Daan Andraan https://telusuri.id/penulis/daan-andraan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:51:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Daan Andraan https://telusuri.id/penulis/daan-andraan/ 32 32 135956295 Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/ https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/#respond Mon, 03 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45510 Pesan dari Novita masuk beberapa minggu lalu, menanyakan kapan aku dan Mia punya waktu libur. Setelah waktu yang cocok diputuskan, akhirnya Rabu paginya pukul 07.00 kami melakukan perjalanan—akhirnya bisa jalan-jalan juga.  Dua minggu sebelumnya, Novita...

The post Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Pesan dari Novita masuk beberapa minggu lalu, menanyakan kapan aku dan Mia punya waktu libur. Setelah waktu yang cocok diputuskan, akhirnya Rabu paginya pukul 07.00 kami melakukan perjalanan—akhirnya bisa jalan-jalan juga. 

Dua minggu sebelumnya, Novita sempat bilang destinasi kami adalah Lembah Cawene di kaki Gunung Salak. Katanya, kami akan mengunjungi tempat milik sepasang suami-istri. Jujur saja, kami belum punya gambaran sama sekali tentang lokasi itu, apalagi tentang apa yang akan dilakukan di sana.

Setelah sekitar tiga jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di Pamijahan, Bogor. Rupanya Lembah Cawene berada di dalam kawasan wisata Gunung Salak Endah. Suasananya mengingatkanku pada Puncak dengan vila-vila dan pemandangan hijau yang memanjakan mata.

Melalui ponselnya, Bu Ratih mengarahkan kami menuju lokasi parkir Telaga Biru Cawene. Perjalanan membawa kami ke sebuah tempat bernama Padepokan Sangga Buana Taman Loka, dengan bangunan utama berupa pendopo. Di sana, seorang kakek dengan penampilan sederhana sudah menunggu—ternyata beliau adalah suami Bu Ratih.

Kami menaruh tas serta perlengkapan menginap di sudut pendopo. Oh, ya, Novita rupanya membawa berbagai perlengkapan masak, seperti kompor dan bahan makanan yang cukup untuk satu hari. Pendopo ini terasa luas dengan lebar sekitar sepuluh meter, dilengkapi teras dan dikelilingi pepohonan rindang. Di dekatnya ada aliran sungai yang gemerciknya menambah suasana syahdu siang itu—apalagi gerimis ikut menemani. 

Namun, kesyahduan itu mendadak pudar saat aku melihat sebuah poster besar ditempel di dinding bilik bambu. Pada poster itu terpampang logo dan tulisan besar: Ikatan Dukun Nusantara (IDN).

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Bentang alam Lembah Cawene di kaki Gunung Salak, Bogor/Novita

Jawaban tentang spiritualitas di Lembah Cawene

Pertanyaan langsung menggantung di benakku: ‘Sebenarnya ini apa?’ dan ‘Kenapa Novita mengajak aku dan Mia ke tempat seperti ini?’ Keresahan mulai bermunculan. Di tengah kebingungan, lima mangkuk mi tersaji, siap menemani obrolan sore kami. 

Kakek dan Bu Ratih mulai bercerita. Mereka menjelaskan tujuan mengundang Novita ke Lembah Cawene. Sementara itu, Novita serta Ari, suaminya, memperkenalkan diri mereka. Aku dan Mia hanya mendengarkan dengan bingung sambil tetap merenungkan keberadaan kami di tempat ini dan mencoba memahami apa itu IDN. Rupanya, hari itu Ki Darul yang merupakan ketua IDN dijadwalkan datang menemui kami, tetapi beliau berhalangan karena ada kegiatan lain.

Melalui obrolan ringan hingga informasi dari beberapa sumber, kami mulai memahami sedikit tentang IDN. Ternyata, IDN merupakan organisasi yang berdiri sejak tahun 2000 dengan fokus melestarikan budaya lokal. Bertempat di Desa Gunungsari, kawasan ini bahkan jadi pusat bagi pelaku budaya yang sering disalahpahami karena stigma negatif istilah “dukun.” Ki Darul sendiri pernah menjelaskan di TribunnewsBogor.com edisi Kamis (8/8/2024) bahwa istilah “dukun” dalam organisasi ini berarti duduk tekun hidup rukun, sebuah makna yang menitikberatkan pada konsistensi menjaga nilai-nilai tradisi leluhur.

Mengutip salah satu wawancaranya di InilahNews.com, Sabtu (6/2/2021), Ki Darul menjelaskan bahwa IDN tidak hanya berkutat soal hal-hal mistis atau klenik semata. Sebaliknya, IDN justru berkomitmen untuk menjadikan budaya lokal sebagai alat pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman akan kehidupan bermasyarakat serta nilai-nilai religius, seperti yang tercantum dalam Pancasila hingga filosofi luhur lainnya.

Kegiatan mereka bukanlah sekadar hal spiritual semata, melainkan juga bentuk keprihatinan terhadap makin tergerusnya tradisi bangsa. Dalam salah satu programnya, IDN berupaya menggali kembali budaya lokal untuk dijadikan sarana edukasi sekaligus sarana mempertahankan identitas nasional.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Foto bersama Kakek dengan latar spanduk logo Ikatan Dukun Nusantara/Novita

Jadi, ketika teman-teman bertanya kenapa tiba-tiba kami “main ke tempat dukun”, jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar itu. Ini bukan tentang dukun dalam makna sehari-hari yang sering dipandang sebelah mata. Di sini kami diperkenalkan kepada sebuah upaya besar untuk memelihara warisan leluhur agar tetap relevan di zaman modern, sembari menyisipkan nilai-nilai positif di dalamnya.

Menjelang senja ketika hujan mulai mereda, Bu Ratih mengusulkan agar kami mengunjungi Telaga Biru, yang letaknya tak seberapa jauh dari padepokan—hanya selemparan batu saja. Tempat ini dulu dikenal dengan sebutan Leuwi Orok, karena bentuknya menyerupai rahim ibu, dan konon sering dijadikan lokasi ritual supranatural. Orang-orang datang ke sini dengan membawa hajat atau harapan, lalu menjalani ritual mandi dengan keyakinan agar keinginan mereka terkabul. 

Seiring berjalannya waktu, ritual itu ditinggalkan dan Telaga Biru kini menjadi salah satu destinasi wisata. Namun, bagi Bu Ratih, tempat ini tetap punya makna mendalam. Ia mengibaratkannya sebagai simbol awal kehidupan. Usai mandi atau berendam di sana, diharapkan tubuh dan jiwa kita terasa bersih dan segar, seperti bayi yang baru lahir.

Telaga Biru Cawene termasuk salah satu destinasi wisata baru di kawasan Gunung Salak Endah. Untuk mencapainya, dari pintu masuk kita harus menuruni sekitar seratus anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Meski sedikit menantang, perjalanan ini layak ditempuh.

Sebetulnya, yang disebut telaga ini adalah bagian dari aliran sungai kecil dengan sebuah air terjun mungil di ujungnya. Air terjun itu membentuk kolam alami dengan gradasi warna kebiruan yang memukau mata. Namun, saking dinginnya air, kami hanya mampu merendam kaki; kulit kami yang terbiasa dengan panasnya polusi ibu kota tak mampu bertahan lebih lama. Meski begitu, suasana tenang dan damai di tempat ini sudah cukup untuk menyegarkan jiwa.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Novita dan Ari berfoto dengan latar belakang aliran telaga jernih/Novita

Pertunjukan Cinta di Lembah Cawene

Saat malam tiba, kami duduk bersama di lantai kayu beralaskan karpet sederhana yang penuh kehangatan. Hidangan nasi liwet dengan telur dadar dan ikan sarden menjadi sajian malam yang terasa begitu istimewa di tengah kesederhanaan hidup Kakek dan Bu Ratih. Siapa sangka, di balik kehidupan mereka yang tenang dan jauh dari hiruk piruk duniawi, tersimpan cerita yang pernah penuh dinamika.

Kakek dulunya seorang dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia, sedangkan Bu Ratih adalah seorang seniman jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Kini, mereka memilih menjalani apa yang sering disebut dengan istilah slow living—hidup dalam ritme yang lebih lambat, menikmati setiap momen sederhana, dan bersyukur atas segala hal kecil.

Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor
Makan bersama dengan menu sederhana bersama Kakek dan Bu Ratih/Novita

Hari itu, aku belajar banyak sekali hal luar biasa. Mulai dari cara memaknai spiritualitas melalui kata “dukun”, betapa agungnya anugerah alam Lembah Cawene yang memperbarui energi raga dan jiwa, hingga kisah romantis pasangan sepuh ini yang begitu mencerminkan cinta sejati.

Bu Ratih merawat Kakek dengan penuh kelembutan hati, begitu pun Kakek yang tak pernah absen menunjukkan perhatian manis pada istrinya. Saat memijat pundak Bu Ratih, ia berseloroh ringan, “Ibu tidak sakit, kok, badannya. Cuma pengin nempel aja.”

Aku terdiam sejenak—dan jujur saja, aku merasa iri.

Mereka menjadi contoh nyata dari konsep cinta sejati yang dirumuskan oleh Robert Sternberg dalam Triangular Theory of Love—intimasi, hasrat, dan komitmen. Bahkan, mereka tampaknya hidup dalam apa yang bagi banyak orang adalah impian: sakinah, mawadah, warahmah—ketenteraman dalam kasih sayang yang tak berbatas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Spiritualitas dan Cinta Sejati Di Lembah Cawene Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lembah-cawene-bogor/feed/ 0 45510
Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong https://telusuri.id/ngaji-ekologi-di-pesisir-muaragembong/ https://telusuri.id/ngaji-ekologi-di-pesisir-muaragembong/#respond Fri, 12 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41663 “Loh, kok tanggal 29–30? Katanya kemarin tanggal 30–31 acaranya. Gimana sih ini Novita?” gumamku dalam hati.  Pesan masuk yang berisikan rundown acara “Ngaji Ekologi: Penghayatan Dampak Lingkungan Pesisir” dari Novita waktu itu membuatku sebal. Tanggal...

The post Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong appeared first on TelusuRI.

]]>
“Loh, kok tanggal 29–30? Katanya kemarin tanggal 30–31 acaranya. Gimana sih ini Novita?” gumamku dalam hati. 

Pesan masuk yang berisikan rundown acara “Ngaji Ekologi: Penghayatan Dampak Lingkungan Pesisir” dari Novita waktu itu membuatku sebal. Tanggal yang diberitahukan Novita di akhir bulan kemarin berbeda dengan yang ada di rundown acara tersebut. Novita adalah salah satu pemrakarsa Laboratorium Teknik Apung (Labtek Apung) yang  gerakannya peduli dengan isu-isu lingkungan.

Labtek Apung lahir dari Lokakarya Citizen Science di Tanah Rendah, bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta pada 2017. Intervensi muncul dari sebuah eksperimen, yaitu interpretasi ulang sebuah rakit tempat masyarakat berkumpul untuk mencuci baju, piring, hingga aktivitas buang air besar menjadi sebuah laboratorium teknik yang mengapung di Sungai Ciliwung. Tidak hanya menyuarakan kualitas sungai yang sangat buruk, tetapi juga membuat sungai menyampaikan keprihatinannya dalam bahasa mereka sendiri. Laboratorium berfungsi sebagai tempat mendemonstrasikan penelitian dan ilmu pengetahuan warga.

Sebagai suatu kolektif transdisipliner yang beranggotakan seorang antropolog, ahli kimia, praktisi air bersih dan sanitasi, seniman, dan arsitek, sejak 2021 Labtek Apung melakukan eksplorasi tentang lingkungan di wilayah Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi. Labtek Apung menggandeng masyarakat lokal dan profesional lainnya untuk membaca dampak kerusakan lingkungan yang tidak hanya terpusat pada manusia, tetapi juga makhluk hidup nonmanusia; serta kemungkinan-kemungkinan untuk membayangkan masa depan yang berbeda.

Salah satu perhatian di Muaragembong adalah tingkat salinitas tinggi yang mendorong berbagai eksperimen multidisipliner, seperti pengujian cemaran pada sumber air, pembuatan prototipe desalinasi sederhana, dan eksplorasi artistik indikator tingkat salinitas. Pada akhir 2023, Labtek Apung telah menyelenggarakan lokakarya Kerabat Lama (nonhuman kins) bersama ahli biologi primata dan anak-anak sekolah dasar setempat sebagai satu langkah pertama penghayatan (immersion) dunia multispesies di Muaragembong.

Dan dari 2021 itu aku beberapa kali mengikuti kegiatan Labtek Apung. Bukan sebagai volunteer atau peserta, melainkan hanya ikut jalan-jalannya saja.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Kapal Cahaya Abadi bersandar di pelabuhan nelayan Cilincing, Jakarta Utara/Daan Andraan

Perjalanan Tak Mudah Menuju Muaragembong

Sebagai penikmat jalan jalan, Muaragembong bukanlah tempat eksotis ataupun serpihan surga yang jatuh di bumi. Bahkan bukan pilihan warganet untuk menghiasi linimasa media sosial mereka. Namun, tetap kumasukkan ke daftar keinginan tempat yang harus dikunjungi minimal sekali dalam seumur hidup.

Muaragembong terdiri enam desa: Jayasakti, Pantai Harapan jaya, Pantai Sederhana, Pantai Bahagia, Pantai Bakti, dan Pantai Mekar. Ada lima desa dengan nama pantai, karena memang sebagian besar wilayah Muaragembong ada di pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Kegiatan yang dilaksanakan Labtek Apung dan ITB bertempat di Kampung Muara Beting, Desa Pantai Bahagia. Di tahun 1980-an, kampung ini dijuluki “Kampung Dollar” karena hasil laut yang melimpah dan menghasilkan pundi-pundi uang bagi para nelayan. Kemudian pada 1990-an, tambak-tambak udang dan bandeng mulai menjadi sumber mata pencaharian menggiurkan karena hasilnya.

Akan tetapi, pada tahun 2000-an terjadi ancaman abrasi laut dan penurunan muka tanah. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak dan permukiman di Desa Pantai Bahagia, yang melenyapkan tiga kampung lain dan merusak tambak nelayan. 

Pesan dari Novita kembali masuk. Isinya menyarankan kepadaku menggunakan transportasi laut saja untuk ke Muaragembong.

Karena kesalahan komunikasi, aku tidak bisa pergi bersama Novita dan suaminya. Sementara, transportasi umum menuju Muaragembong sangatlah susah. Mobil mikrobus Isuzu Elf menjadi satu-satunya transportasi darat menuju Muaragembong. Itu pun berangkat dari Cikarang hanya sehari sekali. Total waktu dari Jakarta ke Muaragembong dengan jarak 70 km bisa sampai lima jam, jika keadaan lalu lintas normal.

Melewati jalur laut menjadi pilihan lainnya. Nugroho Febrianto, seorang pegiat media sosial, pernah mengunggah perjalanannya ke Muaragembong menggunakan perahu bermotor di akun Youtube miliknya. 

Bersumber itu aku memulai hari sepagi mungkin untuk mengejar jadwal keberangkatan kapal. Dari Stasiun Gondangdia, aku transit di Stasiun Kota menuju Stasiun Tanjung Priok. Setelah 15 menit menggunakan ojek daring, pukul 09.30 aku sampai di pelabuhan nelayan Kali Cakung Drain, Cilincing.

Teguran seorang bapak membuyarkan kebingunganku. Ia bertanya padaku, “Mau kemana, Mas?”

“Kalau ke Muara Bendera naik kapal yang mana, ya, Pak?” Sang bapak menunjuk ke kapal kayu yang di haluannya bertuliskan “Cahaya Abadi”. Ia menambahkan, “Tapi berangkatnya nanti, jam 10-an.”

  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
  • Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong

Ada beberapa perahu kayu yang tertambat di turap beton berbentuk seperti tangga. Tampak beberapa orang menaikkan tong-tong plastik biru ke atas kapal Cahaya Abadi.

“Pak, nanti saya bisa diturunin di Dermaga Beting, gak, Pak?” tanyaku ke sang bapak, yang akhirnya kuketahui bernama Pak Maksudi dan juga nakhoda dari kapal Cahaya Abadi.

Gak sampe sono, kapal yang ke Beting nanti berangkat yang jam 2,” jawab Pak Maksudi. Beliau pun menyarankan untuk turun di lokasi yang aku lupa namanya.

Jaringan seluler di Muaragembong sangatlah buruk. Oleh karena itu aku langsung menghubungi Novita dan memberitahukan lokasi tempat aku turun dan perkiraan waktu tiba di sana. 

Kapal pun berangkat dari Cilincing pukul 10.30. Dari total kapasitas 25 orang, kapal hanya diisi delapan orang penumpang: tiga pemancing, tiga pedagang, seorang warga lokal, dan aku sendiri.

Pak Maksudi bercerita, usaha angkutan penumpang yang dia jalani sekarang sepi. Tidak seperti 10 tahun yang lalu. Untuk mengakali besarnya biaya bensin, beliau juga membuka jasa antar barang. Makanya di kapalnya memuat tong-tong biru berisi solar dan es balok pesanan dari para pengepul ikan dan nelayan di Muara Bendera.

Setelah hampir satu setengah jam berlayar di laut, kapal kayu kami memasuki mulut Sungai Citarum yang alirannya meliuk-liuk di Muaragembong. Butuh waktu sejam bagi Pak Maksudi dan anak buah kapalnya (ABK) menurunkan muatan pesanan es balok ke rumah-rumah pengepul ikan, yang berdiri di kiri-kanan Sungai Citarum.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Dermaga sederhana di jalur sungai yang vital untuk masyarakat Kampung Beting Muaragembong/Daan Andraan

Merenungi Manfaat Ekologi dengan Pendekatan Religi

Sesampainya di rumah Mak Unah di Kampung Beting, tempat berkumpulnya teman teman dari Labtek Apung dan ITB, aku mengecek aplikasi pencatat jarak. Tertulis jarak 22,07 km dan waktu tempuh 2 jam 54 menit 34 detik. Angka-angka yang tidak akan kudapati kalau menggunakan transportasi darat. Setelah beristirahat secukupnya, aku dan rombongan menuju Masjid Salapiyah Al-Huda tempat Ngaji Ekologi diadakan.

Udara lembap khas pesisir, bekas jalur ban di jalan tanah kering, halaman rumah yang sebagian tanahnya masih basah akibat genangan banjir rob, pohon mati mengering karena tingkat salinitas di tanah yang tinggi, tambak-tambak yang sudah tidak produktif, hingga pemakaman umum yang nisannya hilang tergerus rob menjadi pemandangan sepanjang jalan menuju masjid. Namun, hamparan pohon bakau pun terlihat hijau memadat di lahan-lahan bekas tambak yang menghadap ke laut. Menandakan kesadaran akan konservasi telah terbangun.

Ada satu lagi pemandangan yang sangat jarang ditemui di daerah Bekasi dan Jakarta pada umumnya. Anak anak di sini bermain dengan mainan yang mereka buat atau yang sudah ada. Tidak terlihat mereka memegang handphone untuk memainkan permainan daring. Jaringan seluler sangat susah, bahkan di beberapa tempat tidak terdapat sinyal sama sekali.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Para jemaah menyimak ceramah Kiai Abdullah Wong di Masjid Salapiyah Al-Huda/Daan Andraan

Acara Ngaji Ekologi dimulai pukul lima sore, dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Alquran dan sambutan-sambutan. Kiai Abdullah Wong dari Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi NU) membawakan materi pengajian dengan bahasa sederhana. Ceramahnya mudah dimengerti para jemaah Masjid Salapiyah Al-Huda, Kampung Beting, yang sebagian besar adalah nelayan dan keluarganya.

Ulama sekaligus budayawan itu menekankan, untuk mendapatkan Ar-Rahman (kasih) dan Ar-Rahim (sayang) dari Allah Swt, maka kita juga harus menyebarkan Rahman dan Rahim tersebut ke sekitar kita. Bukan hanya ke sesama manusia, melainkan juga alam lingkungan tempat tinggal kita.

Memahami ekologi dengan pendekatan religius yang diadakan oleh Labtek Apung dan ITB di Kampung Beting ini adalah sebuah ikhtiar mencari keseimbangan harmonis antara kemanusiaan dan alam semesta. Agama mengajarkan manusia untuk harmonis dengan lingkungan atau alam. Agama juga melarang umatnya untuk merusak keseimbangan alam dan menjaga lingkungan sekitarnya. Gerakan seperti ini dikenal dengan banyak nama, seperti Green Religion, Greener Faith, Eco-Theology, Green Islam, Environmental Ethics, dan Religious Environmentalist.

Sementara Buya Hamka membangun istilah “eco-sufisme” di dalam bukunya Tafsir al-Azhar. Eco-sufisme ini didorong oleh masalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh paradigma antroposentris. Menurut Hamka, alam semesta seharusnya menambah kepercayaan kepada Allah sebagai Tuhan yang Esa. Hamka berusaha membangun paradigma tentang pelestarian lingkungan melalui penafsiran ayat-ayat Alquran.

Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong
Warga setempat melintasi jalanan kampung dengan sepeda motor/Daan Andraan

Hari itu acara ditutup dengan diskusi bersama Labtek Apung ITB dan warga Kampung Beting. Sebelum itu kami buka bersama terlebih dahulu dilanjutkan salat Magrib berjemaah.

Menjelang kepulangan ke Jakarta, Mak Unah menyuguhkan kami makan malam. Menunya ayam bekakak, pepes bandeng, udang goreng hasil tambak, sayur, dan buah-buahan. Bahkan kami pun mencicipi dodol pidada. Kuliner olahan dari daging buah pohon pidada—sejenis pohon bakau—dicampur dengan gula putih.

Sambil menikmati sepiring nasi panas dan seekor udang galah jumbo, pikiranku melayang-layang pada kondisi-kondisi menyulitkan di sini. Mengingat susahnya jaringan seluler, abrasi, banjir rob, air tanah yang terasa asin, bank keliling yang menggerogoti kehidupan bermasyarakat, sampai dengan masalah bukti kepemilikan tanah di wilayah Desa Pantai Bahagia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ngaji Ekologi di Pesisir Muaragembong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngaji-ekologi-di-pesisir-muaragembong/feed/ 0 41663
Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/ https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/#respond Fri, 09 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41136 Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas...

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/feed/ 0 41136
Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/ https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/#comments Tue, 17 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36521 Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum...

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum dilahirkan. 

Ketika sekolah mengadakan karya wisata ke tempat-tempat seperti: museum, candi atau situs bersejarah lainnya, aku hanya menganggap itu tamasya–jalan-jalan sambil bersenang-senang bersama teman-teman. Tidak satupun materi sejarah dari perjalanan karya wisata tersebut yang masuk ke kepalaku.

Kesenangan jalan-jalan berlanjut ketika aku beranjak dewasa. Pantai, gunung dan tempat tempat yang menawarkan keindahan untuk dilihat dan difoto menjadi tujuan utama pada saat itu, termasuk museum, candi dan bangunan bangunan bernilai estetik. Tetapi nilai sejarah atau cerita dibalik tempat-tempat yang dikunjungi belum menjadi perhatianku pada saat itu. 

Seiring waktu, pemaknaanku akan perjalanan mulai berubah. Akhirnya, aku mulai menyukai berjalan-jalan di ruang dalam kota dengan segala produk budayanya: arsitektur, sosial, kuliner, bahkan nilai sejarah dan mulai berpaling dari keindahan pasir putih pantai dan dinginnya pegunungan nun hijau.

Aku jadi banyak membaca, mencari informasi tentang tempat atau bangunan yang ku kunjungi. Kebanyakan bahan bacaan yang kudapat dan kubaca adalah tentang sejarah, sesuatu yang tidak kusuka pada waktu dulu.

Angka di jam tangan menunjukkan 11.56 ketika aku turun dari KA. Kahuripan. Setelah salat Zuhur, aku bergegas keluar dari stasiun menuju ke sebuah warung yang menjual pecel tumpang, menurut aplikasi Google Maps, jaraknya hanya 450 meter dan waktu tempuh sekitar 5 menit berjalan kaki dari Stasiun Kediri.

Di awal minggu bulan terakhir di tahun 2022 kemarin, aku melakukan perjalanan ke Kediri. Setelah melakukan sedikit riset, daerah sekitaran alun-alun, wilayah Pecinan di Pakelan dan wilayah sekitaran Jembatan Lama dulu merupakan wilayah orang Eropa tinggal di masa kolonial Belanda, dan daerah tersebut masuk ke daftar tempat-tempat yang akan ku jelajahi di Kediri.

Aku menemukan fakta lain tentang Kediri. Di buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1762 – 1962 yang ditulis TH. Stevens menyebutkan Kediri adalah salah satu wilayah dimana gerakan Mason Bebas (Freemason) berkegiatan dan ternyata gedung atau loji tempat berkumpulnya anggota Freemason di Karesidenan Kediri dan sekitarnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih ada sampai sekarang.

Kemudian di Kediri juga ada juga makam Tan Malaka. Beliau adalah seorang pejuang yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 53 tahun 1963.

Kehidupannya dan perjuangan Tan Malaka sangat misterius. Bahkan di buku sejarah SD sampai SMA pun tidak tertulis sejarah tentang beliau, padahal di namanya tersemat gelar Pahlawan Nasional. Beliau juga yang mengonsepkan negara Republik Indonesia melalui tulisannya di buku Naar de Republiek Indonesia yang ditulis tahun 1925. Tulisan beliau ini mengilhami tulisan lainnya dari Moh. Hatta, Indonesia Vrije tahun 1928 dan Soekarno ketika menulis Mencapai Indonesia Merdeka di tahun 1933.

Sangat sedikit buku dan tulisan berbahasa Indonesia yang membahas tentang Tan Malaka. Salah satunya adalah Harry A. Poeze, seorang sejarawan, penulis dan peneliti berkebangsaan Belanda  yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti secara mendalam tentang Tan Malaka.

Di buku beliau inilah, aku akhirnya mengetahui Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tahun 1894. Dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan dari pihak ibunya, sehingga ia mendapatkan gelar Datuk Sutan Malaka. Kehidupan politiknya berkembang semenjak beliau melanjutkan pendidikan di Belanda. Kepedulian akan sesama beliau peroleh ketika kembali ke Hindia Belanda dan melihat kenyataan yang tidak menyenangkan terjadi akibat dari penjajahan kolonial Belanda.

Kemudian ia bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, juga kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia bersama Muso, Alimin, Darsono dan Semaun, bahkan di kemudian hari beliau menjadi agen Komintern (Komunis Internasional yang berpusat di Moskow) untuk Asia Tenggara. 

Pandangan radikal Tan Malaka terhadap penjajahan membuat beliau menjadi buronan politik. Nama samaran pun sering digunakan ketika beliau bersembunyi atau bergerak untuk mengelabui intel pemerintahan kolonial Belanda dan antek anteknya. Elias Fuentes, Ong Soong Lee, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun, Tat, Eliseo Rivera dan Howard Law alias alias yang sering digunakan ia ketika berada di Filipina, Hongkong, Canton, Shanghai, Singapura dan Indonesia.

Tan Malaka juga menulis tentang hidupnya, Dari Penjara ke Penjara, ditulis ketika dia ketika berada di dalam penjara di Magelang dan Ponorogo. Terdiri dari 2 jilid, jilid pertama bukunya menuturkan tentang pergulatannya di penjara Hindia-Belanda dan Filipina. Sedangkan jilid kedua menceritakan tentang “perjalanannya” dari Shanghai, Hong Kong, hingga kembali ke tanah air.

Ada juga novel yang bercerita tentang Tan Malaka, berjudul Pacar Merah Indonesia. Di novel berlatar roman sejarah ini Motu Mona sang pengarang, mencampuradukkan fakta dan fiksi tentang gerakan komunis dan gerakan kiri radikal. Tokoh utamanya adalah Tan Malaka yang di novel ini disebut Pacar Merah, Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonof dan Semaun sebagai Semaunoff. Dan yang menarik, novel ini terbit di tahun 1938, dimana ketika Tan Malaka masih hidup. Sekarang, Pacar (Patjar, dengan ejaan lama) Merah  dijadikan nama oleh komunitas gerakan literasi yang sering mengadakan festival kecil literasi dan pasar buku keliling.

Ojek daring yang kupesan pun datang. Aku bertanya seberapa jauh perjalanan kali ini. Si bapak menjawab, “Lumayan jauh mas, soalnya makamnya ada di atas gunung.”

Aku beruntung mendapatkan pengendara ojek daring yang akhirnya ku tahu ia bernama Pak Agus. Rumah beliau ada di bawah Desa Selopanggung. Walaupun dia belum pernah ke makam Tan Malaka tetapi dia tahu persis lokasinya. 

Makam Tan Malaka terletak di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sepanjang perjalanan yang menanjak, aku disuguhi oleh pemandangan yang indah: jalan berkelok di bukit bukit yang hijau, sungai yang bergemericik, dan hamparan sawah berbentuk terasering.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Setelah 30 menit lebih, kami melihat penanda dari kayu di pinggir jalan bertuliskan “Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Tidak Pernah Mati’, rupanya kami telah sampai di lokasi makam. 

Aku mengajak Pak Agus untuk turun ke bawah, menuruni anak tangga yang bersudut 45 derajat di lereng bukit. Letak makam ada di tengah area persawahan, kurang lebih 30 meter dari pinggir jalan. 

Suasana sejuk pegunungan menyambut di area pemakaman yang tidak terlalu luas. Hanya ada beberapa makam yang kulihat disini–kebanyakan makam tua—termasuk makam Mbah Selopanggung, tokoh yang pertama tinggal di Desa Selopanggung. 

Jirat berbentuk persegi panjang di tanah yang terbuat batu bata, dilapisi semen dan nisan yang bertuliskan nama Tan Malaka serta keppres pengangkatan beliau sebagai Pahlawan Nasional, makam yang sangat sederhana berbanding terbalik dengan kebesaran nama beliau di gerakan revolusi Indonesia.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Di buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia – Jilid 4: September 1948 – Desember 1949, Harry A. Poeze menuliskan kisah tewasnya Tan Malaka sampai proses penemuan makam Tan Malaka.

Keadaan politik pada saat itu menyebabkan Tan Malaka berseberangan sikap dengan pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Kepemimpinan Soekarno-Hatta yang lebih memilih cara diplomasi terhadap Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia ditentang habis oleh Tan Malaka, karena itu dia dianggap berbahaya bagi keutuhan negara dan harus segera ditangkap. 

Dalam pelariannya di Jawa Timur, beliau ditangkap di Desa Selopanggung oleh pasukan dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek atas perintah Letda Soekotjo yang kemudian hari menjadi Walikota Surabaya tahun 1972-1974. Ketika makamnya dibongkar untuk kepentingan forensik, kerangka yang ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang.

Setelah berdoa dan membersihkan makam  dari sampah daun dan tanaman, aku kembali ke tengah Kota Kediri. 

Di perjalanan pulang, Pak Agus mengajak ke Gereja Puhsarang yang masih berada di lereng Gunung Wilis. Di tengah kesyahduan menikmati bangunan gereja indah yang dibangun tahun 1936 ini, aku membuka galeri foto di telepon genggam, melihat kembali foto makam Tan Malaka yang ku foto dari kejauhan. Kisah hidupnya memang penuh gejolak dan misteri, namun di peristirahatan terakhirnya, ia berbaring dengan tenang; ditemani gemericik air Sungai Brantas dan semilir angin sejuk di sepi lereng Gunung Wilis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/feed/ 1 36521
Aku Kembali ke Jogja dan ke Kuburan https://telusuri.id/aku-kembali-ke-jogja-dan-ke-kuburan/ https://telusuri.id/aku-kembali-ke-jogja-dan-ke-kuburan/#respond Thu, 12 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29555 Aksi sahut menyahut semboyan 40, 41, 35 dari petugas PPKA, kondektur dan masinis menjadi pertanda keberangkatan Kereta Api Progo yang kutumpangi malam itu. Tak banyak yang dapat dinikmati di perjalanan kereta malam. Hanya pendar lampu-lampu...

The post Aku Kembali ke Jogja dan ke Kuburan appeared first on TelusuRI.

]]>
Aksi sahut menyahut semboyan 40, 41, 35 dari petugas PPKA, kondektur dan masinis menjadi pertanda keberangkatan Kereta Api Progo yang kutumpangi malam itu.

Tak banyak yang dapat dinikmati di perjalanan kereta malam. Hanya pendar lampu-lampu yang seperti berlarian di luar jendela. Aku pun mulai mencari posisi senyaman mungkin untuk tidur di bangku tegak lurus kereta ekonomi ini.

Sedikit perasan jeruk dan kecap kutambahkan ke mangkuk soto lenthokku. Soto berkuah bening kekuningan dengan isian soun, suwiran ayam, seledri, tahu, dan lenthok (perkedel ketela) ini menawarkan sensasi rasa segar gurih yang sederhana, tanpa banyak letupan rasa. Sesederhana suasana dan hangat matahari pagi Jogja di Pasar Lempuyangan.

Kebiasaanku bila naik kereta malam dan tiba pagi di Stasiun Lempuyangan adalah menuju Pasar Lempuyangan yang berjarak sekitar 400 meter dari stasiun dengan berjalan kaki.  Sarapan soto lenthok yang gerobak penjualnya berada di bagian depan pasar menjadi ritual yang wajib dilakukan. WC Umum pun menjadi langgananku ketika di pasar ini, selain untuk buang hajat aku juga biasa mandi untuk menyegarkan badan setelah semalaman di kereta.

Tapi kemarin itu aku tidak ke WC pasar, Mbak Ruri menawarkan untuk mandi di rumahnya di daerah Godean. Aku mengenal Mbak Ruri karena kesamaan minat terhadap sejarah dan bangunan heritage. Dan pada tahun 2017, beliau yang seorang fotografer dan almarhum Deni Priya Prasetia Sadji penggiat budaya Tionghoa mendirikan Indonesia Graveyard, sebuah gerakan yang mendokumentasikan dan mengkaji sejarah makam makam tua dan unik di Indonesia.

Pada awalnya Indonesia Graveyard berkegiatan di Jakarta dan sekitarnya, tetapi setelah Deni meninggal dan Mbak Ruri kembali ke Jogja, Indonesia Graveyard memusatkan kegiatannya di kota gudeg ini. Suatu ketika, Mbak Ruri pernah berjanji akan mengajakku melihat makam makam yang unik bila aku berkunjung ke Jogja. Dan hari itu aku menagih janjinya.

Ketika Rinda datang aku telah selesai mandi, kami bertiga pun langsung memulai tur kuburan bersama Mbak Ruri. Tak sampai 15 menit, dengan menggunakan motor, kami tiba di Kampung Gendhingan, Ngampilan. Kampung ini telah lama ada, hasil pencarianku di google menyebutkan kampung Gendhingan dulunya adalah kawasan tempat tinggal abdi dalem Wiyogo (pemain gendhing/gamelan) Keraton Jogja. Tetapi sekarang telah menjadi perkampungan yang ramai dengan latar belakang masyarakatnya yang beragam.

Aku melihat beberapa rumah limasan tua dengan dinding kayu bercat kusam dan atap genting coklat menghitam penanda ketuaannya. Menurut cerita rumah adat tradisional Yogyakarta ini tahan gempa. Karena struktur konstruksi rumah Limasan ini memakai kayu dengan sistem bongkar pasang dan sambungan – sambungan kayunya menggunakan sistem sundhuk, yang mana sistem ini bisa menghasilkan daya elastisitas pada material kayu yang bisa meredam getaran atau guncangan akibat dari pergeseran tanah atau gempa bumi.

Setelah memarkir motor, kami dibawa mbak Ruri ke tengah kampung. Aku membayangkan akan menemukan  pemakaman umum dengan kijing (nisan dari batu) tua, tetapi aku malah menemukan kijing-kijing yang berbagi ruang, berhimpitan dengan rumah warga.

Makam disamping rumah Pak Wijiyono
Makam disamping rumah Pak Wijiyono/Daan

Agak bertentangan dengan apa yang kulihat dan yang pernah kubaca tentang budaya leluhur orang Jawa yang sangat menghormati orang yang telah meninggal, sampai cendekiawan jaman itu membuat 5 sinonim tentang kuburan: kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan. Bahkan kita sering melihat makam berdekatan dengan ruang shalat di masjid-masjid, ini membuktikan relasi yang kuat antara agama dan makam. Ritual ruwah dan nyadran pun masih sering dilakukan masyarakat Jawa sampai sekarang, sebagai penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dan makam makamnya.

Mbak Ruri langsung mengajak kami ke rumah bapak Wijiyono yang diapit oleh 2 kijing di kiri kanannya. Kijing-kijing ini tampak bersih dan terawat walaupun di salah satu sisi rumah terdapat kandang burung. Sayang pada saat itu pak Wijiyono sedang bersiap untuk pergi, kami hanya bisa mengobrol sebentar dengan istri beliau yang kebetulan lahir di kampung Gendingan ini dan mendapatkan info bahwa semenjak beliau lahir di tahun 70-an kawasan ini sudah menjadi area pemakaman untuk masyarakat sekitar. Tapi ketika kutanyakan mulai kapan pemakaman ini  dijadikan pemukiman, beliau tidak mengetahuinya. Beliau hanya menambahkan menurut cerita orang tuanya semenjak jaman Jepang menduduki Indonesia, area pemakamannya sudah tidak digunakan lagi.

Dari rumah bapak Wijiyono kami menuju rumah ibu Sumartini. Beliau menyambut ramah dengan membukakan pintu rumahnya setelah tahu maksud kedatangan kami dan langsung bercerita kalau di depan pintu masuk ada 2 makam bayi, tetapi telah dipindahkan sewaktu pembangunan rumah dengan seizin keluarga pemilik makam dan ibu Sumartini juga melakukan selamatan atas pemindahan makam tersebut.

Bogirah
Bogirah/Daan

Masih di bagian depan rumah beliau, ada 1 kijing kecil yang di nisannya tertulis nama Bogirah dan 1.5 meter di belakangnya menempel dengan dinding dapur ada juga nisan yang bertuliskan Kyai Gali tanpa ada tulisan apa apa lagi. Oiya, sebagian kijing yang ada disini tidak ada lagi tulisan sebagai penanda siapa yang dimakamkan di dalamnya.

Setelah mendengarkan cerita tentang makam-makam bayi tersebut, mbak Ruri meminta izin untuk melihat bagian dapur rumah. Di ruangan yang tidak terlalu luas ini, selain ada tempat memasak, tempat mencuci piring dan kamar mandi ada satu kotak persegi panjang dari batako setinggi kurang lebih 80 cm, lebar 100 cm, dan panjang 150 cm, berlubang pada sisi atasnya, hanya ditutupi beberapa lembar papan.

2 makam di dapur Ibu Sumartini
2 makam di dapur Ibu Sumartini/Daan

Ibu Sumartini membuka papan penutup kotak, kami melihat ada 2 kijing, lagi-lagi tanpa ada tulisan nama atau tahun meninggalnya. Kemudian beliau mulai bercerita bahwa  yang dimakamkan di kijing tersebut adalah dua perempuan cantik. Beliau mengakui pernah didatangi oleh kedua perempuan tersebut di dalam mimpi. Kedua perempuan tersebut meminta ibu Sumartini tidak usah takut karena mereka tidak akan mengganggu. Karena sebelumnya, para tukang yang membangun dapur merasa takut dan tidak berani untuk memindahkan makam. Akhirnya ibu Sumartini dan suami memutuskan membiarkan kijing tersebut dan membuat kotak persegi panjang untuk menutupinya. Tetapi anak-anak mereka tetap takut menginap di rumah. Sampai sekarang ibu Sumartini tetap merawat kedua kijing tersebut dan bila ada kesempatan beliau mengirim doa untuk kedua perempuan cantik yang diyakini dimakamkan di dapurnya.

Dari kampung Gendingan, kami menuju Taman Wisata Pemandian TamanSari. Bukan untuk berwisata, tapi ingin melihat pemakaman yang menyatu dengan pemukiman. Ternyata pemakaman ini dekat dengan Masjid Soko Tunggal—yang ada di dekat pintu masuk Taman Sari—dan dikenal karena keunikannya karena hanya memiliki satu tiang penyangga utama atau soko guru.

Makam R.A Arten Surokusumo
Makam R.A Arten Surokusumo/Daan

Kondisi pemakaman disini terlihat sangat tidak terurus. Beberapa kijing ada di bagian belakang rumah warga. Ada kijing yang setengahnya sudah tertindih bangunan rumah, ada yang diatasnya dibangun kandang burung, ada yang tertimbun tanah dan sampah kayu. Hanya satu kijing yang terlihat dirawat karena memiliki atap, di nisannya tertulis Raden Ayu Arten Surokusumo.

Menurut cerita yang diyakini masyarakat sekitar, beliau masih keturunan keraton yang memiliki darah Jawa – Belanda dan hidup di masa penjajahan Jepang. Karena kecantikannya banyak serdadu Jepang yang menaruh hati tapi selalu ditolak oleh sang putri. Karena penolakan tersebut para serdadu ini marah dan menganiaya sang putri hingga kakinya patah dan akhirnya meninggal. Dari cerita itulah masyarakat sekitar percaya kijing sang putri selalu akan miring walaupun telah direnovasi, ini karena kaki sang putri yang patah oleh kekejaman serdadu Jepang.

Sangat menarik mengikuti kegiatan Indonesia Graveyard ini. Sejujurnya aku tidak suka ke pemakaman, aku tidak suka dengan suasana sepi dan seram pemakaman. Tapi Indonesia Graveyard memperluas pemahamanku tentang makam, bukan hanya tempat untuk untuk ziarah dan mengantar jenazah untuk dikuburkan tapi mereka mengajak kita untuk memahami makam adalah sebuah produk budaya yang bisa dijadikan kajian.

Aku juga pernah melihat postingan mereka di Instagram tentang kegiatan pembersihan bong (kuburan tua orang Tionghoa). Aku yakin mereka tidak mengenal sama sekali siapa yang dimakamkan di bong tersebut.

Dari cara mereka memperlakukan makam yang mereka kunjungi itu dan mendokumentasikannya membuatku berpikir akan doa-doa baik untuk orang orang yang telah meninggal yang melayang di angkasa tanpa tujuan karena makam yang telah hilang atau rusak akhirnya bisa kembali menemukan jalannya.

Selain itu kegiatan Indonesia Graveyard ini bisa dimasukkan ke dalam konsep Urban Tourism atau wisata kota—yang tentunya berbeda dengan wisata keagamaan. Jadi Yogyakarta ataupun daerah lainnya tidak hanya akan dikenal dengan wisata budayanya atau wisata alamnya, wisata kuburan pun bisa menjadi sebuah keniscayaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Aku Kembali ke Jogja dan ke Kuburan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/aku-kembali-ke-jogja-dan-ke-kuburan/feed/ 0 29555
Aku Mengumpat dan Bercerita di Jalan MH. Thamrin https://telusuri.id/aku-mengumpat-dan-bercerita-di-jalan-mh-thamrin/ https://telusuri.id/aku-mengumpat-dan-bercerita-di-jalan-mh-thamrin/#respond Fri, 15 Jan 2021 04:56:27 +0000 https://telusuri.id/?p=26334 “Hahaha.. sial kelewatan!” Aku mengumpat sekaligus menertawakan kebodohanku, ketika tersadar telah melewati halte Transjakarta Bank Indonesia. Aku pun turun dan keluar dari halte Transjakarta Tosari ICBC, terpaut 1 kilometer lebih dari tujuan awalku dan memilih...

The post Aku Mengumpat dan Bercerita di Jalan MH. Thamrin appeared first on TelusuRI.

]]>
“Hahaha.. sial kelewatan!”

Aku mengumpat sekaligus menertawakan kebodohanku, ketika tersadar telah melewati halte Transjakarta Bank Indonesia. Aku pun turun dan keluar dari halte Transjakarta Tosari ICBC, terpaut 1 kilometer lebih dari tujuan awalku dan memilih untuk berjalan saja.

Dari depan kantor Kedubes Jerman aku mulai berjalan ke arah Utara. Di sebelah kiri, menjulang Menara BCA setinggi 230 meter dan memiliki 56 lantai. Bangunan ini mempunyai struktur material komposit berupa bahan baja dan beton, sehingga mempunyai kemampuan adaptif dalam menerima getaran. Di tahun 2016 pernah ada kepanikan yang dipicu oleh teriakan warga pada saat Car Free Day yang mengatakan Menara BCA bergoyang dan akan roboh. Padahal gedung bergoyang itu daya lentur dari material komposit untuk meredam getaran.

Cerita dari Jalan MH. Thamrin hingga Bundaran HI

Jalan MH. Thamrin yang kulalui ini dibangun tahun 1949 atas prakarsa pemerintahan sipil Hindia Belanda/NICA. Bertujuan untuk menyambungkan kawasan pemerintahan dan bisnis di Koningsplein (sekarang kawasan Medan Merdeka), Noordwijk (Jl. Juanda) dan Risjwijk (Jl. Veteran) dengan area pengembangan kota baru di Selatan, Kebayoran. Melintang dari Utara ke Selatan, dari Bundaran Patung Kuda di Jl. Merdeka Barat sampai di Bundaran Patung Pemuda Membangun atau bundaran air mancur Senayan.

Aku pun melewati Hotel Mandarin Oriental,  menyeberangi Jl. Imam Bonjol dan berhenti di depan Pos Polisi. Aku duduk di salah satu bangku taman, menikmati riuh lalu lalang kendaraan di Bundaran Air Mancur Hotel Indonesia (Bundaran HI) yang dikelilingi gedung gedung menjulang angkuh ke angkasa.

Bundaran HI

Bundaran HI/indocropcircles.wordpress.com

Di tengah Bundaran HI yang oleh penggemar teori konspirasi disebut sebagai simbol Illuminati karena menggambarkan Eye of Horus ini terdapat monumen dengan patung di atasnya. Bundaran dan monumen ini dibangun oleh Soekarno dalam rangka penyelenggaraan Asian Games 1962. Sketsa 2 patung muda mudi dengan tangan kanan melambai dan tangan kiri menggenggam seikat bunga dibuat oleh Henk Ngantung yang pada saat itu menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta dan dikerjakan oleh pematung andalan Soekarno, Edhi Sunarso. Monumen dan patung ini menghadap ke Utara menggambarkan  penyambutan tamu tamu Asian Games yang datang dari bandara Kemayoran.

Penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta sebenarnya banyak mendapatkan kritikan dari masyarakat, bahkan Hatta pun ikut protes. Beliau mengatakan biaya penyelenggaraannya tidak sesuai dengan keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu. Tetapi Soekarno dengan ambisinya mengangkat nama, harkat, dan martabat bangsa Indonesia di mata internasional dan menginginkan Indonesia sebagai mercusuar dunia menganggap Asian Games ini sebagai momen untuk menunjukkan itu semua.

“Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan—ini juga penting,” Kalimat tersebut menunjukkan keegoisan Soekarno akan pentingnya kebanggaan nasional pada saat itu.

Beruntung Indonesia pada tahun 1958 mendapatkan harta pampasan perang (uang ganti rugi karena penjajahan) dari Jepang senilai USD 223,08 juta dalam bentuk barang modal dan jasa, yang kemudian digunakan oleh Soekarno untuk membiayai proyek mercusuarnya.

Bundaran HI

Bundaran HI, 20 Agustus 1971. Di kiri foto adalah Hotel Asoka.
Foto: Joost Evers/ANEFO/Arsip Nasional

Hotel Indonesia dan sejarahnya

Selain Bundaran Monumen Selamat Datang, Soekarno membangun Hotel Indonesia sebagai akomodasi untuk peserta Asian Games 1962 dari uang pampasan perang Jepang. Dibangun tahun 1959 dan selesai 3 minggu sebelum Asian Games 1962 dibuka.

Hotel setinggi 52 meter ini terdiri dari 2 bangunan: gedung Ramayana dan gedung Ganesha. Mempunyai 436 kamar dengan fasilitas: AC, kamar mandi lengkap dengan air dingin dan panas, dan telepon di setiap kamar yang dihubungkan dengan lima saluran. Dan menjadikan Hotel Indonesia sebagai hotel terbesar, termodern, termewah dan termahal pada saat itu. Sampai tahun 1969 dari awal pembukaannya, hotel ini menggunakan dollar sebagai alat pembayarannya.

Menelisik cerita Wisma Nusantara

Tepat di seberang Hotel Indonesia, masih menggunakan uang pampasan perang Jepang, Soekarno membangun gedung pencakar langit pertama di Indonesia, Wisma Nusantara, pada tahun 1964 dengan biaya USD 5,7 juta. Namun karena masalah dana dan pergolakan politik tahun 1965, pembangunan gedung terhenti. Baru di tahun 1972 pembangunan diteruskan kembali dan di tahun yang sama gedung 30 lantai setinggi 117 meter ini akhirnya selesai dan diresmikan oleh Soeharto bersamaan dengan dibukanya President Hotel (sekarang Hotel Pullman).

Dulu di depan Wisma Nusantara ada JPO (jembatan penyeberangan orang) menuju Plaza Indonesia yang dibongkar tahun 2018 oleh gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan diganti dengan Pelican Crossing, zebra cross yang di-upgrade. Beliau juga menata ulang taman-taman yang ada di sana dan menambahkan instalasi seni berupa patung dari bambu yang menghebohkan karena mahalnya biaya pembuatannya dan kemudian diganti dengan instalasi seni lainnya berupa tumpukan tinggi batu karang yang tidak kalah menghebohkan juga.

Dulunya ada gedung bernama Wisma Warta

Sebelum ada Plaza Indonesia, dulu ada gedung bernama Wisma Warta di lokasi ini. Gedung berlantai 6 itu dibangun sebagai tempat kerja para wartawan lokal dan luar negeri yang meliput Asian Games Jakarta 1962. Wisma Warta dilengkapi dengan hubungan teleks dan telepon langsung ke Stadion Gelora Bung Karno, ruang peliputan dan konferensi pers. Tahun 1969 gedung ini direnovasi menjadi 8 lantai dan menjadi Hotel Asoka.

Pada tahun 1984 Hotel Asoka tutup dan dirubuhkan tahun 1985 karena lahan dan bangunannya dibeli investor dari Grup Bimantara yang akan membangun pusat perbelanjaan dengan harga USD 1000 per meter persegi. Dan pada 23 Juli 1991 pada bekas lokasi Wisma Warta diresmikan gedung perbelanjaan dan hotel yang dinamakan Plaza Indonesia oleh presiden Soeharto.

Bundaran HI

Bundaran HI/Daan

Biaya pembangunan, hasil rampasan?

Dari depan Hotel Pullman aku berjalan kembali menuju gedung Sarinah yang juga dibangun dari uang pampasan perang Jepang.

Di balik jutaan dolar dari pampasan perang itu ada cerita menarik tentang 2 gadis Jepang yang pernah dekat dengan Soekarno. Salah satu syarat dikucurkan uang pampasan perang Jepang adalah menggunakan perusahaan perusahaan Jepang sebagai pelaksana proyek pembangunan.

Mengetahui Soekarno penyuka wanita wanita cantik. Pengusaha pengusaha Jepang menggunakan wanita Jepang untuk memuluskan lobi mereka untuk mendapatkan proyek. Yang pertama adalah Sakiko Kanase seorang model dan hostess, singkat cerita Sakiko Kanase diboyong ke Jakarta, diberi rumah di Menteng dan berganti nama menjadi Saliku Maesaroh. Ada juga cerita Sakiko dipanggil Nyonya Basuki dan menjadi pengajar anak anak ekspatriat Jepang.

Sayang hidup Nyonya Basuki berakhir tragis, dia bunuh diri dengan cara mengiris nadinya karena mengetahui Soekarno menikahi wanita Jepang lainnya.

Naoko Nemoto nama wanita itu, yang setelah masuk Islam dan dinikahi Soekarno berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi. Para pengusaha Jepang diceritakan harus mendekati Dewi Soekarno bila ingin mendapatkan proyek di Indonesia. Cerita cerita ini dapat ditemukan di buku Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966 hasil tulisan Masashi Nishihara seorang profesor di Akademi Pertahanan Nasional Jepang.

Hotel Pullman ke Gedung Sarinah

10 menit waktu yang kuhabiskan berjalan dari Hotel Pullman sampai ke Gedung Sarinah.

Mal pertama di Indonesia yang memiliki tangga jalan (merk Hitachi tahun pembuatan 1964) pertama juga di Indonesia ini sedang berbenah. Pemerintah berniat akan mengembalikannya ke fungsi awal sebagai ritel yang mengedepankan pengusaha lokal dan UMKM. Karena hal itu, Mc Donald terpaksa menutup gerai pertamanya di Indonesia yang telah ada sejak 1991 di Sarinah. Di hari penutupannya ratusan orang berkumpul merayakan “perpisahan” dengan kenangan kenangan yang mereka pernah buat disana dan menghasilkan denda 10 juta rupiah buat manajemen Mc Donald karena melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar dari Satpol PP Pemda DKI Jakarta.

Gedung Sarinah

Gedung Sarinah/Daan

Nama gedung setinggi 74 meter dengan 55 lantai ini diambil dari nama pengasuh Soekarno sewaktu kecil, Sarinah, dibangun tahun 1962 dan diresmikan tahun 1966. Ide awalnya ketika terjadi pembicaraan di dalam mobil yang melaju di Jalan MH. Thamrin antara Soekarno dan gubernur DKI saat itu, Soemarno.

Soekarno bertanya mau dibangun apa di tanah kosong sepanjang Jalan Thamrin, pada waktu itu Soemarno menjawab ingin memiliki toserba (toko serba ada) yang modern, Soekarno pun menyetujui. Karena ketidakmampuan manajemen dalam mengelola perusahaan yang akhirnya merugi, pada tahun 1969 lantai atas disewakan untuk menjadi kasino dan tahun 1973, 3 lantai paling atas dijadikan hotel. 

Pemugaran gedung ini ditargetkan selesai Agustus 2021. Dan pada grand openingnya nanti akan ada kejutan dimana relief yang telah lama tertutup di lantai dasar gedung akan dibuka  dan dipertontonkan ke khalayak ramai.

JPO pertama di Indonesia

Aku menaiki jembatan penyeberangan orang (JPO) di depan gedung Sarinah untuk mencari tempat mengambil foto dengan pandangan yang lebih luas.

Tidak banyak yang tahu kalau jembatan ini adalah JPO pertama di Indonesia. Dibangun karena zebra cross yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pejalan untuk menyebrang diabaikan oleh para pengendara yang malah menambah kecepatan untuk melewati pejalan yang mau menyeberang di zebra cross. Ini menyebabkan kecelakaan sering terjadi di Jalan MH. Thamrin pada saat itu.

Jembatan dengan panjang 15 meter dan tinggi 8 meter berbentuk seperti huruf H dengan 2 tangga pada masing masing sisi jalan sehingga totalnya 4 tangga. Diresmikan pada 21 April 1968 oleh Ali Sadikin, gubernur DKI pada saat itu, dan diberi nama Jembatan Kartini karena bertepatan dengan tanggal kelahiran RA. Kartini.

JPO Sarinah

JPO Sarinah/Daan

Dari atas jembatan aku memandang ke arah persimpangan Sarinah. Pada 14 Januari 2016 terjadi teror bom Thamrin yang dilakukan para teroris ISIS yang meledakkan bom di pos polisi di depan gedung Sarinah dan di parkiran Starbucks. Aksi polisi di peristiwa itu yang berseragam casual, mengenakan kemeja warna hitam dengan celana warna coklat khaki dan sepatu senada warna celana yang bermerek Gucci dan Adidas menjadi sorotan para netizen. Frasa ‘Polisi Ganteng’ pun viral pada saat itu.

Sementara halte bus TransJakarta yang berada di bawah JPO Sarinah pernah dibakar massa pada saat demo penolakan terhadap Omnibus Law tanggal 8 Oktober 2020.

Turun dari jembatan aku melewati beberapa kursi taman di depan gedung Sarinah. Di salah satu kursi taman itu beberapa tahun yang lalu temanku bernama Syukron pernah tidur dengan nyenyaknya. Padahal waktu itu jam pulang kantor, trotoar di sana padat oleh lalu lalang karyawan pulang kantor dan menunggu bis. Ntah apa yang ada dipikiran orang orang itu ketika melihat pemuda kumel dengan rambut keriting berkaos merah dan ranselnya enak-enakan selonjoran tidur menguasai bangku taman.

Jalan Kebon Sirih Raya hingga Jalan Thamrin

Dari Gedung Sarinah aku berjalan kembali dan sampai di perempatan Jalan Kebon Sirih Raya – Jalan Thamrin.

Di salah satu sudut perempatan tepatnya di sebelah kiri halte TransJakarta yang menuju ke arah Monas ada bangunan cagar budaya. Gedung berlantai 9 yang seluruh sisi bangunannya dipasang roster beton yang berfungsi sebagai penahan masuknya sinar matahari ini adalah gedung Bank Indonesia. Dibangun oleh arsitek kesayangan Soekarno, FX Silaban dari tahun 1958 sampai 1962. 

Sisi selatan komplek gedung Bank Indonesia langsung berbatasan dengan Jalan Budi Kemuliaan dan Bundaran Patung Kuda yang merupakan batas Jalan Thamrin dengan Jalan Merdeka Barat dan Jalan Merdeka Selatan.

Aku menghentikan langkah, mengernyitkan dahi dan baru menyadari telah sampai di Bundaran Patung Kuda.

Seharusnya di gedung Sarinah tadi aku belok ke arah Jalan Jaksa tempat kostku berada.

“SIAL! KELEWATAN LAGI!!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Aku Mengumpat dan Bercerita di Jalan MH. Thamrin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/aku-mengumpat-dan-bercerita-di-jalan-mh-thamrin/feed/ 0 26334
Karena Lapar, Aku Ada https://telusuri.id/karena-lapar-aku-ada/ https://telusuri.id/karena-lapar-aku-ada/#respond Tue, 29 Dec 2020 07:15:28 +0000 https://telusuri.id/?p=26057 Lapar hari ini harus ditebus dengan kuliner khas, bahkan legendaris, yang ada di wilayah pecinan, Jakarta.

The post Karena Lapar, Aku Ada appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepiring nasi dan semangkuk Indomie Goreng Jumbo dan 2 telur ayam kampung setengah matang yang kupesan di warung indomie  langgananku di Jalan Jaksa langsung ludes tak sampai 10 menit.

Iya, aku kelaparan.

Berencana menyantap Nasi Ulam Misjaya

Sebenarnya aku berencana untuk makan di Nasi Ulam Misjaya di Petak 9.

Nasi ulam adalah hidangan khas Betawi berupa nasi campur dengan bermacam lauk. Seperti yang tertulis di lembagakebudayaanbetawi.org, kuliner ini merupakan perpaduan dari beberapa budaya:  serundeng banyak ditemui di daerah dengan budaya Melayu yang bersumber dari India, semur dan perkedel kentang adalah pengaruh dari Belanda, bihun dan dendeng manis adalah masakan yang dipengaruhi dari budaya memasak Tionghoa. Dan ada 2 varian jenis: varian kering dan varian basah.

Komposisi nasi ulam varian kering adalah nasi putih yang dicampur serundeng. Lauk-pauk sebagai pelengkapnya adalah dendeng, sambal goreng telur, tempe-tahu goreng. Adapun nasi ulam varian basah yaitu nasi putih dilengkapi dengan bihun goreng, perkedel, dendeng sapi manis, cumi kering asin, disiram dengan kuah semur tahu kentang. Dan di kedua varian tersebut diberi rajangan ketimun, daun kemangi dan kerupuk pada bagian atasnya.

Nasi Ulam Misjaya yang menjadi tujuan awalku ke Petak 9 telah berjualan dengan menggunakan gerobak di depan Klenteng Toa Se Bio, Jl. Kemenangan II dari tahun 60an.

Dan sore itu ketika aku sampai di depan klenteng, Pak Misjaya dengan centong nasinya sedang sibuk menyendokkan nasi ke piring piring yang ada di depannya. Ada 5 orang berkerumun di sekitar gerobak, tampaknya sedang menunggu pesanan. 4 meja yang disediakan Pak Misjaya di depan pintu klenteng pun sudah penuh terisi oleh para pelanggan yang sedang menikmati nasi ulam mereka.

Melihat keadaan itu aku nanar, tertunduk lesu, mengurungkan niatku dan memilih pulang saja ke kost-an.

Singgah sebentar di Wiraha Dharma Bakti/Klenteng Kim Tek Ie

Di jalan menuju halte busway Glodok dari gerobak Nasi Ulam Misjaya aku mampir sebentar di Wihara Dharma Bakti/Klenteng Kim Tek Ie yang telah ada sejak 1650. Tampaknya renovasi klenteng tertua di Jakarta yang terbakar di tahun 2015 ini akan segera dilaksanakan. Di halaman tampak bangunan baru yang akan digunakan untuk ibadah, ini menggantikan bangunan tempat ibadah sementara yang ada di bagian belakang bangunan klenteng yang terbakar.

Aku mengambil beberapa foto dan sedikit terkejut ketika melihat susunan panitia pemugaran Wihara Dharma Bakti yang ditempel di dinding pos pengamanan Wihara. Ada nama Liem Sioe Liong/Soedono Salim di bagian Dewan Kehormatan, padahal sudah meninggal di tahun 2012. Beliau adalah pendiri Grup Salim, yang mana merk dan perusahaan dengan nama depan Indo seperti: Indomilk, Indofood, Indomobil sampai Indomart ada di bawah Grup Salim. 

Liem Sioe Liong juga terkenal dekat dengan Soeharto, bahkan sebelum beliau menjadi Presiden. Di masa penggunaan nama Tionghoa harus diganti dengan nama-nama Indonesia, Soeharto yang memberikan nama Soedono padanya. Soe (Su) dalam bahasa Jawa berarti baik, Dono adalah bahasa Jawa nya dari dana yang bisa diartikan juga uang. Sementara nama belakang Salim dipilih Lim Sioe Liong sebagai nama keluarganya Nasi Ulam Misjaya

Masih di daerah Petak 9 secara tak sengaja aku menemukan “Liong” yang lainnya, Roti Liong. Telah ada dari tahun 60an dan menjadikannya salah satu merek roti tua di Jakarta bersama Tan Ek Tjoan (1921), Maison Weiner Bakery (1936), Roti Lauw (1960) dan Toko Roti Tegal di Matraman (1968). Tapi dari semua merek itu hanya Roti Liong yang masih menggunakan pikulan  dalam menjual rotinya. Aku membeli roti dengan isian coklat seharga 4.000 rupiah. Tekstur roti yang mulai jarang ditemui ini tidak terlalu lembut –mungkin karena penggunaan pelembut roti yang tidak terlalu banyak– tapi itu yang menjadi ciri khas roti roti jadul.

Sebelum ke Petak 9, aku berada di dalam bus Transjakarta jurusan Pluit – Balaikota dan memutuskan turun di halte Stasiun Kota untuk mencari makan. Hari semakin sore dan aku belum makan siang.

Menyusuri Pasar Asemka

Keluar dari halte aku menyusuri jalanan di samping Museum Mandiri menuju Pasar Asemka. Masih ada beberapa pedagang menggelar dagangannya di kiri kanan jalan walau sudah sore. Pasar Asemka adalah salah satu pasar grosir terbesar di Jakarta. Di jaman VOC setelah peristiwa Geger Pecinan 1740, keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di dalam benteng kota Batavia. Mereka dipusatkan di satu daerah yang disebut Pecinan dan Pasar Asemka termasuk dalam wilayah tersebut. Dulu terdapat pintu kecil tempat keluar masuk warga Pecinan ke dalam benteng kota Batavia dan sampai sekarang dijadikan nama jalan, Jalan Pintu Kecil.

Disini aku sebenarnya ingin makan Sate Kuah di Soto Tangkar H. Diding yang pernah direkomendasikan oleh Pak Bondan Winarno di salah satu program tv tentang kuliner, tapi sayang sudah tutup. Nasi Tim Pasar Pagi “Ayauw” yang melegenda karena kelezatan rasanya tutup juga. Sepertinya toko dan warung makan di sini tutup sore hari.

Aku mencoba peruntunganku kembali. Restoran dengan masakan Hakka menjadi tujuanku selanjutnya. Restoran rumahan ini telah ada dari 1925 dan mungkin ini satu satunya restoran masakan Tionghoa yang paling tua di Jakarta. Sekarang lokasinya berada di tengah tengah pemukiman warga di sekitar Jalan Perniagaan Timur. Setelah melewati beberapa belokan di gang-gang kecil aku mendapati gerbang yang telah tertutup di bagian pintu masuk Wong Fu Kie.

Aku mengumpat dalam hati dan mulai berpikir dosa apa yang telah kulakukan di masa lalu. Untunglah otakku masih bisa berpikir jernih ditengah keroncongan yang semakin menggila.

“Nasi Ulam Misjaya gak mungkin tutup sore ini,” aku berkata dalam hati. 

Jarak antara Wong Fu Kie dan Nasi Ulam Misjaya sekitar 1 kilometer lebih. Dengan sangat percaya diri aku mempercepat langkahku. Jadwal berjualan Nasi Ulam Misjaya adalah buka jam 4 sore dan tutup jam 10 malam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karena Lapar, Aku Ada appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karena-lapar-aku-ada/feed/ 0 26057
Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/ https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/#respond Sat, 14 Nov 2020 10:38:46 +0000 https://telusuri.id/?p=25257 Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis?...

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis? Lah, trus apa kabar warung makan-warung makan di sekitaran pasar? Gak laku, dong, jualan mereka?!”

Kemudian, tak lama setelah itu, tak sengaja aku melihat unggahan Instagram Adriani Zulivan. Mbak Adriani menceritakan kegiatan memasak gratis yang kunyinyiri tempo hari. Melihat unggahan itu aku jadi merasa tak enak hati, apalagi kutahu Mbak Adriani dan suaminya, Mas Joyo (Elanto Wijoyono), adalah orang-orang baik yang peduli sesama.

Keinginan untuk membantu pun muncul dari dalam pikiranku. Segera kuhubungi Mbak Adriani untuk menyatakan maksudku, meskipun aku belum punya gambaran memadai soal kegiatan memasak dan membagikan makanan gratis itu.

Setelah melihat jadwal libur, baru di pekan kedua bulan November aku punya waktu luang untuk membantu kegiatan itu. Begitu Mbak Adriani mengatakan bahwa setelah 6 November kegiatan akan diistirahatkan sementara selama dua minggu, aku pun kelimpungan. Akhirnya kusiasati kembali jadwal liburku yang terbatas, terus kucocokkan dengan jadwal kereta ekonomi jurusan Jakarta-Jogja. Kereta kelas ekonomi adalah pilihan pertama. Maklum, masa pandemi ini sangat memengaruhi keadaan ekonomi bulananku, sampai-sampai ada satu istilah yang selalu membahana dalam pikiranku: eman-eman.


Akhirnya aku berada di Warmindo Bakzoo, Jl. Veteran 36, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, tak jauh dari seberang pintu masuk barat Kebun Binatang Gembira Loka, setelah menempuh 11 jam perjalanan naik kereta. Hampir dua pertiga perjalanan aku memakai face shield, salah satu hal yang diwajibkan PT KAI selain menunjukkan hasil rapid test yang non-reaktif. Tak nyaman, memang. Tapi semua harus dilakukan supaya wabah tak makin parah.

Warmindo Bakzoo/Daan Andraan

Hari pertama di warmindo yang jadi dapur umum itu aku hanya membantu memotong kentang yang hendak diracik jadi sambal kentang goreng untuk nasi bungkus yang akan dibagikan besok. Tak ada kegiatan memasak hari itu sebab sudah ada donasi 145 porsi nasi bungkus.

Ketika matahari tepat di atas kepala, aku ditawari makan siang bersama. Ikan goreng, tahu goreng, sayur ubi tumbuk, dan sambal dadakan yang luar biasa pedas menjadi menu makan siang kami. Sambil menikmati itu semua aku mulai menodong Mbak Adriani untuk bercerita tentang gerakan memasak makan siang gratis ini.

dapur gendong
Para relawan Dapur Gendong sedang menyiapkan nasi bungkus/M. Berkah Gamulya

Gerakan ini, tutur Mbak Adriani, berawal ketika Mas Mul (G. Berkah Mulyana) tersentuh hatinya melihat keadaan buruh gendong pasar di Jogja semasa corona ini. Hampir semua buruh gendong di pasar itu adalah wanita sepuh. Upah mereka hanya Rp2.000 untuk sekali menggendong beban yang kadang lebih berat ketimbang tubuh renta mereka. Sebelum pandemi, penghasilan simbah-simbah buruh gedong itu hanya Rp20.000-50.000 per hari. Tentu sekarang, ketika orang-orang lebih memilih di rumah saja, penghasilan mereka makin turun. Sementara, pengeluaran harian mereka tak ikut menurun.

Aktivitas memasak di Dapur Gendong/Daan Andraan

Sebagian besar di antara mereka bukan berasal dari sekitar pasar. Buruh-buruh gendong di Pasar Beringharjo, misalnya, banyak yang dari Kulonprogo. Dari rumah, mereka naik bus kecil dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan—pulang-pergi berarti Rp14.000. Untuk makan nasi dengan lauk tempe mereka keluar uang Rp4.000. Ditambah biaya toilet umum, total pengeluaran mereka sehari sekitar Rp20.000. Jika penghasilan rata-rata minimal mereka Rp20.000 per hari, apa yang bisa mereka bawa pulang? Maka, tak jarang mereka memilih tak pulang, tidur di pasar, ketika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran harian.

Lalu Mas Mul, Mas Joyo dan Mbak Adriani (aktivis sosial), serta Mas Dodok (Dodok Putra Bangsa, seniman dan penggerak “Jogja Ora Didol”) sepakat membuat dapur umum untuk memasak makan siang yang akan dibagikan gratis kepada para buruh gendong—”Porter woman,” demikian Mas Dodok menyebut.

Kiriman perdana Dapur Gendong, sebutan untuk dapur umum mereka, tanggal 19 Oktober 2020 adalah 130 bungkus berisi capcay jowo, telur balado, nasi putih, dan air minum. Penerimanya adalah para buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dana untuk nasi bungkus itu, cerita Mbak Adriani, berasal dari donasi beberapa LSM, PPI, Gusdurian, dan orang-orang yang peduli.

Demi memudahkan penyediaan dan distribusi, Dapur Gendong memakai data yang mereka terima dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), sebuah lembaga yang melakukan pendampingan dan penguatan gerakan perempuan akar rumput, tak terkecuali buruh gendong. Yasanti mencatat bahwa di Pasar Beringharjo ada 145 buruh gendong, Pasar Giwangan 100 orang, Pasar Gamping 25, dan Pasar Kranggan 13.

Jumlah relawan yang semula belasan sekarang jadi lebih dari 30 orang. Mereka meluangkan waktu terlibat dalam empat kelompok tugas, yakni tim dapur (juru masak), tim bungkus (mengemas masakan), tim bersih (mencuci piring dan membersihkan dapur), dan tim distribusi (mengantar makanan ke pasar).

dapur gendong
Menu Dapur Gendong/Daan Andraan

Para relawan itu sebagian adalah para pekerja yang terkena dampak pandemi COVID-19.

Ibu Dijah (59 tahun), misalnya. Sewaktu tinggal di Jakarta ia bekerja di katering. Awal 2020 kemarin ia pulang ke Jogja membawa asa untuk membuka usaha. Namun rencana itu batal karena pandemi tiba. Sekarang, setiap hari ia datang ke Dapur Gendong dan menjadi kepala dapur yang bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 150 nasi bungkus per hari. Relawan lainnya, Yusuf Bernadion Marcelino, sebelum pandemi adalah seorang koki di salah satu restoran di Jogja. COVID-19 membuatnya dirumahkan. Cerita-cerita mengharukan juga dibawa oleh para relawan lain yang ikhlas membantu Dapur Gendong tanpa bayaran. Doa-doa terbaik kudaraskan pada mereka semua.


Di hari terakhirku di Jogja, aku berniat datang jam 9 pagi ke Dapur Gendong, ketika para relawan sedang membungkus makanan. Kegiatan harian di Dapur Gendong sudah terjadwal—jam 7 memasak, jam 9 membungkus, dan jam 11 mendistribusikannya ke pasar-pasar. Setelah itu, para relawan akan istirahat makan siang sebelum kembali menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak keesokan harinya.

Tapi, sebelum ke Dapur Gendong aku ke Pasar Beringharjo terlebih dahulu untuk melihat dan mengambil foto para buruh gendong.

dapur gendong
Berfoto bersama buruh gendong/M. Berkah Gamulya

Setiba di sana, suasana masih sepi dan beberapa kios belum buka. Aku berkeliling pasar, melihat beberapa orang buruh gendong duduk-duduk di lorong kios sayur di lantai 2. Tiba-tiba seorang simbah melintas di depanku dengan karung besar di punggungnya. Aku mengikutinya. Dari belakang sini hanya tampak karung besar dan sepasang kaki kecil ringkih yang perlahan menapaki dinginnya lantai pasar. Saat mencoba mengambil foto, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku langsung memalingkan muka, teringat ibuku di rumah.

Setelah berhasil menenangkan emosi, aku memesan ojol dan berjanji dalam hati, “Ini bukan terakhir kalinya aku ke Dapur Gendong; aku pasti akan kembali.”

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/feed/ 0 25257
Bundaran Patung Kuda https://telusuri.id/bundaran-patung-kuda/ https://telusuri.id/bundaran-patung-kuda/#comments Fri, 09 Oct 2020 07:54:25 +0000 https://telusuri.id/?p=24353 Aku mengikat tali sepatu lebih kencang dari biasanya di siang itu, 8 Oktober 2020. Kuharap kencangnya tali sepatu akan memudahkanku untuk berlari nanti ketika bergabung dengan para demonstran penolak Undang-Undang Cipta Kerja. Sesuai ajakan di...

The post Bundaran Patung Kuda appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku mengikat tali sepatu lebih kencang dari biasanya di siang itu, 8 Oktober 2020. Kuharap kencangnya tali sepatu akan memudahkanku untuk berlari nanti ketika bergabung dengan para demonstran penolak Undang-Undang Cipta Kerja. Sesuai ajakan di media sosial, unjuk rasa itu dimulai jam 10 pagi, dipusatkan di Istana Presiden. Kosku dan Istana hanya terpisah jarak dua kilometer.

Jalan Kebon Sirih Raya, sebelum Tugu Tani, kujumpai sudah dipenuhi mahasiswa berjaket almamater hijau. Aku pun berjalan bersama rombongan mereka melewati Jalan Merdeka Selatan menuju Bundaran Patung Kuda. Bundaran itu seolah menjadi titik pertemuan para mahasiswa dan buruh dari selatan untuk menuju Istana.

Setiba di Bundaran Patung Kuda, kudapati para mahasiswa sudah berkumpul. Salah seorang koordinator lapangan mereka berorasi di atas mobil yang sudah dimodifikasi.

Tak lama kemudian polisi mulai menembakkan granat asap yang meledak seperti petasan. Suaranya keras. Gas air mata kemudian membuat sebagian mahasiswa berlarian. Sebagian ke arah Jalan Thamrin, sebagian lain ke Jalan Merdeka Selatan dan Budi Kemuliaan.

Aku pun ikut mundur ke arah Jalan Thamrin. Setelah tembakan berhenti, kami kembali merangsek ke Patung Kuda di depan Gedung Indosat. Beberapa orang mencoba memprovokasi polisi yang berkumpul di depan Kementerian Pertahanan dan dekat Halte TransJakarta Monas. Alhasil, para polisi kembali menembakkan granat asap dan bom gas air mata. Lebih banyak kali ini.

Asap pun menyebar ke segala arah. Aku terjebak dalam kepulan asap hasil granat tangan dan gas air mata itu.

Aku yakin hanya menghirup sedikit saja gas air mata. Masker pun kupakai dua sebagai pelindung. Tapi tetap saja kurasakan efeknya. Daerah sekitar mata dan mulut perih luar biasa dan seperti terbakar. Air pun keluar dari mata, selazimnya respons indra penglihat itu ketika terkena benda asing—tapi kali ini lebih banyak. Dengan mata yang menutup karena rasa tak nyaman itu, aku berusaha berlari menjauh.

Setelah semua kembali normal, walaupun rasa tidak nyaman tetap ada di sekitar mata, aku berjalan ke arah Jalan Sabang menuju tempatku bekerja, walaupun hari itu aku libur.

Ternyata massa mahasiswa yang dipukul mundur polisi di Bundaran Patung Kuda sebagiannya berlari ke sekitar Jalan Sabang dan Kebon Sirih di mana restoku berada. Selang sebentar, polisi membuat barikade di ujung Jalan Sabang. Ternyata itu adalah bagian dari taktik polisi untuk menyekat massa, agar mereka tak berkumpul dalam jumlah besar sehingga mudah untuk dipukul mundur.

Di depan resto, sekumpulan massa pelajar kelihatan memprovokasi barikade polisi. Gestur, granat asap, dan gas air mata berdialog. Tapi aku cuma menyibukkan diri mencuci muka dan minum susu untuk menetralkan efek gas air mata.

Peristiwa yang tak sampai satu jam itu membuat jalanan Kebon Sirih penuh serakan beling botol minuman dan batu. Dan udara tentu saja penuh dengan gas air mata.

Sekitar pukul 17.00 massa pun mulai membubarkan diri. Barikade polisi dibuka dan situasi Jalan Kebon Sirih kembali normal.

Tapi, di Jalan Thamrin, Bundaran HI, sampai Harmoni, massa tetap berkumpul. Halte-halte TransJakarta dan MRT di Thamrin dirusak dan dibakar massa. Seorang teman yang bekerja di sebuah hotel di Sawah Besar kasih kabar bahwa Halte TransJakarta Sawah Besar dibakar. Halte Senen juga, berikut gedung tua dari dekade 1920-an bekas Grand Theater di dekatnya.

Sampai jam 8 malam pun aku masih mendengar suara massa berkumpul.

The post Bundaran Patung Kuda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bundaran-patung-kuda/feed/ 1 24353
Di Pecinan Glodok Aku Mencari Kue Bulan dan Menemukan Gus Dur https://telusuri.id/di-pecinan-glodok-aku-mencari-kue-bulan-dan-menemukan-gus-dur/ https://telusuri.id/di-pecinan-glodok-aku-mencari-kue-bulan-dan-menemukan-gus-dur/#respond Mon, 28 Sep 2020 05:06:23 +0000 https://telusuri.id/?p=24070 Karena daya jelajah masyarakat Tiongkok yang luas, peradaban bangsa tersebut memiliki peran yang besar dalam penulisan sejarah peradaban dunia. Begitu pun di Indonesia. Peran bangsa Tiongkok dan budaya Tionghoanya menjadi bagian yang penting dalam sejarah...

The post Di Pecinan Glodok Aku Mencari Kue Bulan dan Menemukan Gus Dur appeared first on TelusuRI.

]]>
Karena daya jelajah masyarakat Tiongkok yang luas, peradaban bangsa tersebut memiliki peran yang besar dalam penulisan sejarah peradaban dunia. Begitu pun di Indonesia. Peran bangsa Tiongkok dan budaya Tionghoanya menjadi bagian yang penting dalam sejarah nusantara.

Salah satu budaya Tionghoa yang berkembang di nusantara adalah kuliner. Ketika masuk ke nusantara budaya kuliner Tiongkok berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan alam dan kondisi sosial masyarakat nusantara. Hasil interaksi dan adaptasi itu dikenal sebagai budaya kuliner Peranakan Tionghoa, menjadi salah satu komponen budaya kuliner nasional Indonesia sekaligus mencerminkan keragaman dan kekayaan kultural masyarakat nusantara.

Kuliner Peranakan Tionghoa itulah yang akhirnya membawaku ke Pancoran, Glodok, dan menyusuri gang yang di kiri-kanannya terdapat rumah-rumah tingkat berfasad tidak terlalu lebar tetapi bisa memanjang belasan meter ke belakang. Menurut cerita, zaman dulu pajak rumah dihitung berdasarkan lebar rumah, bukan luasnya.

Tujuanku kali ini adalah membeli kue bulan, setelah membaca di salah satu portal berita bahwa Festival Kue Bulan tahun ini, 2020, akan jatuh pada tanggal 1 Oktober.

Festival Kue Bulan adalah perayaan masyarakat agraris Tiongkok di pertengahan musim gugur, pada hari ke-15 bulan 8 (Peh Gwee Cap Go) dalam penanggalan masyarakat Tionghoa. Di hari itu, pada bulan purnama, seluruh anggota keluarga berkumpul, berdoa, dan makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang didapat sebelum musim dingin tiba.

Ada banyak versi yang akhirmya menjadi legenda asal mula perayaan musim gugur ini.

Legenda Hou Yi dan Chan E salah satunya. Di versi ini diceritakan bahwa dulu bumi dikelilingi oleh sepuluh matahari. Suatu hari kesepuluh matahari bersinar bersamaan, mengakibatkan kekeringan di mana-mana. Kaisar Langit kemudian mengadakan sayembara untuk memanah sembilan matahari dan menyisakan satu untuk kehidupan di bumi.

Seorang pemanah bernama Hou Yi berhasil memenangkan sayembara itu. Ketika Kaisar Langit menanyakan mau hadiah apa, Hou Yi mengatakan hanya menginginkan menikahi gadis yang dicintainya, yaitu Chan E.

Singkat cerita, Hou Yi kembali mendapat hadiah dari Kaisar Langit, berupa pil hidup abadi, karena berhasil memugar istana Kaisar. Tetapi ada syaratnya, yakni pil itu harus dibagi dua dengan istrinya.

Saking senangnya ia ketika suaminya, Hou Yi, menunjukkan pil hidup abadi itu, Chane E meminum semua pil tersebut. Ia pun “overdosis.” Saat ia hendak jatuh ke lantai, secara mengejutkan tubuh Chan E melayang. Terkejut, Chan E menyambar apa saja untuk berpegangan. Benda terakhir yang disambarnya adalah kandang kelinci beserta kelinci putih di dalamnya. Chan E pun melayang bersama kelinci putih di tangan dan akhirnya terdampar di Bulan. Konon, saat bulan purnama ada siluet seorang putri dan seekor kelinci di permukaan Bulan.

Tetapi keajaiban masih berpihak pada mereka. Setahun sekali, pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan Tiongkok, akan muncul jembatan yang menghubungkan Bumi dan Bulan sehingga mereka dapat bertemu dan memadu kasih hari itu.

Cerita di atas dikutip dari buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara yang ditulis Aji “Chen” Bromokusumo.


Di Pasar Petak Sembilan, aku menuju toko kue Fay Kie berada di Jl. Kemenangan Raya No. 32, Glodok. Di toko yang telah ada dari tahun 1934 itu aku membeli kue bulan dengan isian durian berbentuk seperti bakpia besar seharga Rp47 ribu.

Dalam Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara dituliskan bahwa jenis tiong ciu pia atau kue bulan yang umum di Indonesia adalah Cantonese-style mooncake, Suzhou-style mooncake, Chaoshan (Tiociu)-style mooncake, dan Ningbo-style mooncake.

Toko kue Fay Kie yang sudah ada sejak 1934/Daan Andraan

Yang kubeli di Fay Kie adalah Tiociu-style. Bentuknya seperti bakpia Jogja tapi berdiameter lebih lebar. Suzhou-style yang bentuknya mirip [sekali] dengan bakpia. Dan memang dari dua gaya kue bulan itulah bakpia Jogja diadaptasi.

Cantonese-style bentuknya lebih tebal dengan kulit berwarna cokelat bermotif. Lebih kenyal dari kulit kue bulan Suzhou-style dan Tiociu-style yang berlapis-lapis.

Kue bulan “Tiociu-style” (kiri) dan Cantonese-style (kanan)/Daan Andraan

Dari toko Fay Kie aku menuju Gedung Candra di Jl. Pancoran, masih di Petak Sembilan. Di lokasi itu terdapat toko kue Sin Hap Hoat. Aku ingin membeli kue bulan Cantonese-style-nya yang terkenal.

Tapi aku tidak menemukan toko tersebut. Bahkan plang tokonya pun juga aku tak jumpa. Padahal dua bulan yang lalu aku masih sempat mengambil foto plang toko Sin Hap Hoat yang menempel di bagian depan Gedung Candra. Sayang sekali, sebab Sin Hap Hoat adalah merk tertua kue bulan. Di kotak kue mereka tertulis angka 1909.

Akhirnya aku membeli kue bulan Cantonese-style di Gang Kalimati yang terkenal dengan toko-toko penjual makanan dan jajanannya. Gang ini bersama Gang Gloria menjadi pusat kuliner dan jajanan khas Pecinan di Petak Sembilan.

Masih di gang itu, aku menikmati sebungkus es liang teh dan cempedak goreng dengan siraman gula cair. Dalam pahit es liang dan manisnya cempedak goreng, bayangan Gus Dur melintas di kepalaku.

Berkat beliaulah—yang sewaktu menjabat sebagai presiden menerbitkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina—ekspresi budaya dan kepercayaan komunitas Tionghoa dapat bebas dilakukan di Indonesia tanpa memerlukan izin khusus.

Dan karena Gus Dur pula aku bisa menulis ini tanpa harus khawatir ada Jeep berwarna hijau parkir di depan indekosku tengah malam buta.

The post Di Pecinan Glodok Aku Mencari Kue Bulan dan Menemukan Gus Dur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-pecinan-glodok-aku-mencari-kue-bulan-dan-menemukan-gus-dur/feed/ 0 24070