Atika Amalia, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/atika-amalia/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 06 Dec 2023 05:18:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Atika Amalia, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/atika-amalia/ 32 32 135956295 Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/#respond Thu, 13 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39288 Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu sekitar 23°C. Cukup dingin bagi kami yang biasa merasakan suhu sore di atas 30°C. Tak mengapa. Tetap menyenangkan. 

Son memberikan nomor telepon genggamnya pada saya. Sebelum menurunkan kami, ia berujar, “Beko kalo nio naiak bendi baliak, a talepon sajo awak, buliah wak japuik sajo ka rumah, jadi indak payah na beko jalan ka pasa mancari bendi, a bia kaliliang-kaliang adiak baliak (nanti kalo mau naik bendi lagi, bisa telepon saya saja, saya bisa jemput ke rumah, jadi tidak perlu susah jalan ke pasar buat cari bendi, nanti bisa keliling-keliling lagi).”

“A jadih pak, beko kalo nio naiak bendi liak, wak talepon apak yo, jan maha-maha ongkosnyo dak, Pak! (Baik, Pak, nanti kalau saya naik bendi lagi, saya akan telepon Bapak, tetapi ongkosnya jangan mahal-mahal ya, Pak!),” jawab saya sembari turun dan memberikan sejumlah uang. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Melintasi jalanan dengan menaiki kuda bendi/Atika Amalia

Strategi Kusir Bendi Menarik Penumpang

Semenjak banyaknya transportasi modern yang semakin bertambah, sejalan dengan kepentingan individu yang berbeda, peminat kuda bendi cenderung menurun drastis. Setiap kusir bendi harus memiliki strategi baru untuk memikat penumpang agar memanfaatkan jasa mereka sebagai sarana transportasi. Seperti Son, yang mempunyai trik dengan memberikan nomor telepon pada penumpang bendinya. Ia berharap penumpang tersebut dapat lebih mudah mencari Son ketika ingin kembali berjalan-jalan dengan bendi.

Tarif kuda bendi yang kita bayarkan adalah tarif yang lebih dahulu disepakati di awal. Penentuan penghitungan tarif berdasarkan tujuan dan jarak tempuh. Son harus berpacu dengan penyedia jasa transportasi lainnya, agar kebutuhan rumah tangga dan perawatan kuda dapat terpenuhi.

“Samanjak urang-urang banyak nan mambali onda kredit, lah jarang bana ado nan nio naiak bendi (semenjak orang-orang banyak yang membeli motor secara kredit, jadinya jarang yang mau naik bendi lagi),” tutur Son.

Menurut dia, masyarakat yang tadinya menggunakan jasa bendi, sekarang beralih ke transportasi modern, seperti sepeda motor. Apalagi kendaraan roda dua sangat mudah untuk mendapatkannya. Jika tidak punya uang untuk membeli sepeda motor secara tunai, dealer akan menawarkan kredit kepada calon pembeli. Hal ini semakin memengaruhi minat masyarakat terhadap kuda bendi. 

“Yo kini bendi ko masih ado, tapi indak sabanyak dulu lai, nan banyak naiak bendi ko kini you urang-urang wisata, parantau nan pulang kampuang atau anak-anak ketek (ya, bendi ini sekarang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu, peminat bendi itu sekarang adalah orang-orang wisata, perantau yang pulang kampung, atau anak-anak kecil),” Son berbicara pergeseran segmen penumpang kuda bendi.

Bagi Son, jasa bendi yang ia tawarkan bukan lagi mata pencaharian utama. Pagi hingga siang hari, Son melakukan pekerjaan lain. Baru sorenya mencari penumpang dengan kuda bendi. 

Dalam kesempatan berbeda, Riko, kusir bendi yang pernah saya temui, menceritakan hal serupa. Terjadi penurunan jumlah peminat dan penumpang kuda bendi, sehingga berpengaruh pada jumlah pemasukan harian para kusir. Perawatan dan pemberian pakan untuk kuda-kuda harus terus berjalan, sementara uang masuk para kusir bendi tidak sebanyak dahulu. 

Riko yang berprofesi sebagai kusir bendi lebih dari 20 tahun ini punya strategi pemasaran yang berbeda dengan Son. Setiap penumpang yang naik bendinya akan ia tawarkan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi, Riko akan mengantarkan penumpang ke tujuan kemudian menunggu penumpangnya selesai. Selanjutnya ia membawa penumpang itu kembali ke tempat awal sehingga bisa menambah pemasukan. 

“Dari pado baliak kosong, jadi ancak tungguan se penumpang ko, rato-rato kan urang-urang ko balanjo sabanta jadi beko pulang baliak baok balanjonyo (Daripada balik harus kosong, mending penumpangnya ditungguin saja, rata-rata mereka belanja kan sebentar jadi nanti pulang kembali bawa penumpang itu lagi dan barang belanjaannya),” ujar Riko.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Riko memperlihatkan jambul yang terpasang di kepala kuda/Atika Amalia

Tantangan Besar untuk tetap Bertahan

Pada kesempatan lain, saya juga pernah menumpang salah satu bendi─saya lupa nama kusirnya─beliau menuturkan bahwa perawatan kuda juga harus optimal. Sama seperti manusia, ada makanan utamanya, yaitu sagu dan rumput, kemudian camilan macam pisang dan sayur-sayuran, juga vitamin.

Kuda juga memiliki waktu istirahat siang. Untuk memenuhi kebutuhan kuda, beliau memiliki cara sendiri untuk menarik pelanggan. Jadi, siang hari kuda beroperasi seperti biasa sesuai jalur permintaan penumpang. Kemudian malam harinya, beliau akan memasangkan kuda yang berbeda pada bendi yang sama dan menghiasinya dengan lampu kelip-kelip. Sang kusir juga menyalakan musik sehingga penumpang merasakan perbedaan suasana saat menaiki kuda bendi.

“Awak ado duo kuda, jadi kuda iko siang beko kuda yang ciek lai malam. Tapi bendi yang dipakai samo, tingga di bukak tu pasang ka kuda cieklai, iduikan lampunyo (saya punya dua kuda, jadi siang saya pakai kuda yang ini, kalau malam pakai kuda satunya lagi. Tapi, bendi yang dipakai sama, nanti dibuka kudanya terus dipasangkan ke kuda yang satunya lagi, lampu hiasan bendi dinyalakan),” tuturnya. 

“Jadi, kita harus kreatif, ya, Pak?” saya menyahut.

“Iyo harus bapikia wak, kalo indak tu dak ado nan nio naiak bendi lai (iya, kita harus berpikir, jika tidak, gak ada lagi yang mau naik bendi),” jawab beliau sembari menarik tali pengikat kuda.

“Tapi bendi ko terlalu maha tarifnyo Pak daripado wak naiak ojek (tetapi bendi ini tarifnya terlalu mahal, Pak, daripada naik ojek),” kelakar saya.

“iyo batua, baa dak kamaha, makan kuda ko se banyak, pisang tu untuk sneknyo se sasikek tu ha, pisang bara kini, alun lo biaya lain-lainnyo, ditambah yang naiak dak banyak lai (iya, betul, bagaimana tidak mahal, kuda itu makannya banyak, pisang untuk camilan saja sekali makan itu habis satu sisir, sementara harga pisang juga mahal, belum lagi biaya lainnya yang juga semakin tinggi),” jelas beliau sambil tertawa.

Saya menyadari, bendi sebagai alat angkut tradisional yang masih bertahan hingga saat ini, adalah sesuatu yang cukup istimewa di tengah gempuran berbagai jenis transportasi modern. Persaingan kuda bendi pun cukup ketat. Tarif jasanya yang bisa dua kali lipat lebih mahal daripada ojek daring membuat peminatnya semakin menurun.

Para kusir bendi harus lebih kreatif dan berinovasi untuk menarik pelanggan kembali menggunakan jasanya. Selain itu, sebagai pengguna, saya berpendapat bahwa tarif yang sedikit lebih mahal sama halnya dengan membeli kenangan dan merawat budaya. Saya tidak merasa rugi terhadap harga yang saya bayarkan.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat agar terus melestarikan kendaraan tradisional, seperti kuda bendi dengan pelbagai cara. Baik itu menumpang maupun mempromosikan kuda bendi melalui media apa pun dalam bentuk tulisan dan gambar. Tujuannya merawat salah satu warisan budaya Indonesia agar tidak punah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/feed/ 0 39288
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/#respond Wed, 12 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39277 Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya pulang untuk melihat ayahanda yang sedang dalam masa pemulihan pasca kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelumnya.

Langit biru menyapa saya sore itu. Angin segar pepohonan seolah mengusap lembut wajah. Gerombolan burung-burung kecil sesekali melintas melewati atap rumah. Kambing-kambing yang akan pulang ke kandang mengembik kegirangan tanda perut sudah kenyang. Dan penjaja makanan malam sudah mulai mempersiapkan lapak dagangan. 

“Damai dan nyaman sekali,” gumam saya dalam hati.

Saya mengajak putri kecil saya, Azzahra, melihat salah satu sungai yang berada tak jauh dari rumah ibunda. Ia bernyanyi kecil dan sekali-sekali meloncat kegirangan. Itulah yang saya lihat darinya. Senang sekali tampaknya. Hari-hari sore yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk suara kendaraan ibu kota, tetapi kali ini berbeda. Sebuah pemandangan baru baginya. 

“Seru, ya?” ucapku.

“Ada sungai di sana,” jawab Azzahra dengan wajah yang masih berbinar. Kadang-kadang ia gosokkan sandal jepit merah yang baru saya beli di warung ke rerumputan. Mencari bunga putri malu untuk ia sentuh.

Gak ada putri malu, Bunda,” ujarnya.

“Belum kelihatan, ya, dari tadi.” Saya sambil menunduk untuk melihat sekitar.

Kami berjalan kaki menyusuri pinggir sungai hingga tiba di Jembatan Batang Agam. Sebuah jembatan yang penuh sejarah. Letaknya berada tepat di antara Monumen Ratapan Ibu dan rumah potong hewan. Masyarakat kota lalu-lalang, beberapa kudo bendi (kuda bendi) tampak memacu kecepatannya menuju pusat kota. Seketika ada ide di kepala saya untuk mengajak Azzahra berkeliling kota dengan kendaraan tradisional tersebut. Sembari menunggu waktu magrib tiba. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Kuda bendi dan penumpangnya di depan pertokoan dekat Pasar Tradisional Ibuh/Atika Amalia

Asal Usul Kuda Bendi

Sekilas kuda bendi tampak seperti kendaraan tradisional lain yang ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Lombok, Manado, dan Jakarta. Kereta roda dua yang ditarik kuda tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau. Pada akhir abad ke-19, transportasi di Sumatra Barat adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.

Mula-mula kereta api menjadi angkutan umum sejak 1893. Hal ini distimulasi oleh penemuan deposit batubara di Ombilin pada tahun 1868. Lalu 19 tahun kemudian Parlemen Belanda memutuskan membangun jalur kereta api untuk sarana transportasi batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven Padang. Menurut Colombijn (dalam Sufwan, 2017), kota-kota di pedalaman semakin terbuka dari isolasi, sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.

Tidak lama berselang, angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920-an terdapat lebih dari 3.000 angkutan mobil di Sumatra Barat. Di akhir dasawarsa yang sama, jumlah mobil telah mencapai angka 7.000. Asnan (dalam Sufwan, 2017) menyebut angkutan mobil terus tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.

Sejak akhir abad ke-19, dapat dikatakan bahwa modernisasi transportasi telah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Angkutan massal modern menggantikan angkutan tradisional, seperti pedati, bendi, atau kuda beban. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, nyaris hanya bendi yang bertahan sebagai alat angkut manusia, meskipun dalam skala terbatas.

Perubahan Jenis dan Fungsi Bendi dari Masa ke Masa

Masa kolonial Belanda, menurut Ishakawi (dalam Vivindra dkk, 2015), menjelaskan bahwa bendi mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah kereta kuda yang dibawa oleh petinggi bangsa Belanda dan beroda empat. Selanjutnya berubah lagi menjadi kereta kuda beroda dua dengan sebutan “sado”. Jenis kereta kuda ini yang jadi awal dari bendi tradisional di Sumatra Barat.

Pada masa itu kendaraan atau transportasi belum begitu banyak, sehingga bendi merupakan barang mewah. Hanya golongan tertentu saja yang memiliki bendi itu, seperti orang-orang kaya, penguasa, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat.  Kemudian fungsi bendi saat itu adalah sebagai kendaraan petinggi dan pejabat dalam melaksanakan tugas. Sehingga bendi lebih memiliki makna sebagai kendaraan pribadi yang dapat melambangkan kekuasaan, kekuatan, penguasa, dan status sosial. Lalu setelahnya bendi menjadi transportasi umum hingga saat ini.

Bendi memiliki beberapa jenis. Pertama, terem atau terent. Kata “terem” berasal dari “trem”, yaitu kereta yang berjalan dengan tenaga listrik atau lokomotif kecil dan merupakan salah satu angkutan kota di Eropa. Kemungkinan berasal dari bahasa Inggris “train” (kereta), yang karena mendapat pengaruh oleh dialek bahasa Minangkabau, masyarakat menyebutnya terem. Namun, maksud terem di sini adalah bendi yang memiliki empat roda dan ditarik oleh dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya dengan terem atau terent atau bendi Balando.

Kedua adalah sado, sejenis bendi yang ditarik oleh kuda. Bentuknya hampir sama dengan bendi. Sado memiliki dua macam, yaitu sado tetap dan sado bersambung. Ketiga, bogi, berbentuk lebih kecil dari bendi. Ciri-ciri bogi antara lain memiliki bak berukuran kecil dan satu buah tempat duduk, tidak memiliki tenda, dan ditarik oleh seekor kuda.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Bogi atau bendi yang pernah Bung Hatta naiki. Koleksi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta/Atika Amalia

Bogi oleh sebagian orang disebut bugih. Fungsinya selain sebagai kendaraan pribadi orang-orang ternama masa lalu, juga merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang dikenal dengan nama pacu bogi atau pacu darap. Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah diantarkan menggunakan bogi dari kediamannya di Bukittinggi menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah menengah pertama (SMP) pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Bogi yang digunakan untuk mengantar Bung Hatta adalah kendaraan milik keluarga.

Keempat, bendi yang masih terpakai hingga saat ini, memiliki bentuk yang lebih sempurna dari pendahulunya. Satu kuda menarik kereta yang beroda dua, mempunyai atap penutup dan berhias pelbagai aksesoris dan hiasan menarik.

Berkeliling Kota Payakumbuh Naik Kuda Bendi 

Saya dan Azzahra berjalan kaki sekitar 150 meter dari Monumen Ratapan Ibu menuju gapura bertuliskan “Pasar Tradisional Ibuh”, Payakumbuh. Tampak ada dua kuda bendi yang masih menunggu penumpang. Hari-hari biasa kuda bendi lebih banyak jumlahnya. Mungkin karena waktu itu sudah sore dan juga masa Ramadhan, sehingga sebagian telah kembali ke kandang. 

Seorang kusir bendi menyapa ketika saya mendekat. Saya memintanya untuk mengantar kami berkeliling melewati beberapa ruas jalan. Di kesempatan ini saya juga tidak ingin kena pakuak, istilah yang sering masyarakat Sumatra Barat gunakan jika harga barang atau jasa melebihi harga normal. Salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan harga di awal sebelum berangkat. Tidak ada harga yang pasti jika menggunakan kuda bendi, jadi pengguna harus menawarnya terlebih dahulu. 

Son, kusir bendi pertama yang Azzahra temui, adalah orang yang ramah pada anak-anak. Saat menaiki bendi kami melihat berbagai aksesoris dan hiasan yang sangat menarik perhatian orang, terutama anak-anak. Pada kepala kuda terpasang sebuah aksesoris berupa jambul merah. Son menganalogikannya seperti manusia memakai bando (bendo). Melalui penjelasan Son, Azzahra semakin antusias.

Hal menarik lainnya dari kuda bendi adalah terdapat bantal kecil berwarna merah untuk sandaran penumpang. Ada juga dekorasi seng dan ukiran motif bunga-bunga di beberapa bagian luar dinding bendi. Selain itu, masyarakat juga berkelakar bahwa bendi adalah kendaraan mahal dengan menyebut inisial BMW, yaitu Bendi Merah Warnanya.  

“Azza seru gak naik bendi?” saya menggodanya 

“Naik bendi itu seru, bendinya lucu,” sahutnya sembari tertawa girang.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Dekorasi menarik di bagian penumpang kuda bendi/Atika Amalia

Kami mengelilingi beberapa jalanan, yang akhirnya kembali menghidupkan memori masa kecil saya. Orang tua saya dulu pernah mempunyai tiga kuda bendi yang menjadi alat jasa transportasi. Seorang kusir membawa kuda bendi dengan sistem bagi hasil, lalu kusir tersebut akan merawat kuda. Selang beberapa tahun kemudian, orang tua menjual bendinya setelah seekor kudanya mati karena kecelakaan di salah satu kandang tempat penitipan kuda. 

Sore itu, saya dan Azzahra mendapat kesenangan berbeda. Saya mengingat kembali memori-memori manis masa kanak-kanak setelah melintasi berbagai tempat, di antaranya Jalan Arisun, tugu Adipura, melihat Masjid Muhammadiyah, dan menatap Gunung Sago dari kejauhan. Azzahra sedang membangun memori dengan pengalaman barunya menumpangi kudo bendi. 

Referensi

Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau.
Colombijn, Freek. 2006. Paco-paco Kota Padang. Yogyakarta: Ombak.
Ishakawi. 2010. Ranah Seni. Jurnal Seni dan Desain, Vol 03(02), 1-13.
Sufwan, F. H. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat Hingga Akhir Abad Ke-20. Mozaik Humaniora, 17 (1), 53.
Vivindra, R. D., Syamsir, S., & Nurman, N. (2015). Eksistensi Bendi dalam Perspektif Budaya di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Humanus. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora, 14(1), 71-79.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/feed/ 0 39277
Nikmatnya Kue Putu Bambu, Kudapan Tradisional dari Masa ke Masa https://telusuri.id/nikmatnya-kue-putu-bambu-kudapan-tradisional-dari-masa-ke-masa/ https://telusuri.id/nikmatnya-kue-putu-bambu-kudapan-tradisional-dari-masa-ke-masa/#respond Thu, 25 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38791 Entah berapa jumlahnya, kudapan tradisional Indonesia yang tersebar di pelbagai sudut Nusantara memberi keragaman warna dan rasa. Kudapan tradisional termasuk produk inovatif yang menggabungkan budaya, sumber daya lokal, dan cita rasa khas dengan teknik pengolahan...

The post Nikmatnya Kue Putu Bambu, Kudapan Tradisional dari Masa ke Masa appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah berapa jumlahnya, kudapan tradisional Indonesia yang tersebar di pelbagai sudut Nusantara memberi keragaman warna dan rasa. Kudapan tradisional termasuk produk inovatif yang menggabungkan budaya, sumber daya lokal, dan cita rasa khas dengan teknik pengolahan yang sangat sederhana. Mengisi cerita elok turun-temurun yang tak pernah sirna, dan memberi cerita dari masa ke masa.

Seperti halnya putu bambu. Rasa manis legit membuat setiap orang yang mencicipinya tiada jemu. Para pedagangnya bertransformasi, mulai dari memikul hingga menggunakan gerobak dorong yang tampak lebih efisien. Adapun pengolahannya relatif tak banyak berubah. Saya rasa, sepertinya banyak orang Indonesia yang tahu dan pernah mencicipi kudapan tersebut.

Sekelumit Sejarah dan Kearifan Lokal Kue Putu Bambu 

Mengutip Adzkiyak dalam Etnografi Kuliner: Makanan dan Identitas Nasional (Zahir Publishing, 2021), kue putu bambu berasal dari akulturasi budaya China. Keberadaannya telah eksis sejak zaman Dinasti Ming di Tiongkok, ratusan tahun lalu. XianRoe Xiao Long adalah sebutan awalnya, yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau halus kemudian mengukusnya dalam wadah bambu.

Di Indonesia, nama “putu” muncul pada sebuah naskah berjudul Serat Centhini pada tahun 1814 Masehi di era pemerintahan Sunan Pakubuwana IV, susuhunan Surakarta. Naskah tersebut menceritakan seseorang bernama Ki Bayi Panurta—seorang dukuh dan guru spiritual. Ia meminta bantuan kepada santrinya untuk menyediakan makan pagi serta menyajikan kudapan pendamping, seperti putu dan serabi. Isian putu, yang mulanya kacang hijau halus, berubah menjadi gula jawa karena lebih mudah untuk mendapatkannya. 

Menurut Azdkiyak (2021), kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan, serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal, untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Begitu pun halnya kudapan khas Jawa Timur ini. Kue putu mengangkat keistimewaan lokal menggunakan sumber daya alam (SDA) yang ada di masa itu. Pada akhirnya kue putu ini kemudian menjadi budaya yang diturunkan secara turun-temurun. Dari generasi ke generasi.

Kue putu terdiri dari berbagai jenis, seperti kue putu bambu, putu ayu, putu cangkir, putu mayang, dan putu pesse. Dalam bentuk apa pun, penganan tersebut seringkali tersedia saat upacara pernikahan. Maknanya adalah agar pasangan yang menikah dapat segera memiliki keturunan (anak). Tak hanya itu, kue putu juga biasanya ada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad, tanggal 1 Muharam, dan upacara adat yang diadakan oleh masyarakat perdesaan.

Mengenai kapan terakhir kali mencicipi kue putu, saya tidak begitu ingat. Mungkin saat masih ingusan, entah di usia berapa. Saya hanya tahu kalau camilan manis itu pernah mengisi masa kanak-kanak saya.

Kenangan Gerobak Kue Putu Bambu Keliling 

Suatu ketika, saat jalan-jalan sore di Taman Suropati, kawasan Menteng, Jakarta Selatan, secara tak sengaja saya melihat sebuah gerobak dengan suara yang akrab di telinga. Nadanya seolah membawa saya terbang kembali ke memori masa kecil. 

Saya berusaha menoleh. Mencari ke arah sumber suara. Ternyata benar, suara tersebut berasal dari gerobak kue putu bambu dengan asap mengepul dari lubang pemanasnya. Bentuknya kini terlihat berbeda. Di dalam ingatan saya, pedagang kue putu bambu menjajakan dagangan dengan cara memikulnya di bahu. Namun, sore itu pertama kalinya saya melihat ia memanfaatkan gerobak dorong.

Saya tidak sedang bermimpi. Ini bukan penyamaran seorang intel berkedok tukang putu. Ini jelas dan akurat penjual kue putu bambu dan sekarang ada di depan mata. Terlihat para warga yang saat itu ada di taman ramai membeli kudapan kue putu bambu. Saya pun ikut berbaris menunggu antrean.

Ada yang tampak berbeda di mata saya. Kue putu tersebut dijual bersamaan dengan klepon. Dahulu, saat kecil saya melihat kue putu hanya dijual tunggal saja. Tanpa penganan lain yang menyertai. Kue putu bambu dan klepon terbuat dari bahan dasar sama, yaitu tepung beras halus, perisa pandan, gula jawa, dan kelapa parut kukus. Hadirnya klepon tentu turut menambah nilai jual bagi sang pedagang. 

Begitu dapat giliran, saya memesan empat potong kue putu bambu dan tiga buah klepon. Edi, pedagang kue putu itu, sudah hampir dua tahun berjualan di kawasan Taman Suropati. Ia mengambil dagangan dari seorang pemilik gerobak dengan sistem bagi hasil. Sang juragan sudah menyiapkan gerobak lengkap dengan bahan-bahan mentah kue putu dan klepon.

“Saya hanya tinggal menjajakannya saja,” tutur Edi.

Kue putu bambu yang sudah matang dengan taburan kelapa parut
Kue putu bambu yang sudah matang dengan taburan kelapa parut/Atika Amalia

Menurut saya, dengan membeli jajanan kue-kue khas Nusantara, seperti kue putu bambu, sama halnya dengan menjaga kelestarian kudapan tradisional tersebut. Selain itu juga turut menjadi penggerak perputaran roda perekonomian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). 

Adapun upaya lain yang bisa kita lakukan untuk merawat kearifan kuliner lokal adalah mengembangkan budaya daerah. Caranya bisa melalui bazar-bazar makanan dan jajanan tradisional, serta giat mempromosikannya melalui berbagai media.

Referensi

Adzkiyak. (2021). Etnografi Kuliner: Makanan dan Identitas Nasional. Yogyakarta: Zahir Publishing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nikmatnya Kue Putu Bambu, Kudapan Tradisional dari Masa ke Masa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nikmatnya-kue-putu-bambu-kudapan-tradisional-dari-masa-ke-masa/feed/ 0 38791
Melihat si Kecil Pengurai Sampah di Rumah Maggot Pasar Minggu https://telusuri.id/melihat-si-kecil-pengurai-sampah-di-rumah-maggot-pasar-minggu/ https://telusuri.id/melihat-si-kecil-pengurai-sampah-di-rumah-maggot-pasar-minggu/#respond Thu, 02 Mar 2023 04:00:08 +0000 https://telusuri.id/?p=37388 Sampah sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. Berbagai aktivitas yang dilakukan akan menghasilkan sampah, baik itu sampah organik atau nonorganik. Sampah-sampah tersebut ada yang mampu mengurai sendiri dan juga ada yang butuh ratusan tahun...

The post Melihat si Kecil Pengurai Sampah di Rumah Maggot Pasar Minggu appeared first on TelusuRI.

]]>
Sampah sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. Berbagai aktivitas yang dilakukan akan menghasilkan sampah, baik itu sampah organik atau nonorganik. Sampah-sampah tersebut ada yang mampu mengurai sendiri dan juga ada yang butuh ratusan tahun agar bisa terurai. Oleh sebab itu, masyarakat selalu mendapatkan himbauan untuk bijak dalam konsumsi agar sampah-sampah yang dihasilkan tidak menumpuk dan memberi pengaruh buruk terhadap lingkungan. 

Menurut data dari statistik.go.id dalam artikel yang berjudul “Sampah di DKI Jakarta Tahun 2021”, setiap harinya DKI Jakarta menghasilkan sampah sebanyak 7,2 ton. Sampah organik mendominasi dengan jumlah volume terbanyak yaitu sebesar 53,75%. Aktivitas rumah tangga setiap harinya turut menyumbang sampah yang cukup signifikan. Sampah dapur tersebut berupa sisa-sisa makanan, sayuran, buah-buahan, sisa minyak goreng dan lain-lain. Sebagian besar sampah dapur tersebut merupakan sampah organik.

Beragam edukasi lingkungan digaungkan agar setiap individu paham manfaat dan dampak dari sampah yang dihasilkan. Dewasa ini, berbagai strategi dilakukan oleh pihak-pihak terkait agar masyarakat bijak dalam mengelola sampah. Salah satu cara pengolahan limbah sampah organik yaitu dengan memanfaatkan hewan kecil bernama maggot, sejenis belatung merupakan larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens dalam bahasa latin. 

Saya yang tidak pernah tahu tentang maggot sebelumnya, pagi itu tanpa sengaja saat mengunjungi Agro Edukasi Wisata Ragunan yang berada di Jalan Poncol Pasar Minggu setelah melihat sebuah spanduk bertulis “Rumah Maggot Pasar Minggu”. Saya berjalan menuju bangunan kecil berukuran sekitar 6×5 meter untuk melihat lebih dekat. Bangunan semi permanen ini menjadi untuk rumah metamorfosis maggot. Tampak tiga orang petugas mengenakan seragam bertuliskan UPK Badan Air sedang bekerja. Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Lingkungan Hidup dalam pelaksanaan penanganan Kebersihan Badan Air. Salah seorang dari mereka sedang asik mengupas kulit salak yang sudah busuk. Saya mendekat lalu menyapa petugas berseragam oranye tersebut. 

“Pagi, Pak. Lagi ngupas salak buat apa, Pak?” tanya saya.

“Ini untuk maggot di sana.” katanya, sembari menunjuk beberapa kotak yang ada di dalam ruangan.

“Maggot ini apa ya, Pak?” tanya saya penasaran.

“Ini nih buat ngancurin sampah-sampah. Kalau banyak sampah di rumah bisa diurai sama maggot.” ujar Yusuf singkat.

  • Rumah Maggot Pasar Minggu
  • Rumah Maggot Pasar Minggu
  • Rumah Maggot Pasar Minggu

Yusuf dan dua rekannya berasal dari petugas pintu air yang membantu mengelola maggot di Rumah Maggot Pasar Minggu. Saya meminta ijin untuk masuk melihat maggot lebih dekat. Tampak banyak kotak-kotak dan beberapa rak menempel di dinding bangunan. Tampak juga satu area yang tertutup oleh jaring kawat. Maggot-maggot dewasa mengeluarkan larva dari balik jaring kawat tersebut, sehingga tidak ada maggot yang terbang keluar dari ‘rumahnya’.

Dari ruang kawat, larva-larva dipindahkan ke dalam kotak khusus. Masing-masing boks berisikan maggot-maggot sesuai dengan usia, ada yang masih berusia tiga hari juga satu minggu. Ukuran pun berbeda. Petugas menjelaskan bahwa maggot yang ada di Rumah Maggot Pasar Minggu ini membantu mengolah sampah-sampah organik yang berasal dari Agro Edukasi Wisata Ragunan.

Maggot yang sudah kering juga dijadikan seagai sumber protein untuk pakan ternak yang berada di dalam kawasan. Jelas sekali siklusnya seperti sebuah lingkaran simbiosis mutualisme. Dari sebuah benih, tanaman tumbuh, bagian yang busuk diurai oleh maggot, maggot kering dimakan oleh ternak, kemudian kotoran ternak dijadikan untuk pupuk-pupuk tanaman. 

Utilitas Maggot dalam Kehidupan Sehari-Hari

Maggot merupakan larva dari lalat Hermetia illucens yang bermetamorfosis menjadi maggot atau belatung yang kemudian menjadi Black Soldier Fly (BSF) muda. Proses metamorfosis yang dilakukan larva lalat ini tidak begitu lama, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 14 hari atau dua minggu.

Maggot mengalami lima tahapan selama siklus hidupnya, lima stadia tersebut yaitu fase dewasa, fase telur, fase larva, fase prepupa, dan fase pupa. Selama masa itu, satu lalat betina dewasa bisa menghasilkan hingga 500 butir telur yang akan menetas dalam waktu sekitar 4-5 hari.

Mengutip dari CNN Indonesia, sejak berbentuk telur lalat, maggot membutuhkan sampah organik untuk tumbuh selama 25 hari sampai siap panen. Maggot mampu mengurai sampah organik dengan kapasitas 1,3 hingga 5 kali bobot tubuhnya dalam 24 jam. Bahkan, satu kilo maggot mampu melahap 2 sampai 5 kilogram sampah organik per hari.

Tak hanya itu, maggot yang sudah menjadi prepura maupun bangkai lalat BSF masih bisa dipakai sebagai pakan ikan yang kaya protein. Kepompongnya juga dimanfaatkan sebagai pupuk sehingga tidak menimbulkan sampah baru. Larva BSF juga bukan vektor suatu penyakit, jadi sangat aman untuk kesehatan manusia. Utamanya untuk budidaya tidak menimbulkan penularan penyakit. Lewat budidaya maggot, ada nilai ekonomis yang didapat yakni Rp15 ribu sampai Rp50 ribu untuk 100 gram maggot kering. 

Budidaya Maggot untuk Pemula

Mengurangi sampah organik dengan maggot bisa kita mulai dari diri sendiri di rumah. Caranya pun tak sulit. Pertama, kita bisa menyiapkan media kandang lalat BSF dengan tutup kawat atau kasa. Tentunya kandang ini harus tetap terkena sinar matahari guna proses perkawinan lalat. Kita juga harus menjaga kelembaban kandang dengan menyemprotkan air berkala.

Lalat betina membutuhkan tempat untuk bertelur seperti kardus, kayu, atau papan yang memiliki celah. Telur-telur bisa di taruh di atas dedak yang sudah dibasahi, lalu beberapa hari setelahnya menetas. Terakhir, siapkan area untuk tempat tumbuh maggot dan mereduksi sampah organik rumah tangga.

Seorang ibu rumah tangga bernama Debby bercerita bahwa merasa terbantu dengan adanya maggot. Tinggal di kawasan yang minim lahan tanah, maggot menjadi pilihan untuk mengurai sampah rumah tangga. Bersama sang suami—Fadly—pasangan suami istri ini bekerja sama mengurusi sampah di rumah mereka. Fadly menyiapkan media maggot, kemudian memilih maggot yang sudah tidak layak lagi, sedangkan Debby bertugas memisahkan sampah.

“Sisa makanan kayak nasi, sisa sayur gitu atau sampah kertas harus dipecah terlebih dahulu,” gumam Debby. 

Mereka adalah salah satu contoh dari banyak pasangan yang memilih maggot untuk mengurai sampah rumah tangga. Momen kegiatan ini pun kerap dibagikan melalui media sosial pribadi. Semoga aksi yang dilakukan Debby dan Fadly ini memberi inspirasi kamu untuk lebih banyak berkontribusi dalam menyelamatkan bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat si Kecil Pengurai Sampah di Rumah Maggot Pasar Minggu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-si-kecil-pengurai-sampah-di-rumah-maggot-pasar-minggu/feed/ 0 37388
Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/ https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/#respond Fri, 28 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35977 Di salah satu jalan di daerah Jakarta Selatan, berdiri sebuah museum yang berisikan berbagai jenis layang-layang dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, Museum Layang-layang Indonesia namanya. Langit Jakarta yang cerah menemani perjalanan saya menuju Museum...

The post Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di salah satu jalan di daerah Jakarta Selatan, berdiri sebuah museum yang berisikan berbagai jenis layang-layang dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, Museum Layang-layang Indonesia namanya. Langit Jakarta yang cerah menemani perjalanan saya menuju Museum Layang-layang Indonesia, tak sulit untuk disambangi, bantuan peta elektronik mengantarkan saya tiba di tempat tujuan dengan mudah. 

Saat tiba di lokasi, seorang petugas parkir siap membantu dan menyambut ramah setiap pengunjung yang datang. Kemudian ia mengantarkan saya menuju loket tiket. Harga tiket masuknya cukup terjangkau, yakni Rp25.000 untuk orang dewasa, dan Rp20.000 untuk anak-anak. Tiket ini sudah termasuk dengan kegiatan menonton tayangan audio visual layang-layang, melihat koleksi, dan membuat kreasi layang-layang. Seorang pemandu akan mendampingi setiap rombongan pengunjung, ia juga  mengawal setiap rangkaian kegiatan yang ditawarkan. 

Museum Layang-layang Indonesia
Ruang koleksi di Museum Layang-Layang/Atika Amalia

Mula-mula saya diajak masuk ke ruangan audiovisual. Terdapat satu buah televisi dan bangku-bangku berjejer rapi. Pengunjung bebas memilih bangku mana yang ingin diduduki,  kemudian sebuah tayangan mengenai layang-layang siap disuguhkan selama kurang lebih lima belas menit. Tayangan tersebut berisi tentang sejarah asal mula, fungsi, serta ragam dan jenis layang-layang di berbagai daerah di Nusantara. Tentunya, tontonan ini cukup mengedukasi saya. 

Setelah selesai, pemandu yang memperkenalkan dirinya dengan panggilan Lina mengajak saya menuju sebuah bangunan yang berisikan koleksi layang-layang. Di sekitar bangunan saya melihat anak-anak dan para orang tua menerbangkan layangan yang baru saja mereka buat. 

Sebelum memasuki ruangan koleksi, kita harus melepaskan alas kaki terlebih dahulu, agar kebersihan museum tetap terjaga. Lina menjelaskan koleksi layang-layang satu persatu,  mulai dari koleksi yang ditempel di selasar yang punya berbagai bentuk unik seperti menyerupai naga, kapal, ikan, rumah adat daerah, burung, wajah manusia, wayang, dan banyak lagi. 

Selanjutnya, Lina mengajak saya masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya tersimpan lebih banyak lagi koleksi layang-layang. amun sebelum masuk kita diperingatkan bahwa tidak boleh merekam gambar saat berada di ruangan, hanya boleh  mengambil foto saja. 

Museum Layang-layang Indonesia
Bersama pemandu museum/Atika Amalia

Dari semua koleksi layang-layang ada beberapa jenis yang menarik perhatian saya,  di antaranya adalah sebuah layang-layang yang mengingatkan pada teman sepermainan saat tinggal di Sumatera Barat. Sebuah layang-layang maco dipajang gagah di dinding museum dan satu lagi bernama layang-layang patah siku juga berasal dari Sumatera Barat. Dalam keterangan gambar tampak tertulis dengan sebutan langlang maco. Saat kecil dulu, nenek sering menegur anak-anak yang bermain layang-layang pada tengah hari, beliau menyebutnya dengan sebutan olang-olang bukan langlang. Perbedaan sebutan tersebut saya tanyakan kepada Lina.

“Mengapa di sini tertulisdengan nama langlang, Bu?”

“Wah kenapa ya, sejauh ini saya hanya tau bahwa di Sumatera Barat disebut dengan nama langlang, malah saya baru tau dari anda ada sebutan lain,” ujar Lina dengan lagak yang agak ragu.

“Coba sebutkan lagi tadi namanya apa di Sumatera Barat?” Lina mulai penasaran dengan kosa kata yang baru ia dengar.

“Nenek saya menyebutnya dengan dengan olang-olang,” saya menjawab dengan yakin.

“Terdengar seperti orang-orang di Pasar Glodok ya,” ujar Lina bercanda.

Lalu saya dan Lina tertawa bersama. Bagi saya, apapun perbedaan sebutan untuk layang-layang, hal paling penting adalah budaya permainan layang-layang tetap dilestarikan.

Idiosinkrasi Pelayang Pancing Nusantara

Saya melihat koleksi lain yang menarik, sebuah layang-layang dimainkan di atas kapal juga dijadikan sebagai alat untuk menangkap ikan. Rekam gambar ini pernah diabadikan dalam uang kertas seribu rupiah. Berlatar belakang sepasang gunung yang disebut sebagai Pulau Maitara dan Tidore, terlihat dua orang nelayan di atas sampan, satu di antaranya sedang memegang layang-layang. 

Museum Layang-layang Indonesia
Pelayang pancing di Pulau Maitara dan Tidore dalam uang kertas Rp1.000/Atika Amalia

Selain Tidore, para nelayan di Teluk Lampung juga menjadikan layang-layang sebagai alat untuk menangkap ikan. Mereka disebut sebagai pelayang pancing. Di Museum layang-layang terdapat sebuah miniatur kapal berhiaskan daun loko-loko. 

Dahulu, para pelayang pancing di Teluk Lampung menggunakan layang-layang dari daun loko-loko yang sudah kering; benang diikatkan pada daun lalu umpan diikatkan pada benang. Tidak ada kail pada pancing layang-layang, umpan berupa potongan ikan tanjan yang dikaitkan pada benang pancing diikat simpul lasso. Mereka berburu ikan ciracas, yang di perairan Jawa disebut dengan ikan cucut (Rhizoprionodon acutus) atau dikenal sebagai milk shark dalam bahasa Inggris. Jenis ikan ini mudah dijumpai di Teluk Lampung, memiliki moncong panjang dan runcing, daging ikan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat sebagai bahan pangan. Dewasa ini, para pelayang pancing sudah semakin sedikit jumlahnya.

Pernah Melihat Layang-layang dari Buku

Jauh sebelum melihat layang-layang secara langsung. Azzahra, putri kecil saya sudah pernah mengenal layang-layang dari sebuah buku. Sebagai anak yang tinggal di kota metropolitan, kecil sekali kesempatan baginya untuk bisa menyaksikan orang-orang bermain layangan lebih dekat, berbeda dengan masa kecil saya dimana layang-layang adalah permainan yang sangat dekat dan mudah di jumpai. 

Museum Layang-layang Indonesia
Buku Anak Pewarna Langit/Atika Amalia

Saya membeli sebuah buku yang berjudul Pewarna Langit, buah karya Eva Y. Nukman dan ilustrasi oleh Evi Shelvia, yang diterbitkan oleh Yayasan Litara. Buku itu kebetulan saya dapati di salah satu penerbit, yang menurut saya bagus sebagai pengantar anak-anak mengenal layang-layang dan masuk kedalam ruang imajinasi permainan tradisional. 

Buku ini bercerita tentang sepasang kakak beradik yang baru saja pindah ke kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka takjub ketika pertama kali melihat benda-benda penuh warna terbang di langit.  selain cerita, buku ini juga mengajarkan cara membuat layang-layang sederhana, menggunakan bambu, kertas, lem, benang dan hiasan sebagai pemanis.

Sebagai penutup tur di Museum Layang-Layang, saya diajak untuk membuat sebuah kreasi layang-layang. Satu paket bahan untuk dewasa dan satu paket bahan untuk anak yang lebih sederhana. Azzahra teringat akan buku Pewarna Langit yang pernah saya bacakan padanya. 

Berada di Museum Layang-Layang, melihat berbagai koleksi unik nan artistik yang masih terawat baik, serta membuat kreasi layang-layang sendiri kemudian mencoba menerbangkannya menjadikan pengalaman berharga bagi keluarga saya, terutama untuk putri kecil saya, Azzahra.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/feed/ 0 35977
Membeli Sayur Segar di Agro Edukasi Wisata Ragunan https://telusuri.id/membeli-sayur-segar-di-agro-edukasi-wisata-ragunan/ https://telusuri.id/membeli-sayur-segar-di-agro-edukasi-wisata-ragunan/#respond Tue, 30 Aug 2022 01:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35020 Duduk-duduk di bawah pohon rindang sambil selonjoran dengan pemandangan sawah lepas, tenang sekali rasanya. Bayang-bayang ini selalu melintas di benak saya karena kerap kali terlalu lelah dengan keseharian yang padat. Belum soal rutinitas monoton setiap...

The post Membeli Sayur Segar di Agro Edukasi Wisata Ragunan appeared first on TelusuRI.

]]>
Duduk-duduk di bawah pohon rindang sambil selonjoran dengan pemandangan sawah lepas, tenang sekali rasanya. Bayang-bayang ini selalu melintas di benak saya karena kerap kali terlalu lelah dengan keseharian yang padat. Belum soal rutinitas monoton setiap hari yang lama-lama menumpuk kebosanan. Jari-jemari saya sibuk mencari informasi tempat yang memiliki nuansa kampung namun tak ingin jauh keluar kota. Situs pencarian Google memberi jawaban dengan cepat. Saya menemukan sebuah tempat yang tak begitu jauh dari rumah, adalah Agro Edukasi Wisata Ragunan. 

Agro Edukasi
Kawasan Agro Edukasi Wisata Ragunan/Atika Amalia

Dari beberapa referensi yang saya temukan saya mengetahui bahwa Agro Edukasi Wisata Ragunan merupakan program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berada di bawah Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian. Tempat ini berfungsi untuk mengembangkan kawasan pertanian sekaligus sebagai kawasan produksi, edukasi, inovasi teknologi, inkubasi bisnis, konservasi lingkungan, serta tempat wisata. 

Rencananya, Pemprov DKI Jakarta akan membangun 12 lokasi Agro Edukasi Wisata lainnya. Pemprov DKI Jakarta pun akan bersinergi dengan Kementerian Pertanian untuk mendorong urban farming. Salah satu caranya adalah dengan menyalurkan bibit tanaman agar setiap orang bisa mulai bercocok tanam di rumah masing-masing.

Agro Edukasi Wisata Ragunan berada di Jalan Poncol Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan atau tepat berbatasan dengan Bumi Perkemahan Ragunan Jakarta Selatan. Jika menggunakan angkutan umum, kita bisa turun di halte Departemen Pertanian.

Gerbang Masuk Agro Edukasi Wisata Ragunan
Gerbang masuk Agro Edukasi Wisata Ragunan/Atika Amalia

Saat tiba di lokasi, saya melihat gerbang Agro Edukasi Wisata Ragunan tertutup. Seorang satpam paruh baya menghampiri dan bertanya ada keperluan apa datang ke tempat ini. Saya merasa agak sedikit aneh dengan pertanyaan beliau, biasanya saat berkunjung ke tempat wisata, pengunjung disambut tanpa diberi pertanyaan. Tapi tak ingin berpanjang lebar, saya pun mengutarakan tujuan datang kemari yaitu untuk berwisata.

Seketika satpam tersebut membukakan gerbang untuk masuk. Beliau juga menginformasikan bahwa tidak ada biaya retribusi untuk berkunjung. Semua tamu bisa masuk secara gratis. Sebuah danau menkecil jadi pemandangan utama saat masuk, namun danau tersebut berada di luar kawasan, terdapat pagar sebagai pembatas di sepanjang jalur yang saya lalui, sisi berlawanan merupakan tembok pembatas antara Bumi Perkemahan Ragunan dengan Agro Edukasi Wisata Ragunan dan juga di sepanjang dinding ini tampak tumbuh lebat tanaman keji beling (Strobilanthes crispa). 

Tanaman Kangkung yang siap panen/Atika Amalia

Saat turun dari mobil, saya langsung disambut oleh kebun kangkung (Ipomoea aquatica) dan bayam cabut (Amaranthus tricolor) yang ditanam di atas raise bed, menurut laman jurnal.com raised bed adalah lingkup lahan yang dibuat di atas tanah atau dak kemudian dibatasi dengan wadah atau bahasa sederhananya: bak tanaman. 

Saya juga melihat sekitar lima orang yang sedang beraktivitas di dalamnya, ada yang sedang mencangkul, ada yang duduk-duduk dan ada pula yang sedang merapikan tanaman. Beberapa orang dari mereka melihat kedatangan saya. Jujur saja, saya sempat bingung dengan situasi ini. Saya harus kemana dan bertanya ke siapa. Namun, pada akhirnya tanpa ragu, saya menyapa salah seorang petani dan bertanya mengenai alur kunjungan, petani tersebut mengarahkan saya untuk berjalanan ke arah sebuah bangunan yang tampak seperti gedung kantor. 

Saya melewati beraneka ragam tanaman di antaranya sereh (Cymbopogon citratus), terung (Solanum melongena), bunga telang (Clitoria ternatea), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), kemangi (Ocimum basilicum), pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), seledri (Apium graveolens), bayam cabut (Amaranthus tricolor), daun bawang (Allium fistulosum), dan berbagai jenis pohon buah. Selain itu juga terdapat beberapa jenis hewan ternak dan tempat pengembangbiakan maggot (Hermetia illucens). 

Masih terkagum dengan tempat ini, seorang lelaki menyapa saya dan menanyakan tujuan saya datang ke sini, lagi-lagi pertanyaan ini terasa agak janggal. Kemudian saya berbalik tanya, apakah ada yang bisa mendampingi saya. Tak lama berselang, seorang lelaki yang lebih muda terlihat berlari kecil mendekat, dengan ramah ia memperkenalkan diri, namanya Nanda dan ia akan mendampingi saya mengelilingi tempat ini. 

Azzahra Memberi Makan Sapi
Azzahra memberi makan sapi/Atika Amalia

Nanda mengajak saya untuk memberi pakan sapi. Rumput-rumput pakan  ditanam langsung di kawasan ini. Putri kecil saya Azzahra—yang juga ikut menemani saya saat berkunjung—sangat senang bisa memberi makan sapi secara langsung. Tak hanya sapi, Nanda juga mengajak saya melihat kandang ayam kampung, kambing, kelinci, dan ikan.

Hasil produksi dari ternak-ternak dijual, di antaranya susu sapi yang telah dipasteurisasi, telur ayam kampung, dan juga ikan. Sambil berkeliling Nanda juga bercerita bahwa Agro Edukasi Wisata Ragunan memang dihadirkan untuk memfasilitasi minat masyarakat untuk belajar urban farming atau bercocok tanam di perkotaan, mulai dari menanam, pembibitan, pemupukan, panen, hingga pengemasan dan pemasarannya. 

Hidroponik/Atika Amalia

Hal ini sejalan dengan upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung wisata pertanian. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan lahan kosong di Jakarta sambil memperkenalkan konsep ketahanan pangan keluarga dengan urban farming lokal. Selain itu, pengunjung bisa melihat tanaman superfood lokal, belajar teknik hidroponik, dan mengenal tanaman pangan lain seperti microgreens dan tanaman bunga yang bisa dimakan.

Setelah lelah berkeliling, Seorang wanita datang menghampiri kami, namanya Iyut, ia juga bertugas sebagai pendamping pengunjung. Ia baru saja menyiapkan bibit-bibit tanaman. Kemudian, Nanda dan Iyut memberi tahu saya bahwa sayur-sayur yang ditanam di lokasi ini bisa dibeli. Pengunjung juga boleh ikut turun memetik sayur-sayur segar. Seikat sayur kangkung (Ipomoea aquatica) dijual dengan harga lima ribu rupiah. Jika dibanding harga pasar, sayur di sini terbilang murah apalagi satu ikatnya sangat banyak .

Mereka juga bercerita sayuran yang di tanam di Agro Edukasi Wisata Ragunan kadang sudah pesanan pelanggan, dan setiap hari sudah ada daftar pembelinya. Pada pagi hari, calon pembeli pun sudah menunggu sayur-sayur dipetik oleh petani. Dari cerita Nanda dan Iyut akhirnya saya paham mengapa saat masuk satpam lebih dulu bertanya, karena beberapa kelompok tamu yang sering datang ke kawasan ini, ada yang hanya mengambil pesanan sayuran, sekedar berkunjung atau field trip rombongan taman kanak-kanak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membeli Sayur Segar di Agro Edukasi Wisata Ragunan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membeli-sayur-segar-di-agro-edukasi-wisata-ragunan/feed/ 0 35020
Kerak Telor Citadelweg https://telusuri.id/kerak-telor-citadelweg/ https://telusuri.id/kerak-telor-citadelweg/#respond Fri, 29 Jul 2022 01:56:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34705 Tepat di jalur pejalan kaki samping kali kecil di Jalan Veteran 1 Jakarta, seorang pedagang duduk santai di depan panggulanya. Ia adalah penjual kerak telor. Salah satu makanan legendaris ibu kota. Jika mendengar kata kerak,...

The post Kerak Telor Citadelweg appeared first on TelusuRI.

]]>
pedagang kerak telor - Atika amalia
Pedagang kerak telor/Atika amalia

Tepat di jalur pejalan kaki samping kali kecil di Jalan Veteran 1 Jakarta, seorang pedagang duduk santai di depan panggulanya. Ia adalah penjual kerak telor. Salah satu makanan legendaris ibu kota. Jika mendengar kata kerak, tentu tak jauh dari kesan gosong, hitam, dan mungkin pahit. Anggapan tersebut bisa ditepis ketika kita mencicipi kerak telor. Panganan berbahan dasar beras ketan dan telur ini selalu dicari pelancong terutama yang baru pertama kali datang ke Jakarta. 

Asal Usul Kerak Telor 

Kerak telor merupakan kreasi masyarakat Betawi. Melansir dari laman Indonesia.go.id, kerak telor merupakan hasil percobaan sekelompok masyarakat Betawi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Terbuat dari bahan utama telur, dimasak seperti omelet atau telur dadar tetapi di dalamnya berisi beras ketan. Tak lupa taburan bumbu sebagai topping untuk menambah cita rasa. 

Pada zaman Belanda, mulanya kerak telor terdiri dari omelet berisikan mie yang dipadu dengan khas rempah Indonesia. Kemudian, orang Belanda menginginkan makanan yang lebih sehat, sehingga mengganti mie dengan beras ketan. Makanan ini menjadi populer dikalangan orang Belanda dan kerap menjadi sebagai santapan pembuka. Kala itu kerak telor juga termasuk makanan yang high class karena banyak dinikmati oleh bangsawan Belanda.

kerak telor sudah matang - Atika Amalia
Kerak telor sudah matang/Atika Amalia

Kelapa yang tumbuh subur dan melimpah di Batavia juga dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai salah satu bahan dasar pembuatan kerak telor. Tahun 1970-an, masyarakat Betawi mulai menjajakan kerak telor di sekitar Tugu Monumen Nasional (Monas). Pada era pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, kerak telor juga mulai dipromosikan sebagai makanan khas Betawi. Seiring perkembangan, kerak telor bisa dijumpai kapan saja dan banyak ditemukan di jalanan Kota Jakarta juga tempat-tempat wisata. 

Saya membeli satu porsi kerak telor. Penjual pun memberi dua pilihan yakni kerak telor dengan telur bebek atau telur ayam. Keduanya memiliki harga yang berbeda. Saya memilih kerak telor yang dicampur dengan telur ayam. 

Mula-mula pedagang menyalakan tungku kecil yang ia bawa, tampaknya terbuat dari tanah liat dengan arang didalamnya. Sebuah wajan khusus ditaruh diatas tungku. Bahan-bahan mulai dimasukan satu persatu. Pertama beras ketan dimasak, sembari menunggu matang, siapkan telur dan kocok dengan bahan-bahan yang telah disediakan diantaranya udang kering sangrai, kelapa sangrai, garam, merica dan bawang goreng. Lalu tuang dan ratakan kedalam wajan, kemudian tutup wajan hingga matang. Setelah matang, taburkan bubuk kelapa,  udang kering, dan bawang goreng. Kerak telor pun siap disantap. Harga satu porsi kerak telor berkisar 15 ribu hingga 25 ribu rupiah tergantung jenis telur yang digunakan.

Proses pembuatan kerak telor -Atika amalia
Proses pembuatan kerak telor/Atika amalia

Citadelweg pada Masanya

Sebelum bernama Jakarta, orang-orang Belanda pada masa Hindia Belanda menyebutnya sebagai Batavia, dari  tahun 1621 sampai tahun 1942.  Namun, setelah kekuasaan Hindia Belanda jatuh, Jepang mengubah nama kota  menjadi Jakarta. Di Batavia, garis pertahanan (defensielijn) terbentang dari belakang Stasiun Senen (Jalan Bungur Besar), memanjang dari ujung selatan ke utara. Di ujung utara, garis pertahanan membelah ke arah barat melintas Sawah Besar, Krekot, Gang Ketapang, dan di Petojo garis pertahanan memanjang hingga Monas.

Tak berhenti hingga Monas, pertahanan pun berlanjut ke Tanah Abang, Kebon sirih hingga jembatan Prapatan dan Kramat Bunder. Garis Pertahanan yang Panjang berhubungan dengan Benteng Citadel Frederik (Fort Prins Frederik) yang dibangun di tengah Taman Wilhelmina. Sistem pertahanan ini tak lepas dari kekuasaan gubernur yang berkuasa saat itu, Gubernur Jenderal Van den Bosch memberi nama sistem pertahanan tersebut sesuai namanya yakni Defensielijn Van den Bosch. 

Benteng Citadel Frederik juga dibangun oleh Van den Bosch pada tahun 1834, terdapat sebuah lonceng besar dibagian atas benteng. Melansir dari Kompas.com, menurut buku Jakarta Tempo Doeloe, pemilik lonceng ini adalah toko arloji milik orang Belanda di Rijswijk (Jalan Veteran), toko arloji itu bernama Van Arcken. Setiap pukul 05.00 dan 20.00 terdengar suara meriam dari benteng sebagai tanda bagi pihak tentara.

Pada tahun 1950, kondisi Taman Wilhelmina  tak lagi terurus, sepi, gelap, dan kotor. Tembok bekas benteng berlumut dan rumput ilalang tumbuh liar dimana-mana, akhirnya bekas benteng ini dirobohkan. Persis di atas reruntuhan benteng di Taman Wilhelmina, Bung Karno menetapkan lokasi pembangunan masjid. Setahun setelahnya, masjid yang terkenal hingga penjuru negeri sebagai Masjid Istiqlal pun mulai dibangun. 

Tak jauh dari Taman Wilhelmina dan Benteng Citadel Frederik, terbentang dua jalan yang di abad 19 menjadi kawasan elit bagi penduduk Belanda yakni Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda). Di sepanjang jalan ini berbagai bisnis tumbuh seperti bisnis hotel, restoran, toko kue, dan lainnya. Di ujung Jalan Veteran, terdapat sebuah hotel legendaris, kini hotel tersebut bernama Hotel Sriwijaya.

Mengutip dari laman jakarta-tourism.go.id, awalnya hotel yang dimiliki Conrad Alexander Willem Cavadino (CAW Cavadino) ini merupakan sebuah restoran. CAW Cavadino memulai usaha restoran, roti/kue dan toko pada tahun 1863. Tempat usaha ini dibangun persis di pojokan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran) dan Citadelweg (kini Jalan Veteran I). 

Tak lekang oleh waktu, kawasan Citadelweg hingga kini tetap hidup dan selalu ramai dikunjungi penduduk Jakarta dan luar Jakarta untuk menikmati berbagai kuliner. Di jalan ini pula terdapat satu kedai es krim yang pernah mengukir sejarahnya di Batavia sekitar tahun 1930-an. Kedai es krim bernama Ragusa yang masih ada sampai saat ini di tempat yang sama namun kondisinya menyesuaikan dengan perkembangan jalan. Menikmati Jalan Veteran 1 yang tak pernah sepi pengunjung, membuat saya semakin penasaran untuk mencari tahu berbagai kuliner legendaris lain hingga sejarah kotanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kerak Telor Citadelweg appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kerak-telor-citadelweg/feed/ 0 34705
Mall Rongsok, Berkah dari yang Dibuang https://telusuri.id/mall-rongsok-berkah-dari-yang-dibuang/ https://telusuri.id/mall-rongsok-berkah-dari-yang-dibuang/#respond Tue, 07 Jun 2022 01:52:57 +0000 https://telusuri.id/?p=33996 “Saya kena PHK sekitar tahun 1997,” ujar Udin. Lelaki paruh baya yang sedang duduk di salah satu kursi di sebelah lemari kaca. Baju kemeja biru yang ia kenakan tampak berdebu, namun ia tampak senang sekali...

The post Mall Rongsok, Berkah dari yang Dibuang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Saya kena PHK sekitar tahun 1997,” ujar Udin. Lelaki paruh baya yang sedang duduk di salah satu kursi di sebelah lemari kaca. Baju kemeja biru yang ia kenakan tampak berdebu, namun ia tampak senang sekali menjawab rentetan pertanyaan yang saya lontarkan di Mall Rongsok.

“Mall ini sudah berapa lama Pak Udin?” Saya bertanya pada Udin. 

“Dari tahun 2008 awalnya, namun baru diberi nama Mall Rongsok itu sekitar tahun 2010,” jawab Udin. 

“Sudah 10 tahun lebih ya, Pak.” 

“Barang-barang yang ada di sini di dapat dari mana sih Pak Udin?”

“Wah, ya dari mana-mana, ada yang orang bangkrut tokonya, ada yang dilelang kayak di DPR kemarin, ada yang orang pindahan rumah atau juga orang yang datang aja gitu ngejual ke sini,” jawab Udin.

Mall Rongsok Depok/Atika Amalia

Saya menatap lekat wajah Udin, kemudian berbalik badan sembari melihat-lihat sesuatu yang menarik. Sebuah spanduk kecil promosi brand restoran halal Korea yang pernah saya kunjungi hampir 7 tahun lalu tampak berayun lembut mengikuti angin. Seketika mengingatkan saya saat masih tinggal di kawasan Margonda, Depok. 

Semenjak pandemi, saya dan keluarga memang sudah jarang sekali mengunjungi mal. Biasanya dulu setiap akhir pekan, mal adalah tempat yang kami jadikan untuk menyegarkan pikiran, namun pandemi mengajarkan saya lebih nyaman dengan menghabiskan hari bersantai dan melewatkan akhir pekan di rumah. Sesekali saja, saya memilih mal  sebagai tempat berbelanja bulanan. 

“Pak Udin, kenapa merek ini ada di sini ya? tadi di bawah saya juga lihat semua perlengkapan makannya,” tanya saya penasaran.

“Oh iya, semua barang-barang mereka lelang, jadi kita beli dan jual lagi di sini,” jawabnya. 

Saya yang semakin penasaran dan kembali bertanya, “Gak jualan lagi apa gimana, Pak?” 

“Ada kayaknya, tapi buat yang diantar-antar aja,” Udin menjawab datar. 

Saya kembali berpikir, restoran ini menjual semua inventarisnya, bisa saja gulung tikar karena pandemi. Saya mencoba menerka-nerka penyebab restoran ini menjual semua barang-barang yang mereka punya. Setelah lelah melihat barang yang tersedia, saya kembali turun ke lantai dasar. Sedikit ada rasa takut saat berada di lantai dua Mall Rongsok.

Pintu masuk Mall Rongsok/Atika Amalia

Berlokasi tak jauh dari Universitas Indonesia, tepatnya di Jalan Bungur Raya, Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Bangunan mal tampak serba apa adanya, semua dibangun juga dengan menggunakan barang bekas. Walau memang kekuatan bangunan diragukan tapi itulah daya tarik mal yang tergolong unik ini. Tak hanya warga Depok yang mampir, orang-orang di luar Pulau Jawa pun sering berkunjung bahkan turis asing juga pernah datang. 

Dari keunikannya yang menjual berbagai macam barang bekas dari TV, komputer, DVD, bangku makan, lemari, meja, sofa, wajan, baut-baut, kabel bekas, selang-selang, kompor dan hampir segala jenis barang ada di Mall Rongsok. Hal ini menarik banyak stasiun TV untuk melakukan liputan, bahkan sang pendiri bernama Nurcholis Agi pernah diundang di acara Hitam Putih. Selain itu, juga liputan langsung oleh beberapa media diantaranya kompas TV, Net 5, dan juga TV One. 

Nurcholis Agi, seorang pria yang memiliki ayah berdarah Kalimantan dan Ibu berasal dari Surabaya ini mengaku memulai usaha berbasis barang bekas ini melalui sebuah hobi. Nurcholis kecil senang sekali mengutak-atik barang-barang elektronik. Pada tahun 1998 ia pernah bercita-cita ingin mempunyai satu tempat untuk hobinya namun baru terwujud di tahun 2008. Sebelumnya Mall Rongsok hanya berukuran 100m² dengan nama Adi Elektronik. 

Karyawan Mall Rongsok tampak sedang melakukan perbaikan pada barang/Atika Amalia

Seiring berjalannya waktu, Mall Rongsok semakin berkembang, luas bangunan semakin besar serta memiliki tiga lantai. Selain di Depok, Mall Rongsok juga melebarkan sayap ke Bogor dan Cinere, namun yang di Cinere tutup karena habis kontrak. Sementara yang saya kunjungi saat ini yakni Mall Rongsok Depok sebagai tempat penjualan dan Wisata Rongsok Depok sebagai gudang juga jadikan tempat memperbaiki barang-barang sebelum dijual kembali. Perbaikan yang dilakukan pun hanya sebatas kemampuan yang mereka punya.

Dari wawancara yang pernah dilakukan oleh Khairunnisa Adinda Kinanti di laman DetikNews menyampaikan bahwa Menurut Nurcholis Agi, barang bekas tentu masih ada nilainya, meski kayu sekalipun. Hanya saja semuanya tergantung dari sudut pandang orang yang melihat barang bekas tersebut. 

“Apapun barang bekas yang ada di sini pasti ada nilainya. Yang saya lihat hanya peluang. Jadi peluang barang bekas itu ternyata menjanjikan dan bisa menghidupi,” tutup Nurcholis.

Buku-buku bekas di Mall Rongsok/Atika Amalia

Sejauh yang saya tahu, sampah alat-alat rumah tangga seperti elektronik, buku, kipas angin, DVD bekas, komputer, CPU, sofa bed, meja makan, bangku, peralatan makan, dan banyak lagi, setiap tahunnya akan menambah jumlah limbah di lingkungan jika tidak dikelola dengan bijak. 

Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bahwa di Indonesia sendiri timbunan sampah elektronik mencapai 2 juta ton pada tahun 2021. Pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari generasi limbah elektronik tahun 2021. Selain itu, dari laman jakarta.go.id menyampaikan bahwa limbah elektronik atau limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang masuk ke lingkungan, akan mengakibatkan asidifikasi tanah yang dapat merusak tanah, sehingga tanah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam maupun dijadikan hunian. Selain itu, limbah ini juga dapat mencemari air tanah dan udara dengan zat berbahaya. Dari informasi diatas, bisa dipastikan bahwa limbah elektronik yang berasal dari rumah tangga, perkantoran, hotel, restoran dan berbagai tempat lainnya sangatlah membahayakan lingkungan. 

Mall Rongsok dijadikan untuk gudang dan bengkel perbaikan/Atika Amalia

Sementara itu, Mall Rongsok menjadikannya sebagai peluang bisnis, mulai dari menampung barang bekas yang tadinya dibuang kemudian diperbaiki lalu dijual kembali untuk mereka yang membutuhkan. Tanpa disadari, barang-barang yang tadinya akan menambah beban lingkungan justru malah menjadi berkah bagi pemilik usaha dan harga yang lebih murah dari membeli produk baru akan didapatkan para pembeli. Calon pembeli pun bisa lebih hemat. 

Walaupun demikian Mall Rongsok yang tampak seadanya memiliki sistem pembayaran yang juga mengikuti zaman, ditempat ini pembeli bisa melakukan pembayaran dengan QRIS. Calon pembeli tak perlu repot untuk menyediakan uang kontan. Membeli barang bekas yang layak digunakan kembali bukanlah hal yang memalukan tetapi salah satu cara yang bijak dalam mengurangi sampah serta meredam efek buruk untuk lingkungan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mall Rongsok, Berkah dari yang Dibuang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mall-rongsok-berkah-dari-yang-dibuang/feed/ 0 33996
Mengurangi Sampah dengan Memakai Pembalut Kain https://telusuri.id/mengurangi-sampah-dengan-memakai-pembalut-kain/ https://telusuri.id/mengurangi-sampah-dengan-memakai-pembalut-kain/#respond Thu, 07 Apr 2022 02:04:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33322 Semenjak mengikuti isu krisis iklim dan kerusakan bumi, saya jadi tergerak untuk melakukan perubahan dalam keseharian. Tak ingin menjadi penyumbang efek buruk untuk lingkungan. Berusaha aktif menambah wawasan dengan ikut seminar, baca artikel, dan menonton...

The post Mengurangi Sampah dengan Memakai Pembalut Kain appeared first on TelusuRI.

]]>
Semenjak mengikuti isu krisis iklim dan kerusakan bumi, saya jadi tergerak untuk melakukan perubahan dalam keseharian. Tak ingin menjadi penyumbang efek buruk untuk lingkungan. Berusaha aktif menambah wawasan dengan ikut seminar, baca artikel, dan menonton tayangan dalam upaya penyelamatan bumi. Sedikit-sedikit saya coba praktekkan mulai dari membawa botol minum sendiri, membawa tempat makan, dan juga tas belanja. Apalagi semenjak COVID-19 merebak, keinginan untuk menyiapkan peralatan makan sendiri saat berpergian menjadi semakin tinggi. 

Masjid Az-Zikra Masjid Ramah Lingkungan
Pengunjung membuang sampah si tempat sampah di Masjid Az-Zikra, Setul, Bogor. Masjid Az-Zikra memiliki empat program eco-masjid yaitu daur ulang dan konservasi air, pengolahan sampah, penghijauan, dan sanitasi. via TEMPO/Nurdiansah

Tak hanya itu, di rumah, saya juga mencoba memisahkan sampah organik, anorganik, dan sampah baterai. Namun sayangnya, rumah saya hanya punya satu bak pembuangan sampah, yang mana petugas sampah akan mengambil sampah dari tempat tersebut. Mereka kembali menjadikan satu sampah-sampah yang sudah saya pisahkan. Lalu, muncul pertanyaan di hati saya, “Apakah petugas sampah yang bukan dibawah unit kedinasan tidak dibekali pengetahuan dalam memisahkan sampah?”

Semakin hari pengetahuan saya bertambah, sampai suatu hari saya menemukan informasi mengenai penggunaan pembalut kain. Membaca ulasan tersebut, mengantarkan saya pada cerita masa lalu saat saya pertama kali datang bulan. Saat itu, saya berusia 12 tahun dan tidak tahu apa-apa tentang ‘tamu bulanan.’ Nenek membuatkan saya pembalut kain yang beliau jahit sendiri. Supaya pembalut tersebut tidak berubah posisi, nenek memasang semat atau peniti. Namun selang beberapa bulan, penggunaan pembalut kain ini tidak nyaman karena setelah dicuci terasa lebih kasar dan keras.

Setahu saya, pembalut kain sendiri sudah digunakan dari zaman dahulu. Seiring dengan perkembangan zaman, pembalut kain mulai ditinggalkan. Sebagian besar perempuan beralih menggunakan pembalut sekali pakai karena lebih praktis.

Pro dan kontra antara pembalut kain dan pembalut sekali pakai pun menjadi bahan perdebatan. Mulai dari faktor kesehatan, biaya, efisiensi dalam pemakaian, cara perawatan, dan bahan baku yang ramah lingkungan. 

Jika dibandingkan, pembalut kain punya beberapa kelebihan yakni hemat biaya, bahan baku ramah lingkungan, mengurangi penumpukan sampah yang sulit didaur ulang, dan lebih sehat asal tetap memperhatikan kebersihan genitalia agar tidak menjadi pemicu untuk tempat bakteri berkembang biak. 

Perempuan pada umumnya mengalami menstruasi pertama yang disebut menarche pada usia 11 sampai 14 tahun. Menstruasi akan berlangsung setiap bulan dan akan berakhir saat fase menopause. Jika dihitung rata-rata perempuan akan menstruasi sekitar 400 kali hingga menopause tiba. Dalam satu bulan, menstruasi berlangsung selama 5 hingga 7 hari dan perempuan membutuhkan sekitar 42 pembalut. Sementara itu, satu lembar pembalut sekali pakai akan mengurai dan hancur hampir 400 tahun. Saya sendiri tak sanggup membayangkan jika semua perempuan yang sudah menstruasi menggunakan pembalut sekali pakai, betapa lelahnya bumi ini mengurai sampah pembalut kita.

Dewasa ini, sebagian besar perempuan menyadari efek buruk dari sampah-sampah yang mereka hasilkan, pentingnya menjaga bumi dengan konsisten membangun kebiasaan hidup berkelanjutan. Salah satu caranya yakni dengan beralih pada penggunaan produk-produk ramah lingkungan seperti pembalut kain.

Saya lalu menelusuri laman e-commerce, menemukan banyak sekali pembalut kain dengan pelbagai macam motif, warna, dan harga Masing-masing produk mempromosikan keunggulan dan cara perawatan. Sebagai calon pembeli saya cukup mudah memahami produk ini dan semakin yakin untuk beralih menggunakan produk ini.

Bentuk yang mirip sekali dengan pembalu sekali pakai/Atika amalia

Pernah sekali terlintas di kepala, kenapa sampah pembalut ini tidak dibakar saja supaya tidak menumpuk. Ternyata, membakar sampah pembalut bukanlah menjadi solusi. Hal ini justru menimbulkan masalah baru: memperparah pencemaran lingkungan karena asap dari sampah tersebut mengandung kimia berbahaya yang menyebabkan gangguan kesehatan seperti ISPA, kanker, pembengkakan hati dan gangguan sistem saraf jika terhirup manusia.

Setelah berhari-hari mencari pembalut kain di salah satu e-commerce. Saya memutuskan untuk memesan produk handmade buatan seorang penjahit perempuan asal Yogyakarta, beliau menjahit pembalut sesuai dengan prapesan dari pembeli. Ada pelbagai macam ukuran pembalut yang ditawarkan sesuai dengan flow menstruasi masing-masing pengguna. Tersedia ukuran L, M, dan yang paling kecil S. Warnanya dan motif juga beragam. 

Setelah memesan beberapa pembalut, saya sempat ngobrol via chat dengan penjahit yang menyebut namanya Rani. Ia bercerita, pada mulanya hanya menjahit untuk kebutuhan sendiri sebagai tanda cinta untuk organ reproduksi. Kemudian hatinya terpanggil untuk mengajak perempuan lain agar beralih pada produk yang lebih ramah lingkungan dengan cara menjual pembalut hasil jahitannya.

Berbagai ukuran/Atika Amalia

Hampir satu minggu kemudian, pembalut kain hasil karya Rani tiba. Terbungkus sebuah kotak karton, dan tidak ada selembar lakban plastik menempel pada paket ini. Kardusnya bisa saya gunakan kembali, atau bisa juga mendaur ulangnya. Di dalamnya terdapat sebuah kertas berisi tentang banyak tips, cara mencuci pembalut, cara perawatan, dan cara pemakaian. 

Satu hal yang paling menjadi perhatian saya adalah pembalut kain biasanya kaku dan keras setelah dicuci. Setelah belasan tahun lamanya, saya mendapat jawabannya. Ternyata, jika pembalut kain kaku setelah dicuci, artinya masih ada residu sabun yang menumpuk. Rani menuliskan solusinya, ada dua cara. Pertama rendam dengan air dingin selama 30 menit, dan kedua tambahkan sedikit baking soda kemudian bilas hingga residu busa hilang.

Kita sebagai perempuan bisa melakukan berbagai kebaikan untuk bumi, mulai dari hal sederhana. Kamu, kapan memulainya?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengurangi Sampah dengan Memakai Pembalut Kain appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengurangi-sampah-dengan-memakai-pembalut-kain/feed/ 0 33322
Curug Tilu Ciririp: Dulu Tersembunyi, Kini Mudah Disambangi https://telusuri.id/curug-tilu-ciririp-dulu-tersembunyi-kini-mudah-disambangi/ https://telusuri.id/curug-tilu-ciririp-dulu-tersembunyi-kini-mudah-disambangi/#respond Mon, 04 Apr 2022 02:14:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33231 Pagi itu, langit Jakarta tampak cerah. Usai menikmati nasi uduk kesukaan, Aydas bertanya, “Ada rencana, Bun?”. Sontak saja saya menjawab, “Mau ke Purwakarta.” Seperti gayung bersambut, saya dan Aydas sepakat untuk melanjutkan perjalanan menuju Purwakarta....

The post Curug Tilu Ciririp: Dulu Tersembunyi, Kini Mudah Disambangi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, langit Jakarta tampak cerah. Usai menikmati nasi uduk kesukaan, Aydas bertanya, “Ada rencana, Bun?”. Sontak saja saya menjawab, “Mau ke Purwakarta.” Seperti gayung bersambut, saya dan Aydas sepakat untuk melanjutkan perjalanan menuju Purwakarta.

Saya sudah terbiasa untuk menyiapkan segala keperluan pribadi keluarga di bagasi, mulai dari peralatan makan, pakaian, perlengkapan mandi, sleeping bag, bantal angin, bangku lipat, dan juga matras. Mengingat kebiasaan kami yang sering sekali impulsif ketika berpergian, saya mempersiapkan segala printilan perjalanan supaya bisa jalan kapan saja. Pun, di setiap perjalanan dadakan seperti sekarang ini, kami harus mempersiapkan dana cadangan  yang sewaktu-waktu perlu dibayarkan untuk makan dan juga penginapan.Maka dari itu, saya sarankan jika kamu ingin mekakukan perjalanan, baiknya membuat itinerary dan estimasi biaya agar tidak mempengaruhi cash flow harian rumah tangga.

Dari Jakarta saya melewati tol Jagorawi, lalu melaju santai di Cikampek, setelahnya melewati tol Purbaleunyi dan keluar di Jatiluhur. Tak jauh dari exit tol Jatiluhur kami melewati RM Ciganea saat masuk ke Kota Purwakarta, setelah itu melaju di Jalan Pramuka, dan dilanjutkan ke Jalan Ir. H. Juanda baru setelahnya menuju ke Jalur Waduk Jatiluhur. 

Jalan ini sangat mudah dilalui, aplikasi penunjuk arah seperti Google Maps bisa jadi andalan. Namun, jika ingin melanjutkan perjalanan ke Curug Tilu, Ciririp, Sukasari Kabupaten Purwakarta, lebih baik memastikan kondisi kendaraan terlebih dahulu sebelum berangkat karena beberapa jalan dilewati tampak rusak dan berlubang. Jika tiba-tiba sinyal telekomunikasi hilang, kita bisa mengandalkan papan petunjuk jalan yang dipasang sepanjang rute menuju Curug Tilu.

Sepanjang perjalanan saya menemui hutan bambu yang cukup lebat, tampak aktivitas orang-orang yang mengangkut bambu ke atas truk. Tak lupa, kami mengisi bahan bakar kendaraan sebelum melewati jalur yang sunyi. Di kawasan Waduk Jatiluhur hingga Curug Tilu hanya ada penjual bensin literan. 

Sepanjang perjalanan, tampak beberapa kendaraan lalu lalang. Sesekali saya melihat rombongan motor touring mendahului. Hawa sejuk bisa saya rasakan saat membuka kaca mobil, tak lupa AC saya matikan agar bisa menghirup udara yang mengalir dari luar kendaraan. Sebelum memasuki area perkampungan yang ada di Desa Ciririp dari kejauhan tampak sebuah jajaran perbukitan yang lebih mencolok dibanding area lain, di kawasan itulah Curug Tilu berada. 

Papan Selamat Datang Curug Tilu/Atika Amalia

Sebuah baliho selamat datang menyambut kehadiran kami di Desa Ciririp. Saat akan memasuki area curug, kami harus melewati jalan setapak dengan pemukiman penduduk yang berada di sisi kanan dan kiri. Ternyata, Curug Tilu tidak seperti curug-curug yang pernah saya kunjungi sebelumnya, tak ada hutan yang mengelilinginya. Masyarakat sangat ramah menyambut kehadiran pengunjung. Jangan lupa untuk menegur warga sekitar sebagai tanda kami adalah orang baru yang berkunjung ke daerah mereka.

Dilansir dari laman nativeindonesia.com bahwa lokasi dimana Curug Tilu dulunya terisolir selama kurang lebih 50 tahun akibat mulai beroperasinya Waduk Jatiluhur sekitar tahun 1967. Jalan menuju desa tersebut terhalang oleh bentangan waduk, sehingga tidak ada jalan yang dapat dilalui menuju desa ini. Masyarakat  sekitar jika hendak keluar desa harus menggunakan perahu. Pembukaan jalan mulai dilakukan ketika kepemimpinan Dedi Mulyadi, atau biasa disebut Kang Dedi. Pemerintah mulai membangun infrastruktur jalan menuju lokasi. 

Saat itu aliran air tidak sedang deras/Atika Amalia

Disebut Curug Tilu, karena air terjun ini memiliki tiga undakan. Curug berarti air terjun, dan tilu artinya tiga. Padanan kata tersebut diambil dari bahasa Sunda. Selain memiliki sejarah keterasingan, Curug Tilu memiliki mitos yakni dilarang berenang pada hari Selasa ketika pukul 12 hingga 1 siang. Belum ada penjelasan mengenai hal tersebut, pengunjung hanya perlu menghormati dan menghargainya. 

Sebelum memasuki kawasan utama Curug Tilu, pengunjung terlebih dahulumembayar uang retribusi sebesar Rp10.000,00 per orang. Begitu memasuki area curug, sebuah jembatan gantung menyambut. Kemudian tampak beberapa leuwi diantaranya Leuwi Bunder, Leuwi Rengas, dan beberapa leuwi lainnya. Namun sayang sekali, saat saya tiba air aliran curug tidak begitu deras karena saat itu memang sedang jarang sekali hujan. 

Jalur cocok untuk trekking/Atika Amalia

Area Curug Tilu cocok untuk bersantai, trekking, dan mendekatkan diri ke alam. Setelah trekking ringan, saya duduk sejenak melepas lelah di sebuah warung milik masyarakat, mereka menjual minuman kemasan dan mie instan. 

Hampi setengah jam bersantai, pemilik warung kembali mengingatkan bahwa saat ini sudah pukul setengah lima sore dan sebentar lagi kami semua harus segera turun ke bawah sebelum langit semakin gelap. Kami pun pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Curug Tilu Ciririp: Dulu Tersembunyi, Kini Mudah Disambangi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/curug-tilu-ciririp-dulu-tersembunyi-kini-mudah-disambangi/feed/ 0 33231