Badiatul Muchlisin Asti, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/badiatul-muchlisin-asti/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:22:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Badiatul Muchlisin Asti, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/badiatul-muchlisin-asti/ 32 32 135956295 Mengenal Rendang Lebih Dalam https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/ https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/#respond Mon, 14 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46625 Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di...

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di media sosial1. Taste Atlas sebagaimana dilansir Kompas.com pada 2024 juga menyatakan rendang sebagai salah satu masakan Indonesia terbaik dunia setelah rawon, pempek, nasi goreng ayam, dan gulai2.

Di level nasional, rendang masuk ke dalam daftar “30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia” yang dicanangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, pada akhir tahun 20123. Bondan Winarno juga memasukkan rendang ke dalam daftar 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia pada bukunya dengan judul yang sama (2013).

Tahun 2018, rendang secara resmi ditetapkan sebagai salah satu dari lima hidangan nasional (national food) Indonesia oleh Kementerian Pariwisata. Lima hidangan itu, selain rendang, ada soto, sate, nasi goreng, dan gado-gado4.

Semua itu menunjukkan posisi rendang dalam peta kuliner Indonesia dan dunia. Buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia adalah salah satu buku yang secara khusus mengupas rendang. Buku ini merupakan konversi dari naskah tugas akhir Wynda Dwi Amalia pada jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di President University. 

Darah Minang yang mengalir dari kedua orang tua hingga kakek dan neneknya, serta kecintaannya terhadap makanan lokal, menjadikan Wynda yang lahir di Magelang, 12 Maret 1995 itu tertantang untuk mengangkat rendang sebagai bahan kajian tugas akhirnya.   

Dalam buku setebal 120 halaman, Wynda secara khusus mengupas rendang secara komprehensif, mulai dari sejarah, keunikan, ragam, bahan baku, teknis pengolahan, hingga varian. Pada setiap bahasan, Wynda melengkapinya dengan infografis yang menarik, sesuai disiplin ilmu yang dikuasai, sehingga pembaca mudah menangkap saripati informasi yang ia sajikan.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sampul buku Randang Bundo via Gramedia Digital

Asal Usul Nama dan Sejarah Rendang

Dalam bab “Mengenal Rendang”, Wynda menyatakan bahwa sesungguhnya di kota asal makanan ini, Sumatra Barat, orang setempat menyebutnya randang. Randang berasal dari kata “marandang”, yaitu memasak santan hingga kering secara perlahan. Namun, realitasnya rendang lebih populer dan familiar daripada randang. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tertulis entri rendang, bukan randang.

Dari sisi sejarah, rendang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Para peneliti menduga rendang telah ada sejak abad ke-16. Catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif pada awal abad ke-19. Menurut Wynda, seorang peneliti pernah mencoba menjelaskan beberapa literatur yang tertulis pada abad ke-19. Literatur tersebut antara lain menyebutkan bahwa masyarakat Minang di daerah darek (darat) biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang memakan waktu kira-kira satu bulan melewati sungai. Para perantau menyiapkan bekal rendang yang tahan lama karena sepanjang jalan tidak ada perkampungan.

Catatan harian Kolonel Stuers pada tahun 1827 tentang kuliner dan sastra menyebutkan secara implisit deskripsi kuliner yang diduga mengarah pada rendang. Di situ tertulis istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan, yang menurut seorang peneliti, merupakan salah satu metode pengawetan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Minang. 

Versi lainnya menyebutkan, diduga dasar pembuatan rendang berasal dari masakan kari khas India yang diperkenalkan pada abad ke-15. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontrak perdagangan dengan India ketika itu. Dipercaya bahwa pada abad ke-14, sudah banyak orang India yang tinggal di daerah Minang, dan bumbu serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang tersebut.

Ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses lebih lanjut. Bedanya, rendang memiliki sifat yang lebih kering, sehingga bisa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan kari.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Proses pengolahan rendang via ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Proses Pengolahan Marandang

Dalam bab “Pengolahan Randang”, Wynda mengulas prosesnya sejak menyiapkan alat hingga bahan membuat rendang. Soal bahan ini, Wynda membaginya dalam empat kategori bahan.

Pertama, bahan utama meliputi daging sapi, cabai merah, dan kelapa. Kedua, bahan basah meliputi bawang putih, bawang merah, lengkuas, dan jahe. Ketiga, bahan kering meliputi ketumbar, cengkih, jintan, lada jawa, merica, kapulaga, pekak, kayu manis, adas manis, dan pala. Keempat, dedaunan meliputi daun salam, daun serai, dan daun jeruk. 

Setelah menyiapkan bahan, barulah mulai memasak rendang. Proses memasak rendang diulas cukup detail. Menurut Wynda, mengolah rendang membutuhkan waktu yang agak sedikit lama karena masakan ini melalui proses karamelisasi. Semakin banyak rendang yang diolah, waktu yang dibutuhkan akan lebih lama, minimal sekitar empat jam dan maksimal delapan jam.

Dalam proses karamelisasi, menurut Wynda, rendang melalui tiga tahap pemasakan yang bisa langsung dinikmati. Ketiga proses tersebut menghasilkan sensasi masakan yang berbeda-beda, yaitu gulai, kalio, dan kemudian tahap akhirnya menjadi rendang.

Cara menandakan sebuah masakan itu sudah menjadi gulai, kalio, atau rendang, bisa dilihat dari warna dan bentuknya. Gulai bertekstur lebih encer dan berwarna kuning keemasan. Butuh kurang lebih satu jam hingga masakan menjadi gulai.

Setelah masakan terlihat mengeluarkan minyak yang berwarna merah, saat itulah masakan tersebut sudah bisa disebut kalio. Adapun rendang merupakan tahapan akhir proses karamelisasi, ketika masakan sudah terlihat coklat kehitaman dan berminyak.

Informasi Wynda selaras dengan yang ditulis dalam buku 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015). Di buku itu disebutkan, bila rendang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai caramelized beef curry, maka kita pun jadi memahami definisi serta proses pembuatan sajian istimewa ini. Prinsipnya diawali dengan membuat gulai atau kari daging sapi, yang terus dimasak dengan api kecil sampai reduced dan terjadi karamelisasi. Artinya, bila belum sampai terjadi karamelisasi, belum bisa disebut rendang. Rendang “setengah jadi” itu dikenal dengan nama kalio. Masakan kalio inilah yang di Malaysia diaku sebagai rendang.

Kandungan Makna Rendang

Keistimewaan rendang tidak hanya terletak pada bahan yang kompleks, proses pembuatannya yang butuh waktu ekstra sehingga melahirkan masakan lezat, tetapi juga kandungan maknanya. Bagi masyarakat Minang, rendang memiliki posisi yang terhormat dan di dalamnya mengandung sejumlah arti dan makna yang mendalam. Pada subbab “Randang Memiliki Arti”, Wynda mengupas arti dan makna rendang ditinjau dari pelbagai macam bahan yang digunakan.

Pertama, rendang berbahan utama dagiang atau daging sapi. Daging melambangkan niniak mamak dan bundo kanduang, yang akan memberi kemakmuran pada anak pisang dan anak kemenakan.

Bahan kedua adalah karambia atau kelapa, yang melambangkan kaum intelektual atau dalam bahasa Minang disebut cadiak pandai. Mereka merekatkan kebersamaan kelompok maupun individu.

Ketiga, lado atau sambal sebagai lambang alim ulama yang tegas dan pedas dalam mengajarkan agama. Bahan terakhir adalah pemasak atau bumbu yang melambangkan bahwa setiap individu memiliki peran sendiri-sendiri untuk memajukan hidup berkelompok dan unsur terpenting dalam hidup bermasyarakat di Minang.

Begitulah keluhuran makna simbolis dan filosofis di balik kelezatan rendang daging sapi khas Minang.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sajian rendang via frisianflag.com

Variasi Rendang

Meski sejauh ini rendang identik dengan daging sapi, tetapi sesungguhnya rendang khas Sumatra Barat memiliki banyak varian. Varian rendang ini bukan hasil kreasi atau turunan dari rendang daging sapi, melainkan resep warisan leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap daerah di Minangkabau memiliki ciri khas masing-masing.

Menurut Wynda, jika dihitung, jenis dan variasi rendang Sumatra Barat lebih dari 12 jenis, mulai dari berbahan baku daging, dedaunan, hingga buah. Misalnya ada rendang pensi khas Danau Maninjau. Maninjau berada di pesisir Pulau Sumatra dan karena daerah ini dekat dengan pantai, hasil laut dijadikan olahan makanan sehari-hari. Pensi adalah sejenis kerang yang berukuran cukup kecil, ketika diolah menjadi rendang, kulit dari kerang disisihkan hingga menyisakan dagingnya saja.

Rendang pensi biasanya menggunakan tambahan lain, yaitu daun pakis, yang diolah lebih kering dan tidak terlalu hitam. Terkadang rendang pensi diberi tambahan kelapa parut ke dalam kuah santan.

Ada lagi rendang lokan khas Painan. Lokan adalah kerang dengan cangkang cukup besar dan berasal dari muara sungai. Ada lagi rendang baluik alias rendang belut khas Batusangka. Lalu ada rendang itiak alias rendang itik dan rendang jariang alias rendang jengkol. Keduanya khas Bukittinggi. Dan banyak lagi.

Buku ini kiranya penting dibaca dan dikoleksi, terutama bagi para pencinta kuliner Indonesia yang ingin meneroka dan mengenal seluk beluk rendang secara lebih mendalam dan komprehensif. Tak hanya mengungkap rendang dan cerita-cerita menarik di baliknya, buku ini juga mengungkap resep rahasia membuat rendang yang lezat asli warisan Sang Bundo yang telah digunakan sejak zaman dahulu. 

Foto sampul: Rendang, makanan khas Sumatra Barat via Gramedia.com/Instagram Randang Bundo


Judul: Randang Bundo
Penulis: Wynda Dwi Amalia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978-602-06-2305-4


  1. CNN Indonesia, “Rendang Kembali Masuk Daftar Makanan Terbaik Dunia Versi CNN”, 5 Mei, 2021, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210505125719-262-638829/rendang-kembali-masuk-daftar-makanan-terbaik-dunia-versi-cnn. ↩︎
  2. Kompas.com, “5 Masakan Indonesia Jadi Makanan Terbaik Dunia Versi Taste Atlas Awards, Apa Saja?”, 12 Desember, 2024, https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/12/070000565/5-masakan-indonesia-jadi-makanan-terbaik-dunia-versi-taste-atlas-awards-apa?page=all. ↩︎
  3. Kompas.com, “Inilah 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia”,14 Desember, 2012, https://travel.kompas.com/read/2012/12/14/17232630/~Travel~News. ↩︎
  4. Kompas.com, “Kemenpar Tetapkan 5 Makanan Nasional Indonesia, Ini Daftarnya”, 10 Apri, 2018, https://travel.kompas.com/read/2018/04/10/171000627/kemenpar-tetapkan-5-makanan-nasional-indonesia-ini-daftarnya?page=all. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/feed/ 0 46625
Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus https://telusuri.id/waroeng-kita-reborn-destinasi-wisata-kuliner-kudus/ https://telusuri.id/waroeng-kita-reborn-destinasi-wisata-kuliner-kudus/#respond Mon, 07 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46564 Kudus memiliki sejumlah kuliner khas yang masyhur, seperti soto, sate, lentog, dan nasi pindang. Juga, Kudus memiliki sejumlah destinasi wisata kuliner yang biasa jadi jujugan para pengunjung saat berada di Kota Kretek itu.  Selain Taman...

The post Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
Kudus memiliki sejumlah kuliner khas yang masyhur, seperti soto, sate, lentog, dan nasi pindang. Juga, Kudus memiliki sejumlah destinasi wisata kuliner yang biasa jadi jujugan para pengunjung saat berada di Kota Kretek itu. 

Selain Taman Bojana, destinasi kuliner lainnya yang mulai populer adalah Waroeng Kita Reborn atau akrab disebut dengan akronim Warkit Reborn. Letak pusat kuliner ini termasuk strategis karena lokasinya tidak jauh dari Masjid Menara Kudus. Tepatnya berada di pojok perempatan Sucen, Langgardalem, Kudus, atau sekitar 450 meter sebelah utara Menara Kudus.

Kepada saya, pengelola Waroeng Kita Reborn, Istiyanto (44) mengatakan pusat kuliner Waroeng Kita Reborn didirikan pada bulan Januari 2019. Awalnya bernama Waroeng Kita. Belum ada kata ‘Reborn’.

Konsep Warkit Reborn serupa food court (pujasera), yang di dalamnya terdapat sejumlah gerai yang menjual beraneka pilihan kuliner yang sangat beragam. Ada sembilan gerai di sini yang menawarkan beragam kuliner, baik kuliner khas Kudus, Indonesia, hingga mancanegara. 

Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
Tampak depan bangunan pusat kuliner Waroeng Kita Reborn di Kudus/Badiatul Muchlisin Asti

Ujian Pandemi dan Kebakaran

Setahun eksis sejak berdiri, pusat kuliner ini mulai dikenal masyarakat. Beragam pilihan menu menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Namun, pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada awal tahun 2020, termasuk Indonesia, menjadi ujian tersendiri bagi keberlangsungan pusat kuliner ini.

“Saat pandemi, ya, kita bertahan dengan menerapkan subsidi,” jelas Istiyanto kepada saya.

Pusat kuliner ini memang menerapkan satu sistem, pembayaran menyatu dalam satu kasir. Tidak ada uang sewa bagi yang membuka gerai di pusat kuliner ini. Pengelola menerapkan sistem bagi hasil 15% sesuai omzet yang diperoleh.

Setelah pandemi dinyatakan melandai, Waroeng Kita kembali bangkit. Namun, sebuah musibah besar kembali menimpa pusat kuliner ini. Pada Senin (17/10/2022), kebakaran yang diduga berasal dari hubungan arus pendek listrik melahap seluruh bangunan pusat kuliner tersebut. Seluruh bangunan rata dengan tanah.

“Kerugian yang kami alami atas kebakaran itu mencapai sekitar 350-an juta (rupiah),” cerita Istiyanto.

Tak berselang lama, Waroeng Kita kembali dibangun dan beroperasi lagi melayani para pelanggan yang sudah merindukannya. Dari sinilah rupanya rahasia di balik tambahan kata ‘Reborn’.

Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
Suasana di Waroeng Kita Reborn pada suatu siang/Badiatul Muchlisin Asti

Jadi Destinasi saat Sambangan Santri

Banyaknya menu menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung untuk berwisata kuliner ke Waroeng Kita Reborn. Tercatat, pusat kuliner ini menyediakan lebih dari 365 menu meliputi: Indonesian food, traditional food, modern food, Arabian food, Chinese food, Japanese food, dan Korean food. 

Keragaman menu yang sangat banyak itu menjadikan Waroeng Kita Reborn memiliki daya tarik kuat sebagai destinasi wisata kuliner keluarga. Selain menunya komplet, juga sesuai untuk lintas usia, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Harganya pun sangat terjangkau.

“Pusat kuliner ini (punya) kecenderungan menjadi jujugan para wali santri saat sambangan (kunjungan),” ungkap Istiyanto.

Lokasi Waroeng Kita Reborn yang strategis dan ‘dikepung’ oleh banyak pesantren memang sangat menguntungkan. Letaknya juga berada dekat dengan Masjid Menara Kudus, objek wisata religi yang banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.   

Maka tak heran bila Waroeng Kita Reborn akhirnya menjadi jujugan favorit para wali santri saat menyambangi anaknya yang nyantri di Kudus. Para wali santri biasa mengajak anaknya yang dijenguk ke pusat kuliner ini untuk makan bersama. Meski tentu, segmentasi pengunjung tidak hanya wali santri dan anaknya saja, tetapi juga para peziarah.

Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
Beragam menu kuliner di Waroeng Kita Reborn Kudus/Badiatul Muchlisin Asti

Menu-menu Favorit 

Sebagai pelanggan Waroeng Kita Reborn, karena anak saya ada yang nyantri di Kudus dan pesantrennya berjarak hanya sekitar 100 meter dari warung ini, saya memiliki menu-menu favorit versi saya. Meski menu yang ditawarkan sangat banyak—ada ratusan jumlahnya—tapi saya mencatat hanya ada beberapa menu saja yang menjadi favorit saya, istri, dan anak.

Menu favorit artinya menu yang lebih sering kami pesan ketimbang menu yang lain yang sangat banyak itu. Menu pertama yang harus saya sebut sebagai menu favorit adalah nasi jangkrik. Hampir setiap saya sambangan dan mampir ke Waroeng Kita Reborn, menu ini yang paling kerap saya pesan. 

Nasi jangkrik sendiri adalah kuliner khas Kudus yang dulu hanya bisa dijumpai saat acara tradisi buka luwur (kelambu atau kain penutup) makam Sunan Kudus. Puluhan ribu porsi nasi jangkrik dibagikan secara gratis kepada masyarakat yang hadir pada acara buka luwur.

Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
Nasi jangkrik khas Kudus di Waroeng Kita Reborn/Badiatul Muchlisin Asti

Saat ini, nasi jangkrik sudah diadaptasi menjadi menu di warung atau angkringan di Kudus. Waroeng Kita Reborn adalah pusat kuliner yang menyediakan menu nasi jangkrik, yang boleh dibilang, merupakan hidangan warisan Sunan Kudus.

Menu favorit saya lainnya di Waroeng Kita Reborn adalah lontong tahu telur. Mirip tahu gimbal khas Semarang. Bedanya, lontong tahu telur khas Kudus ini tampil dalam tiga varian, yakni lontong tahu, lontong tahu telur, dan lontong tahu telur gimbal. 

Di lontong tahu, lontongnya hanya diberi potongan tahu goreng, lalu disiram dengan saus kacang. Sementara lontong tahu telur, lontongnya diberi tahu potong yang digoreng dengan telur, lalu diguyur saus kacang. Adapun lontong tahu telur gimbal adalah paket komplet, yaitu lontong tahu telur diberi tambahan gimbal udang. 

Selain itu, pada masing-masing varian ada bubuhan taoge, potongan kubis, daun seledri, dan bawang goreng. Bila tidak suka lontong, bisa diganti nasi, sehingga di Kudus menu ini juga populer dengan sebutan nasi tahu atau nasi tahu telur. 

  • Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
  • Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus
  • Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus

Sepertinya dua menu itu yang paling sering saya pesan saat berkunjung di Waroeng Kita Reborn. Meski saya juga pernah beberapa kali memesan menu lainnya sebagai variasi, di antaranya sate Padang dan bakmi Jawa—yang menurut saya juga enak. 

Adapun menu kegemaran istri dan anak saya adalah soto Lamongan, nasi goreng, dan nasi kebuli—baik nasi kebuli ayam maupun kambing. Namun, karena pilihan menu yang banyak, kami sering juga menjajal menu lain yang belum pernah kami cicipi sebelumnya. 

Waroeng Kita Reborn menurut saya memang destinasi wisata kuliner yang cocok bagi keluarga. Selain pilihan menunya banyak dan variatif, cita rasanya umumnya enak, juga harganya terjangkau. Jadi, bila berkunjung ke kota Kudus, pusat kuliner ini layak menjadi target kulineran. Selamat mencoba!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Waroeng Kita Reborn: Destinasi Wisata Kuliner Keluarga di Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/waroeng-kita-reborn-destinasi-wisata-kuliner-kudus/feed/ 0 46564
Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin https://telusuri.id/menggali-perjuangan-pangeran-penatas-angin/ https://telusuri.id/menggali-perjuangan-pangeran-penatas-angin/#respond Thu, 27 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46455 Bila kita mengunjungi pemakaman di kompleks Masjid Agung Demak, selain makam-makam para raja Demak, kita juga akan mendapati makam seorang tokoh yang di nisannya tertera nama “Kanjeng Raden Pangeran (KRP) Natas Angin”. Namun, sejauh ini,...

The post Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin appeared first on TelusuRI.

]]>
Bila kita mengunjungi pemakaman di kompleks Masjid Agung Demak, selain makam-makam para raja Demak, kita juga akan mendapati makam seorang tokoh yang di nisannya tertera nama “Kanjeng Raden Pangeran (KRP) Natas Angin”. Namun, sejauh ini, tak banyak yang tahu siapakah tokoh ini? Apa jasa dan kiprahnya bagi Kesultanan Demak?

Buku berjudul Sunan Ngatas Angin (Pangeran Penatas Angin): Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Pepali yang ditulis RT Supriyo Dwijodipuro dan diterbitkan oleh Hanum Publisher (Cetakan pertama, Desember 2024) ini boleh dibilang merupakan buku pertama yang mengupas riwayat hidup dan kiprah Pangeran Penatas bagi Kesultanan Demak.

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Sampul buku Sunan Ngatas Angin karya RT Supriyo Dwijodipuro/Badiatul Muchlisin Asti

Apa dan Siapa Pangeran Penatas Angin?

Nama KRP Natas Angin, atau dalam buku ini disebut Sunan Ngatas Angin atau Pangeran Penatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin, adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa di Somba Opu, Makassar, Sulawesi Selatan, yang lahir pada 1498. Nama aslinya tidak diketahui, tapi populer disebut Daeng Mangemba Nattisoang.  

Daeng Mangemba Nattisoang adalah putra dari raja kesembilan Gowa Karaeng Tumapa’risi’ Kalonna yang memerintah Kerajaan Gowa pada 1491–1527. Ibunya bernama I Malati Daeng Bau’, putri salah seorang pembesar Kerajaan Tallo yang tinggal di daerah Marusu’.

Masa kecil Pangeran Penatas Angin hidup dalam lingkungan keluarga Kerajaan Gowa yang taat pada agama leluhur. Sejak kecil, Pangeran Penatas Angin sudah tekun mempelajari berbagai macam ilmu olah kanuragan. Guru pembimbingnya adalah pamannya sendiri, Daeng Pomatte’.

Saat usinya tujuh tahun, ia sering diajak pamannya pergi ke suatu tempat yang dilalui angin kencang, berjurang terjal di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi di dekat pantai Selat Makassar. Di tempat itulah, Pangeran Penatas Angin ditempa pamannya sebuah ilmu yang kelak sangat lekat dengan kehidupannya. 

Berkat ketekunannya, pada usia sembilan tahun, Pangeran Penatas Angin sudah berhasil menguasai ilmu yang disebut dengan istilah “ilmu menghalau angin”. Kemampuan itulah yang menjadikannya kemudian populer dengan nama Daeng Maengemba Nattisoang yang berarti “pangeran yang menghalau angin”.

Berguru ke Sunan Kalijaga dan Mengabdi di Kerajaan Demak

Perjumpaan Pangeran Penatas Angin dengan Kiai Sulasi—utusan Sultan Fattah (Raja Demak)—yang dikirim ke Kerajaan Gowa dengan misi membangun sekutu bagi armada Demak dalam rangka menggempur Portugis di Malaka secara besar-besaran, membuat arah hidup Pangeran Penatas Angin berubah. 

Pangeran Penatas Angin memantapkan hati untuk hijrah ke Demak. Ia meninggalkan tanah kelahiran dan sanak keluarganya, meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai putra raja, juga meninggalkan tradisi spiritual yang sangat pekat diwarnai oleh ketaatan pada ajaran kepercayaan leluhur di Kerajaan Gowa secara turun-temurun. 

Tekad untuk hijrah ke Demak direstui ayahnya, hingga kemudian Pangeran Penatas Angin pun memantapkan diri hijrah ke Demak. Atas saran Kiai Sulasi, jika Pangeran Penatas Angin ingin mempelajari Islam, sebaiknya ia berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.

Pangeran Penatas Angin menyetujui saran Kiai Sulasi. Hanya saja, untuk bisa berjumpa dengan Sunan Kalijaga bukan perkara mudah. Sebab, ketika itu Sunan Kalijaga sering pindah-pindah tempat untuk syiar Islam.

Sebelum menuju Demak, Pangeran Penatas Angin sempat singgah di Tegal setelah mendapatkan kabar keberadaan Sunan Kalijaga di Tegal. Namun, karena tidak juga menjumpai Sunan Kalijaga, akhirnya Pangeran Penatas Angin melanjutkan perjalanan ke Demak untuk menemui Sunan Kalijaga.

Singkat cerita, Pangeran Penatas Angin pun berjumpa dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkenan menerima Pangeran Penatas Angin sebagai muridnya setelah melewati ujian tertentu.

Setelah mendapatkan tempaan ilmu dari Sunan Kalijaga, selanjutnya Pangeran Penatas Angin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk mengabdi di Kerajaan Demak serta menunjukkan darma baktinya bagi kejayaan Kerajaan Demak. Pangeran Penatas Angin pun memenuhi titah sang guru.

Selama mengabdi untuk Kerajaan Demak, banyak jasa dan kiprah yang ditorehkan oleh Pangeran Penatas Angin, antara lain ikut memperkuat Laskar Pati Unus dalam penyerangan Portugis di Selat Malaka. Pada momentum ini, Pangeran Penatas Angin berjasa menyelamatkan armada Demak dari amukan badai di Selat Berhala berkat kemampuan navigasinya dalam “menghalau” angin, sehingga armada Demak selamat dan dapat melanjutkan perjalanan hingga ke Selat Malaka.

Pada era Pati Unus sebagai Sultan Demak, Pangeran Penatas Angin diangkat menjadi senapati perang Kerajaan Demak atas dasar kemampuan yang dimilikinya. Jabatan itu berlanjut hingga Pati Unus wafat dan digantikan Sultan Trenggono. Sebagai senapati perang, Pangeran Penatas Angin tentu banyak terlibat dalam berbagai peristiwa penaklukan sejumlah kerajaan.

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Pangeran Penatas Angin dikenal memiliki kemampuan navigasi hebat sehingga bisa menghalau angin dan menyelamatkan kapal yang diterjang badai/Badiatul Muchlisin Asti

Pergi Haji dan Tapak Tilas Ibnu Batutah

Sepeninggal Sultan Trenggono, terjadilah intrik perebutan takhta Kerajaan Demak. Setelah Kerajaan Demak runtuh dan berakhir, Pangeran Penatas Angin meminta izin kepada sang guru, Sunan Kalijaga, untuk uzlah—meninggalkan urusan duniawi dan fokus pada urusan ukhrawi.

Oleh Sunan Kalijaga, Pangeran Penatas Angin disarankan untuk terlebih dahulu pergi haji ke tanah suci Mekah dan Madinah. Pangeran Penatas Angin pun memenuhi saran sang guru. Selesai berhaji, Pangeran Penatas Angin bukannya segera pulang ke Tanah Jawa, melainkan meneruskan perjalanan ke utara menyeberang Laut Merah, hingga ke Mesir, Libya, Aljazair, dan kemudian berhenti di Maroko (Maghribi).

Perjalanan itu dilakukan oleh Pangeran Penatas Angin dalam rangka tapak tilas perjalanan lbnu Batutah, seorang pengelana Muslim dari Maroko, yang pada tahun 1345 M pernah mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai (Aceh sekarang).

Pangeran Penatas Angin bermukim di Maroko sampai dua tahun lamanya. Pangeran Penatas Angin bertempat tinggal di masjid kuno yang pada zaman dulu sering digunakan lbnu Batutah untuk iktikaf. Selama dua tahun di masjid Maroko, Pangeran Penatas Angin memperbanyak ibadah, sujud, dan bertafakur untuk lebih menghayati pengabdiannya kepada Allah. Konon, sampai sekarang tempat pasujudan Pangeran Penatas Angin di masjid kuno itu dianggap keramat oleh sebagian penduduk setempat. Adapun lokasi pasujudan Pangeran Penatas Angin terletak di belakang pengimaman sebelah kiri.

Uzlah ke Grobogan Hingga Wafat

Setelah dua tahun bermukim di Maroko, Pangeran Penatas Angin pulang ke Jawa dan kembali menemui Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga kemudian menyarankan agar Pangeran Penatas Angin pergi dan uzlah dari Demak ke arah tenggara hingga menemukan tempat yang cocok di hatinya. Di tempat tersebut, Pangeran Penatas Angin harus mengamalkan ilmu untuk syiar agama Islam.

Berangkatlah Pangeran Penatas Angin menjalankan perintah sang guru. Pangeran Penatas Angin berjalan ke arah tenggara sampai akhirnya menemukan daerah yang cocok di hati, yaitu daerah yang sekarang disebut Dukuh Tahunan—saat ini masuk wilayah Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. 

Pangeran Penatas Angin bermukim di kampung tersebut selama sekitar 17 tahun. Di kampung itulah, Pangeran Penatas Angin menyiarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat dan para santri yang berdatangan dari berbagai penjuru. 

Tahun 1588 M, bertepatan dengan 10 Muharam 1009 H, Pangeran Natas Angin wafat pada usia 90 tahun. Ia dimakamkan satu lokasi dengan makam raja-raja Demak di kompleks Masjid Agung Demak. 

Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin
Seorang peziarah sedang berdoa di makam Pangeran Penatas Angin di kompleks Masjid Agung Demak./Badiatul Muchlisin Asti

Menariknya, selain makam Pangeran Penatas Angin di kompleks Masjid Agung Demak, buku ini juga menyebutkan makam Pangeran Penatas Angin di tempat lainnya, yaitu Dukuh Tahunan, Grobogan—tempat Pangeran Penatas Angin uzlah dan menyiarkan agama Islam. Di makam ini, haul Pangeran Penatas Angin diadakan setiap tanggal 17 Muharam.

Makam mana yang lebih valid dan shahih? Wallahu a’lam. Terlepas pula dari kemungkinan sejumlah data historis yang perlu diakurasi dan divalidasi lagi, tetapi buku karya wakil ketua Masyarakat Pemerhati Sejarah Demak (MPSD) dan ketua Bidang Spiritual Paguyuban Keluarga Abdi Dalem Keraton Surakarta Hadiningrat (Pakasa) ini layak dibaca. Setidaknya mengisi kekosongan literasi terkait riwayat hidup dan legasi tokoh penting zaman dahulu, yang selama ini seperti asing dan nyaris tak pernah disebut dalam setiap percakapan sejarah imperium Demak.

Buku ini tidak hanya berupaya mengungkap riwayat hidup Pangeran Penatas Angin—yang di kemudian hari dikenal pula dengan nama Sunan Ngatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin—sejak lahir hingga wafat, tetapi juga mengupas jejak perjuangan, kiprah dakwah, jasa-jasanya kepada Kesultanan Demak, serta warisan berupa pepali (ajaran) yang sarat makna adiluhung.


Judul: Sunan Ngatas Angin (Pangeran Penatas Angin), Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Pepali
Penulis: RT Supriyo Dwijodipuro
Penerbit: Hanum Publisher
Cetakan: Pertama, Desember 2024
Tebal: viii + 74 halaman
ISBN: 978-623-7725-40-4


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menggali Riwayat Hidup dan Jejak Perjuangan Pangeran Penatas Angin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menggali-perjuangan-pangeran-penatas-angin/feed/ 0 46455
Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kh-sholeh-darat-di-semarang/ https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kh-sholeh-darat-di-semarang/#respond Fri, 21 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46364 Akhirnya, saya berkesempatan ke makam K.H. Sholeh Darat di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang, Minggu siang (29/12/2024) lalu. Telah lama saya mencari waktu yang pas untuk berziarah ke makam ulama besar Semarang itu,...

The post Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhirnya, saya berkesempatan ke makam K.H. Sholeh Darat di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang, Minggu siang (29/12/2024) lalu. Telah lama saya mencari waktu yang pas untuk berziarah ke makam ulama besar Semarang itu, tetapi baru terealisasi pekan terakhir saat musim liburan akhir tahun.

Awalnya saya menyangka makam K.H. Sholeh Darat sepi peziarah. Kalaupun ada, tak terlampau banyak. Tidak seramai makam para wali, seperti Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak; atau Sunan Kudus dan Sunan Muria di Kudus. Ternyata, sangkaan saya salah besar.

Saat saya tiba, sejumlah bus besar yang membawa rombongan para peziarah terparkir di sepanjang Jalan Kyai Saleh, Randusari—tempat TPU Bergota berada. Sepanjang jalan dari gapura masuk ke makam banyak peziarah lalu-lalang.

Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara
KH Sholeh Darat/Dokumentasi Nahdlatul Ulama

Berjubel di Makam

Mendekati makam K.H Sholeh Darat, kepadatan pengunjung semakin terpampang nyata. Makamnya berjarak sekitar 300-an meter dari gapura, terletak di sebelah kanan jalan. Untuk mencapai makam, kita harus masuk melalui pintu gerbang bertuliskan “Makam K.H. Sholeh Darat Bergota Semarang” dan menyusuri jalan setapak yang di kanan-kirinya terdapat banyak nisan.

Sebelum mencapai pintu gerbang makam K.H. Sholeh Darat, di sebelah kiri jalan, kita akan mendapati jalan setapak lain yang terdapat papan petunjuk bertuliskan “Makam K.H. Ridwan Mujahid, Mustasyar PBNU Pertama”, yang masih harus masuk lagi sekitar 400 meter. Namun, karena tujuan utama saya bukan ke sana, saya bergegas ke makam K.H. Sholeh Darat.

Setiba di makam KH. Sholeh Darat, saya mendapati riuh pengunjung yang berjubel. Karena banyaknya peziarah dan tempat terbatas, saya harus antre sesuai rombongan bila ingin melantunkan zikir dan doa.

Beruntung, saya bisa segera masuk begitu sampai makam, bergabung dengan rombongan jemaah peziarah dari Pekalongan. Setelah berzikir dan berdoa seperlunya, saya pun bergegas keluar dari kompleks makam, memberi kesempatan rombongan peziarah yang lain. 

Sebelum keluar TPU, saya sempat membeli sebuah kaus bertuliskan K.H. Sholeh Darat, sebagai oleh-oleh dan kenangan pernah berziarah ke makam ini. Meski tentu saya ingin kembali berziarah lagi ke sini. 

  • Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara
  • Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara

Selayang Pandang K.H. Sholeh Darat

KH. Sholeh Darat adalah seorang ulama besar pada masanya yang lahir di pesisir utara Jawa, tepatnya di Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Jepara sekitar tahun 1820 M. Nama aslinya Muhammad Sholeh bin Umar, tapi juga dikenal dengan nama K.H. Sholeh Darat As-Samarani.

Darat yang dilekatkan pada namanya merujuk pada sebuah kampung dekat pantai utara Kota Semarang. Kampung itu saat ini terletak di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, yang dulu bernama Kampung Mlayu Darat. 

Di kampung itulah dulu K.H. Sholeh Darat mendirikan pesantren dan menjadikannya sebagai pusat kaderisasi ulama. Lalu penyebutan “As-Samarani” yang berarti Semarang merupakan bagian integral dari nama seorang ulama ternama yang sudah menjadi kelaziman pada masa itu. Penyertaan nama kota dimaksudkan untuk menunjukkan dari mana ulama itu berasal atau tinggal.

K.H. Sholeh Darat merupakan putra Kiai Umar, seorang ulama berpengaruh di masanya. Kiai Umar juga merupakan salah satu ulama pejuang kepercayaan Pangeran Diponegoro, khususnya daerah Semarang dan umumnya Jawa bagian utara.. Kiai Umar terlibat aktif dalam Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda. 

K.H. Sholeh Darat adalah seorang ulama mumpuni dan alim karena kapasitas ilmunya yang mendalam terkait banyak disiplin keilmuan Islam. Sebab, sejak kecil K.H. Sholeh Darat sangat tekun mendalami ilmu agama. Sejak belia, K.H. Sholeh Darat dibimbing langsung oleh ayahnya tentang dasar-dasar ilmu keislaman. 

Usai mengaji di rumah, K.H. Sholeh Darat melakukan pengembaraan intelektual dengan berguru kepada sejumlah ulama di luar Jepara, antara lain berguru kepada Kiai Syahid di Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati. Lalu berguru kepada Kiai Muhammad Sholeh bin Asnawi di Kudus. Setelahnya, bertolak menuju ke Semarang untuk menimba ilmu kepada Kiai Ishak Damaran, Kiai Abu Abdullah Muhammad al-Hadi al-Baiquni, Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan Abdul Ghani Bima.  

Setelah berguru kepada ulama di Pati, Kudus, dan Semarang, K.H. Sholeh Darat masih melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Loano, Purworejo. Di sini, beliau berguru kepada Haji Muhammad Irsyad. 

Meski telah memiliki kapasitas ilmu yang memadai, yang beliau timba dari para ulama mumpuni pada zamannya, tetapi gairah menuntut ilmu K.H. Sholeh Darat masih tetap membara. Beliau meminta izin ayahnya, Kiai Umar, untuk melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Mekah dan ayahnya pun mendukung niat mulia anaknya itu.

Oleh Kiai Umar, K.H. Sholeh Darat diajak ke Mekah melalui Singapura dengan dua tujuan sekaligus, yaitu menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama terkemuka di tanah suci. 

Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara
Rombongan peziarah berdoa bersama di makam K.H. Sholeh Darat/Badiatul Muchlisin Asti

Berguru di Mekah dan Pulang ke Tanah Air

Di Mekah, dan juga Madinah, K.H. Sholeh Darat berguru kepada para ulama, baik yang berasal dari Nusantara maupun Arab. Bekal keilmuan yang dibawanya dari tanah air, memudahkannya mendalami ilmu-ilmu keislaman selama di tanah suci. 

Karena itulah, selain belajar, K.H. Sholeh Darat juga mengajar sehingga banyak ulama dari Indonesia yang memiliki sanad keilmuan dari beliau. Bahkan di Mekah, K.H. Sholeh Darat juga diangkat sebagai seorang mufti—ulama yang mempunyai otoritas memberi fatwa, yang mengantarnya mempunyai reputasi internasional.

Ada banyak ulama Mekah yang menjadi guru K.H. Sholeh Darat, di antaranya adalah Syekh Muhammad al-Muqri al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Sholeh bin Sayyid Abdurrahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar as-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri, dan Syekh Jamal (Mufti Mazhab Hanafi).

K.H. Sholeh Darat tinggal di tanah Arab hingga tahun 1880. Kurang lebih 45 tahun—bila K.H. Sholeh Darat berangkat ke Mekah tahun 1835. Selama puluhan tahun itu, K.H. Sholeh Darat pernah menikah dengan seorang perempuan Arab. Sayang, tidak ada data nama perempuan itu. K.H. Sholeh Darat memutuskan kembali ke tanah air setelah istrinya meninggal dunia. 

Sebenarnya, K.H. Sholeh Darat merasa nyaman tinggal di Mekah. Apalagi bila mengingat ketika itu Indonesia masih menjadi tanah jajahan kolonial. Namun, kesadaran untuk ikut menyiarkan Islam di tanah air, membuat K,H. Sholeh Darat memutuskan untuk pulang.

Salah satu sosok yang disebut-sebut berjasa memengaruhi keputusan K.H. Sholeh Darat untuk pulang adalah Kiai Hadi Girikusumo. Menurut Kiai Hadi, K.H. Sholeh Darat adalah sosok alim yang menguasai banyak disiplin ilmu agama. Sangat disayangkan bila dirinya menetap di Mekah dan tidak pulang ke tanah air. 

Keilmuan K.H. Sholeh Darat, menurut Kiai Hadi, akan lebih bermanfaat bila diamalkan di tanah air, mengingat masyarakat—khususnya Jawa—ketika itu masih sangat awam soal agama. Sentuhan dari Kiai Hadi itulah yang turut membuka kesadaran dan memantapkan hati K.H. Sholeh Darat untuk akhirnya berkenan pulang.

Setiba di tanah air, K.H. Sholeh Darat diambil menantu oleh Kiai Murtadlo—teman seperjuangan Kiai Umar. K.H. Sholeh Darat dinikahkan dengan putri Kiai Ali Murtadlo yang bernama Shofiyah.

Menurut cerita, setelah Kiai Murtadlo mendengar kabar duka istri K.H. Sholeh Darat meninggal dunia di Mekah, beliau langsung mengirim pesan kepada K.H. Sholeh Darat lewat jemaah haji agar pulang ke tanah air, tepatnya ke Semarang, untuk mengajar dan syiar dakwah Islam di Semarang. Begitu sampai, K.H. Sholeh Darat menetap di Semarang dan mendirikan pesantren di Kampung Darat.

Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara
Salinan kitab tafsir karya K.H. Sholeh Darat yang jadi koleksi Museum RA Kartini Rembang/Badiatul Muchlisin Asti

Mahaguru Ulama Nusantara

Sepeninggal K.H. Sholeh Darat, beliau dijuluki “Mahaguru Ulama Nusantara” karena banyak santrinya yang di kemudian hari diketahui berhasil menjadi ulama-ulama besar Nusantara. Di antara ulama-ulama besar yang pernah berguru kepada K.H. Sholeh Darat adalah K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Umar (pendiri Pesantren Al-Muayyad, Solo), K.H. Dahlan Tremas (ahli falak), dan K.H. Munawwir (pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta).

Pahlawan emansipasi wanita kelahiran Jepara, RA Kartini, disebut-sebut juga pernah menimba ilmu pada K.H. Sholeh Darat sebelum akhirnya menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat. Selama kurang lebih dua tahun, RA Kartini aktif mengikuti pengajian beliau setiap Ahad di pendopo Kabupaten Demak, ketika pamannya menjabat sebagai bupati.

K.H. Sholeh Darat meninggal dunia pada Jumat Legi, 28 Ramadan 1321 H (18 Desember 1903) di usia sekitar 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bergota, salah satu pemakaman tertua di Semarang yang didirikan tahun 1862 oleh pemerintah Hindia Belanda saat di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Pieter Mijer.

K.H. Sholeh Darat mewariskan banyak karya berupa puluhan kitab di bidang fikih, tafsir, ulumul Qur’an, dan tasawuf dengan penulisan pegon (huruf Arab berbahasa Jawa). Salah satunya kitab tafsir Fayd ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir al-Kalam al-Malik al-Dayyan, yang salinannya dapat dijumpai di Museum RA Kartini Rembang. Sebuah sumber menyebutkan, KH. Sholeh Darat menghadiahkan kitab tersebut kepada RA Kartini sebagai hadiah pernikahannya dengan bupati Rembang.


Referensi:

Hakim, Taufiq. (2016). Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M. Yogyakarta: InDes Publishing.
Hazen, H. Ibnu, dkk. (2015). 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Islam Nusantara. Jakarta: Lembaga Takmir Masjid PBNU.
Kholqillah, Ali Mas’ud. (2018). Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat Al-Samarani: Maha Guru Para Ulama Nusantara. Surabaya: Pustaka Idea.
Winarno, Edy. (2017). Kartini (Raden Ayu Bupati Djojoadiningrat) di Rembang. Rembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berziarah ke Makam K.H. Sholeh Darat, Mahaguru Ulama Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kh-sholeh-darat-di-semarang/feed/ 0 46364
5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno https://telusuri.id/5-buku-kuliner-warisan-bondan-winarno/ https://telusuri.id/5-buku-kuliner-warisan-bondan-winarno/#respond Wed, 26 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45751 Siapa yang tidak mengenal Bondan Winarno? Pakar kuliner Indonesia yang wafat pada 29 November 2017 ini sangat populer di kalangan pemirsa televisi Indonesia. Acara Wisata Kuliner yang dibawakannya selama sembilan tahun di sebuah televisi swasta, benar-benar melambungkan...

The post 5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa yang tidak mengenal Bondan Winarno? Pakar kuliner Indonesia yang wafat pada 29 November 2017 ini sangat populer di kalangan pemirsa televisi Indonesia. Acara Wisata Kuliner yang dibawakannya selama sembilan tahun di sebuah televisi swasta, benar-benar melambungkan namanya. Ia tidak hanya terkenal bak selebritas, tetapi jargon ”Pokok’e maknyus” yang sering diucapkannya juga menjadi sangat populer di masyarakat.

Kata maknyus begitu identik dan selalu mengingatkan kepada sosok Bondan Winarno. Kata itu pun populer di dunia kuliner untuk mengekspresikan sebuah makanan yang enak dan lezat.

Acara Wisata Kuliner pula yang menjadikan dunia kuliner tradisional Indonesia semakin bergairah dan semarak. Apalagi, sebagai pembawa acara, Bondan Winarno tidak hanya piawai menjelaskan kelezatan sebuah makanan, tetapi juga mahir ‘mendongengkan’ cerita maupun sejarah di balik makanan tersebut.

Perhatian dan kiprah Bondan Winarno bagi kemajuan kuliner Indonesia tak diragukan lagi. Bersama sejumlah koleganya, tahun 2003 Bondan Winarno mendirikan Komunitas Jalan Sutra (KJS)—sebuah komunitas foodie (penikmat makanan) yang memiliki kepedulian tinggi terhadap boga dan budaya Indonesia.

Lewat KJS, Bondan Winarno dan segenap anggotanya berupaya memajukan kuliner Indonesia melalui tulisan, tur, dan makan-makan. Salah satu yang ditempuh adalah melalui penulisan dan penerbitan buku. Berikut ini lima buku kuliner yang diwariskan oleh Bondan Winarno, baik yang ditulis secara mandiri maupun bersama koleganya.

1. 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia

5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno
100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia/Badiatul Muchlisin Asti

Sebagai seorang foodie, Bondan Winarno mengaku sudah mencicipi sebagian besar kuliner tradisional Indonesia. Menurutnya, masakan Indonesia termasuk kategori dangerously delicious yang kelezatannya sering membuat kita semua terlena.

Buku 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia adalah pertaruhannya sebagai seorang foodie dan pesohor kuliner. Memilih 100 dari sekian ribu kuliner Indonesia yang tersebar dari berbagai daerah, dari Aceh hingga Papua, tentu bukan perkara gampang.

Bondan pun secara sadar mengakui hal itu. Dengan ekspresif, agak dramatis, sedikit melankolis, dan berlinang air mata, Bondan menyatakan, beberapa kuliner favoritnya pun terpaksa harus ia pinggirkan dari senarai. Buku ini hanya menampilkan masakan-masakan yang istimewa alias mak nyus menurut lidahnya.

Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, September 2013. Pada tahun yang sama, buku ini mendapatkan penghargaan Gourmand World Cookbook Award sebagai Best in the World, dan pada Frankfurt Book Fair 2015 oleh lembaga yang sama dipilih sebagai Best of the Bests.   

2. 100 Mak Nyus Jakarta

5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno
100 Mak Nyus Jakarta/Badiatul Muchlisin Asti

Sesuai judulnya, buku ini berupaya mengangkat keistimewaan kuliner Jakarta, khususnya kuliner asli Betawi. Bagi Bondan Winarno, Jakarta adalah salad bowl bagi begitu banyak bangsa dan suku. Kaum pendatang tersebut datang membawa ikon dan bagasi budaya bangsa dan daerah masing-masing, termasuk kulinernya.

Hampir semua hidangan tradisional dari berbagai daerah punya wakil di ibu kota. Sayangnya, menurut Bondan, pada saat yang sama masakan khas Betawi milik penduduk asli Jakarta justru makin terpinggirkan.

Mana ada rumah makan atau restoran besar yang menyajikan masakan Betawi sebagai fokus sajiannya? Mana ada masakan Betawi yang terwakili dalam menu fine dining beberapa restoran yang menyajikan masakan Indonesia?

Redupnya kejayaan kuliner Betawi ini, menurut Bondan Winarno, perlu diputar arah dan nasibnya. Tidak ada istilah faded glory untuk kuliner Betawi, karena masakan khas Betawi punya keunggulan dan keistimewaan yang membuatnya mudah disukai.

Buku ini tidak hanya menampilkan khazanah kuliner khas Betawi, tetapi juga mengetengahkan sejumlah kuliner unggulan dari berbagai daerah yang dapat dinikmati di ibu kota. Buku ini ditulis oleh Bondan Winarno bersama dua orang koleganya, yaitu Lidia Tanod dan Harry Nazarudin, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2015.  

3. 100 Mak Nyus Bali

5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno
100 Mak Nyus Bali/Badiatul Muchlisin Asti)

Buku ketiga dari seri 100 Mak Nyus yang menyingkap dan menampilkan kekayaan kuliner Pulau Dewata. Ditulis oleh trio penulis Bondan Winarno, Lidia Tanod, dan Harry Nazarudin—ketiganya pegiat KJS—buku ini menampilkan 100 kuliner tradisional Bali yang maknyus.

Eksplorasi kuliner Bali yang dirangkum dalam buku ini membuka mata kita terhadap kekayaan budaya kuliner yang dimiliki masyarakat Bali. Dengan memahami tradisi kuliner sedalam itu, kita tentu akan lebih menghargai.

Bagi masyarakat Bali, yang mayoritas memeluk agama Hindu, makanan adalah bagian sakral dan penting dalam hubungan antara manusia dengan para dewa. Namun, setelah kewajiban suci itu terpenuhi, makan enak juga merupakan bagian dari kehidupan profan mereka sehari-hari. Tak heran bila Bali merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dalam hal keragaman kuliner.

Tak sedikit stereotip yang menyebutkan banyak kuliner Bali yang haram. Namun, buku ini membuktikan bahwa persentase jumlah masakan Bali yang tidak mengandung babi maupun darah ternyata jauh lebih banyak.

Sehingga, selain sebagai pintu masuk mengenal khazanah kuliner Bali yang sangat kaya, buku ini juga sekaligus bisa menjadi panduan bagi kaum Muslim untuk mengetahui jenis makanan yang aman untuk dikonsumsi selama berada di Bali.

Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Jalansutra, unit penerbitan PT Kopitiam Oey, pada Oktober 2015. Riset lapangan untuk kepentingan penulisan buku didukung sepenuhnya oleh Multi Bintang, produsen Bir Bintang.

4. 100 Mak Nyus Joglosemar

5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno
Mak Nyus Joglo Semar/Badiatul Muchlisin Asti

Pada buku keempat seri 100 Mak Nyus, giliran Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) yang mendapat lampu sorot dari trio Bondan Winarno, Lidia Tanod, dan Harry Nazarudin. Segitiga Emas Kuliner di pusat Pulau Jawa ini menawarkan ragam kuliner yang sangat kaya. Tidak salah bila Joglosemar dianggap sebagai pusat peradaban kuliner Jawa.

Di bagian pengantar disebutkan, istilah Jawa Tengah dalam buku ini sering disebut untuk memaknai sebuah kawasan teritorial, bukan berdasar administrasi pemerintah. Dalam pengertian ini, Jogjakarta yang secara ketatanegaraan ditetapkan sebagai daerah istimewa yang berdiri sendiri, secara umum diperhitungkan sebagai bagian dari teritori umum yang dimaksud dengan Jawa Tengah.

Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Jalansutra pada 2016. Penerbitan disponsori oleh PT Orang Tua, produsen Anggur Cap Orang Tua.

5. 100 Mak Nyus Jalur Mudik

5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno
100 Mak Nyus Jalur Mudik/Badiatul Muchlisin Asti

Buku kelima seri 100 Mak Nyus yang terbit saat Bondan Winarno telah tiada. Boleh dibilang, buku ini adalah persembahan terakhir Bondan Winarno untuk dunia kuliner Indonesia yang dicintainya.

Buku ini mulai dipersiapkan sejak Januari 2017. Di tengah pengumpulan data, Bondan jatuh sakit, tetapi tetap bersemangat untuk melanjutkan seri berikutnya setelah buku 100 Mak Nyus Joglosemar selesai terbit. Bulan September 2017, sebuah tindakan medis harus dilakukan kepada Bondan Winarno. 

Dalam kondisi terbaring di rumah sakit, Bondan tetap bersemangat untuk melanjutkan proyek bukunya itu. Tim pun bergembira menyambut semangat Bondan. Sayang, kegembiraan itu berumur singkat. Saat proyek hampir selesai, pada Rabu, 29 November 2017, pakar kuliner yang pernah menggeluti dunia jurnalistik itu tutup usia.

Lidia Tanod dan Harry Nazarudin menyampaikan dalam kata pengantar buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa, tim yang nyaris menyerah, pada Januari 2018 mengusulkan kepada pihak sponsor dan penerbit untuk melanjutkan proyek ini.

Pertimbangannya, toh Pak Bondan sudah menulis lengkap soal tujuan kulinernya, dan buku ini bisa merangkap tribute untuk jasa Pak Bondan di dunia kuliner tradisional Indonesia. Puji syukur, pihak sponsor dan penerbit mendukung, sehingga jadilah buku ini. Buku panduan kuliner yang boleh dibilang ‘paling otoritatif’ bagi para pemudik tentang rekomendasi kuliner di sepanjang jalur mudik, yaitu Jalur Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. 

Selamat berburu dan membaca buku-buku warisan mendiang pakar kuliner Bondan Winarno. Sebuah warisan berharga bagi dunia gastronomi dari seorang pencinta kuliner tradisional Indonesia hingga wafatnya. Salam maknyus!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Buku Kuliner Warisan Bondan Winarno appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-buku-kuliner-warisan-bondan-winarno/feed/ 0 45751
Seni Gastronomi Warisan RA Kartini https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/ https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/#respond Wed, 19 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45692 Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah? Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa,...

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah?

Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa, pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ayahnya adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sedangkan ibunya Mas Ajeng Ngasirah, putri KH. Madirono, seorang ulama dari Telukawur, Jepara.

Semasa hidup, ia menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Ia meninggal dunia di usia muda pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya—Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Pada 1964, Presiden Sukarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahirnya sebagai hari besar nasional, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

RA Kartini dikenal karena memiliki pemikiran yang sangat maju melampaui zamannya. Kecemerlangan gagasannya tertuang dalam surat-suratnya yang menyejarah. Surat-surat itu ditujukan kepada sejumlah sahabatnya di Belanda. Setelah RA Kartini wafat, atas inisiatif Jacques Abendanon, surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan. Kumpulan surat itu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
Sampul depan buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini/Badiatul Muchlisin Asti

Mewariskan Resep-resep Masakan

Selain pemikirannya, sisi menarik RA Kartini lainnya—yang jarang diungkap—adalah kegemarannya dalam hal masak-memasak, di luar membatik dan membuat ukiran. Sebuah keterampilan khas perempuan Jawa, utamanya pada masa itu.

Ternyata, pahlawan emansipasi wanita itu mewariskan resep-resep masakan yang menarik untuk diteroka. Setelah RA Kartini wafat, adiknya yang bernama RA Kardinah mengumpulkan resep-resep masakan kegemaran RA Kartini maupun keluarga Sosroningrat.

RA Kardinah yang menikah dengan bupati Tegal kemudian mendirikan sekolah khusus untuk keterampilan perempuan di Tegal bernama Wismâ Prânâwâ. Pendirian sekolah khusus itu sesuai dengan cita-cita kedua kakaknya: RA Kartini dan RA Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen Bab Olah-olah.

Berpuluh tahun kemudian, Suryatini N. Ganie, cucu RA Soelastri—kakak kandung RA Kartini dari ibu yang berbeda—menulis ulang resep-resep tersebut dan membukukannya dalam sebuah buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini. Cetakan pertamanya diterbitkan Gaya Favorit Press (Femina Group) tahun 2005.

Suryatini N. Ganie menulis ulang resep-resep beraksara dan berbahasa Jawa, lalu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dengan seharfiah mungkin. Resep-resep ditulis ulang dengan menyesuaikan kondisi sekarang, tetapi dengan judul-judul resep yang tetap dipertahankan sesuai aslinya. Misalnya, kelan asem (sayur asem), kelan lodeh bung (sayur lodeh rebung), janganan sala (sayuran sala alias pecel), dan semur iwak (semur ikan).

Menariknya lagi, semua resep telah diuji coba di Dapur Uji Femina. Hasilnya, resep-resep dalam buku terbukti dapat diandalkan alias tidak terlalu banyak yang harus diubah. Artinya, kita dapat mencoba sendiri (recook) resep-resep masakan yang telah diciptakan lebih dari seabad lalu itu dan tetap dapat memanjakan selera kita yang hidup di masa sekarang.

  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini

Keistimewan Buku dan Kisah Kuliner Favorit

Buku ini dicetak lux dengan hardcover dan kertas isi berbahan art paper gilap. Setidaknya ada tiga keistimewaan lain yang lebih esensial dan fundamental dari buku ini, sehingga layak dikoleksi oleh para pencinta kuliner Nusantara. 

Pertama, buku ini tidak hanya berisi resep-resep hidangan yang lezat dari meja makan para putri bangsawan Jepara pada abad ke-19, tetapi juga sekaligus mendokumentasikan dan mempertahankan resep-resep autentik beraksara Jawa.

Kedua, resep-resep berusia lebih dari seabad yang termaktub dalam buku ini, masih relevan dan bisa menghasilkan masakan-masakan yang bercita rasa lezat. Bahan penyedapnya alami berupa rempah-rempah dan daun-daun bumbu.

Ketiga, resep-resep di buku ini ditulis ulang dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Suryatini N. Ganie, seorang praktisi dan pemerhati dunia gastronomi yang sudah lama malang melintang di dunia kuliner. Di antara kiprahnya adalah mendirikan majalah boga Selera dan menjadi pemimpin redaksinya sejak 1981 sampai 1995.

Sebagai keturunan Sosroningrat, masa kecilnya pernah bertemu dengan para eyangnya: RA Soelastri, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Boleh dibilang, Suryatini turut mendapat pendidikan dan bimbingan dari eyang-eyangnya itu. Suryatini tidak pernah bertemu RA Kartini, karena saat ia lahir pada 17 Oktober 1930, RA Kartini telah lama tiada.

Menurut Suryatini, semasa hidupnya, Eyang Roekmini—panggilan Suryatini untuk RA Roekmini—sering membuat kue-kue dari resep lama keluarga Bupati Jepara Sosroningrat. Kudapan kesukaan Eyang Roekmini dan Eyang Kartini adalah kue yang legit, tetapi tidak terlalu manis, seperti ‘soesjes’ atau sus.

Kreasi dapur keluarga Sosroningrat lainnya yang sering dibuat Eyang Soelastri dan Eyang Roekmini, menurut Suryatini, adalah gebakken brood met bayam (roti panggang dengan bayam). Roti sisa sehari sebelumnya yang dipanggang dan diolesi sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang berbumbu bawang merah, sedikit garam, gula, dan nootmuskaat atau pala bubuk.

Selain itu, salah satu kebiasaan di keluarga Sosroningrat adalah minum teh sore hari atau thee uurtje, mengikuti tata cara masyarakat Belanda di Indonesia tempo dulu. Biasanya, pukul 4–5 sore, meja sudah ditata dengan cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup, yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy

Sebagai teman minum teh disajikan kudapan, baik yang berasal dari kudapan lokal maupun yang diadaptasi dari kue-kue Belanda. Yang lokal seperti serabi gandum (dari tepung gandum), kolak pisang, atau pisang goreng dengan irisan keju, dan yang paling populer di kalangan keluarga adalah pilus kentang.

Acara minum teh—seperti juga acara bersantap—pada waktu itu sekaligus dijadikan ajang untuk belajar tata krama. Misalnya, cara minum dari cangkir yang berisi teh panas. Tidak boleh meniup teh panas, tidak boleh menuangkan teh di piring, dan tidak boleh minum berbunyi ‘sruput-sruput’. Yang duduk di kursi adalah para putra-putri bupati, sedangkan yang masih tergolong anak kecil duduk di lantai dijaga oleh pembantu khusus.

Contoh resep autentik botok ikan, dendeng bumbu, dan lodeh bumbu tumis di buku ini, yang masih mempertahankan versi asli beraksara Jawa/Badiatul Muchlisin Asti

Seni Gastronomi dari Abad ke-19

Sebagai keluarga bangsawan, masakan-masakan yang biasa dihidangkan dalam keluarga Sosroningrat tak luput dari pengaruh dari budaya kuliner bangsa lain, antara lain Arab, Belanda, dan Cina. Apalagi mengingat Jepara tempo dulu adalah pelabuhan yang kerap disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Timur Tengah, India, dan Cina. Karena itu, banyak hidangan maupun rempah-rempah dari wilayah tersebut kita jumpai di dalam resep-resep. Contohnya jangan Arab, yang terinspirasi dari gulai kari kambing, tetapi dibuat sedemikian ringan sehingga lebih berselera Jawa.  

Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia, khususnya Jepara. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga bupati Jepara. Misalnya, hidangan bistik lengkap dengan pure kentang dan sayurannya.

Selain pengaruh gaya kuliner luar, tentu kuliner khas Jawa Tengah juga tak terelakkan dalam koleksi resep di buku ini. Seperti sayur lodeh, sayur asem, botok urang, besengek ayam, asem-asem, padamara, dan opor ayam panggang. Letak Jepara yang berada di pinggir pantai membuat hasil laut banyak pula digunakan di dalam masakan keluarga ini.

Buku ini tak sekadar berisi kumpulan resep masakan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merefleksikan pengalaman seni gastronomi yang diwariskan oleh sebuah keluarga bangsawan Jawa di Jepara pada abad ke-19.  

Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, serta tetap mempertahankan resep autentiknya dalam aksara dan bahasa Jawa merupakan langkah genial yang perlu diapresiasi. Tujuannya agar buku kumpulan resep istimewa ini terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses oleh khalayak luas lintas etnis. Karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka dari keluarga bangsawan Jawa tempo dulu ini merupakan warisan kebudayaan di bidang gastronomi yang patut dilestarikan.  

Secara keseluruhan, buku ini memuat 209 resep autentik warisan RA Kartini dan saudara-saudaranya, serta keluarga Sosroningrat secara umum, yang dikategorikan dalam 11 bab (kelompok kuliner): nasi (11 resep); sup, soto, dan sayuran berkuah (14 resep); salad dan variasi masakan sayuran (12 resep); ikan dan hidangan laut (16 resep); unggas dan telur (22 resep); daging (50 resep); hidangan pelengkap, acar, dan sambal (23 resep); kudapan gurih (11 resep); kudapan manis (18); puding (12 resep); cake, roti, dan kue kering (20 resep).  


Judul: Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini
Penulis: Suryatini N. Ganie
Penerbit: Gaya Favorit Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2005
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-979-5155-47-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/feed/ 0 45692
Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/ https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/#respond Thu, 23 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45436 Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh...

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu sumber kekayaan kuliner Indonesia berasal dari warisan keraton dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa lalu. Maka, dalam lingkup Jawa Tengah misalnya, kita mengenal sejumlah kuliner yang dipercaya merupakan warisan atau kegemaran para tokoh dan bangsawan keraton di masa lampau. 

Kita mengenal wedang coro dan nasi kropokhan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kegemaran bangsawan Kesultanan Demak ketika itu. Masih di Demak, di Kadilangu sampai sekarang masih dilestarikan hidangan warisan Sunan Kalijaga yang bernama caos dhahar lara gendhing. Kuliner ini masih bisa dijumpai hingga saat ini saat warga Kadilangu menghelat hajatan. Sementara di Kudus, kita mengenal nasi jangkrik dan opor sunggingan, dua kuliner yang disebut-sebut sebagai kuliner kegemaran Sunan Kudus dan Kiai Telingsing—dua pemuka agama Islam pada masa Walisongo.

Dan ternyata, Kabupaten Grobogan juga punya kuliner warisan dari salah satu tokoh besarnya, yaitu Ki Ageng Selo—salah seorang murid Sunan Kalijaga yang hidup di era Kesultanan Demak, yang sosoknya lekat dengan folklore sebagai tokoh sakti yang bisa menangkap petir dengan tangan kosong. Kuliner warisan Ki Ageng Selo itu, saya menyebutnya dengan nama sega golong pecel ayam.

Menurut cerita yang dituturkan turun-temurun, jenis masakan yang menjadi klangenan (kegemaran) Ki Ageng Selo adalah sega golong atau yang juga disebut dengan sega kepelan. Adapun pelengkapnya adalah sayur menir bayam, pecel ayam dengan bumbu gudangan, serta lalapan berupa trancam terong. 

T. Wedy Utomo dalam buku Ki Ageng Selo Menangkap Petir (1983) mengutip keterangan dari juru kunci makam Ki Ageng Selo (ketika itu), Djahri, bahwa menurut cerita yang dituturkan nenek moyangnya, jenis masakan yang menjadi kesenangan Ki Ageng Selo adalah “sekul golong” atau yang disebut juga dengan “sekul kepelan”, yaitu nasi yang diremas-remas dibuat semacam bola yang berukuran besar sebesar “kepal” tangan.

Menurut cerita, sega golong dengan kelengkapannya itu sering dihidangkan setiap kali Ki Ageng Selo mengadakan upacara selamatan atau sedekahan dengan mengundang masyarakat sekitar Selo. Dari situlah, dipercaya awal mula hidangan itu mentradisi dalam masyarakat Jawa sampai sekarang. Termasuk saat peziarah menyelenggarakan selamatan di kompleks makam Ki Ageng Selo juga selalu menyuguhkan hidangan ini.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Sega golong dengan kelengkapan pecel ayam, sayur menir bayam, dan trancam. Hidangan kegemaran Ki Ageng Selo (Badiatul Muchlisin Asti)

Sega Golong dalam Budaya Jawa

Dalam khazanah budaya Jawa, sega golong kemudian menjadi hidangan yang biasa disajikan, bahkan menjadi menu utama dalam pelbagai upacara adat dan tradisi masyarakat Jawa di banyak daerah. 

Wahyana Giri MC dalam buku Sajen & Ritual Orang Jawa (2010) menyatakan, sega golong berupa nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola tenis. Oleh nenek moyang orang Jawa, ubarampe ini dimaksudkan untuk melangsungkan kebulatan tekad yang manunggal atau golong gilig. Soal kebulatan tekad ini, pada saat menggelar selamatan, orang Jawa biasanya menyebutnya dengan istilah “tekad kang gumolong dadi sawiji”. Dengan ubarampe tersebut, diharapkan agar orang yang membuat selamatan, dalam menapaki setiap perjalanan waktu untuk mengarungi kehidupan, selalu selamat dan berhasil meraih apa yang dicita-citakan.

Dalam nuansa dan pemaknaan yang berbeda, sega golong juga hadir dalam sajen perkawinan dalam masyarakat Jawa. Tim Rumah Budaya Tembi dalam buku 27 Resep Sajian Perkawinan Pasang Tarub Jawa (2008) menyebutkan, sajen sega golong menggambarkan dua insan yang mempunyai niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling memberi dan menerima. Istilah golong lutut di dalam bahasa Jawa kuno mengacu kepada hubungan suami istri atau intercourse.

Oleh karena itu, sajen sega golong diwujudkan dalam bentuk sesajen berupa dua buah nasi golong yang masing-masing dibalut telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi, dan dilengkapi dengan jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara (sayur padamara). Khusus jangan menir dan jangan padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu pada cowek (cobek) yang terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah tampah.

Sebagai sebuah kuliner yang lekat dengan budaya Jawa, sega golong juga disebut dalam Serat Centhini. Manuskrip Jawa itu ditulis oleh tim yang dipimpin Adipati Anom Amangkunegara III (Sunan Pakubuwana V), yang ditulis dalam rentang tahun 1814–1823 M.

Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
Penampakan pecel ayam, masakan khas Jawa yang juga disukai Ki Ageng Selo/Badiatul Muchlisin Asti

Potret Sega Golong Warisan Ki Ageng Selo

Sega golong warisan Ki Ageng Selo disebut juga dengan sega kepelan, karena sega atau nasinya di-kepel-kepel atau dibentuk bulat-bulat berukuran sebesar kepalan tangan. Sayur menir bayam, atau orang Jawa sering menyebutnya jangan menir, adalah masakan sayur bening berbahan bayam yang diberi butiran pecahan beras. Saat ini, butiran pecahan beras biasa diganti dengan serutan jagung muda. Sayur menir bayam tersebut termasuk menu rumahan (comfort food) masyarakat Jawa sehari-hari, yang juga mudah dijumpai di pelbagai rumah makan masakan Jawa.

Adapun pecel ayam bukan masakan berbahan ayam yang diolah dengan bumbu sambal kacang atau yang populer juga dengan sambal pecel. Namun, pecel ayam versi Jawa ini adalah olahan berbahan ayam yang dimasak dengan santan dan racikan bumbu khusus.

Kemudian trancam terong adalah terong mentah yang diurap dengan bumbu kelapa. Dalam perkembangannya, bahan pembuatan trancam mengalami modifikasi dengan menggunakan berbagai macam sayuran mentah, seperti mentimun, kecambah kedelai, daun kemangi, dan petai cina.

Sega golong dengan sajian lengkap seperti itu hingga saat ini masih ditradisikan oleh Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta, mengingat bila ditelusuri secara silsilah, Ki Ageng Selo merupakan leluhur mereka.

  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo
  • Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo

Hidangan Sarat Filosofi

Chef Vindex Tengker dalam buku Ngelencer ke Yogyakarta (2017) menyatakan, disebut sega golong karena sajian ini sarat dengan nilai filosofi Jawa yang tinggi. Terdiri dari nasi bulat (sega golong), jangan menir, pecel ayam, telur, dan sayur mentah (trancam).

Leluhur Jawa memang senang dengan simbolisme atau perlambang sebagai pesan moral yang diwujudkan secara tersirat dalam sebuah hidangan. Nasi yang dibentuk bulat melambangkan kebulatan tekad bila menginginkan sesuatu agar rezeki yang datang bergolong-golong atau bergulung-gulung (melimpah ruah). Sayur bening bayam melambangkan kebersihan hati dan pikiran dalam menjalani hidup, sedangkan pecel ayam dan trancam melambangkan bersatunya jiwa manusia dengan alam.

Minggu (1/12/2024), saya bekerja sama dengan Erni Iswati dari Dapoer Erni mengadakan uji resep hidangan kegemaran Ki Ageng Selo ini. Hasilnya, sebuah hidangan yang sangat istimewa. Menurut saya, sangat potensial bila sega golong pecel ayam ini diangkat menjadi menu kuliner di resto atau rumah makan. Tujuannya, agar hidangan penuh filosofi ini bisa dikonsumsi kapan saja seseorang ingin. 


Referensi:

Giri, Wahyana. (2010). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Latief, Tuty. (1975). Resep Masakan Daerah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Oetomo, T. Wedy. (1983). Ki Ageng Selo Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.
Sunjata, Wahjudi Pantja. (2014). Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tengker, Chef Vindex. (2017). Ngelencer ke Yogyakarta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Rumah Budaya Tembi. (2008). 27 Resep Sajen Perkawinan Pasang Tarub Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Anggrek.
Wawancara dengan KRT. Abdul Rakhim, juru kunci makam Ki Ageng Selo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sega Golong Pecel Ayam, Hidangan Kegemaran Ki Ageng Selo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sega-golong-pecel-ayam-hidangan-kegemaran-ki-ageng-selo/feed/ 0 45436
Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/ https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/#respond Fri, 25 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42911 Boleh dibilang, sate merupakan kuliner ikonis Indonesia yang telah menempuh jejak perjalanan yang sangat panjang di negeri ini. Selain gaya penyajian satenya, juga tak sedikit dijumpai sate-sate legendaris yang telah melintas zaman.  Salah satunya di...

The post Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 appeared first on TelusuRI.

]]>
Boleh dibilang, sate merupakan kuliner ikonis Indonesia yang telah menempuh jejak perjalanan yang sangat panjang di negeri ini. Selain gaya penyajian satenya, juga tak sedikit dijumpai sate-sate legendaris yang telah melintas zaman. 

Salah satunya di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Terdapat kuliner sate sapi yang telah melewati masa yang cukup panjang dan masih eksis menyapa penggemarnya hingga saat ini. Kuliner sate sapi itu adalah salah satu destinasi wisata kuliner favorit saya dan—saya kira—juga banyak orang lainnya, bila sedang menempuh perjalanan Purwodadi–Semarang atau sebaliknya.

Warung Sate Sapi Pak Beng, begitulah nama bagi tujuan kuliner favorit itu. Warung yang berada di pusat kota Kecamatan Gubug itu (memang) spesial menyuguhkan sate sapi.

Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939
Tampak depan lokasi baru Warung Sate Sapi Pak Beng di Grobogan/Badiatul Muchlisin Asti

Asal-usul Nama “Beng”

Bertahun-tahun lalu, sekitar 2016 saat saya mampir di Warung Sate Sapi Pak Beng, saya sempat bertemu langsung dengan Pak Beng. Kepada saya, dia bercerita bahwa resep sate sapinya berasal dari kakeknya yang bernama Sugiman, yang merintis usaha kuliner sate sapi sejak 1939. 

Lalu pada tahun 1950-an, usaha kuliner itu diteruskan oleh ayahnya yang bernama Sumidi. “Dan sejak tahun 1994, usaha itu saya yang teruskan hingga sekarang,” tutur Pak Beng ketika itu.

Pak Beng juga bercerita bahwa “Beng” bukan nama sebenarnya. Nama aslinya adalah Jumadi. Beng adalah nama panggilan yang diberikan teman-temannya. Nama panggilan itu yang justru akhirnya disematkan menjadi jenama bagi warung satenya, yang kemudian malah membawa hoki alias keberuntungan baginya.

Sate Legendaris yang Melintas Zaman

Meski warungnya sederhana, Warung Sate Sapi Pak Beng boleh dikata tak pernah sepi pengunjung. Apalagi saat jam makan siang. Padahal tak mudah bertahan mengibarkan usaha kuliner tradisional di tengah serbuan kuliner modern yang menjamur bak cendawan di musim hujan. 

Warung Sate Sapi Pak Beng telah membuktikan bisa tetap eksis melintasi zaman, diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan masih memiliki banyak pelanggan setia. Menurut Pak Beng, pelanggan satenya tak hanya berasal dari Gubug saja, tetapi juga dari luar Gubug bahkan tetangga kabupaten Grobogan, seperti Blora, Kudus, dan Demak. 

Sate sapi Pak Beng juga disukai sejumlah tokoh Kabupaten Grobogan. H. Bambang Pujiono dan H. Icek Baskoro (bupati dan wakil bupati Grobogan periode 2006–2016), dan H. Soepomo (mantan anggota DPRD Kabupaten Grobogan), termasuk di antara sejumlah pembesar yang tercatat pernah menyantap dan menggemari satenya.

Saat ini, pengelola Warung Sate Sapi Pak Beng sudah memasuki generasi keempat. Sejak 2010, Pak Beng menyerahkan tongkat estafet warung ke anaknya yang bernama Novi Aditya. Sebuah proses dengan masa tempuh perjalanan yang lumayan panjang. 

Pindah Lokasi

Hari Senin, 8 Mei 2023, bisa dikatakan menjadi “hari bersejarah” bagi Warung Sate Sapi Pak Beng. Warung tersebut harus pindah dari lokasi lama yang sudah ditempati puluhan tahun. Warung yang ditempati selama ini memang berada di tanah milik pemerintah. Oleh karena itu, ketika pemerintah hendak menggunakannya, maka mau tidak mau harus pindah. 

Kepindahan itu berhubungan dengan rencana pemerintah melakukan pelebaran ruas jalan Semarang–Purwodadi. Warung Sate Sapi Pak Beng dan sejumlah warung lainnya membongkar lapaknya sendiri secara sukarela.

Beruntung, Warung Sate Sapi Pak Beng tidak pindah terlampau jauh. Hanya pindah di ruko seberang jalan yang terletak di belakang warung sebelumnya. Lokasinya mudah ditemukan. Tak jauh dari bundaran Gubug di Jalan Raya Semarang–Purwodadi, ke arah Desa Pranten. Warung Sate Pak Beng yang baru lebih nyaman karena lebih luas dan bersih.

“Bedanya kalau yang dulu gratis, kalau yang sekarang bayar [uang sewa ruko],” tutur Novi Aditya, generasi keempat Warung Sate Sapi Pak Beng, saat saya mampir ke warungnya beberapa waktu lalu.

  • Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939
  • Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939

Cita Rasa Sate Sapi Pak Beng

Saat saya datang, Warung Sate Sapi Pak Beng lumayan ramai. Itu artinya, penggemar satenya masih banyak meski sudah berkali-kali alih generasi. 

Sajian sate sapi Pak Beng begitu khas. Sebelum dibakar, daging sapi yang sudah dipotong-potong direndam ke dalam bumbu yang diformulasi khusus sampai bumbu meresap. Setelah itu ditusuk dengan tusuk sate, baru kemudian dibakar.

Cita rasa sate sapi Pak Beng cenderung manis-gurih. Mengingatkan saya pada sate sapi manis ala Pak Kempleng di Ungaran, Kabupaten Semarang, yang juga sangat populer.

Ada dua pilihan sambal sebagai pelengkap makan sate sapi di warung Pak Beng, yaitu sambal kecap atau sambal kacang. Tinggal pilih sesuai selera. Sebenarnya, dimakan tanpa sambal pelengkap pun, sate sapi Pak Beng sudah sangat enak karena bumbu yang memarinasi daging sangat terasa. Namun, tambahan sambal menjadikan sate sapi Pak Beng jauh lebih sedap, atau dalam istilah Jawa: nyamleng tenan.

Warung Sate Sapi Pak Beng buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 21.00 WIB. Satu porsi sate sapi (10 tusuk) dibanderol Rp55.000 alias 5.500 rupiah per tusuk. Bila sedang dalam perjalanan melintasi jalanan Semarang–Purwodadi, silakan mampir ke warung ini. Cicipi lezatnya sate sapi manis Pak Beng yang legendaris.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sate Sapi Pak Beng, Kuliner Sate Legendaris di Grobogan Sejak 1939 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sate-sapi-pak-beng-kuliner-sate-legendaris-di-grobogan-sejak-1939/feed/ 0 42911
Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/ https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/#respond Fri, 27 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42748 Getuk (bahasa Jawa: gethuk) merupakan kuliner tradisional khas Jawa berbahan ketela. Di pelbagai daerah di Jawa, utamanya Jawa Tengah, dijumpai sejumlah getuk dengan ciri khas masing-masing. Jika ada getuk trio Magelang, getuk goreng Banyumas, dan...

The post Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek appeared first on TelusuRI.

]]>
Getuk (bahasa Jawa: gethuk) merupakan kuliner tradisional khas Jawa berbahan ketela. Di pelbagai daerah di Jawa, utamanya Jawa Tengah, dijumpai sejumlah getuk dengan ciri khas masing-masing. Jika ada getuk trio Magelang, getuk goreng Banyumas, dan getuk kethek Salatiga, maka Kabupaten Grobogan punya getuk blondo.

Getuk blondo memang sudah populer di Grobogan sejak lama. Saat saya kecil sekitar tahun 1980-an, saya sudah mengenal getuk yang dinikmati dengan blondo itu. Seiring waktu, banyak penjual getuk blondo yang meninggal dan tidak ada generasi penerusnya. Jadilah sejak itu, saya tak lagi menjumpai kudapan lezat tersebut.

Namun, beruntung saat ini getuk blondo masih tetap eksis. Getuk blondo masih bisa dijumpai meski lumayan langka. 

Salah satu penjual getuk blondo khas Grobogan yang saya temui bernama Sugeng Purnomo (43) atau akrab disapa Kang Sugeng. Bersama istrinya, Suparti (43), warga Dusun Jiret, RT 01 RW 03, Desa Jetak Sari, Kecamatan Pulokulon itu setiap hari memproduksi dan berjualan getuk blondo.   

Dibuat dari Resep Warisan Nenek

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengunjungi lapak Getuk Blondo Kang Sugeng yang berada di Jalan Ki Ageng Selo, Dusun Gatak, Desa Sembungharjo, Pulokulon. Saat saya datang, Kang Sugeng menyambut saya ramah.

Tak lama kemudian, dengan sigap ia meracikkan seporsi getuk blondo pada kertas minyak yang dialasi daun pisang. Irisan getuk berwarna kuning dan cokelat itu ditaburi kelapa parut dan blondo. Topping (pugas) blondo inilah yang membuat getuk ini populer dengan sebutan “getuk blondo”.

Getuk blondo Kang Sugeng bercita rasa enak, lezat, dan lembut saat dikunyah. Parutan kelapa dan blondonya membuat rasa legitnya autentik. Kang Sugeng mengaku memerhatikan kualitas pembuatan getuk maupun blondonya.

Salah satu rahasia getuk yang enak, menurut Kang Sugeng, berasal dari ketela yang berkualitas. Ia mengambil ketela dari para petani di pegunungan, yang ketelanya terkenal berkualitas dan segar. Lalu blondonya juga terbuat dari kelapa pilihan yang semanten alias tidak terlalu tua dan pas saat dibuat santan. Karena kalau kelapanya terlalu tua, rasa blondo tidak bisa manis aromatik. Begitu penjelasan Kang Sugeng kepada saya soal rahasia di balik cita rasa getuk blondonya.

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Harga satu porsi getuk blondo ala Kang Sugeng hanya dua ribu rupiah/Badiatul Muchlisin Asti

Blondo memang terbuat dari santan yang dimasak dengan api besar di wajan. Setelah kadar air menyusut, api dikecilkan dan santan diaduk bila sudah mulai menggumpal. Gumpalan-gumpalan santan berwarna cokelat itulah yang disebut blondo. Rasanya legit. sehingga sangat nikmat dijadikan pelengkap makan getuk yang lembut.

Kang Sugeng sendiri mulai merintis usaha getuk sejak tahun 2016. Sebelumnya, ia sempat berjualan es dawet di Kudus. Kemudian memilih pulang dan membuka usaha getuk.

Pertimbangannya memilih getuk, karena getuk termasuk kudapan lintas musim, yang bisa dinikmati saat musim kemarau maupun musim hujan. Tidak seperti berjualan es dawet yang hanya laku keras waktu musim kemarau, tetapi sedikit pembeli di musim hujan. Selain itu, ia juga merasa memiliki kemahiran membuat getuk blondo, yang ia peroleh dari resep warisan neneknya dari jalur ibu. Dari resep warisan itulah, Kang Sugeng bisa membuat getuk blondo yang enak. 

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Lapak Kang Sugeng di acara Car Free Day Purwodadi/Badiatul Muchlisin Asti

Dari Jualan Keliling hingga Mangkal

Saat awal-awal merintis usaha getuk, Kang Sugeng sempat berjualan keliling dari kampung ke kampung. Namun, hal itu hanya dilakoninya selama tiga bulan. Setelah itu, Kang Sugeng memilih berjualan mangkal di suatu tempat.

Saat ini, Kang Sugeng memiliki dua lapak. Lapak pertama berada di Jalan Raya Panunggalan, Desa Jetaksari, Pulokulon, tepatnya di sebelah Yogya Mart. Lapak kedua di Jalan Ki Ageng Selo, Gatak, Sembungharjo, Pulokulon, di sebelah utara Pasar Gatak. Jika di lapak pertama ditunggui istrinya, Kang Sugeng menjaga lapak kedua.

Kang Sugeng bersyukur bahwa getuk blondonya banyak yang menyukai, sehingga ia memiliki para pelanggan setia. Seperti saat saya berkunjung ke lapak Getuk Blondo Kang Sugeng di Gatak, ada seorang pelanggan bernama Widodo (45)—seorang pegawai koperasi. Kepada saya, Widodo mengaku sudah berlangganan getuk blondo Kang Sugeng sejak awal Kang Sugeng membuka lapak. Menurutnya, getuk buatan Kang Sugeng enak, termasuk juga blondonya.

Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek
Kang Sugeng (kanan baju batik) sedang melayani pelanggan setianya/Badiatul Muchlisin Asti

Selain sehari-hari mangkal di kedua lapak tersebut, Kang Sugeng dan istri setiap hari Minggu menyempatkan khusus berjualan atau membuka lapak getuk blondo di arena Car Free Day (CFD) Jalan R. Soeprapto, kota Purwodadi. Di CFD, Kang Sugeng juga membuka dua lapak, yaitu di depan pintu masuk toko swalayan Luwes dan di sebelah utara perempatan Diskominfo.     

Berkat keaktifan Kang Sugeng berjejaring dan sharing dengan para pelaku UMKM di Kabupaten Grobogan, omzet penjualan getuknya secara perlahan mengalami kenaikan. Kang Sugeng mengaku mengalami banyak kemajuan, utamanya pada kapasitas produksi getuknya. Bila sebelumnya ia hanya membuat getuk dari 25 hingga 30 kg ketela, kini setiap minggu ia bisa menghabiskan getuk dari 50 kg ketela.  

Kang Sugeng berharap usahanya semakin maju. Kelak getuk blondonya bisa naik kelas dengan kemasan yang lebih menarik, sehingga bisa menjadi salah satu pilihan oleh-oleh khas Grobogan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Getuk Blondo Kang Sugeng, Lezatnya Resep Warisan Nenek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/getuk-blondo-kang-sugeng-lezatnya-resep-warisan-nenek/feed/ 0 42748
Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus https://telusuri.id/mengunjungi-taman-bojana-destinasi-wisata-kuliner-di-kudus/ https://telusuri.id/mengunjungi-taman-bojana-destinasi-wisata-kuliner-di-kudus/#respond Thu, 05 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42612 Selain kuliner ikonis dan legendaris, Kudus juga kaya destinasi wisata kuliner yang bisa dijadikan jujugan saat berkunjung ke Kota Kretek ini. Salah satunya adalah Taman Bojana yang terletak di pusat kota, tepatnya di sebelah timur...

The post Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain kuliner ikonis dan legendaris, Kudus juga kaya destinasi wisata kuliner yang bisa dijadikan jujugan saat berkunjung ke Kota Kretek ini. Salah satunya adalah Taman Bojana yang terletak di pusat kota, tepatnya di sebelah timur laut Simpang Tujuh (alun-alun) Kudus.

Taman Bojana bisa menjadi pilihan destinasi wisata kuliner. Selain lokasinya yang strategis di pusat kota, di pusat kuliner ini juga berkumpul sejumlah legenda kuliner Kudus. Nama-nama populer, seperti Pak Ramidjan, H. Sulichan, Mbak Mar, H. As’ad, dan Gasasa, bisa dijumpai di pusat kuliner Taman Bojana.

Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus
Akses masuk ke Pusat Kuliner Kudus Taman Bojana/Badiatul Muchlisin Asti

Legenda Soto Kudus

Pak Ramidjan tentu nama yang tak asing di belantika kuliner Kudus. Nama ini termasuk masyhur untuk menu soto kudus. Soto Pak Ramidjan telah mewarnai wajah persotoan Kudus sejak tahun 1950-an.

Soto Pak Ramidjan terletak di Jalan Raya Kudus–Jepara 79A, Purwosari, Kecamatan Kota, Kudus. Letaknya sebelah utara Pasar Jember yang sangat strategis dan mudah dijangkau dari kedua arah. Adapun yang ada di Taman Bojana merupakan cabang sotonya yang diberi nama Soto Bu Ramidjan.

Pun termasuk nama H. Sulichan, yang juga populer di dunia persotoan Kudus. Bahkan bila saya berkunjung ke Taman Bojana saat jam makan siang, kedai H. Sulichan ini terbilang paling ramai.

Menurut cerita, H. Sulichan memulai usaha soto kudus sejak tahun 1968 di pusat kuliner Tosera. Sebelumnya, ia ikut pamannya berjualan soto secara berkeliling sekitar tahun 1950-an. Dari Tosera, H. Sulichan pindah usaha ke Taman Bojana pada 1997 sampai sekarang.

Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus
Kedai H. Sulichan di Taman Bojana yang selalu ramai oleh para pelanggannya, terutama saat jam makan siang/Badiatul Muchlisin Asti

Ada Menu Favorit Bondan Winarno di sini

Di Taman Bojana juga ada nama Mbak Mar. Meski secara jenama tak sepopuler Ramidjan dan H. Sulichan, tetapi Mbak Mar punya keistimewaan pada kuliner khas Kudus lainnya, yaitu nasi pindang. 

Meski juga berjualan soto kudus, nasi pindang Mbak Mar lebih menonjol karena (pernah) menjadi favorit pakar kuliner mendiang Bondan Winarno semasa hidupnya. Bondan Winarno menyebutkan nasi pindang Mbak Mar sebagai kuliner khas Kudus favoritnya di buku masterpiece-nya yang berjudul 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2013.

Tak hanya nasi pindang dan soto kudus, Mbak Mar juga menawarkan sup dan bakso kerbau yang menggoda untuk dicicipi. Terutama baksonya, yang menurut saya sangat eksotis.

  • Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus
  • Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus

Saat pertama kali mencicipi bakso kerbau Mbak Mar, saya menemukan sensasi yang berbeda dengan cita rasa bakso pada umumnya. Kuahnya sangat gurih, lebih mirip kuah sup yang diperkaya bumbu. 

Pelengkapnya juga lebih kaya dari bakso pada umumnya. Dalam seporsi bakso kerbau komplet, ada tambahan potongan tahu, potongan daging, telur rebus, kubis, bihun, irisan tomat, dan taburan irisan seledri serta bawang goreng. Bola-bola bakso kerbaunya juga bercita rasa lezat karena gurih dagingnya sangat terasa. 

Mbak Mar yang bernama lengkap Sumarni merupakan generasi kedua penjual kuliner khas Kudus. Pargi, ayah Mbak Mar, sudah berjualan sejak 1966. Awalnya Pak Pargi, begitu dia akrab disapa, berjualan bakso dan sup. Baru pada 1980, Pak Pargi juga berjualan soto dan nasi pindang khas Kudus.

“Bila pagi bapak saya berjualan soto dan nasi pindang, sore harinya bapak berjualan sup dan bakso,” tutur Mbak Mar.

Tahun 1985, kemudi usaha kuliner diteruskan Mbak Mar hingga kini. Pak Pargi sendiri tutup usia pada 2001. Sebagai generasi penerus, Mbak Mar tetap mempertahankan menu-menu warisan ayahnya: soto, sup, bakso, dan nasi pindang.

Bila ingin merasakan kuliner khas Kudus lainnya, di Taman Bojana juga hadir tahu telur H. As’ad yang dikelola oleh generasi ketiga alias cucu H. As’ad. Jangan lupakan juga garang asem RM Gasasa yang masyhur dan legendaris.

Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus
Mbak Mar (kanan) dan salah satu karyawannya menyiapkan pesanan pelanggan/Badiatul Muchlisin Asti

Sejarah Taman Bojana

Menilik sejarahnya, sebelum menjadi pusat kuliner, Taman Bojana dulunya merupakan Gedung Nasional pada tahun 1976. Di lantai dua gedung tersebut dimanfaatkan sebagai tempat perkuliahan Sekolah Tinggi Ekonomi Kudus (STEK)—cikal bakal Universitas Muria Kudus (UMK).

Gedung Nasional kemudian beralih fungsi menjadi gedung bioskop Ramayana. Di bioskop tersebut, setiap 30 September selalu memutar film G30S/PKI dan dijadikan tempat nonton bareng oleh masyarakat Kudus.

Setelah era bioskop selesai karena hiburan masyarakat beralih ke siaran televisi dan munculnya pemutar DVD, tempat ini dialihfungsikan menjadi pusat kuliner. Alih fungsi sebagai pusat kuliner terjadi pada 1997 dan diberi nama Taman Bojana Kudus. Peresmiannya dilakukan oleh Soedarsono, bupati Kudus saat itu.

Para pedagang yang menghuni Taman Bojana merupakan para pedagang yang sebelumnya berjualan di pusat kuliner Tosera di sebelah timur alun-alun atau Simpang Tujuh Kudus. Mereka dipindah ke Taman Bojana karena lokasi pusat kuliner Tosera kemudian dibangun Mal Ramayana.

Sejumlah media menyebut, nama Bojana berasal dari kata “bejana” yang berarti tempat menanak nasi. Sehingga Taman Bojana bisa dimaknai sebagai taman (tempat) makanan-makanan alias pusat kuliner. Namun, hasil penelusuran di Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) susunan Tim Balai Bahasa Yogyakarta (edisi kedua, 2011) menyebutkan Bojana sebagai “pista mangan énak”, yang bisa diartikan secara bebas sebagai taman tempat orang-orang “berpesta” dengan hidangan-hidangan yang lezat.

Karena sejujurnya, Taman Bojana memang tujuan bagi yang ingin “berpesta” dengan menyantap pelbagai kuliner khas Kudus yang enak dan legendaris. Jadi, bila berkunjung ke Kudus, silakan mampir ke pusat kuliner ini untuk mencicipi beragam kuliner khas Kudus yang sangat menggoda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Taman Bojana, Destinasi Wisata Kuliner di Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-taman-bojana-destinasi-wisata-kuliner-di-kudus/feed/ 0 42612