Clementina HB Putri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/clementin-hb-putri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:05:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Clementina HB Putri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/clementin-hb-putri/ 32 32 135956295 Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/ https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/#respond Wed, 21 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47090 “Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa...

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>

“Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan.”

Sebelumnya, saya telah membaca dua buku karya Leila S. Chudori, yaitu Laut Bercerita dan Namaku Alam. Kedua buku ini berhasil membawa saya tenggelam dalam perasaan pahit dan situasi mencekam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.

Setelah membaca keduanya, saya memutuskan untuk membagikan pandangan saya tentang Pulang. Sebuah karya yang kembali mengajak saya menyelami kerinduan yang mendalam. Bukan sekadar keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran, melainkan juga usaha menemukan kembali bagian diri yang hilang dalam perjalanan hidup.

Buku ini bercerita tentang Dimas Suryo, seorang jurnalis yang terpaksa mengungsi ke Paris setelah peristiwa 1965, yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Peristiwa tersebut mengubah hidupnya secara drastis, memaksanya meninggalkan tanah air dan hidup dalam keterasingan. Melalui perjalanan Dimas dan tokoh-tokoh lainnya, Leila S. Chudori menggali esensi kerinduan terhadap tanah air, pencarian identitas, dan keterasingan yang tak terhindarkan.

“Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/ akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati.” (Pulang, Jakarta, 10 Juni 1998)

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Kutipan dalam bab Epilog/Clementina HB Putri

Rindu yang Hidup dalam Kenangan

Pulang bukan hanya tentang pengasingan fisik, melainkan juga tentang pengasingan emosional. Meskipun Dimas tinggal jauh di Paris, kerinduannya terhadap Indonesia tak pernah padam. Baginya, tanah air bukan sekadar lokasi geografis, melainkan juga bagian dari dirinya—menyatu dalam ingatan, kenangan, dan identitas. Kerinduan itu begitu nyata ketika Dimas mengingat rumah, keluarga, dan teman-temannya yang tertinggal di Indonesia. Meski Paris menawarkan kebebasan, rasa terasing dan kesepian tetap menghantuinya.

Ada satu kutipan yang sangat menggugah hati saya: “…entah bau tanahnya setelah terkena rintik hujan, atau buah-buahan tropis yang ganjil bentuk dan warnanya, atau perempuan Solo yang berbicara dengan ritme begitu lamban dan berirama, atau tukang becaknya yang otoriter dengan telunjuk mengacung ke atas setiap kali hendak menyebrang jalan hingga kendaraan berhenti dengan patuh” (hal. 231).

Kutipan ini menangkap bagaimana rindu seringkali hadir dalam hal kecil dan sederhana. Tidak sekadar nostalgia akan tempat, tetapi juga suasana dan pengalaman nyata yang berbentuk kenangan. Sebagai anak rantau, saya merasakan hal serupa. Rindu yang datang tanpa aba-aba, mungkin dari suara angin, aroma tertentu, atau sekadar kilasan pemandangan yang membangkitkan memori akan rumah. Rindu itu tak pernah benar-benar pergi, karena ia hidup dalam hal-hal kecil yang terus menghubungkan kita dengan tempat yang kita cintai.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Bagian cerita yang menggugah saya soal pengetahuan Dimas tentang tanah airnya/Clementina HB Putri

Menjelajahi Kerinduan Dimas Suryo

Kerinduan Dimas bukan hanya tentang Indonesia sebagai tempat, melainkan juga tentang masa lalu yang tak bisa kembali. Ia bertanya-tanya, apakah Indonesia yang ia rindukan masih ada? Atau apakah tanah airnya telah berubah menjadi sesuatu yang asing? Perasaan ini begitu mendalam, karena meskipun ia tinggal di Paris, kebebasan yang ada di sana tidak bisa menggantikan perasaan kehilangan yang menghantuinya.

Salah satu kutipan yang menurut saya menggambarkan perasaan Dimas dengan sangat tepat itu ada di halaman 74: “Jika di pinggiran Peking Merah berarti bahagia atau revolusioner, maka untuk warga Indonesia berarti warna sungai dan darah yang mengalir sia-sia.”

Di sini, merah bukan hanya warna, melainkan juga simbol luka sejarah yang membekas. Dimas menyaksikan bagaimana perubahan di Indonesia terjadi secara drastis, menghapus banyak hal yang dulu ia kenal dan cintai. Ia merindukan Indonesia yang penuh harapan, tetapi kini ia harus menerima kenyataan bahwa tanah airnya telah berubah. Ini adalah pengalaman universal bagi siapa pun yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya dan kembali untuk menemukan bahwa semuanya tak lagi sama.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Catatan penting di halaman 74/Clementina HB Putri

Sejarah yang Membatasi Kerinduan

Salah satu kekuatan terbesar dalam buku Pulang adalah bagaimana Leila S. Chudori meramu kerinduan ini dalam konteks sejarah Indonesia. Dimas tidak hanya terpisah secara fisik dari Indonesia, tetapi juga oleh peristiwa politik yang mengubah segalanya.

Peristiwa 1965 membuatnya terusir, dan ketika ia kembali, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa sejarah telah membentuk ulang tanah airnya, membuatnya terasa asing bahkan bagi mereka yang pernah tinggal di sana. Sesuai dengan kutipan pada halaman 287: “Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.”

Sejarah menciptakan batas antara mereka yang “dapat kembali” dan mereka yang tidak lagi diakui sebagai bagian dari Indonesia. Dimas dan banyak tokoh lain dalam buku ini hidup dalam keterasingan yang tidak mereka pilih, menjadi korban dari narasi sejarah yang membungkam banyak suara.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Latar sejarah kelam Indonesia membuat cerita novel ini begitu kuat/Clementina HB Putri

Pulang: Lebih dari Sekadar Kembali

Dalam Pulang, Leila S. Chudori menunjukkan bahwa pulang bukan hanya soal kembali ke tempat yang kita tinggalkan. Pulang juga berarti menghadapi kenyataan bahwa tempat itu mungkin telah berubah, dan kita pun sudah berbeda. Dimas harus menerima bahwa rumah yang ia rindukan mungkin tak lagi ada, atau setidaknya tak seperti yang ia ingat.

Leila S. Chudori menggambarkan perjalanan Dimas sebagai perjalanan batin yang penuh ambivalensi. Kerinduan yang ia rasakan bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang identitas yang terpecah antara dua dunia yang sangat berbeda. Pulang, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar perjalanan fisik—melainkan upaya memahami diri sendiri dalam sejarah yang telah mengasingkan dirinya.

Bagi Dimas, dan bagi banyak orang yang mengalami keterasingan akibat sejarah, pulang adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai. Meskipun ia kembali ke Indonesia, ia tetap terombang-ambing antara masa lalu dan masa kini, antara harapan dan kenyataan. Pulang adalah kisah tentang rindu yang tak pernah mati, tentang mencari rumah dalam diri sendiri, dan tentang menerima bahwa terkadang, rumah yang kita cari mungkin sudah berubah atau bahkan tak lagi ada.

Leila S. Chudori dengan cermat menggambarkan perjalanan batin ini dengan sangat mendalam. Buku ini mengajak kita merenungkan arti rumah, tanah air, dan identitas—serta bagaimana sejarah membentuk perasaan kita terhadap tempat yang kita sebut rumah.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Cetakan Pertama: Desember 2012
Cetakan Keduapuluh Enam: Desember 2023
Cetakan Keduapuluh Tujuh: Februari 2024
Penyunting: Christine M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tebal: xiv + 461; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-602-424-275-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/feed/ 0 47090
Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/ https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/#comments Mon, 10 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45597 “Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi...

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan bangga.”

Saya cukup mengenal sampul merah buku Perempuan Di Titik Nol, yang sering saya dapati di sejumlah kawan semasa kuliah kurang lebih tujuh tahun lalu. Saya hanya membaca beberapa halaman saja, itu pun saya pinjam secara gratis dari sebuah komunitas baca di Sulawesi. Entah kenapa, tetapi buku itu tidak saya baca tuntas.

Di tahun 2024, saya kembali melihatnya sering melewati beranda Instagram saya. Rasa penasaran itu muncul kembali, ditambah memang sedang berencana membeli beberapa buku di Buku Akik Jogja. Akhirnya Perempuan Di Titik Nol jadi salah satu buku yang saya adopsi saat itu.

  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”

Membaca Nawal el-Saadawi yang Tajam dan Penuh Empati

Membaca kembali terjemahan karya Nawal el-Saadawi di kedai kopi favorit, perasaan saya campur aduk. Buku ini berukuran mini, tidak terlalu tebal. Namun, sampulnya sudah memberi saya sedikit gambaran betapa berat kisah di dalamnya. Saya sudah banyak mendengar tentang betapa menggugahnya cerita ini, tetapi tetap saja, saya tidak sepenuhnya siap untuk perjalanan emosional yang akan saya hadapi. Namun, akhirnya saya tidak tertahankan untuk membacanya.

Baru halaman pertama, saya langsung tertarik dengan gaya penulisan Nawal. Ia langsung mengajak saya memasuki dunia yang gelap dan penuh penderitaan. Nawal dengan tajam menggambarkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari patriarki, penindasan, hingga kebijakan sosial yang menekan perempuan. Meski demikian, ada sisi positif yang muncul: kegigihan bertahan hidup, keinginan menemukan kebebasan, dan tentu saja, keberanian berbicara. Gaya penulisan Nawal sangat tegas dan penuh empati, membuat saya bisa mengalami perasaan Firdaus, tokoh utama buku ini, tanpa harus melalui pengalaman yang sama. Buku ini juga penuh dengan kritik sosial yang relevan, baik masa dulu maupun sekarang.

Firdaus adalah perempuan Mesir yang sejak kecil sudah hidup dalam kekerasan dan ketidakadilan. Sejak awal cerita, Firdaus dijadikan narator yang menceritakan perjalanan hidupnya dalam bentuk monolog kepada seorang psikiater di penjara, tempat ia menunggu hukuman mati. Firdaus bukan sekadar perempuan biasa; ia adalah simbol dari banyak perempuan di dunia yang terpaksa berjuang untuk bertahan hidup di tengah penindasan dan kekerasan yang diterima tanpa ampun.

Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya, yang sangat kasar, kerap melakukan kekerasan terhadap ibunya, hingga ibunya meninggal dunia. Sejak kecil, Firdaus sudah menyaksikan kekerasan tersebut, dan tanpa tahu mengapa, ia merasa bahwa hidupnya tidak jauh berbeda dari penderitaan yang dialami oleh ibunya. Ketika ayahnya meninggal, Firdaus dipindahkan ke rumah paman yang lebih buruk lagi perlakuannya. Sang paman mengabaikan segala haknya sebagai seorang perempuan dan manusia.

Di usia muda, Firdaus mulai mengalami kekerasan seksual. Ia dijadikan objek pemuas nafsu tanpa ada perlindungan dari siapa pun. Bahkan ketika ia berusaha mencari pendidikan untuk mengubah nasib, kehidupan tidak memberinya kesempatan itu. Firdaus menjadi korban pertama dari sistem sosial yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Tak heran jika Firdaus kemudian tumbuh menjadi sosok perempuan yang merasa asing dengan dunia, bahkan merasa dunia tidak memberinya tempat yang layak dan aman untuk seorang perempuan.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Saat sang paman berlaku buruk, halaman 70/Clementina HB Putri

Perempuan dan Pertahanan Hidup

Saya merasa sangat tersentuh dan marah sekaligus saat membaca kisah Firdaus. Betapa berat hidup yang ia jalani. Seolah-olah dari satu penderitaan ke penderitaan lain, dunia tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Ia mulai bekerja sebagai seorang pekerja seks setelah merasa tidak ada pilihan lain. Namun, saya tahu bahwa kisahnya belum berakhir, dan ternyata, ada lebih banyak lagi yang akan saya temui dalam perjalanan hidupnya melalui buku ini.

Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah Firdaus tidak menyerah begitu saja pada dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan eksploitasi. Ia berusaha mencari kebebasan fisik, emosional, dan mental. Di tengah keterpurukan, meskipun pahit, ia menemukan cara untuk bertahan hidup dan menjadi mandiri secara finansial. Itu adalah bagian dari cerita yang menurut saya yang cukup kompleks tentang terjebaknya perempuan dalam siklus kekerasan, tetapi juga berusaha keras untuk mencari ruang hidup di tengah penindasan tersebut.

Namun, semakin saya membaca, semakin saya merasakan cerita ini bukan hanya tentang Firdaus. Cerita ini lebih besar dari itu. Ini adalah cermin dari banyak perempuan yang terjebak dalam sistem sosial, yang saat ini masih realistis jika dikatakan cukup menindas. Nawal dengan sangat tajam menggambarkan cara dunia patriarki bekerja: perempuan dianggap lebih rendah, tubuh mereka dimiliki masyarakat, dan kebebasan mereka dibatasi oleh norma-norma yang timpang. Setiap halaman terasa seperti kritik terhadap sistem yang memperlakukan perempuan sebagai objek semata, dan itu masih berlaku sampai hari ini.

Ada satu momen yang membuat saya benar-benar terkejut dan tercengang, ketika akhirnya Firdaus memutuskan untuk membunuh seorang pria yang telah lama mengeksploitasinya. Saya tahu bahwa tindakan itu adalah puncak dari sebuah proses panjang yang penuh dengan penderitaan. Itu adalah bentuk pemberontakan terakhir yang Firdaus bisa lakukan. Sebuah cara untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah membelenggunya sepanjang hidup, serta merasa hidup sebagai manusia dan perempuan. Tindakan itu mengundang banyak perasaan dalam diri saya. Tidak hanya marah, tetapi juga empati dan rasa hormat terhadap keberanian Firdaus mengambil kendali atas nasibnya.

Dalam dunia yang tidak memberinya ruang untuk bernapas, dia memilih untuk melawan dengan cara paling ekstrem, tapi bisa dimengerti. Mungkin itu adalah cara terakhirnya untuk menemukan kebebasan yang selama ini ia cari. Dan meskipun saya tahu ini adalah keputusan yang sangat radikal, saya bisa merasakannya—hasil dari tahun-tahun penindasan yang tak terhitung jumlahnya.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Nawal el Saadawi, penulis feminis dari Mesir/David Degner via Getty Images

Perjuangan Tetap Ada dan Hidup

Buku ini bukan hanya tentang kekerasan dan penderitaan. Ada kekuatan yang sangat dalam dan kuat yang terpancar dari kisah Firdaus. Itu adalah kekuatan perempuan, yang meskipun sering kali tidak diberi ruang untuk tumbuh, memiliki potensi untuk mengubah nasib mereka. Firdaus, dalam segala kesulitannya, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan punya hak untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Buku ini mengajarkan saya bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti harus melawan dunia yang menekan.

Setelah selesai membaca, saya merasa sangat penuh dengan berbagai macam perasaan marah, sedih, tetapi juga terinspirasi. Perempuan di Titik Nol bukanlah buku yang ringan untuk dibaca. Saya menyelesaikannya dengan sekali duduk dan segelas daily latte ice less sweet dengan dada yang beberapa kali bergetar. Kisahnya sangat gelap, dan terkadang membuat saya merasa tak berdaya dan frustrasi. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang begitu kuat dalam buku ini, yang membuat saya merasa lebih sadar tentang betapa pentingnya memperjuangkan hak perempuan dan memberi mereka ruang untuk berkembang.

Saya juga merasa bahwa ini adalah buku yang sangat relevan, bukan hanya untuk konteks Mesir atau dunia Arab, melainkan juga banyak perempuan di seluruh dunia yang masih berjuang melawan patriarki dan penindasan. Firdaus mungkin bukan perwakilan dari semua perempuan. Namun, kisahnya adalah simbol dari banyak perempuan yang terjebak dalam kehidupan yang tidak mereka pilih, yang berusaha meraih kebebasan dengan cara mereka sendiri.

Secara keseluruhan, membaca Perempuan di Titik Nol adalah pengalaman yang sangat menggetarkan hati. Buku ini lebih dari sekadar kisah, memberi pelajaran yang dalam tentang keadilan, kebebasan, dan kekuatan perempuan. Meskipun saya merasa sedih dan marah sepanjang membaca buku ini, saya juga merasa sangat dihargai oleh kisah yang ditulis dengan penuh keberanian dan empati oleh Nawal El Saadawi. Ini adalah buku yang akan terus terngiang di benak saya, mengingatkan saya tentang pentingnya melihat dunia melalui mata perempuan yang sering kali terabaikan dan tertindas.

Saya rasa, Perempuan di Titik Nol adalah buku yang wajib dibaca oleh siapa pun (pria dan wanita) yang ingin lebih memahami tentang ketidakadilan sosial, sistem patriarki, dan bagaimana perjuangan perempuan harus terus berlanjut. Sebab, di balik segala penderitaan yang ditulis dalam buku ini, ada satu pesan yang sangat jelas: kebebasan itu harus diperjuangkan, dan perempuan tidak akan pernah berhenti berjuang sampai kapan pun, bahkan jika napas sudah di ujung tanduk. Perjuangan itu tetap ada dan hidup.


Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal el-Saadawi
Pengantar: Mochtar Lubis
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal: 176 Halaman, 11×17 cm
ISBN: 978-602-433-438-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/feed/ 1 45597
Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/ https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/#respond Mon, 09 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44474 ”Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Dimana sinarya seperti tetes -tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap tapi hujan dalam suasana cerah.” Menuju...

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
”Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Dimana sinarya seperti tetes -tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap tapi hujan dalam suasana cerah.”

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2)
Halaman awal babak “Reda”/Clementina HB Putri

Menuju Bagian Akhir: “Reda”

Reda? Aku punya kawan bernama Reda. Asalnya dari Surabaya, kukenal dari satu kawan yang kutemui saat mengikuti volunteer di Bencana Masamba tahun 2021. Reda? Aku mengenal musik yang penyanyinya Ari Reda. Dulu kupikir itu adalah satu orang yang sama, ternyata dua orang yang berbeda.

Reda? dulu tidak pernah ada di bayanganku kalau akan ada manusia yang diberikan nama ini oleh kedua orang tuanya. Apa mereka lahir saat hujan sudah reda? Bukankah itu unik? Kira-kira apa yang diipikirkan oleh orang tuanya?

Reda? Karena ini membahas soal Hujan dan Matahari, maka kusimpulkan “Reda” adalah “Matahari”. Mengapa? Alasannya cukup klasik dan sederhana. Aku selalu mendapati atau mungkin karena sewaktu kecil aku sering melihat matahari yang cantik sekali dan pelangi setelah hujan. Mataharinya benar-benar oranye, lalu ada pelangi mengikut di balik bukit. Di TV aku menonton di ujung pelangi itu ada segentong berisi koin emas dan unicorn dengan tanduk berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih.

Selain itu, soal reda yang aku tahu sepertinya tidak ada lagi. Menurutku reda adalah sesuatu yang berakhir dengan baik di waktu yang tepat, entah bagaimana dan kapan. Percaya pasti ia reda dengan cara yang sudah baik.

Dalam babak “Reda” ini, banyak bagian atau bahkan dominan dibuat begitu singkat. Mungkin karena bagian akhir dan berada di babak “Reda”, maka hanya pesan-pesan yang tidak menggurui dengan kemasan sederhana. Tentu diikuti nilai-nilai religi didalamnya.

Satu bagian menarik dari babak “Reda” adalah “Maukah Kau Mencoba Menjadi Angin”. Bagian ini cukup menarik perhatianku. Sebab, sewaktu kecil aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin—lebih tepatnya percaya aku adalah (titisan) Dewi Angin. Imajinasi anak kecil yang cukup aneh kala itu jika diingat. 

Sewaktu kecil pun aku tidak pernah memproklamasikan bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin pada kawan-kawanku. Aku percaya kemampuan ini tidak boleh diketahui orang lain karena cukup berbahaya. Lalu bagaimana aku percaya bahwa aku adalah Dewi Angin? Sebab, beberapa kali—bahkan seingatku setiap kawan merasa gerah dan mengeluh tidak ada angin—aku sering sekali untuk mengambil posisi sendiri (mojok) lalu berkata dalam hati, “angin datanglah, angin datanglah.” Dan tidak lama kemudian, benar, angin sungguh datang. Dari situlah aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan itu. 

Dalam bagian ini tentu tidak membahas soal seseorang yang percaya bahwa ia adalah Dewi Angin. Namun, tidak jauh dari kepercayaanku dulu bahwa aku memiliki kemampuan itu, di sini “Ia” yang menjadi subjek pertama mengatakan bahwa dirinya pernah menjadi “Angin”.

“Mengalir dari ketinggian. Menghempaskan tubuhnya sendiri. Tidak tahu hendak ke mana. Tidak tahu kapan berhentinya. Tidak tahu kapan akan tiada. Aku memenuhi seluruh hidupmu, tapi tidak pernah kau sadari keberadaanku. Aku selalu ada di dekatmu, baik dalam jarak maupun dalam doa.” 

Kalimat-kalimat tersebut sungguh enak sekali untuk dibaca berulang-ulang. Ada beberapa analogi dari “Ia adalah angin” dan mendeskripsikannya dengan begitu sederhana, tetapi cukup melow juga.

Pertama, buku ini memasukkan banyak nilai religi di setiap tulisan secara tersirat. Ini juga dibahas melalui bagian “Maukah Kau Menjadi Angin?”. Dengan sederhana Sang Pencipta ingin diibaratkan dengan sangat sopan, yaitu “Angin”. Ia memenuhimu, Ia selalu ada di dekatmu yang sering tidak kau sadari keberadaannya. Sama seperti jika seorang yang mendengarkan berita yang gampang sekali untuk hilang, kita sering menyebutnya “angin lewat”. Kau tahu Ia ada, tetapi masih saja tidak cukup acuh dengan keberadaannya. Padahal Ia sungguh dekat.

Penulis menggambarkan Pemilik Semesta yang sungguh sangat dekat dan bahkan terasa sangat nyata di setiap sudut. Namun, masih saja banyak yang tidak cukup sadar, seperti jika kau sedang kepanasan dan mengeluh. Bisa saja Ia mendengarkannya sebagai doa, lalu angin berembus ke permukaan tubuhmu. Jadi, benar bahwa Ia sungguh-sungguh dekat. Bahkan dalam ucapan-ucapan kecil yang menguap menjadi doa kemudian diaminkan. Memberikan kesejukan dan ada di dekat banyak orang, Ia lalu mengajak kamu untuk berbuat demikian. 

Apakah kau mau menjadi “Angin”? Menjadi sejuk saat siang hari cukup terik, jadi yang paling sering ada bahkan badai sekalipun. “Angin” itu tetap ada di dekatmu. Menemani burung-burung untuk tetap bisa terbang tinggi. Maukah kau mencoba menjadi angin?

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2)
Daftar isi buku/Clementina HB Putri

Catat dan Ingat Ini

Akan jadi babak perenungan baru untukku dan untukmu, jika kamu tertarik untuk membacanya. Kumpulan cerita dan prosa dalam Hujan Matahari dikemas dengan sederhana oleh seorang lelaki, yang jika melihat bentuk tulisannya, ia sungguh mengenal detail perasaan jatuh, bangun, jatuh, dan begitu terus. 

Buku ini cukup ringan jika kamu butuh bacaan untuk merangsang keinginanmu membaca. Ada sekitar 200 halaman yang tiap harinya kau bisa sisihkan waktumu sehari atau setiap pagi untuk berkunjung di satu bagian. 

“bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.” —selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi.


Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/feed/ 0 44474
Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/ https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/#respond Sun, 08 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44462 “Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.”—selamat...

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.”
—selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi

Jika kau masih bingung karena belum menemui bacaan yang cukup ringan, tapi akan menggugah perjalananmu, buku Hujan Matahari ini sungguh akan cukup membantumu. Bacaan yang cukup ringan dan mudah dipahami. Bahkan bisa membuatmu mengulang-ulang. Entah karena senang dengan beberapa bagian ceritanya, atau kau masih ingin coba memahaminya lebih dalam lagi.

Buku ini aku dapat dari seorang kawan. Cukup lama buku ini ada di tanganku sampai akhirnya memutuskan untuk membacanya. Banyak mitos atau fakta soal peristiwa hujan dan matahari. Ada yang mengaitkannya dengan kematian atau kesialan.

Kawanku di Tabanan, Bali, pernah bercerita, jika di saat hujan kemudian ada matahari, mayoritas orang menyebutnya “hujan ai”. Dipercaya saat itu terjadi peristiwa makhluk halus yang sedang menikah (beranak). Sedangkan di Sulawesi, kampung halamanku, matahari yang bergabung dengan hujan atau gerimis identik dengan pertanda akan ada yang meninggal di sekitar tempat itu. Selain itu, orang tua akan berteriak dari rumah untuk tidak bermain di luar. Sebab, dipercaya akan mudah sekali untuk sakit.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Bagian pengantar buku Hujan Matahari/Clementina HB Putri

Babak-babak dalam Hujan Matahari

Dugaanku patah saat membaca pengantar dari buku ini. Sangat jauh berbeda dengan bayangan soal mitos yang aku dengar. Buku ini malah merangkum tulisan-tulisan dengan romansa nilai religi yang dikemas sangat sederhana dan tidak akan menyudutkan siapa pun. Buku Hujan Matahari karya Kurniawan Gunadi ditulis berlandaskan sebuah kejadian yang akan menimbulkan sebab dan akibat.

Seperti saat hujan dan matahari sedang teriknya, Kurniawan menuliskan bahwa hanya orang-orang yang berani yang akan menantang dingin dan terik. Tulisan-tulisan di dalamnya sungguh masuk kenyataan dengan perlahan. Buku Hujan Matahari terbagi dalam empat babak, yaitu Sebelum Hujan, Gerimis, Hujan, dan Reda.

Dari judul tiap babak pun sudah tergambar sedikit isinya. Ini adalah ritme hujan ketika akan mengguyur, entah ia deras atau hanya sekadar gerimis. Namun, dari pembagian babak, buku ini membaginya dengan perjalanan “Hujan” akan datang dengan deras, lalu reda dengan akan munculnya “Matahari”.

“Sebelum Hujan”, apa yang sering terjadi? Mendung? Angin kencang? atau bahkan seperti tidak akan ada yang terjadi? Di babak awal terdapat beberapa bagian pertanyaan atau pernyataan yang cukup menjadi pengantar sebuah dialog dalam cerita. Bagian ini dijadikan sebuah prolog. Ada ucapan terima kasih, tetapi dikemas dengan singkat dan sampai.

“Sebelum Hujan” adalah babak pertama yang cukup singkat, karena merupakan kumpulan-kumpulan narasi terima kasih dan alasan-alasan kecil dari penulis mengapa akhirnya menciptakan buku ini. “Sebelum Hujan” adalah sebuah pengantar menuju kejadian selanjutnya (babak kedua), yaitu “Gerimis”.

Terkadang jika ada awan mendung. jarang sekali hujan akan langsung deras. Kebanyakan ia akan turun pelan-pelan (gerimis). Orang-orang di sini akan mulai waspada dan bergegas, tapi tetap menerobos dengan bermodalkan jaket atau tangan untuk melindungi beberapa bagian tubuh. Lebih seringnya menutup atas kepala dengan tangan agar kepala tidak pusing atau demam setelahnya. Dalam Hujan Matahari, babak “Gerimis” diisi dengan kumpulan pertanyaan dan pernyataan yang tidak jarang kita temui di tongkrongan, yang pembahasannya cukup serius di setiap malam.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Babak “Gerimis”, bagian favorit/Clementina HB Putri

Satu dari Dua Favorit: “Kamu Baik, Masa Lalumu Tidak” 

Bagaimana jika ada seseorang yang datang kepadamu lalu dengan gamblang mengatakan hal ini: apakah jantungmu rasanya tidak ingin pamit saja? Atau tanganmu tiba-tiba saja berkeringat dingin, sembari memikirkan bagaimana orang ini dengan santainya mengatakan hal seperti itu? 

Dalam babak di buku ini, pernyataan secara gamblang seperti itu paling sering berseliweran jika seseorang akan menuju babak baru dalam hidupnya. Katakan jika aku keliru. Namun, yang sering aku dapati adalah perjalanan hidup seseorang akan mempertanyakan hal tersebut, jika ia akan mulai jatuh hati pada seseorang yang sungguh jauh berbeda dari dirinya.

Ada kalimat yang cukup menarik dari babak satu di buku ini, “Perempuan lebih suka dengan laki-laki yang datang dan membicarakan masa depan, bukan masa lalu“. Ini ada benarnya juga. Sebagai perempuan aku cukup kesal jika ada seorang yang tidak cukup dekat dan tidak begitu sering berjumpa, kemudian ia menanyakan soal “bagaimana kamu dulu?“.

Terlebih jika pertanyaan itu berasal dari satu lelaki yang aku percaya akan jadi kawan hidup yang asyik. Lantas bagaimana ia akan menjadi asyik jika yang ia bicarakan adalah masa lalu. Bukankah ia bersama dan memilihku saat ini sebab tahu masa depannya adalah aku? Atau aku terlalu percaya diri, sungguh memang benar seorang perempuan lebih senang dengan pertanyaan “akan berapa anak kita nanti, tinggal dimana kita nanti?”.

Daripada kamu membawa kata maaf, “Maaf dulu aku adalah seorang pembunuh, maaf aku dulu pencuri”; dan sebagainya. Sejujurnya aku pun tidak terlalu mempersoalkan hal itu.

Halaman ini kurang lebih membahas bagaimana seorang pria begitu tidak percaya diri karena masa lalunya. Padahal, ia tengah menyukai seorang perempuan yang sungguh berbanding terbalik dengan “masa lalunya”. Namun, di balik ketakutan yang dituliskan, selalu ada penyangkalan yang cukup menjawab sebenarnya, seperti “tidak ada orang benar-benar memiliki masa lalu yang baik”.

Akan tetapi, seperti kata banyak orang, ingatan seseorang akan lebih kuat jika mengingat kesalahan-kesalahan orang lain dibanding harus mengingat kelakukan baiknya. Seperti babak “Gerimis”, ia adalah bentuk kegelisahan dan pertanyaan yang gamang, tetapi cukup membuat tidurnya tidak nyenyak. Di akhir, penulis menuliskan narasi mengenai “seburuk-buruknya manusia selalu ada ampun paling besar dari Tuhan”.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Bagian “Hujan”, Akhir Kematian, halaman 97-98/Clementina HB Putri

Babak “Hujan”: Kita Tidak Bisa Menentukan Kapan Kita Mati

Menurut KBBI, hujan punya beberapa arti; 1) titik-titik air yang jatuh dari udara karena proses pendinginan, 2) yang datang dan sebagainya banyak-banyak. Dalam pengertian ilmiah, hujan adalah presipitasi berwujud cairan. Sedang menurutku, hujan adalah air yang dulu sudah ada di bumi, tetapi menguap ke langit dan membentuk awan. Lalu setelah awan itu terisi penuh dengan air, maka ia akan tumpah lagi menjadi hujan. Begitu seterusnya, yang aku pahami ketika belajar di sekolah dasar mengenai proses hujan.

Dalam buku ini, “Hujan” menjadi babak selanjutnya setelah diantar oleh mendung dan gerimis. Yang artinya, ia cukup deras untuk membuat kamu berlindung jika tidak ingin basah-basahan saat itu. Seperti hujan deras yang tentu membuat kamu basah kuyup, bagian-bagian dari babak ini juga cukup mampu membuat kamu basah sangat kuyup. Entah matamu, dadamu, atau isi kepalamu. Sebab, bagian-bagian dalam babak tersebut didominasi pernyataan yang cukup singkat, seperti “Akhir Kematian”. 

Bagian ini cukup membuatku menelisik sebelum membaca lanjutan mengenai akhir setelah seseorang telah mati. Apakah pemandangan di bawah sana akan benar gelap? Menakutkan untuk mereka yang dosanya cukup banyak di dunia dan sebaliknya; pemandangan cukup asyik dengan cahaya yang begitu menyilaukan bagi mereka yang semasa hidupnya sudah berbuat baik.

Apakah yang mati akan bisa melihat yang hidup dari atas sana?

Dan masih banyak pertanyaan yang lebih banyak rasa takutnya soal kematian. Mungkin sadar kalau selama hidup ini perbuatan jahatku juga banyak. Entah sangat banyak atau cukup, tapi yang terasa adalah aku juga pernah berbuat jahat pada manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. 

Bagian “Akhir Kematian” lebih lebih singkat dari beberapa bagian yang ada di buku ini. Di awal kita disambut dengan kalimat, “kita tidak bisa menentukan kapan kita mati, tapi kita bisa memilih bagaimana kita mati”. Sama halnya kamu bisa memilih kamu akan menyapa siapa hari ini, minum kopi apa hari ini atau lebih spesifiknya kamu harusnya selalu berhati-hati selama hidup. Menjaga diri dari banyak hal buruk atau malah bersikap bodoh amat

Seperti yang sering aku dengarkan ketika ke gereja saat Natal dan Paskah. Romo akan sering mengatakan di setiap homilinya, “Berjaga-jagalah Sebab Kerajaan Sorga Sudah Dekat”. Aku menangkapnya bahwa “keselamatan” yang identik dengan kematian di keyakinanku adalah sesuatu yang bisa datang kapan saja, tetapi kamu sungguh bisa menyiapkan bekal untuk Kerajaan Sorga.

Penulis sepertinya menuliskan bagian itu berlandaskan kisah nyata. Sebab, bahasan selanjutnya adalah pembahasan mengenai kematian tidak begitu menyenangkan untuk jadi perbincangan saat di tongkrongan. Jawaban yang akan sering bermunculan adalah tak perlu memikirkan kematian, hidup sekarang cukup dijalani, bukankah semua orang juga akan mati. Nikmati saja apa yang ada sekarang. Biasanya orang yang pembicaraannya seperti ini dipotong adalah ia yang sudah cukup mendalami nilai agama dan menyampingkan nilai duniawi.

Namun, di balik itu semua tentu semua orang punya hak untuk memberitahu hal-hal baik sesama manusia. Diterima atau tidaknya adalah hak setiap manusia. Semoga lebih banyak orang yang menerima dengan legowo bahasan-bahasan sensitif itu, yang nantinya akan dianggap lumrah.

(Bersambung)


Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/feed/ 0 44462