Ardi Yasa https://telusuri.id/penulis/ardi-yasa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 06 Sep 2022 01:46:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Ardi Yasa https://telusuri.id/penulis/ardi-yasa/ 32 32 135956295 Orkestra Senja di Pantai Mbawana https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/ https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/#respond Wed, 09 May 2018 04:31:51 +0000 https://telusuri.id/?p=8580 Sore. Tanpa disadari sore menjadi waktu wajib bagi saya dan dua kawan, Benny dan Romi, untuk menelusuri Sumba. Benny adalah teman kuliah saya yang sekarang menetap di Sumba bersama LSM Burung Indonesia. Romi orang Sumba...

The post Orkestra Senja di Pantai Mbawana appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore. Tanpa disadari sore menjadi waktu wajib bagi saya dan dua kawan, Benny dan Romi, untuk menelusuri Sumba.

Benny adalah teman kuliah saya yang sekarang menetap di Sumba bersama LSM Burung Indonesia. Romi orang Sumba dari suku Anakalang, Sumba Tengah. Hari ini kami di Sumba Barat. Kami menginap di permukiman suku Kodi, rumah kerabat Romi.

Jam 2 siang WIT, kami pun bergegas menuju lokasi sunset. Ada satu tempat yang sangat ingin kami kunjungi, Pantai Mbawana namanya. Pantai ini berada di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Referensi untuk ke sana hanya beberapa foto dari media sosial dan Google Maps.

pantai mbawana

Suasana Desa Adat Ratenggaro/Ardi Yasa

Ternyata rute perjalanan menuju Pantai Mbawana melewati sebuah desa kuno yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata, yakni Desa Ratenggaro. Atap-atap bangunannya menjulang tinggi, beda sekali dengan rumah adat Sumba yang saya lihat di Anakalang.

Setelah istirahat sebentar di desa ini, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mbawana. Dua jam memacu motor, kami pun sampai di tujuan.

“Gapura” Pantai Mbawana

Di pos retribusi kecil, seorang pria dewasa dan anaknya tampak sedang duduk berjaga. Kami pun menghampiri pos tersebut, mengisi buku tamu, kemudian membayar Rp 10.000 per orang.

pantai mbawana

Tebing yang menjadi “landmark” alami Pantai Mbawana/Ardi Yasa

Ternyata, Pantai Mbawana terbagi menjadi dua, yakni areal pantai dan areal bukit yang dari sana kamu bisa melihat Pantai Mbawana dari atas. Kami mengunjungi pantainya terlebih dahulu. Untuk bisa sampai ke sana, kami harus menuruni anak tangga yang lumayan terjal dan licin.

Pantai Mbawana sungguh indah. Ada sebuah tebing kolosal yang tengahnya bolong seperti gapura. Pemandangan jadi semakin indah oleh ombak yang menampar tebing-tebing di kejauhan.

Kali ini pantai sedang surut sehingga ombak tak sampai ke gapura. Dari beberapa foto yang saya lihat di media sosial, saat laut sedang pasang ombaknya bisa sampai ke sana.

pantai mbawana

Tebing yang bolong seperti gerbang/Ardi Yasa

Kami pun berjalan mendekati monumen alami itu. Tebing bolong itu sangat kokoh dan tampak megah, cocok sekali dijadikan tempat berfoto.

Di atas bukit

Dari pantai, kami pindah ke bukit. Ternyata jaraknya lumayan jauh sampai-sampai kami harus ke sana menumpang sepeda motor.

Sesampai di bukit, kami nongkrong di sebuah pondok bambu kecil sambil menikmati keindahan pesisir Pantai Mbawana. Pondok ini terasa menyatu dengan suara ombak dan angin, juga kehangatan matahari sore.

pantai mbawana

Pantai Mbawana tampak atas/Ardi Yasa

Saat sedang asyik menikmati detik-detik tenggelamnya matahari, dua orang warga lokal datang bersama beberapa ekor anjing. Mereka bersikap ramah dan ikut duduk bersama kami.

Namun, diam-diam Romi memberitahu saya bahwa kedua orang itu datang karena sedang ada wisatawan—kami bertiga—yang berkunjung ke sini. Mereka datang untuk menjadi “penjaga” keselamatan wisatawan dan, ujung-ujungnya, mereka akan meminta imbalan uang rokok. Kondisi tipikal di destinasi-destinasi “potensial.”

“Nanti kasih saja Rp 10.000 per orangnya. Mereka sudah terbiasa seperti itu,” begitu kata Romi. Saya tak keberatan, sebab uang segitu memang tak ada bandingannya dengan pemandangan indah Pantai Mbawana ini.

pantai mbawana

Warga setempat mencari-cari sesuatu di air laut yang sedang surut/Ardi Yasa

Senja di Pantai Mbawana

Hari semakin sore. Tanpa terasa, matahari mulai turun mendekati garis horizontal di laut. cahaya matahari mulai memberikan pemandangan terbaiknya. Senja begini, keajaiban seolah-olah terus terjadi tanpa henti.

Apalagi suasana saat itu sangat mendukung. Langit cerah, laut surut, dan, di samping saya, ada kawan-kawan yang bisa diajak berbincang.

pantai mbawana

Pondok bambu di atas bukit/Ardi Yasa

Di bawah sana, warga setempat pun mulai memenuhi Pantai Mbawana. Mereka tampak sibuk mengorek-ngorek sesuatu di genangan air laut yang sedang surut. Entah apa yang mereka cari: kerang-kerangan, keong, gurita, atau mungkin teripang?

Tebing ini terlalu tinggi sehingga saya tidak bisa berteriak untuk bertanya pada mereka. Apa pun itu, yang jelas momen ini indah sekali dan sayang jika tidak diabadikan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Orkestra Senja di Pantai Mbawana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/feed/ 0 8580
Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/ https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/#respond Thu, 22 Mar 2018 03:14:41 +0000 https://telusuri.id/?p=7483 Hari itu saya tiba di Pulau Sumba, tempat teman semasa kuliah saya bekerja. Teman saya itu bernama Benny. Dia bekerja untuk LSM Burung Indonesia dan sudah dua tahun ini ditempatkan di Pulau Sumba. Saya dijemput...

The post Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari itu saya tiba di Pulau Sumba, tempat teman semasa kuliah saya bekerja. Teman saya itu bernama Benny. Dia bekerja untuk LSM Burung Indonesia dan sudah dua tahun ini ditempatkan di Pulau Sumba.

Saya dijemput di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur. Ternyata kawan lama saya itu tidak sendiri. Dia membawa temannya, orang Sumba asli yang juga anggota LSM Burung Indonesia. Namanya Romi, anak dari suku Anakalang,¹ Sumba Tengah. Singkat cerita, dibawalah saya untuk beristirahat sebentar di rumah kerabat Romi di Kampung Raja Prailiu.

wairinding
Bahan baku kain tenun Sumba/Ardi Yasa

Kampung itu sangat kaya akan nilai budaya, mulai dari sejarah bangunan, makam batu, sampai, yang paling membuat saya tertarik, kain tenun Sumba. Di kampung itu saya mendapati banyak perempuan yang sedang membuat kain tenun Sumba.

Corak dan pola kain tenun Sumba yang mengesankan

Yang mengesankan dari kain Sumba Timur ini adalah corak dan polanya. Tiap gambar—kuda, ayam, dan lain-lain—memiliki cerita masing-masing. Kerumitan dan keindahannya membuat kain tenun Sumba dihargai lumayan mahal, sekitar satu sampai tiga juta rupiah. Barangkali, lain kali saja saya membeli kain tenun Sumba.

Setelah istirahat sebentar di Kampung Raja, kami meneruskan perjalanan. Saya akan numpang menginap di kantor Burung Indonesia di Sangalaki, Sumba Tengah.

wairinding
Seorang perempuan Sumba di Kampung Raja Prailiu sedang menenun/Ardi Yasa

Tetapi, sebelum ke sana, saya mesti menyaksikan sesuatu yang selama ini hanya bisa saya “lihat” di tulisan atau foto orang, yakni sunset di Bukit Wairinding. Melihat matahari terbenam di Wairinding memang jadi tujuan utama saya jalan-jalan ke Sumba Timur.

Kami pun melaju dengan motor ke Wairinding dan tiba di sana sebelum sunset. Bagi saya yang terbiasa melihat pemandangan khas Jakarta—gedung pencakar langit dan lampu mobil yang sedang antre karena macet—Wairinding tampak luar biasa.

Saya terpukau melihat perbukitan hijau yang menghampar begitu luas sampai ke cakrawala. Angin sejuk yang berhembus dan kehangatan matahari yang sedang menuju peraduan membuat momen sunset di Wairinding itu susah untuk dilupakan.

wairinding
Berpose dengan kain tenun Sumba yang sudah jadi/Ardi Yasa

Keceriaan anak-anak Wairinding

Karena saat itu masih jam 4 sore, kami pun duduk menanti sunset ditemani biskuit yang dibawa oleh teman saya. Tak lama berselang, lewatlah beberapa anak kecil membawa jeriken penuh air yang baru diambil dari sumur.

Teman saya pun mengajak mereka untuk ikut menikmati sunset. Setelah mengantarkan air ke rumah masing-masing, mereka pun bergegas kembali ke Bukit Wairinding. Mereka ceria dan bersemangat. Sebentar saja, kami langsung akrab. Mereka juga tak ragu-ragu bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka—sekolah dan membantu orangtua.

wairinding
Anak-anak Wairinding yang bersemangat/Ardi Yasa

Membantu mengambil air ke sumur termasuk tugas harian mereka. Ternyata, sumur itu terpaut beberapa bukit dari tempat kami duduk. Lumayan jauh. Namun anak-anak Sumba itu sudah terbiasa melakukannya.

Teman saya pun menawarkan biskuit kepada anak-anak itu. Mereka sangat suka biskuit. (Ternyata itulah alasan kenapa teman saya selalu membawa biskuit kemana-mana.) Anak-anak Sumba senang biskuit—sementara orang-orang tua di Sumba sangat menggemari kopi.

Dihangatkan oleh cahaya keemasan matahari dan keceriaan anak-anak Sumba, hari pertama saya di Nusa Cendana sungguh menyenangkan.


[1] Pada 09/05/18 pukul 11.18 dikoreksi dari “Sangalaki” menjadi “Anakalang” agar sesuai dengan tulisan kedua tentang Sumba yang dikirimkan oleh kontributored.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/feed/ 0 7483