Arif Tedja https://telusuri.id/author/arif-tedja/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 15 Nov 2020 12:06:37 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Arif Tedja https://telusuri.id/author/arif-tedja/ 32 32 135956295 Memahami (Lagi) Tenggang Rasa lewat Sebuah Menara https://telusuri.id/memahami-lagi-tenggang-rasa-lewat-sebuah-menara/ https://telusuri.id/memahami-lagi-tenggang-rasa-lewat-sebuah-menara/#respond Sun, 15 Nov 2020 12:05:45 +0000 https://telusuri.id/?p=25233 Sejak abad ke-15 kita sudah mengenal pluralisme, alami, dan semua itu tidak perlu konsensus khusus seperti sekarang ini. Apa yang istimewa dari kebudayaan Jawa? Kalau saja pertanyaan itu boleh diutarakan mungkin salah satu jawabannya adalah...

The post Memahami (Lagi) Tenggang Rasa lewat Sebuah Menara appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak abad ke-15 kita sudah mengenal pluralisme, alami, dan semua itu tidak perlu konsensus khusus seperti sekarang ini.

Apa yang istimewa dari kebudayaan Jawa? Kalau saja pertanyaan itu boleh diutarakan mungkin salah satu jawabannya adalah kemampuan beradaptasi terhadap budaya-budaya lain tanpa meninggalkan keasliannya. Sebelum mengenal budaya “impor”, Jawa sendiri sudah mengenal teori religiositas dalam kerajaan serta masyarakatnya. Sebelum era Hindu dan Buddha, Jawa sudah mengenal konsep “raja adalah Dewa” atau “raja titising Dewa”. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia-akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, serta istana. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.

Setelah era animisme dan dinamisme dalam kerajaan masuklah budaya Hindu dengan filosofi trimurti dan Buddha dari catatan perjalanan Siddharta Gautama. Era Hindhu-Buddha berlanjut ke kebudayaan Abrahamik, yaitu Nasrani dan Islam. Ternyata masuknya budaya-budaya lain ke Jawa itu tidak menghilangkan kebudayaan asli Jawa. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebudayaan Jawa mampu menerima, membaur, dan berkolaborasi dengan pengaruh Hinduisme dan Buddhisme serta Islam.

Di Jawa, masuknya Islam dipelopori oleh Maulana Maghribi atau biasa kita kenal dengan Maulana Malik Ibrahim pada abad ke-7. Beliau menyebarkan Islam tidak hanya sendirian, melainkan bersama-sama dengan yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Tidak hanya melalui perdagangan, Islam masuk ke Jawa melalui dimensi lain seperti perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Peranan Wali Songo dalam perjalanan Islam di Jawa sangatlah besar. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan fondasi yang kuat di mana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah satu di antaranya adalah yang kita kenal dengan Ja’far Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus.

Sunan Kudus tak lain tak bukan adalah menantu Kanjeng Sunan Bonang. Ia dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadis, dan ilmu fikih. Karenanya, di antara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai “Waliyil Ilmi”. Cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih banyak yang memeluk agama Hindu-Buddha. Salah satu “warisan” Sunan Kudus di Jawa adalah Masjid Kudus, kadang biasa disebut Masjid Menara Kudus. Masjid ini adalah bangunan bersejarah yang terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Masjid Menara Kudus terlihat berbeda dari masjid pada umumnya. Yang paling mencolok tentu saja adalah bangunan menara yang berdiri menjulang di sebelah tenggara. Menara berkonstruksi susunan bata merah itu bentuknya menyerupai bangunan candi khas Jawa Timur. Bahkan ada yang menyebut menara itu mirip dengan bale kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Di bawah bangunan menara setinggi 18 meter itu terdapat sebuah sumber air. Konon sumber air itu diberi nama Banyu Panguripan atau air kehidupan. Mitos yang berkembang turun-temurun adalah seseorang bisa awet muda jika mengonsumsi air itu.‎ Bahkan, mahluk hidup yang telah mati apabila diceburkan ke dalam mata air tersebut bisa hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara oleh Sunan Kudus.

Menara Kudus tingginya kira-kira 17 meter, bangunannya menghadap ke barat sesuai dengan arah kiblat umat Islam. Di dalam menara ada tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Menara Kudus itu terdiri dari tiga bagian yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan. Konsep ini sangat lekat dengan kebudayaan Hindu. Batu bata yang digunakan sebagai material menara dipasang tanpa menggunakan semen sebagai perekat, cara yang lazim dilakukan masyarakat Jawa pada masa itu. Selain itu, kebudayaan asli Jawa juga ditunjukkan dengan penggunaan empat soko guru. Konsep soko guru ini mungkin sudah lama kita kenal dalam bentuk bangunan lain di Jawa seperti rumah joglo.

Bangunan masjid ini juga tidak kalah bersejarah, meskipun pernah dipugar tahun 1918. Konon batu fondasi masjid ini berasal dari Baitulmakdis (al-Quds) di Yerussalem-Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan Masjid Kudus dan kotanya dinamakan Kudus. Selain masjid, di kawasan ini ada kompleks makam Kanjeng Sunan Kudus dan keluarganya.

Uniknya adalah semua pintu penghubung/gapura antarblok berbentuk candi. Jika diperhatikan dengan saksama, bentuk gapura ini mirip sekali dengan candi-candi peninggalan kerajaan Hindu. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang disusun berjenjang. Ada yang menjorok ke dalam, ada pula yang ke luar seperti layaknya bangunan candi. Panorama yang tampak adalah kompleks pemakaman Islam, bercorak Hindu, dengan teknik konstruksi kebudayaan Jawa. Namun, selain corak Hindu, rupanya kompleks Masjid Kudus juga punya nuansa budaya Buddha, salah satunya adalah delapan pancuran untuk wudu. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran itu konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni “Delapan Jalan Kebenaran” atau Asta Sanghika Marga. Secara simbolis ini adalah bentuk penghormatan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di daerah utara Jawa.

Sunan Kudus juga mengedepankan toleransi dalam penyebaran agama Islam. Salah satu contohnya, Sunan Kudus tak pernah menyembelih sapi, sebab itu dianggap akan melukai hati pemeluk Hindu yang masih merupakan agama mayoritas penduduk Kudus kala itu. Sebagai gantinya Sunan Kudus menyembelih kerbau. Wujud toleransi itu menjelma akulturasi dan sampai saat ini masih bisa kita nikmati dalam wujud salah satu makanan khas di kota Kudus yaitu soto daging kerbau. Cerita lain yang berkembang menyebutkan bahwa masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena dahulu ketika beliau haus pernah ditolong oleh seorang pendeta Hindu yang memberinya air susu sapi. Maka, sebagai rasa terima kasih, masyarakat di Kudus dilarang menyembelih sapi.

Cerita di atas hanya beberapa ilustrasi bahwa kebudayaan Jawa secara akulturatif mampu menyerap kebudayaan lain seperti Hindu, Buddha, bahkan Islam. Nilai toleransi yang terkandung dalam bangunan fisik maupun non-fisik di komplek masjid ini setidaknya mampu menjaga keharmonisan hidup beragama sampai sekarang. Sebagai seorang wali yang ahli dalam ilmu fikih, tentu saja Sunan Kudus memahami konsep ”peminjaman bentuk budaya”, sehingga Islam bisa membumi di ”wilayah kultural” masyarakat setempat. Sunan Kudus mampu menarik benang merah antara Islam dengan kearifan lokal, maka beliau akhirnya mampu mempertemukan makna Islam dengan makna kearifan lokal.

Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus bisa ditampilkan lagi di Indonesia, sebagai fakta historis Islam Nusantara, yang memuat kearifan hidup yang begitu luhur. Di dalamnya terdapat kesadaran budaya Islam dalam kerangka budaya Hindu-Buddha-Jawa, yang menempatkan Islam tidak semata sebagai cita-cita kenegaraan, melainkan cita-cita kebudayaan yang hidup secara selaras dengan nafas kebijaksanaan masyarakat setempat.

The post Memahami (Lagi) Tenggang Rasa lewat Sebuah Menara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memahami-lagi-tenggang-rasa-lewat-sebuah-menara/feed/ 0 25233
Topeng Batik dari Bobung https://telusuri.id/topeng-batik-dari-bobung/ https://telusuri.id/topeng-batik-dari-bobung/#respond Fri, 30 Oct 2020 19:00:51 +0000 https://telusuri.id/?p=24895 Ujung canthing, sejumput lilin, dan sebongkah kayu menjadi kalimat doa bagi sebagian warga Bobung. Dengan topeng batik mereka berdialog dengan Sang Mahakuasa. Sepertinya kita semua setuju bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dianugerahi begitu banyak...

The post Topeng Batik dari Bobung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ujung canthing, sejumput lilin, dan sebongkah kayu menjadi kalimat doa bagi sebagian warga Bobung. Dengan topeng batik mereka berdialog dengan Sang Mahakuasa.

Sepertinya kita semua setuju bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dianugerahi begitu banyak keindahan alam dan budaya. Sampai saat ini lebih dari 30 budaya asli Indonesia baik yang berwujud benda maupun nonbenda tercatat di UNESCO. Dalam tahun-tahun mendatang daftar ini dipastikan akan terus bertambah mengingat Indonesia sendiri mempunyai 1.300 lebih suku asli dengan beragam kebudayaannya.

Menuliskan budaya Indonesia tentu saja tak lengkap tanpa menceritakan daerah istimewa, Yogyakarta. Sejarah panjang sejak abad ke-18 telah mengokohkan Yogyakarta sebagai salah satu kiblat kebudayaan Indonesia.

Salah satu peran Yogyakarta dalam memperkaya kebudayaan Indonesia adalah batik, yang telah diresmikan oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada tahun 2009. Secara lateral, batik dalam bahasa Jawa berasal dari kata “tik” yang bermakna halus, lembut, dan detail. Secara linier, “tik” adalah sebutan proses menitikkan lilin pada selembar kain menggunakan alat yang disebut “canthing”. Dalam perkembangannya teknik membatik semakin meluas sehingga sampai saat ini kita kenal teknik cap, jumput, celup, contel, dan cetak. Media yang digunakan semakin beragam, sebut saja kayu, logam, kertas, bahkan sampah yang telah didaur ulang.

Selama ini mungkin kita hanya mengenal Giriloyo, Manding, Ngasem, dan Mangunan sebagai pionir kampung batik yang ada di Yogyakarta. Tetapi sejak tahun tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memberikan alternatif bagi wisatawan dengan meresmikan Bobung sebagai desa wisata topeng batik. Desa Wisata Bobung terletak di Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya sekitar 10 km menuju arah barat kota Wonosari atau sekitar 30 km menuju timur Kota Yogyakarta. Desa Wisata Bobung memiliki lebih dari 300 orang pengrajin yang tergabung dalam berbagai UKM yang siap menjamu wisatawan yang ingin melihat lebih dekat proses pembuatan kerajian topeng batik dengan motif khas Yogyakarta.

Sejarah pembuatan topeng kayu di sini dimulai dari kebiasaan masyarakat Bobung yang setiap musim panen tiba menggelar pentas seni tari yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, yaitu tarian topeng pandji. Alkisah cerita pandji berasal dari kata siji (satu atau pertama) dan mapan sing siji (percaya kepada Yang Satu). Jadi bisa dimaklumi mengapa tari topeng panji gerakannya begitu halus, persis seperti hubungan kita dengan Tuhan yang berlangsung amat pribadi.

Awalnya topeng kayu hanya diproduksi untuk keperluan pentas tari saja. Namun ketika banyak wisatawan yang menyukai topeng pandji sebagai suvenir, kerajinan ini pun berkembang. Saat ini kerajinan kayu Desa Wisata Bobung berkembang tidak hanya berbentuk topeng saja. Berbagai kerajinan batik kayu seperti nampan, gantungan kunci, hiasan meja, wayang, dan bentuk-bentuk lainnya mampu mendongkrak ekonomi masyarakat Bobung.

Bahan baku topeng batik Bobung sendiri banyak menggunakan kayu sengon, albasia, dan pulen (pulai) yang secara alami tumbuh subur di daerah Gunungkidul. Sebelum dijadikan bahan baku batik kayu, pohon tersebut adalah keanekaragaman hayati asli yang dimiliki oleh Bobung. Maka saat ini setiap pengrajin di Bobung diwajibkan untuk menanam kembali pohon tersebut, sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap alam yang telah memberi manfaat.

Proses pembuatan topeng batik mulai dari pemotongan, pemolesan, pemahatan, dan pembatikan adalah menu utama salah satu desa wisata unggulan Kabupaten Gunungkidul ini. Bentuk topeng Bobung cenderung mengambil geometri dari wayang purwa dengan motif batik klasik khas Yogyakarta. Warna dominan yang digunakan pun adalah warna alam, seperti cokelat, merah tua, dan hitam. Selayaknya kain, penggunaan warna alam untuk topeng pun bukan tanpa alasan. Sekali lagi, warna ini adalah simbolisasi rasa syukur manusia terhadap pencipta-Nya.

Dalam prosesnya, saat ini motif-motif topeng batik berani keluar dari gaya klasik dan menjadi lebih kontemporer. Silang-budaya dengan daerah-daerah sekitar serta kebudayaan lain yang ada di penjuru Indonesia turut menjadikan topeng khas Bobung semakin menarik dan beragam. Jalan panjang topeng batik Bobung sendiri adalah bagian dari olah rasa, kelembutan, dan kesabaran. Mereka sadar bahwa kerajinan topeng yang sekarang sudah mendunia adalah secuil dari narasi besar warisan leluhur, karena topeng Bobung tidak hanya soal pemanfaatan hasil alam secara ekonomi, melainkan juga tentang estetika dan spiritualitas.

Sebagai manusia modern yang dituntut bergerak cepat, mungkin kita bisa sedikit belajar dari para pengrajin Bobung, bahwa kita butuh melambat, bahkan berhenti sejenak, untuk lebih lembut menikmati filosofi goresan batik semesta sebagai doa, harapan, dan rasa syukur terhadap Sang Mahakuasa.


Foto: Arif Tedja

The post Topeng Batik dari Bobung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/topeng-batik-dari-bobung/feed/ 0 24895
Ketoprak Tobong “Kelana Bhakti Budaya” https://telusuri.id/ketoprak-kelana-bhakti-budaya/ https://telusuri.id/ketoprak-kelana-bhakti-budaya/#respond Wed, 11 Apr 2018 04:18:44 +0000 https://telusuri.id/?p=7986 Dengan pencahayaan seperti itu, dibingkai oleh cat hijau loket tiket, Mak Kamek seolah-olah menjelma dari lukisan van Gogh. Barangkali dalam hatinya Mak Kamek malam itu bergembira, sebab penonton lumayan ramai. Sampai jam setengah sembilan, lima...

The post Ketoprak Tobong “Kelana Bhakti Budaya” appeared first on TelusuRI.

]]>
Dengan pencahayaan seperti itu, dibingkai oleh cat hijau loket tiket, Mak Kamek seolah-olah menjelma dari lukisan van Gogh. Barangkali dalam hatinya Mak Kamek malam itu bergembira, sebab penonton lumayan ramai. Sampai jam setengah sembilan, lima belas kali sudah ia menyobek tiket.

ketoprak tobong

ketoprak tobong

ketoprak tobong

Joglo sederhana di Cangkringan, Sleman, sekira 20 km sebelah utara Kota Yogyakarta, itu sudah dua tahun menjadi panggung kelompok ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya. (Selama 15 tahun eksis di dunia pertunjukan, grup itu sudah 27 kali pindah markas.)

Bagi mereka, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah panggung istimewa yang mampu memuaskan rasa lapar terhadap proses berkarya. Lagipula, ketoprak bukan sekadar ketoprak buat mereka. Ketoprak harus bisa hidup dan menghidupi, “urip lan nguripi.”

Karena itulah “mengeluh” tidak masuk dalam kamus mereka, juga menangis maupun meratap. Mereka masih bisa melihat terang dalam gelap, masih bisa bersyukur, sebab mereka melanjutkan tradisi itu karena cinta. Bagi mereka, ketoprak tobong adalah rumah, keluarga, serta warisan hidup.

Memoles wajah dengan pupur setiap Jumat

ketoprak tobong

Tujuh tahun yang lalu, kelompok ketoprak tobong ini sempat vakum. Barangkali tak perlu lagi berpanjang-panjang mencari tahu dan menjelaskan alasannya. Namun, mati suri tujuh tahun lalu seperti sudah dilupakan. Sekarang, mereka sudah menanam asa yang baru.

Setiap Jumat, awak Kelana Bhakti Budaya berbondong-bondong ke Cangkringan untuk penampilan mingguan. Pemandangannya, barangkali, selalu sama seperti malam itu.

Sebelum manggung, para penampil sibuk memoles wajahnya dengan pupur. Setiap orang punya lokasi favorit masing-masing untuk mempersiapkan diri. Ada yang memilih sendirian di pojok-pojok joglo, banyak juga yang lebih senang berkumpul bersama di belakang panggung.

ketoprak tobong

Sang sutradara, dengan naskah pertunjukan di tangan, kemudian memanggil mereka untuk berkumpul dan duduk bersila di sekitar panggung. Pengarah itu benar-benar hanya akan mengarahkan cerita. Ia mempercayakan soal dialog pada pengalaman para awak ketoprak tobong itu.

ketoprak tobong

ketoprak tobong

Lakon kisah sisa-sisa kejayaan Majapahit

Alunan gamelan pun mulai mengayun pelan. Jari-jari musisi menari-nari memainkan bonang, gong, siter, dan kenong. Malam itu mereka akan membawakan lakon Prabu Nala yang mengangkat sisa-sisa kejayaan Majapahit.

ketoprak tobong

ketoprak tobong

ketoprak tobong

Layar berwarna merah tersingkap. Seorang wanita keluar menampilkan tarian tunggal. Cerita bergulir. Semakin ke tengah, kisahnya semakin seru. Intrik dan fitnah bermunculan. Suasana makin meriah oleh teriakan, umpatan, pukulan, dan tendangan. Penonton juga dibuat terpingkal-pingkal oleh guyonan-guyonan lakon ketoprak tobong, terlebih ketika mereka lupa dialog.

Diiringi siulan dan teriakan penonton, protagonis menang di akhir cerita. Pertunjukan malam itu selesai. Lelah namun bahagia, satu per satu seniman itu turun panggung. Alih-alih nasi kotak atau meja prasmanan, yang menyambut di belakang panggung adalah teko aluminium tua berisi teh hangat serta beberapa gelas kosong yang disumbangkan warung.

ketoprak tobong

Penghasilan malam itu pun dibagi. Masing-masing pemain dapat bagian rata. Memang tidak banyak, hanya cukup untuk membeli seliter bensin untuk pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketoprak Tobong “Kelana Bhakti Budaya” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketoprak-kelana-bhakti-budaya/feed/ 0 7986