Candra Gani https://telusuri.id/penulis/candra-gani/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 28 Jul 2019 07:02:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Candra Gani https://telusuri.id/penulis/candra-gani/ 32 32 135956295 Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/ https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/#respond Sat, 25 Aug 2018 05:30:35 +0000 https://telusuri.id/?p=10349 Membangun bersama-sama itu tidak mudah. Kita harus mengelola ego banyak orang, memiliki manajemen konflik yang baik, dan memastikan bahwa setiap anggota tim mendahulukan kepentingan bersama. Sebagian orang barangkali sudah khatam pelajaran soal kerja keras, bahwa...

The post Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
Membangun bersama-sama itu tidak mudah. Kita harus mengelola ego banyak orang, memiliki manajemen konflik yang baik, dan memastikan bahwa setiap anggota tim mendahulukan kepentingan bersama.

Sebagian orang barangkali sudah khatam pelajaran soal kerja keras, bahwa sukses membutuhkan proses yang panjang dan ketekunan. Namun “bab egoless” ternyata memerlukan “studi lanjutan.” Sungguh jauh berbeda rasanya ketika kita berjuang untuk kepentingan individu dan berjuang untuk kepentingan bersama.

Ngomong-ngomong soal itu, saya jadi terbawa kembali pada memori pelajaran PPKn ketika saya kelas satu SD dulu. Saya ingat betul ketika Bu Parmi, guru yang mengajar saya kala itu, menanamkan konsep untuk mendahulukan kepentingan umum di atas individu.

kawasan wisata imogiri

Sungai Oyo tampak dari Kebun Buah Mangunan/Fuji Adriza

Bu Parmi mengajarkan kami praktik bernegara pada level yang paling sederhana. Berbaris di dalam antrean, tidak berdiri di tengah pintu kelas, patuh pada rambu lalu lintas, bertanggung jawab pada jadwal piket kelas, dll.

Intinya, Bu Parmi menanamkan pemahaman pada kami bahwa setiap orang punya kepentingan. Supaya tertib dan tidak saling egois untuk mendahulukan kepentingan masing-masing, kita harus taat aturan. Dengan begitu semua orang akan diuntungkan dan kepentingan bersama dapat dicapai.

Membangun bersama-sama itu tidak mudah

Setelah kuliah semester satu dan mengikuti program Parlemen Muda dari Indonesian Future Leader, saya mengenal praktik bernegara pada level yang lebih kompleks.

kawasan wisata imogiri

Jembatan gantung di Kali Oyo/Fuji Adriza

Saya mengenal kegiatan kesukarelawanan dan mulai coba-coba membuat sekolah gratis bagi anak nelayan. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya butuh resource berkelanjutan agar sekolah yang kami bangun tetaplah berdiri.

“Kekepoan” saya untuk menyelesaikan masalah tersebut mengantarkan pada beberapa nama yang saya ikuti di media sosial, dari mereka saya belajar konsep pemberdayaan, model bisnis, dll.

kawasan wisata imogiri

Wisatawan domestik sedang menelusuri Hutan Pinus Mangunan/Fuji Adriza

Namun ternyata hal ini lebih kompleks lagi. Selain tujuan bersama, ada faktor uang yang harus dikelola dengan baik pada level ini. Karena tidak dipungkiri bahwa uang mengandung potensi konflik yang lebih besar lagi.

Di sinilah saya sadar bahwa membangun bersama-sama itu tidak mudah. Butuh visi yang kuat dan juga kesadaran egoless yang tinggi.

kawasan wisata imogiri

Biji pinus/Fuji Adriza

Belajar pada Kawasan Wisata Imogiri

Pagi itu di Lampung saya mendengar cerita teman saya tentang Kawasan Wisata Imogiri di Bantul yang semakin berkembang. Ceritanya cukup heboh. Makanya, ketika saya ke Jogja, Imogiri jadi satu destinasi yang tak ingin saya lewatkan.

Namun sebenarnya saya masih underestimate dengan kawasan wisata itu. Ya, paling gitu-gitu aja, seramai apa, sih? Begitu pikir saya kala itu.

Sesampai di sana saya kaget. Hal pertama yang membuat saya terkejut adalah ramainya jumlah pengunjung. Luar biasa. Barangkali sama dengan atraksi-atraksi wisata legendaris lain di Jogja seperti Candi Prambanan.

kawasan wisata imogiri

Rindangnya Hutan Pinus Mangunan/Fuji Adriza

Decak kagum saya bertambah ketika saya menelusuri satu per satu atraksi wisata yang ada di Kawasan Wisata Imogiri. Saya menemukan banyak spot foto yang antreannya panjang, wahana-wahana bermain, dan juga sederet gimmick lain yang menyokong “story telling” solid tempat wisata tersebut—Rumah Hobit contohnya.

Topografi seperti di Imogiri jamak ditemukan di wilayah lain di Indonesia, namun budaya kreatifnya tidak. Kekaguman saya semakin lengkap ketika teman saya bercerita bahwa kawasan wisata Imogiri itu dirintis dan dikembangkan oleh pemuda setempat. Wow! Two tumbs up!

kawasan wisata imogiri

Uniknya Rumah Hobbit/Day

Setelah gagal mendirikan sekolah pesisir dulu, saya beranggapan bahwa pemberdayaan adalah sebuah konsep yang utopis. Sulit mengelola banyak kepentingan; sulit mengelola uang secara bersama.

Namun persinggahan saya ke Kawasan Wisata Imogiri mematahkan semua sinisme pribadi saya terhadap pemberdayaan masyarakat. Di Imogiri, ada yang bisa mempraktikkan ajaran guru PPKn saya pada level yang lebih tinggi.

Mereka memiliki semangat bersama untuk mengembangkan kreativitas dan memecahkan masalah. Tak bisa dibantah lagi, praktik meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi sekelompok anak muda di Imogiri itu sangatlah memesona!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengagumi Kawasan Wisata Imogiri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengagumi-kawasan-wisata-imogiri/feed/ 0 10349
Menikmati Rasa dan Makna di Sate Klathak Pak Pong https://telusuri.id/sate-klathak-pak-pong/ https://telusuri.id/sate-klathak-pak-pong/#respond Tue, 21 Aug 2018 05:30:04 +0000 https://telusuri.id/?p=10293 “Lo ngga boleh ngelewatin yang satu ini,” ujar teman saya berapi-api. Tak lupa ia menambahkan, “Pokoknya lo belum ke Jogja kalau belum ke [sana].” Maksud teman saya itu adalah Sate Klathak Pak Pong. Sebenarnya saya...

The post Menikmati Rasa dan Makna di Sate Klathak Pak Pong appeared first on TelusuRI.

]]>
“Lo ngga boleh ngelewatin yang satu ini,” ujar teman saya berapi-api. Tak lupa ia menambahkan, “Pokoknya lo belum ke Jogja kalau belum ke [sana].”

Maksud teman saya itu adalah Sate Klathak Pak Pong. Sebenarnya saya juga tak tahu apa itu sate klathak. Tapi saya terima saja ajakannya.

sate klathak pak pong

Bagian depan Sate Klathak Pak Pong/Ricoco

Untung saja kemudian dia bercerita soal sate klathak. Makanan itu kabarnya adalah warisan kuliner yang bersejarah. Konon, sebelum perang mengusir penjajah, para prajurit yang akan berangkat dikumpulkan Sultan di suatu tempat dan diberi sajian daging kambing.

Namun saking banyaknya prajurit yang harus dijamu juru masak Keraton tak punya waktu lagi untuk meracik bumbu. Jadilah sate klathak hanya diberi garam dan bawang putih. Keduanya dioleskan saat daging dipanggang. Beda sekali tentunya dengan sate ala Madura yang disajikan dengan bumbu kacang atau kecap.

Sampai di Sate Klathak Pak Pong saya terkejut. Ramainya! Kami bahkan hanya kebagian tempat di meja kecil di pojok ruangan, dekat dapur.

Tak lama setelah kami duduk, pramusajinya datang dan bilang bahwa waktu tunggu sampai makanan disajikan adalah 90 menit. “What?! Ninety minutes?” Saya sudah keroncongan memang. Namun karena penasaran saya rela-rela saja menunggu.

Sembari menunggu saya habiskan waktu mengobrol dengan teman lama saya, suaminya, dan juga kedua jagoan kecil mereka. Di sela-sela obrolan itu saya melemparkan pertanyaan: “Kenapa Pak Pong ngga buka cabang aja ya kalau setiap hari antreannya seperti ini?”

Menikmati seporsi sate klathak Pak Pong yang lezat dan penuh makna

Pertanyaan saya itu malah dijawab dengan cerita. Teman saya berkisah bahwa dulunya Pak Pong menjual sate hanya dengan gerobak kecil dan tenda. Lalu Jogja dilanda gempa dan relawan pun berdatangan.

Saat itu, setiap kali ada relawan yang makan di lapak sate klathaknya, Pak Pong tak mau menerima bayaran. Ia menggratiskan satenya bagi semua relawan yang datang. Terus dan terus begitu.

Para relawan itu pun kemudian menyebarluaskan berita tentang lapak sate klathak milik Pak Pong. Singkat cerita pelanggan Sate Klathak Pak Pong jadi semakin ramai dan rumah makannya jadi semakin besar—sampai sebesar sekarang.

Mendengar cerita itu mata saya berkaca-kaca.

sate klathak pak pong

Sate klathak sedang dipanggang via instagram.com/gembulfoodie

Kita memang kerap menghitung hal-hal fisik saja namun mengabaikan yang tidak tampak. Nahasnya lagi kita sering mengukur kehidupan ini dengan ukuran kita, bukan ukuran Pencipta.

Kita beranggapan bahwa dunia bekerja dengan cara kita, manusia, dan lupa bahwa dunia ini memiliki hukum sebab-akibat, penuh skenario yang terkadang di luar jangkauan otak manusia. Namun, tak bisa dijangkau dengan otak bukan berarti tidak bisa dimengerti oleh hati. Hati yang tulus dan murni akan menangkapnya dan membawanya ke kehidupan nyata.

Cerita tentang kemajuan Sate Klathak Pak Pong itu membuat saya belajar banyak. Tak hanya tentang tata laku kehidupan dan tentang cara berhubungan dengan manusia lain, namun juga bagaimana berhubungan dengan Pencipta.

Sate yang saya pesan pun akhirnya tersaji di meja. Rasanya tak cuma terasa lezat di lidah, namun juga merasuk sampai hati yang terdalam. Saya seperti sedang menikmati sesuatu yang tak hanya matang secara fisik namun juga secara filosofis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Rasa dan Makna di Sate Klathak Pak Pong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sate-klathak-pak-pong/feed/ 0 10293
Jogja Itu “Egoless” https://telusuri.id/di-jogja-yang-egoless/ https://telusuri.id/di-jogja-yang-egoless/#respond Sun, 19 Aug 2018 11:57:40 +0000 https://telusuri.id/?p=10266 Manusia itu menarik dengan segala tingkahnya yang ada-ada saja! “Makhluk paling superior di muka bumi ini,” begitu teman saya menyebutnya. Mereka punya nurani sekaligus nafsu. Keduanya berperang sengit dalam diri seorang manusia, setiap hari, detik...

The post Jogja Itu “Egoless” appeared first on TelusuRI.

]]>
Manusia itu menarik dengan segala tingkahnya yang ada-ada saja! “Makhluk paling superior di muka bumi ini,” begitu teman saya menyebutnya. Mereka punya nurani sekaligus nafsu. Keduanya berperang sengit dalam diri seorang manusia, setiap hari, detik demi detik, sampai ia dipanggil kembali oleh Sang Pencipta.

Ceritanya, pada suatu pagi saya memakai layanan ojek online. Jakarta pagi itu tentu saja padat dan macet. Kondisi yang membuat kita geram pastinya.

Bagi mamang-mamang ojek, setiap hari adalah menegangkan sebab mereka harus selalu mengejar poin untuk memastikan agar bonus bisa dibawa pulang. Untuk itu tentu mereka harus berebut jalan dengan pengendara lain. Mamang yang mengantarkan saya pagi itu tak terkecuali. Ia naik trotoar, melaju di jalur busway, tarik-lepas gas, melawan arah—saya senam jantung.

di jogja

Pulau Cemeti di Tamansari/Fuji Adriza

Benar. Ia harus berjuang untuk menyambung hidup dari hari ke hari dengan cara seperti itu. Namun, sayangnya si mamang hanya memikirkan soal dirinya. Perkara apakah saya akan selamat di boncengan barangkali tak terlalu dipikirkan.

Pagi itu saya bertemu sosok yang egois.

Sayalah yang salah karena memakai standar malaikat

Di lain hari, saya dan teman-teman punya ide untuk membuat kelas sharing online via WhatsApp. Topiknya terkait dengan pengembangan diri. Saya mengajak beberapa anak muda yang arah kariernya mulai tertata untuk berbagi setiap dua minggu sekali. Pesertanya ratusan dan terbagi dalam beberapa grup.

Suatu siang ada seorang peserta grup yang marah-marah karena memori ponselnya penuh saat sesi absensi dimulai. Absensi gunanya untuk memudahkan tim mendata keaktifan peserta, menyusun laporan kegiatan, dll.

Awalnya saya tidak menggubris, namun dia terus saja meng-copas teks marah-marahnya di grup. Akhirnya saya jelaskan maksud dan tujuan absensi itu.

Wisata Favorit

Kilometer Nol Malioboro/Fuji Adriza

Dalam hati saya bergumam, “Duh, manusia ini. Kalau ponsel dia overload, apa kabar ponsel admin yang mengelola lebih dari satu grup, apa kabar ponsel narasumber. Belum lagi kalau kita bicara ongkos dan waktu yang dikorbankan narasumber dan tim secara sukarela. Mereka bukan amatir. Kalau dikalkulasi harga jasa mereka satu jam pasti mahal. Lagian, bukankah dari awal semestinya dia paham bahwa ketika gabung dalam sebuah grup online pasti akan ada sesi absensi?”

Lagi-lagi, berulang-ulang, saya bertemu orang egois yang dunianya hanya terbatas pada dirinya. Kadang saya bertemu dengan orang yang tak mau kerja tapi [maunya] dapat nama, ada yang tidak mampu bertanggung jawab tapi juga tak bisa melepas tanggung jawabnya, ada yang bilangnya ingin membantu tapi ujung-ujungnya memaksa untuk dibantu, juga ada yang ingin curhatnya didengarkan di waktu yang hanya pas bagi dirinya sendiri.

Kalau kata teman saya itu manusiawi. Yang salah adalah saya, sebab saya memakai standar malaikat.

Melipir ke Jogja yang “egoless”

Puncaknya, saya jenuh dengan semua itu dan ingin rehat barang sejenak. Saya ingin berdiam sejenak di Jogja. Konon manusia-manusia di Jogja itu “egoless” dan saya penasaran untuk membuktikannya.

Setelah saya ke sana, saya amati bahwa itu memang benar adanya. Orang-orang Jogja tak pernah berdiri di tengah jalan sempit di lorong-lorong Malioboro sebab mereka sadar bahwa banyak orang yang akan menggunakan jalan itu. Mereka juga tak pernah membunyikan klakson kendaraan kendati buru-buru, sebab mereka paham bahwa orang lain juga punya kepentingan. Orang-orang Jogja tak pernah nempong kendaraan lain seenaknya, soalnya mereka paham itu akan membahayakan semua.

rute wisata jogja

Pemandangan dari Kebun Buah Mangunan/Fuji Adriza

Orang-orang di Jogja hidup apa adanya adalam kesederhanaan dan semangat tolong-menolong. Suatu kali saya pernah tersesat di Beringharjo dan bergumam sendiri mengenai lokasi yang saya tuju. Eh, tiba-tiba orang di sebelah saya dengan ramahnya menunjukkan arah tanpa saya minta.

Ah… Jogja! Bagaimana saya tidak jatuh cinta? Di kota ini saya merasa pulang. Konsep egoless yang tadinya hanya ada dalam angan-angan saya, dan disangsikan oleh teman saya sebagai standar malaikat, bisa saya temukan di kota sederhana ini.

Saya sepakat jika daerah ini diistimewakan oleh Indonesia. Meskipun dulu Keraton Yogyakarta memiliki pilihan untuk membentuk negara sendiri, mereka memilih untuk bergabung dengan NKRI.

Konsep egoless itu bukan hanya milik Sultan, keluarganya, dan Keraton Yogyakarta, namun juga sudah merasuk dalam budaya orang Jogja. Di wilayah istimewa itu saya masih bisa berharap bahwa setiap manusia tak hanya berpikir tentang aku, namun aku dan kamu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jogja Itu “Egoless” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-jogja-yang-egoless/feed/ 0 10266