Cindar Bumi https://telusuri.id/penulis/cindar-bumi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 28 Jun 2022 08:54:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Cindar Bumi https://telusuri.id/penulis/cindar-bumi/ 32 32 135956295 Gunung Kelud dalam Kenangan Bulan Maret https://telusuri.id/gunung-kelud-dalam-kenangan-bulan-maret/ https://telusuri.id/gunung-kelud-dalam-kenangan-bulan-maret/#respond Wed, 04 May 2022 02:11:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33598 Di bulan Maret, saya bertemu dengan seorang kawan. Pertemuan yang tidak saya sangka setelah satu tahun tak bersua. Dalam pertemuan ini, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan wisata ke tempat yang belum pernah kami datangi sebelumnya....

The post Gunung Kelud dalam Kenangan Bulan Maret appeared first on TelusuRI.

]]>
Di bulan Maret, saya bertemu dengan seorang kawan. Pertemuan yang tidak saya sangka setelah satu tahun tak bersua. Dalam pertemuan ini, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan wisata ke tempat yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Adalah Gunung Kelud yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Blitar dan Kediri menjadi tujuannya.

Teman saya mengajak untuk berangkat pagi-pagi sekali karena ingin melihat matahari terbit. Sebenarnya saya tidak masalah dengan keinginannya, saya justru bermasalah dengan jam bangun saya di pagi hari, yang akhirnya menjadi masalah untuknya juga. Keesokan harinya kami berangkat sekitar jam sembilan pagi.

Berdasarkan pantauan peta daring, seharusnya perjalanan bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Namun pada kenyataannya, sekitar pukul satu siang, kami baru tiba lokasi. Ketika belum sampai tujuan, kami sudah merasa bengkeng dalam perjalanan. Kami bahkan sempat bergantian membawa motor. Dalam perjalanan tersebut, langit yang tadinya cerah, bahkan sangat panas, kemudian menunjukan sisinya yang lain. Kelabu. Lalu membawa rintikan air hujan, semakin deras hingga mengharuskan kami berteduh di sebuah warung.

Jalanan menuju Kelud/Cindar Bumi

Di sana kami memesan teh hangat, rasa manis sekali. Kami sempat berinteraksi dengan pemilik warung, ia bertanya mengenai tujuan kami. Aku menjawab, “Kami mau ke Wisata Gunung Kelud, Bu.” Ibu pemilik warung tersebut dengan raut wajah keheranan menimpali dengan kaget, “Walah! Kalau lewat sini kejauhan. Masih satu jam dari sini, tapi kalau mau putar balik ya sayang aja karna tetap terhitung jauh.”

Kami hanya bisa tersenyum.

Kami berdua duduk sembari menunggu hujan reda. Selagi suara hujan masih menjadi pengiring percakapan kami di warung itu, kami sesekali juga memandangi uap teh yang ke sana kemari lalu menghilang di udara begitu saja. 

Hujan mulai reda, kami melanjutkan perjalanan. Karena tidak punya banyak pilihan, kami tetap melanjutkan perjalanan melalui rute yang sudah kami pilih ini. Ya sudah, mau gimana lagi?

Sembari menaruh kepercayaan kepada peta Google, kami menyusuri jalanan Kabupaten Blitar. Kami juga terus mengobrol. Sesekali, Hati-Hati di Jalan yang dinyanyikan oleh Tulus terngiang di telinga.

Kami melewati sebuah desa yang asri, namun tak ingat nama desa ini. Kami juga melewati sebuah daerah yang di kanan-kiri jalan penuh dengan tumbuhan buah nanas. Ini pertama kalinya saya melihat tanaman nanas.

Saking percayanya sama peta daring, teman saya enggan bertanya pada warga sekitar arah ke Gunung Kelud. Hingga kami sampai pada sebuah jalan yang tak beraspal. Tanah liat becek. Kami juga melewati jalan berpasir yang dilalui oleh truk muatan tanah. Dalam kondisi seperti ini, saya mendapat giliran untuk mengendarai motor.

Baterai ponsel yang dari rumah terisi penuh, kala itu menunjukan angka 35% sesaat sebelum akhirnya kami memutuskan bertanya kepada penduduk sekitar. Usai mendapatkan titik terang, perjalanan berlanjut ke kawasan area wisata Gunung Kelud. Di sana banyak sekali penjual nanas. Harganya bervariasi, mulai dari Rp5.000 per ikat sampai Rp15.000 tergantung ukuran nanas. Banyak yang mengatakan bahwa nanas Kelud rasanya lebih manis dan segar. Saya belum sempat mencobanya.

Biaya untuk masuk wisata Gunung Kelud pada saat itu per orang sekitar Rp12.000. Dari loket tiket ke Gunung Kelud jaraknya masih cukup jauh. Butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit untuk tiba di area parkir.

Parkiran mobil/Cindar Bumi

Parkiran mobil terletak pada bagian pertama. Di tempat parkir mobil ini pengunjung dapat membeli aneka makanan mulai dari makanan ringan hingga berat. Tersedia pula sate, bakso, soto, mie, nasi pecel untuk santap siang. Lalu, area parkir motor berada tak jauh dari sana. Waktu tempuhnya sekitar tiga sampai empat menit. Di sini tak ada warung. 

Untuk bisa sampai ke kawasan puncak Gunung Kelud, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, dengan jalan kaki dengan durasi sekitar 30-60 menit, tergantung kecepatan jalan masing-masing orang. Kedua, menggunakan ojek pulang-pergi dari parkiran sampai ke Puncak Kelud dengan tarif Rp25.000.

Jalan sudah beraspal, namun ada beberapa bagian yang belum. Pengelola membuat aliran air supaya ketika hujan, jalan tidak becek. Jalan juga tidak terlalu curam, bisa untuk treking tipis-tipis bagi kalian yang suka melakukan pendakian.

Hamparan bukit/Cindar Bumi

Kami memilih untuk jalan kaki sambil menikmati pemandangan. Hari itu sedang tidak banyak pengunjung, dalam perjalanan kami hanya menjumpai sekitar tiga rombongan. Dari sana, kami bisa melihat kota dari ketinggian, gunung, tebing, dan perbukitan. Sepanjang perjalanan, gerimis mengiringi. Sesekali kami singgah ke gazebo yang tersedia sembari beristirahat. Sesekali pula kami bertemu dengan bunga edelweiss yang tumbuh di pinggir jalan.

Setelah satu jam, barulah kami tiba di puncak. Selain terowongan yang menjadi rumah kelelawar, Danau Kawah Kelud tampak menawan dari sini. Berkali-kali berhenti, membuat waktu tempuh perjalanan bertambah. Sayangnya, ponsel saya mati saat itu. Tak banyak dokumentasi yang terabadikan. Sisa baterai yang ada akan digunakan untuk akses peta perjalanan pulang. Namun hikmahnya, perjalanan kala itu jadi lebih bermakna karena kami tidak sibuk dengan gawai masing-masing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Kelud dalam Kenangan Bulan Maret appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-kelud-dalam-kenangan-bulan-maret/feed/ 0 33598
Perjalanan ke Gunung Butak https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/#respond Fri, 03 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31514 Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman....

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
Kedua kalinya saya mendaki, kali ini saya bersama teman-teman mendaki ke Gunung Butak yang terletak di antara Kabupaten Malang dan Blitar. Sebelumnya saya tidak ada rencana untuk trekking, karena sudah mau pulang ke kampung halaman. Tapi kapan lagi saya akan melakukan trekking jika tidak mengiyakan ajakan ini. Hampir saya menolak, tapi lebih banyak niat untuk mengiyakannya, kemudian saya melakukan negosiasi dengan orang tua. Barulah saya bergegas untuk ikut.

Rombongan kami berjumlah tujuh orang, tiga perempuan dan empat laki-laki. Kami berangkat dari Kota Malang dengan titik kumpul di daerah Tlogomas, rencana untuk kumpul ialah jam 06.30. Tapi seperti biasalah jam kami, adalah jam karet. Terdapat beberapa hal sehingga kami tidak tepat waktu, sehingga kami semua baru sampai di titik kumpul sekitar jam 08.30. Kemudian kami melakukan perjalanan untuk ke basecamp, dan tiba pukul 09.30. Sesampainya kami sampai di basecamp, kami melakukan pendaftaran dan packing ulang, karena ada beberapa barang yang harus di tata kembali. Tiket masuk untuk satu orang seingat saya adalah Rp15.000.

Pendakian dimulai kurang lebih pukul 10.00. Sebelum perjalanan mendaki kami melakukan doa bersama. Sebelumnya, tidak ada satupun dari kami yang pernah menuju Puncak Butak, sehingga kami masih buta tentang trek untuk menuju puncak dan kami mengandalkan peta yang sudah kami foto di basecamp.

Peta Gunung Butak
Peta Gunung Butak/Cindar Bumi

Ketinggian Gunung Butak 2.868 Mdpl, medan pertama yang kami lewati merupakan batuan kecil-kecil dan banyak pohon bambu, pisang dan sedikit tanaman pertanian, mungkin kurang lebih sekitar tiga puluh menit perjalanan kami nyasar. Ya, ini kesalahan kami memilih jalur kanan, yang harusnya ke kiri. Kami baru tahu kalau jalan yang kami lewati salah karena bertemu dengan seorang bapak-bapak sedang mengendarai motor dan membawa hasil ngarit rumput.

Beliau mengatakan bahwa “Mas-Mbak sampean nyasar kalau lewat sini, karena kalau lewat jalan ini, nanti tembusannya wisata Coban Rondo,” ketika kami tahu, bahwa kami salah jalan ya kami hanya tertawa dan mungkin semua ngebatin “Kok bisa sih, gimana ini yang baca peta?” Tapi tidak apa, rasanya juga sama semua mulai lelah, letih dan lesu. Tertawa lagi dan lagi sembari jalan putar balik, lanjut menelusuri jalan kesalahan untuk menuju jalan yang benar. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini, ini konsekuensi pilihan kami.

Lanjut perjalanan saat itu matahari sedang terik-teriknya. Kami tetap harus menjaga semangat untuk sampai di puncaknya nanti, begitu juga turunnya. Menuju Butak terdapat empat pos, untuk menuju pos pertama estimasi waktu yang diperlukan adalah satu jam, namun kami menempuh dengan waktu dua jam, waktu terpotong karena sempat nyasar.

Perjalanan untuk menuju pos satu, semakin terik semakin terasa pula jauhnya, entah kenapa kami tidak sampai-sampai. Padahal kami terus berjalan, meskipun sering istirahatnya. Jargon atau motivasi kami untuk menuju pos satu adalah “semangat di depan ada es teh”.

Sesampainya kami di pos satu, disana kami melakukan makan siang dengan nasi pecel yang sudah dibawakan oleh salah satu anggota kami, setelah makan ada yang menunaikan ibadah dan menyeduh minuman saset rasa jeruk yang airnya berasal langsung dari sumber mata air. Suasana di pos satu, waktu itu tidak ramai oleh pendaki, hanya terdapat dua kelompok pendaki, mungkin kurang lebih satu kelompok berisi empat sampai lima personil, mereka juga akan melakukan perjalanan menuju Puncak Butak.

Di pos satu terdapat renovasi rumah-rumahan yang mungkin akan dijadikan tempat untuk persinggahan bagi para pendaki untuk melakukan istirahat. Saat kami istirahat di sana terlihat beberapa monyet yang sedang memperhatikan para pendaki, beberapa diantaranya duduk-duduk di atas pohon dan beberapa di pelataran pos satu.

Saat di pos satu kami diberitahu oleh salah satu penjaga warung bahwa jangan memberi makan monyet-monyet di sini, jika mau makan usahakan tidak ada monyet yang mengetahui, supaya makanan tidak direbut. Tujuan dari tidak diperbolehkannya memberi makan monyet adalah dikhawatirkan nantinya mereka akan mengambil atau menjadi terbiasa meminta makanan para pendaki. Di pos satu ini kami akhirnya menitipkan beberapa botol minuman, karena bekal air minum yang kita bawa terlalu banyak.

Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan
Gunung Panderman yang terlihat saat kami perjalanan/Cindar Bumi

Lanjut perjalanan menuju pos dua, belum ada lima belas menit kami berjalan. Terdapat dua teman saya yang kakinya kram, sehingga kami sering berhenti. Kram kaki mereka bisa jadi disebabkan oleh kebanyakan minum es, atau mungkin beban yang dibawa terlalu berat. Saat sampai di pos dua kami disini dapat melihat pemandangan Gunung Panderman.

Perjalanan menyusuri untuk sampai pos tiga merupakan perjalanan yang amat panjang, benar-benar panjang. Kami harus melalui Torong Dowo atau Hutan Lumut. Cahaya yang masuk di hutan lumut tidak begitu banyak, sehingga cahaya sedikit redup, redupnya cahaya ini semakin membuat hutan terlihat hijau namun gelap. Kanan-kiri banyak pepohonan dan bebatuan yang diselimuti oleh lumut, karena cahaya hanya sedikit yang masuk, rasa dingin sudah mulai terasa. 

Hari mulai gelap, sekitar pukul 17.30, kami masih belum sampai puncak atau sabana tempat yang merupakan destinasi untuk membangun tenda, estimasi yang kita gunakan sangat tidak tepat, alias meleset dari rencana. Semakin gelap, semakin lelah terasa, baru jalan dua menit, kami istirahat bisa menghabiskan lima sampai sepuluh menit, dan menurut saya medan semakin tinggi.

Kabut juga sudah mulai berdatangan, matahari mulai terbenam dan kami berjalan menggunakan senter dan flash ponsel masing-masing. Dalam benak saya yang benar-benar lelah “Saya bakal sampai puncak enggak ya?”

Lanjut berjalan, hingga kami memutuskan untuk membangun dua tenda di pos tiga, di sana yang laki-laki mulai melakukan pekerjaan domestic yaitu memasak makanan dan membuat minuman hangat. Sedangkan kami yang perempuan hanya berdiam diri di tenda. Ketika kami yang perempuan ingin membantu, mereka yang laki-laki bilang Udah nggak usah, di tenda saja!”

Menyenangkan, tapi agak merasa jadi beban juga, sebenarnya kami ingin melanjutkan lagi perjalanan sampai pos terakhir, tapi salah satu ketua pendaki veteran kita bilang “Udah besok saja, resikonya terlalu banyak, ini udah gelap, gerimis, dan kabut”. Oke tidak masalah, setelah kami makan malam, kami istirahat.

Keesokan harinya, saya merasa suhu udara sangat dingin, akhirnya saya menggunakan empat jaket, satu vest, tiga kaos kaki, dan sarung tangan tebal. Setidaknya ini membantu saya sedikit lebih hangat. Hari itu saya benar-benar ingin sekali matahari menampakan dirinya, agar saya merasakan hangatnya. Namun sayang sekali, mendung. Semakin mendekati puncak, angin semakin kencang. Saat menuju ke pos terakhir, saya benar-benar banyak berhentinya. Sampai akhirnya tas yang seharusnya menjadi kewajiban untuk saya bawa, dibawakan oleh rekan saya.

Bunga Edelweiss
Bunga Edelweiss/Cindar Bumi

Mau nangis rasanya saat benar-benar merasakan kedinginan, mungkin ini lebay, tapi memang dingin sekali.  Ada sesuatu yang membuat saya menjadi sedikit lebih semangat waktu itu, saya diberikan kesempatan oleh Tuhan melihat bunga edelweiss yang mulai bermekaran. Di sini saya baru tahu bahwa tanaman edelweiss ini bisa tinggi, mungkin tiga sampai lima meter. Entah kenapa rasanya senang saja, ketika melihatnya. Mood saya seketika membaik.

Sesampainya di puncak Cemoro Kandang atau Sabana sekitar pukul 09.00, kami membangun satu tenda untuk beristirahat. Menyalakan kompor untuk memasak sarapan sekaligus makan siang, lalu tak ketinggalan untuk mendokumentasikan perjalanan ini.

Sekitar pukul 12.00 kami mulai membereskan peralatan masak dan tenda. Sekali lagi sangat-sangat sayang, kami semua tidak ada yang summit menuju Puncak Butak, karena kami sudah terlanjur tepar terlebih dahulu. Kami juga menyimpan energi untuk turun ke basecamp.

Perjalanan turun memang lebih cepat nyatanya, tapi kami sampai di pos satu hari sudah mulai gelap. Saat itu juga, alam ini sedang kurang bersahabat ya dengan kami. Ketua pendaki kami selalu mengatakan “Sebentar lagi kita sampai basecamp, dengarkan ada suara adzan, lihat ada lampu, itu rumah penduduk, di sana ada warung!” Kalimat motivasi tapi sungguh menyebalkan. Karena kalau capek ya capek aja, tapi terima kasih ketua sudah memberi semangat kami. 

Meskipun tidak sampai puncak, tapi terima kasih telah membuat kenangan dengan perjalanan yang panjang meninggalkan kenangan manis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Perjalanan ke Gunung Butak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-gunung-butak/feed/ 0 31514
Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/ https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/#respond Sat, 22 May 2021 03:07:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27949 Sudah lama rasanya saya tidak berkunjung ke Kota Tulungagung untuk menjelajahi pesona yang ada di sana, rasanya kangen sekali tapi apa daya. Saat memiliki rencana berwisata, dunia sedang berperang melawan pandemi COVID-19 yang sampai saat...

The post Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah lama rasanya saya tidak berkunjung ke Kota Tulungagung untuk menjelajahi pesona yang ada di sana, rasanya kangen sekali tapi apa daya. Saat memiliki rencana berwisata, dunia sedang berperang melawan pandemi COVID-19 yang sampai saat ini juga belum usai, dan entah sampai kapan. Mari kita berdoa agar COVID-19 segera hilang dari muka bumi ini. 

Awal pandemi saya rasa banyak sekali peraturan yang harus diterapkan agar dapat memutus persebaran COVID-19, misalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berjaga jarak minimal satu meter, menggunakan masker, Work From Home (WFH,) dan masih banyak lagi.

Saat awal pandemi saya merasa seperti burung yang dimasukan dalam kandang dan tidak bisa kemana-mana, dengan kegiatan yang itu-itu saja. Alias makan, tidur, scrolling sosmed, menonton, kelas daring yah ya begitu-begitu saja. Memang membosankan, tapi mau bagaimana lagi semua dilakukan karena untuk menghambat persebaran COVID-19. Pasti juga tidak hanya saya yang bosan dalam melakukan aktivitas yang itu-itu saja, apalagi bagi mereka yang suka traveling atau kegiatan yang berada di luar rumah. Pariwisata misalnya, sempat ditutup sementara sampai keadaan memang sudah benar-benar membaik.

Sampai akhirnya ada kebijakan new normal pada saat itu, sehingga kita dapat menjalankan kegiatan asalkan sesuai dengan protokol kesehatan, tahun pertama saat awal pandemi saya memang tidak kemana-mana hanya dirumah saja. Namun pada tahun ini alias 2021 saat ramadhan, saya memiliki keinginan untuk berkunjung ke Tulungagung.

Senang sekali rasanya, akhirnya bisa keluar dari kandang, saat menuju Kota Tulungagung saya berangkat dengan menggunakan transportasi umum, yaitu kereta. Setelah hampir satu tahun setengah saya tidak bepergian dengan menggunakan kereta, dan pada saat itulah saya meneteskan air mata karena terharu bisa menaiki kereta lagi. Tak apa deh dikata norak tapi itu memang yang saya rasakan. 

Saat tiba di Tulungagung saya singgah di rumah sahabat terbaik saya sejak saya SD kelas lima, saya menginap di sana dalam kurun waktu yang cukup lama. Ya sambil melepas rindu karena memang sudah lama tak bertemu. Saat-saat bulan puasa seperti ini aktivitas kami ya hanya di rumah saja sambil menonton film dari platform kesayangan kami.

Wisata Kuliner PINKA/Cindar Bumi Putri W

Menjelang sore hari adalah waktu yang kami tunggu-tunggu karena saatnya kita ngabuburit dan mencari takjil di daerah pinggir kali, atau warga lokal menyebutnya dengan PINKA. PINKA ini merupakan tempatnya kaum kawula muda untuk hanya sekedar nongkrong, jogging, dan berfoto-foto. Meskipun tongkrongan didominasi oleh anak muda, di sana juga ada taman bermain untuk anak kecil. Ada ayunan, jungkat-jungkit, dan pelbagai permainan lain yang bisa dinikmati pada pagi-siang-sore hari. 

Pemandangan kali/Cindar Bumi Putri W

Meskipun hanya pinggiran kali, tapi ada hal yang sangat menarik. Tempat ini merupakan tempat wisata kuliner, banyak sekali jenis makanan tersaji. Dari makanan ringan hingga berat semua ada di sana. Sejauh pengamatan saya para penjual menjual aneka jajanan tradisional seperti getuk, cenil, onde-onde, dan kue basah maupun kering. Ada juga penjual sayur (yang sudah dimasak tentunya). Tidak kalah penting lagi nih untuk kalian yang suka nyemil-nyemil di sini banyak penjual pentol, tahu mercon, batagor, cireng, seblak, dan masih banyak lagi. Intinya semua makanan tersedia dari yang gurih, manis, dan pedas. Perut tiba-tiba jadi lapar!

PINKA memiliki tempat yang berseberangan dengan terpisahkan. Adalah sebuah sungai yang masing-masing dihiasi oleh banyaknya orang jualan. Di sini juga terdapat Warkop Sor Trembesi—warung kopi di bawah pohon trembesi, karena lapaknya persis berada di bawah pohon trembesi.

Gerobak jualan yang masih tutup/Cindar Bumi Putri W

Saat sore pada bulan puasa seperti ini, PINKA sangatlah ramai. Bagaikan lautan manusia. Masyarakat berbondong-bondong berburu takjil. Karena itulah saya lebih senang jalan-jalan ke PINKA kala siang hari karena tidak terlalu ramai. Meski begitu, tentu saja banyak penjual yang menutup lapaknya. Tak apa, karena tujuan saya adalah melepas penat dan mengobati kerinduan dengan kota Tulungagung ini. 

Suasana PINKA pada saat malam hari seperti alun-alun, iya karena makin banyak orang yang berjualan disana, serta disana juga tersedia wahana permainan yang dapat dinikmati oleh anak kecil seumur TK-SD seperti odong-odong, kereta api dan mandi bola. 

The post Tempat Wisata Kuliner Pinggir Kali di Tulungagung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pinka-wisata-pinggir-kali-tulungagung/feed/ 0 27949
Perjumpaan Pertama dengan Ranu Kumbolo https://telusuri.id/perjumpaan-pertama-dengan-ranu-kumbolo/ https://telusuri.id/perjumpaan-pertama-dengan-ranu-kumbolo/#respond Tue, 15 Oct 2019 10:07:59 +0000 https://telusuri.id/?p=18042 Agustus 2019 kemarin, saya diajak teman untuk trekking ke Ranu Kumbolo. Sebelum menerima ajakan itu, banyak pertimbangan yang berseliweran dalam kepala saya. Maklum, ini bakal jadi trekking perdana bagi saya. Tapi, akhirnya saya mengiyakan juga....

The post Perjumpaan Pertama dengan Ranu Kumbolo appeared first on TelusuRI.

]]>
Agustus 2019 kemarin, saya diajak teman untuk trekking ke Ranu Kumbolo. Sebelum menerima ajakan itu, banyak pertimbangan yang berseliweran dalam kepala saya. Maklum, ini bakal jadi trekking perdana bagi saya. Tapi, akhirnya saya mengiyakan juga.

Jam 6 pagi di hari yang ditentukan, saya dan teman-teman berangkat dari Kota Malang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kami berdelapan—dua perempuan dan enam laki-laki—konvoi naik motor selama dua jam.

Setiba di base camp pendakian, kami melapor. Barang-barang bawaan kami dicek dan didata untuk memastikan bahwa kami trekking dengan bekal yang layak dan (nantinya) tidak meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Lalu kami di-briefing soal banyak hal, dari mulai peraturan dan larangan, tentang flora dan fauna dilindungi, fauna dilindungi yang aktif di malam hari, pohon-pohon berkain yang dikeramatkan di sekitar Ranu Kumbolo, dll. Pengarahan itu lumayan lama, sekitar setengah jam.

ranu kumbolo
Foto bersama di gapura Gunung Semeru/Cindar Bumi

Sekira jam 9 pagi, kami memulai petualangan. Estimasi waktu tempuh perjalanan menuju Ranu Kumbolo ialah empat sampai lima jam. Meskipun perjalanan itu akan berlangsung lama, saya merasa sangat antusias dan bersemangat. Rasa ragu tak ada lagi dalam benak saya, sudah hilang disapu indahnya pemandangan yang saya lihat dari tadi.

Tapi, baru lima belas menit berlalu, saya sudah merasa benar-benar lelah. Tenaga saya begitu terkuras oleh jalanan yang menanjak dan berdebu itu. Rasa ragu yang tadi hilang kembali muncul: apakah saya bisa tiba di Ranu Kumbolo? Saya tak enak hati mengutarakan keraguan saya pada teman-teman, enggan membuat mereka kecewa.

Untungnya kami sering istirahat, entah di tanah berdebu atau rerumputan. Untuk menawar lelah, kami juga selalu bersenda gurau. Dalam perjalanan seperti ini, kelakar-kelakar yang dilempar bisa jadi bahan bakar untuk menjaga semangat.

ranu kumbolo
Ranu Kumbolo tampak dari Tanjakan Cinta/Cindar Bumi

Mungkin pendaki-pendaki veteran yang membaca tulisan ini akan bilang saya norak. Tapi, saya kagum sekali melihat interaksi para pendaki. Ketika berpapasan, para pendaki selalu saling sapa dan melontarkan kalimat-kalimat penyemangat: “Semangat, Mbak dan Mas. Sebentar lagi sudah sampai,” atau, “Ayo, sedelut maneh sampek. Wes karep ngarep.

Pendaki yang pendiam, atau terlalu “ngap” untuk bicara, akan menyapa dengan wajah ramah dan senyuman.

Hal lain yang bikin saya bersemangat adalah di beberapa pos—untuk ke Ranu Kumbolo kami harus melewati empat pos yang jaraknya jauh-jauh—ada penjual makanan, minuman, dan obat-obatan ringan. Di salah satu pos, kami mendapati lapak yang menjual buah semangka merah dan kuning, yang masing-masing sepotongnya dijual Rp2.500 dan Rp3.000. Teman-teman saya mengatakan bahwa rasa semangka di sana lebih manis dan segar, beda dari rasa semangka-semangka yang pernah mereka coba sebelumnya.

Tenda-tenda di Ranu Kumbolo/Cindar Bumi

Saya dan teman-teman akhirnya sampai di Ranu Kumbolo sekitar jam 4 sore. Kami tak langsung memasang tenda, melainkan duduk-duduk dulu untuk menikmati senja. Setelah hari mulai gelap, baru kami mencari lahan kosong yang cukup untuk tiga tenda. Begitu tenda terpasang, kami memasak mi dan meracik minuman hangat.

Saat kami tiba, tenda belum begitu banyak. Namun, semakin malam, tepian Ranu Kumbolo semakin meriah oleh tenda.

Jam 8 malam, ketika menengadah ke langit, saya melihat milky way yang tampak elok meskipun harus berebut panggung dengan bulan dan gemintang. Malam itu saya benar-benar bersyukur sekali karena sudah mengambil keputusan untuk menerima ajakan trekking ke Ranu Kumbolo, sambil berharap akan diberikan kesempatan sekali lagi untuk ke sana suatu hari nanti.

Karena hawa makin dingin, saya lapisi badan dengan jaket, celana tumpuk tiga, kaus kaki tumpuk empat, dan sarung tangan dua lapis. Jam 10 malam kami sudah istirahat dalam tenda. Tapi, sampai jam 1 dini hari, saya tak bisa tidur nyenyak karena kaki saya kram. Untuk mengatasinya, saya oleskan minyak tawon di kaki—ampuh!

ranu kumbolo
Para pendaki sedang mengemasi tenda di pinggir Ranu Kumbolo/Cindar Bumi

Saya baru bisa tidur nyenyak jam 2 dini hari. Lucunya, teman-teman saya malah banyak yang terbangun selepas saya tidur. Menurut cerita mereka, suhu saat itu mencapai 8˚C. Tapi saya tak merasakannya karena saya sudah tidur pulas disponsori minyak tawon.

Pagi-pagi, kami bersama-sama menyambut matahari—sekalian foto-foto tentunya. Ranu Kumbolo pagi-pagi begini indah sekali. Ada kabut putih menggelayut rendah di atas permukaan danau.

Matahari makin naik dan kami makin lapar. Kami pun kembali ke tenda dan memasak dengan kompor kecil. Karena persediaan air menipis, kami menggunakan air danau untuk memasak. (Kami juga meminum air danau yang tak direbus, yang secara mengejutkan ternyata benar-benar segar.)

Kami bermalas-malasan dalam tenda sehabis makan. Sekitar jam 11 siang, kami mengemasi barang bawaan dan bersiap-siap untuk turun ke base camp. Berangkat tengah hari, kami tiba di base camp sekitar jam 4.30 sore lalu bergegas pulang ke Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjumpaan Pertama dengan Ranu Kumbolo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjumpaan-pertama-dengan-ranu-kumbolo/feed/ 0 18042