Azlina Fitri Mujtahid, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/azlina-fitri-mujtahid/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 30 Dec 2022 01:17:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Azlina Fitri Mujtahid, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/azlina-fitri-mujtahid/ 32 32 135956295 Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/ https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/#respond Mon, 09 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36844 “Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini...

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Pontianak. Jantung memompa darah begitu kencang—antara semangat dan gugup.

Saya sempat menerka-nerka seperti apa Pontianak; sungai nun panjang yang diisi oleh sampan kecil, klenteng yang bergandengan dengan masjid, dan rumah-rumah panggung tepi sungai. Permadani hijau terhampar luas dari jendela pesawat, sejenak kemudian, kumpulan bangunan mulai terlihat berada di dekat dengan sungai—saya tebak pasti Sungai Kapuas. “Sayang ya, airnya cokelat. Coba aliran airnya jernih, mungkin pemandangan dari atas sini akan terlihat lebih cantik,” ucapku dalam hati.

Kunjungan saya kali ini dalam rangka business trip. Setelah hampir dua tahun hanya mengendap di rumah sembari bekerja, inilah momen peralihan dari kegiatan daring menuju luring. Rasanya menyenangkan, tetapi di juga menakutkan. Sebab, mesti ada penyesuaian kembali dari semua kegiatan yang serba mengandalkan jaringan internet menjadi kegiatan lapangan.

Saya menjadi delegasi Rombak Media untuk program CREATE (Creative Youth for Tolerance) yang merangkul anak anak SMA dari kelas X hingga XII untuk memahami praktik toleransi dan pluralisme di Pontianak. Saya juga menjadi moderator dalam sebuah focus group discussion antar peserta yang sebelumnya sudah mengikuti kunjungan ke rumah ibadah yang ada di sekitar Pontianak.

Kegiatan diskusi berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2022 pada pukul 09.00 WIB. Jujur, saya cukup terkejut melihat para peserta yang sudah bersiap dari sekitar pukul 8.30. Untuk kegiatan kali ini kami dibantu oleh Kak Ningsih dan Kak Rio selaku Field Officer untuk Kota Pontianak, lalu ada Kak Yustina dan Kak Oki. Kami sudah bertemu malam sebelum kegiatan untuk melakukan briefing dan berkenalan.

Kebetulan, malam itu Kak Oki sedang berhalangan hadir karena sudah ada jadwal kegiatan lain. Karena kami sudah lebih mengenal Kak Rio dan Kak Ningsih melalui koordinasi dan meeting secara online, maka kami tidak merasa terlalu canggung. 

Namun, untuk Kak Yustina, saya agak merasa kikuk untuk harus bersikap seperti apa, karena saya dan dia belum pernah menjalin komunikasi sebelumnya. Untungnya, Kak Yustina sangat ramah dan mudah bergaul. Saya akhirnya merasa pembicaraan kami berlangsung dengan menyenangkan. Kak Yustina juga menawarkan untuk mencetak dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kegiatan nanti, karena kami kebetulan tidak membawa printer khusus dari Jakarta. 

Sebelum kegiatan semua peserta melakukan tes antigen untuk memastikan semuanya sehat dan siap untuk mengikuti kegiatan. Malang nian, dua peserta dinyatakan positif COVID-19 setelah menjalani pemeriksaan. Kami pun menghimbau peserta yang positif untuk pulang dan beristirahat sampai membaik. 

Saya jadi merasa sangat bersalah dan bingung, ketika harus meminta peserta yang positif untuk pulang, padahal mereka sudah menyempatkan dan berusaha menyisakan waktu untuk datang. Apalagi, salah satu peserta ada yang berasal dari Kubu Raya jarak tempuhnya ke Pontianak sekitar 2 jam perjalanan dan harus melalui jalan yang masih belum di aspal. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak pulang maka resikonya akan lebih besar untuk peserta lain dan peserta yang sakit itu sendiri. 

peserta create
Para pesertaprogram CREATE dari Pontianak/Azlina Fitri

Kegiatan pada siang itu berjalan dengan lancar. Antusiasme peserta membuat saya sangat bersemangat dalam memandu jalannya kegiatan. Mereka sangat aktif dan terbilang cukup dekat dengan satu sama lain. 

Pendapat dan cerita yang mereka bagikan selama kegiatan, membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana toleransi di Pontianak. Saya juga baru tahu, bahwa dulu di Pontianak pernah terjadi tragedi kerusuhan Sambas—kerusuhan antar etnis—yang dampaknya masih cukup terasa hingga saat ini dan dirasakan oleh para keturunan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Keberagaman peserta di Pontianak membuat saya bersemangat selama kegiatan berlangsung. Salah satu peserta juga ada yang tuli, namun tidak ada diskriminasi dari peserta lainnya. Mereka justru belajar tentang bagaimana cara menggunakan bahasa isyarat. Saya sempat berfikir jika para peserta diberikan ruang dan kesempatan yang lebih siapa tau mereka bisa membawa perubahan yang besar di Kota Pontianak. Semoga.

Mencicipi Mi Tiaw

Rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke tempat baru tanpa mencicipi kuliner lokal dan mampir ke atraksi wisata setempat. Sewaktu di hotel, saya sempat berbincang sebentar dengan resepsionis hotel, yang kebetulan sama-sama berasal dari Bandung.

“Baru pertama ke Pontianak, Mbak?” tanyanya kepada saya sewaktu check in. Saya mengangguk, mengiyakan dugaannya.

“Saya juga baru loh di sini, Mbak. Baru sekitar dua tahun di Pontianak.”

Dia kemudian memberikan sebuah kartu yang bertuliskan namanya yang dilengkapi dengan alamat dan nomor telepon. “Ini kartu nama saya, siapa tahu nanti ke Pontianak lagi. Kita bisa main.” Berkat dialah, saya mendapatkan rekomendasi tempat makan yang harus dicoba, salah satunya adalah Mi Tiaw Apollo.

Di bawah terik mentari yang memancar kuat, sembari menunggu ojek daring, saya mengamati sekitar. Dua orang pemulung berjalan kepayahan dengan gerobak dorong bak baru saja pulang dari medan perang. Seorang ibu tua yang menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang lewat dengan intonasi yang tinggi. Rumah-rumah kayu yang menghitam dimakan umur. Tak lama, ojek daring datang dan kami bergegas pergi. Sayang, tujuan saya, Mi Tiaw Apollo tutup. Bapak pengemudi menawarkan beberapa pilihan tempat makan lainnya yang serupa. Saya setuju dengan sarannya. Motor kembali digas ke Mi Tiaw Antasari, yang konon cita rasanya juga melegenda. Bapaknya baik, mau mengantarkan saya tanpa mengenakan ongkos tambahan.

kuliner pontianak
Mencicipi kuliner lokal Pontianak/Azlina Fitri

Saya memilih untuk mencari tempat duduk di dekat tembok yang bercat kuning. Gemuruh suara orang berbicara di dalam warung bernafaskan Melayu: koki yang berteriak bahasa Melayu, pelayan yang bergumam dalam bahasa Melayu, pelanggan yang bercanda dalam bahasa Melayu. Telinga saya memang akrab dengan bahasa ini. Pesanan datang. Sepiring mi tiaw daging dengan porsi orang kelaparan. Saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menghabiskan dan memutuskan untuk membungkus sisanya.

Menyusuri Sejengkal Pontianak

Di penghujung hari, kala padatnya manusia tidak berkurang sama sekali, saya memutuskan untuk melangkahkan kaki melihat Kota Pontianak dari nadinya. Jujur, saya sebenarnya malas dan berniat untuk tetap tinggal di hotel setelah kegiatan berlangsung. Kalau bukan karena ajakan Kak Ningsih, Kak Rio, dan Anti, saya pasti hanya menghabiskan sisa hari dengan rebahan. Saya sempat berpikir akan pingsan di jalan saking lelahnya, tapi kalaupun nantinya pingsan, setidaknya saya pingsannya di Pontianak.

Ojek mobil yang kami tumpangi menggilas jalanan di sore hari yang dirundung awan. Persinggahan pertama kami adalah Rumah Betang. Rumah Betang ini adalah replika rumah adat yang dulunya digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai perkampungan komunal dalam satu bangunan. Sekarang, karena fungsinya replika, maka tempat ini menjadi serbaguna. Sebutan lainnya adalah Rumah Radankng–istilah penyebutan rumah adat dari suku Dayak Kanayatn. Modifikasi yang terlihat mencolok adalah tangga yang terbuat dari semen dan seperti tangga pada umumnya, mendampingi tangga asli yang terbuat dari batang kelapa–yang saya coba menaikinya.

Sehabis dari Rumah Betang, kami beranjak ke tepian Sungai Kapuas, lalu menaiki sebuah kapal. Di dalamnya ada warung yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman. Bentuknya seperti kapan biasa tapi ada toko kecil di bawahnya, untuk menaiki kapan ini kami perlu membayar sekitar 15 ribu rupiah. 

Perjalanan mengelilingi Sungai Kapuas kurang lebih memakan waktu 40 menit. Angin berhembus cukup kencang dan tanpa sadar membuat saya melamun. dari kapal kita bisa melihat dua perbedaan cukup signifikan antara tipe pemukiman di sebelah kanan dan kiri sungai. Mungkin jika diartikan secara literal ini lah definisi nyata dari inequality, bangunan di sebelah kanan kapal sudah mulai terlihat lebih modern dan rapi sedangkan di sebelah kiri kapal banyan bangunan yang masih terbuat dari kayu dan beberapa warga masih menggunakan Sungai Kapuas untuk sekedar mencuci baju atau piring. 

Sambil memandang matahari yang mulai sirna, Kak Rio dan Kak Ningsih bercerita tentang kenapa warna Sungai Kapuas bisa kotor dan legenda-legenda makhluk misterius yang bernama puake. Mendengar cerita ini, saya teringat cerita legendaris Nyi Roro Kidul karena kisahnya yang kurang lebih sama. 

sungai kapuas
Menyusuri Sungai Kapuas/Azlina Fitri

Saya tiba-tiba teringat buku dari Yuval Noah Harari Sapiens, mungkin memang benar, manusia membuat cerita-cerita mistis yang dapat dipercaya untuk menjaga harmoni antar manusia atau menjaga alam agar dapat terus terawat dengan baik.

Yang terakhir, sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat kami mampir di D’bamboo untuk memakan chai kue. Makanan ini bentuknya mirip seperti dimsum namun isinya macam-macam: ada bengkuang, kuchai, keladi dan kacang. Karena tidak tahu mana yang paling enak, kami memutuskan untuk memesan semuanya. 

Tekstur dari chai kue ini sangat lembut dan mudah terbuka. Rasanya gurih dan akan lebih mantap lagi kalau dimakan bersama sambalnya yang pedas dan asam. Saking enaknya saya menghabiskan total tujuh chai kue sendirian. Saya sempat berencana untuk membungkusnya pulang ke Jakarta, tapi ternyata chai kue hanya bertahan 1 hari saja.  Alhasil, saya jadi bercanda dengan Kang Ningsih dan Kak Rio, kalau saja di Pulau Jawa ada yang berjualan chai kue mungkin saya sudah menjadi pelanggan tetap mereka. Gelak tawa menghidupkan malam terakhir kami di Pontianak, dan saya belum tahu kapan akan kembali ke sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/feed/ 0 36844
Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/ https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/#respond Sun, 04 Dec 2022 17:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36261 Suara alarm dari ponselku mendebarkan gendang telinga, membuatku meregangkan tangan ke udara.  “Ah, masih pukul lima pagi. Lima menit lagi,” gumamku dalam hati. Akhirnya, badan ini baru beranjak dari kasur tiga puluh menit setelahnya. Selama...

The post Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara alarm dari ponselku mendebarkan gendang telinga, membuatku meregangkan tangan ke udara.  “Ah, masih pukul lima pagi. Lima menit lagi,” gumamku dalam hati. Akhirnya, badan ini baru beranjak dari kasur tiga puluh menit setelahnya. Selama dua hari kedepan, aku akan mengikuti Familiarization Trip yang diselenggarakan oleh Java Promo dan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku dan rekan-rekan lain akan menelusuri empat kabupaten di Yogyakarta.

Jujur saja, rasanya senang tapi takut. Senang, tentu karena aku akan mengunjungi banyak tempat baru dan belajar banyak hal. Tapi, sebagai orang yang punya jiwa introvert cukup tinggi, kegiatan ini akan membuatku bertemu banyak orang baru dan membuat mentalku cukup lelah. 

Setelah acara pembukaan dan sambutan dari penyelenggara, rombongan kami berangkat mengunjungi Tebing Breksi. Dari sini, kami berpindah ke armada lain karena akan mengunjungi beberapa destinasi dengan rute dan jalan yang sulit dilalui kendaraan 2WD. Mobil-mobil jip yang berjajar di depan lapangan parkir pun menyambut kami. Mereka siap mengantarkan petualangan hari itu. Beruntungnya, cuaca Jogja sangat cerah, padahal dua hari sebelumnya Jogja terus diguyur hujan dari pagi hingga malam.

Mobil Jip
Menumpang jip mengitari kawasan Tebing Breksi/Mauren Fitri

Pak Danu memandu mobil jip yang aku tumpangi bersama tiga rekan lain. Beliau dulunya bekerja sebagai pemandu wisata sebelum memutuskan berganti profesi menjadi pengemudi jip. Pak Danu memiliki pengetahuan yang luar biasa mengenai kondisi warga di sekitar Tebing Breksi dan juga sejarah dari destinasi yang akan kami kunjungi. Sepanjang jalan, beliau menceritakan banyak hal. Salah satunya, cerita tentang warga yang dulunya bekerja sebagai penambang batu kapur di Tebing Breksi, yang kini mendapatkan keistimewaan untuk memilih bidang usaha lain ketika aktivitas penambangan berganti dengan aktivitas wisata.

“Ada dua pilihan yang diberikan: membuka usaha [warung] atau memiliki jip yang akan disediakan oleh pihak pengelola—dengan catatan satu keluarga hanya boleh memilih satu jenis usaha saja,” terang Pak Danu.

Melihat Candi Barong dan Banyunibo

Di desa yang terhitung tidak terlalu luas ini, ada beberapa candi yang sedang dalam proses restorasi dan ada juga candi yang sudah mengalami restorasi.  Pak Danu, yang berjalan di depan kami, kemudian menerangkan perbedaan candi Hindu dan Buddha.

“Candi Hindu atapnya runcing, sedangkan candi Budha atapnya berbentuk kubah.” terangnya.

Ini merupakan sebuah pengetahuan baru bagiku. Awalnya, aku cukup sulit membedakan candi Hindu dan candi Buddha sampai aku melihat altar pemujaannya yang berisikan arca, semisal arca Ganesha, Siwa, dan Buddha.

Kami memasuki kawasan Candi Barong dari arah halaman belakang. Berkat penjelasan Pak Danu, aku sudah bisa menebak latar belakang candi ini hanya dari atapnya. Beberapa orang pekerja lalu-lalang sambil membawa batuan yang akan digunakan untuk merestorasi candi ini.

Menurutku, kondisi Candi Barong tidak cukup baik. Bangunan depan candi sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Beberapa bongkah batuan andesit tersebar acak di permukaan tanah, mungkin dulunya batu-batu ini juga merupakan bagian dari Candi Barong. Setelah berjalan naik melewati tangga, aku bisa melihat bangunan candi yang lebih rapi dan sudah tertata.

Kami melanjutkan perjalanan ke Candi Banyunibo yang berada tidak jauh dari Candi Barong. Candi Banyunibo lebih rapi karena proses restorasi yang sudah usai. Tidak ada lagi batuan andesit yang berceceran, semuanya sudah bersatu dalam sebuah bangunan yang tampak liat. Penasaran akan nama Banyunibo yang bermakna “air jauh” dalam bahasa Jawa, saya kemudian bertanya kepada Pak Danu.

Candi Banyunibo
Candi Banyunibo/Azlina Fitri

“Namanya benar Banyunibo, Pak?”

Beliau lalu menjelaskan bahwa nama Banyunibo ini diambil karena daerah di sekitar candi ini memiliki pasokan air dan tanah yang cukup subur. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa daerah atas atau lokasi tempat Candi Barong tadi dulunya tidak memiliki sumber air yang cukup baik atau relatif kering, maka dinamakan Banyunibo (air jatuh). Candi Banyunibo merupakan candi yang digunakan untuk pemujaan Dewa Siwa, beberapa Nandini (patung sapi) juga terlihat di candi ini sebagai representasi wahana Dewa Siwa.

Perjalanan menyusuri candi ini memberikan banyak sekali pelajaran baru dan kesenangan tersendiri.  Kebetulan, aku memang cukup suka dengan cerita para dewa Hindu.  Mendengar nama-nama familiar seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu membuat hormon dopamin meningkat. Selanjutnya, aku juga mengunjungi tempat-tempat pembuatan kerajinan tangan di daerah Gunung Kidul. 

Melipir ke Desa Wisata Putat di Gunung Kidul

Tempat pertama yang aku kunjungi yakni Kerajinan Kayu Jati Eko Bubut yang merupakan pengolahan kayu jati menjadi alat-alat dapur seperti gelas, sumpit, piring, sendok, dan masih banyak lagi. Sebagai orang yang cinta barang-barang berbentuk dan berwarna aesthetic, aku membeli beberapa sebagai oleh-oleh.

Sambil memilih barang yang akan aku beli, telingaku mendengar Pak Eko yang sedang menceritakan usahanya ini. Ternyata, ia sudah menekuni Eko Bubut selama 14 tahun dengan total produksi bisa mencapai 10.000 item per hari. Hasil kerajinannya juga sudah diekspor ke mancanegara walaupun memang beliau masih menggunakan bantuan jasa eksportir.

Siang hari itu hujan turun cukup deras. Kami pun mengunjungi beberapa tempat kerajinan lainnya secara singkat—selain memang jadwal hari itu cukup padat. Dari tempat Pak Eko, kami menuju tempat pembuat topeng kayu di Joglo Batoer, Dusun Bobung, Desa Wisata Putat. Di desa wisata ini, dengan mudah kita menjumpai galeri dan workshop kerajinan kayu.

Aku mendapatkan kesempatan untuk membatik topeng kayu di sini. Proses pembatikan kayu kami lakukan di pada sebuah joglo terbuka. Di dalam joglo, berjajar beberapa kompor tradisional dengan wajan berisi lilin berdiri di atasnya. Penyelenggara kemudian membagi kami menjadi beberapa kelompok, satu kompor minyak kecil akan diisi sekitar 5-6 orang.  Selain itu, kami juga disambut penampilan bermain lesung oleh para ibu-ibu paguyuban Desa Wisata Putat.

Membatik menjadi hal yang cukup sulit untukku. Selain pergerakan tangan harus cepat, aku harus bersabar dan cekatan agar lilin panas yang sudah mencair tidak melebar ke bagian luar motif batik yang sudah di gambar sebelumnya. Karena tidak terbiasa, aku meneteskan beberapa lilin ke bagian luar dan membuat corak batik di topeng ku cukup berantakan. Tak apa, mungkin hasilnya tidak akan bagus? Tapi mungkin juga hasilnya akan jauh lebih menarik karena tetesan lilin yang tidak aku sengaja ini. Aku menerka-nerka bagaimana rupa topeng yang kubuat. Setelah proses pembatikan selesai, topeng akan diberikan pewarna dan dijemur selama beberapa jam hingga kering. 

  • Proses pewarnaan batik topeng
  • Membatik Topeng
  • Toko jati Pak Eko
  • lilin untuk membatik

Sambil menunggu hasil batik topeng, kami beranjak ke The Manglung makan untuk makan sore. Selain menikmati sajian sore, di sini aku bisa melihat Kota Yogyakarta dari ketinggian sembari berbincang dengan rombongan trip mengenai kegiatan hari ini. Tak lama kemudian, kami pun beranjak menuju ke penginapan karena hari sudah sore.

Jalan Kaki Sepanjang Malioboro

Hari kedua kegiatan Familiarization Trip berlanjut dengan mengitari salah satu jantung Kota Yogyakarta, yakni kawasan Malioboro dan Benteng Vredeburg. Sebagai orang yang tinggal di Jogja, mengunjungi Malioboro tentu bukan suatu hal yang asing. Cukup sering aku ke sini, apalagi saat ada teman dari luar kota berkunjung. Mereka, kebanyakan, memintaku menemani berkunjung ke sini entah hanya untuk jalan-jalan ataupun belanja untuk oleh-oleh.

Wajah Malioboro yang baru tampak familiar. 

Setelah diajak melihat-lihat teras Malioboro—tempat dimana para pedagang kaki lima yang tadinya berada di wilayah trotoar jalan Malioboro dipindahkan dan ditertibkan—kami kemudian mengunjungi Benteng Vredeburg. 

Ini adalah pengalaman pertamaku mengunjungi Benteng Vredeburg, yang membawa banyak sekali pengetahuan baru mengenai sejarah Indonesia dan khususnya Yogyakarta. Ada banyak diorama yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai dari kisah Yogyakarta yang dulunya sempat dijadikan ibu kota Indonesia karena Batavia pada masa itu dikuasai oleh sekutu.

  • benteng vredeburg
  • Diorama Benteng Vredeburg

Selama dua tahun terakhir, semenjak pandemi, aku jarang dan bahkan hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang baru. Oleh karenanya, dari perjalanan dua hari tersebut cukup membuatku merasa lelah secara mental. Meski begitu, perjalanan kali ini memberikan aku banyak pengetahuan baru yang membuat aku merasa lebih dekat lagi dengan kota yang baru aku tinggali selama kurang lebih satu tahun kebelakang ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/feed/ 0 36261
Karimunjawa: Mulai dari Pabrik Besar, Karang, hingga “Penangkaran” Hiu https://telusuri.id/karimunjawa-mulai-dari-pabrik-besar-karang-hingga-penangkaran-ikan/ https://telusuri.id/karimunjawa-mulai-dari-pabrik-besar-karang-hingga-penangkaran-ikan/#respond Thu, 25 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34898 Karimunjawa, sebuah tempat yang memiliki keindahan wisata laut yang indah. Mayoritas topografi pulau ini masih dipenuhi dengan hutan, pemukiman warga pun cenderung berada di satu tempat yang sama, di pesisir pantai dan beberapa menyebar mengikuti...

The post Karimunjawa: Mulai dari Pabrik Besar, Karang, hingga “Penangkaran” Hiu appeared first on TelusuRI.

]]>
Karimunjawa, sebuah tempat yang memiliki keindahan wisata laut yang indah. Mayoritas topografi pulau ini masih dipenuhi dengan hutan, pemukiman warga pun cenderung berada di satu tempat yang sama, di pesisir pantai dan beberapa menyebar mengikuti jalan desa. Seperti layaknya penduduk yang berada di pulau, mayoritas penduduk bermata pencaharian nelayan sedangkan para generasi mudanya cenderung fokus ke arah pariwisata.

Karena sudah lama ingin mengunjungi Karimun, saya memutuskan untuk berkunjung selama tiga hari dua malam. Berangkat dari Yogyakarta dengan jalur darat, perjalanan ini memberikan banyak pengetahuan dan kesadaran baru bagi saya. Ini pertama kalinya saya melewati jalur pantura, melalui banyak pabrik-pabrik industri yang menghasilkan limbah dan polusi.

“Ah, jadi di sini “dosa-dosa” banyak perusahaan besar di Jakarta yang tidak terlihat dibuat, padahal di ibukota perusahaan tersebut membangun image yang baik,” pikirku. Tidak berapa lama dari pabrik-pabrik, saya melewati universitas dan rumah sakit, lalu saya jadi berpikir kembali berapa banyak warga sekitar yang masuk rumah sakit akibat dampak dari polusi yang dihasilkan industri ini dan berapa banyak dari mereka mendapatkan kompensasi yang sesuai. 

Setibanya di Karimunjawa saya disambut oleh Mas Angga, pemandu yang akan menemani saya selama tiga hari ke depan. Mas Angga adalah orang yang ramah dan siap sedia untuk selalu membantu dan menemani berkeliling kemana pun saya mau. Saya beristirahat sebentar untuk membersihkan badan, salat dan makan siang lalu langsung meneruskan jadwal hari pertama untuk snorkeling

Karimun Jawa
Karimunjawa/Azlina Fitri

Kali ini, Pak Dar memandu perjalanan laut saya. Kami berbincang sedikit banyak, beliau bercerita tentang putrinya yang belum lama ini lulus dari jurusan perawat. “Udah lulus, saya nggak mau tahu lagi dia mau kerja di mana,” katanya. Beliau sempat mengeluh sekarang anak-anak muda sulit untuk mencari pekerjaan apalagi selama dua tahun belakangan, kondisi pandemi memperburuk keadaan, maka dari itu ia tidak ingin membebani anaknya untuk bekerja di bidang tertentu. 

Karena jaraknya yang tidak begitu jauh, saya sampai di tempat snorkeling pertama. Ini merupakan pengalaman snorkeling pertama saya, tentunya perlu ada penyesuaian dan ketakutan tersendiri, tapi setelah melihat situasi di bawah laut, saya menjadi lebih tenang dan percaya diri. 

Kondisi terumbu karang di tempat ini masih sehat, berwarna-warni. Cerah sekali. Mungkin karena jarak terumbu karang dengan permukaan laut cukup tinggi sehingga terumbu karang tidak terkena ujung kapal, atau terinjak oleh wisatawan. Kondisi ini berbeda dari spot snorkeling kedua saya. Di sini, terumbu karang banyak yang rusak, terpotong, dan tercecer tidak terurus. Awalnya saya pikir mungkin memang seperti itu kondisinya, tetapi setelah saya konfirmasi ke pemandu di kapal, beliau membenarkan bahwa kondisi terumbu karang di spot kedua memang sudah rusak. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang menyumbang pasokan blue carbon terbesar untuk bumi. 

Snorkeling Pulau Menjangan Kecil
Snorkeling Pulau Menjangan Kecil/Azlina Fitri

Dari semua spot snorkeling yang saya kunjungi, saya paling suka lokasi snorkeling di Pulau Menjangan Kecil. Selain kondisi terumbu karang yang masih sangat bagus dan sehat,, posisi terumbu karang sangat dekat dengan permukaan air, sehingga tampak jelas keindahannya. Namun, kondisi ini justru mengakibatkan kaki saya beberapa kali tidak sengaja menginjak atau terkena terumbu karang. Kaki saya tergores cukup dalam, terumbu karang agak rusak.

Karena takut “makin merusak” dan memang goresannya terasa sakit, saya memutuskan untuk menjauh dari lokasi yang dekat dengan terumbu karang. Sambil berenang, saya sedikit berbincang dengan pemandu kapal. Ia bilang,  ada beberapa terumbu karang yang disebut terumbu karang api, jika terkena terumbu karang jenis tersebut, luka goresan dapat menyebar ke bagian tubuh disekitarnya. 

Pantai Ujung Gelam - Karimunjawa
Pantai Ujung Gelam, Karimunjawa/Azlina Fitri

Saya juga mengunjungi Pantai Ujung Gelam dan Pulau Cemara Besar. Dua spot di Karimunjawa yang sepertinya tak pernah terlewatkan oleh wisatawan. Pantai Ujung Gelam memiliki keindahan yang sangat luar biasa untuk lokasi sunset, sebagai orang yang tinggal di wilayah kota yang ramai dan stressful, pantai ini bisa membuat suasana hati saya menjadi tenang. 

Melihat matahari yang semakin lama semakin tenggelam sambil ditemani oleh air kelapa dan gorengan yang saya beli dari ibu penjual gorengan, membuat saya ingin berlama-lama atau mungkin tinggal di sini saja. Kalau orang kota tertarik dengan infinity pool di hotel-hotel mewah, Pulau Cemara Besar menawarkan definisi asli dari infinity pool, kedalaman pantai tidak bertambah walau saya sudah berjalan cukup jauh dari pesisir pantai, airnya kurang lebih hanya setinggi pinggang saya. 

Saya juga diajak untuk mengunjungi Pulau Menjangan Besar. Ada sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan “penangkaran hiu”. Namanya penangkaran, saya pikir hiu-hiu yang ditangkar sedang dalam rehabilitas atau perlindungan untuk melestarikan populasi hiu tersebut. Namun setelah sampai di lokasi banyak pertanyaan yang muncul, “Apakah betul ini tempat penangkaran?” “Bagaimana bisa pemerintah membiarkan hiu yang ditangkar melakukan interaksi secara langsung dengan manusia?” pikir saya heran. 

Karena penasaran, saya kembali menanyakan hal ini kepada pemandu. Ia menjelaskan bahawa tempat“penangkaran” ini milik perorangan dan para hiu tidak akan dilepas dalam kurun waktu tertentu. 

Saya cukup terkejut dan merenung, “Hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan dan dibenarkan, bukan?” Saya juga mendapatkan informasi tambahan dari salah satu penjual baju di Karimunjawa yang aktif menentang perbuatan ini bahwa para hiu diambil dari laut lepas dan diletakan di tempat “penangkaran”. Ia menambahkan bahwa para turis mancanegara biasanya tidak akan di bawa ke tempat penangkaran karena mereka akan marah melihat para hiu yang “dieksploitasi”.

Permasalahan ini sebetulnya sudah pernah ramai di perbincangkan pada tahun 2018 silam, dan tempat penangkaran pun sempat ditutup karena tidak mengantongi izin. Namun entah karena apa dan bagaimana tempat ini sekarang di buka kembali dan beroperasi seperti tidak terjadi apa-apa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karimunjawa: Mulai dari Pabrik Besar, Karang, hingga “Penangkaran” Hiu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karimunjawa-mulai-dari-pabrik-besar-karang-hingga-penangkaran-ikan/feed/ 0 34898