TelusuRI, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ayotelusuri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:24:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 TelusuRI, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ayotelusuri/ 32 32 135956295 Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/ https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/#respond Fri, 06 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47340 Sepintas kehidupan berjalan begitu rumit bagi masyarakat penghuni perairan rawa Tulung Selapan. Seakan menerima suratan takdir menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Namun, Sri bersama Bintang Ratu membuktikan setiap orang berhak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Teks:...

The post Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepintas kehidupan berjalan begitu rumit bagi masyarakat penghuni perairan rawa Tulung Selapan. Seakan menerima suratan takdir menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Namun, Sri bersama Bintang Ratu membuktikan setiap orang berhak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Bentang alam dan geografis yang sulit mengepung kampung-kampung terpencil di kanal-kanal kecil Sungai Selapan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Tak terkecuali Satuan Penduduk (SP) 2, Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, sebuah kampung yang dihuni sekitar 100 kepala keluarga (KK). Betapa tidak, akses pendidikan, kesehatan, dan kegiatan perekonomian bergantung pada pasang surut perairan rawa yang bermuara di pesisir paling timur Pulau Sumatra tersebut.

Sebagian besar warga berdarah Jawa yang merantau sejak tiga hingga empat dekade lalu dari Lampung. Termasuk Katiyo, salah satu penghuni generasi awal di SP 2. Bapak empat anak asal Trenggalek itu sehari-hari bekerja sebagai petambak udang windu dan bandeng, profesi mayoritas di kampung ini.

Lahan tambak yang dikerjakan biasanya berada jauh dari kampung dan harus memakai perahu klotok atau speed boat. Selebihnya bertani padi, palawija, sayur, dan berkebun kelapa sawit. Kurang lebih radius 10 kilometer dari SP 2 memang terkoneksi jalur darat dengan lahan perkebunan kelapa sawit PT Bumi Khatulistiwa Mandiri. Di antaranya jalur itu terdapat kampung-kampung kecil, seperti SP 1, SP 3, dan SP 5.  

Cuaca jadi tantangan terbesar untuk bertahan hidup di sini. Ketika musim kering, warga, terutama ibu-ibu, bisa menanam sayuran, seperti cabai, terong, kangkung, dan bayam. Begitu musim hujan tiba, air sungai akan meluap dan membanjiri kampung. Semua tanaman mati, sehingga harus istirahat menanam. Sementara saat musim awal budi daya tambak, sebagian suami harus menginap berhari-hari di pondok yang dibangun dekat tambak. Tujuannya untuk mengawasi perkembangan bibit udang dan bandeng agar sesuai harapan, serta memastikan agar air pasang tidak membanjiri tambak.

Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat Sri Ngatoyah (44) berkreasi di luar kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Lewat kelompok UMKM perempuan Bintang Ratu, putri sulung Katiyo itu ingin mengoptimalkan potensi ekonomi kampung dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. 

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sejumlah siswa ditemani gurunya melintasi Sungai Selapan dengan kelotok sepulang sekolah. Tampak kerimbunan hutan nipah yang memiliki potensi bernilai ekonomi bagi masyarakat SP 2 Simpang Tiga Abadi, Tulung Selapan/Deta Widyananda

Dari bandeng sampai nipah

“Berdirinya Bintang Ratu itu bulan Juli, tahun 2019. Kami dibina Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk membuat bandeng presto supaya mendapat hasil atau nilai jual yang lebih [dari sekadar bandeng mentah],” kata Sri. 

Bandeng presto dipilih karena bahan baku mudah didapat dari hasil panen tambak yang digarap suami mereka. Jenis ikan bandeng yang digunakan umumnya memiliki ukuran di luar ketentuan minimal yang dijual segar ke pengepul. Istilah Sri, ikan bandeng yang tidak masuk “size”.

Produksi bandeng presto sempat berjalan baik beberapa tahun. Peminatnya banyak. Kabarnya, bandeng presto produksi Bintang Ratu dikenal berkualitas dan terbaik di seantero Sumatra Selatan. Proses produksinya pun relatif mudah. 

Hanya saja, Sri menyadari ada tantangan tersendiri dalam memproduksi bandeng presto. “Karena kita di sini terkendala sama kelistrikan. Jadi, untuk mengirim produk ke Palembang itu lebih susah. Tidak ada freezer di sini,” terangnya. Sri memberi ilustrasi, dari 10 produk bandeng presto yang dikirim ke Palembang, separuhnya “terpaksa” rusak atau sudah membusuk.

Kesulitan Sri dan sembilan anggota kelompok Bintang Ratu sebenarnya juga dialami hampir seluruh masyarakat desa-desa penghuni rawa Sungai Selapan. Dari Simpang Tiga sampai Sungai Lumpur di muara yang berbatasan dengan Selat Bangka. Belum ada pasokan listrik negara yang menjamin kelistrikan tersedia 24 jam. Masyarakat mengandalkan genset yang hanya menyala dari petang sampai pagi, mengingat tingginya harga bahan bakar di daerah yang aksesnya jauh dari mana pun.

“Jadi, kalau misalnya kita di sini sudah ada [pasokan listrik untuk] freezer, kita mengirim ke Palembang lebih mudah,” harap Sri. Tapi kenyataan tersebut berusaha ditanggapi santai oleh Siti Sulkha (42), anggota kelompok sekaligus adik ipar Sri. Baginya, meski bandeng presto sering hancur, setidaknya nama Bintang Ratu bisa makin dikenal orang. “Biar tekor, asal tersohor,” selorohnya.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Bentuk buah nipah yang menggantung di pelepah pohon nipah yang banyak ditemukan di pesisir OKI. Untuk memanen buah nipah, warga harus menggunakan perahu/Deta Widyananda

Tentu saja ibu-ibu Bintang Ratu tidak bisa terus-terusan tekor. Inovasi produk dilakukan seiring masuknya Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), seiring penyelenggaraan pengelolaan mangrove melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di pesisir OKI sejak 2021. Program ini bertujuan merestorasi ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan produksi tambak berkelanjutan dengan metode wanamina atau silvofishery

Program tersebut tidak hanya menyasar para petambak yang didominasi laki-laki, tetapi juga kelompok perempuan agar memiliki kemandirian ekonomi. YKAN kemudian mendatangkan Nuraeni, Ketua Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-Zahra, yang sukses memberdayakan perempuan dan para nelayan di pesisir Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Oleh Nuraeni, Sri dan anggota Bintang Ratu diajari mengolah ikan bandeng dalam bentuk lebih segar dan tahan lama, yaitu abon bandeng.

Tidak hanya bandeng, YKAN juga melibatkan akademisi maupun peneliti dari Universitas Sriwijaya (Unsri) untuk mengolah buah nipah. Salah satu produk olahan yang hingga kini masih dikerjakan adalah cookies atau kue kering atau biskuit nipah. Sri mengakui, inovasi tersebut menyadarkan dirinya dan ibu-ibu di SP 2 tentang potensi tersembunyi yang ada di balik hutan nipah, salah satu ekosistem mangrove yang terhampar di perairan rawa pasang surut Sungai Selapan hingga muara. “Kalau dulu, kan, dari zaman nenek moyang sampai kita di sini nipah itu enggak ada artinya. [Paling jauh biasanya] buahnya buat kolang-kaling, daun buat atap rumah,” kenang Sri.

Berkat pendampingan intensif YKAN sepanjang 2022–2023 , Bintang Ratu akhirnya berhasil membuat biskuit nipah, setelah serangkaian proses trial & error sampai benar-benar mendapatkan bentuk produk yang diinginkan. Bahan bakunya berasal dari buah nipah yang diolah menjadi tepung nipah dan mengandung serat yang baik untuk tubuh. 

  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
  • Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa

Produksi dari dapur yang sederhana

Luas ruangan berbentuk “L” di sudut rumah itu paling hanya 2×3 meter. Lantainya beralas karpet berbahan vinyl. Di dalamnya rak-rak penuh perabot masak sampai alat makan dan minum. Yang menarik, puluhan botol plastik berisi air berjejer di dinding kayu dekat jendela. “Itu hasil tampungan air hujan. Biasanya buat cuci tangan atau piring supaya menghemat stok air di kamar mandi,” kata Sulkha, pemilik rumah yang juga dijadikan dapur produksi Bintang Ratu. 

Meski terdapat satu daun jendela dan pintu samping yang mengarah ke luar rumah, saat siang terik sirkulasi udara tidak maksimal, pengap, panas. Tapi di sinilah kreasi abon bandeng dan biskuit nipah Bintang Ratu berasal. Sebuah oven tangkring yang nangkring di atas kompor gas menjadi senjata andalan kelompok ibu-ibu berusaha, khususnya untuk memanggang biskuit nipah.

Proses produksi abon bandeng dan biskuit nipah berbeda. Kalau membuat abon bandeng, langkah pertama adalah membersihkan ikan bandeng hasil panen dari tambak. Setelah dibersihkan, ikan dikukus lalu dipisahkan antara duri dan daging sambil dihancurkan. 

“Setelah itu kita siapkan bumbu, kita marinasi (merendam daging ikan dalam campuran bumbu dan cairan marinasi sebelum dimasak) selama satu jam, lalu kita goreng,” ungkap Sri menjelaskan tahapan pembuatan abon bandeng. Usai digoreng, campuran olahan ikan dan bumbu tersebut kemudian ditiriskan dengan mesin spinner. Terakhir, dimasukkan dalam kemasan. Bintang Ratu menyediakan dua varian rasa untuk abon bandeng, yaitu asin gurih dan manis gurih. Setiap varian dikemas dalam standing pouch zipper dengan berat 100 gram, dijual seharga Rp25.000 per kemasan.

Adapun produksi biskuit nipah sedikit lebih panjang daripada abon bandeng. “Karena, pertama kita cari buah nipahnya yang [sudah] tua. Terus kita biarkan beberapa hari sampai rontok. Ketika sudah rontok baru kita belah,” imbuh Sri. 

Bagian dalam dan luar daging buah yang sudah dibelah dibersihkan, ditumbuk kasar, lalu dijemur selama 2–3 hari. Hasil penjemuran akan optimal jika matahari bersinar cerah tanpa terhalang mendung atau hujan. Baru ketika sudah kering, hasil tumbuk kasar tersebut digiling menjadi tepung. Tepung nipah yang sudah jadi dicampur dengan tepung terigu agar tidak mudah hancur ketika dibentuk menjadi biskuit. Terakhir, cetakan biskuit dipanggang dalam oven lalu dimasukkan dalam kemasan.

Ada dua varian rasa biskuit nipah, yakni original dan cokelat. Untuk varian original, tersedia kemasan standing pouch zipper 100 gram seharga Rp15.000 dan kemasan toples 100 gram seharga Rp20.000. “Kalau yang [rasa] cokelat, kita [selain kemasan 100 gram juga] jual bijian agar lebih mudah memperkenalkan ke masyarakat,” tambah Sri. 

Tampilan video produksi abon bandeng (paling atas) dan biskuit nipah Bintang Ratu dari Instagram, untuk menunjukkan bentuk optimalisasi penggunaan platform media sosial sebagai alat promosi

Di luar bahan baku lokal, Sri mengatakan pengadaan untuk bumbu-bumbu tambahan, kemasan, dan cetak label dibeli di Palembang. Meski tersekat jarak yang jauh, harganya lebih murah dan relatif masih bisa dijangkau. Untuk desain merek, label kemasan, dan pemasaran, Sri menyerahkan sepenuhnya ke anak pertamanya, Aang Hidayat, yang bekerja di Palembang. Lulusan Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang itu juga didapuk sebagai administrator akun Instagram bintangratu_sta dan makabon.id. Terkadang ia dibantu anak kedua Sri, Ryan Wahyudi, yang juga lulusan almamater yang sama.

Sri tidak bisa memastikan secara pasti kapasitas produksi Bintang Ratu per hari. Sebab, kelompoknya baru akan membuat produk berdasarkan pesanan. Kecuali sebelum menggunakan media sosial, Bintang Ratu menitipkan produk abon bandeng ke toko-toko oleh-oleh di Palembang setiap tiga bulan sekali. Terakhir, mereka mendapatkan pesanan 100 pak biskuit nipah dari Jakarta. Jumlah segitu bisa diproduksi kurang dari seminggu, melibatkan seluruh anggota kelompok yang berjumlah 10 orang.

Di sisi lain, Bintang Ratu juga kerap mengikuti pameran-pameran UMKM di Palembang hingga Jakarta. Sampai-sampai mereka membawa buah nipah asli untuk dipamerkan. Sebab, banyak orang mengira nipah seperti salak, sawit, atau durian hutan. “Ke depan, saya masih berharap bisa kembali memproduksi bandeng presto agar varian produk Bintang Ratu beragam,” imbuhnya. Olahan pisang dan singkong—yang juga banyak ditanam di kampung—menjadi keripik juga berpotensi memiliki nilai ekonomi untuk dijual.

Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa
Sri Ngatoyah (paling kiri) dan sejumlah anggota kelompok Bintang Ratu menyongsong harapan berkembangnya bisnis UMKM melalui produk abon bandeng, biskuit nipah, dan produk-produk olahan potensial lainnya untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di perairan rawa pasang surut OKI/Deta Widyananda

Ingin dikenal dulu, untung kemudian

Perjalanan hingga ke titik ini, Sri dan kerabat-kerabatnya meniti jalan panjang. Dari yang semula sebatas mengolah ikan bandeng menjadi ikan asin—dan minim peminat—kini makin kreatif setelah mendapat pendampingan YKAN. Walaupun terbilang sudah cukup sering menerima pesanan, Sri berterus terang kalau Bintang Ratu masih belum berorientasi profit. Ia bersama anggota kelompok sepakat untuk memanfaatkan hasil penjualan sebagai modal agar kelanjutan usaha terus bergulir dan konsisten.

“Kami belum pernah menerima gaji dari hasil kerja kami,” terang Sri, “mengingat kita di sini masih serba keterbatasan semuanya. [Terutama] masalah pendanaan. Jadi, hasil dari penjualan itu kita putar lagi.”

Sekalipun begitu, kiprah ibu-ibu Bintang Ratu diakui oleh Achmad Soleh (48), suami Sulkha. Petambak yang menghuni SP 2 sejak 1992 itu senang dengan kegiatan istrinya di Bintang Ratu, yang berarti mendukung sang kakak—Sri Ngatoyah—untuk lebih produktif dan bisa membantu perekonomian keluarga.

“Karena seperti bandeng ini, kan, kalau kita jual secara langsung mungkin harganya relatif murah, [terutama] yang kecil-kecil. Jadi, kita manfaatkan dibikin abon supaya ada nilai tambah. Kemudian nipah yang selama ini nggak kita apa-apain cuma jatuh, hilang, hanyut, ternyata setelah kita [buat] produk, ya, bisa jadi kue. Dan itu lumayan juga pemesannya,” ungkap Achmad gamblang.

Menurut Sri, meskipun memiliki kesibukan keluarga masing-masing, ia mengusahakan semua anggota kelompok bisa kumpul secara rutin. Membahas inovasi, rencana bisnis, dan juga pembagian peran atau tugas saat ada pesanan datang. Di sisi lain, Sri berpikir setidaknya dengan aktivitas usaha di Bintang Ratu membuat mereka tidak hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga atau bertani. Sri menyadari ada peluang besar untuk mewujudkan mimpi besar mereka. 

“Kita pengen mewujudkan bahwa benar-benar produk kita itu dikenal masyarakat luas,” tegas Sri. Dari bersepuluh, Sri berharap di masa mendatang masing-masing anggota bisa berjualan produk lebih banyak, lebih dikenal di media sosial, sehingga kelak bisa menambah orang (anggota) dalam kelompok Bintang Ratu, lalu mendapat manfaat keuntungan dari produk-produk yang dibuat secara berkelanjutan. “Seperti itu mimpinya,” pungkas Sri.


Foto sampul: Anggota kelompok Bintang Ratu mendemonstrasikan cara mengupas buah nipah dan mencongkel dagingnya sebagai bahan baku biskuit nipah (Deta Widyananda).

Publikasi artikel ini merupakan kerja sama TelusuRI bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Abon Bandeng dan Biskuit Nipah: Mimpi Besar Para Perempuan dari Tepian Rawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/abon-bandeng-dan-biskuit-nipah-dari-ogan-komering-ilir/feed/ 0 47340
Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/ https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/#respond Thu, 05 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47320 Di ujung muara Sungai Selapan, masyarakat pesisir jatuh bangun bertahun-tahun untuk bertahan hidup. Alam jadi sasaran demi menjaga asap dapur mengepul. Namun, di tengah tantangan geografis dan sosial-ekonomi, kolaborasi lintas sektor berupaya meniti jalan yang...

The post Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia appeared first on TelusuRI.

]]>
Di ujung muara Sungai Selapan, masyarakat pesisir jatuh bangun bertahun-tahun untuk bertahan hidup. Alam jadi sasaran demi menjaga asap dapur mengepul. Namun, di tengah tantangan geografis dan sosial-ekonomi, kolaborasi lintas sektor berupaya meniti jalan yang lebih lestari. 

Teks: Rifqy Faiza Rahman 
Foto: Deta Widyananda 


Suara-suara mesin tempel perahu menyelak keheningan Sungai Selapan, yang menembus pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Hilir mudik kelotok hingga speed boat menyiah gelombang air sungai selebar 200 meter yang bermuara ke Selat Bangka, menepikan riak yang menerjang akar-akar nipah dan mangrove di tepian. Hamparan hutan nipah dan mangrove ini melengkapi ekosistem tumbuhan khas rawa lainnya, membentuk lorong alam dari dermaga Tulung Selapan menuju Sungai Lumpur, Kecamatan Cengal, salah satu desa terakhir di ujung muara. Warga setempat kerap menyebutnya “Kuala Lumpur”, karena ‘kuala’ berarti muara. Tentu saja yang dimaksud bukan Kuala Lumpur di Malaysia. 

Tidak hanya Sungai Selapan. Sepanjang hari, pasang surut sungai-sungai besar lainnya menjadi jantung yang menggerakkan kehidupan masyarakat di 10 desa yang menghuni perairan rawa OKI. Desa-desa tersebut tersebar di empat kecamatan, yakni Air Sugihan, Tulung Selapan, Cengal, dan Sungai Menang; membentuk 75% wilayah lahan basah dataran rendah (mangrove, rawa, gambut) dan mendominasi kabupaten yang beribu kota di Kayu Agung tersebut. 

Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Selatan pada 2017, seperti dikutip dalam kajian Ulqodry dkk (2022), kawasan pesisir OKI merupakan daerah dengan garis pantai terpanjang di provinsi ini, sekitar 295,14 km yang membentang dari Kecamatan Air Sugihan (berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin) ke Kecamatan Sungai Menang (berbatasan dengan Provinsi Lampung). Kawasan pesisir OKI juga merupakan pesisir paling timur Pulau Sumatra dan berhadapan langsung dengan Pulau Bangka.  

Menariknya, meski berada dekat pesisir, mayoritas penduduk justru bermata pencaharian sebagai petambak (38,8%) daripada nelayan perikanan tangkap (28,7%). Sisanya berprofesi sebagai ASN, bidan, peternak, pemberi jasa, buruh tambak, petani, buruh tani, pekerja kelapa sawit, dan karet dengan persentase di bawah 35%. Ini tercermin dalam citra satelit wilayah empat kecamatan tersebut. Petak-petak tambak bertebaran, bagaikan labirin-labirin yang berdempetan dengan garis-garis tanah yang menyekat antara satu lahan dengan lahan tambak lainnya. 

Keberadaan tambak-tambak tersebut merupakan salah satu pembentuk sejarah perubahan fungsi lahan di pesisir timur OKI sejak lebih dari tiga dekade. Pada tahun 1990, sebelum banyak berubah menjadi tambak, bentang alam pesisir timur OKI dipenuhi ekosistem hutan mangrove seluas 48.332,20 hektare (ha), terbesar kedua di Sumatra Selatan setelah Kabupaten Banyuasin (157.071,37 ha).  

Angka itu menyusut cukup drastis, seiring bertambahnya luasan lahan tambak udang windu dan bandeng hingga saat ini. Dalam analisis citra satelit PlanetScope oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melalui kajian Hidayat dkk (2024), luas lahan tambak di empat kecamatan pesisir OKI mencapai 39.649 ha, nyaris mendekati luas mangrove terkini sebesar 40.020 ha. Akan tetapi, Hidayat dkk menambahkan, tambak bukan satu-satunya faktor tunggal penyusutan ekosistem mangrove. Aktivitas industri dengan Hak Pengusahaan hutan (HPH) dan pembalakan liar pada periode 1980–1990, ditambah kebakaran hutan dan lahan berskala besar semasa Reformasi dan terulang tahun 2015, juga turut andil. 

Mengingat pentingnya peran ekosistem mangrove bagi kehidupan pesisir Sumatra Selatan, khususnya OKI, sejak 2021 YKAN mengimplementasikan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA). Program serupa juga berlangsung di Berau (Kalimantan Timur) dan Bengkalis (Riau). MERA merupakan aliansi bersama pemerintah daerah, sejumlah perusahaan hingga lembaga internasional untuk berkolaborasi merestorasi mangrove di sejumlah kawasan pesisir yang terdegradasi. Peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat juga jadi perhatian.

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Petak-petak lahan tambak masyarakat di pesisir OKI yang sebelumnya merupakan ekosistem mangrove/Deta Widyananda

Wanamina: titik temu ekonomi dan konservasi 

Pada sepertiga awal periode 1990-an, budi daya tambak tradisional di kawasan pesisir OKI mengalami masa-masa jaya. Di masa-masa ini, YKAN mencatat luas lahan tambak baru 17 ha, sebelum akhirnya meningkat dua ribuan kali lipat dalam tiga dekade. Komoditas yang paling banyak digunakan mulanya udang windu, lalu bandeng menyusul setelah mendapat pengaruh dari petambak asal Lampung sejak tahun 2006. Sebagai salah satu kawasan terluar dan terpencil di Indonesia, ketika tidak ada jalan raya, akses air bersih, listrik negara, hingga layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, maka sumber penghidupan sebagian besar masyarakat pesisir OKI bergantung pada budi daya tambak.  

Pembukaan lahan tambak di pesisir OKI menempati atau mengambil alih ruang-ruang ekosistem mangrove dengan ragam zonasi kawasan. Mengacu pada data Peta Mangrove Nasional Tahun 2021 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekosistem mangrove di OKI termasuk dalam empat kriteria fungsi kawasan: a) Hutan Konservasi (hutan lindung) seluas 26.632,80 ha (69%); b) Areal Penggunaan Lain seluas 7.035,26 ha (18%); c) Hutan Produksi seluas 4.968,21 ha (13%); dan d) Laut-air seluas 21,58 ha (kurang dari 1%). Tutupan hutan mangrove di OKI mencapai 23% dari total luas ekosistem mangrove Sumatra Selatan. Sebagai informasi, luasan hutan mangrove Sumatra Selatan menempati posisi kedelapan di tingkat nasional, setelah Papua Selatan, Papua Barat, Papua Tengah, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Maluku. 

H. Jamaluddin (50) atau Haji Juma, warga Desa Sungai Lumpur, termasuk dalam generasi pertama yang membuka tambak di pesisir OKI. Hasil tambak yang menggiurkan pun menggoda sebagian masyarakat mengikuti jejaknya sebagai petambak. Namun, terlalu banyaknya petambak, kurang tepatnya pengelolaan lahan tambak, abrasi dan intrusi air laut, hingga perubahan iklim menguak sisi lain, yakni betapa terbatasnya kapasitas alam untuk dieksploitasi.  

Haji Juma, pemilik lahan tambak yang dijadikan demplot percontohan wanamina bersama YKAN (foto kiri). Haji Juma mengecek tambak miliknya di Sungai Lumpur yang dikhususkan sebagai lahan pembibitan udang dan bandeng/Deta Widyananda

Seperti halnya sifat khas perairan rawa dataran rendah, keberadaan tambak pun juga mengalami pasang surut. Dari yang dulunya tiga bulan sekali bisa panen, kini semakin panjang setidaknya enam bulan sekali baru bisa mendapat hasil. Itu pun tidak menentu, sekalipun musim kemarau dianggap sebagai masa siklus budi daya paling optimal. Laiknya hukum kurva law of diminishing return dalam ilmu ekonomi, perolehan hasil tambak—baik dari kuantitas produksi dan pendapatan—pun ikut mengalami penurunan hingga 30–50%. Sebab, skala produksi sudah mencapai titik puncak pada periode Reformasi lalu. 

Oleh karena itu, melalui MERA, YKAN menghadirkan jalan tengah bernama SECURE (Shrimp-Carbon Aquaculture). SECURE merupakan upaya restorasi mangrove dengan pengelolaan budi daya tambak udang tradisional ramah lingkungan. Salah satunya menggunakan metode silvofishery atau wanamina, sebuah sistem budi daya perikanan terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal dan pelestarian mangrove. Prinsip dari wanamina adalah mengalokasikan sebagian tambak untuk menjadi lahan penanaman mangrove. Meskipun luas lahan mengecil, pendekatan ini diharapkan tetap mampu meningkatkan produktivitas tambak udang hingga 30%. Di sisi lain, diharapkan pula kelak hutan mangrove bisa beregenerasi secara alami. 

Tomi Prasetyo Wibowo, MERA Site Manager, mengungkap bahwa YKAN hendak mengubah paradigma tentang program pelestarian mangrove. Selama ini, yang umum terjadi, upaya penyelamatan mangrove hanya sekadar menanam tanpa adanya keberlanjutan. Bahkan spesies mangrove yang ditanam kerap kurang sesuai peruntukan dan kondisi habitatnya, sehingga angan-angan kelestarian pun layu sebelum berkembang.

Padahal, banyak hal yang perlu dikaji sebelum mengeksekusi sebuah program rehabilitasi mangrove. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, hingga ekologi. “Itu semua butuh data dan kajian yang selanjutnya dikembangkan menjadi desain (restorasi),” tegas Tomi. Tak terkecuali status hukum suatu kawasan yang ingin dipulihkan peruntukannya, dengan tetap memperhatikan multiaspek tersebut. Sebab, tak sedikit area tambak yang ada di sejumlah tempat berada di kawasan hutan lindung.  

Di pesisir OKI, YKAN berkegiatan di tiga desa, yaitu Desa Sungai Lumpur1, Desa Simpang Tiga Abadi, dan Desa Simpang Tiga Jaya. Adapun dari tiga desa tersebut, salah satu titik demplot percontohan untuk penerapan wanamina adalah tambak milik Haji Juma di area Parit 1, Desa Simpang Tiga Abadi. Sekitar dua kilometer dari rumahnya di Sungai Lumpur, atau kurang lebih 100 kilometer dengan speed boat dari Dermaga Tulung Selapan, tempat daratan terakhir menuju ujung muara. Tambak seluas empat hektare ini berada di tepian kanal pasang surut yang dikelilingi ekosistem mangrove serta nipah. Tampak di tengah-tengah tambak, terdapat sejumlah instalasi mangrove yang ditanam dengan jarak beraturan menggunakan media tanam berupa bilah-bilah bambu. 

Penetapan lokasi rehabilitasi dan demplot tersebut juga didasarkan pada rekomendasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan selaku pemangku kawasan. Menurut Tomi, kolaborasi lintas stakeholder tersebut bergerak dalam kerangka rehabilitasi hutan dan lahan, seperti diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 

  • Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
  • Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia

Dalam perkembangannya, sejak mulai diterapkan pada 2023, metode wanamina di lahan demplot milik Haji Juma telah berlangsung sebanyak dua siklus budi daya. Pada siklus pertama, hasil panen mengalami sedikit penurunan dari periode sebelumnya. Berdasarkan keterangan Achmad Soleh (48), petambak mitra dari Desa Simpang Tiga Abadi yang ikut mengurus tambak demplot, hasil panen udang baru mencapai satu kuintal, sedangkan bandeng 800 kilogram (size ⅔) dan 400 kilogram (size ⅚). Lalu di siklus kedua menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, panen udang naik menjadi sebanyak empat kali lipat. Rata-rata harga jual udang adalah Rp80.000 per kilogram (isi standar 30 ekor) dan bandeng Rp10.000 per kilogram (isi standar 2–3 ekor). Harga jual bisa lebih rendah atau lebih tinggi tergantung pada bobot dan ukuran hasil panen. 

Melihat perbedaan hasil tersebut, Haji Juma menganggapnya sebagai proses adaptasi, sehingga tambak membutuhkan waktu untuk “terbiasa” dengan metode baru. Menurut Tomi, masih perlu beberapa siklus lagi di sejumlah lahan demplot untuk membuktikan konsistensi hasil yang diharapkan, sebelum akhirnya bisa diterapkan sepenuhnya di lahan-lahan tambak yang lain. 

Achmad mengaku, program SECURE dengan metode wanamina membuka lebar pemikirannya soal budi daya tambak tradisional. Termasuk memilih spesies mangrove yang tepat (sesuai habitat) untuk ditanam di area tambak. “[Ternyata] begini cara berbudidaya yang benar dan ramah lingkungan. [Bisa] menjaga dua-duanya (tambak dan mangrove). Kita tetap berbudidaya, tapi kita juga jaga lingkungan (mangrove) kita,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Achmad berharap ada perubahan positif dari metode wanamina di lahan demplot milik Haji Juma. Meskipun, ia mengakui tetap butuh proses secara bertahap karena cuaca yang tidak bisa diprediksi. “Mudah-mudahan memang kita ada lebih hasilnya itu lebih meningkat. Harapan saya, [metode wanamina] bisa dicontoh kawan-kawan di sini, yang tadinya [budi daya] asal-asalan. [Kalau] ada contoh ini kan bisa ditularkan ilmunya,” pungkas perantau berdarah Trenggalek, Jawa Timur itu. 

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Achmad menunjukkan lahan pembibitan mangrove di dekat tambak demplot/Deta Widyananda

“Kami ingin mencontohkan tambak-tambak di sini…” 

“Sebenarnya saya juga merasa bersalah karena dulu banyak membabat mangrove untuk tambak,” celetuk Haji Juma tiba-tiba pada satu malam yang santai di rumah, sembari mengisap sebatang rokok diselingi kopi hitam panas yang diseduh istrinya. Di rumah, setelah seharian bekerja di tambak, ia biasanya mengenakan kaus oblong dan peci putih, serta sarung.  

Suami Siti Aminah itu mengenang masa-masa puluhan tahun silam, sekitar tahun 1991, tatkala merintis usaha budi daya tambak alam bersama mendiang ayahnya di sekitar Sungai Lumpur dan Simpang Tiga Abadi. Mereka membuka sepetak lahan seluas empat hektare, yang kini jadi lahan demplot percontohan SECURE dengan metode wanamina (silvofishery). Ayahnya melihat ada potensi ekonomi dari tambak karena adanya temuan indikator berupa udang, kepiting, dan ikan berlimpah. “Jika berhasil, syukur. [Tapi] jika gagal, [kami akan] pulang ke Sulawesi,” kenangnya. 

Pekerjaan tambak memang sempat memberikan gelimang kejayaan. Satu di antara yang dianggap berhasil adalah Haji Juma dan ayahnya. Keuletan yang mengalir di darah orang Bugis seakan mengular kepada kesuksesan. Puncak-puncak kejayaan tambak terjadi pada periode 1993–1998. Di era itu, hanya dengan modal 10 juta rupiah, sekali panen bisa mendapatkan pendapatan 100 juta rupiah setelah tiga bulan budi daya. Pencapaian Haji Juma merecik petambak-petambak baru bermunculan dan membuat lahan-lahan tambak semakin meluas. 

Meski teknik budi daya masih tradisional, tetapi pembukaan lahan tambak telah mengambil alih ekosistem hutan mangrove alami yang dulu dominan. Kehidupan di rawa serba terbatas dan teramat keras, seakan takdir tidak menyediakan pilihan jalan hidup yang lebih baik, yang menuntut Haji Juma dan masyarakat pesisir OKI bertahan hidup. Betapa pun caranya. Tak terkecuali menggantungkan nasib pada pohon-pohon mangrove untuk ditebas, dimanfaatkan kayu-kayunya, dan dirambah untuk membuka ruang terbuka bagi tambak-tambak baru.  

Seiring merosotnya produktivitas tambak dalam satu dekade terakhir, tampaknya alam pun mengirimkan alarm darurat. Haji Juma sadar akan sesuatu. Betapa kehilangan hutan mangrove justru berdampak sangat nyata pada lahan penghidupannya. “Abrasi makin parah, air laut makin naik ke daratan,” ungkap Haji Juma. Katanya, kerja di tambak sudah tidak teduh lagi karena tidak ada hutan mangrove. 

Maka tatkala program-program awal restorasi mangrove mulai hadir lewat sejumlah LSM sejak 2017, termasuk melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) oleh pemerintah semasa pandemi COVID-19, Haji Juma sangat antusias. Ia bersama sebagian besar masyarakat Sungai Lumpur dan Simpang Tiga Abadi mulai giat untuk menanam mangrove kembali di area tambak. Program SECURE dengan metode wanamina oleh YKAN dengan aliansi MERA turut melengkapi proses rehabilitasi hutan dan lahan mangrove di area tambak tersebut. 

“Saat YKAN minta [lahan] demplot untuk tambak, kami sangat mendukung,” ujar Haji Juma. Ia mengaku rela untuk memberikan sepetak tambak seluas empat ha itu sebagai salah satu demplot percontohan metode wanamina. “Kami ingin mencontohkan tambak-tambak di sini, [agar] bisa berkembang lagi seperti sebelum-sebelumnya.” 

Pernyataan Haji Juma tersebut seperti menjadi pesan bagi setiap petambak di pesisir OKI. Ia ingin mengajak untuk mengubah pola pengelolaan tambak menjadi lebih berkelanjutan. Salah satunya aktif menanam mangrove, baik di dalam tambak maupun di daerah penyangga tambak sekitarnya. Baginya, keberadaan mangrove memberi dampak lingkungan yang nyata, mulai dari mencegah abrasi dan intrusi (naiknya air laut ke daratan), hingga memberi nutrisi alami bagi pertumbuhan udang windu dan bandeng yang dibudidayakan.2

Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia
Perkampungan padat Sungai Lumpur yang terletak persis di muara Sungai Selapan. Seperti halnya kampung-kampung lain di pesisir OKI, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petambak. Kini mereka menatap masa depan berkelanjutan lewat pengelolaan tambak dengan pendekatan wanamina/Deta Widyananda

Pintu harmoni itu kini terbuka lebar 

Di usianya yang sudah mencapai setengah abad, keterbukaan Haji Juma terhadap pendekatan wanamina layak diapresiasi. Ditambah kekompakan petambak mitra lintas generasi yang ikut mengurus lahan demplot tersebut dan merestorasi ekosistem mangrove di sejumlah lahan tambak tak produktif.  

Sebab, menurut Tomi, resistensi warga terhadap program tersebut mulanya sempat terlihat. Sangat wajar ketika para petambak sempat enggan menanam mangrove di area tambak, yang dianggap mempersempit area pelataran tambak untuk menumbuhkan pakan alami bandeng. Selain itu, terdapat kekhawatiran juga bahwa keberadaan mangrove dalam tambak membikin air makin kotor, hingga mengundang burung-burung datang mencari mangsa di tambak yang pada akhirnya menurunkan produktivitas tambak. 

“Kami sangat bersyukur sekali ketika Haji Juma mau [menerima permintaan demplot]. Meskipun dia melihat sendiri bahwa setelah mangrove ditanam di tambak, itu juga muncul persoalan baru,” terang Tomi. 

Namun, pada akhirnya begitulah proses rehabilitasi dengan pendekatan berbasis masyarakat. Untuk mampu mengelola program konservasi dengan jangka waktu panjang—tidak bisa tidak—akan lebih bijaksana ketika melibatkan masyarakat yang sudah lama menghuni kawasan. Perlu diakui bahwa mangrove di pesisir Kabupaten OKI yang rentan merupakan wilayah kelola dengan aksesibilitas yang cukup sulit, telah lama berada di luar jangkauan kelola pemerintah daerah (lost of government control).3

 “Yang selalu saya dengar, Haji Juma adalah  orang yang mau belajar hal-hal yang baru,” kesan Tomi. Bahkan menurutnya, dengan pengalaman dan perjalanan hidup yang ditempa begitu keras di alam yang begitu liar, sosok-sosok seperti Haji Juma layak diberi gelar profesor. Sudah tidak berkutat dengan teori lagi, tetapi langsung praktik di lapangan yang kenyang dengan segala suka dan duka. 

Sebagai Site Manager, Tomi pun tak kalah menaruh asa pada keberlangsungan program SECURE yang dibuat YKAN melalui aliansi MERA. Bicara soal pengelolaan alam berkelanjutan, ia menekankan pentingnya untuk tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi.  

“Harapan terbesar saya adalah adanya pengakuan negara [terhadap keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan]. Solusinya sudah jelas, [lewat pengajuan] perhutanan sosial,” kata Tomi. Saat ini, negara telah mengakomodasinya lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. 

Namun, pria asal Semarang itu menegaskan, penerapan perhutanan sosial (perhutsos) di OKI bukan berarti menjadi pembenaran sebagai alat untuk melegalkan aktivitas ilegal. Perlunya perhutsos agar masyarakat memiliki andil dan peran yang jelas di dalam wilayah kelolanya melalui izin perhutsos. Masyarakat petambak yang berada dalam kawasan hutan tetap menjalankan aktivitas tambaknya, sekaligus berperan sebagai penjaga (ranger) alam (mangrove) di sekitarnya.

Bagi Tomi, sangat penting untuk memiliki paradigma bahwa masyarakat lokal itulah aktor utama program restorasi, yang akan menentukan keberlanjutan dari ekosistem yang ada di sekitarnya. Baginya, akan sulit jika “meminta” alam memulihkan dirinya sendiri tanpa bantuan manusia, karena manusia adalah bagian dari ekosistem itu sendiri dan tidak bisa dikesampingkan. “Siapa lagi yang mau mengawasi 24 jam di sini?” tanya Tomi retoris. 

Hasil kajian Hidayat dkk (2024) menguatkan itu. Kegiatan rehabilitasi ekosistem bukan hanya bertujuan untuk memulihkan lahan kritis, melainkan juga diharapkan mampu memberikan manfaat terhadap kawasan dan masyarakat sekitar. Keterlibatan masyarakat setempat menjadi jembatan penghubung supaya program rehabilitasi menjadi kegiatan bersama, sehingga terbangun rasa memiliki agar kelestarian dapat tercapai.

Asa harmoni ekonomi dan ekologi itu masih terbuka lebar. YKAN berharap di masa mendatang ada pengembangan ekonomi berkelanjutan dari kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove. Di antaranya pengembangan produk turunan mangrove dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sebab, tujuan besar dari perhutanan sosial adalah masyarakat sejahtera, hutan (dan laut) terjaga.


  1. Di Desa Sungai Lumpur, YKAN juga memperkenalkan pendidikan lingkungan hidup (PLH) untuk siswa kelas 4-6 SD melalui implementasi proyek Kurikulum Merdeka. ↩︎
  2. Alasan penting mangrove mesti ada di tambak adalah karena perakaran mangrove dibutuhkan untuk proses remediasi tanah tambak tua. Mangrove akan menjadi habitat tidak hanya bagi udang windu, tetapi juga bagi biota macrobenthos lainnya—organisme kecil yang hidup di kolom air dan berperan dalam dekomposisi serasah tanaman mangrove. Keragaman biota yang bernaung di mangrove akan jadi pengendali hama utama trisipan (Certhidea sp.) agar tidak terlalu dominan. Hama utama dimaksud merupakan fenomena yang umum terjadi di tambak tradisional di OKI. Moluskisida yang biasa dipakai petambak tidak menjadi solusi. ↩︎
  3. Rencana Aksi Kelompok Kerja Mangrove Daerah Sumatera Selatan, 2024, hlm. 1. ↩︎

Referensi: 

Hidayat, T., Prakoso, D., Bayyan, M. M., Fahmi, dan S., Fajariyanto. 2024. Desain Rehabilitasi Mangrove Sumatera Selatan. Diterbitkan di Palembang oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi. 
Ulqodry, T. Z., Fauziyah, Rozirwan, Agustriani, F., dan Sarno. 2022. Laporan Akhir: Kajian Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat di Pesisir Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Yayasan Konservasi Alam Nusantara. 


Foto sampul: Area tambak udang dan bandeng di tengah hamparan hutan mangrove yang berdekatan dengan permukiman Desa Sungai Lumpur, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan (Deta Widyananda).

Publikasi artikel ini merupakan kerja sama TelusuRI bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Pesisir Ogan Komering Ilir: Memulihkan Ruang Hidup Mangrove, Menyelamatkan Ruang Hidup Manusia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/restorasi-mangrove-di-ogan-komering-ilir/feed/ 0 47320
Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/ https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/#respond Fri, 30 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47272 Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi. Sejak lama,...

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekelompok musisi, kreator konten, dan pelaku budaya berkumpul di Bali baru-baru ini. Sebuah langkah kolaboratif sebagai pesan penting untuk Indonesia, bahwa seni bisa menginspirasi masyarakat beraksi mengatasi krisis iklim yang kian melanda bumi.


Sejak lama, Bali dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan lingkungan untuk kepedulian iklim di Indonesia. Hal ini timbul salah satunya karena berangkat dari keresahan terhadap masifnya turisme massal (overtourism), yang kemudian berdampak dan membebani keberadaan alam maupun budaya. Selain inisiatif musisi dan seniman lokal, salah satu kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi adalah terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018. Peraturan yang berlaku sejak 1 Juli 2019 ini memuat larangan penggunaan plastik sekali pakai, seperti kantung plastik, sedotan, dan polistirena (styrofoam).

Namun, aksi iklim tidak cukup semata bicara soal sains dan kebijakan, tetapi juga pentingnya membangun cerita yang menggugah. Di Pulau Dewata, sekelompok musisi, kreator konten, dan budayawan membuktikan pesan iklim yang paling kuat kerap datang melalui alunan lagu dan lirik musik, pengalaman hidup, dan budaya sehari-hari. 

Di bulan Mei ini, jaringan Verified Champions1 di Indonesia berkolaborasi dengan IKLIM (Indonesia Climate Communications, Arts and Music Lab) untuk menggaungkan betapa musik dan storytelling bisa mempengaruhi pemahaman publik terhadap krisis iklim. Di ajang ini Robi Navicula dan para inisiator IKLIM berbagi pengalaman betapa gerakan budaya bisa meningkatkan kesadaran akan isu iklim dengan cara yang relevan secara emosional dan lokal.

“Seni dan musik itu masuk langsung ke hati. Ketika kita berbicara mengenai isu iklim dalam lirik dan pertunjukkan, itu bukan lagi edukasi—tetapi sudah jadi seruan untuk sadar dan beraksi,” ujar Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris Navicula yang juga aktivis lingkungan. Band beraliran musik grunge asal Bali tersebut dikenal karena kerap berkecimpung di dunia aktivisme sosial dan lingkungan.

“Kita tidak hanya menyanyikan lagi, kita membangun gerakan,” tambah pria yang akrab disapa Robi Navicula itu.

Para peserta Verified Champions mewawancarai Robi Naviculo di studio (kiri) dan foto bersama dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung Ni Made Sulistiawati/Dokumentasi Verified Champions Indonesia

Storytelling sebagai ruh gerakan sadar iklim

Alih-alih menggunakan bahasa-bahasa sains yang rumit, pendekatan dengan gaya bercerita atau storytelling justru lebih ampuh untuk membangun ikatan individu maupun kelompok sosial terhadap isu perubahan iklim. Menurut EcoAmerica, sebuah organisasi nonprofit yang berbasis di Washington dan San Fransisco, storytelling lebih memungkinkan fakta-fakta seputar iklim menjadi dekat dan relevan.2 Salah satunya melalui ekspresi seni, baik itu film, musik, atau pertunjukan kebudayaan lainnya.

Di sisi lain, cerita juga dianggap bisa menumbuhkan empati seseorang—bahkan masyarakat dalam skala luas—terhadap pentingnya kesadaran pada masalah global yang mendera bumi. Para pegiat seni selaku komunikator iklim bisa berbagi cerita, membangkitkan motivasi, hingga mendorong audiens mereka untuk ikut berperan mencari solusi dalam menghadapi perubahan iklim.

Begitu pun Verified for Climate dan IKLIM, yang mempunyai keyakinan serupa bahwa storytelling adalah kunci untuk menyambungkan masyarakat dengan fakta, dan menginspirasi aksi-aksi iklim. Lebih konkret, para Verified Champions menggunakan platform sosial media populer seperti TikTok untuk menceritakan isu iklim yang penuh harapan, bernuansa personal, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara IKLIM menggunakan musik, seni, dan ritual budaya demi mendapatkan hubungan emosional yang kuat dengan alam.

“Kami percaya perubahan iklim tidak hanya isu lingkungan, tetapi juga isu budaya,” ujar Saraswati dari IKLIM, yang juga bekerja di Kopernik. “Tradisi, seni, dan nilai spiritual yang kita punya bisa memandu kita mengatasi krisis iklim. Tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan kebersamaan.”

Pendekatan itu dibuktikan di Festival Semarapura yang berlangsung pada 28 April–1 Mei 2025 di Klungkung, Bali Timur. Festival tahunan ini menampilkan pertunjukan musik, pameran kreatif yang melibatkan UMKM kriya maupun kuliner, hingga narasi sadar iklim, yang semuanya berakar dari identitas Bali. Selain tarian pembuka Taksu Buana, sejumlah agenda seru lainnya juga memeriahkan festival, seperti Semarapura Run Ecotourism, atraksi budaya, tur desa wisata, hingga parade kesenian khas Klungkung.

Selain merayakan warisan budaya Bali, dalam festival yang dibuka di Monumen Ida Dewa Agung Jambe—dulu bernama Monumen Puputan Klungkung—para Verified Champions bergabung dengan masyarakat setempat untuk mengeksplorasi persinggungan antara budaya, pariwisata, dan keberlanjutan untuk menghadapi desakan tantangan ekologis. Tujuh kreator konten Tiktok terdaftar yang telah terverifikasi sebagai Verified Champions, yaitu Vania Herlambang (Puteri Indonesia Lingkungan 2018), Ikbal Alexander (pendiri Kertabumi Recycling Center), Cynthia Suci Lestari (pendiri Lyfe with Less), Vanessa Budihardja (instruktur fitness Bali), Rafael Deus (kreator pelawan misinformasi lingkungan), Widia Anggia Vicky (kreator konten zero waste dari rumah), dan Dheamyra Aysha (kreator advokasi tata kota). 

Ni Made Sulistiawati, S.H., M.H., Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung, menyatakan Festival Semarapura merupakan contoh nyata bahwa tradisi dan inovasi dapat bersatu untuk membangkitkan kesadaran dan aksi iklim. Kolaborasi antara kreator muda dan tokoh budaya membawa energi baru dalam upaya keberlanjutan aksi iklim, khususnya di Bali. “Acara seperti ini mengingatkan kita bahwa menjaga lingkungan bukan hal yang terpisah dari budaya—justru menjadi bagian dari jati diri kita,” ujarnya.

Kegiatan produksi konten oleh salah satu kreator Verified Champions saat festival (kiri) dan kemeriahan pertunjukan musik sebagai bagian dari Festival Semarapura 2025/Dokumentasi Verified Champions

Suar optimisme dari para Verified Champions

Meski latar belakang masing-masing Verified Champions berbeda, tetapi visi aksi iklim tetap sama, yakni menyuarakan ajakan dan harapan tentang kepedulian iklim. Mereka mendokumentasikan dan memproduksi konten digital yang menyoroti solusi iklim lokal. Terutama berangkat dari ruang kreatif hingga inisiatif keberlanjutan berbasis komunitas.

Dalam kacamata ASEAN Community-based Climate Action, masyarakat atau komunitas lokal sebagai Non Party Stakeholders (NPS) dalam aksi iklim secara global. Peran dan partisipasi aktif komunitas sangat penting untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim di tingkat tapak. Termasuk di antaranya aksi digital kolaboratif oleh para kreator konten tersebut.

Melalui platform media sosial, cerita-cerita yang diangkat pun kini dengan mudah tersebar bahkan viral—dalam artian positif. Ini membuktikan bahwa pesan iklim yang berakar pada kebanggaan budaya dan kearifan lokal mampu menjangkau dan menyentuh khalayak yang luas.

Vania Herlambang, yang konsisten aktif menyuarakan isu-isu lingkungan, menyampaikan impresinya terhadap program ini. “Sangat mengesankan melihat bagaimana musik dan cerita komunitas bisa membuka hati orang terhadap isu iklim,” ujar perempuan yang kini menetap di Bali itu. Ia menambahkan, hal terpenting dari sebuah konten digital adalah kejujurannya, sementara visual yang ‘wah’ hanya nomor kesekian.


  1. Verified for Climate adalah inisiatif global dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Purpose, yang didukung oleh TikTok, Fortescue, dan Rockefeller Foundation. Dari semula diluncurkan sebagai respons untuk menangkal pandemi COVID-19, kini meluas dengan memberdayakan para penyampai pesan terpercaya—mulai dari ilmuwan hingga musisi—untuk berbicara secara autentik tentang perubahan iklim melalui narasi yang kreatif dan relevan secara budaya. Verified for Climate bertujuan melawan misinformasi dan disinformasi, serta membangun gerakan aksi iklim yang inklusif. Dengan jaringan global yang mencakup Indonesia, Brasil, Spanyol, Uni Emirat Arab, dan Inggris, Verified Champions telah menjangkau lebih dari 875 juta penonton melalui narasi yang autentik berlandaskan budaya.Mulai dari tradisi keagamaan dan festival jalanan hingga kuliner dan musik, para champion mengubah pengalaman sehari-hari menjadi percakapan penting tentang perubahan iklim. ↩︎
  2. EcoAmerica, “Connecting on Climate: A Guide to Effective Climate Change Communication”, Center for Research on Environmental Decisions, Earth Institute of Columbia University (2014), 42. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers: Verified Champions Indonesia dan IKLIM Serukan Aksi Iklim melalui Musik dan Cerita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-verified-champions-indonesia-dan-iklim-serukan-aksi-iklim-melalui-musik-dan-cerita/feed/ 0 47272
Siaran Pers: “Do It Yourself Trails”, Ajak Anak-Anak Bertualang ke Museum-Museum di Jakarta https://telusuri.id/siaran-pers-do-it-yourself-trails-ajak-anak-anak-bertualang-ke-museum-museum-di-jakarta/ https://telusuri.id/siaran-pers-do-it-yourself-trails-ajak-anak-anak-bertualang-ke-museum-museum-di-jakarta/#respond Fri, 23 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47164 Museum Kesejarahan Jakarta, bekerja sama dengan Museum Ceria, menghadirkan program “Do It Yourself Trails”. Sebuah program publik yang dirancang khusus untuk anak-anak dan keluarga. Program ini akan diadakan setiap Sabtu, mulai dari Mei hingga Juli...

The post Siaran Pers: “Do It Yourself Trails”, Ajak Anak-Anak Bertualang ke Museum-Museum di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Museum Kesejarahan Jakarta, bekerja sama dengan Museum Ceria, menghadirkan program “Do It Yourself Trails”. Sebuah program publik yang dirancang khusus untuk anak-anak dan keluarga. Program ini akan diadakan setiap Sabtu, mulai dari Mei hingga Juli 2025 di empat museum yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Museum Sejarah Jakarta, Museum Prasasti, Museum Joang 45, dan Museum MH Thamrin.

Keempat museum tersebut memiliki daya tariknya masing-masing. Dilansir dari berbagai sumber, berikut profil singkat setiap museum:

1. Museum Sejarah Jakarta

Museum Sejarah Jakarta juga dikenal dengan nama Museum Fatahillah. Museum ini terletak di kawasan Kota Tua, dengan gaya arsitektur klasik renaissance. Museum berusia lebih dari tiga abad tersebut dulunya dibangun sebagai markas administrasi Perusahaan Hindia Timur (VOC). Koleksi Museum Sejarah Jakarta antara lain mencakup peninggalan-peninggalan kolonial di Batavia, replika peninggalan masa kerajaan Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi, dan banyak lagi.

2. Museum Prasasti

Keunikan Museum Prasasti atau Museum Taman Prasasti adalah konsepnya yang terbuka (outdoor) dengan koleksi-koleksi prasasti nisan kuno serta miniatur makam khas dari provinsi-provinsi di Indonesia. Mulanya, museum ini merupakan pemakaman umum Kebon Jahe Kober yang dibangun sejak 1795 oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk area pemakaman orang-orang Eropa.

3. Museum Joang 45

Sebelum menjadi museum, Museum Joang 45 atau Gedung Joang 45 adalah bangunan Hotel Schomper yang dibangun pada 1920–1938 oleh warga keturunan Belanda, L. C. Schomper. Sempat beralih kepemilikan semasa pendudukan Jepang, selanjutnya gedung ini mengisi sejarahnya sebagai salah satu saksi bisu perjuangan era kemerdekaan Republik Indonesia. Koleksi yang dipamerkan mencakup lukisan dan diorama seputar peristiwa kemerdekaan, arsip-arsip sejarah hingga koleksi lainnya.

4. Museum MH Thamrin

    Sebelum menjadi museum, gedung yang dibangun sejak abad ke-20 ini dulunya adalah rumah milik Meneer de Haas, seorang berkebangsaan Belanda. Fungsinya adalah tempat menyimpan buah-buahan impor hingga tempat pemotongan hewan, yang hasilnya diperuntukkan bagi sejumlah instansi Hindia Belanda di Batavia. Pada tahun 1927, gedung tersebut dibeli dan direnovasi oleh Mohammad Hoesni (MH) Thamrin, lalu dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan, politik, dan perjuangan kemerdekaan. Kemudian keluarga MH Thamrin menghibahkannya menjadi museum, dengan koleksi-koleksi yang mengenang kehidupan Pahlawan Nasional tersebut.

    Ragam kegiatan anak-anak dengan activity book selama di museum

    Program “Do It Yourself Trails” menawarkan cara baru dan menarik bagi anak-anak untuk menjelajahi museum. Setiap anak akan diberikan activity book yang berisi berbagai kegiatan seru, seperti teka-teki, kegiatan art & craft, dan menyelesaikan suatu misi yang harus diselesaikan di dalam museum.

    Melalui program ini, anak-anak diajak untuk belajar sejarah sambil berpetualang dan berinteraksi langsung dengan koleksi museum. “Do It Yourself Trails” bertujuan untuk meningkatkan minat anak-anak terhadap sejarah dan museum, memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan tak terlupakan, serta membangun memori masa kecil bersama keluarga di museum.

    Para orang tua mendampingi anak-anaknya selama berkegiatan di museum

    “Kami sangat senang melihat antusiasme dan kegembiraan anak-anak dalam mengikuti program ini,” ujar Esti Utami, Kepala UP Museum Kesejarahan Jakarta. “Orang tua juga memberikan respon yang sangat positif dan berharap akan ada lebih banyak program serupa di museum. Ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus berinovasi dalam menyajikan konten edukatif yang menarik bagi keluarga.”

    Menurut Kartika Aryani, orang tua dari salah satu peserta, program ini sangat bagus untuk anaknya yang berusia 7 tahun. “Programnya seru. Anak saya sangat excited, dia sampai adu cepat dengan peserta lain dalam menyelesaikan misi yang diberikan”.

    “Do It Yourself Trails” tidak hanya memberikan pengalaman belajar yang unik, tetapi juga mempererat hubungan antara orang tua dan anak melalui kegiatan bersama. Program ini diharapkan dapat menjadi alternatif kegiatan akhir pekan yang edukatif dan menyenangkan bagi keluarga di Jakarta.

    Masyarakat umum dapat mendaftar secara gratis selama program berlangsung. Pendaftaran akan dibuka satu minggu sebelum acara melalui laman Instagram UP Museum Kesejarahan Jakarta dan Museum Ceria.

    Kontak Media:
    Danang Aryo Nugroho
    Public Relation Museum Ceria
    0822 1388 1227

    Dokumentasi oleh Museum Ceria


    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post Siaran Pers: “Do It Yourself Trails”, Ajak Anak-Anak Bertualang ke Museum-Museum di Jakarta appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/siaran-pers-do-it-yourself-trails-ajak-anak-anak-bertualang-ke-museum-museum-di-jakarta/feed/ 0 47164
    Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/ https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/#respond Tue, 13 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46902 Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau...

    The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi pada 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai Konsorsium Simpul Pangan yang merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

    Lokakarya kali ini berfokus pada peningkatan pemahaman orang muda terkait produksi konten-konten seputar pangan, pemanfaatan media sosial, dan kegunaannya dalam gerakan gastronomi lokal. Media sosial masih dianggap sebagai wadah kampanye untuk menggugah kesadaran warganet atas isu-isu gastronomi, yang beberapa waktu belakangan hampir selalu mendapat tempat perbincangan di lini masa maya.

    Kegiatan Simpang Belajar tahun ini merupakan momentum untuk mengakselerasi produksi konten-konten media sosial oleh orang muda yang membicarakan sistem pangan lokal. Masifnya audiens media sosial di kalangan Gen Z dan Milenial merupakan peluang besar bagi orang muda mendorong perubahan dengan media digital.

    Melalui WCGM, peserta diharapkan mampu menyusun narasi kampanye tentang isu pangan lokal secara kreatif dan bernuansa positif di media sosial, khususnya Instagram. Selain itu, kegiatan pembuatan konten bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak. 

    Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
    Elisabeth Ester Umbu Tara (Ete) memberi materi di sesi pertama lokakarya/Dokumentasi Simpang Belajar

    Cerita dan media sosial sebagai ruh dari sistem pangan

    Sesi pembuka di hari pertama kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ester Elisabeth Umbu Tara selaku fasilitator. Perempuan kelahiran Kupang yang akrab disapa Ete itu merupakan pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), sebuah wadah yang bertujuan mengarsipkan dan mendokumentasikan tanaman pangan khas berbagai daerah melalui tulisan, fotografi, hingga bentuk audiovisual lainnya, dengan salah satu fokus pada pemberdayaan perempuan.

    Terbagi dalam dua segmen, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang membahas lima materi seputar pembuatan konten dan pemanfaatannya untuk mengampanyekan sistem pangan lokal. Pada segmen pertama, Ete berbagi materi tentang cara mencari ide konten, melakukan riset yang terarah, dan menyusun naskah yang efektif pun menarik. Di segmen ini pula Ete memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek yang menjadi kesatuan dalam gastronomi, yaitu budaya, sejarah, teknik memasak, pemilihan bahan, penyajian, dan interaksi sosial. Ia menegaskan dalam satu jenis pangan bisa melahirkan banyak ide konten dari berbagai sisi, sehingga seorang kreator konten tidak akan kehabisan bahan.

    Lalu di segmen kedua, Ete membantu peserta memahami teknik-teknik dasar fotografi dan videografi untuk kebutuhan visual konten, serta pengenalan platform CapCut dan Canva sebagai alat pendukung populer dan praktis untuk produksi dan editing konten—terutama berbasis perangkat mobile yang lebih mudah dijangkau peserta.

    Dalam kacamata Ete, teknik pembuatan konten dan medium yang digunakan memang penting. Namun, ia juga menekankan narasi dan pesan yang ingin disampaikan dalam visual yang dibuat juga tak kalah krusial. Sebab, itu akan menentukan proses pengumpulan ide, riset, konsep, dan cara mengemas konten yang ingin dibuat. 

    Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
    Mardhatillah Ramadhan (Han) menyampaikan materi seputar pengelolaan akun media sosial/Dokumentasi Simpang Belajar

    Pada sesi selanjutnya, Mardhatillah Ramadhan sebagai narasumber memaparkan materi tentang pengelolaan akun media sosial dan strategi pengelolaan konten. Pria yang biasa disapa Han itu berpengalaman menjadiSocial Media Specialist di TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia di bawah naungan Rombak Media. Sebagai pemantik, Han menggali preferensi peserta lokakarya soal ragam media sosial yang sering digunakan dan jenis konten-konten yang disukai. Di antara jenama media sosial yang ada, Instagram dan fitur-fitur di dalamnya menjadi fokus utama pembahasan, karena akan menjadi medium kerja pembuatan konten sebagai keluaran yang diharapkan dari peserta selama lokakarya.

    Han membeberkan keunggulan Instagram, terutama fitur reels (video). Untuk saat ini reels Instagram jadi favorit karena memiliki jangkauan luas ke audiens, sehingga memudahkan untuk meningkatkan engagement dan tidak harus membutuhkan pengikut (followers) banyak supaya viral. Dampaknya akan lebih hemat biaya promosi produk-produk konten yang dihasilkan.

    Kemudian Han berbagi tips strategi mengelola akun media sosial, agar narasi maupun pesan dalam konten-konten kampanye pangan lokal bisa tersampaikan secara optimal ke audiens. Mulai dari perlunya memerhatikan struktur publikasi konten (menyiapkan visual, caption, profil akun lengkap, dan konten-konten awal yang menarik), rutin mengunggah konten secara berkala, interaksi dengan akun Instagram yang relevan dan sedang ramai dibicarakan, memahami statistik konten (insight), hingga pemasangan iklan berbayar.

    Di luar aspek teknis, Han menekankan pentingnya melihat kembali tujuan awal pembuatan akun agar topik dan produksi konten fokus sehingga memikat audiens. Ia menyampaikan, berdasarkan data penggunaan media sosial tahun 2024 oleh Databoks Katadata.co.id, seperti dikutip Radio Republik Indonesia,  tercatat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada tahun tersebut, yang menjadi potensi audiens besar untuk diraih. Hal lain yang tidak kalah utama untuk diperhatikan adalah mau memulai dengan konten-konten sederhana, selalu terbuka peluang kolaborasi, dan konsisten.

    Dari materi ruang yang disampaikan oleh Ete dan Han, peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok kecil. Di akhir setiap sesi Ete dan Han, tersedia ruang untuk latihan dan presentasi dari masing-masing kelompok, serta menyiapkan tema konten untuk kunjungan liputan di lapangan pada hari kedua kegiatan. 

    Berburu konten bersama The Kitchen Garden dan Lompong Cama

    Setiap kelompok memiliki fokus liputan dan target konten masing-masing. Keempat kelompok tersebut terbagi ke dua lokasi sasaran, yaitu The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

    The Kitchen Garden (TKG) yang didirikan dan dikelola Chef Michael merupakan restoran sekaligus inisiator gerakan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Adapun Lompong Cama yang didirikan oleh Citra Kader, seorang chef dan pegiat pangan lokal, merupakan tempat makan terbatas (melalui reservasi) yang mengajak pengunjung mempelajari metode bercocok tanam, mengolah hasil kebun berisi komoditas lokal menjadi makanan siap santap, hingga mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos. Keduanya sama-sama berupaya mengusung masakan khas Manggarai sebagai hidangan utama.

    Bersama pendampingan Chef Michael, Kelompok 1 berfokus pada dojang sebagai bagian dari preservasi pangan lokal, sedangkan Kelompok 4 mengambil angle sejarah dan pengolahan dojang dengan konsep dari kebun ke meja makan atau from farm to table. Di TKG, acara diawali dengan pemaparan profil dan filosofi restoran oleh Chef Michael. Ia menekankan bahwa pelestarian wilayah Labuan Bajo atau Manggarai Barat tidak hanya tentang alam atau Komodo, tetapi juga manusia dan pangan lokal sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. 

    Chef Michael juga mengajak dua kelompok melakukan aktivitas tur kebun, demo masak, dan pengambilan dokumentasi tambahan (footages) untuk mencukupi kebutuhan produksi konten masing-masing kelompok. Dalam penjelasannya, ia berusaha menghidupkan kembali kuliner tradisional setempat yang sempat hilang, seperti tibu, manuk cuing, nasi kolo, tapa kolo, dan dojang dengan pendekatan yang berbeda. Pengunjung TKG tidak hanya sekadar makan, tetapi juga mendapat cerita dan pengalaman edukasi maupun pertukaran budaya.

    Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
    Sebagian peserta menyaksikan dan merekam proses memasak saat kunjungan ke The Kitchen Garden/Dokumentasi Simpang Belajar

    Di lain tempat, Citra Kader mendampingi Kelompok 2 yang mengulik kempalo, serta Kelompok 3 yang fokus pada ikan kombong kuah asam dan manfaatnya bagi gizi tubuh. Kempalo merupakan bahan makanan berbahan dasar beras ketan yang diimpor dari Sulawesi, sedangkan kombong merupakan sejenis ikan laut lokal yang memiliki nilai gizi tinggi.

    Sebelumnya Citra mengajak kedua kelompok mengunjungi Pasar Rakyat Batu Cermin untuk mewawancarai sejumlah pedagang dan belanja sejumlah bahan baku masakan untuk dibawa ke Lompong Cama. Saat kunjungan di pasar, Citra menjelaskan bahwa langkah pertama untuk memahami pangan lokal adalah terlebih dahulu mengenal pasar tradisional. Kemudian di Lompong Cama, peserta diajak berdiskusi, melihat pengelolaan sampah organik dan anorganik, pemeliharaan kambing untuk produksi pupuk kandang, pemanfaatan daun kering, berkeliling kebun yang ditanami berbagai macam bunga dan buah, demo masak, serta mengumpulkan bahan konten.

    Usai mengumpulkan bahan konten di lapangan, selanjutnya setiap kelompok mulai melakukan finalisasi produksi konten berdasarkan tema dan angle yang dipilih. Kecuali Kelompok 1 yang hanya membuat satu video reels (karena jumlah anggota lebih sedikit), tiga kelompok lainnya akan membuat satu video reels dan satu feed (seri foto atau carousel). Ketentuan khusus untuk reels, durasi video yang dikerjakan minimal 30 detik dan maksimal satu menit. Seluruh karya peserta akan diunggah pada Instagram @gandengpangan dengan menggunakan fitur tag dan collaboration post dengan akun masing-masing peserta.

    Pada hari ketiga, setiap karya yang dibuat oleh masing-masing kelompok dibedah oleh Ete dan Han. Kedua fasilitator tersebut membuka ruang diskusi, memberi masukan, melakukan kurasi naskah, audio, dan visual, serta meninggalkan catatan untuk setiap progres kerja yang dicapai oleh keempat kelompok. Selanjutnya peserta masing-masing kelompok menyelesaikan produksi konten dan mempresentasikan materi konten yang sudah dibuat, lalu mendapatkan penilaian.

    Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
    Sejumlah peserta melakukan pembuatan konten saat kunjungan lapangan ke Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar

    Kesan dan harapan

    Sejumlah peserta menyampaikan kesannya terhadap lokakarya pembuatan konten dan gerakan gastronomi lokal selama tiga hari kegiatan. Erin, nama panggilan ​​Berta Ertin dari Kelompok 3 mengungkap banyaknya pengetahuan baru yang didapatkan, terutama soal pembuatan konten. 

    “Yang saya dapatkan dari kegiatan Simpang Belajar ini adalah bagaimana cara kita membuat konten yang lebih baik,” kata peserta yang pernah menjadi administrator akun Neo Historia Indonesia (2019) itu. “Ini juga akan membantu proses pengarsipan atau dokumentasi pangan lokal di Manggarai Barat.”

    Senada dengan Erin, Petrus Budi Handoyo yang akrab disapa Petu pun sejatinya memiliki banyak kesan mendalam terhadap lokakarya yang diikuti. “Tapi [ada] satu kesan yang paling menempel di pikiran saya, yaitu ilmu baru yang saya dapatkan, seperti pengeditan video. Sebelumnya pengeditan video yang saya lakukan tidak semenarik yang orang (audiens) inginkan.”

    Anggota dari Kelompok 4 itu menambahkan, ada manfaat tambahan yang ia peroleh, terutama berkaitan dengan usaha pribadinya—Kedai Wae Nanggom—yang baru berjalan empat bulan. “Manfaat dari kegiatan Simpang Belajar sangat berdampak bagi saya. Ke depannya saya bisa mengubah pola pikir [pembuatan video], mulai dari penulisan naskah dan pengeditan video agar sesuai harapan orang (audiens).”

    Maria Oktaviani Simonita Budjen, anggota Kelompok 1, menyampaikan kesannya soal dinamika yang terjadi selama kelas (materi ruang). “Saya disatukan dalam kelompok dengan teman-teman yang punya pengalaman dan skill yang berbeda, [sehingga] saya dapat banyak sekali hal baru dari mereka,” kata Ani.

    Selama tiga hari kegiatan, Ani dan kelompoknya melatih diri untuk mengasah soft skill dan rasa percaya diri saat berdiskusi dan presentasi bersama. “Dan juga tentu saja field trip-nya. Kita diarahkan ke tempat-tempat yang punya ide cerita luar biasa, yang bisa mengangkat kembali cerita tentang pangan lokal yang ada di Manggarai Barat.”

    “Harapannya, lokakarya ini dapat mendukung partisipasi bermakna dari kawan-kawan muda untuk pangan yang berkelanjutan. ‘Bermakna’ di sini berarti bahwa dengan bekal peningkatan kapasitas membuat konten, ke depannya kawan-kawan di Manggarai Barat sendirilah yang menentukan narasi dan gencar mengampanyekan pangan lokal kepada khalayak luas,” ujar Wilsa Naomi, Manajer Proyek Konsorsium Simpul Pangan dari Pamflet Generasi.

    Lokakarya di Manggarai Barat bukanlah akhir, melainkan baru sebagai awal untuk harapan pelestarian pangan lokal di masa depan. Upaya tersebut tidak berhenti di The Kitchen Garden maupun Lompong Cama, tetapi terus bergulir di tangan orang-orang mudanya.

    Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar


    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/feed/ 0 46902
    Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/ https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/#respond Tue, 22 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46738 Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet...

    The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji
    Poster utama ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks/ARTJOG

    Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet Kuswidananto, seniman asal Yogyakarta, dan Ayos Purwoaji, penulis dan kurator asal Surabaya. Pameran bertajuk ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks akan berlangsung mulai 19 April hingga 3 Mei 2025 di Pasar Tunjungan, Surabaya.

    “Kota Surabaya kami pilih sebagai bagian dari perjalanan Road to ARTJOG bukan hanya karena sejarah panjang yang dimiliki kota ini, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan kepada publik Surabaya yang selama ini telah menjadi bagian dari perjalanan dan pertumbuhan ARTJOG,“ ungkap Heri Pemad, pendiri sekaligus Direktur Utama ARTJOG.

    Pameran Arak-Arak: Midnight Haze and The Drifting Flocks merupakan kali pertama Jompet Kuswidananto berpameran di Kota Pahlawan. Ia menempatkan 21 karya pada lantai tiga Pasar Tunjugan yang telah lama terbengkalai, dengan luas lebih dari 1.700 m2. Momen ini sekaligus menjadi sarana perjalanan lintas waktu melalui karya-karya yang lahir dalam rentang 2001-2025. Jompet juga menciptakan sejumlah karya baru yang terinspirasi langsung dari dinamika sejarah perjuangan dan kehidupan masyarakat di Surabaya.

    Tentang ARTJOG

    ARTJOG adalah salah satu agenda seni rupa kontemporer berskala besar di Indonesia. Sebelumnya terlahir dengan nama Jogja Art Fair (JAF) pada 2008, kemudian pada 2010 berganti sebagaimana dikenal saat ini. Perhelatan ini bersifat terbuka dan konsisten berinovasi dan berevolusi, baik dari segi gagasan maupun bentuk. Inklusivitas ini membuat kehadiran ARTJOG selalu dinanti-nanti setiap tahunnya oleh berbagai kalangan. Tidak hanya pegiat seni, tetapi juga publik dalam lingkup global.

    Keberadaan ARTJOG berperan penting bagi ekosistem seni rupa. Sebab, setiap pelaksanaannya menjadi pemantik bagi ruang-ruang independen, galeri, dan komunitas di Yogyakarta dan kota di sekitarnya dalam membuat pameran dan kegiatan seni.

    Mengemas perhelatan seni rupa kontemporer menjadi tontonan yang populer sekaligus menjadi sarana pendidikan, ARTJOG  juga berhasil menjadi katalisator dalam mengembangkan aspek pariwisata berbasis seni. Dalam praktiknya, ARTJOG juga selalu memberikan warna baru pada setiap tahunnya. Melakukan kolaborasi dan membuka pandangan baru bersama para pegiat seni untuk menciptakan ruang-ruang yang lebih luas dan berdampak bagi khalayak dalam berbagai aspek. 

    ARTJOG 2025 – Motif: Amalan

    ARTJOG berkolaborasi dengan Hendro Wiyanto, seorang kurator dan penulis yang berbasis di Jakarta. Ia menjadi anggota tim kurator dari 2023 hingga 2025 dan menggagas tema ‘Motif’. Setelah ‘Motif: Lamaran’ di tahun 2023 dan ‘Motif: Ramalan’ pada tahun 2024, tahun ini ARTJOG sampai pada bagian akhir dari trilogi ‘Motif’, yaitu ‘Motif: Amalan’.

    Tema tersebut mengeksplorasi pertanyaan apakah seni dan praktik seni dapat dipahami sebagai tindakan baik atau amalan. ‘Motif: Amalan’ menata ulang pandangan konvensional nilai seni, yang sering kali mengedepankan nilai estetika. ARTJOG 2025 mendorong eksplorasi peran seni di luar batasan ‘Dunia Seni’, serta mempertimbangkan nilai praktik seni sebagai bentuk kebaikan kepada masyarakat yang lebih luas. 

    ARTJOG Motif: Amalan akan diselenggarakan pada 20 Juni–31 Agustus 2025 di Jogja National Museum, Yogyakarta dengan melibatkan 48 seniman dewasa dalam program pameran serta 44 anak dan remaja dalam program ARTJOG Kids. ARTJOG tahun ini juga akan menghadirkan dua karya seniman komisi, yaitu Anusapati (Yogyakarta) dan REcycle EXPerience (Bandung). Selain itu, hadir pula tiga special project, yaitu Murakabi Movement (Yogyakarta), Ruang Rupa (Jakarta), dan Devfto Printmaking Institute (Bali). Tak hanya pameran seni rupa, ARTJOG juga menawarkan berbagai pengalaman menikmati dan merayakan seni melalui program pendukung, seperti Love🤟ARTJOG, performa•ARTJOG, Curatorial Tour, Meet The Artist, dan Jogja Art Weeks. 

    Informasi untuk Pengunjung

    Road to ARTJOG 2025 – ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks
    Seniman: Jompet Kuswidananto 
    Penulis: Ayos Purwoaji
    Tanggal pelaksanaan: 19 April–3 Mei 2025
    Lokasi: Pasar Tunjungan, Lantai 3,  Jl. Tunjungan No. 30, Genteng, Surabaya

    Jam Operasional:
    Sabtu, 19 April 2025, pukul 19.00–2.00 WIB
    Minggu, 20 April–Sabtu, 3 Mei 2025, pukul 10.00–22.00 WIB (kunjungan terakhir pukul 21.00 WIB)

    Tiket Masuk:
    Rp45.000,00/orang (Tiket single Road to ARTJOG Surabaya)
    Rp90.000,00/orang (Tiket bundle Road to + ARTJOG 2025–Motif: Amalan di Jogja National Museum, Yogyakarta)
    Tiket dapat dibeli langsung di lokasi (nontunai) atau melalui www.artjog.id 

    Narahubung:
    Athia Alamanda (Surabaya) | +62 812 3511 3644 | artchemist.info@gmail.com 
    Amelberga Astri P. (Yogyakarta) | +62 818 0274 0296 | publikasi.artjog@gmail.com 
    Informasi lebih lanjut bisa dicek berkala di Instagram @artjog.id dan X @artjog


    (Foto sampul oleh ARTJOG)


    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/feed/ 0 46738
    Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/ https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/#respond Fri, 18 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46696 Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan...

    The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai bagian dari program Urban Futures–program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

    Lokakarya ini digelar secara luring pada Senin hingga Rabu, 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. WCGM akan melibatkan partisipasi aktif orang muda Manggarai Barat yang sebelumnya telah mengikuti lokakarya Simpang Belajar: Co-creation for City Vision, serta orang muda dari komunitas Lino Tana Dite.

    Siaran Pers Simpang Belajar 2025:
Workshop Content Creation and Gastronomy Movements

    Kampanye narasi sistem pangan lokal berkelanjutan

    Seiring berkembangnya teknologi digital dan internet, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam mempromosikan, mengampanyekan, dan mengadvokasikan berbagai isu sosial, termasuk sistem pangan lokal berkelanjutan. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 20241 menunjukkan, pengguna internet terbanyak berasal dari kalangan usia muda dengan rincian 87,02% Gen Z (12–27 tahun) dan 93,17% Milenial (28–43 tahun). Empat platform media sosial yang paling banyak digunakan antara lain Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok. Hal ini menunjukkan potensi besar anak muda dalam mendorong perubahan melalui media digital.

    Melalui lokakarya ini, peserta dilatih untuk mengembangkan narasi kampanye yang positif terkait isu pangan lokal, serta mengemasnya dalam bentuk konten kreatif di media sosial, khususnya Instagram. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak.

    Pada Simpang Belajar sebelumnya, 15 orang muda yang menamai kelompoknya “Uma Lestari,” berkolaborasi melakukan pemetaan potensi dan masalah seputar pangan di sekitar tempat tinggal mereka, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi lebih konkret untuk mewujudkan visi kota Manggarai Barat: “Selaras Alam, Budaya, Manusia”. Visi tersebut menggambarkan fokus aspirasi untuk memadukan tiga elemen utama—alam, budaya, dan manusia—melalui pangan. Dampak yang diharapkan bisa menjadikan Manggarai Barat memiliki sumber pangan yang berkelanjutan, melindungi identitas lokal melalui pelestarian tradisi pangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekosistem pangan yang inklusif dan inovatif.

    Pada lokakarya kali ini, menghadirkan fasilitator utama, Ester Elisabeth Umbu Tara, pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), yang aktif dalam pengarsipan pangan lokal dan pemberdayaan perempuan, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

    Agenda kegiatan

    Selama tiga hari pelaksanaan, peserta akan mengikuti rangkaian sesi produktif dengan pendampingan fasilitator lokal. Pada hari pertama (21/4), peserta akan diajak untuk mengenal kembali proses dan tahapan pembuatan konten media sosial sebagai bagian dari gerakan pangan dan gastronomi. Dalam praktiknya, peserta dilatih untuk mengeksplorasi ide dan riset, menulis naskah, pembuatan konten audiovisual, penyuntingan, hingga publikasi dan pengelolaan akun media sosial. 

    Pada hari kedua (22/4), peserta diajak mengunjungi dua inisiatif kuliner lokal yakni, Lompong Cama dan The Kitchen Garden, yang dikenal karena upayanya memperkenalkan kembali masakan tradisional Manggarai Barat dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal, di tengah arus modernisasi dan perubahan iklim. Di lokasi ini, peserta akan praktik langsung untuk membuat konten media sosial, baik berupa video pendek maupun fotografi, sesuai minat dan rencana kelompok masing-masing.

    Bahan-bahan hasil perekaman lapangan tersebut kemudian disusun untuk menjadi konten yang utuh. Di hari ketiga (23/4), para peserta kemudian melakukan presentasi hasil konten kepada fasilitator dan narasumber untuk mendapatkan masukan sebelum dipublikasikan melalui media sosial. Setiap hasil karya peserta nantinya akan diunggah dan berkolaborasi dengan akun Instagram @gandengpangan.

    Foto sampul: Demonstrasi memasak bahan pangan lokal di Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


    1. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024”, https://survei.apjii.or.id/survei/group/9. ↩︎

    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/feed/ 0 46696
    3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/ https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/#respond Tue, 15 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46632 Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare....

    The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    Kampung Merabu yang berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak semata permukiman masyarakat Dayak Lebo biasa, tetapi juga penjaga terakhir Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan ekosistem karst terbesar di Kalimantan dengan luas luas sekitar 1.867.676 hektare. Ekosistem karst yang pernah diajukan sebagai nominasi situs UNESCO Global Geoparks pada 2016 ini mencakup dua wilayah administrasi, yaitu Berau dan Kutai Timur. 

    Masyarakat Dayak Lebo yang mendiami Merabu, bagian dari Dayak Basap yang menginduk pada Dayak Punan—salah satu rumpun suku Dayak terbesar di Kalimantan—dikenal sebagai suku pemburu (hewan) dan peramu obat-obatan tradisional. Di era modern, masyarakat Merabu umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan berburu sarang burung walet di liang-liang gua yang tersebar melimpah di hutan Merabu.

    Sejak 2011, Kampung Merabu mulai mengenal konsep ekowisata setelah riset etnografi dan arkeologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) beberapa dekade sebelumnya. TNC—yang beberapa tahun kemudian sempat berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)—membantu masyarakat memetakan potensi sumber daya alam untuk dijadikan peluang ekonomi alternatif melalui pengembangan destinasi wisata secara berkelanjutan.

    Lokasinya Kampung Merabu terletak di pedalaman, sekitar 30 kilometer dari jalan poros Berau–Samarinda, melewati area perkebunan kelapa sawit yang telah merambah kampung tetangga. Sejak 9 Januari 2014, Merabu jadi kampung pertama di Kabupaten Berau yang mendapatkan izin Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutan desa seluas 8.245 hektare pada 9 Januari 2014. Sekitar 37,5 persen dari total luas kampung 22.000 hektare (220 km2). Di dalam kawasan hutan desa tersebut, terdapat tiga destinasi utama yang wajib dikunjungi jika merencanakan perjalanan wisata ke Merabu.

    Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
    Foto udara permukiman Kampung Merabu di pinggiran Sungai Lesan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur via TelusuRI/Deta Widyananda

    1. Gua Bloyot

    Gua Bloyot telah menjadi objek cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur. Gua ini menjadi salah satu bagian dari sedikitnya 40 gua lateral maupun vertikal dengan tidak kurang 1.975 lukisan cadas prasejarah.

    Beberapa lukisan ikonis di dinding utama Gua Bloyot antara lain gambar cadas berupa lima jari yang dilukis utuh dengan warna dominan merah tua hingga bagian karpal—pergelangan tangan. Tidak hanya tangan, tetapi juga ada lukisan-lukisan fauna, antara lain babi dan gecko yang digambar dengan jari sebanyak tiga buah meruncing.

    Aula utama Gua Bloyot dan lukisan-lukisan prasejarah di dinding gua via TelusuRI/Deta Widyananda

    Untuk menuju Gua Bloyot, kamu wajib ditemani pemandu lokal lalu berjalan kaki sejauh empat kilometer dari kampung dengan kontur medan relatif datar di antara belantara Kalimantan. Sesekali terdengar teriakan owa, orang utan, maupun beruang endemik Kalimantan bersahut-sahutan dari jarak yang jauh. Mendekati Gua Bloyot, trek pendakian akan terjal di antara batuan cadas dan memasuki lorong gua yang gelap, sehingga diperlukan penerangan (headlamp) dan helm untuk keselamatan.

    Kampung Merabu menyediakan paket wisata one day trip atau berkemah semalam jika ingin merasakan sensasi menginap di dalam gua. Biasanya tempat camp akan digelar di aula Gua Lima Cahaya yang terletak di atas Gua Bloyot. Dinamakan ‘Lima Cahaya’ karena terdapat lima lubang di langit-langit gua untuk akses masuk sinar matahari dan corak warna cahayanya bisa berbeda-beda.

    2. Danau Nyadeng

    Danau Nyadeng berwarna toska ini tampak kontras dengan lebatnya hutan hujan tropis khas Kalimantan di sekelilingnya. Memiliki luas kurang lebih seperempat hektare, titik terdalam danau ini disinyalir bisa mencapai 40 meter. Untuk itu hanya orang yang benar-benar mahir berenang yang diizinkan untuk bermain air di danau ini.

    Telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut mengalir jernih ke anak-anak sungai sekaligus menjadi sumber air minum warga. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat. 

    Danau Nyadeng dan fasilitas untuk pengunjung via TelusuRI/Deta Widyananda

    Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, di antaranya pondok kayu termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Saat musim hujan, air danau akan meluap ke daratan sehingga direkomendasikan untuk bermalam di pondok kayu daripada menggelar tenda. Jangan lupa menyiapkan kantung tidur (sleeping bag) dan lotion antinyamuk agar bisa beristirahat dengan nyaman.

    Untuk menuju Danau Nyadeng, moda transportasi satu-satunya hanyalah menggunakan ketinting atau perahu kayu menyusuri aliran Sungai Lesan sejauh lima kilometer atau sekitar 20 menit. Setibanya di Dermaga Nyadeng, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki santai sejauh satu kilometer dengan waktu tempuh 20 menit. Sejumlah pohon besar mudah dijumpai, antara lain meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Kunjungan wisata ke Danau Nyadeng biasanya serangkai dengan Puncak Ketepu sehingga harus menginap satu malam di tepi danau.

    3. Puncak Ketepu

    Puncak Ketepu berada di ketinggian 393 mdpl. Sepintas tampak pendek, tetapi nyatanya tetap memerlukan perjuangan untuk bisa menjangkau Puncak Ketepu. Sama seperti Gua Bloyot, perjalanan ke Puncak Ketepu membutuhkan fisik ekstra. Sebab, jalur pendakian sangat terjal meski jaraknya ‘hanya’ 500 meter. Kamu harus berhati-hati dengan batu-batu karst yang tajam sehingga direkomendasikan menggunakan sepatu khusus trekking.

    Menurut pemandu lokal, jalur ke Puncak Ketepu searah menuju Danau Tebo, bagian dari ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di wilayah Kutai Timur, yang masih berjarak seharian dengan berjalan kaki. Persimpangan jalur ke danau tersebut berada di liang gua mendekati Puncak Ketepu. Terdapat jalan setapak yang curam melipir tebing di sisi jurang dalam.

    Pemuda pemandu lokal di Puncak Ketepu dan pemandangan yang dapat dilihat saat cuaca cerah via TelusuRI/Deta Widyananda

    Umumnya pendakian ke Puncak Ketepu dimulai sejak sebelum subuh, sekitar pukul 04.00–04.30 WITA. Durasi pendakian setidaknya 1,5–2 jam, tergantung ketahanan fisik kamu. Tujuan pendakian pada jam-jam tersebut karena daya tarik Puncak Ketepu adalah pemandangan alam yang tersaji jelang matahari terbit.

    Sejatinya Puncak Ketepu bukanlah yang tertinggi di ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Namun, puncak ini jadi yang paling mudah dijangkau untuk kegiatan wisata. Dari puncak yang tidak terlalu luas, gulungan kabut tipis bak kapas membentuk awan yang melayang rendah di kanopi hutan. Puncak-puncak karst lainnya juga akan terlihat lebih tinggi di sekitarnya. Panorama pagi itu biasanya ditemani suara lengkingan owa kalimantan yang terdengar bergema.

    • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
    • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
    • Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur

    Aktivitas tambahan

    Selain empat destinasi utama tersebut, ada aktivitas-aktivitas tambahan yang bisa kamu lakukan di Merabu. Pastikan datang pada saat yang tepat. Kamu bisa mengkonfirmasi waktunya ke pihak pengelola ekowisata Merabu.

    Pertama, kamu bisa mengikuti warga Merabu melakukan tradisi bercocok tanam padi gunung atau manugal. Tradisi budi daya pangan dengan sistem ladang berpindah secara gotong royong ini hanya berlangsung dua kali dalam setahun. Lalu malamnya akan berlangsung pesta lemang, yaitu makan-makan bersama di pondok tengah kebun. Lemang adalah kuliner khas Merabu berupa beras ketan dalam bambu panjang yang dibakar.

    Kedua, mengikuti rangkaian Festival Tuaq Manuk yang biasa digelar pada pertengahan tahun. Festival kebudayaan yang masuk dalam kalender wisata Kabupaten Berau ini sejatinya merupakan tradisi gotong royong bernuansa spiritual yang merangkul semua golongan, sekaligus sebagai wadah literasi tentang unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang melekat dalam adat Dayak Lebo: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem kesakralan. 

    Tuaq Manuk memiliki tujuan besar agar masyarakat dan hutan Kampung Merabu diberikan keberkahan dan senantiasa bersyukur pada hasil yang diterima. Baik untuk kebutuhan tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Panen padi sukses, buah-buahan dan madu berlimpah, juga termasuk memberi obat dan doa pada warga yang mengalami beragam kesulitan.

    Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
    Akses jalan tanah di antara perkebunan kelapa sawit Kampung Merapun menuju Kampung Merabu via TelusuRI/Mauren Fitri

    Transportasi dan akomodasi

    Akses termudah untuk menjangkau Kampung Merabu adalah melalui Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Tersedia penerbangan reguler dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Samarinda ke Bandara Kalimarau Berau. Adapun jika ingin mencoba petualangan seru, kamu bisa mencoba jalur darat dari Balikpapan ke Tanjung Redeb sejauh hampir 500 km melalui jalan poros Bontang–Sangatta atau Tenggarong–Kutai Timur.

    Tidak ada transportasi umum memadai yang tersedia dari Tanjung Redeb menuju Merabu. Satu-satunya jalan adalah membawa kendaraan pribadi atau menyewa mobil berikut sopirnya. Rata-rata harga sewa mobil (termasuk sopir) dari Tanjung Redeb ke Kampung Merabu sekitar Rp1,5 juta sekali jalan, menempuh jarak 173 kilometer dengan waktu tempuh antara 4,5–5 jam perjalanan. Untuk transportasi kembali ke Tanjung Redeb, biasanya menggunakan armada mobil milik warga Merabu dengan tarif serupa.

    Untuk saat ini tersedia penginapan di rumah warga yang sederhana (homestay) dengan tarif terjangkau. Sebagaimana konsep ekowisata berbasis masyarakat, Kampung Merabu juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam pengembangan ekowisata di luar pekerjaan utama.

    Untuk kebutuhan listrik, terdapat instalasi panel surya di lahan seluas satu hektare yang terletak di selatan kampung. Jangkauan sinyal seluler dan internet terbatas. Namun, pemerintah kampung menyediakan akses Wi-Fi di kantor kepala kampung yang biasanya dinyalakan pada saat-saat tertentu.

    Destinasi Wisata Kampung Merabu Kalimantan Timur
    Kantor sekretariat Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Kerima Puri di Merabu, yang mengelola ekowisata kampung via TelusuRI/Rifqy Faiza Rahman

    Pilihan paket wisata Kampung Merabu

    Berdasarkan informasi di Instagram resmi Kampung Merabu, tersedia sejumlah paket wisata dengan varian harga dan durasi perjalanan yang bisa kamu pilih.

    Paket WisataFasilitasHarga
    1 Day Trip
    (Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
    Perahu, life jacket, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
    2 Days 1 Night Trip
    (Danau Nyadeng & Puncak Ketepu)
    Perahu, tenda, life jacket, pemandu lokalRp640.000 (untuk 1–3 pax)
    1 Day Trip
    (Gua Bloyot)
    Headlamp, helm, pemandu lokalRp240.000 (untuk 1–3 pax)
    2 Days 1 Night Trip
    (Gua Bloyot)
    Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp440.000 (untuk 1–3 pax)
    2 Days 1 Night Trip(Gua Sedepan Bu)Headlamp, helm, tenda, pemandu lokalRp345.000 (untuk 1–3 pax)

    Harga paket wisata tersebut bisa berubah tergantung kuota kelompok wisata, serta belum termasuk transportasi dari tempat asal ke Merabu (PP), lalu donasi konservasi Rp10.000 per orang (wisatawan domestik) dan Rp250.000 per orang (wisatawan mancanegara). Kampung Merabu juga membuka donasi untuk adopsi pohon sebagai upaya melestarikan hutan desa mereka. 

    Untuk permintaan tur khusus atau informasi paket wisata lebih lanjut kamu bisa menghubungi Bu Yervina melalui WhatsApp (+62-813-4593-9332). 


    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post 3 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Kampung Merabu Kalimantan Timur appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/3-destinasi-wisata-kampung-merabu-kalimantan-timur/feed/ 0 46632
    Sacred Sago of Bariat Village https://telusuri.id/sacred-sago-of-bariat-village/ https://telusuri.id/sacred-sago-of-bariat-village/#respond Fri, 04 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46545 The Afsya community relies on sago as a staple food and a source of income. Traditional ways are often implemented to focus on preserving the blessings of sago trees, which grow abundantly in sacred forests....

    The post Sacred Sago of Bariat Village appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    The Afsya community relies on sago as a staple food and a source of income. Traditional ways are often implemented to focus on preserving the blessings of sago trees, which grow abundantly in sacred forests. Recognizing customary forests is crucial for Bariat to achieve food sovereignty through sago.

    Text: Rifqy Faiza Rahman
    Photos: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, and Mauren Fitri


    Sacred Sago of Bariat Village
    Aerial photo of the Bariat Village settlement, one of the sago producing centers in South Sorong, when covered in fog in the morning. The bend in the road is visible on the right side, which is the main route connecting villages in Konda District with Teminabuan, the capital of South Sorong Regency/Deta Widyananda

    Sago is often referred to as an alternative food source to replace rice. Some people may also recognize sago in its flour form, which is used as a raw ingredient for various snacks, such as cakes and bread. In fact, several regions in Indonesia, including Papua, have used sago as a staple food for generations.  

    For Papuans, sago flows as closely as the veins. The philosophy of the sago tree holds profound meaning: its exterior is thorny, but its core is radiant. This symbolizes that, although one’s outward appearance may seem tough and intimidating, the heart remains kind, sincere, and pure— as white as sago starch. The same applies to the Afsya community in Bariat Village, the capital of Konda District. Afsya is a sub-tribe of the Tehit people, the largest indigenous community in South Sorong Regency.

    The Afsya community settlement is located within a 3,307.717 hectare customary forest area. The Bariat forest is dominated by peat ecosystems, making it highly susceptible to fires. As a result, fire hazard warning signs from the environmental service are installed in many locations.  

    Since Bariat is a landlocked village with no direct access to the sea, the community’s livelihood depends on forest resources. Among the many commodities available, sago (Metroxylon sp.) remains their staple food.

    During the 2024 Arah Singgah Expedition in Papua, the TelusuRI team stopped by Bariat Village to observe the sago processing process. Adrianus Kemeray (51), the Head of Bariat Village, invited us to enter the sago forest owned by the Nikson Kemeray family. Inside, there was a mature sago tree, about 10 years old, ready for harvest.  

    The location was not far from the asphalt road connecting Teminabuan (the capital of South Sorong) with the villages in Konda District. We could reach the site on foot from Adrianus’ house, where we were staying. However, due to heavy rain the previous night, the land around the sago tree was flooded up to our calves. Some residents lent us boots, while they themselves usually walked barefoot—despite the scattered sago tree thorns and sharp wood chips. We had to tread carefully on hollow and slippery sago trunks to make our way through.

    Sacred Sago of Bariat Village
    Waste sago trunks that were flooded. Because the forest was flooded due to heavy rain overnight, we walked on it to get to the sago tree harvesting location/Mauren Fitri

    Mutual cooperation in processing sago

    According to Adrianus, sago is the greatest local food gift from God to the land of Papua. Their ancestors passed down extensive knowledge about sago and its uses—all without spending a single penny.  

    “Sago is a staple food inherited from our ancestors. We protect the sago tree as our biological mother,” said Adrianus. Just as Papuans consider the forest their mother—or mama—because it provides life, the same applies to sago. Protecting the sago hamlet—the community’s term for the sago forest—means ensuring the sustainability of their livelihoods for future generations.  

    Every part of a sago tree can be utilized. The bark or trunk serves as firewood. Sago fronds can be used as a surface for squeezing sago and as material for house walls. Meanwhile, the leaves, or thatch, can be woven into durable roofing.

    From a climate perspective, sago plays a crucial role in maintaining environmental quality. According to research by Bambang Hariyanto, a principal researcher at the BPPT Agro-Industry Technology Center, sago plants can absorb more carbon emissions than other forest plants. Therefore, sago is valued not only as an economic resource but also for its ability to restore the surrounding forest’s environmental conditions.  

    Furthermore, sago is a carbohydrate-rich food that is just as satisfying as rice. Unlike rice, which takes three to four months to harvest, sago can be processed and consumed on the same day. This is why cooperation, or gotong royong, among families is essential during sago harvesting.  

    The early stages of sago processing require significant physical effort, which is where the men take the lead. Armed with machetes and axes, adult men work together to cut the base of the sago trunk and ensure it falls in the right direction.

    I don’t know exactly what a sago tree ready for harvest looks like. What is clear, according to Adrianus, is that the average age of a mature sago tree ready for harvest is around 10 years, with a minimum height of approximately 15 meters.  

    Arah Singgah expedition team was asked to step back from the felling site. The men shouted loudly to give a warning.  

    • Sacred Sago of Bariat Village
    • Sacred Sago of Bariat Village

    Bang! A large tree crashed down, falling in the opposite direction from where we had come. Daniel Meres, a neighbor who lives across from Adrianus’ house, swiftly swung his axe repeatedly at the surface of the sago trunk. Meanwhile, those using machetes, such as Nikson, Wilhelmus, and Maurit, were tasked with peeling the sago trunk and cutting off the remaining fronds. Teenagers like Nobili and Yunus were ready to carry and guard our somewhat troublesome belongings—cameras, tripods, backpacks, and mattresses.

    A single sago tree cannot be fully processed in just one day. Residents typically open only about a quarter of the trunk at a time for processing. Fredik Ariks is the first to pierce the core of the trunk, or pith—the soft, white inner part of the sago tree.  

    The special tool used for this process functions like a hammer and is usually made from strong wood, such as merbau, which locals call ironwood. A sharp metal blade is often attached to the tip to make it more durable and efficient in crushing the pith.  

    Amos Meres, Daniel Meres’ son, takes his turn, working hard to break the pith apart until it becomes loose, like flour. “If you get tired, you can switch with the younger ones,” Fredik said with a laugh.

    • Sacred Sago of Bariat Village
    • Sacred Sago of Bariat Village

    A wise and sustainable ancestral food heritage

    Although the land belongs to the Kemeray clan, the sago harvesting and processing process involves families from various clans. This is because a single sago tree can sustain the needs of all 340 Bariat residents for several weeks. In fact, in one day, they only process a few sacks of pith, which is then squeezed into dry sago flour.  

    Regarding the sago processing process, Adrianus explained, “If many people work together, one large sago tree can be processed in a week. But if only one or two people do it, it can take up to a month.”

    Meanwhile, on the side of the split tree trunk, a group of women prepares for the next stage of the work. Maria Kemeray and Kormince Kemeray stand ready, opening two medium-sized sacks to collect the sago flakes. With swift, practiced movements, the two mothers carry the sacks and head toward the Kareth clan’s sago hut, located on the edge of a clear-water river in the peat swamp forest—just about 200 meters from the harvest site.

    Sacred Sago of Bariat Village
    In the sago hut area near the river, Maria Kemeray (left) and Kormince Kemeray worked together to squeeze sago to produce sago starch in the traditional way/Deta Widyananda

    Instead of using mechanical sago processing machines, the Bariat community still adheres to traditional methods. They use nipah fronds—supported by small tree trunks placed crosswise—as a surface for grinding wet sago.  

    Although traditional, the working mechanism is remarkable. There is no formal curriculum in schools on how to make it; the knowledge is passed down solely through ancestral stories from generation to generation. The only modern addition is the use of a t-shirt or a wide cloth as a sago filter.  

    Maria and Kormince gradually transfer the sago flakes into a basin. They mix the sago with an adequate amount of water from the tributary before pouring it over the fronds. Mauren, the head of the expedition team, attempts to assist the women with their work.  

    “Squeeze it slowly until the water content is gone, then wet it again and squeeze it once more,” Maria instructs, demonstrating the technique. The motion resembles washing and rinsing clothes.  

    Each sago basin undergoes two or three similar treatments. The sago juice then flows through the filter and collects in the reservoir below. The filtered liquid is later washed, and the starch is extracted. This starch is then processed into dry sago flour.

    Sacred Sago of Bariat Village
    Maria Kemeray squeezed sago mixed with water from the river. This process was repeated until the results of the sago starch filter were sufficient/Mauren Fitri

    Each family typically keeps some for their own household needs. The mothers continue their role by preparing sago-based dishes, most commonly papeda. They simply need to catch fish from the river, gather vegetables from the forest, and buy spices from the market to complete the meal.

    We had the chance to try other sago-based foods as well. Dorcila Gemnasi, Adrianus’ wife, made us sago pukis cakes topped with grated coconut, which were absolutely delicious. Just two pieces were enough to fill us up, and they tasted even better when paired with a cup of hot coffee.

    Beyond personal consumption, dry sago flour is the first derivative product that Bariat residents can sell. Their target market includes local markets and direct customer orders. A single sago tree can produce at least 20 sacks of dry flour, each weighing between 20 and 25 kilograms. The selling price is around Rp200,000 per sack.

    This is what Adrianus meant when he spoke about utilizing sago without spending a single penny on capital while still generating income. He emphasized that sago plays a crucial role in achieving food independence in his village.

    “We as a community are not all civil servants. Some of us work as manual laborers, while others struggle to find employment altogether. For them, life depends on the sago groves, which they can process to make a living.”

    The economic benefits of well-managed and sustainable sago are countless. Parents in Bariat can afford to send their children to school, purchase various food and beverages for their households, and even contribute to building churches and houses.

    Left: Amos Meres (black shirt) showed sago ball snacks that ready to eat. Usually, while waiting for the mothers to squeeze the sago, other residents made sago starch dough into balls and grilled them over a fire until the outside was burnt black. Even without any additional spices, sago balls were quite delicious and could fill your hunger. Right: Sago pukis cake by Dorcila Gemnasi, Adrianus Kemeray’s wife. With only sago flour and grated coconut, then grilled over a fire, it was more than enough as a delicious and filling snack. One form of local food creations of Bariat residents/Rifqy Faiza Rahman

    Protecting the sago village with traditions and sacred places

    So far, there is no synced and valid data on the total area of sago land in Indonesia. However, in a 2018 statement to the Ministry of Environment and Forestry, Prof. Mochamad Hasjim Bintoro, a professor at the Faculty of Agriculture, IPB University, estimated that Indonesia’s sago land covered 5.5 million hectares. Of this, nearly 95 percent—or 5.2 million hectares—is located in Papua.

    This makes Papua home to the largest sago reserves in both Indonesia and the world. Unfortunately, according to the chairman of the Indonesian Sago Society (MASSI), less than one percent of these reserves are utilized. The rest is left to rot and decompose without being harvested.

    In the Southwest Papua region, South Sorong is recognized as the province’s largest center for sago production and reserves. According to the latest available data from a 2015 study by BPPT researchers Bambang Haryanto, Mubekti, and Agus Tri Putranto, nearly 45 percent (311,591 hectares) of South Sorong Regency’s total land area of 694,221 hectares consists of sago forests, with an estimated sago starch potential of almost 3 million tons.

    The six largest sago-producing districts, each covering approximately 10 percent or more of the total area, are Kais (63,797 ha), Kokoda (61,344 ha), Inanwatan (55,483 ha), Saifi (39,630 ha), North Kokoda (34,530 ha), and Metamani (29,400 ha). Meanwhile, Konda (19,641 ha) and Seremuk (7,766 ha) have the smallest sago forest areas.

    Sacred Sago of Bariat Village
    Bariat community cooperation in harvesting and processing sago in peat forest area/Deta Widyananda

    These figures may have changed over time due to development and land-use shifts, but they remain a crucial reference for understanding the region’s sago potential.

    Private sago industries have been operating in Kais and Metamani, while other districts still rely on community-based plantations. However, Adrianus and Ones—local EcoNusa facilitators who accompanied us—hold a different perspective. They believe that the absence of investment from sago processing companies in Konda actually benefits the indigenous community. This is evident in Bariat, where residents are not bound to corporate contracts and remain free to manage their own land, which has been divided according to clan agreements.

    I recall an interesting moment the day before our visit to the sago hamlet. After Sunday service at church, Adrianus and several residents invited us to visit one of the village’s sacred sites in the forest, located about 700 meters west of the village. The path led us through a landscape rich with endemic trees and plants, many of which hold great value for the community—whether for medicinal use or for building homes.

    At the end of the trail stood a grave, sheltered by a simple zinc roof supported by wooden poles. It was the final resting place of the mother of Yulian Kareth (62), the traditional leader of Bariat Village, who passed away in 2018

    “Why is my mother buried here, far from the village? Because this is where she first met my father, who came from another village,” Yulian explained. Their meeting was seen as a matter of destiny, making this land a significant and memorable place.

    Yulian then pointed to a large tree with drooping leaves and branches beside the grave. A plaque with the word “Mrasa” was painted in red, marking the site as a sacred place belonging to the Kareth clan. Such naming traditions are usually kept confidential, known only to the community elders. As visitors, we were only given a brief glimpse of the history deemed appropriate to share.

    Sacred Sago of Bariat Village
    Yulian Kareth, the traditional leader of Bariat Village with Afsya traditional costume and weapons. Behind him was “Mrasa”, one of the important tree as sacred places for the Kareth clan. Important places like this protect the natural resources around them, including the sago forest that produces staple food for the community/Deta Widyananda

    For the Bariat community, this is an important place—a designation given to sites that hold historical and ancestral significance. Sacred or significant places often include ancient trees, burial grounds, or hidden locations deep within the forest. These landmarks play a crucial role in mapping customary land areas, as they serve as key references when applying for legal recognition of customary forests or ancestral territories from the government.

    Since June 6, 2024, the South Sorong Regency Government has officially recognized, protected, and respected the customary law communities and territories of seven indigenous groups in South Sorong. This includes five neighboring villages in Konda District: Manelek (Gemna sub-tribe), Bariat (Afsya sub-tribe), Nakna (Nakna sub-tribe), as well as Konda and Wamargege (Yaben sub-tribe).

    Currently, in Bariat, the village government authority—supported by the non-profit organization Pusaka Bentala Rakyat—is working to secure recognition at the provincial and ministerial levels.

    “As a customary law community, we fiercely protect our staple food source,” Adrianus stated. “We will defend the sago hamlet in the Afsya sub-tribe’s customary forest with our lives because sago is the staple food for our children and grandchildren.”

    As a father of three, he also believes that official government recognition carries immense value. A strong and binding legal framework will ensure the long-term security of their land, homes, and traditional territory.

    This includes safeguarding important places—sites that play a crucial role in protecting the sago hamlets scattered throughout the forests of Bariat Village. For the Bariat people, sago is more than just a food source—it is sacred.

    Translated by Novrisa Briliantina


    Cover photo: A sago farmer mother in the forest of Bariat Village, South Sorong/Deta Widyananda

    TelusuRI is an Indonesian travel and tourism media platform under the Tempo Digital network. This article was written as a report on the Arah Singgah 2024 expedition in Southwest Papua and Papua. Read more the trip reports at telusuri.id/arahsinggah.


    Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
    Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

    The post Sacred Sago of Bariat Village appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/sacred-sago-of-bariat-village/feed/ 0 46545
    Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/ https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/#respond Fri, 28 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45770 Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas...

    The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    Di Jawa Tengah, Gunung Merbabu termasuk destinasi pendakian populer, baik untuk pendaki domestik maupun mancanegara. Dari empat jalur resmi saat ini, dua di antaranya berada di wilayah Kabupaten Magelang, yaitu Suwanting (Kecamatan Banyuroto) dan Wekas (Kecamatan Pakis).

    Pendakian dari Magelang memiliki karakteristik jalur dan tantangan tersendiri yang amat layak untuk dieksplorasi. Bentang alam, vegetasi, dan medan pendakian tidak kalah menarik dibandingkan rute utara via Thekelan (Kabupaten Semarang) maupun rute tenggara via Selo (Kabupaten Boyolali).

    Jalur Suwanting dan Wekas tidak berada pada satu rute yang sama. Kedua jalur ini baru bertemu di Kenteng Songo, salah satu puncak tertinggi Gunung Merbabu dengan ketinggian sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sampai saat ini, pihak Taman Nasional Gunung Merbabu belum memperbolehkan lintas jalur, sehingga pendaki harus dua kali reservasi di waktu yang berbeda supaya bisa melakukan pendakian di masing-masing jalur.

    Buat kamu yang ingin mencoba mendaki Merbabu via Suwanting dan Wekas, berikut informasi jalur, kondisi medan, serta estimasi jarak dan waktu tempuh yang bisa dipelajari sebelum melakukan pendakian. Angka pada ketinggian dan jarak berdasarkan catatan GPS dan informasi dari taman nasional.

    Jalur pendakian Merbabu via Suwanting

    Jalur Suwanting berada di sisi barat Gunung Merbabu. Jalur ini dikenal cukup terjal dan jaraknya sedikit lebih panjang daripada Wekas. Tempat camp ideal berada di Pos 3 Dampo Awang, karena berada dekat sumber air.

    Basecamp Suwanting (1.350 mdpl) — Pintu Hutan (1.470 mdpl): +850 meter

    • Jalan dusun berupa cor yang menanjak, kemudian melewati perkebunan sayur warga sampai menjumpai pintu hutan, yang ditandai gapura Taman Nasional Gunung Merbabu
    • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

    Pintu Hutan (1.470 mdpl) — Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl): +200 meter

    • Rute pintu hutan ke Pos 1 merupakan jalur dengan jarak terpendek di Suwanting
    • Vegetasi masih didominasi hutan pinus, dengan tanaman semak dan rumput di permukaan tanah
    • Pos 1 hanya berupa tanah datar yang tidak terlalu luas dan tidak ada selter untuk berteduh
    • Estimasi: 5 menit

    Pos 1 Lembah Lempong (1.555 mdpl) — Pos 2 Bendera (2.186 mdpl): +2 kilometer

    • Pendakian sesungguhnya telah dimulai, jalur cukup panjang dan mulai menanjak cukup konstan dengan sesekali bonus landai
    • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
    • Melewati beberapa “pos bayangan” bernama Lembah Gosong (1.665 mdpl), Lembah Cemoro (1.790 mdpl), Lembah Ngrijan (1.866 mdpl), dan Lembah Mitoh (2.127 mdpl)
    • Vegetasi mulai rapat dengan tanaman semak dan beberapa cemara gunung
    • Pos 2 berupa tanah datar berundak dan pemandangan agak terbuka; banyak pendaki yang mendirikan tenda di sini jika fisik tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan
    • Estimasi: 2—2,5 jam

    Pos 2 Bendera (2.186 mdpl) — Pos Air (2.665 mdpl): +1,1 kilometer

    • Perjalanan dari Pos 2 menuju pos air adalah yang terberat dan paling terjal di jalur Suwanting, karena fisik sudah mulai terkuras
    • Jalur cenderung konstan menanjak di kawasan Lembah Manding, pilih jalur baru di sisi kanan yang lebih bersahabat
    • Trek tanah cukup liat dan akan licin serta berlumpur saat musim hujan, sedangkan musim kemarau akan sangat berdebu
    • Terdapat tali bantuan yang terikat pada batang pohon di sejumlah titik yang cukup curam
    • Vegetasi tidak terlalu rapat dengan dominasi tanaman semak dan pohon mlanding (lamtoro)
    • Terdapat dua buah gentong berisi air yang dialirkan melalui pipa, saat ini menjadi satu-satunya sumber air di jalur Suwanting
    • Estimasi: 2,5—3 jam

    Pos Air (2.665 mdpl) — Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl): +200 meter

    • Setelah Lembah Manding yang menguras tenaga, kerahkan sisa kekuatan untuk menjangkau Pos 3 yang tidak jauh lagi
    • Pos 3 sangat luas dan mampu menampung puluhan tenda, sehingga menjadi tempat terbaik dan teraman untuk mendirikan tenda
    • Vegetasi hanya rerumputan serta edelweis di Pos 3, sangat terbuka sehingga waspada dengan angin kencang
    • Pemandangan yang dapat dilihat antara lain Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan kawasan permukiman di kaki gunung
    • Estimasi: 15—20 menit

    Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) — Puncak Suwanting (3.105 mdpl): +1,1 kilometer

    • Perjalanan ke puncak Suwanting akan melewati tiga kawasan sabana, yaitu Sabana 1 (2.828 mdpl), Sabana 2 (2.915 mdpl), dan Sabana 3 (2.984 mdpl)
    • Trek tanah yang konstan menanjak, tetapi tidak terasa berat karena hanya membawa perlengkapan dan bekal seperlunya
    • Vegetasi dominan padang rumput terbuka, sehingga berpotensi angin kencang atau badai
    • Puncak Suwanting merupakan ujung punggungan jalur Suwanting, dengan ketinggian hampir sama dengan Triangulasi dan Kenteng Songo
    • Estimasi: 1—1,5 jam

    Puncak Suwanting (3.105 mdpl) — Puncak Triangulasi (3.142 mdpl): +250 meter

    • Kontur jalur menuju puncak Triangulasi sedikit naik-turun, tetapi relatif ringan dan jaraknya cukup dekat
    • Vegetasi masih didominasi rerumputan dan terdapat beberapa pohon cantigi (manisrejo)
    • Kawasan puncak Triangulasi tidak terlalu luas dan hanya ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional
    • Estimasi: 10-15 menit

    Puncak Triangulasi (3.142 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +150 meter

    • Kontur jalur antarpuncak hanya sedikit turunan dan tanjakan, sehingga mudah terlihat satu sama lain saat cuaca cerah
    • Puncak Kenteng Songo ditandai dengan tugu permanen milik taman nasional, serta beberapa situs cagar budaya berupa lumpang batu alami yang dikelilingi pagar besi untuk menghindari vandalisme
    • Puncak Kenteng Songo adalah titik pertemuan jalur Suwanting dengan Selo dan jalur utara (Thekelan, Cuntel, Wekas)
    • EstimasI: 5 menit

    Rekomendasi basecamp:
    Pak Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon (0813-5987-6990)

    * * *

    Jalur pendakian Merbabu via Wekas

    Wekas dikenal sebagai jalur pendakian dengan jarak tempuh paling pendek ke puncak. Sebab, titik awal pendakian sudah cukup tinggi, di atas 1.500 mdpl. Meski durasi perjalanan relatif lebih singkat, tetapi trek pendakian cenderung lebih terjal. Jalur Wekas bertemu dengan jalur Thekelan di punggungan antara puncak pemancar dan pos helipad, yang juga menjadi batas alam antara Kabupaten Semarang, Magelang, dan Boyolali.

    Basecamp Wekas (1.748 mdpl) — Merbabu Pass (1.858 mdpl): +350 meter

    • Jalan dusun berupa kombinasi cor dan paving block yang sempit dan menanjak cukup ekstrem, sampai menjumpai area camping bernama Merbabu Pass
    • Dari Merbabu Pass, pemandangan gunung-gunung terdekat yang bisa dilihat (saat cuaca cerah) antara lain Telomoyo, Andong, Sumbing, dan Sindoro
    • Merbabu Pass berada tepat di pintu hutan, menjadi batas antara wilayah konservasi taman nasional dengan lahan perkebunan warga
    • Estimasi: 15—20 menit dengan jalan kaki untuk pemanasan atau 5 menit dengan ojek

    Merbabu Pass (1.858 mdpl) — Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl): +1,1 kilometer

    • Dari pintu hutan Merbabu Pass atau patok HM 0, trek mulanya datar dan landai, tetapi kemudian perlahan menanjak sampai Pos 1 Tegal Arum
    • Sepanjang jalur akan menjumpai aliran pipa air yang tersambung dari sumber air di Pos 2 Wekas sampai ke permukiman warga
    • Vegetasi didominasi cemara gunung, tumbuhan perdu, dan tanaman mlanding (sejenis lamtoro)
    • Kadang-kadang terlihat monyet-monyet bergelantungan mencari makan, tetapi tidak agresif sehingga jangan sampai mengusik maupun memberi makanan sembarangan kepada satwa
    • Melewati dua pos bayangan, yaitu Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl)
    • Pos 1 Tegal Arum berada di antara HM 10 dan HM 11, artinya berjarak sekitar 1–1,1 km dari pintu hutan
    • Di pos ini terdapat selter berupa gazebo kayu yang bisa digunakan untuk istirahat dan berteduh, tetapi tidak tersedia tanah datar yang cukup untuk mendirikan tenda
    • Estimasi: 1–1,5 jam 

    Pos 1 Tegal Arum (2.065 mdpl) — Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl): +1,4 kilometer

    • Pendakian antara Pos 1 Tegal Arum dan Pos 2 Wekas merupakan yang paling berat di jalur Wekas, terutama trek terjal tanpa putus sepanjang kira-kira 800 meter setelah HM 12 sampai dengan HM 20
    • Saat hujan, kondisi jalur Wekas akan cukup licin, sementara kala kemarau bakal diselimuti debu tebal
    • Tutupan hutan masih cukup rapat, lalu vegetasi terbuka mendekati HM 20 dan terlihat punggungan tebing jalur Thekelan di sisi kiri (timur) yang akan terlihat sampai Pos 2 Wekas
    • Selepas HM 20 hingga Pos 2 Wekas yang terletak di HM 25, trek relatif landai meniti jalan setapak di pinggir jurang
    • Pos 2 Wekas atau disebut juga Pos 2 Kidang Kencana berupa lahan yang sangat luas dan bisa menampung puluhan tenda, dengan fasilitas sumber air bersih satu-satunya yang dialirkan lewat keran serta gazebo untuk sekadar bersantai
    • Pos 2 Wekas merupakan tempat camp ideal sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, lokasinya seperti berupa cerukan yang diapit punggungan tebing jalur Thekelan dan Suwanting
    • Jika beruntung, saat sore bisa melihat pemandangan matahari terbenam dengan latar Gunung Sumbing di kejauhan
    • Estimasi: 1,5–2 jam

    Pos 2 Wekas/Kidang Kencana (2.480 mdpl) — Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl): +800 meter

    • Trek menuju Pos 3 Watu Kumpul cenderung menanjak melewati cerukan sempit terbuka yang didominasi batu-batu vulkanis berukuran besar, menunjukkan sejarah Merbabu sebagai gunung berapi (kini dalam kondisi tidur atau dorman)
    • Vegetasi mulai didominasi pepohonan semak yang kering dan mulai dijumpai edelweis di sisi kiri-kanan jalur
    • Ada area cukup lapang dan terbuka di HM 31, tetapi bukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda
    • Pos 3 Watu Kumpul persis berada di HM 33, tidak ada tempat ideal untuk istirahat dalam waktu lama apalagi membangun tenda
    • Estimasi: 45 menit–1 jam

    Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl) — Tugu Perbatasan (2.847 mdpl): +100 meter

    • Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur klasik Thekelan di persimpangan yang ditandai dengan tugu perbatasan tiga kabupaten, yaitu Semarang, Magelang, dan Boyolali
    • Trek dari Pos 3 Watu Kumpul masih menanjak, tetapi jarak dengan tugu perbatasan tidak begitu jauh
    • Tugu perbatasan tersebut berada di punggungan terbuka, yang memungkinkan pendaki untuk melihat pemandangan matahari terbit dan terbenam sekaligus
    • Sepanjang pendakian dari tugu perbatasan sampai puncak berada di area terbuka tanpa naungan, sehingga waspada terhadap potensi badai atau angin kencang dan jangan memaksakan untuk melanjutkan pendakian jika cuaca memburuk
    • Estimasi: 10–15 menit

    Tugu Perbatasan (2.847 mdpl) — Helipad (2.898 mdpl): +150 meter

    • Untuk bisa menginjakkan kaki di Helipad, kamu harus sedikit menaiki gundukan bukit kecil yang lumayan curam, yang terletak di sisi kanan jalur utama pendakian
    • Meski bukan merupakan pos, kadang-kadang ada pendaki mendirikan tenda di area ini, karena ingin lebih dekat ke puncak
    • Tempat ini disebut Helipad karena bentuknya seperti dataran melingkar yang biasa digunakan sebagai tempat mendarat helikopter, bisa memuat kira-kira 2–3 tenda berkapasitas 4–5 orang
    • Estimasi: 5 menit

    Helipad (2.898 mdpl) — Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl): +500 meter

    • Dari Helipad, jalur masih menyusuri punggungan sampai bertemu percabangan, jika turunan ke kanan menuju sumber air, sedangkan ke kiri menanjak terjal di antara pepohonan cantigi sampai Geger Sapi
    • Nama Geger Sapi kemungkinan berasal dari topografi punggungan yang tampak seperti punuk atau geger (Jawa) sapi
    • Geger Sapi termasuk dalam rangkaian tujuh puncak (seven summit) jalur Thekelan, selain Watu Gubug, Pemancar, Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi
    • Estimasi: 15–20 menit

    Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl) — Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl): +400 meter

    • Dari Geger Sapi, trek semula akan melandai lalu menanjak terjal sampai ke persimpangan Puncak Syarif dan Puncak Ondo Rante
    • Ada dua pilihan jalur, sisi kiri melewati ceruk batuan dan lebih ekstrem, sedangkan sisi kanan membelah sabana terjal yang lebih berdebu saat kemarau
    • EstimasI: 15–20 menit

    Pertigaan Syarif-Ondo Rante (3.084 mdpl) — Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl): +500 meter

    • Di pertigaan, kamu bisa menuju ke Puncak Syarif (3.119 mdpl) yang berjarak 10–15 menit, atau melanjutkan pendakian ke puncak tertinggi Kenteng Songo
    • Jalur pendakian ke Kenteng Songo melewati bagian kaki Puncak Ondo Rante, melipir tepian jurang sampai trek menantang yang dikenal dengan sebutan Jembatan Setan
    • Pihak taman nasional menyediakan alat bantu pegangan berupa tali dan pagar rantai untuk keamanan, karena kaki harus memijak batu-batu licin yang menempel pada tebing cadas
    • Dari Jembatan Setan, mendekati Kenteng Songo terdapat satu tanjakan ekstrem yang membuat kamu harus mengerahkan banyak tenaga untuk melewatinya, ibarat lutut bertemu dagu
    • Puncak Kenteng Songo merupakan pertemuan dari semua jalur, baik itu dari Thekelan-Wekas, Suwanting, dan Selo
    • Dari Kenteng Songo bisa melanjutkan perjalanan kurang dari lima menit untuk tiba di puncak ketujuh Merbabu, yaitu Triangulasi (3.145 mdpl)
    • EstimasI: 30–45 menit

    Rekomendasi basecamp:
    Pak Lasin (0823-2334-0939)

    * * *

    Informasi biaya pendakian

    Cara memesan kuota dan mengurus perizinan pendakian bisa dilihat lebih lanjut di situs resmi Taman Nasional Gunung Merbabu: booking.tngunungmerbabu.org. Di dalamnya memuat kuota pendakian, alur reservasi, hingga pembayaran biaya pendakian. Sejak November 2024, terjadi kenaikan tarif tiket wisata pendakian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu:

    Selain itu, biasanya masing-masing jalur juga memiliki tarif tambahan untuk retribusi kampung (termasuk di dalamnya untuk biaya kebersihan dan pengelolaan basecamp), serta jasa ojek (opsional):

    Retribusi kampung di Suwanting: Rp35.000
    Tarif ojek: Rp10.000–15.000 sekali jalan

    Retribusi kampung di Wekas: Rp22.000
    Tarif ojek: Rp15.000–20.000 sekali jalan

    Menjadi pendaki bijak

    Selain menyiapkan perbekalan dan manajemen pendakian yang baik, kamu juga harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi pendaki gunung yang baik. TelusuRI punya sejumlah tips agar kamu bisa menjadi pendaki yang bijak:

    1. Menghormati adat istiadat di dusun setempat
    2. Mematuhi peraturan yang berlaku di kawasan taman nasional
    3. Melengkapi diri dengan peralatan pendakian standar dan menyiapkan logistik yang cukup selama pendakian, serta tetap waspada dan hati-hati dengan barang-barang bawaan pribadi dari potensi pencurian oleh sejumlah oknum di area berkemah
    4. Jangan mengikuti ego dan memaksakan diri, terutama ketika cuaca buruk atau kondisi tim tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian
    5. Meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai
    6. Gunakan botol minum yang bukan sekali pakai dan membawa jeriken portabel untuk isi ulang air
    7. Gunakan kotak makan untuk menyimpan bahan-bahan makanan kamu
    8. Memilih menu-menu makanan organik, seperti sayur, buah, dan bahan lainnya yang limbahnya bisa kamu timbun di dalam tanah saat pendakian
    9. Membawa pulang sampah anorganik yang kamu hasilkan
    10. Membawa kantung sampah secukupnya

    Foto-foto oleh Rifqy Faiza Rahman via TelusuRI.


    Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
    Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

    The post Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas appeared first on TelusuRI.

    ]]>
    https://telusuri.id/jalur-pendakian-gunung-merbabu-via-suwanting-dan-wekas/feed/ 0 45770