Asief Abdi https://telusuri.id/penulis/asief-abdi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 04:26:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Asief Abdi https://telusuri.id/penulis/asief-abdi/ 32 32 135956295 Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/ https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/#respond Mon, 30 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44795 Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan...

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan Dungkek, Sumenep. Pandangan saya mengarah ke sebuah daratan di seberang timur, yaitu Gili Iyang, si Pulau Oksigen.

Lantaran kadar oksigennya yang disebut-sebut paling tinggi nomor dua di dunia, konon, warga di pulau tersebut dapat hidup lebih sehat dan panjang. Agaknya, Odeng, kawan saya yang tempo hari mengajak ke Kangean, begitu penasaran soal itu. Alhasil, kami pun berkunjung ke Gili Iyang.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Para awak gagah berani berdiri di tepi perahu/Asief Abdi

Menyeberang ke Gili Iyang

Usai menunggu sekitar satu jam hingga kapal penuh muatan, akhirnya sang juru mudi menyalakan mesin. Sampan pun memutar haluan dan melaju. Meski sempit, selat yang kami lintasi sama sekali tak ramah. Ombak mengempas, menggoyang badan perahu hingga miring. Untung motor penumpang sudah diikat kuat oleh kru kapal. Kalau tidak, mungkin motor saya sudah nyemplung ke laut. 

Para awak dengan gagah berdiri di tepi sampan. Kaki mereka cekatan mencari pijakan, sementara tangan mengikat terpal penutup agar serpih ombak tak mengguyur penumpang. Setengah jam kemudian, gerombolan dara laut menyambut saat perahu mendekati pulau. Burung-burung itu terbang rendah di atas permukaan, menukik, lalu melayang lagi dengan ikan kecil di paruh.

“Kami tak berlayar kembali. Cukup buat kami hari ini. Nanti coba ke pelabuhan satunya saja. Ingat, sebelum jam satu siang,” kata seorang awak ketika semua penumpang sudah turun. Saya mengangguk. Dan pelabuhan itu pun sontak sepi.

Tak jauh dari dermaga, terpampang penunjuk arah ke tempat-tempat wisata di Gili Iyang. Kami tak punya banyak waktu. Dua jam saja atau kami akan menghabiskan malam di pulau kecil ini. Dan jika ada tempat yang wajib dikunjungi, itu adalah Titik Oksigen.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Titik Oksigen Gili Iyang/Asief Abdi

Bernapas di Titik Oksigen

Titik Oksigen tak ubahnya halaman warga yang terbengkalai. Kami bahkan tak sadar saat melewatinya. Kondisi area tersebut menyedihkan. Gazebo-gazebo peneduh tampak usang. Salah satunya bahkan reyot. Sebuah pohon berdiri tegak, menaungi tugu mini bertuliskan “Titik Oksigen”. Saya berdiri di situ, memejamkan mata, lalu menghela napas. Apa ini? Rasanya biasa saja. 

Kami beralih ke sebuah warung di kawasan itu.  Dengan percaya diri, Misnariah,  perempuan penjaga warung tersebut mengaku berusia 106 tahun.  Saya dan Odeng berpandangan sambil memegang gorengan. Yang benar saja. Omong kosong! Menurut taksiran kami, paling-paling umurnya lima puluhan. Kabar tentang oksigen Gili Iyang yang sanggup membuat penghuninya hidup lebih panjang memang santer beredar di internet. Meski begitu, bisa jadi itu cuma gimik

Sudah lepas tengah hari. Jika tak ingin ketinggalan kapal, sebaiknya kami bergegas ke pelabuhan. Namun, Odeng punya ide lain. Anak itu tak rela hanya menghabiskan satu dua jam di pulau ini. Saya punya firasat sepertinya kami bakal bermalam di sini. Lalu, alih-alih menuju pelabuhan, kami malah beranjak ke tempat lain, mengikuti papan penunjuk jalan.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Pondok-pondok wisata yang mangkrak/Asief Abdi

Objek Wisata yang Tak Siap

Kami bertolak menuju Batu Canggah. Tempat itu adalah tebing karang ikonis pulau ini. Untuk ke sana, kami harus keluar dari jalan utama dan menerobos tegalan. Jejeran cottage menyambut kami. Keadaannya menyedihkan. Pondok-pondok itu agaknya mati sebelum sempat berfungsi. Padahal, fasilitas tersebut sudah dilengkapi pendingin udara. Saya masuk ke salah satunya dan mendapati sebuah spring bed yang barangkali tak seorang pun pernah rebahan di atasnya. 

Ketika tiba di Batu Canggah, kami tak menemukan apa pun selain tulisan “Tutup”. Mungkin, saking sepinya, si petugas sampai enggan berjaga. Kami mencoba masuk, tapi pagar di sekeliling gerbang terlampau tinggi untuk dilompati. Kondisi serupa juga terjadi di Pantai Ropet di sisi selatan pulau. Tempat itu juga mangkrak.

Setelah merasa cukup—akhirnya, kami bertolak ke pelabuhan. Terdapat lebih dari satu pelabuhan di Gili Iyang dan masing-masing punya jadwal kapal sendiri-sendiri. Agaknya dermaga-dermaga itu adalah milik perorangan yang juga si empunya kapal, sebab kapal dari pelabuhan satu tak parkir di pelabuhan lain.

Di pelabuhan, rupanya bukan cuma kami yang hendak menyeberang. Seorang pemuda sedang duduk di tempat parkir dengan ransel dan kardus. Dia warga asli Gili Iyang yang hendak merantau ke Bali. Tanah ranggas ini sepertinya tak menjanjikan apa pun untuknya selain memaksanya melaut. Kami mengobrol hingga tampak sebuah kapal merapat ke tepi.

Namun, ketika kami berjalan mendekat, sang nakhoda berseru, “Ombaknya terlalu kuat. Tak mungkin kami kembali. Lebih-lebih, sore nanti air bakal surut. Kapal bisa kandas. Besok saja.” Sepertinya si pemuda perantau kudu bersabar sehari lagi, begitu pula kami yang harus mencari tempat menginap untuk malam nanti. “Usai azan Subuh, pastikan kalian sudah di sini,” sang nakhoda mewanti-wanti. 

Kami berhenti di sebuah masjid, tak jauh dari pelabuhan. Di tengah hawa terik, masjid itu seperti oase di tengah gurun. Salman, sang takmir, usai menanyakan dari mana dan hendak ke mana dua orang asing di depannya, menawarkan bantuan. “Masjid ini terbuka untuk musafir. Kalian bisa bermalam di sini,” katanya. Lalu, lewat obrolan dengan lelaki tambun itu, saya tahu kalau orang Gili Iyang punya legenda lokalnya sendiri tentang muasal pulau mereka.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Motor roda tiga, angkutan umum di Gili Iyang/Asief Abdi

Legenda Sèrè Èlang dan Obrolan di Dermaga

Konon, Gili Iyang pertama kali ditemukan bukan oleh orang Madura, melainkan orang Bugis, yakni Daeng Massale. Alkisah, setelah berhari-hari melintasi segara, pelaut itu akhirnya menemukan pulau dengan posisi tertentu dari matahari. Sang Daeng pula yang melindungi pulau tersebut dari serangan penjajah. Menurut legenda setempat, tokoh sakti itu menghilangkan Gili Iyang dari pandangan penjajah hanya dengan selembar daun sirih. “Begitulah pulau ini disebut Sèrè Èlang (Sirih Hilang),” tutur Salman. 

Pulau-pulau kecil di timur Sumenep memang unik. Agaknya, gili-gili mungil itu dulunya menjadi persinggahan suku-suku dari Sulawesi hingga akhirnya menetap. Hal tersebut tercermin dalam kisah Sirih Hilang tadi. Daeng merupakan gelar khas suku Bugis. Entah masih ada atau tidak suku asal Makassar itu di Gili Iyang, tapi mereka turut menghuni pulau-pulau lain di Sumenep macam Masalembu dan Kangean. 

Selepas membereskan urusan tidur malam nanti, kami bertolak ke dermaga untuk melihat matahari tenggelam. Di antara banyak dermaga, kami memilih yang terpanjang. Air laut yang surut menampakkan wajah asli pesisir Gili Iyang yang penuh batu karang. Tak ayal pulau ini sepi pengunjung. Pantainya jauh dari kata molek. Di tepi laut yang surut, beberapa orang menggotong karung dan duduk mencangkung sambil mengais-ngais. Mereka jelas tak tengah buang hajat. Mungkinkah mereka sedang mengumpulkan kerang?

Dari atas dermaga, saya menyapa seorang wanita tua tepat di bawah saya. Ia tampak sibuk mengumpulkan sesuatu. Rupanya, bukan kerang atau tiram yang dia himpun, melainkan pasir. “Buat bangun rumah, Cong (sapaan Madura yang berarti ‘nak’ untuk laki-laki’),” kata dia sambil mengayak lalu memasukkan pasir ke dalam wadah. Pantas pantai ini tak berpasir.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Seorang warga mengumpulkan pasir laut/Asief Abdi

Matahari kian jatuh. Memandang ke langit barat di jam-jam seperti ini menyadarkan saya akan cepatnya waktu berlalu. Seorang pria menyapa saya yang kala itu sedang khusyuk menikmati tenggelamnya sang surya.

Pak Mohan, pria itu, adalah seorang guru SD di pulau ini. Sudah seperempat abad lebih ia rela hidup berjauhan dari keluarganya di Jawa demi mengajar di daratan kecil ini. Sampai-sampai ia sudah seperti warga asli Gili Iyang. “Siapa yang tak kenal saya? Semua orang di pulau ini tahu Pak Mohan,” kelakarnya. Walau sudah berusia lima puluh tahun, lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya. 

“Awet muda itu gampang. Asal hati gembira dan enggak stres,” kata dia.

“Tunggu! Jangan-jangan sampean selalu gembira dan bebas stres karena enggak tinggal bareng istri, Pak?” canda saya. Lelaki itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya terkaan saya benar.

Bagi lelaki kocak itu, kabar perihal penduduk Gili Iyang yang awet muda dan berumur panjang tak sepenuhnya benar. “Murid-murid saya banyak yang mukanya boros. Beberapa bahkan terlihat lebih tua dari saya,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa hal itu mungkin efek dari iklim pesisir yang keras, di mana orang-orang dipaksa melaut dan bekerja di bawah sengatan matahari. 

“Tapi memang di titik oksigen itu, kalau pagi hari, udaranya segar betul,” imbuhnya. Saya teringat pemuda perantau yang saya temui siang tadi. Barangkali, hijrah ke kawasan lain adalah opsi terbaik. Dan ketika para pemuda pulau memilih pindah, wajar rasanya jika pulau ini akhirnya lebih banyak dihuni kaum manula yang mungkin memang bisa hidup lebih bugar sebab minimnya polusi.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Senja di dermaga/Asief Abdi

Tak terasa, matahari telah tenggelam seutuhnya. Ketika cahaya terakhir lenyap di ufuk barat, kami beranjak. Kegelapan menyelimuti. Tanpa sinar lampu motor, kami bisa nyungsep di mana saja. Seperti Kangean, listrik Gili Iyang bergantung penuh pada generator listrik bertenaga diesel. Kendati begitu, raungan mesin tersebut tak sanggup menerangi seisi pulau. Alhasil, warga harus puas dengan penjatahan listrik harian. Jika setengah pulau malam ini menyala, separuhnya harus mengalah. 

Di masjid, Usman menuntun kami ke sebuah bilik berdinding triplek khusus musafir. Untunglah kami tak perlu membayar. “Lepas tengah malam, listrik bakal mati total. Kalau mau isi daya, sebaiknya sebelum itu,” ujar sang takmir. 

Saya terjaga tepat tengah malam karena kandung kemih saya penuh. Begitu membuka pintu, tak ada setitik pun cahaya lain di sekeliling kecuali lampu masjid yang masih benderang berkat panel surya. Dalam kegelapan seperti ini, gemintang di langit tampak lebih banyak. Saya buru-buru ke kamar mandi dan lekas kembali ke bilik. Di luar, angin darat bertiup kencang dan malam kian pekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/feed/ 0 44795
Jalan-Jalan ke Kangean (2) https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/#respond Fri, 08 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43001 Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi?  Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si...

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi? 

Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si Pulau Cukir.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Alun-alun kota Arjasa dan monumen patung bekisar kebanggaan/Asief Abdi

Alun-alun Arjasa

Kebetulan, hotel tempat kami menginap tak jauh dari alun-alun Arjasa. Jadi, di pagi hari kami menyempatkan diri untuk mengunjungi pusat keramaian pulau itu. Meski cuma sepetak alun-alun kecamatan, masyarakat sekitar menyebut kawasan itu sebagai “kota”. “Kota” ini bukan hanya episentrum perekonomian lokal, melainkan juga telah lama menjadi jantung pemerintahan Kangean sejak zaman kolonial. Kantor kecamatan di utara, puskesmas di selatan, bangunan tua milik Perhutani di timur, dan masjid agung di barat.

Begitu melintas di lapangan, banyak mata memerhatikan kami. Jelas mereka tahu kami bukan penduduk sekitar. Kami lurus saja berjalan ke arah bocah-bocah yang tengah asyik bermain di bawah patung bekisar kebanggaan penduduk Kangean. Saat kami mendekat untuk sekadar memotret dan merekam, anak-anak itu malah mengerubungi kami.

“Nanti masuk YouTube, Kak?” kata seorang anak.

“Itu iPhone asli, Kak?” timpal lainnya.

Saya mengangguk dan meminta mereka tetap bermain.

Arjasa bukan kawasan susah sinyal. Sejak tiba lusa lalu, saya bisa internetan sesuka hati, bahkan di Mamburit sekalipun. Walau begitu, bocah-bocah di depan kami tidak berkumpul untuk mabar (main bareng) dengan ponsel masing-masing di genggaman. Alih-alih, mereka memainkan permainan tradisional. 

Rambu, begitu mereka menyebutnya. Permainan itu sederhana saja. Sandal atau sebatang kayu diikat tali, ditautkan, lalu diadu. Pemain yang talinya putus berarti kalah. Tentu tali yang dipakai bukan benang biasa, melainkan senar layangan yang sudah dilabur serbuk kaca.  Setelah bosan, mereka beralih ke permainan lain. Sayang sekali kami tak bisa menonton lebih lama. Sebentar lagi Firman akan menjemput dan mengajak kami menyusuri jalan utama Kangean hingga ujung timur pulau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Bocah-bocah bermain di alun-alun/Asief Abdi

Dari Kota ke Rimba

Mobil kami melaju kencang di jalanan Arjasa. Jalur yang kami lintasi merupakan satu-satunya jalan protokol, terbentang sekitar 47 kilometer dari ujung barat ke ujung timur. Toko-toko grosir berjejer di pinggir jalan. Rupanya, Kangean tak seterpencil kelihatannya. Ia memang nun jauh di timur, tetapi fasilitas di sini sudah cukup komplet meski pasti tak selengkap di Madura daratan. Bank, swalayan, apotek, rumah sakit, bengkel mobil, semua ada. Bahkan, jasa pengiriman barang pun sudah beroperasi dan siap menggenapi hasrat belanja masyarakat.

Sepanjang jalan, kami melewati banyak masjid. Wajar, masyarakat pulau ini mayoritas muslim—bahkan mungkin semuanya Islam. Meski begitu, kira-kira pada 1915, pernah ada seorang pendakwah kristen yang hendak menyebarkan ajaran Yesus di Kangean. Diceritakan, orang Belanda itu sudah berlaku amat baik bagi warga sekitar. Ia memberikan pendidikan, beras, obat-obatan, sampai hiburan bagi penduduk dengan harap bisa merekrut pengikut. Namun, apa daya, rupanya ajaran Kristus tak meresap ke benak warga Kangean. Setelah seperempat abad mencoba, menjelang Perang Dunia kedua, dia hengkang dari pulau. Kini, kawasan tempat ia dahulu tinggal dikenal sebagai Kampung Pandita.

Dari pesisir barat, kami bertolak ke pantai utara pulau. Di situ terdapat sebuah sumber air tawar yang langsung bermuara ke laut. Celghung, begitu warga sekitar menyebutnya. Telaga itu menjadi semacam tempat wisata bagi masyarakat setempat. Sayang sekali, ia tampak terbengkalai sehingga saya tak bernafsu menceburkan diri. 

Kami melesat terus ke timur. Aspal kian pudar, berganti jalur makadam yang memaksa kami melaju bak kura-kura. Rupanya, jalur utama pulau ini belum sepenuhnya mulus. Alhasil, butuh waktu lebih lama untuk jarak yang tak seberapa. Pantas saja banyak motor jenis trail berseliweran. Dengan kondisi begini, paling-paling kami hanya bisa melaju sekitar 30 km/jam. Lagi-lagi ada saja yang membuat saya mual. Usai dibuat pening di laut, kini saya dibikin pusing di darat. Saya membuka kaca jendela dan melempar pandang ke luar, ke arah hutan yang dibelah jalan rusak ini.

Sesekali kami berpapasan dengan sapi-sapi milik warga yang dilepas begitu saja. Hewan-hewan itu tampak berbeda dengan lazimnya sapi Madura. Lembu di sini warnanya lebih pucat, tak secokelat saudara-saudara mereka di Madura. Masyarakat Kangean rupanya telah lama beternak sapi dengan cara seperti ini. Dulu, metode semacam itu sempat dilarang lantaran kerap memicu konflik antarwarga perihal kepemilikan sapi. Apalagi kalau binatang itu beranak pinak di hutan dan membingungkan si empunya. 

Akan tetapi, agaknya di daerah pelosok, cara seperti ini masih lestari. Teknik serupa juga dilakukan masyarakat Pulau Gili Genting di sebelah selatan Sumenep. Mungkin, kini para pemilik ternak sudah lebih lihai dalam mengontrol ternaknya. Walau demikian, bukan berarti pencuri ternak tak beraksi di sini sehingga binatang memamah biak itu bebas dilepas. Kadang, ternak warga lenyap di malam hari. 

“Maling sapi biasanya memotong langsung sapi curiannya. Kalau bawa hewan hidup, kelamaan. Keburu kepergok. Mau gendong sapinya juga enggak mungkin,” jelas Firman. Benar juga, di tengah rimba seperti ini, maling bisa menjagal sapi tanpa membangunkan seorang pun di tengah gulita. 

Hutan yang kami lalui cukup luas. Kata Firman, jika beruntung, kami bisa melihat ayam hutan di antara pokok-pokok jati. “Dulu sering nongol, tapi belakangan sudah jarang,” jelasnya. Unggas itu merupakan indukan bekisar. Orang Kangean yakin bahwa merekalah penemu sang bekisar. Lantaran dianggap autentik, bekisar Kangean bisa dihargai sampai puluhan juta. 

Hingga kini, para penangkar masih menangkap ayam hutan dari belantara untuk dikawinkan dengan ayam kampung mereka. Barangkali, satwa liar itu kini masuk lebih dalam ke rimbun belukar, kian waspada dan waswas akan bau manusia. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri mampir ke rumah seorang penangkar bekisar. Sayang sekali, ia hanya punya ayam hutan induk dan belum menghasilkan bekisar barang seekor.

Bagaimanapun, rimba Kangean merupakan hutan terakhir di kawasan Madura. Tak hanya dihuni ayam hutan (mano’ tarata), belantara Kangean juga rumah bagi berbagai spesies burung. Kepodang dan betet yang langka masih beterbangan di kanopi hutan Kangean. Bahkan, dahulu, sebelum para bandit beraksi, konon ternak warga yang dilepas ke jenggala acap menjadi incaran harimau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Olbha’, sumber air tawar di tepi pantai/Asief Abdi

Berhenti di Sendang

Mobil kami menepi. Di tepi jalan, sekelompok pekerja beristirahat. Mereka sedang mengerjakan proyek pembangunan tempat wisata. Rupanya, di situ terdapat sumber air tawar, Olbha’ namanya. Seperti Celghung, sendang tersebut juga langsung mengalir ke laut. Kami turun lalu berjalan mengikuti suara gemericik air.

Pohon-pohon besar macam pule, kepuh, dan keben, menaungi langkah kami. Raksasa-raksasa itu mengadang sinar matahari serta menguarkan nuansa wingit bagi siapa pun yang melintas di bawah naungannya. Tentu kondisinya sangat berbeda di masa silam. Sebelum manusia menjamah jauh ke dalam rimba, vegetasi hutan ini lebih rapat. Wajar jika dulu belantara Kangean membuat manusia gentar.

Ketika belum ada dokter di pulau ini, penduduk lokal percaya bahwa penyakit yang mereka derita ialah ulah demit penunggu alas. Kini, saat orang tak lagi takut, belantara perlahan koyak moyak, tebing-tebing digerogoti, pohon pule raksasa kerap dicuri seenaknya, dan burung-burung ditangkapi untuk dijual ke luar pulau. Seperti biasa, tampaknya belum ada tindakan berarti dari pihak berwenang.

Gemercik air kian nyaring. Kami tiba juga di sendang. Sebuah mata air memancar dari celah bebatuan, tepat di dekat pohon keben. Alirannya membentuk rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan hutan bakau. Saya menadahi air dengan kedua telapak tangan dan membasuhkannya ke muka. 

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Pantai Patapan dengan Pulau Paliat di seberangnya/Asief Abdi

Di Ujung Timur 

Usai melibas jalanan selama lebih kurang dua jam, akhirnya kami tiba juga di ujung timur. Patapan, begitu nama daerah itu. Kata tersebut berarti “pertapaan”. Konon, dahulu kala, Arya Jasa, seorang tokoh dalam legenda lokal, bersemadi di kawasan tersebut untuk menemukan keris yang mampu mengangkat wabah di negeri asalnya.

Jalur di depan kami buntung. Ini benar-benar akhir perjalanan. Di depan sana, laut membentang, memisahkan daratan yang kami pijak dengan sebuah pulau, tidak jauh di seberangnya, yaitu Paliat. Rimbun hutan Paliat terlihat dari tempat kami berdiri. Dari pulau kecil itu pula orang-orang bertolak ke Sapeken.

Kangean, Paliat, dan Sapeken hanyalah sebagian kecil dari pulau-pulau yang bertebaran di perairan timur Madura. Kawasan kepulauan Sumenep, selain jarang terekspos media, juga masih tertinggal. Pendidikan di pulau-pulau kecil itu jelas tak sebaik di Madura daratan. Lebih-lebih, orang Madura daratan biasanya enggan jika mendapat tugas mengajar di wilayah kepulauan. Saya pikir, ada baiknya pemerintah setempat memberikan beasiswa khusus kepada warga asli area kepulauan agar kelak mereka dapat kembali dan memajukan pendidikan di daerahnya. 

Mungkin sarana pendidikan yang minim berkorelasi dengan kecenderungan orang Kangean untuk merantau ke Malaysia. Begitulah para istri di sini seringkali harus menjalin hubungan jarak jauh dengan suaminya. Saya teringat film berjudul Istri Orang yang saya tonton empat tahun lalu, tentang seorang perempuan Kangean yang ditinggal suaminya hijrah ke negeri jiran. 

Di pantai Patapan, kami membuka bekal. Istri Firman sudah memasak banyak untuk kami bertiga. Teman saya itu dan istrinya pernah menempuh pendidikan tinggi di universitas top. Mereka tentu sadar kemudahan yang ditawarkan daerah-daerah di luar sana. Kendati begitu, sepertinya mereka tak tergoda dan lebih memilih pulang ke kampung halaman. 

Kami makan di atas pasir dengan deru ombak dan desau angin. Di kejauhan, sebuah kapal merayap lambat ke timur, menuju Sapeken. Sebagai warga Sumenep, baru kali ini saya menyadari betapa luas wilayah kabupaten tempat saya tinggal. Namun, Kangean benar-benar jagat yang lain. Ia adalah Madura sekaligus bukan. Entah ada berapa daratan lagi di sekitarnya. Rasanya mustahil untuk saya menjejaki semua pulau mungil itu.

Saya memandang lepas ke samudra. Kapal yang saya lihat tadi sudah makin jauh ke timur dan terus melaju hingga menjelma titik hitam di horizon.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/feed/ 0 43001
Jalan-Jalan ke Kangean (1) https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/#respond Wed, 06 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42991 Suara debur ombak mengisi udara saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Batu Guluk. Aroma segara terbang bersama angin. Di cakrawala, langit dan laut menyatu. Sulit dipercaya, tempat sejauh ini masih bagian dari Jawa Timur. Padahal,...

The post Jalan-Jalan ke Kangean (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara debur ombak mengisi udara saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Batu Guluk. Aroma segara terbang bersama angin. Di cakrawala, langit dan laut menyatu. Sulit dipercaya, tempat sejauh ini masih bagian dari Jawa Timur. Padahal, kalau dilihat di peta, daratan ini bahkan sejajar dengan Bali. Inilah Kangean, pulau berbentuk perkutut yang konon oleh Prapanca disebut sebagai Ngaliyao, jauh di timur Madura, yakni Kangean.

Sebelumnya, saya bersama seorang kawan, Odeng, bertolak dari Pelabuhan Kalianget. Kapal cepat yang akan membawa kami ke Kangean dijadwalkan angkat sauh pukul sembilan pagi. Meski begitu, para penumpang sudah memadati dermaga. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan kepulangan jamaah haji dari tanah suci. Alhasil, suasana makin ramai.

“Bawa Antimo?” tanya Odeng.

“Tidak perlu. Aku tak akan tumbang semudah itu,” jawab saya jemawa.

Ada dua opsi penyeberangan ke Kangean. Kapal feri lebih murah, tapi makan waktu setidaknya 10–12 jam. Sementara kapal cepat (speed boat) lebih mahal, sekitar 200 ribuan, tapi waktu tempuhnya hanya empat jam saja. Keduanya biasa berangkat bergantian. Jika kapal cepat berangkat hari ini, kapal feri akan bertolak besok petang dan tiba lusa. Meski begitu, cuaca buruk bisa merusak jadwal kapal-kapal itu. 

Kapal berangkat tepat pukul 09.00. Perlahan, speed boat yang kami tumpangi menjauhi dermaga lalu melesat meninggalkan perairan Sumenep. Pulau Madura perlahan mengecil. Begitu juga Talango yang hanya terpisah beberapa meter dari pelabuhan. Kami terus menuju ke timur, ke tanah yang terendam.

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Menunggu keberangkatan kapal cepat di Pelabuhan Kalianget/Asief Abdi

Tanah yang Terendam

Tempat yang kami tuju merupakan kawasan kepulauan yang terletak sekitar 160 kilometer dari Sumenep. Daratan tersebut diapit Selat Madura, Laut Jawa, dan Laut Bali. Walau sejajar dengan Bali, anehnya, kawasan tersebut masih berzona waktu WIB. Di sekelilingnya, pulau-pulau kecil bertebaran, termasuk Sapeken yang dihuni suku Bajo dan Pagerungan Besar yang kaya gas alam. Letak Kangean yang benar-benar di tengah segara agaknya melahirkan legenda bagi penduduk pulau itu.

Konon, nama Kangean berasal dari kata “kaaengan”, yang dalam bahasa setempat artinya “terendam air” alias “kebanjiran”. Menurut cerita, pulau tersebut dulunya timbul tenggelam di tengah samudra. Ia muncul ketika laut surut, hilang kala pasang. 

Selain “teori” tanah yang terendam, terdapat beberapa versi lain perihal muasal nama Kangean. Salah satunya yaitu kisah tentang orang-orang yang minggat ke pulau itu. Diceritakan, pada masa lampau, beberapa suku kabur dari raja yang lalim. Usai mengarungi lautan, mereka menemukan sebuah pulau lalu memboyong anak istri mereka untuk menetap di daratan baru tersebut. Syahdan, para pengungsi itu berkumpul dan menyepakati nama rumah baru mereka. Kangean, dari kata kaaengan, kangen, dan kangayan.

Perjalanan kami lancar, setidaknya sampai beberapa kilometer dari daratan Sumenep. Saya asyik berbincang dengan Pak Ahmad, seorang penumpang yang duduk di kursi sebelah. Ia orang Kangean yang hendak pulang usai menjenguk kerabatnya di Sumenep. Dia menceritakan beberapa keunikan kampung halamannya itu. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Mamajir, adu balap kerbau Kangean/Firman Maulana

“Tahu melon Kangean? Bibitnya sebenarnya dari Sumenep. Tapi entah kenapa saat ditanam di tanah Kangean, rasanya jadi jauh lebih manis ketimbang yang dibudidayakan di tempat asalnya,” kata dia. 

Barangkali Kangean memang berbeda dari Madura, baik secara kultur maupun topografi. Kangean adalah semesta yang lain, kata kawan saya. Meski secara administratif masih wilayah Sumenep, pulau itu punya identitasnya sendiri. Lebih-lebih, orang Kangean tak mau disebut orang Madura. Walau bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa Kangean beda.

Jika di Madura menggunakan kata sengko’ (aku) dan ba’na (kamu), orang Kangean menggunakan ako dan kao. Mereka juga punya kata keta yang berarti “kita”, kata yang tidak ada dalam kamus bahasa Madura. Lain dari itu, ketika orang Madura gemar memacu sapi-sapi mereka, masyarakat Kangean malah mengadu lari kerbau-kerbau mereka saat musim padi. Agaknya, perbedaan tersebut lahir dari persinggungan budaya antara suku-suku yang tinggal di pulau tersebut, seperti Bugis, Mandar, Bajo, Arab, juga Tionghoa. Boleh jadi, cerita tentang orang-orang yang kabur itu benar adanya.

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Kerumunan menyambut kedatangan kapal di Pelabuhan Batu Guluk, Kangean/Asief Abdi

Berlabuh di Batu Guluk

Tak terasa, kami sudah jauh sekali dari daratan. Kapal mulai bergoyang. Tampaknya, laut di bawah kami sedang bergolak. Di bulan Juli seperti ini, angin berembus kencang dari timur ke barat. Laju kapal ke arah timur tentu bertabrakan dengan tiupan angin dan gejolak ombak. Sesekali, kapal terangkat. Terdengar seorang penumpang menjerit. Beberapa menyebut nama Tuhan. Saya mulai cemas.

“Ini biasa. Kalau ada yang menjerit kayak tadi, itu lebay,” kata Pak Ahmad. Mungkin dia membaca kekhawatiran di wajah saya. Namun, goyangan kapal benar-benar membuat perut mual. Ketika gejolak ombak menggila, saya perlahan bangkit dari kursi dan menuju toilet. Di dalam kamar kecil, isi perut saya tumpah.  

Akhirnya, setelah empat jam melintasi lautan, tanah yang kami tuju telah menanti di depan haluan. Tepat pukul satu siang, kapal melempar sauh di Pelabuhan Batu Guluk. Dari kaca jendela, tampak gerombolan orang berkerumun di dermaga. Mereka adalah penyambut jamaah haji. Rupanya, masyarakat Kangean sepaham dengan orang Madura yang menyambut jamaah haji bak malaikat.

Beberapa orang merangsek masuk. Suasana di pintu keluar kacau. Nyaris terjadi baku hantam andai awak kapal tak sigap menengahi para penumpang yang hendak turun dan orang-orang yang tak sabaran itu. Perlahan, satu per satu penumpang melangkah keluar.

Di dermaga, seorang kawan lama, Firman, menyambut kami dengan senyum semringah. Ia tampak lebih gemuk dibandingkan lima belas tahun lalu saat kami masih satu SMA. Ia bertanya soal perjalanan kami. Saya mengacungkan jempol.

Kan, sudah kubilang, ini musim angin. Untung kalian duduk di dek bawah. Di dek atas, goyangannya makin gila!” kata Firman. Ia membimbing kami ke mobilnya dan mengantar kami ke hotel.

Walau kapal cepat mampu memangkas waktu tempuh, empat jam melawan ombak masih menyisakan pusing dan mual. Sepanjang sisa hari itu, saya rebahan saja di hotel. Aneh, kasur di bawah punggung saya rasanya bergoyang. Jika orang mengenal jet lag, mestinya juga ada boat lag. Saya mengatupkan mata dan mencoba tidur.

Sorenya, kami menikmati senja di Pantai Pasir Putih di barat pulau. Tak jauh dari tempat kapal bersandar tadi. Lautan di hadapan kami tak berombak. Seorang nelayan mendayung sampan, menebar jaring, berharap menjerat beberapa ekor ikan. Di seberang, sebuah daratan terbentang, dengan mercusuar tegak menjulang. Itu Mamburit, pulau terdekat dari Kangean. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Senja di Pantai Pasir Putih/Asief Abdi

Menyeberang ke Mamburit

Lokasi penyeberangan menuju Mamburit terpisah dari dermaga tempat kami berlabuh tempo hari. Meski begitu, keduanya bersebelahan. Mungkin, itu pelabuhan lama yang kini digunakan kapal-kapal tanker dan perahu kecil parkir. Pagi itu, saat matahari belum terlalu tinggi, kami sudah sampai di dermaga.

Dengan cekatan, saya memasukkan motor ke geladak kapal. Di sebelah perahu kami, sebuah kapal tanker besar melego jangkar. Seutas selang panjang menjulur dari lambung kapal menuju ke truk tangki. Di dalamnya, sesuatu mengalir. Sepertinya itu solar. Di Kangean, pembangkit listrik masih menggunakan diesel. Tentu butuh ribuan liter bahan bakar untuk menggerakkan mesin-mesin itu agar seisi pulau tetap menyala.

Usai menaikkan beberapa penumpang, kapal pun beranjak. Tak ada gelombang berarti ketika kami menyeberangi selat sempit yang memisahkan Mamburit dengan Kangean. Di laut inilah pada masa silam kapal-kapal Belanda berpatroli. Walau letaknya nun jauh di timur Madura, nyatanya Kangean turut menjadi panggung sejarah negeri ini. Bahkan, pulau-pulau kecil di sekitarnya macam Sapeken, Saobi, dan Sakala, sempat menjadi basis militer Belanda dan Jepang. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Pesisir Pulau Mamburit (kiri) dan mercusuar tua Mamburit/Asief Abdi

Kapal bergerak pelan, melewati tanker-tanker besar berisi minyak yang parkir di pelabuhan. Perlahan, kami mendekati Mamburit. Rakit-rakit apung warga mulai terlihat. Di bawahnya, karamba-karamba penuh ikan milik penduduk setempat tertata rapi. Perahu merapat ke dermaga dan kami pun tiba di pulau mungil itu. Lantaran Mamburit bukanlah spot turisme, barangkali satu-satunya yang bisa kami kunjungi adalah mercusuar tua yang tampak dari seberang sore kemarin.

Menara suar itu sepertinya sudah uzur. Besi-besi penyangganya digerogoti karat. Entah sejak tahun berapa ia telah berdiri di situ. Wajar jika di sampingnya, sebuah mercusuar baru tengah dibangun. Para pekerja berseliweran mengangkut material bangunan. Mereka mempersilakan saya melihat-lihat area konstruksi. Menara tersebut tentu sangat penting bagi lalu lintas laut di perairan Kangean. Tanpa cahaya mercusuar, bisa-bisa banyak kapal kandas atau menabrak karang. 

Meski bukan destinasi wisata, Mamburit punya pantai berpasir putih dan lautnya toska sempurna. Bentangan terumbu karang terlihat saat saya menengok sekeliling dari puncak menara. Kami berkeliling hingga tengah hari lalu menyeberang kembali ke Kangean.

Di jalan menuju hotel, beberapa kali kami menepi dan mengamati bentang alam sisi barat Kangean. Pohon-pohon jati tumbuh subur di sini dan menghasilkan kayu berkualitas top. Sesekali, kami juga menjumpai sawah-sawah subur dan tambak udang. Saya jadi penasaran, bagaimana dengan sisi timur pulau? Ada apa saja di sana?

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-Jalan ke Kangean (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/feed/ 0 42991
Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/ https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/#comments Thu, 22 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42540 Satu dekade lalu, bersama kawan-kawan kuliah, saya menyibak jenggala untuk menangkap kupu-kupu demi keperluan riset. Berbekal jaring dan kamera, kami mempelajari serangga tersebut. Lalu, saya kagum pada arthropoda bersayap itu dan mulai gemar mengamati mereka...

The post Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu dekade lalu, bersama kawan-kawan kuliah, saya menyibak jenggala untuk menangkap kupu-kupu demi keperluan riset. Berbekal jaring dan kamera, kami mempelajari serangga tersebut. Lalu, saya kagum pada arthropoda bersayap itu dan mulai gemar mengamati mereka di kala luang. Sayangnya, tak semua tempat dihuni kupu-kupu cantik. Hutan dengan berbagai jenis tumbuhan merupakan surga bagi aneka ragam lepodiptera (bangsa kupu-kupu dan ngengat). Tak pernah terpikir di benak saya untuk melihat kupu-kupu di dalam sangkar.

Hari masih baru di Denpasar dan saya sudah bimbang. Pagi itu saya berencana mengunjungi taman kupu-kupu. Akan tetapi, Bali punya dua tempat seperti itu dan keduanya lumayan jauh dari Denpasar. Usai menimbang-nimbang, saya memilih untuk pergi ke Kemenuh Butterfly Park di Gianyar.

Motor Astrea tua menemani perjalanan saya kali ini. Lambat bukan masalah. Saya hanya berharap ia tak mogok. Sambil melaju santai, saya berpikir soal tempat yang hendak saya tuju. Taman kupu-kupu? Yang benar saja. Ayolah, kupu-kupu melintas setiap saat dan orang tak peduli. Siapa yang mau membayar untuk melihat serangga terbang itu? Akan tetapi, ini Bali. Jika saya turis Barat yang penasaran dengan eksotisme negeri tropis, membayar beberapa dolar saja tak jadi soal.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Kemenuh Butterfly Park Gianyar/Asief Abdi

Google Maps membimbing saya melintasi jalur-jalur kecil. Sawah di tepi jalan membentang. Sekawanan kuntul berkumpul, mengincar serangga atau katak yang bersembunyi di balik rerumputan. Jika tempo hari saya menemukan ladang pacar air saat berkunjung ke Tabanan, di Gianyar saya disuguhi kebun pandan. Namun, itu bukan jenis pandan yang biasa digunakan sebagai pewarna makanan. Seperti pacar air, daun pandan juga merupakan elemen canang.

Matahari bersinar terik saat saya memasuki area parkir Kemenuh Butterfly Park. Biasanya saya mengutuk panasnya hari, tetapi tidak kali ini. Kupu-kupu akan lebih aktif saat langit cerah. Saya tentu tak mau membayar untuk melihat mereka bermalas-malasan. Tapi cahaya benar-benar menyilaukan. Saya ambil kacamata hitam dari saku, mengenakannya, dan bercermin di spion. Kini saya benar-benar terlihat seperti turis.

“Dari mana, Mas?” tanya petugas loket.

“Madura,” jawab saya.

Saya rogoh saku celana dan menyerahkan selembar uang biru muda. Ia memberikan tiket masuk. Di situ tertera tarif untuk wisatawan asing, Rp150.000. Jika mengaku dari Denpasar atau wilayah lain di Bali, mungkin tarifnya akan lebih murah. Tapi tak apa. Saya mengucap suksma (terima kasih) lalu melangkah masuk.

Tunggu, di mana kupu-kupunya? Tempat ini tak ubahnya taman biasa. Di depan, para turis kulit putih berjalan santai sambil melihat bunga yang ditanam di sekitar. Saat saya melihat sekeliling, sekelebat gerakan tertangkap pandangan. Itu seekor kupu-kupu biru. Oke, di mana sisanya? Saya terus menapaki jalur dan tiba di depan sebuah sangkar besar. Lagi-lagi sebuah tirai mengadang. Rupanya, ini baru permulaan. Saya menyibaknya dan melangkah masuk.

  • Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
  • Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata

Kupu-kupu dalam Sangkar

Sangkar itu dipenuhi bunga. Kupu-kupu beterbangan, mengepakkan sayapnya di antara kuntum-kuntum kembang. Seorang bule di depan saya tampak antusias dengan pemandangan di hadapannya. Jujur saja, saya tak terlalu kaget dengan aneka jenis kupu-kupu di tempat ini. Tapi, saya toh tetap membidikkan kamera. Rasanya masih sama seperti masa-masa kuliah dulu.

Hampir semua jenis kupu-kupu di taman ini sudah pernah saya lihat sebelumnya. Mulai dari spesies langka dan dilindungi seperti Troides helena hingga yang lazim macam Papilio memnon. Meski begitu, kembali melihat mereka rasanya menyenangkan. Ini nostalgia. 

Saya foto satu per satu serangga itu. Beberapa kupu-kupu terbang terlalu cepat, saya kesulitan. Di samping saya, bule tadi juga mengeluarkan kamera saku dan mencoba memotret seekor kupu-kupu. 

“Too fast, huh?” sapa saya.

“Yes. I saw you take a picture of them and that seems fun,” jawabnya.

“Where are you from, Ma’am?

“I’m Dutch, Belanda.”

Kami mengobrol sambil menengok sekitar. Agaknya, wisatawan asing tertarik pergi ke tempat semacam ini karena mereka tak punya banyak kupu-kupu menarik di negerinya. Lebih-lebih, di benua empat musim macam Eropa, tampaknya, kupu-kupu tak bisa terbang setiap saat. Barangkali hanya di musim semi dan musim panas mereka bebas mengepakkan sayap. 

“That’s monarch butterfly,” seru saya menunjuk seekor kupu-kupu di udara.

“I think we have that such species there,” tanggap dia.

Saya mengikuti seekor kupu-kupu biru. Itu Papilio peranthus. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya berhasil menjepretnya dengan lensa kamera. Hey, if they’re too fast, maybe you can look at this,” kata si bule. Saya mengalihkan pandangan. Di depan saya terpampang insektarium raksasa dengan berbagai jenis spesimen, entah asli atau buatan.

Nice, dead butterfly,” tanggap saya sembari tertawa. Tak lama, saya beranjak ke ruang berikutnya, yakni ruang penetasan.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Si kupu-kupu biru (Papilio peranthus)/Asief Abdi

Metamorfosis dan Hidup yang Singkat

Terdengar sedikit aneh. Saya pikir “ruang metamorfosis” lebih pas dan menarik. Ruangan ini berisi pupa dan kepompong lepidoptera (pupa untuk kupu-kupu, kepompong untuk ngengat). Dari kantung-kantung tersebut, kupu-kupu muda merayap dengan sayap keriput. Mereka bergeming sejenak hingga sayapnya cukup kuat memukul udara. Di samping kotak-kotak berisi bayi lepidoptera, seseorang menghampiri saya. Ia Tute, pemandu di Kemenuh Butterfly Park.

Pemuda itu memberi tahu saya bahwa taman ini sudah buka sejak lima tahun lalu dan menyimpan lima belas jenis kupu-kupu lokal. “Dulu tempatnya bukan di sini, baru tahun ini kami pindah kemari,” jelas dia. Serangga-serangga di taman ini dikembangbiakkan di suatu tempat di Negara. Lalu, begitu ulat-ulat berubah menjadi pupa atau kepompong, mereka dipindahkan ke sini. Tuta mengatakan bahwa jumlah yang dikirim bisa mencapai 2.500 ekor tiap minggu. Saya mengamati sangkar berisi kantung-kantung berkilau itu sambil membidikkan lensa.

“Sudah ke mana saja di Bali, Mas?” tanyanya.

“Ke Danau Batur, Kintamani, Kuta, dan Tabanan,” jawab saya.

“Wah, bener, Mas. Kalau mau lihat Bali yang bener-bener Bali, ya, ke tempat-tempat seperti Kintamani dan sekitarnya itu. Kalau Denpasar sudah tak seperti Bali lagi.” 

Ia benar, Denpasar terlampau bising. Saya benar-benar merasa di Bali saat melawat ke Kintamani, ketika sepanjang jalan saya kesulitan mencari masjid untuk salat sebab hanya pura yang berjejer di pinggir jalan.

Serombongan orang kulit putih datang. Tuta dengan sigap menyambut mereka dengan bahasa Inggris yang fasih. Pemuda itu mengajak turis-turis tersebut mengobrol dan menjelaskan isi ruangan dengan baik. Setelah beberapa menit, dia pamit karena ini waktunya istirahat. “Mas, saya pamit dulu, mau istirahat. Kalau mau tanya-tanya nanti sama teman saya yang gantiin, namanya Gosman,” katanya. Saya mengacungkan jempol dan kembali mengambil gambar.

Gosman bertubuh gempal, kulitnya cokelat gelap. Sama dengan Tuta, ia juga fasih bicara Inggris. Ia membawa kami semua ke kotak berisi kepompong Attacus atlas, si ngengat raksasa. Saat saya masih kanak-kanak, saya sering melihat serangga itu terbang di dekat lampu saat malam. Dulu saya menyebutnya “kupu-kupu gajah”. Namun, sekarang saya nyaris tak pernah melihatnya lagi.

So this moth lives only for five days. They don’t even have a mouth to eat,” tutur Gosman pada kami semua dengan seekot ngengat di tangannya. Orang-orang kulit putih tampak takjub. Saat mencapai fase imago (dewasa), tugas makhluk itu hanya mencari pasangan, kawin, dan bertelur sampai cadangan makanan dalam tubuhnya habis dan mereka pun mati.

Benar-benar hidup yang singkat. Sepotong lirik lagu Scorpion terlintas di kepala. And you run, cause life is too short.

Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata
Kupu-kupu gajah baru keluar dari kepompong/Asief Abdi

Serangga di Zaman Antroposen

Selama berada di taman, tak ada turis domestik yang masuk. Mungkin benar, tak ada orang lokal yang mau membayar mahal untuk sekadar melihat kupu-kupu. Bahkan, seringkali kita mengabaikan makhluk bersayap itu. Padahal, seperti lebah, kupu-kupu juga penting bagi ekosistem. Mereka merupakan serangga penyerbuk yang menjaga siklus hidup flora di bumi. Dan kabar buruknya, kebanyakan dari kita benci serangga.

National Geographic secara khusus membahas soal serangga dalam majalahnya yang terbit Mei 2020 lalu. Tak tanggung-tanggung, mereka menyematkan judul Kiamat Serangga dengan sampul bergambar kupu-kupu pada edisi tersebut. Ternyata, beberapa penelitian menemukan bahwa populasi serangga di berbagai lokasi menurun. Saya bahkan lupa kapan kali terakhir melihat kunang-kunang. Tentu saja. Alih fungsi habitat dan penggunaan pestisida merongrong ruang hidup insekta di muka bumi. Perubahan iklim turut mengancam eksistensi mereka. Edward O Wilson, seorang ahli biologi, mengatakan bahwa jika manusia lenyap, bumi akan kembali ke kondisi ekuilibrium seperti sepuluh ribu tahun silam. Namun, kalau serangga musnah, bumi bakal jatuh dalam kekacauan ekologis. Benar juga, bumi bisa hidup tanpa manusia, tapi tidak tanpa serangga.

Saya melangkah keluar dari ruang metamorfosis—ya, saya lebih suka istilah itu. Rupanya, sebatas ini isi Kemenuh Butterfly Park. Saya melihat sekeliling, kupu-kupu beterbangan. Beberapa bersembunyi di balik dedaunan, mungkin lelah.

Tunggu, apa saya baru saja membayar Rp50.000 untuk sekadar melihat kupu-kupu? Bukankah ini buruk? Bagaimana jika kelak saya harus benar-benar membayar mahal lantaran tak ada lagi kupu-kupu yang tersisa di sekitar? Ah, semoga tidak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksotisme Lepidoptera Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksotisme-lepidoptera-pulau-dewata/feed/ 1 42540
Suka Duka di Negeri Para Naga https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/ https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/#respond Fri, 31 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42071 Pada 2020 lalu, di Bima, saya terdiam memandangi layar ponsel. Saya amati Google Maps. Betapa dekat posisi saya dari Pulau Komodo. Hanya selat Sape yang memisahkan daratan di bawah kaki saya saat itu dengan negeri...

The post Suka Duka di Negeri Para Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada 2020 lalu, di Bima, saya terdiam memandangi layar ponsel. Saya amati Google Maps. Betapa dekat posisi saya dari Pulau Komodo. Hanya selat Sape yang memisahkan daratan di bawah kaki saya saat itu dengan negeri para naga. Namun, sayang sekali, saya harus pulang dan membiarkan rasa penasaran akan pulau-pulau ajaib tersebut mengendap.

Hasrat saya akan Pulau Komodo menemukan muaranya tahun ini. Tidak, saya tak pergi ke sana—setidaknya belum. Akan tetapi, buku terbaru Fatris MF cukup memberi saya secuil gambaran akan negeri kadal raksasa itu. 

Di Bawah Kuasa Naga adalah buku setebal 136 halaman yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Isinya catatan perjalanan Fatris ke Taman Nasional Komodo, lengkap dengan hasil jepretan kamera yang menyokong cerita. 

Di halaman awal, saya mengalami momen dejavu. Pasalnya, di situ terpampang peta Asia Tenggara. Setitik noktah merah menunjukkan letak Taman Nasional Komodo di antara gugusan daratan-daratan lain. Memori saya sontak terlempar ke empat tahun lalu. Di halaman sebelumnya, foto seorang bocah menyapa lewat sorot mata polosnya. Setelah itu, saya diajak penulis mengingat jejak komodo dalam ingatan orang Indonesia. Sesuatu terngiang di kepala. Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat

Tak berlebihan rasanya jika menyebut travelog Fatris sebagai etnografi. Pasalnya, ia tak melulu berkisah soal komodo, tetapi juga kondisi masyarakat di pulau gersang itu. Melalui tulisannya, pembaca diajak berkeliling, duduk-duduk, tidur-tiduran, dan mengobrol bersama penduduk sekitar sambil mendengarkan tutur cerita mereka. 

Meski begitu, sang penulis tidak meromantisasi negeri ajaib itu, seperti lazimnya buku panduan wisata atau program-program televisi yang seringkali menyiarkan eksotisme kawasan pelosok. Dia tak hanya menyibak permukaan, ia menyelam lebih dalam.

Suka Duka di Negeri Para Naga
Sampul depan buku terbaru Fatris MF, Di Bawah Kuasa Naga/Asief Abdi

Kuasa Absolut Sang Naga

“Dunia modern telah menetapkan dia sebagai naga terakhir yang masih hidup di muka bumi, dan naga terakhir ini telah menjadi berhala dunia modern. Ia dikunjungi, dipuja, dibuatkan patung, dilindungi, setengah disembah. Untuk keberlangsungan hidup ribuan naga ini, ribuan manusia siap ditumbalkan. Hingga hari ini, naga itu menentukan nasib ribuan manusia.” (hal. 5).

Kalimat tersebut menjadi titik tolak Fatris bercerita soal suka duka di pulau tempat manusia dan komodo hidup berdampingan. Judul yang dipilihnya sangat pas dengan situasi yang ia amati. Lewat buku ini, Fatris memberitahu kita bahwa di negeri tersebut, komodo adalah kunci.

Catatan perjalanan Fatris dimulai dari Labuan Bajo. Dengan apik, ia menggambarkan transformasi kawasan itu dan keadaannya dalam lipatan pandemi. Saya bisa membayangkan jalanan lengang, kapal-kapal tertambat lesu, dan udara kering Nusa Tenggara Timur.

Ia pun menyeberang ke Pulau Rinca dan Komodo. Si penulis memang berniat melihat komodo. Itu pasti. Jika saya berlayar ke tempat itu, saya pun bakal begitu. Namun, sebagai seorang penulis kawakan, Fatris tak sekadar berjalan-jalan di sabana tandus dan melintasi laut bersama warga lokal, ia juga menjelajahi dimensi lain yang kerap luput dari kacamata wisatawan.

Selain menjejaki alam sekala, Fatris turut menyelami jagad niskala penduduk setempat yang sejak mula sudah hidup bersama sang naga. Ia menggali mitos lokal dan mengulik hubungan mereka dengan komodo yang totemis. Lewat percakapannya dengan Fatima, ia mengajak pembaca memahami mengapa orang-orang Rinca bisa tinggal berbagi ruang dengan kadal-kadal bersisik tebal itu dan ogah pindah walau bahaya bisa nongol kapan saja di kolong rumah mereka.

“ ‘Sabai, Piong ahu… punga. Lepas aku. Kita sama-sama komodo, saya tidak jahat sama kamu, saya hanya mengambil daun kayu. Falidi, pulang sana,’ kata Fatima dalam bahasa Komodo, pulau tempat nenek moyang komodo konon berasal, juga pulau tempat Fatima berasal.” (hal. 99).

Namun, Fatris menaruh perhatian lebih pada persoalan pariwisata. Sebab komodo tak bisa dipisahkan dari turisme. Sail Komodo, agenda masif pariwisata yang dielu-elukan tersebut, yang tampaknya akan membawa angin segar bagi warga sekitar taman nasional, nyatanya tak seindah itu. Melalui obrolannya bersama warga, sang penulis menyibak situasi sosial ekonomi masyarakat lokal di balik ingar bingar wisatawan.

Dengan telaten, Fatris mendengarkan suara-suara yang selama ini tak pernah terdengar. Kisah-kisah yang selama ini tersapu hegemoni wisata komodo. Ia memaksa saya berpikir ulang soal upaya konservasi di daerah itu. Juga perkara siapa yang paling diuntungkan dari aktivitas wisata gila-gilaan ini.

“ ’Membanggakan? Menebang kayu susah, berkebun susah, melaut susah, banyak aturan. Taman Nasional nol rupiah buat kami. Sekarang nenek-nenek kami sudah mulai diusir satu per satu. Kami mau diusir dari pulau kami,’ kata Muhammad Nur lagi.” (hal. 106).

Saya bisa membayangkan sang penulis duduk-duduk di kolong rumah bersama warga lokal, mengangguk-anggukkan kepala. Dia menyimak dengan saksama, lalu menarasikan kembali semua yang ia dengar dengan apik hingga mampu menggugah empati pembaca. Sampai-sampai saya merasa iba pada para pedagang yang menggantungkan nasib pada turis.

“Pedagang memanggil, ‘Mari, silakan masuk, Bapak, Ibu, ada kaos, ada kaos bagus!’ Namun, tak ada seorang pun turis yang menggubris. Mereka hanya berlalu setelah berhasil melihat komodo sambil menenteng minuman sendiri, lalu berfoto-foto, jepret sana jepret sini, lalu naik pinisi lagi, dan berlayar entah ke pulau mana lagi. Di laut depan gapura Loh Liang, belasan pinisi melego jangkar, menurunkan turis dan menaikkannya lagi, datang dan pergi. Sulit untuk membayangkan wisatawan-wisatawan itu akan singgah di warung Nur maupun warung-warung lusuh lain yang berjejer di situ untuk menikmati Nutri Sari es atau meminum kopi saset dicampur kental manis.” (hal. 106).

Suka Duka di Negeri Para Naga
Corat-coret penulis dan foto pembuka/Asief Abdi

Foto-foto Penting yang Menopang Cerita

Selain gaya bahasa yang anggun, kekuatan buku ini juga terletak pada foto. Puluhan hasil bidikan lensa Fatris dalam bukunya menopang keseluruhan isi cerita. Tentu bukan perkara sederhana seorang fotografer mampu berjarak sedekat itu dengan subjeknya. Butuh rasa saling percaya antara keduanya dan itu perlu waktu. Lewat gambar-gambar memukau, pembaca diajak menengok keseharian warga Rinca dan Komodo. Saya tak bisa membayangkan buku ini tanpa foto-foto itu. Rasanya pasti akan hambar.

Di bagian akhir, sebuah gambar berbentuk siluet burung menutup cerita. Saya teringat foto burung gagak di lembar depan. Makhluk berbulu hitam itu, seperti kita tahu, lekat dengan pertanda buruk. Barangkali, sang penulis tak menampilkan sosok itu sebagai citra visual belaka. Boleh jadi, gagak mewakili pandangan muram penulis akan apa yang dilihatnya di tanah ranggas itu.

Walau demikian, Di Bawah Kuasa Naga tetap menarik. Pada akhirnya, buku ini bukan tentang Varanus komodoensis, melainkan tentang orang-orang yang hidup bersama makhluk purba itu. Dengan wawasan mumpuni dan narasi yang sastrawi, Fatris berhasil membuat tulisan yang enak dibaca perihal geliat pariwisata di Taman Nasional Komodo berikut kompleksitasnya. Sesuatu yang jarang kita temui di media-media arus utama. Buku ini merupakan karya Fatris MF pertama yang saya baca. Dan sepertinya, saya harus membaca tulisan-tulisan dia yang lain.


Judul: Di Bawah Kuasa Naga
Penulis: Fatris MF
Penerbit: Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xxvii + 138 halaman
ISBN: 978-623-7904-87-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suka Duka di Negeri Para Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suka-duka-di-negeri-para-naga/feed/ 0 42071
Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/ https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/#respond Wed, 22 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41986 “Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa.Ayat-ayat kehidupan terpatri di dalam kulit mereka.” Luh Gede Saraswati Putri tentu tak asal-asalan menulis bait puisinya yang bertajuk Kekasih Teluk itu. Sebagai orang Bali, ia kenal betul...

The post Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>

“Agamaku tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa.
Ayat-ayat kehidupan terpatri di dalam kulit mereka.”

Luh Gede Saraswati Putri tentu tak asal-asalan menulis bait puisinya yang bertajuk Kekasih Teluk itu. Sebagai orang Bali, ia kenal betul kampung halamannya. Di Pulau Dewata, pohon-pohon besar berdiri kokoh, tinggi menjulang dengan kain poleng melilit. Warga mendirikan pura di bawah naungannya, tempat mereka menyembah Sang Hyang. Tak seorang pun tahu setua apa pohon-pohon itu. Barangkali mereka sudah hidup di sana sejak awal mula waktu. Maka, begitu mendengar tentang pohon berusia tujuh abad, saya tak bisa menahan diri. Saya harus melihatnya.

Awan hitam bergelayut di langit Denpasar saat saya hendak beranjak. Padahal hari masih baru. Saya mengecek bagasi motor, memastikan jas hujan sudah di situ. Kebasahan di jalan jelas bukan pilihan. Setelah memastikan semuanya aman, saya berangkat. Sesuai dugaan, begitu meninggalkan kawasan kota, hujan turun. Saya menepi, mengenakan mantel lalu kembali melaju sambil mengumpat. Helm keparat ini tak ada kacanya!

Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata
Jalanan Desa Tua/Asief Abdi

Pohon yang Viral

Kayu Putih, begitu kata orang. Ia disebut-sebut sebagai pohon tertua di Bali. Pohon bertuah itu sempat viral usai seorang bule Rusia berfoto telanjang di depannya dua tahun lalu. Warganet mengutuk aksi perempuan itu dan menuntut ia ditertibkan. “Bali tidak perlu turis sampah!” komentar seorang warganet. Pihak desa adat pun harus menggelar upacara pembersihan agar tak kena tulah. Lalu, turis itu dideportasi.

Kayu Putih berlokasi di Tabanan, sekitar satu jam perjalanan dari Denpasar. Udara semakin sejuk seiring jalur yang menanjak. Di tepi jalan, penjual durian menjajakan dagangan. Berkat arahan Google Maps, akhirnya saya tiba di persimpangan pamungkas.

Jalan menurun, memaksa saya menekan tuas rem. Saya harus hati-hati. Setelah diguyur hujan, jalanan pasti licin. Area di sekitar jalur desa itu dikelilingi bambu—saya tak akan melewati tempat ini di malam hari. Lepas dari rumpun bambu, tampak petak-petak kebun yang ditanami pacar air. Sepertinya, warga menanam tumbuhan itu untuk dibuat canang. Bunga pacar air merupakan salah satu elemen sesajen.

Tidak sulit menemukan objek wisata—Kayu Putih digagas menjadi spot turisme pada 2013 silam—ini. Penunjuk jalannya terpampang begitu saya memasuki Desa Tua. Pohon keramat itu bersebelahan dengan pura desa, yakni Pura Babakan. Karena terletak di Banjar Bayan (banjar adalah wilayah administratif setingkat RW), ia dijuluki Bayan ancient tree. Saya bergegas memarkir motor dan melihat pohon itu dari dekat. 

Di sebuah pos kecil, seseorang menyambut pengunjung. “Isi dulu,” katanya sambil menunjuk daftar tamu. Lelaki berkaca mata itu adalah I Wayan Bagia, salah satu pengurus Pura Babakan. Saya membubuhkan nama dan merogoh saku celana untuk donasi. Pihak pengelola tidak menarik uang karcis. Para turis cukup memberi derma seikhlasnya untuk desa. 

Usai mengucap suksma (terima kasih), saya melangkah ke arah sang pohon. Ia besar sekali. Batangnya bongsor. Mantap dan ajek. Akarnya beralur, membentuk lempeng-lempeng yang menancapkan diri ke bumi. Di lengan putihnya, burung-burung berlompatan. Saya ambil teropong dari ransel. Itu bondol dan perling. Saya merasa kerdil, seperti kurcaci di kaki raksasa. Jadi, ini pohon purba itu. 

Jika orang menyebutnya “Kayu Putih”, pastilah karena warna batang pohon ini. Akan tetapi, itu tak menunjukkan spesiesnya. Ia sama sekali bukan kayu putih. Melaleuca leucadendra, kayu putih yang sesungguhnya, bentuknya tidak begini. Dari perawakannya yang megah, saya yakin pohon di hadapan saya berasal dari suku Moraceae, satu kerabat dengan beringin. Ia pasti Ficus. Besar kemungkinan raksasa di depan saya ini adalah Ficus albipila, sang ara ratu. Rupanya memang sudah takdir Moraceae untuk dipuja lantaran keagungannya. Saya teringat pohon ara dan bodi yang juga sakral di kebudayaan lain. 

Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata
Informasi arah menuju objek wisata Kayu Putih/Asief Abdi

Orang Bali dan Pohon

Ketika tengah sibuk mengambil gambar, seseorang menyapa saya. Ia wisatawan asal Denpasar, namanya Sujarwo. Kami pun berbincang perkara pohon.

“Kata orang Bali, pohon besar itu punya penunggu. Lagipula, kami menghormati tumbuhan sebab berkat mereka kita semua bisa bernapas,” paparnya. Saya teringat hantu Banaspati penghuni pohon kepuh. Sepertinya, kisah demit penghuni pohon masih punya marwah di sini. Selain itu, filosofi tradisional tampaknya turut memupuk rasa sayang warga pada tumbuhan.

Orang Bali mengenal konsep tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), sebuah falsafah kehidupan yang menganjurkan mereka agar menjaga hubungan dengan Tuhan, sesama insan, dan lingkungan. Hanya jika ketiganya selaras, antara yang sekala dan niskala, manusia bisa mencapai kebahagiaan sejati. Laku takzim masyarakat Bali di hadapan pohon-pohon besar mungkin merupakan implementasi dari ajaran tersebut. Lebih-lebih, pohon punya status penting bagi umat Hindu.

Dalam kosmologi Hindu, beberapa jenis pohon diasosiasikan dengan dewa-dewi tertentu. Lagi pula, pesan untuk bersikap welas asih terhadap pohon tertulis dalam kitab suci Hindu. Berikut kutipan dari Regweda:

“Jangan ganggu pepohonan. Jangan mencabut atau memotongnya. Mereka menyediakan perlindungan bagi binatang, burung, dan makhluk hidup lainnya.”

Tak ada metafora. Pesan itu begitu gamblang. Hanya orang bodoh yang gagal memahaminya.

Meski begitu, pohon-pohon yang dianggap keramat rupanya hanya jenis-jenis tertentu dan biasanya berukuran raksasa. Ketika mengobrol dengan Pak Wayan, ia menegaskan soal itu. “Di Bali, pohon-pohon besar memang disakralkan, seperti beringin, pule, dan kepuh,” kata dia.

Kepuh memang sering saya lihat selama berada di Bali. Selain itu ada juga pokok-pokok besar yang saya tak tahu namanya, entah itu trembesi, pakel, atau apa. Saya tidak yakin. Mereka menaungi pura dan setra (kuburan), atau tumbuh begitu saja di pinggir jalan.

Pohon di Kepala Manusia

Agaknya, pohon punya makna khusus bagi alam ide manusia. Ia terpatri sebagai simbol dalam ketidaksadaran kolektif kita. Jangan-jangan, alih-alih digerakkan kesadaran, kedatangan saya dan wisatawan lainnya kemari malah dituntun ketaksadaran. Begitu pula masyarakat Bali yang mengeramatkan pohon. Mereka ditarik oleh apa yang disebut Carl Jung sebagai arketipe. Tampaknya, pohon bermakna perlindungan, seperti kata Regweda. 

Kala nenek moyang masih hidup liar di hutan atau sabana, pohon melindungi mereka dari terik dan hujan. Lain dari itu, pohon juga menyediakan pangan dan obat. Mungkin, nalar tersebut mengendap di alam bawah sadar Homo sapiens. Seperti yang ditulis bule bugil Rusia lewat unggahannya di Instagram sebelum foto syurnya itu mengundang petaka baginya. Ia menulis: 

Bisakah kau dengar itu? Di dalam dirimu, tak hanya ada suaramu. Suara leluhurmu juga ada di sana. Mereka ada dalam darah, jiwa, dan rupamu. Kadang, mereka berpikir dan bicara melaluimu.”

Dalam film Pocahontas, pohon digambarkan sebagai sosok bijaksana. Nenek Dedalu, begitu Pocahontas menyebutnya, merupakan kawan curhat gadis Indian itu sekaligus pemberi petunjuk. 

Sebagai objek wingit, Kayu Putih tak lepas dari kisah mistis yang mampu membuat bulu roma meremang. Konon, pada waktu tertentu, terdengar alunan gamelan dari pohon itu. Warga percaya bahwa di bawah pokok besar itu, terkubur satu set gong bersama benda pusaka lainnya yang dipendam leluhur desa mereka sekian abad lampau. Pengunjung diharap menjaga sikap saat memasuki lokus kudus ini. Jangan serampangan. Ingat, manusia didepak dari Taman Eden lantaran sembarangan memetik buah pohon pengetahuan. Namun, apa rasa hormat hanya untuk yang keramat? Saya pikir tidak.

Di bawah bayang-bayang krisis iklim macam sekarang, hidup selaras dengan alam adalah kunci. Maka, konsep tri hita karana saya rasa pas untuk diterapkan semua orang, penganut Hindu Bali atau bukan. Semua pohon layak dihormati, lingkungan hidup patut dijaga. Ini bukan laku antropomorfis, melainkan penghargaan kepada yang hidup. Sebab kebanyakan dari kita adalah John Smith dalam film Pocahontas. Ia memandang alam sebagai benda mati yang bisa diisap sekehendak hati. Ada baiknya mengingat kembali kidung Pocahontas:

Kaupikir kau berhak atas tanah mana pun yang kaupijak
Bumi sekadar benda mati yang bisa kaukuasai
Namun aku tahu, setiap batu, dan pohon, dan makhluk
Punya kehidupan, punya  jiwa, punya nama

Langit kian kelam. Kelihatannya sebentar lagi hujan akan kembali turun. Saya melangkah menuju pos tempat Pak Wayan bertugas. Dia sedang mengobrol dengan seorang pria kulit putih. Ini musim liburan, ia pasti sibuk menyambut pengunjung. Saya menyapanya, menangkupkan tangan seraya mengucap suksma, lalu melangkah, menjauh dari naungan sang ara ratu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayu Putih, Sang Ara Ratu Pulau Dewata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayu-putih-sang-ara-ratu-pulau-dewata/feed/ 0 41986
Estetika Made Bookshop Bali https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/ https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/#respond Fri, 05 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41611 “Tak ada teman seloyal buku,” kata Ernest Hemingway. Pak Tua itu benar. Tanpa buku, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat bepergian. Ketika harus menghemat baterai di bus atau kehilangan sinyal di kapal, buku benar-benar...

The post Estetika Made Bookshop Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak ada teman seloyal buku,” kata Ernest Hemingway.

Pak Tua itu benar. Tanpa buku, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat bepergian. Ketika harus menghemat baterai di bus atau kehilangan sinyal di kapal, buku benar-benar menemani saya mengarungi waktu. Maka, saat berada di Bali dan haus bacaan, saya bergegas mencari toko buku. Alih-alih mengunjungi Gramedia dan Periplus, saya malah pergi ke sebuah kios buku bekas di kawasan Seminyak.

Ditemani Kelik, saya melibas kota Denpasar yang penuh kendaraan. Matahari membakar di atas kepala. Aneh, mestinya langit tak seterik ini. Ayolah, ini musim hujan. Ke mana perginya mega-mega? Udara kian mendidih oleh asap knalpot. 

Kelik meliukkan motor, mencari celah meski susah. Jalanan itu macet. Mobil-mobil mengular di persimpangan, menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Seorang bule marah-marah di tengah jalan dengan motor N-Max teronggok di aspal. Kacau sekali. 

“Wah, ada bule jatuh,” kata saya.

“Ya, gitu. Kadang mereka itu ngawur,” jawab Kelik.

Saya teringat video viral bule-bule yang bertingkah seenak jidat di Bali. Kelakuan mereka kadang aneh-aneh, mulai dari telanjang di pohon, memelorotkan celana di gunung, sampai ugal-ugalan di jalan. Belakangan, malah ada yang memukul seorang pegawai vila. Apa di mana-mana orang kulit putih merasa superior?

Lepas dari hiruk piruk kota, kami menyusuri jalur kecil menuju Pantai Seminyak. Seperti Legian, area itu penuh kafe dan bar dengan turis berseliweran. Saat motor melaju pelan di jalan sempit, saya melihat sesuatu. Itu penunjuk arah dengan tulisan “Book Shop, All World Language’”. Rupanya kami sudah dekat. Lalu, dua atau tiga tikungan setelahnya, kami tiba di Made Bookshop.

Estetika Made Bookshop Bali
Tiba di Made Bookshop/Asief Abdi

Buku-Buku Bekas yang Estetis

Toko itu sederhana. Barangkali ukurannya hanya lima meter persegi, bersebelahan dengan kedai kopi dan resto kecil. Parkiran sepi. Tampaknya belum ada pengunjung. Saya melangkah masuk dan disambut buku-buku yang berjejalan. Di belakang rak, seseorang sedang sibuk memilah buku. Usai menyapa dengan seutas senyum dan ucapan “halo”, ia kembali sibuk bekerja. Dialah Made Sutomo, sang pemilik toko.

Di ruang sempit dan redup itu, tumpukan buku memenuhi setiap sudut. Buku-buku tersebut ditata rapi dan dipilah berdasarkan bahasanya: Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Skandinavia, dan entah bahasa apa lagi yang luput dari pengamatan saya. Luar biasa, seluruh dunia bisa muat di bilik sempit ini.

“Dari mana semua buku ini, Pak?” tanya saya.

“Saya dapat dari orang hotel. Banyak turis meninggalkan bukunya saat check out. Ada juga donasi dari bule,” jawabnya sambil tetap bekerja. Minat baca di luar sana rupanya memang lebih baik daripada negeri ini. Saya tidak kaget jika wisatawan Barat membawa buku saat melancong. Saya lebih heran mereka bisa meninggalkannya begitu saja.

Estetika Made Bookshop Bali
Toko buku bekas Made Bookshop di Seminyak/Asief Abdi

Semua buku di Made Bookshop merupakan barang bekas. Meski begitu, semuanya asli. Bukan bajakan—apalagi fotokopian. Mungkin, itulah kelebihannya dibanding toko buku-toko buku besar di Denpasar yang menjual buku anyar. Ini semua barang antik. Lembar-lembar yang sudah berubah warna lantaran digerogoti waktu justru menambah estetika buku-buku bekas itu.

“Selain murah, buku bekas punya banyak kelebihan,” ujar Pak Made.

“Oh, ya? Kenapa, Pak? Karena antik?” jawab saya sambil membuka buku yang kertasnya menguning.

“Ya, itu juga salah satunya. Ada juga lainnya.”

Pak Made menghentikan sejenak pekerjaannya. Menatap saya dengan matanya yang sipit, lalu menjelaskan.

“Kalau buku baru, selain mahal, belum tentu ada yang baca. Nah, kalau buku-buku ini, kan sudah pasti ada yang baca,” jelas dia.

Boleh juga pemikiran Pak Made. Lagipula, buku-buku di tokonya memang dijual dengan harga murah. Toko buku besar layak memperhitungkan Made Bookshop sebagai saingan. Menurutnya, turis lebih suka membeli buku bekas. Pak Made bahkan membolehkan pelanggan menukar buku yang sudah dibeli dengan buku lain dengan membayar selisih harganya saja.

“Orang kalau baca buku biasanya cuma sekali. Begitu selesai disimpan di sini,” katanya sambil menunjuk pelipis. Saya teringat buku-buku di kamar. Kebanyakan hanya saya baca satu kali. Barangkali suatu saat saya harus menjualnya juga.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. “Ada buku Eat, Pray, Love, Pak?”

“Wah, sudah laku. Kemarin ada itu.”

Sayang sekali, padahal saya ingin sekali membacanya. Merasakan Bali di halaman-halamannya. Sebelum bertolak ke Bali, saya sempat menonton film yang diadaptasi dari novel itu. Boleh dibilang, film itu membawa saya kemari. 

Saya kembali memilih buku, siapa tahu ada penulis yang saya kenal. Tunggu, apa itu? Ernest Hemingway. Ah, tetapi berbahasa Prancis.

“Hemingway yang bahasa Inggris ada, Pak?”

“Wah, enggak tahu, ya. Saya enggak hafal nama-nama penulis. Kalau buku populer macam Eat, Pray, Love saya tahu.”

Estetika Made Bookshop Bali
Pak Made di meja kerjanya/Asief Abdi

Sekadar Berbisnis Buku

Sepertinya Pak Made bukan penggila buku. Ia hanya pedagang biasa. Apa yang dia lakukan tak ada hubungannya dengan misi-misi romantis soal literasi yang kerap digaungkan orang. Ia sekadar mencari uang. Pak Made mengaku sudah tiga puluh tahun lebih menekuni bisnisnya. Sebelum ini, tokonya berlokasi di area Kuta. Baru tiga tahun lalu ia pindah ke Seminyak.

Seorang pria kulit putih masuk. Pak Made mengucapkan, “Hello.” Lelaki itu tak menjawab. Ia melihat-lihat sekeliling. Tak lama, si bule keluar. Barangkali tak ada yang cocok untuknya.

“Pengunjung biasanya dari mana saja, Pak?”

“Macam-macam. Amerika, Kanada, Australia, Prancis, Singapura.”

“Kalau turis lokal?”

“Tempo hari ada orang-orang Jakarta kemari. Ah, iya, waktu KTT G20 lalu, Pak Prabowo mampir ke sini.”

“Oh, ya? Beli buku apa beliau?”

“Apa, ya. Buku pemerintahan kayaknya.”

Kalau sampai dikunjungi tokoh publik sekelas menteri, saya pikir Made Bookshop memang bukan sembarang toko buku. Ia ikonis. Estetis dengan caranya sendiri. 

Estetika Made Bookshop Bali
Rak buku berbahasa Jerman/Asief Abdi

Setelah menelusuri setiap sudut rak, saya menemukan buku menarik: Flight of the Storks. Saya baca blurb di sampul belakang buku. Bagus, tentang seorang ornitologis. 

“Ini berapa, Pak?”

“Coba lihat di halaman awal. Saya tulis harganya di situ.”

Saya buka lembar pertama. Rp.70.000. Boleh juga. Lagipula sepertinya saya tidak bakal menemukan buku ini di tempat lain. Usai membayar dan mengucap suksma (terima kasih) kepada Pak Made, saya beranjak.

“Kamu enggak beli buku, Lik?” tanya saya pada Kelik. Ia menggeleng. Benar juga, anak itu bukan pembaca. Mestinya saya tak perlu bertanya. 

Saat melangkah keluar pintu, tebersit sesuatu di benak saya. Pak Made bekerja sendirian di tokonya. Apa ia tidak kesepian berada di sana seharian?

Lalu, saya teringat satu kutipan dari sebuah film berjudul The Bookshop. Tak ada yang akan merasa kesepian di toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Estetika Made Bookshop Bali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/estetika-made-bookshop-bali/feed/ 0 41611
Dilema Penyu dan Manusia (2) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/#respond Wed, 28 Feb 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41256 Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk...

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Penyu di fasilitas penangkaran Sindu Dwarawati merupakan hasil tetasan yang dibesarkan selama satu tahun atau lebih sebelum dilepas ke samudra. Telur-telur penyu itu diambil dari sarang mereka di pantai lalu dipindahkan ke tempat penetasan untuk menjauhkan mereka dari bahaya. Alih-alih langsung dilepas begitu menetas, Pak Kadek memilih untuk membesarkan tukik-tukik itu terlebih dahulu. Dia melakukannya bukan tanpa alasan.

Menurutnya, membesarkan anak-anak penyu sebelum dirilis ke laut dapat memperkecil peluang mereka mati dimakan predator. “Tukik yang baru menetas, peluang hidupnya cuma satu per seribu,” jelasnya. Memang, ketika baru menetas, bayi penyu akan merangkak ke laut, berenang cepat-cepat—para ilmuwan menyebutnya swimming frenzy—menghindari mulut dan cakar predator. Oleh karena itu, mereka biasanya menetas saat malam, ketika pasir mendingin dan seolah berbisik pada mereka, “inilah saatnya.”

Selain itu, menurut Pak Kadek, ukuran penyu yang sudah dirasa pas memudahkan proses dokumentasi. “Biar kelihatan kalau difoto, jadi, kegiatan kami jelas,” imbuhnya.

Bagaimana mengatakannya, tetapi saya tidak sependapat. Saya pikir, penyu harus segera mencapai lautan begitu keluar dari cangkang telur. Terlalu banyak intervensi terhadap siklus hidup penyu dapat menjauhkan mereka dari sifat alaminya dan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Oleh karena itu, bukankah metode pembesaran ini sangat tidak natural? Seakan bisa membaca pikiran saya, Pak Kadek menjelaskan pendapatnya.

“Penyu-penyu itu pernah kami beri makan berbagai macam dedaunan. Mereka bisa memilih mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Siapa yang mengajari? Bukankah itu insting?” jelasnya. Logika sederhana, tetapi saya masih sulit menerimanya. Saya pikir, persoalannya tak sesimpel itu. Saya pernah mengikuti pelatihan konservasi orang utan pada 2013 silam dan mendapati betapa sulit melepas hewan liar kembali ke habitatnya. Mereka harus dilatih supaya bisa menjalani hidupnya sebagai satwa liar. Lebih-lebih, mereka yang direnggut dari habitatnya sejak masa-masa awal hidupnya, seperti penyu-penyu ini.

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Tempat penetasan telur-telur penyu/Asief Abdi

Mengasuh Tukik di Penangkaran

Hewan yang lahir dan hidup di penangkaran perlu diajari perkara keadaan di habitat alaminya. Penyu-penyu di tempat ini menghabiskan satu sampai dua tahun hidupnya di kolam-kolam dangkal, bubur ikan, dan jam makan rutin layaknya manusia. Banyak ahli meyakini, bahwa membesarkan tukik untuk merilisnya kemudian sama saja dengan merampas bayi-bayi itu dari masa-masa paling menentukan dalam hidup mereka. 

Saat merangkak ke laut, tukik tak sekadar bergerak. Mereka merekam lingkungan sekitar—imprinting, kata ilmuwan, mengingat koordinatnya, tekstur pasirnya—barangkali juga aromanya, untuk kembali saat waktunya bertelur kelak. Setelah mencapai lautan, mereka mengembangkan kemampuan paru-paru dan otot-ototnya untuk mengarungi dan menyelami samudra. Pelajaran yang jelas tak diberikan fasilitas penangkaran. 

Penyu yang menetas dan tumbuh di penangkaran melewatkan momen-momen penting itu. Besar kemungkinan mereka akan kesulitan hidup di lautan. Mereka terbiasa hidup di tempat yang kondisinya sama sekali berbeda dengan segara. Menurut saya, tanpa habituasi yang tepat, penyu-penyu itu tak akan bisa apa-apa usai dilepas. Kemampuan biologisnya tak berkembang seperti saudara-saudara liarnya. Karena sudah terbiasa dengan manusia, bisa-bisa mereka malah mendekati perahu nelayan dan meminta jatah tangkapan. Ada baiknya memasang alat pelacak dan mengamati kehidupan mereka usai dilepasliarkan. Dengan demikian, efektivitas cara tersebut tak bermodal keyakinan buta belaka.

Sebenarnya, teknik pembesaran telah lama digunakan dalam upaya konservasi penyu. Headstarting, begitu para ilmuwan Barat menyebutnya. Teorinya sederhana, semakin besar ukuran anak penyu, semakin besar pula kesempatannya sintas. Meski sudah banyak diterapkan, beberapa pihak meragukan metode ini lantaran belum ada penelitian yang dianggap cukup valid terkait efektivitasnya. Selain itu, kehidupan penyu di penangkaran jauh dari sifat alami penyu sehingga berpotensi mengubah perilaku dan menjadi sarana penularan penyakit. Lalu, sejauh mana batas intervensi manusia sebaiknya?

Emma Marris dalam bukunya, Wild Souls, menyampaikan kegelisahannya soal itu. Aktivitas manusia di muka bumi dan dampaknya yang masif telah melahirkan suatu tanggung jawab etik terhadap penghuni bumi lainnya. Menurutnya, manusia telah membentuk dunia yang ditinggali satwa liar kiwari. Oleh karena itu, ia percaya manusia punya “tugas” terhadap mereka. Permasalahannya, bagaimana menjaga bentuk tanggung jawab itu tetap seimbang, merawat otonomi mereka sekaligus tetap rendah hati? “Jika kita tak melakukan apa-apa, makhluk nonmanusia menderita. Akan tetapi, jika manusia berbuat terlalu banyak, yang akan terjadi malah dominasi dan opresi,” tulis dia.

Saya mendiskusikan persoalan ini dengan Veryl Hasan, kawan saya yang juga merupakan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unair. “Langsung lepas begitu menetas dan biarkan alam bekerja,” ujarnya. Sebuah artikel yang terbit di Marine Turtle Newsletter menyebut headstarting hanya tampak ampuh di permukaan, tetapi kenyataannya tidak. Artikel lain yang diterbitkan Turtle Foundation bahkan menyebut tindakan penangkaran yang membesarkan dan menarik pengunjung untuk melihat anak-anak penyu sebagai eksploitasi terhadap tukik.

Meski tampak bisa mengatasi persoalan susutnya populasi penyu, headstarting justru mengaburkan akar masalah yang dihadapi binatang itu, seperti perburuan, perdagangan liar, overfishing, polusi, dan perubahan iklim. Selama masalah-masalah tersebut tak selesai, memulihkan jumlah penyu di lautan sepertinya tak banyak berguna, hanya menyediakan lebih banyak karapaks bagi pemburu liar untuk dijarah. Tidak heran jika banyak pihak mengkritik praktik tersebut. Lebih-lebih jika penyu dijadikan objek wisata berlabel konservasi.

  • Dilema Penyu dan Manusia (1)
  • Dilema Penyu dan Manusia (2)

Antroposentrisme Wisata Penyu

Melihat letaknya yang berada di spot wisatawan, sulit untuk tidak berpikir bahwa penangkaran ini juga berfungsi menarik pengunjung. Seperti kebun binatang gratis dengan kotak donasi. Akibatnya, penyu-penyu itu lambat laun akan terbiasa dengan manusia. Tak ada yang mengajarkan mereka untuk menjauhi manusia. Saya bisa mengerti mengapa fasilitas semacam ini mendapat banyak sorotan para pemerhati satwa liar.

Profauna, organisasi yang getol mengampanyekan kesejahteraan satwa liar menyebut penangkaran penyu sebagai bisnis. Dalam situs resminya, mereka mengkritik praktik penangkaran penyu di Indonesia yang rata-rata dibangun dengan biaya minim untuk meraup untung. Profauna bahkan tidak menyarankan wisatawan untuk mengunjungi dan mendukung fasilitas tersebut. 

Wisata lepas penyu yang lazim di Bali saya pikir juga perlu direnungkan kembali. Lebih dari satu dekade lalu saya pernah melihat pelepasan tukik di Pantai Kuta. Masih segar di ingatan saya saat bayi-bayi rentan itu diwadahi baskom warna-warni untuk dilepas ke lautan. Seseorang dengan pengeras suara memberi aba-aba agar tak ada yang menghalangi jalan makhluk-makhluk kecil itu menjemput kebebasan. Mereka merangkak, sirip kecilnya mencengkeram pasir, menyambut ombak yang datang, dan hilang bersama gelombang.

Melepas penyu ke laut itu baik, saya tahu. Wisatawan yang ikut melepas tukik ke lautan pasti merasa telah melakukan hal yang benar. Tapi, benarkah? Setelah menetas, tukik akan berpacu dengan waktu. Jika dibiarkan terlalu lama di ember atau baskom demi menunggu waktu rilis yang tepat—atau rombongan wisatawan, energi yang seharusnya digunakan untuk mencapai lautan, melintasi terumbu karang, dan menghindari rahang-rahang lapar, justru akan habis. Akibatnya, saat hendak dilepas, bayi-bayi itu seperti mainan yang kehabisan baterai, menjadikan mereka semakin rentan di lautan. Semua ini membuat saya berpikir bahwa upaya yang sebelumnya saya kira “benar” ternyata tidak juga. Sesuatu yang dilakukan atas nama konservasi, nyatanya antroposentris. Tak cocok dengan pandangan deep ecology Arne Naess. Dan saya kaget saat mengetahui bahwa di tempat lain, yang terjadi malah lebih buruk.

Sepulang dari Bali saya mengobrol dengan kawan lama saya, Thobib Hasan alias Tobi. Tahun lalu ia melakukan penelitian di Belitung dan melihat tukik-tukik dieksploitasi.

“Parah banget, Mas, di sana itu. Kalau mau melepas penyu harus bayar dulu!” ujarnya dengan ekspresif. Bagus, kini wisatawan harus membayar untuk melepas bayi-bayi penyu. 

Dilema Penyu dan Manusia (2)
Mau lepas penyu, bayar dulu/Thobib Hasan

“Oh, ya? Bayar berapa memangnya?” tanya saya.

“Rp25.000 satu tukik! Gila, kan?”

“Ada fotonya, nggak? Coba lihat.” Ia mengambil iPhone-nya dan menunjukkan foto itu. 

Pengalaman serupa juga dialami Veryl. Tahun lalu, ia juga mengerjakan sebuah riset di Belitung. Di sana, ia ditawari telur penyu. “Mereka jual telur penyu, tapi ya sembunyi-sembunyi. Aku aja kemarin ditawari. Cuma Rp3.000 satu butir. Murah,” katanya. Menyedihkan, penyu-penyu itu nasibnya sudah malang sejak dalam cangkang.

Melihat berbagai ancaman bagi kelangsungan hidup penyu, rasanya memang masih banyak yang perlu dilakukan demi kelestarian spesies mereka. Tampaknya, sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk menjaga eksistensi mereka di muka bumi. Dan memang, sesekali manusia terpaksa harus ikut campur demi kelestarian suatu jenis makhluk hidup.

Penangkaran penyu merupakan salah satu bentuk intervensi manusia terhadap takdir spesies tersebut. Hingga kini, banyak spesies berhasil ditarik dari bibir jurang kepunahan oleh campur tangan manusia. Namun, tanpa pengetahuan dan teknik yang tepat, bisa-bisa niat mulia malah berujung bencana. Saya pikir, ada baiknya meninjau kembali upaya pelestarian penyu yang selama ini dilakukan oleh fasilitas penangkaran, membaca atau melakukan riset yang memadai untuk menguji metode yang dianut. Agar penyu-penyu yang diserahkan ke rahim sang segara, bisa menjadi penyu seutuhnya dan bisa mengarungi takdirnya sebagai satwa liar yang patuh pada kehendak evolusi.

Referensi

Marris, Emma. 2021. Wild Souls. New York: Bloomsbury Publishing.
Phillot, Andrea. P. 2023. Holding and Headstarting Sea Turtle Hatchlings. Indian Ocean Turtle Newsletter No. 38.
Sandi, Bayu, Thomas Reischig, Hiltrud Cordes. 2015. Exploitation of Turtle Hatchlings: How Headstarting Poses an Increasing Problem Sea Turtle Conservation in Indonesia. Poster for 35th Annual Symposium on Sea Turtle Biology and Conservation.
Woody, Jack B. 1991. It’s Time to Stop Headstarting Kemp’s Ridley. Marine Turtle Newsletter 55:7-8.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-2/feed/ 0 41256
Dilema Penyu dan Manusia (1) https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/ https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/#respond Tue, 27 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41246 Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti...

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti pada suatu pagi di bulan Januari, saat saya dan paman berjalan kaki di pantai Sanur.

Matahari masih malu-malu, tetapi pantai itu sudah riuh. Wisatawan lokal dan mancanegara berseliweran. Ada yang bersepeda, jogging, foto-foto, dan bersantai di pantai. Kami meneruskan langkah, merampungkan sekian kilometer yang ditargetkan paman. “Kaki itu fondasi tubuh. Kalau kakimu kuat, tubuhmu akan sehat,” katanya.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pagi yang mendung di Pantai Sanur/Asief Abdi

Langit masih murung. Saya khawatir hujan akan turun. Tidak, mendung bukan pertanda hujan. Pandangan saya menyapu pantai. Kapal-kapal yang tertambat menjadi tempat kawanan pecuk bertengger. Ombak tampak ragu-ragu. Jika ingin berselancar, wisatawan harus sedikit ke tengah untuk mendapatkan gelombang yang cukup.

Sambil terus berjalan paman mengoceh soal kehidupan, menguliahi keponakannya tentang bagaimana menjadi bijak dalam menyikapi hidup. Lama-lama, saya memelankan langkah, membiarkannya berjalan duluan.

Meski tidak tinggal dan bekerja di sini, saya turut lega melihat Bali kembali hidup usai nyaris tiga tahun mati suri ditelan pandemi. Kafe dan bar kembali beroperasi, kursi dan meja ditata, payung-payung pantai kembali dibuka. Sebuah ekskavator merangkak di pasir. Lehernya berayun-ayun, mesinnya meraung mengganggu suasana pagi. Tak jauh dari alat berat itu, sesuatu menarik perhatian saya. Tempat pelestarian penyu. Saya melangkah masuk.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Tempat pelestarian penyu di Pantai Sanur/Asief Abdi

Pelestarian Penyu di Pantai Sanur

Baru kali ini saya berkunjung ke penangkaran penyu. Saya bahkan baru tahu jika tempat seperti itu ada. Di dalamnya, terdapat petak-petak kolam berisi penyu laut. Turis-turis tampak antusias melihat reptil bertempurung itu berenang menggunakan siripnya. Beberapa menjulurkan tangan, menyodorkan dedaunan atau ikan yang sudah dicincang pada hewan-hewan itu. Rasanya seperti berada di kebun binatang. 

Ada dua jenis penyu di situ, yaitu penyu sisik dan penyu lekang. Ukurannya beragam. Ada yang sedang, ada pula yang besar hingga sepertinya terlalu besar untuk berada di penangkaran. Pengunjung berdatangan. Anak-anak kecil menghambur, tak sabar ingin menengok hewan yang mungkin hanya pernah mereka lihat di Discovery Channel

Seorang laki-laki bertubuh besar menghampiri saya. Barangkali karena saya tampak sangat antusias dengan penyu-penyu itu. Kelak saya tahu bahwa ia adalah Made Winarta, sang pengelola. Saya taksir usianya sekitar 50 tahun.

“Suka hewan?” katanya.

“Iya, Pak,” jawab saya.

“Dari komunitas pencinta reptil?”

“Bukan, Pak. Saya turis.”

Kami kemudian duduk di tepi kolam dan mengobrol soal tempat itu, Pelestarian Penyu Sindu Dwarawati.

Pak Kadek—begitu ia minta disapa—mengaku sudah lima belas tahun bergelut dengan pelestarian penyu. Cukup lama hingga ia bisa mengenali jenis penyu hanya dari jejak sirip mereka di pasir. Ia berkisah soal perjuangannya membangun fasilitas pelestarian penyu lautnya itu.

“Awalnya saya pakai kotak styrofoam sederhana,” kata dia.

“Kotak ikan itu, Pak?” tanya saya.

“Iya, yang itu. Ya, syukur sekarang sudah bisa punya kolam.”

Seolah sepakat, pandangan kami tertuju pada kolam. Ia kemudian bercerita betapa senang dia saat menemukan penyu hijau di Sanur. “Bayangkan, dari awal saya mulai, baru tahun lalu ada penyu hijau bertelur di Sanur!” ujarnya penuh semangat.

Saya mengangguk-angguk. Pasti luar biasa rasanya menemukan reptil purba itu. Lebih-lebih jika hewan itu bukan sekadar binatang.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pak Kadek dan penyu-penyu di fasilitas penangkarannya/Asief Abdi

Makna Kehadiran Penyu

Bagi Pak Kadek, penyu punya makna simbolis. Oleh karena itu, melestarikan penyu bukan perkara melindungi satwa langka belaka. “Penyu itu simbol bumi. Menjaga penyu berarti menjaga bumi,” kata dia.

Benar juga, penyu merupakan salah satu avatar Wisnu dalam kosmologi Hindu. Penyu bukan hewan melata semata, melainkan juga jelmaan dewata. Saya teringat arca penyu yang menghiasi candi-candi Hindu di lereng gunung Lawu. Benar-benar upaya mulia.

“Perjuangan saya ini seperti serpihan debu saja. Masih banyak yang perlu dilakukan,” ujar Pak Kadek. Rendah hati sekali, batin saya. Ia mengaku bahwa upayanya tak hanya untuk alam, tetapi juga demi negara. Pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 lalu, ia menyiapkan dua puluh ekor penyu untuk dilepasliarkan oleh delegasi masing-masing negara. “Biar dunia tahu kalau Indonesia berjuang untuk konservasi penyu,” katanya.

Sangat patriotis. Seperti yang diketahui, semua jenis penyu laut merupakan spesies dilindungi. Bagaimana tidak, bahaya datang dari mana-mana.

Berbagai jenis ancaman menghantui eksistensi penyu di muka bumi, mulai dari sedotan plastik dari meja makan, hingga bencana perubahan iklim. Di Bali, hiruk piruk orang di pantai merintangi penyu-penyu untuk berbiak. Menurut Pak Kadek, aktivitas wisatawan di pantai membuat struktur pasir memadat sehingga tukik kesulitan mencapai permukaan begitu menetas. Siapa yang akan sadar kalau ternyata ia sedang berdiri di atas sarang penyu? Selain itu, kata dia, polusi cahaya mengurungkan niat penyu untuk naik ke daratan saat hendak bertelur di malam hari.

Saya teringat pantai Jimbaran yang terang benderang, tempat saya makan semalam. Apa jadinya jika semua pantai di dunia disulap menjadi tempat gemerlap? Ke mana para penyu akan bertelur? Haruskah nasib mereka berakhir di penangkaran? Dan, bagaimana nasib penyu-penyu itu di sana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dilema Penyu dan Manusia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dilema-penyu-dan-manusia-1/feed/ 0 41246
Suara Kerang di Hutan Mangrove https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/ https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/#respond Sat, 28 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39961 Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung....

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung. Saya memejamkan mata, mencoba menajamkan indera pendengaran. Terdengar bunyi “klak” kecil—saya tak tahu lagi harus menyebutnya apa. Ipung melihat saya. “Dengar, kan? Itu suara kerang,” katanya.

Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali saya mencari kerang. Biasanya, saya menunggu waktu-waktu tertentu di mana orang kampung berbondong-bondong ke pantai untuk mengumpulkan kerang. Oleh karena itu, saat Bibi mengajak saya ikut mencari kerang, saya bertanya, memangnya sekarang musim kerang?

Kami berangkat sore hari. Usai azan Asar berkumandang, kami menenteng ember dan kursi kecil. Dengan topi di kepala, saya siap beraksi.

Hanya lima menit mengayuh sepeda, saya tiba di tepi pantai. Angin berembus. Burung-burung terbang di atas mangrove. Saya mengamati mereka. Ada dara laut, cekakak suci, cangak merah, dan… ah, tidak, ini bukan saatnya birdwatching. Tak lama, Bibi, Elly, Ipung, dan Syifa menyusul. Air surut, kami turun ke laut.

“Di mana tempatnya?” tanya saya.

“Di situ, di mangrove,” jawab Elly.

“Bukannya biasanya di pasir, ya?”

“Enggak, kita cari di situ saja.”

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Berjalan menuju hutan mangrove/Asief Abdi

Berburu Kerang

Kami melangkah ke hutan mangrove. Tanpa alas kaki, saya harus waspada memilih pijakan. Salah sedikit, tiram atau cangkang siput bisa melukai telapak kaki. Biasanya, orang-orang menggunakan kaus kaki atau sepatu. Namun, saya lebih suka bertelanjang kaki dan merasakan lumpur menyentuh kulit. Benar saja, tak butuh waktu lama saya merasakan goresan-goresan kecil di tapak kaki. Lama-lama perih juga.

Lumpur menelan setiap langkah. Benar-benar lambat, tetapi kami tiba juga. Pohon api-api menyambut. Akar-akarnya mencuat ke permukaan. Jika lazimnya akar tunduk pada gravitasi, tumbuhan dari genus Avicennia ini memiliki akar napas yang malah tumbuh ke atas. Geotropisme negatif, kata buku biologi.  Bagus, setelah menghindari tiram, sekarang saya harus berhati-hati agar kaki saya tak tertancap akar-akar itu.

“Ini serius mau cari kerang di sini?” saya setengah protes.

“Iya, kemarin aku juga ke sini dan dapat satu ember,” jawab Elly.

“Ini tempat rahasia. Coba lihat, sepi, kan?” Ipung menimpali.

Ya, tempat itu sepi karena hanya orang bodoh yang mau menyiksa kakinya dengan masuk ke situ.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Hasil tangkapan Ipung/Asief Abdi

Ipung langsung mencari tempat. Ia mengenakan sarung tangan, membenamkan tangannya ke lumpur sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia tersenyum. Anak muda itu mengeluarkan tangannya dari lumpur dan memperlihatkan tangkapannya.

“Ini kerang minnyan, dagingnya besar,” katanya.

Saya berjongkok dan turut mencari. Benar, saya di sini untuk mencari kerang, bukan bikin konten. Saya meraba-raba lumpur dan merasakan sesuatu lalu mengangkatnya. Kerang pertama saya hari ini. Saya menunjukkannya pada Ipung.

“Itu kerang parot, dagingnya kecil, tetapi enak juga,” ia menanggapi.

Saya tak tahu jenis-jenis kerang. Usai mengamatinya sejenak, saya masukkan kerang itu ke ember. 

“Jadi, kalian memang sering cari kerang ke sini?” tanya saya.

“Enggak, ya, sesekali saja, buat hiburan. Hasilnya juga buat dimakan sendiri, bukan dijual,” jawab Ipung santai sambil melemparkan kerang ke ember.

Dia memberi tahu saya bahwa kerang mengeluarkan bunyi. Saya tak tahu kalau binatang itu bisa melakukannya. Apakah itu suara ketika mereka makan atau masuk ke dalam lumpur, entahlah. Namun, tetap saja itu menarik.

Ipung kemudian menunjukkan tempat-tempat yang berpotensi dihuni kerang. Jarinya menunjuk permukaan dengan serpihan cangkang kerang mati. “Biasanya di situ banyak kerang sembunyi. Pintar mereka itu, biar dikira enggak ada kerang di bawahnya,” jelasnya.

Ah, yang benar saja. Saya skeptis. Sepertinya itu logika dia saja. Meski begitu, ia terus memungut kerang demi kerang, sementara saya menjamah tanpa hasil.

Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitar pohon api-api. Karena tak membawa kursi kecil, saya harus berjongkok. Lutut saya pegal. Ipung sudah menanggalkan sarung tangannya. Tampaknya ia tak nyaman jika kulitnya tak merasakan target secara langsung. Jika kaki saya sudah lecet-lecet, kini giliran tangan saya yang tergores tiram atau benda tajam lainnya di dalam lumpur. Namun, saya mulai terbiasa dengan cara ini. Barangkali, beginilah yang dilakukan para leluhur dulu. Menghabiskan waktu di pantai sambil memungut kerang dan binatang laut lainnya untuk camilan jelas bukan ide buruk.

Kerang, Mangrove, dan Lautan

Kerang merupakan makanan lezat. Kecuali para pengidap alergi seafood, semua orang sepakat soal itu. Manusia rupanya telah menyukai rasa daging kerang sejak ribuan tahun lalu. Tentu saja, mengumpulkan kerang tak seperti mengejar hewan buruan besar yang butuh banyak energi. Jika hidup sebagai seorang pemburu pengumpul, saya lebih memilih menghabiskan berjam-jam di pantai mengumpulkan kerang daripada berburu mamut. James Suzman, dalam bukunya yang berjudul Work, menulis bahwa komunitas manusia awal yang tinggal di pesisir biasa mengumpulkan kerang untuk dimakan. 

Tak terasa sudah satu jam kami berjibaku dengan lumpur. Ember saya sudah setengah penuh—terdengar sangat optimistis. Sesekali saya berdiri untuk menghibur kaki yang lama tertekuk. Elly dan Bibi sibuk mencari tempat yang pas. Sepertinya, mereka tak mendapat banyak tangkapan. Syifa, entah di mana anak itu. Ia sudah biasa masuk ke dalam rimbunnya mangrove bersama Ipung, kakaknya, untuk mengumpulkan berbagai jenis kerang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Syifa di tempat favoritnya/Asief Abdi

“Memangnya mencari kerang bisa setiap waktu?” tanya saya.

“Kalau kerang tertentu, seperti lorjhu’, memang ada musimnya. Tapi, kalau kerang macam ini nggak usah nunggu waktu. Langsung saja,” jelas Ipung.

“Kok nggak ada orang selain kita, ya?”

“Orang-orang pada enggak tahu kalau di sini banyak kerang.”

Ipung menunjuk sesuatu di lumpur.

“Lihat itu. Dia ada di permukaan.”

“Oh, ya? Mana?”

Saya menajamkan pandangan. Itu bukan gundukan lumpur. Seekor kerang menyembul ke permukaan. Cuma sedikit, mata orang akan melewatkannya dengan mudah. Saya mencongkelnya dari lumpur. Seekor kerang parot. Barangkali ia sedang mengisap makanan atau bernapas dan harus muncul ke permukaan.

Kerang merupakan filter feeder, ia menyaring dan memakan plankton di perairan. Oleh karena itu, mereka berperan sebagai pembersih lautan, seperti ginjal di tubuh manusia. Dengan memakan ganggang mikroskopik, kerang mencegah blooming algae dan memelihara air tetap jernih. Selain itu, binatang bercangkang itu juga penting dalam siklus biogeokimia lingkungan akuatik. Lebih-lebih di daerah pesisir Madura yang memiliki banyak tambak udang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Pohon api-api dan akar napasnya/Asief Abdi

Aktivitas budidaya udang menghasilkan limbah nitrogen. Sisa-sisa pakan mencemari lingkungan, membuat air berbau busuk dan berbuih. Keberadaan kerang di hutan mangrove bisa menjadi penyelamat ekosistem berkat perannya dalam daur nitrogen.

Namun, gaya hidup semacam itu bukan tanpa konsekuensi. Kerang akan mudah mengakumulasi polutan di suatu perairan. Itulah sebabnya banyak kerang di daerah-daerah tertentu tak layak dikonsumsi karena terpapar logam berat, seperti yang terjadi pada kerang hijau di Teluk Jakarta. Beruntung Madura bukan kawasan Industri yang punya banyak pabrik penghasil limbah beracun. Jadi, tampaknya, para kerang bisa menghirup air segar di sini. Namun, bukan berarti tak ada ancaman bagi kerang dan ekosistemnya.

Dilansir dari situs Mongabay, hutan mangrove Madura banyak dibabat untuk dijadikan tambak udang. Di daerah-daerah tertentu juga banyak reklamasi yang mencaplok lahan mangrove. Orang-orang membangun rumah di tepi laut, menimbun lahan tak bertuan dengan batu dan tanah terlebih dahulu. Jalan-jalanlah ke Sampang dan kamu akan melihat bagaimana orang membuat petak-petak di tepi laut.

Hilangnya ekosistem mangrove bukan hanya ancaman bagi biota air, tetapi juga ekosistem pantai. Daratan akan lebih rentan terkena abrasi. Saat naik bus beberapa waktu lalu, saya ngeri ketika bus melintasi jalan raya di pinggir laut. Saat itu air pasang dan hempasan ombak hampir mencapai jalan raya. Barangkali, suatu saat, Madura—dan kawasan pesisir di tempat lain—akan tenggelam. Dan, siapa sangka, meningkatnya suhu bumi juga mengancam eksistensi kerang dan kerabatnya.

Mendidihnya suhu bumi disebabkan polusi CO2. Elizabeth Kolbert dalam bukunya, Kepunahan Keenam, menjelaskan bahwa tingginya kadar CO2 di laut—benar, CO2 tak hanya terakumulasi di udara—menyebabkan pengasaman samudra. Menurunnya pH air laut mempersulit klasifikasi moluska. Akibatnya, bivalvia dan hewan lunak lainnya kesulitan membuat cangkang. 

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Mencari kerang sambil mengobrol/Asief Abdi

Pulang

Langit kian lembayung. Tak terasa, kami sudah dua jam di antara pepohonan api-api. Air makin surut, menyisakan gundukan-gundukan pasir yang menyembul ke permukaan. Ember saya hampir penuh. Sepertinya cukup untuk lauk esok hari. 

“Sudah mau Magrib. Ayo, pulang!” seru Bibi di kejauhan.

Apaan, masih jam segini. Tunggu sampai azan,” balas Syifa.

“Enggak asyik ngajak orang tua,” timpal Ipung.

Di bawah langit senja, kami berkelakar. Tangkapan kami cukup banyak. Kerang yang terkumpul tinggal dibersihkan lalu dimasak. Jika tak dibersihkan dengan benar, mulutmu akan penuh pasir saat memakannya.

“Ayolah, kita pulang saja,” kata Elly sambil menengok hasil tangkapannya. Rupanya setengah ember sudah cukup baginya.

“Oke, kalian bagaimana?” tanya saya pada Ipung dan Syifa.

“Kalian duluan saja, kami masih betah, nih,” jawab Ipung.

Kakak beradik itu memang tinggal tak jauh dari laut. Jadi, saya pikir tak perlu dikhawatirkan. Mereka kenal pantai itu seperti telapak tangannya sendiri. Kami menyibak rimbunnya api-api. Air surut meringankan langkah kami. Di ufuk barat, matahari tenggelam di cakrawala, meninggalkan berkas-berkas cahaya. Ia tengah pulang, begitu pula kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/feed/ 0 39961