola wisata untuk realisasi pengembangan sektor pariwisata.

Adanya listrik dengan penerapan panel surya, tentu bisa menjadi solusi bagi daerah wisata terpencil lain di Indonesia untuk menerapkannya. Mengingat Indonesia dikenal dengan keindahan alamnya, beragam pariwisata menarik yang ada di tiap-tiap daerah. Disamping bisa berkembang wisatanya, juga bisa memberikan dampak lebih untuk nilai ekonomi warga setempat melalui penggunaan panel surya yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan di sektor pariwisata. 

The post Energi Terbarukan untuk Listrik Daerah Wisata Terpencil appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/energi-terbarukan-untuk-listrik-daerah-wisata-terpencil/feed/ 0 28363
Menikmati Liburan Akhir Pekan di Pantai Sendiki https://telusuri.id/liburan-akhir-pekan-di-pantai-sendiki/ https://telusuri.id/liburan-akhir-pekan-di-pantai-sendiki/#respond Tue, 04 May 2021 13:58:27 +0000 https://telusuri.id/?p=27799 Ini cerita liburan akhir pekan sebelum pandemi melanda. Setelah perjalanan mengunjungi Pantai Balekambang, membawa rasa penasaran saya  ingin segera berkunjung ke pantai lainnya di Malang. Setelah berselancar di dunia maya dan membaca berbagai ulasan beritanya,...

The post Menikmati Liburan Akhir Pekan di Pantai Sendiki appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini cerita liburan akhir pekan sebelum pandemi melanda. Setelah perjalanan mengunjungi Pantai Balekambang, membawa rasa penasaran saya  ingin segera berkunjung ke pantai lainnya di Malang. Setelah berselancar di dunia maya dan membaca berbagai ulasan beritanya, akhirnya saya putuskan untuk berkunjung ke Pantai Sendiki yang katanya memiliki sapta pesona istimewa. 

Rencana saya dan teman-teman waktu itu hanya menghabiskan liburan akhir pekan, dan ingin berlama-lama. Pantai Sendiki berhasil menjawab keinginan saya dengan pesona keindahan, dipadu suasana asri yang membuat sejuk pikiran dan hati. 

Belum percaya rasanya jika belum membuktikan secara langsung, dengan menjelajahi keindahannya. Sebagai pecinta destinasi pantai, harus saya akui bahwa Kota Malang memang tak pernah mengecewakan untuk urusan pantai pasir putih, deburan ombak yang memukau, dan udara sejuk. 

Lokasi Menuju Pantai Sendiki

Pantai Sendiki
Pantai Sendiki/Annisa S

Perjalanan dini hari pukul 05.00 WIB dari Sidoarjo, lagi-lagi kami hanya mengandalkan Google Maps selama perjalanan. Sembari tetap melihat papan penunjuk jalan, untuk memastikan rute yang kami lalui benar. Butuh 2 jam perjalanan dari Kota Malang untuk tiba di Pantai Sendiki. Sebenarnya jalannya aman, dan mudah dilalui. Hanya saja banyak tikungan sempit, jadi memang harus hati-hati.

Pantai Sendiki terletak di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Malang. Kira-kira jarak kurang lebih 1 km sebelum pantai, kami melewati akses jalan yang terbilang masih susah dilalui. Sempit, karena hanya bisa dilalui satu kendaraan roda 4 jadi sedikit antri untuk bisa melaluinya. Terlebih jalannya masih belum di aspal, kami melewati jalan yang masih berupa tanah becek, batuan, dan lapisan semen. 

Setelah tiba, kami parkir terlebih dahulu sekaligus membayar tiket masuk pantai. Cukup membayar Rp10.000 untuk satu orang. Sedangkan parkir juga terjangkau mulai dari Rp3.000 – Rp5.000 saja. Setelah parkir dan mengambil barang-barang bawaan kami, ada jalan setapak yang harus dilalui. Kurang lebih 500 meter untuk bisa tiba di tepi pantainya. 

Jalanan yang menanjak membuat saya dan teman-teman ngos-ngosan di tengah jalan, karena membawa banyak barang bawaan. Nampak warung-warung berjajar, namun jarang ada yang buka padahal ini akhir pekan. Untungnya, saya sudah membawa semua bekal yang cukup hingga esok hari. Jadi, tak perlu untuk bolak-balik lagi. Jelas butuh perjuangan untuk kembali mengambil barang-barang jika ada yang tertinggal, maka kami pastikan semua aman. 

Setelah jalan kaki yang menanjak, ada anak tangga yang harus kami turuni. Tidak banyak, kurang lebih 15 anak tangga. Sampai di sini, deburan ombak menggelegar sudah terdengar menyapa. Pohon-pohon besar rindang menjulang, lokasi pantai yang tersembunyi. Membuat kami semakin penasaran karena tidak seperti pantai-pantai pada umumnya. 

Sapta Pesona Pantai Sendiki

Pantai ini memang memiliki keindahan tersendiri yang telah tercatat jelas di papan sapta pesona pada gapura sebelum anak tangga. Konon, pantai Sendiki memiliki 7 atau sapta pesona yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. 

Tiba di pantai sekitar pukul 09.00 WIB, dimana matahari mulai panas menyinari kami. Sembari menuruni anak tangga, berhenti sejenak untuk mengusap keringat, lalu turun lagi perlahan. Begitu tiba di area pantai, saya langsung jatuh hati pada pantai ini. Keindahannya tak boleh dilewatkan begitu saja, suasana asri langsung menyapa kami. 

Pohon-pohon rindang berjejer, lengkap dengan rumah pohon berhasil mencuri perhatian. Rumah pohon di pantai ini seperti mewakili mimpi anak-anak kecil setelah membaca buku dongeng sebelum tidurnya. Mimpi yang sederhana, namun bermakna. 

Di pantai ini, ada berbagai rumah pohon yang bisa disewa yakni sekitar Rp150.000 per malam. Saya dan teman-teman pun memutuskan untuk menyewa rumah pohon. Sebenarnya ada camping ground yang disediakan, namun saya dan teman-teman memang sudah memutuskan untuk tidak menyewa berbagai peralatan camping untuk liburan kali ini. 

Saya dan teman-teman memang sengaja datang lebih awal karena ingin bersantai di rumah pohon. Membiarkan pintu terbuka, supaya udara menerpa. Sembari menikmati deburan ombak yang besar khas pantai, memandangi hamparan pasir putih yang membentang, dan menikmati suasana asri di pantai sendiki. 

Memang pengunjung dilarang berenang di pantai, hanya diperbolehkan di pinggir pantai saja karena ombaknya yang terlalu besar. Tidak bisa berenang, tidak membuat saya berkecil hati karena ada berbagai spot unik untuk melepas penat di sini. 

Salah satunya ayunan dari kayu yang kuat langsung menghadap pantai, dan udara sejuk yang menerpa saat berayun membuat beban di kepala rasanya sedikit hilang melayang bersama udara sejuk pantai ini. Ayunan disini banyak jumlahnya, mungkin ada sekitar 8 ayunan di pantai yang tersedia. 

Rumah pohon, dan kenangan berkesan

Pantai Sendiki
Rumah Pohon di Pantai Sendiki/Annisa S

Liburan singkat nan nikmat akhir pekan ini memang sederhana, sesederhana saya yang hanya ingin; menikmati suasana asri di pantai sembari ngopi, mendengar deburan ombak, dan menikmati pagi hari dengan udara segar langsung dari pantai.  

Saat saya berkunjung, memang masih sepi sekali yang datang. Namun saat malam hari yakni sekitar pukul 09.00 malam minggu, banyak pengunjung yang mulai berdatangan dari luar kota. Mereka mendirikan tenda-tenda di camping ground siap menikmati pagi di pantai yang indah ini.

Adanya pohon-pohon di pantai  Sendiki juga digunakan untuk memasang hammock, sensasi santai di tepi pantai yang menyenangkan.

Fasilitas Lengkap

Pantai Sendiki
Pantai Sendiki/Annisa S

Sesuai dengan sapta pesona Pantai Sendiki. Tak perlu khawatir meskipun pantai ini sedikit terpencil, fasilitas di sini terbilang lengkap. Mulai dari keamanan 24 jam, mushola, kamar mandi dan penginapan rumah pohon. Hanya saja warung-warung makanan dan minuman di pantai ini belum digarap lebih maksimal. 

Uniknya pantai ini memang tidak menggunakan listrik dari PLN, namun dari solar cell. Pohon yang sudah tidak terpakai digunakan oleh para pengelola pantai sebagai penyangga solar cell, hal ini dilakukan supaya bisa menampung sinar matahari yang akan dijadikan energ listik. 

Energi listrik tersebut disalurkan ke kawasan Pantai Sendiki, mulai dari sepanjang jalan setapak pantai, pos penjagaan,  hingga rumah pohonnya. 

Perjalanan ke pantai sendiki membawa kenangan berkesan tersendiri. Ini suasana akhir pekan yang saya idamkan; menikmati pagi melihat matahari terbit dari rumah pohon,  sembari minum kopi, memandangi pantai sendiki, dan bermain ayunan sesekali. 

The post Menikmati Liburan Akhir Pekan di Pantai Sendiki appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/liburan-akhir-pekan-di-pantai-sendiki/feed/ 0 27799