Annise Rohman https://telusuri.id/penulis/annise-rohman/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 05 Sep 2022 01:19:34 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Annise Rohman https://telusuri.id/penulis/annise-rohman/ 32 32 135956295 Belajar Seni dan Budaya di Omah Petroek Karang Kletak, Yogyakarta https://telusuri.id/belajar-seni-dan-budaya-di-omah-petroek-karang-kletak-yogyakarta/ https://telusuri.id/belajar-seni-dan-budaya-di-omah-petroek-karang-kletak-yogyakarta/#respond Tue, 06 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35174 Tepat 12.30 WIB selepas Zuhur, saya dan keluarga berangkat dari Wedomartani menuju Omah Petroek. Perjalanan kami tidak menempuh waktu yang lama. Jika mengendarai motor, hanya kurang dari 20 menit saya bisa tiba di sana. Sayangnya,...

The post Belajar Seni dan Budaya di Omah Petroek Karang Kletak, Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Tepat 12.30 WIB selepas Zuhur, saya dan keluarga berangkat dari Wedomartani menuju Omah Petroek. Perjalanan kami tidak menempuh waktu yang lama. Jika mengendarai motor, hanya kurang dari 20 menit saya bisa tiba di sana. Sayangnya, karena kami bertiga ditambah dengan penumpang bayi satu, jadilah kami mengendarai kendaraan roda empat sehingga durasi perjalanan menjadi lebih lama. Jika perjalanan dilakukan pada hari biasa, waktu tempuh menggunakan mobil sama seperti menggunakan motor.

Iya, Yogyakarta cukup padat akhir-akhir ini apalagi saat akhir pekan. Banyak titik kemacetan khususnya di Kabupaten Sleman. Untuk menuju wilayah Pakem saja, kami menemui tiga titik kemacetan. Pertama, di perempatan Kaliurang; kedua, di Kampus UII; dan ketiga, di Waroeng Raminten. Selepas dari situ, perjalanan baru lancar.

Jalanan di daerah Kaliurang memang terkenal naik turun, termasuk rute menuju Omah Petroek. Kanan kiri merupakan hamparan sawah dan perkebunan. Menyenangkan.

Area Parkiran Omah Petroek
Area parkir Omah Petroek/Annise Sri

Kami sampai di Omah Petroek pukul 13.15 WIB. Tanpa berpikir panjang, suami saya langsung memarkir mobil di area yang telah disediakan. Plang bertuliskan “Kita Berteman Sudah Lama, Selamat Datang di Omah Petroek” menandakan kita telah sampai di tempat wisata edukasi dan seni Omah Petroek. Sebelum memasuki kawasan, kami membayar tiket Rp10.000 per orang.

Memasuki area depan Omah Petroek ada rimbunan pepohonan, patung Ki Hajar Dewantara, dan patung kerbau—yang hanya tinggal kerangka iganya saja tetapi masih berdiri dengan keempat kakinya—menyambut kedatangan kami. Suasananya sangat ramah dan tenang. Tak heran kalangan seniman dan penulis kerap mencari inspirasi di sini.

Lebih dalam lagi, ada sebuah rumah kecil dengan papan bertuliskan Loji Semar. Bangunan ini lebih mirip front office yang di samping temboknya ada papan bertuliskan “Wedang Uwuh Gula Jawa, Sugeng Rawuh Atur Kawula”. Di bawah tulisan tersebut tertulis alamat Omah Petroek yang berada di Karang Kletak, Dusun Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta.  

Konsep Bhineka Tunggal Ika dalam Karya Seni

Pura Omah Petroek
Suasana di Omah Petroek/Annise Sri

Di sini, banyak karya seni yang menurut saya sangat menarik. Pada bagian belakang terdapat miniatur tempat peribadatan dari seluruh lintas agama di Indonesia. Saat saya mengunjungi bangunan peribadatan umat Hindu, yakni pura, saya melihat banyak sekali sisa-sisa dupa dan bunga yang telah mengering di area tengah pura. Sekilas, bentuk pura ini sangat mirip dengan pura-pura yang ada di Bali. Material bangunannya sengaja dibuat dari batu kali atau batu andesit, sehingga terlihat natural dan menyatu dengan alam. 

Langgar Tombo Ati Omah Petroek
Langgar Tombo Ati di Omah Petroek/Annise Sri

Di sebelah selatan, terdapat langgar yang merupakan wujud bangunan keagamaan umat Islam. Langgar tersebut dinamai Langgar Tombo Ati. Uniknya, di depan langgar tersebut terdapat patung Gus Dur dengan sayap. Sebenarnya, ada juga  patung Gus Dur yang duduk di kursi bangku panjang di depan langgar tersebut, sayangnya pengelola tidak memajang patung tersebut saat saya berkunjung.

Patung Gus Dus Punya Sayap
Patung Gus Dur dengan sayap/Annise Sri

Ke selatan, terdapat tempat peribadatan umat Budha yaitu candi. Bentuknya cukup unik, tidak seperti candi-candi kebanyakan yang pernah saya jumpai. Ada patung Budha Gautama di puncaknya. Lalu terdapat patung Budha-Budha kecil melingkar mengelilingi hingga ke bawah. Di atasnya juga terdapat patung Dewi Kwan Im. Lalu, pada sisi sebelah timur candi, terdapat sendang yang digunakan untuk meditasi.

Klenteng Kecil di Omah Petroek
Klenteng di Omah Petroek/Annise Sri

Tempat peribadatan keempat adalah klenteng yang merupakan tempat peribadatan umat Kong Hu Chu. Di depan bangunannya terdapat perapian dupa. Di sebelah kiri kanan pintu masuk terdapat patung singa khas Cina. Di dalam klenteng juga terdapat beberapa alat ibadah yang terbuat dari kuningan.

Tempat peribadatan yang terakhir adalah kapel yang dibangun agak menjorok ke bawah. Di sana terdapat patung Yesus, Bunda Maria, dan sapi putih dilengkapi dengan salib. Model bangunannya juga di bangun dari susunan batu andesit, sehingga lebih nampak menyatu dengan alam. 

Patung Mbok Turah dan Kebudayaan Jawa   

Patung Mbok Turah dan Anak-anak
Patung Mbok Turah dan anak-anak/Annise Sri

Selain tempat peribadatan, ada sebuah patung perempuan yang menyita perhatian saya. Saya pun bertanya kepada suami, “Ini patung apa ya? Kok kelihatannya patung spesial?” 

“Itu patung Mbok Turah yang disimbolkan sebagai penjaga keseimbangan alam,” jawab suami saya. Maklum kami tak punya tour guide, dan kebetulan saja suami saya kenal dengan ketua Omah Petroek yaitu Romo Sindhunata. Romo Sindhu adalah penulis dengan banyak karya sekaligus seniman. 

Awalnya Omah Petroek hanya digunakan sebagai tempat meditasi dalam rangka mencari inspirasi menulis bagi Romo Sindhu dan para penulis lainnya. Lama kelamaan banyak seniman yang ingin menaruh karya di sini. Jadilah Omah Petroek saat ini. Sarana edukasi, seni dan budaya sangat ditonjolkan dari kawasan ini, termasuk ikon Mbok Turah.

Mbok Turah adalah patung seorang ibu yang duduk di lantai dengan mengenakan kebaya khas Jawa. Patung itu dikelilingi oleh anak-anak dimana menguatkan pemaknaan cinta kasih seorang ibu yang turah-turah atau berlebih. Sosok Mbok Turah ini melambangkan alam yang selalu memberi lebih kepada manusia. 

Selain patung Mbok Turah yang lekat dengan mitologi alam, ada beberapa patung yang menggambarkan ritual adat Jawa seperti tumpengan. Patung-patung ini berada tepat di belakang patung Mbok turah. Patung laki-laki yang berjumlah kurang lebih 12 buah, ditata melingkar dengan dua saf.

Di depan patung-patung itu tersaji aneka replika makanan khas tumpengan. Ada nasi tumpeng dengan berbagai lauk, ada buah-buahan dan ada juga ayam ingkung. Selain karya seni budaya dan bentuk simbol kerukunan umat beragama, masih banyak berbagai patung dan karya seni lain.

Sore itu, saya dan keluarga sudah keburu kelelahan berkeliling Omah Petroek. Belum semua kami jelajahi.

Bagi teman-teman yang mencari tempat liburan edukatif, punya nilai budaya dan kebhinekaan, Omah Petroek adalah pilihan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Seni dan Budaya di Omah Petroek Karang Kletak, Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-seni-dan-budaya-di-omah-petroek-karang-kletak-yogyakarta/feed/ 0 35174
Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/ https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/#respond Sun, 26 Apr 2020 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=21083 Melayang di udara, pesawat kami sudah tinggal landas dari Bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul 18.00 WITA saat langit sudah tak lagi menyisakan sedikit pun semburat jingga. Pesawat ini membawa kami menuju Jogja, sebuah kota berbudaya...

The post Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Melayang di udara, pesawat kami sudah tinggal landas dari Bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul 18.00 WITA saat langit sudah tak lagi menyisakan sedikit pun semburat jingga. Pesawat ini membawa kami menuju Jogja, sebuah kota berbudaya adiluhung yang dalam banyak hal selalu menjadi barometer nasional.

Gugus-gugus lampu rumah di bawah sana menyala menciptakan pemandangan indah tiada tara, seakan-akan berupaya menyaingi gemintang di atas sana; pemandangan lazim ketika malam-malam menumpang moda transportasi udara. Tapi ada yang tak lazim kali ini; kami terbang saat wabah corona melanda.


Sebulan lalu, perjalanan ke sebuah pulau terluar di Sulawesi Selatan kami mulai. Kami tidak berpikir panjang sebelum menempuh perjalanan yang ujung-ujungnya penuh risiko ini.

Tepat 19 Februari 2020 perjalanan kami mulai. Saya dan suami berangkat bersama. Tidak ada yang berbeda, semua berjalan sewajarnya. Kami berangkat pukul 20.00 WIB dari Bandara Adisutjipto dan mendarat 01.00 WITA tanggal 20 Februari 2020.

Kegiatan di pulau bernama Kapoposang itu kami laksanakan juga tanpa halangan. Seperti kebanyakan pejalan, setelah kegiatan selesai kami berharap kembali dengan selamat ke daerah asal.

Namun, 18 Maret 2020 Indonesia mengumumkan status siaga menyusul semakin bertambahnya penduduk yang terdeteksi positif COVID-19. Saat itu, imbauan untuk stay at home sudah diberlakukan meskipun belum seketat sekarang. Penerbangan kami kembali ke Jogja adalah 23 Maret 2020 pukul 18.00 WITA. Beberapa hari sebelum berangkat pulang, kami mendapat kabar bahwa sudah ada beberapa suspek corona di Jogja. Rasanya seperti mendengar petir menyambar siang bolong musim kemarau. Waswas kami rasakan. Kami semakin waswas ketika dapat kabar tambahan; masker telah langka di Makassar dan sekitarnya.

Tanggal 22 Maret kami bergeser menuju Makassar menumpang kapal cepat BKPN Kupang. Meskipun sudah mendengar kabar sebelumnya, saya masih tak percaya ketika benar-benar mendapati bahwa masker—dan hand-sanitizer—benar-benar langka. Sejak berlabuh di dermaga POPSA, kami, ditemani Mas Syukron dan Bang Fai, berputar-putar mencari masker dan cairan pembersih tangan. Di semua Alfamart, Indomaret, dan apotek yang kami singgahi, stok kedua barang itu kosong.

Kami akhirnya memutuskan melipir dulu ke Pangkep dan menginap di rumah salah seorang teman. Malam itu saya menyerah mencari masker. Lanjut besok pagi saja. Lagipula, tempat kami menginap berada di daerah Pasar Pangkep. Rasa-rasanya benda-benda yang saya cari akan ada di sana. Jam 7 pagi WITA, keesokan harinya, saya hampiri dua apotek. Kedunya kehabisan stok masker. Salah seorang penjaga apotek bercerita bahwa masker yang dijual apotek itu diborong oleh satu orang saja.

Panik tak kunjung menemukan masker, saya memilih opsi lain, yakni mencari sarung tangan plastik di toko kue. Setidak-tidaknya, kami bisa menjaga tangan agar tetap bersih dengan sarung tangan. Terkait masker, sebenarnya saya tidak terlalu waswas; ke mana pun bepergian kami selalu membawa buff. Upaya mencari masker medis itu akibat mendapat informasi bahwa masker kain masih dapat ditembus oleh virus corona. Saya jadi sedikit paranoid.

Pagi itu saya, suami, dan Mas Syukron merapat ke sebuah kafe bernama Logos di dekat Tugu Bambu Runcing Pangkep. Kafe itu terlihat sepi. Di depannya ada sebuah kursi kayu yang di atasnya diletakkan galon kecil berisi air, sabun, dan sekotak tisu kecil. Di sekitarnya ada sebuah tong sampah. Pintu Logos ditutup setengah, seolah bimbang antara mau tutup atau buka.

Segera setelah mencuci tangan sebersih mungkin dan mengelapnya dengan tisu, kami pun segera masuk. Empunya Logos, Bang Ramez, menyambut kami dan segera saja kami mengobrol tentang corona dan betapa langkanya masker dan cairan pembersih tangan. Bang Ramez akhirnya menyarankan kami untuk memakai masker buatan Logos yang terbuat dari kain berlapis tisu.

Ketika menunggu waktu “boarding” di Bandara Sultan Hasanuddin/Annise Rohman

Kami bertolak ke bandara pukul 16.00 WITA. Masker Logos kami pakai. Tebal, pengap, dan saya merasa susah bernapas. Saya geser ke kanan dan ke kiri; tisu menempel di bibir. Kami berdebar-debar menuju bandara. Rasanya bandara tak lagi jadi tempat istimewa; bandara telah menjadi tempat yang menakutkan.

Namun, betapa terkejutnya kami setiba di bandara mendapati pemadangan yang tidak sesuai dengan bayangan. Sebagian besar orang lalu-lalang tanpa masker. Semuanya seakan berjalan seperti biasa. Aneh sekali, pikir saya. Mungkinkah ini efek kelangkaan masker? Tak ambil pusing dengan pemandangan janggal itu, saya dan suami tetap memakai masker kain Logos. Petugas yang melayani proses check-in dan mencetak boarding pass menggunakan masker serta sarung tangan karet. Di gerbang keberangkatan, para penumpang masih saja tak bermasker. Barangkali memang mereka tak kebagian masker.

Pukul 20.30 WIB kami mendarat di Bandara Adisutjipto. Saat berjalan di tarmak bandara, semua terasa biasa-biasa saja, sampai akhirnya kami diberhentikan di pintu masuk. Kami diminta berbaris kemudian petugas mengecek suhu tubuh kami dengan termometer digital yang modelnya seperti pistol. Perasaan saya tak keruan. Tapi suhu kami ternyata normal.

Kami pun bergeser ke pengambilan bagasi dan akhirnya pulang dengan menumpang taksi. Masih jam 21.00 WIB tapi jalanan daerah Maguwo tampak sepi. Mungkin karena hujan habis turun. Tapi, ini terasa tak biasa. Setiba di rumah, kami mengetahui fakta baru; gang masuk kampung sekarang ditutup jam 22.00 WIB. Biasanya, 24/7 portal tak pernah ditutup. Pembatasan gerak mulai terasa semenjak corona menyapa Jogja.


Tiga hari di rumah, tepat tanggal 26 Maret 2020 desa kami melakukan lockdown mandiri untuk 14 hari. Semua portal ditutup. Bahkan, portal yang bawahnya masih bisa dilewati pejalan kaki pun dikunci rapat, ditutupi papan dan palang kayu. Warga yang ingin pergi ke luar karena keperluan mendesak harus lewat satu pintu. Suatu kali, saat pulang belanja dari pasar, saya mesti rela disemprot disinfektan di pintu desa. Tangan saya juga disemprot cairan pembersih yang entah takarannya bagaimana. Indera penciuman saya menangkap bau pembersih lantai dan sabun. Sangat menyengat.

Menjalani “protokol” sebelum masuk kampung/Annise Rohman

Dari peristiwa itulah kami akhirnya mengarantina diri selama 14 hari—dan saat ini diperpanjang lagi selama 14 hari. Tak tahu kapan ini berakhir. Ibadah Jumat suami pun safnya sudah dijarangkan, untungnya tidak diliburkan.

Semoga wabah COVID-19 segera berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melintasi Langit Nusantara Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melintasi-langit-nusantara-semasa-corona/feed/ 0 21083
Pariwisata Berkelanjutan ala Setren Opak https://telusuri.id/pariwisata-berkelanjutan-ala-setren-opak/ https://telusuri.id/pariwisata-berkelanjutan-ala-setren-opak/#comments Fri, 03 Jan 2020 06:45:11 +0000 https://telusuri.id/?p=19142 Minggu ini saya habiskan untuk mampir ke atraksi wisata rakyat Setren Opak. Lokasinya di Dusun Karangploso, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. Kebetulan saat saya main ke sana Setren Opak sedang merayakan hari...

The post Pariwisata Berkelanjutan ala Setren Opak appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu ini saya habiskan untuk mampir ke atraksi wisata rakyat Setren Opak. Lokasinya di Dusun Karangploso, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta.

Kebetulan saat saya main ke sana Setren Opak sedang merayakan hari jadi pertamanya. Ulang tahun pertama Setren Opak itu dimeriahkan dengan berbagai pementasan budaya tradisional dan modern. Suasana makin semarak oleh berbagai stan makanan kreasi masyarakat sekitar.

setren opak
Gerbang Setren Opak/Annise Rohman

Tanpa ada perayaan ulang tahun pun Setren Opak nyatanya selalu ramai di hari-hari libur. Para pedagang tak pernah absen, termasuk mereka yang tergabung dalam Pasar Kesot Minggu Legian. Pasar ini unik karena, sekurang-kurangnya, dua sebab. Pertama, alat transaksinya adalah bilah-bilah bambu. Kedua, biaya sewa stan adalah seikhlasnya. Konsep “ikhlas” diusung oleh pengelola sebab mereka yakin bahwa keikhlasan akan membuat pariwisata jadi lebih menyatu dengan alam—dan menjauh dari nilai-nilai kapitalistik.

Nama “Setren Opak” sendiri diambil dari bentuk geografis tempat wisata penuh tanaman bambu itu. Setren berarti tanjung atau daratan yang menjorok ke sungai (atau laut), sementara Opak adalah nama sungai itu sendiri.

Dua tahun lalu, wilayah ini hanya hutan bambu dengan tutupan lumayan lebat. Masyarakat setempat mulanya hanya membiarkan tempat itu seperti apa adanya, sebab ada keyakinan bahwa lokasi itu angker. Seiring berjalannya waktu, pemuda setempat menyulap tempat tersebut menjadi tempat layak-kunjung yang asri dan ramah di kantong. Penataan itu pun tidak banyak mengubah tutupan bambu, hanya sekadar pembersihan sampah melibatkan pemuda dusun dan masyarakat sekitar.

setren opak kios makanan
Kios-kios makanan di Setren Opak/Annise Rohman

Yang luar biasa, Dusun Karangploso sendiri [sekarang] telah memiliki depot pemilahan sampah yang dikelola oleh kelompok Sido Resik. Sampah yang dihasilkan Setren Opak dipilah di Depot Sido Resik kemudian dikonversi menjadi rupiah (untuk sampah plastik) dan penyubur tanah (sampah organik).

Hal lain yang saya lihat ketika di sana adalah banyaknya pendatang yang meramaikan lapisan sosial dan dinamika perkembangan budaya Islam di Desa Sitimulyo justru membuat Setren Opak menonjolkan unsur toleransi budaya yang tinggi. Pentas seni budaya Jawa seperti jatilan, dolanan, dan tarian tradisional hingga modern terfasilitasi dengan baik.

Konsep ekonomi-sosial berkelanjutan

Saat ini bermunculan banyak sekali desa wisata yang digawangi organisasi pemerintahan desa dan bernaung di bawah Bumdes. Teknologi industri 4.0 juga mulai diaplikasikan dalam pengembangan wisata desa. Namun, banyak juga di antara desa-desa wisata tersebut yang harus “pensiun dini” karena tingkat kunjungan wisatawan yang menurun.

Sebagian besar desa wisata tersebut sekadar mengandalkan spot berfoto atau swafoto. Padahal masih ada alternatif-alternatif lain untuk menarik wisatawan. Alternatif-alternatif itu saya temukan di Setren Opak.

setren opak kali opak
Salah satu sudut kawasan wisata Setren Opak/Annise Rohman

Di antara banyak desa wisata yang pernah saya datangi, Setren Opak adalah satu-satunya yang tidak memberi tarif pada setiap wahana wisata. Meskipun demikian, tempat ini tetap dikelola secara profesional. Setren Opak berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan. Tanpa mengubah lanskap, atraksi wisata ini memanfaatkan teduhnya pepohonan dan kearifan lokal di bantaran Sungai Opak. Pesan-pesan tersebut juga diserukan kepada para wisatawan yang datang.

Konsep yang diusung tempat ini, meskipun cenderung “dalam” dan “filosofis,” ternyata mampu bertahan lama dan berkembang secara ekonomi. Penjual, yang memberikan uang sewa kios seikhlasnya pada pengelola, tergantung penghasilan hari itu, tidak merasa terberatkan. Di sisi lain para pengunjung pun juga merasa tidak terbebani, sebab selain bisa membeli makanan dengan harga murah meriah, mereka juga bisa menyaksikan beragam hiburan. Pengalaman-pengalaman mengesankan di Setren Opak pada akhirnya membuat mereka “ikhlas” pula mengisi kotak parkir dan kotak wahana demi mengapresiasi pengelolaan atraksi wisata itu.

Barangkali konsep Setren Opak ini baik untuk diadopsi; desa jadi berdaya dan warisan nenek moyang tetap terjaga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pariwisata Berkelanjutan ala Setren Opak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pariwisata-berkelanjutan-ala-setren-opak/feed/ 1 19142
Menenangkan Hati di Omah Petroek https://telusuri.id/menenangkan-hati-di-omah-petroek/ https://telusuri.id/menenangkan-hati-di-omah-petroek/#respond Fri, 04 Oct 2019 11:35:54 +0000 https://telusuri.id/?p=17770 Tiba-tiba nafsu menulis saya hilang. Sebabnya mungkin hiruk pikuk perkotaan yang membuat saya terjangkit stres di hari-hari weekdays; atau Indonesia yang belakangan ini sedang berduka; atau Yogyakarta yang akhir-akhir ini sedang dirundung panas yang bikin...

The post Menenangkan Hati di Omah Petroek appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiba-tiba nafsu menulis saya hilang. Sebabnya mungkin hiruk pikuk perkotaan yang membuat saya terjangkit stres di hari-hari weekdays; atau Indonesia yang belakangan ini sedang berduka; atau Yogyakarta yang akhir-akhir ini sedang dirundung panas yang bikin tubuh cepat terkena dehidrasi. Entahlah. Yang jelas rasa tidak nyaman itu membuat saya teringat pada satu tempat di wilayah Kaliurang, Yogyakarta, yakni Omah Petroek.

Ditemani suami tercinta, siang hari itu saya berangkat ke Omah Petroek. Bagi saya itu adalah pengalaman pertama. Namun, bagi suami saya itu kunjungan entah keberapa. Dari tempat tinggal kami, perjalanan ke Omah Petroek tak perlu waktu lama, hanya setengah jam.

omah petroek
Pekarangan Omah Petroek/Annise Rohman

Setiba di halaman depan Omah Petroek, udara segar dari tanaman bambu yang besar-besar masuk lewat hidung ke paru-paru saya. Hilang sudah panas dan stres yang menumpuk—yang terkadang menjelma sumpah serapah.

Selain udara segar, kawasan Omah Petroek juga sarat patung.

Di ujung pintu masuk, sebuah patung besar sedang duduk melamun. Lumayan lucu patung itu. Kepalanya botak tapi ada jambul di ujung dahi. Ia bersarung dan duduk berpangku tangan. Lebih jauh masuk, ada patung dua cabe merah berselimut akar yang sekilas tampak seperti monster-kaki-cabe. Di sebelahnya ada papan bertuliskan: “Kita sudah berteman sejak lama.” Saat melangkah menuju pintu utama Omah Petroek, saya disambut patung Bung Hatta dan patung kerbau yang terbuat dari besi berkarat.

patung buddha omah petroek
Patung Buddha di Omah Petroek/Annise Rohman

Lalu, saya memapas plang salam selamat datang berupa pantun dalam bahasa Jawa: “Wedang uwuh gula jawa/Sugeng rawuh atur kawula.” Kalimat bersahabat itu akan membuat siapa pun merasa dihormati.

Di halaman tengah ada bangunan bergaya Jawa tradisional, lima patung ayam yang tidak terlalu konvensional (ayam-ayam yang sedang makan apel, bermain apel, memakai headset, dll.), “Art Sop” Meneer Petroek (galeri benda-benda budaya dan buku-buku Sindhunata), juga angkringan.

kapel omah petroek
Kapel di Omah Petroek/Annise Rohman

Semakin ke belakang, nuansa Jawa semakin kental. Saya tiba di sebuah joglo dengan dua patung pengawal keraton. Di samping kanan joglo itu ada banyak patung yang bercerita soal tradisi-tradisi Jawa. Salah satu yang menarik bagi saya adalah patung sekelompok laki-laki berkostum beskap yang sedang bercengkerama, lengkap dengan ambeng dan tumpeng.

Rasa ingin tahu membuat saya melangkah terus ke belakang. Ternyata ada klenteng, patung-patung naga, dan Dewi Kwan Im. Ada pula patung Buddha yang diposisikan dekat sekali kolam berwarna biru, cocok sekali dijadikan tempat meditasi. Di samping kanannya ada kapel dengan patung Kristus dan Bunda Maria. Pura bagi umat Hindu juga ada, begitu pula langgar untuk umat Islam (lengkap dengan patung Gus Dur bersayap).

gus dur bersayap
Patung Gus Dur bersayap/Annise Rohman

Lalu saya berhenti melangkah, sebab perhatian saya tertuju pada patung seorang ibu, Mbok Turah. Patung itu, bersama patung bayi dalam keranjang, diletakkan di gazebo kecil. Meskipun sederhana, patung itu sarat makna. Patung Mbok Turah seakan-akan berusaha menyampaikan pada sesiapa betapa tanpa-pamrihnya limpahan kasih sayang seorang ibu.

Ketika sedang terpana melihat Mbok Turah, angin sejuk yang berembus dari tanaman bambu tiba-tiba menyapu saya. Tiba-tiba pula saya sadar bahwa cahaya mentari sudah lindap. Enggan rasanya untuk pergi dari tempat yang rindang dan menenangkan ini. Tapi, karena hari sudah senja, saya mesti ikhlas menyudahi petualangan di Omah Petroek.


Omah Petroek
Pakem, Wonorejo, Harjobinangun, Sleman, DIY
facebook.com/omahpetroek/


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menenangkan Hati di Omah Petroek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menenangkan-hati-di-omah-petroek/feed/ 0 17770
Mengunyah Kapur Sirih di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah https://telusuri.id/mengunyah-kapur-sirih-di-merangin-jambi/ https://telusuri.id/mengunyah-kapur-sirih-di-merangin-jambi/#respond Sat, 14 Sep 2019 11:41:23 +0000 https://telusuri.id/?p=17277 Masyarakat Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah akrab dengan jambe atau pinang. Pinang dijadikan sebagai salah satu bahan sekapur sirih, sebuah tradisi yang menjadi syarat dalam upacara-upacara adat seperti pernikahan. Sekapur sirih adalah tradisi sejak zaman...

The post Mengunyah Kapur Sirih di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah akrab dengan jambe atau pinang. Pinang dijadikan sebagai salah satu bahan sekapur sirih, sebuah tradisi yang menjadi syarat dalam upacara-upacara adat seperti pernikahan.

Sekapur sirih adalah tradisi sejak zaman nenek moyang. Ia adalah ramuan penghangat, penguat gigi, sekaligus pengikat tradisi. Berbeda dari Jawa, di mana kebiasaan menyirih sudah mulai hilang ditelan zaman sehingga hanya generasi tua yang melakukan, di Jambi, misalnya di daerah Kerinci dan Merangin, kapur sirih masih digemari, tidak hanya oleh kaum tua melainkan juga kawula muda, baik yang sudah betunak (menikah) atau belum.

Komposisi kapur sirih adalah beragam bahan herbal yang menyehatkan, yakni gambir, kapur, daun sirih, tembakau, dan pinang.

kapur sirih
Satu set kapur sirih/Annise Rohman

Barangkali karena kurang ekonomis untuk diproduksi massal, hingga saat ini belum ada produsen yang menyediakan kapur sirih siap makan. Alhasil, para penyirih meramu bahan-bahan kapur sirih secara mandiri. Daun sirih, daun gambir, pinang, dan tembakau, semuanya didapat dari alam sekitar; tanah subur kaya humus sepanjang bukit barisan membuat apa pun yang ditanam tumbuh dengan baik. Sementara itu, kapur diperoleh dari batu kapur sepanjang aliran sungai. Bahan-bahan alami yang berasal dari alam itulah yang kemudian jadi simbol dan acuan bagi adat istiadat yang berkembang.

Pengalaman mengunyah sirih

Lima bulan lalu, saya bertemu para penyirih muda di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Semula saya hanya penasaran ingin melihat mereka menyirih. Namun, akhirnya saya pun ikut mencoba.

Dari dalam wadah anyaman pandan, saya ambil selembar daun sirih. Seorang ibu yang ada di sana menuntun saya untuk meraciknya. Susunannya ternyata: daun sirih, daun gambir kering, kapur, dan irisan pinang. Setelah itu sekapur sirih itu dilinting dan dimakan.

Rasanya adalah getir, pahit, pengar, dan pedas yang bercampur jadi satu. Walaupun menahan rasa ingin muntah, saya terus mengunyahnya. Lama-kelamaan, rasa getir, pahit, pengar, dan pedas itu menghadirkan sensasi kebas.

kapur sirih
Foto bersama saat mengunyah kapur sirih/Annise Rohman

Begitu mendapatkan warna merah hasil sari kunyahan kapur sirih, sang ibu menawarkan tembakau. Ia bahkan memperlihatkan cara menyesap tembakau. Jadi, sejumput tembakau diambil dari wadahnya, lalu diselipkan di ujung bibir dan diapit dengan gigi, lalu disesap. Tapi, saat itu saya enggan mencobanya, sebab saya masih sibuk menahan sensasi kebas dan pedas yang belum hilang.

Menurut sang ibu, rasa tembakau yang pedas-hangat melengkapi rasa “nano-nano” dari kapur sirih. Namun, meskipun tidak mencoba tembakau, saya sudah langsung merasakan manfaat kapur sirih. Saat itu bibir saya sedang terserang sariawan parah. Bahkan gusi saya juga ikut-ikutan sariawan. Berkat rasa kebas dari mengunyah kapur sirih, sariawan saya pun terobati.

Pengikat budaya dan alam

Di Jambi, kapur sirih menjadi sarana penerimaan terhadap orang luar yang datang dan juga sapa hormat kepada pemuka adat. Dalam upacara-upacara adat di Desa Rantau Kermas atau desa-desa marga Serampas, kapur sirih wajib ada.

Kapur sirih dihidangkan untuk perwakilan pengantin, wajib dikunyah dan disesap. Jika itu sudah dilakukan, genap sudah penghormatan yang diberikan. Sang tamu telah mencicipi hasil bumi yang direpresentasikan oleh sekapur sirih. Tuan rumah, sebaliknya, menyambutnya dengan mengunyah sirih.

Sebagai penghormatan pada tetua, biasanya orang tua adat yang lebih dulu mengunyah dan menyesapnya. Lalu, pihak yang meminta juga mengikuti. Selesai menyesap, barulah obrolan dibuka dan disebutkanlah tujuan yang diminta.

kapur sirih
Sekapur sirih dalam wadah anyaman pandan/Annise Rohman

Dari budaya kapur sirih, saya juga melihat kreativitas lokal. Seluruh wadah sirih adalah buatan tangan (handmade) dan produk “daur-ulang” dari benda-benda seperti wadah krim rambut. Ibu-ibu menganyam sendiri daun pandan menjadi lembaran persegi panjang berukuran 15×30 cm dengan kait tali sebagai pengikat. Daun sirih diletakkan di anyaman pandan tersebut, sementara gambir ditaruh dalam wadah plastik, disisipkan di atas, kemudian digulung. Sementara itu, kapur dan tembakau ditaruh dalam wadah krim secara terpisah. Melengkapi wadah-wadah itu, setiap penyirih membekali diri dengan pisau kecil untuk memotong pinang.

Kaya manfaat

Kaya zat baik, sekapur sirih jadi semacam obat herbal.

Daun sirih (Piper betle L.) disebut-sebut punya segudang manfaat, misalnya menguatkan gigi, menangkal kanker, menyembuhkan luka, menjadi antiseptik, menurunkan berat badan, dan masih banyak lagi. Daun gambir atau Pale catechu juga memiliki banyak faedah. Ia bisa menjadi obat diare dan mengatasi plak gigi, mencegah kanker kulit, dan lain-lain.

jambi
Kapur sirih jadi salah satu syarat dalam upacara-upacara adat/Annise Rohman

Kapur, yang berasal dari batugamping, manfaatnya adalah mengobati sakit tenggorokan dan mencegah kanker. Pinang atau Areca catechu diyakini bisa mengobati gangguan pencernaan, mengatasi cacingan, menghentikan perdarahan, melindungi gigi, mengatasi bau mulut, dan membantu mengobati glaukoma.

Bahan terakhir, yakni tembakau (Nicotiana tabacum) adalah pasta gigi alami, obat sakit gigi, eksim, dan pilek. Selain itu, tembakau juga jadi penghangat tubuh di wilayah dataran tinggi.

Dengan berbagai bahan alami berkhasiat, tak heran kalau sekapur sirih bisa bikin sariawan saya sembuh. Untuk kamu yang sedang terjangkit sariawan atau sakit, saya rekomendasikan untuk menyirih. Tidak ada salahnya mencoba “obat herbal” dari Bumi Indonesia. Lagipula, bahan-bahan sirih bisa kamu beli di toko rempah-rempah di pasar tradisional terdekat dari tempatmu.

Jadi, selamat mencoba menyirih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunyah Kapur Sirih di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunyah-kapur-sirih-di-merangin-jambi/feed/ 0 17277