Cici Ferdika Silalahi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ciciferdika/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 14 Jul 2021 11:49:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Cici Ferdika Silalahi, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/ciciferdika/ 32 32 135956295 Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/ https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/#respond Wed, 14 Jul 2021 11:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28688 Akhirnya libur semester tiba. Liburan ini kami gunakan untuk refreshing sekadar menenangkan pikiran dan jiwa. Sekian lama memikirkan tempat mana yang akan dikunjungi, akhirnya saya dan teman-teman memilih sepakat untuk pergi menikmati alam di tempat...

The post Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhirnya libur semester tiba. Liburan ini kami gunakan untuk refreshing sekadar menenangkan pikiran dan jiwa. Sekian lama memikirkan tempat mana yang akan dikunjungi, akhirnya saya dan teman-teman memilih sepakat untuk pergi menikmati alam di tempat wisata terdekat dengan rumah kami. Kami pun pergi memilih tempat pemandian yang ada di Bah-Biak, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Alasan kami memilihnya selain karena dekat adalah tempat ini memiliki destinasi alam yang mampu memanjakan setiap mata pengunjung.

Tempat itu dikenal dengan Air Terjun Bah Biak, air terjun yang memiliki empat aliran jatuhnya air. Ada banyak jejak sejarah yang tertinggal di tempat itu. Mesin pompa air buatan Belanda untuk dialirkan ke rumah penduduk menjadi salah satu buktinya. Air yang langsung diperoleh dari akar pohon membuat tempat indah ini terlihat alami.

Mesin pemompa air buatan Belanda/Cici Silalahi

“Baik buruk itu selalu berdampingan” begitulah kata para warga sekitar jika mereka mendapati pengunjung yang mengeluh ketika hendak turun menuju air terjun. Ada 500 tangga yang harus dijalani untuk sampai ke bawah. “Menguras tenaga memang, itu buruknya tetapi baiknya adalah setiap 100 tangga terlewati, kita akan disuguhkan oleh keindahan alam yang sangat alami.” Begitulah ucap pemuda yang menjadi pemandu wisata tempat itu.

Pemandangan dari atas tangga dengan jumlah 300 anak tangga/Cici Silalahi

Ada banyak yang akan menyegarkan mata dan jiwa, dan didukung suasana hutan yang masih terlihat gelap semakin menambah keasriannya. Ketika tangga ke 200 dilewati, maka pengunjung akan disajikan oleh pemandangan hutan yang memiliki akar pohon berair. Artinya, dari akar pohon itulah sumber air yang akan jatuh menjadi air terjun wisata alam. Nah, sebelum mencapai tangga ketiga ratus, pengunjung akan kembali diperlihatkan oleh mesin pompa air buatan Belanda. Bentuknya yang unik dengan suara yang dihasilkan sangat meyakinkan para pengunjung untuk melihatnya.

Sebelum meninggalkan tangga-tangga ini, seharusnya pengunjung akan merasa kelelahan. Namun tidak pada akhirnya karena percikan air terjun menghilangkan rasa lelah dan membasahi kerongkongan yang kian terasa kering. Sesampainya di dasar, pengunjung akan menikmati suara jatuhnya air terjun dan kesegaran alam yang begitu luar biasa sensasinya.

Di depan air terjun terdapat pula sungai yang sangat jernih dan bersih hasil terusan mata air dari tempat tinggi sebelum daerah Bah ini. Banyak kebiasaan yang dilakukan para pengunjung maupun warga di tempat ini. Saya melihat ada banyak pondok yang didirikan tepat 25 meter dari depan air terjun. Pengunjung dapat menikmati pemandangan alam yang menyegarkan sambil bersantai ria di pondok milik warga. Harganya yang terjangkau dan makanan khas yang disajikan pun semakin mendukung jiwa travel yang meronta-ronta.

“Saya kagum dengan buatan Tuhan di tempat ini. Budaya yang berbeda-beda menjadi tim pengelola kebersihan, perancang, dan penjamin protokol kesehatan. Kekerabatan dan Kerjasama serta gotong royong masih sangat kental,” gumamku.

Sebagai warga yang berada di domisili sekitar destinasi ini, saya merasa bangga dengan sikap masyarakat yang sangat membudaya. Para warga yang sering melihat pengunjung dengan berbagai budaya tidak menjadi fanatik atau terkontaminasi. Salah satu teman saya yang turut mengambil bagian sebagai tim gugus COVID-19 mengarahkan saya untuk naik ke atas lewati tangga gelap. Ternyata ada jalan pintas yang bisa sampai ketempat yang dituju melalui melalui tangga gelap.

“Dekat sih, tapi gelap. Nggak ada yang bisa dilihat-lihat. Pantas saja warga sini berprinsip baik buruk itu selalu berdampingan,” ucap ku padanya.

Tangga gelap memberi pengajaran kepada siapa saja manusia yang mau berjuang dalam mencapai sesuatu. Saya menemukan dari tangga yang belum beraturan banyak tenaga yang harus terkuras. Namun untuk mendapatkan keinginan hati dan penyegaran jiwa, saya dan teman-teman  memilih untuk terus mendaki maupun menuruni tangga ini.

Air Terjun Bah Biak ini juga dikelilingi perkebunan teh milik perusahaan negara. Wisata ini ditutupi oleh bukit-bukit perkebunan sehingga menambah kesejukan alam yang masih sangat alami. Setiap pengunjung yang berasal dari berbagai daerah pasti akan mendapatkan sajian instan untuk menyegarkan pandangan. Bisa juga dikatakan sebagai “obat refreshing.”

Terdapat tim yang akan menyambut para pengunjung. Pengunjung akan membayar Rp10.000 untuk masuk ke daerah destinasi melalui tangga gelap. Alasannya untuk pembangunan tangga yang masih tanah dan akan licin jika hujan datang. Jadi dana yang diberikan pengunjung kepada pihak pemandu wisata sudah dialokasikan kepada pembangunan. Sebenarnya wisata ini sudah lama ingin dibuka hanya karena sebelumnya daerah ini dikelilingi lahan kopi masyarakat, sehingga masyarakat tidak akan mengira daerah ini dapat dijadikan tempat pencaharian.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, banyak orang yang memiliki gawai melihat perkembangan wisata dan hal inilah yang menjadi pemicu masyarakat dan kepala daerah untuk memulai membuka dan mengembangkan tempat wisata walaupun di daerah terpencil. Menjadi kecil di tempat yang besar tidak masalah, asal tetap berusaha menyalakan pelita di tempat yang gelap dan cahaya itu sendiri yang akan memperkenalkan keistimewaannya. Demikianlah prinsip yang terus digunakan dalam budaya di daerah ini yang terdiri dari beberapa suku dan agama.

Jika hal kecil mampu memberikan peluang untuk menjadi sesuatu yang besar sekali pun proses yang dilakukan akan kontinu, mengapa kita harus memikirkan hal yang terlalu besar dengan proses yang belum kita ketahui bagaimana. Jika destinasi alam yang sederhana dapat menjadi sesuatu yang menghasilkan pembaharuan secara ekonomi, mengapa kita tidak terbuka untuk menjadi salah satu orang yang terlibat di dalamnya?

Wisata Bah di Bah-Biak memberikan tantangan kepada anak-anak muda untuk memikirkan hal-hal baru yang sederhana namun memberikan dampak yang besar bagi siapa saja yang menikmatinya. Salam kreatif anak muda yang senang mengembangkan ilmu dan wawasan dalam dirinya untuk negeri.

The post Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/feed/ 0 28688
Membuka Mata untuk Danau Toba https://telusuri.id/membuka-mata-untuk-danau-toba/ https://telusuri.id/membuka-mata-untuk-danau-toba/#respond Wed, 27 Jan 2021 06:10:09 +0000 https://telusuri.id/?p=26645 Menjelang perayaan Natal tahun lalu, mobil kami berhenti di Panatapan Sippan Saribudolok setelah menempuh hampir tiga jam perjalanan dari Pematangsiantar. Gerimis yang menemani membuat udara terasa semakin dingin, seakan menghantarkan kami untuk memilih tidur  daripada...

The post Membuka Mata untuk Danau Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjelang perayaan Natal tahun lalu, mobil kami berhenti di Panatapan Sippan Saribudolok setelah menempuh hampir tiga jam perjalanan dari Pematangsiantar. Gerimis yang menemani membuat udara terasa semakin dingin, seakan menghantarkan kami untuk memilih tidur  daripada berkeliling bukit-bukit di sekitar Danau Toba. Langit menuju gelap, rasa kecewa hampir saja tertanam karena gagal melihat senja.

Hujan semakin deras. Kami memilih untuk berteduh di rumah Bang Lingga, seorang pemilik camp site tempat mendirikan tenda. Sebagai orang Batak kami menemukan sebutan masing-masing untuk menyapanya. Secara khusus saya memiliki silsilah keturunan yang sama yaitu berasal dari Oppung Tuan Sorbadibanua dari keturunan Raja Batak, Raja Isombaon. Oleh karena beliau adalah perempuan maka dari partuturan Batak saya dari marga Silalahi, saya memanggilnya Namboru.

Pemilik rumah menyajikan minuman hangat dan kami begitu menikmatinya. Hawa dingin seketika itu hilang, seruput demi seruput kami habiskan teh tadi sembari bercengkrama. Ternyata, hangatnya sore ini mengobati rasa kecewa yang hampir menyapa karena gagal melihat matahari terbenam. Memang sih, sebelumnya Namboru menyampaikan bahwa hujan belum reda sejak siang tadi, jadi kami tak begitu kecewa.

Danau Toba

Danau Toba/Cici Ferdika Silalahi

Saat menunggu makan malam yang sedang disajikan oleh beberapa personil camping, saya bertanya kepada Namboru tentang bagaimana ceritanya tempat ini menjadi kawasan wisata Panatapan Danau Toba, Boru Lingga Sippan. Beliau lalu menjawab dengan aksen Simalungun yang sangat kental.

“Awalnya tempat ini lahan cabai. Kalau sore duduk-duduk di bukit ini terlihat indah Danau Toba itu. Ku lihat banyak yang sudah buka tempat-tempat wisata seperti Sapo Juma, tempat-tempat camping anak-anak muda yang langsung menatap Danau Toba, biarpun ladangnya sendiri yang di rombak. Lalu pakai uang masuk juga, tetapi kebersihan tetap dijaga. Jadi sekalian lah, uang kebersihan sekaligus juga uang masuk ke tempat itu dibuat. Itulah makanya kami pun berinisiatif membuka [tempat camping] di ladang ini. Begitulah..”  jelas Namboru.

“Pasti lelah sekali selama membuka lahan ini ya Namboru?” sambungku.

“Iya nang. Cuma kami berempat [yang] membuka ini. Menebang pohonnya, menanam bunga, membuat tangga-tangga itu, membangun sopo-sopo itu, dan membangun rumah ini. Dulu gubuknya ini, karena sudah dibuka penatapan di sini lalu dibangunlah rumah. Jadi di sinilah kami berjualan, berladang. Tiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu banyak anak-anak muda datang untuk rekreasi. Kalau pas  enggak ada yang datang, berladang lah Namboru di samping itu.”

“Tapi itulah enaknya kalau sering jalan-jalan ya Namboru, bisa tahu kek mana yang indah itu. Jadi inisiatif buat hal-hal baru di tempat-tempat pelosok.” ucap salah seorang teman camping.

“Kalau pigi jalan-jalan ‘kan nang, biasanya kita dengar dari orang lain dulu, mau kemana kita? Di mana tempat yang bagus dekat-dekat Danau Toba ini? Banyak yang menjawab. Artinya sudah terkenal Danau Toba ini. ‘Kan bangganya kita kalau seandainya Danau Toba dikenal banyak orang sampai seluruh dunia. Terkenal juga budaya-budaya yang ada di dekatnya. Nah, kalau cuma di tempat-tempat yang sudah dibuka itu saja yang dikunjungi orang, nggak pala  nanti tahu mereka bahwa Danau toba ini indah dan luas ternyata. Itulah alasan kami juga membuka lahan ini jadi panatapan. Yah, bersyukurlah langsung ada hari itu datang anak-anak muda 5 orang kemping ke sini. Makin semangat lah kami mempercantiknya lagi.” Sahut Namboru

Danau Toba

Danau Toba/Cici Ferdika Silalahi

Setelah hujan reda, kami bergegas mempersiapkan tenda. Sebagian lagi menyiapkan makan malam.  Saya sendiri malam itu saya kebagian bergabung dengan tim mendirikan tenda. Dinginnya udara membuat kami lambat dalam mengerjakan semuanya. Namun ada sesuatu yang membuat kami kembali bersemangat, yakni suasana malam yang mempertunjukkan  Danau Toba di malam hari. Lampu-lampu desa di sekitaran danau ini gemerlap. Makin malam, kabut menyelimuti sebagian bibir Danau Toba. Seiring itu, rasa dingin menyapa, perlahan membekukan tulang.

Danau Toba

Danau Toba/Cici Ferdika Silalahi

Pagi harinya, kami berlomba untuk melihat matahari terbit. Saya bergegas  melepaskan diri dari sleeping bed. Belum juga membuka pintu tenda, udara pagi menyeruak ke dalam vestibule. Dingin sekali. Wah, lagi-lagi kami tidak akan disambut matahari.

Meski begitu, kami tetap bersyukur karena dari bagaimanapun kondisi cuaca, Danau Toba selalu tampak berwarna; ada banyak panorama, adat, budaya, hingga bahasa yang berbaur di sini. Oh ya tak lupa warna-warni bunga-bunga dan kicau burung yang menyambut pagi kami juga patut disyukuri. Sesekali saya juga menyaksikan bagaimana mereka menghilang tertutup kabut.

Saya percaya, dengan mengedepankan kelestarian lingkungan dan juga kebersihan, alam akan mengembalikannya kembali kepada kita. Salut untuk Namboru yang tidak hanya membuka Panatapan Danau Toba ini namun juga beliau konsisten untuk mengelola tempat ini untuk tetap bersih dan ramah lingkungan.

Ketika hari ini kita berinvestasi akan kesadaran dan kemauan untuk melestarikan Danau Toba dengan menjaga kebersihan dan tidak membuka lahan dengan cara membakar hutan; lalu menjaga budaya yang terkandung di dalamnya, dan selalu berinisiatif membuka peluang tanpa merugikan alam; anak cucu akan menerimanya kelak.

Tak lupa, setelah menghabiskan waktu bermalam di sini, kami mengucapkan terimakasih kepada alam dengan mengumpulkan sampah milik kami dan membuangnya pada tempat yang sudah disediakan oleh Namboru.

Sebelum pulang, kami berpamitan kepada Namboru dan keluarga yang berinisiatif  mengembangan pariwisata berkelanjutan di sekitar Danau Toba. Kiranya Tuhan memelihara kita semua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membuka Mata untuk Danau Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membuka-mata-untuk-danau-toba/feed/ 0 26645