Arsiya Wenty https://telusuri.id/author/arsiya-wenty/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 26 Aug 2021 06:40:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Arsiya Wenty https://telusuri.id/author/arsiya-wenty/ 32 32 135956295 Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/ https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/#respond Sun, 09 May 2021 09:00:09 +0000 https://telusuri.id/?p=27836 Terik dan panasnya sinar matahari siang itu tidak menyurutkan semangat para petani di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) untuk berkumpul; mendiskusikan tentang masa lalu, kini, dan nanti lahan pertaniannya. Mereka adalah generasi kedua dari program...

The post Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi appeared first on TelusuRI.

]]>
Terik dan panasnya sinar matahari siang itu tidak menyurutkan semangat para petani di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) untuk berkumpul; mendiskusikan tentang masa lalu, kini, dan nanti lahan pertaniannya. Mereka adalah generasi kedua dari program transmigrasi masa Orde Baru, mayoritas berasal dari Jawa Tengah. Orang tua mereka sudah menanam padi sejak awal tiba di Tubaba, sudah melewati banyak negosiasi dan kompromi tentang budidaya padi yang politis dan kultural ini. Namun, saya gelisah, karena tidak satupun dari kami yang berkumpul di bawah rumah panggung itu mengetahui asal mula padi di Indonesia. Kecuali Pak Hery, seorang petani Demak yang sengaja diundang ke Tubaba untuk menginspirasi rekan-rekan sejawatnya tentang budidaya padi dan proses pengolahannya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Demak January 2021

Aroma kopi dan pisang goreng menyeruak dari meja di hadapan saya ketika Pak Hery, memulai silsilah singkat padi di Indonesia. Berdasarkan narasinya, padi yang ada di Indonesia saat ini merupakan percampuran antara kelompok Japonica dari Cina Selatan dan kelompok Indica dari India, sehingga menghasilkan varietas padi Javanica. Perkawinan ini menghasilkan ciri khas beras yang tidak terlalu pulen dan lengket seperti jenis Japonica (beras untuk sushi) dan berukuran tidak telalu panjang dan besar seperti beras jenis Indica (beras basmati atau arborio untuk risotto).

Pada perkembangannya, jenis ini kemudian “dikawinkan” dengan banyak keunggulan lainnya sehingga menghasilkan sejumlah varietas padi yang banyak ditanam di Indonesia saat ini. Seperti yang saat ini dibudidayakan Pak Hary di Demak, varietas padi spesial yang menghasilkan beras premium berkualitas tinggi dengan aroma khasnya sendiri. Menurutnya, sejarah budidaya tanaman tidak hanya terbatas pada sisi biologisnya saja, namun juga mencakup jejak peradaban, termasuk akulturasi budaya hasil interaksi bangsa dan ras yang mengkonsumsi dan menyebarkan tanaman tersebut. 

Sore harinya di tepi kolam buatan, ditemani gemericik air dan puluhan Ikan Koi, saya tenggelam dalam mini riset tentang sejarah padi di Indonesia dengan berselancar di dunia maya. Ternyata sejarah padi memang kompleks, terlebih jika kita sandingkan dengan kajian genetik, geografi, historis dan arkeologi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh para peneliti di New York University, Washinton University, Standford University, dan Purdue University menyebutkan bahwa Padi Asia (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman tertua di dunia.

Berdasarkan bukti arkelogi, padi Japonica pertama kali ditanam di Lembah Sungai Yangtze Cina Selatan sekitar 9000 tahun lalu. Sedangkan padi Indica ditanam pertama kali di Lembah Sungai Gangga India, sekitar 5000 tahun lalu. Selain itu, teori evolusi menjelaskan dua kubu yang berbeda. Teori satu-asal (single-origin) menyatakan bahwa Japonica dan Indica merupakan hasil domestikasi dari padi liar yang lebih tua yaitu Oryza rufipogon. Sedangkan teori multi-asal (multi-origin) menjabarkan bahwa terdapat perbedaan genetik yang signifikan antara Japonica dan Indica.

Dalam perjalanannya, terjadi pendinginan global sekitar 4200 tahun lalu, yang menyebabkan penurunan temperatur dan kelembaban global, sehingga mengharuskan petani-petani di Cina (dan Asia Timur) ini bermigrasi ke banyak lokasi, termasuk ke Asia Tenggara, dan Indonesia. Berdasarkan laporan studi NYU ini, padi Japonica pertama kali didomestikasi di Indonesia sekitar 2500 tahun lalu. Pada periode yang sama, melalui jalur perdagangan padi Indica juga mulai ditanam di nusantara.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Tubaba Maret 2021

Kegelisahan saya tidak kunjung sirna, alhasil pada hari yang sama, saya mengajak Pak Hery berdiskusi lebih mendalam. Di sebuah rumah panggung milik Kepala Desa. Sambil menyantap gorengan, Pak Hery melanjutkan kisah perjalanan padi di Nusantara. “Sejarah padi juga bisa kita lihat di beberapa peninggalan sejarah, misal di bangunan candi atau kitab-kitab kerajaan tua,” ujarnya. Hal ini menambah keyakinan saya atas kebenaran studi yang dipublikasikan NYU. Mungkin, jika pandemi sudah cukup reda, saya bisa membuktikan sendiri dengan melihat relief candi-candi yang dimaksud Pak Hery. Padi Javanica atau yang kini masuk kelompok Japonica tropis, memiliki citra kuliner tersendiri; “Puak Melayu / Ras Melayu bisa dibilang yang paling mampu meramu, ibarat koki, ras ini paling jago meramu (berakulturasi),” tutur Pak Hery.

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Demak Januari 2021

Menurutnya, di Indonesia, perbedaan rasa, aroma, dan tekstur beras juga tergantung suku dan lokasi, contoh Suku Jawa di Surabaya menyukai beras yang berbeda dengan beras yang dikonsumsi oleh mayoritas Suku Minang di Sumatera Barat. Di Jawa, orang lebih suka beras yang pulen, lembut dan agak lengket menggumpal. Sedangkan di Sumatera Barat, Suku Minang suka beras solok, yang pulen namun tidak lengket, atau lebih terpisah alias terburai. Beras Cianjur yang disukai di Pulau Jawa lebih mirip dengan beras dari padi Japonica, sedangkan Beras Solok, berukuran panjang lebih mirip beras dari padi Indica, mirip basmati. 

Pak Hery menambahkan, tiap daerah sebenarnya memiliki padi khas sendiri disesuaikan dengan kesukaan orang-orang yang menetap di lokasi itu. Hal ini yang kemudian menjadi passion-nya untuk membudidayakan padi premium dengan ciri khas daerah-daerah di Indonesia. Menurutnya, penyeragaman bibit padi hibrida di Indonesia itu melanggar kodrat, selain menyebabkan ketergantungan petani kepada “pencipta” bibit, kebijakan ini juga membunuh khasanah cita rasa beras Indonesia, yang sejatinya beragam. Seharusnya, tiap daerah dapat memiliki padi dan beras khasnya masing-masing, dan ini bisa menjadi potensi bisnis tersendiri untuk para petani. Mereka dapat menciptakan pasar dan menentukan harga sendiri, tanpa harus terikat pada lingkaran setan panen raya atau tergantung pada ketersediaan dan subsidi bibit dari Pemerintah. 

Sumber: Pak Hery di Sawah, Dokumentasi Pribadi, Demak Januari 2021

Diskusi kami ditutup dengan makanan khas Lampung, Seruit, campuran ikan bakar dengan beragam sambal terasi lengkap dengan tempoyaknya (fermentasi durian). “Ini padi hibrida Mapan05, nasinya pulen dan lengket, kapan-kapan coba beras aromaterapi punya saya, selain wangi punya nilai gizi yang lebih baik untuk kesehatan, dan anti diabetes,” celetuk Pak Hery, yang disambut tawa para petani Tubaba. 

The post Asal Mula dan Potensi Padi di Bumi Pertiwi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/asal-mula-dan-potensi-padi-di-bumi-pertiwi/feed/ 0 27836
Suka Duka di Balik Panen Raya https://telusuri.id/suka-duka-di-balik-panen-raya/ https://telusuri.id/suka-duka-di-balik-panen-raya/#respond Wed, 29 Jul 2020 06:36:12 +0000 https://telusuri.id/?p=23313 “Panen (raya) harus meriah, karena abis itu kita miskin lagi,” ujar seorang petani jagung di Blitar. Panen raya sangat identik dengan ritual suka cita, terikat dengan sejarah dan budaya. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis menyambut...

The post Suka Duka di Balik Panen Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
“Panen (raya) harus meriah, karena abis itu kita miskin lagi,” ujar seorang petani jagung di Blitar.

Panen raya sangat identik dengan ritual suka cita, terikat dengan sejarah dan budaya. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis menyambut mappadendang dengan ritual penumbukan gabah sebagai simbol agar beras “suci” dan “aman” dikonsumsi. Perayaan ini juga menjadi ungkapan rasa syukur atas hasil yang diperoleh. Di Jawa Barat, seren taun dirayakan oleh masyarakat Sunda, sebagai simbol kerja keras atas usaha sepanjang masa tanam dan pengharapan agar hasil yang baik terulang di masa-masa mendatang. Harapan yang sama juga dipanjatkan di Jawa Timur dalam perayaan methik. Di Flores, ada perayaan penti. Simbol-simbol seperti itu yang menjadikan panen raya sebagai fenomena sosial budaya yang ditunggu-tunggu dan dirayakan setiap tahun.

Sayangnya, konsep panen raya tidak sepenuhnya menguntungkan petani, terutama dari sudut pandang ekonomi.

Sebagai ilustrasi, panen raya menyebabkan persediaan komoditas pertanian menjadi terkumpul pada satu periode waktu, sedangkan permintaan terhadap komoditas tersebut cenderung konstan. Singkat cerita, ketika supply (penawaran) di pasar begitu masif, sedangkan demand (permintaan) tidak meningkat, harga akan cenderung terjun bebas ke titik yang sama sekali tidak menguntungkan. Itu sebabnya kita sering mendapat berita petani A atau B membuang hasil panennya karena harga pasar terlalu rendah untuk sekadar menutup modal kerja yang sudah dikeluarkan selama masa tanam.


“Kita mah udah gak pake panen raya lagi, bisa mati kita,” tutur seorang petani kentang di Garut.

Beberapa petani menyiasati dampak negatif panen raya dengan membentuk kelompok tani. Secara sukarela mereka membuat jadwal tanam dan panen untuk setiap anggota kelompoknya. Hal ini cukup membantu mereka dalam mengendalikan harga di pasar lokal. Tetapi tetap tidak bisa berkompetisi dengan harga saat panen raya. Sebagian besar petani tidak dapat berkutik jika berhadapan dengan budaya petik tahunan ini. Yang bisa dilakukan hanyalah memaksimalkan keuntungan di luar masa panen raya, berharap keuntungan tersebut bisa menutup kebutuhan modal di masa tanam setelah panen raya.

Petani memanen jagung saat panen raya di Desa Pilolalenga, Kecamatan Bongomeme, Provinsi Gorontalo, Kamis, 19 April 2012 via TEMPO/Dasril Roszandi

Di samping itu, sistem pergudangan acap kali menjadi solusi. Petani padi, misalnya, menggunakan sistem resi gudang secara berkelompok untuk dapat menunda penjualan hasil panennya sampai batas waktu tertentu. Sayangnya, tidak semua komoditas pertanian bisa menggunakan konsep resi gudang. Sistem ini berlaku dengan sejumlah syarat, antara lain: komoditas yang disimpan memiliki standar produk (bisa distandardisasi) dan komoditas tersebut tidak akan mengalami penurunan kualitas secara signifikan saat penyimpanan.

Teknologi pergudangan yang masih tradisional tidak bisa diimplementasikan untuk semua komoditas pertanian. Penyimpanan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan punya risiko menurunkan kualitas simpanan, yang juga akan memengaruhi harga jual. Selain itu, kebanyakan petani tidak bisa menunggu; mereka membutuhkan dana segar untuk melanjutkan hidup dan meneruskan kegiatan tanam musim berikutnya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan sejumlah oknum untuk meraup keuntungan, dengan memberikan pinjaman dengan bunga tinggi, mengepul komoditas dengan harga beli rendah, atau menerapkan sistem ijon.

Suka cita petani pun pindah haluan ke harapan kosong dan lilitan hutang.


“Yang penting masuk koran, foto sama Bupati XX, siapa tau dapat bantuan mesin,” curah seorang petani nanas di Subang.

Ternyata, konsep panen raya tidak hanya dimanfaatkan oleh oknum-oknum kelas teri. Sejak dulu, panen raya juga digunakan oleh sejumlah politisi untuk pamer kontribusi. Pejabat turun ke sawah sambil mengangkat padi menjadi simbol kesuksesan pemerintah dalam “mengangkat” nasib petani. Politisasi budaya ini ternyata tidak otomatis berakhir ketika penguasa orde turun tahta. Simbol budaya ini punya model estafetnya sendiri, tidak tergerus kemajuan zaman; budaya ini seolah terhenti pada suatu titik tanpa solusi. Atau dibuat seakan tidak butuh solusi. Petani dibuai oleh kesemuan ingar-ingar panen raya, dibuat bahagia dengan foto-foto di media massa, narasi-narasi politis yang tidak jelas juntrungannya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengoperasikan mesin pemotong padi atau “harvester” saat panen raya padi di Desa Masamba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa, 13 Desember 2016 via TEMPO/Iqbal Lubis

“Kita banyak utang karena rugi besar pas impor dari India masuk, padahal kentang mereka jelek,” kata seorang petani kentang di Lembang.

Duka yang membuntuti panen raya tidak hanya gentayangan di level “bawah.” Hantu yang lebih menyeramkan dan berbahaya datang ketika pemerintah, dengan alasan memenuhi permintaan pasar, membuka keran impor saat panen raya, tanpa proteksi. Pada akhirya, petani tidak bisa berharap pada regulasi. Lagipula, siapa yang sanggup mengendalikan pasar? Kekuatannya sering membuat orang tamak dan tidak peduli siapa untung siapa rugi. Mungkin, panen raya sengaja diingarbingarkan untuk menghidupkan suka cita sesaat dan mengaburkan duka yang akan menyertainya.

Suka duka memang bersifat subjektif. Pada satu periode waktu yang sama, orang bisa memiliki motif dan makna yang berbeda. Tidak ada yang keliru dari seremonial budaya; petani juga butuh hiburan setelah lelah berhari-hari di sawah dan ladang. Namun, praktik budaya tidak selalu harus dilanjutkan sepenuhnya jika dirasa merugikan. Mungkin bukan dihentikan, tetapi disiasati, untuk memberikan opsi agar lebih banyak suka dan sedikit saja dukanya. Mungkin bisa.

The post Suka Duka di Balik Panen Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suka-duka-di-balik-panen-raya/feed/ 0 23313
Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/ https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/#respond Sat, 13 Apr 2019 02:00:24 +0000 https://telusuri.id/?p=13216 X: “Bawa minimal empat botol besar, ya. Yang perempuan bawa tiga aja cukup.” Y: “Kok beda? Katanya emansipasi.” X: “Ah, emansipasi apasih … daripada nyusahin di jalan.” Percakapan di atas sering sekali saya dengar setiap...

The post Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
X: “Bawa minimal empat botol besar, ya. Yang perempuan bawa tiga aja cukup.”

Y: “Kok beda? Katanya emansipasi.”

X: “Ah, emansipasi apasih … daripada nyusahin di jalan.”


Percakapan di atas sering sekali saya dengar setiap briefing sebelum pendakian gunung; tentang jumlah air minum, pilihan jalur pendakian, waktu tempuh, tempo perjalanan, ukuran tas yang digunakan, dan perihal teknis lainnya yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin.

Apa pun tujuan percakapan yang kerap diselingi humor emansipasi dan kesetaraan gender itu—entah untuk memudahkan atau justru merendahkan peran perempuan dalam kegiatan alam bebas—yang jelas akhirnya akan berujung pada perbedaan beban yang harus ditanggung selama perjalanan.

Saya tidak akan berkicau tentang definisi dari kedua konsep itu—emansipasi dan kesetaraan gender. Celoteh berikut tentang sebagian kecil “kelakar manis” kesetaraan gender dalam pendakian gunung. Lucunya, “diskriminasi” ini ditoleransi, ditertawakan dan dinikmati, serta dianggap wajar terjadi.

lelucon-seksis
Seorang pendaki perempuan memanggul keril via pexels.com/Spencer Gurley

“Jangan berat-berat, nanti turun berok”

Informasi yang bisa sangat mudah ditemukan di Google bikin lelucon ini seperti cukup logis untuk disampaikan pada perempuan. Istilah turun berok sering diasosiasikan dengan turun peranakan, yang kemudian melekat pada kodrat perempuan.

Namun, yang sering terlupakan, kondisi medis ini juga bisa terjadi pada laki-laki. Sayangnya, logika berpikir seperti ini terlampau serius untuk sebuah gurauan sebelum pendakian. Toh, kelaziman ini juga dinikmati kaum hawa dalam pendakian. Beban keril bisa lebih ringan, ‘kan?

lelucon seksis
Menelusuri jalan setapak via pixabay.com/5598375

“Pelan banget jalannya, kayak cewek aja”

Biasanya, ucapan jenis ini disampaikan sebagai gurauan penutup lelah, ketika jalur mulai menanjak, perut lapar, tenggorokkan kering, atau matahari bersinar terlalu terik.

Perumpamaan semacam ini tidak jarang membuat kaum adam tersinggung, sedangkan perempuan cukup menikmati lelucon jenis ini. Jalan pelan, dimaklumi, bahkan diajak segera beristirahat. Yang lebih aduhai, beban keril dikurangi dan dibebankan ke pendaki yang terkesan lebih kuat.

lelucon seksis
Hiking via pixabay.com/Free-Photos

“Yang bawa tenda biar cowok, cewek urus konsumsi”

Gurauan satu ini (dianggap) masuk akal sebab tugas menyiapkan makanan (dan urusan dapur, sumur, dan kasur lainnya) secara kultural lebih sering dilimpahkan pada perempuan. Biasanya, ketika rumah pendakian (baca: tenda) sedang disiapkan, secara spontan pendaki perempuan berinisiatif membuka keril, menggelar matras, dan mulai main masak-masakan.

Lelucon satu ini jelas dinikmati perempuan, karena memasak termasuk kegiatan yang kurang melelahkan; duduk, aduk, tunggu, cicip, selesai. Selain itu, kalau lokasi tidur dekat dengan sumber air, menjadi kewajiban orang yang tidak memasak untuk mengisi penuh persediaan air. Yang satu ini tentu lebih sering dikerjakan pendaki maskulin, yang (katanya) lebih kuat dan tangguh.

lelucon seksis
Menikmati pendakian gunung via pixabay.com/Mohamed Hassan

“Cewek jalan duluan, biar enggak ketinggalan”

Kicauan macam ini biasanya disampaikan oleh pendaki yang mengatur formasi perjalanan atau mereka yang sudah paham medan pendakian. Biasanya juga, peran “penyapu jalan” (sweeper) akan diemban oleh mereka.

Seharusnya, himbauan ini tidak perlu ditujukan hanya kepada perempuan. Akan lebih bijak jika seandainya himbauan itu ditujukan pada setiap pendaki yang merasa kurang mampu memahami jalur pendakian, atau yang biasa jalan pelan dan cepat kelelahan, apa pun gendernya.

Tetapi, lelucon jenis ini juga dinikmati pendaki perempuan. ‘Kan jadi punya bodyguard, pasti ada yang jalan belakangan. Kalau jalur pendakian jadi lebih berat, (mungkin) beban keril bisa dilimpahkan ke “penyapu jalan.” Wajar ‘kan?

Tentunya masih banyak contoh lelucon kesetaraan gender yang bisa ditemukan dalam kegiatan alam bebas. Contoh yang diberikan dalam tulisan ini masih cukup positif untuk bisa dianggap wajar.

Ada banyak humor seksis lainnya yang sering dilontarkan dalam pendakian, yang lebih diskriminatif namun dianggap “Ah, cuma becanda” baik oleh laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Tapi, contoh itu tidak saya masukan dalam tulisan ini, karena terlalu sensitif, menjijikkan, dan (seharusnya) tidak dinikmati oleh para pendaki perempuan sebagai bentuk canda tawa yang wajar dan biasa saja. Seharusnya, di zaman yang makin beradab ini, lelucon seksis tidak lagi dibiarkan menjadi santapan harian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/feed/ 0 13216