Danang Nugroho https://telusuri.id/penulis/danangnugroho/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 18 Jun 2025 16:21:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Danang Nugroho https://telusuri.id/penulis/danangnugroho/ 32 32 135956295 Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/#respond Thu, 19 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47483 Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah salah satu anggota tim, Tarissa. Rumah Tarissa hanya berjarak 10 meteran dari rumah Pak Arif Kurniawan.

Teh hangat dihidangkan Tarissa. Zakia membawa beberapa jajanan pasar. Ama dan Dyah menyiapkan tripod, ponsel, dan clip on. Sementara saya tengah menyeduh teh dan melihat jam di dinding.

“Ayo, ke Pasar Cebongan, sudah hampir pukul 06.00 ini,” ajak saya.

“Ayo, gas!” jawab mereka penuh semangat.

Hanya lima menit perjalanan kami ke sana. Setelah melalui pintu masuk dan memarkirkan kendaraan, terlihat jelas kios di area depan Pasar Cebongan dengan plang tertulis “AN. Putra Juwana”. Di tengah hiruk-piruknya pasar, lelaki usia madya 40 tahun tengah menjaga lapaknya. Kami pun pergi menghampiri.

Tampak sebuah etalase dengan pajangan beberapa ikan bandeng yang ditaruh pada wadah-wadah kayu berbentuk kotak, ditutupi kertas makanan putih pada kepalanya. Sudah banyak yang terjual. Namun, masih pagi sekali, kios baru saja buka sehingga belum seluruhnya langsung terjual habis. Di samping itu, di dalam kios, disediakan juga stok ikan bandeng di dalam freezer untuk mengisi kembali kekosongan tempat di etalase.

“AN. Putra Juwana” merupakan jenama yang terdiri dari: ‘A’ yang berarti Arif, ‘N’ berarti Nur (istri Pak Arif), ‘Putra’ berarti anak laki-laki, dan ‘Juwana’ merupakan tempat asal ikan bandeng diambil. Tak lama berselang istrinya datang. Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, Pak Arif mengajak kami ke rumahnya untuk mengikuti proses produksi.

“Pulang dulu, Sayang, kamu jaga toko, ya,” pamit Pak Arif kepada istrinya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Produk bandeng presto yang siap jual tersedia di dalam etalase/Afrinza Amalusholehah

Proses Produksi Bandeng Presto AN. Putra Juwana

Tepat di sebelah kanan rumah Pak Arif, pintu itu dibuka. Bau amis menggelegar. Dua orang tengah bekerja sesuai dengan tugasnya, yaitu.Rahmat (Mamat) dan Purwanto (Lik To). Kedatangan kami menghadirkan senyuman pada wajah mereka. Keduanya masih muda, layaknya anak-anak setelah lulus SMA.

Mamat beranjak pergi mengambil air pada sebuah ember 120 literan, lalu dituangkan pada ember-ember kecil 10 literan, yang sebelumnya sudah diisi sejumlah ikan sesuai kapasitasnya. Kedua tangannya pun masuk ke ember kecil itu, lantas Mamat mulai mengaduknya untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tersisa.

Di sela-sela pekerjaan Mamat, tampak Lik To sedang mengambil kotoran sisa pada perut ikan. Ditemani dingklik sebagai alas duduknya, Lik To senantiasa mencukil satu per satu kotoran itu hingga bersih. Itu adalah kotoran sisa-sisa saja. ”Ini dibersihkan ulang,” ujarnya.

“Itu sudah dibersihkan dahulu di Juwana,” lontar Pak Arif seketika. AN. Putra Juwana mengambil ikan dengan kualitas bagus. Pengambilan itu didasarkan dari proses pengambilan ikannya. Pak Arif memilih petani ikan yang ketika menangkap ikan, jaringnya tidak langsung diambil, tetapi ikan itu dibiarkan dulu menggantung pada jaring selama satu jam hingga keluar semua kotorannya.

Pengambilan dari Juwana sebanyak 1,5 ton, sedangkan 5 ton sisanya untuk es batu. Mengendarai pikap Grand Max hitam, ikan-ikan itu bisa sampai di Jogja. Tidak seperti kisahnya dulu yang mengantar ikan harus titip truk muatan garam. Setelah sampai pun tidak langsung dimasak. Akan tetapi, perlu upaya penyortiran size untuk mengklasifikasikan ukuran yang besar dan kecil.

Di tengah obrolan, Mamat berganti haluan. Kini ia menata bandeng pada kotak kayu. Berbekal tiga hal: satu kertas makanan, dua garam kasar, dan tiga plastik bening. Bukan kertas koran atau kertas bekas LKS anak sekolahan yang digunakan karena terdapat tinta di sana. Ini soal kualitas. Ikan-ikan itu ditata dua kiloan per kotaknya, dengan penutup kertas makanan pada kepala ikan, dan taburan-taburan garam kasar pada tubuhnya. Kemudian plastik digunakan untuk alas pemisah kotak satu dengan kotak lainnya.

Maksimal kapasitas dandang untuk memasak 52 kotak. Akan tetapi, hari ini mencapai 42 saja. Sebab, itu adalah stok terakhir, sebelum malamnya Pak Arif pergi ke Juwana untuk mengambil 1,5 ton ikan lagi.

Kiri-tengah: Tampak kelihaian Mamat dan Lik To membungkus kepala ikan dengan kertas/Sayyidati Zakia Afkaroh. Kanan: Bandeng presto yang sudah siap masak ditata dan disusun sedemikian rupa/Tarissa Noviyanti Az Zahra.

Tak lama kedua karyawan itu bahu-membahu memasukkan kotak-kotak bandeng presto ke dalam dandang. Tak lupa mereka menaburkan rempah-rempah untuk menjaga kualitas ikan. Penutup dipasang, mur mulai diputarkan pada baut-baut dandang, tandanya proses masak akan segera dimulai.

Dua gas LPG 3 kg dipasang, alirannya mulai diaktifkan. Mamat dengan membawa selembar kertas persegi panjang mulai meringkasnya seperti sumbu petasan. Korek dinyalakan, api pun membakar kertas itu. Melalui tangan kanannya, kertas itu disodorkan ke bawah dandang, tepat di mana aliran gas keluar. Api pun mulai hidup dan membakar bagian bawah dandang.

Sudah bekerja 10 tahunan, dua karyawan itu sudah paham seberapa api dikobarkan. Tidak memakai alat pendeteksi suhu semacam termometer, tetapi hanya melalui feeling dan itu sudah menjawabnya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Mamat dengan keahlian dan jam terbangnya mampu mengatur api di bawah dandang tanpa alat bantu termometer/Afrinza Amalusholehah

Penantian Kematangan Bandeng Presto

Dua jam berlalu, Mamat mulai membuka tube-tube pada dandang. Uap dalam dandang mulai keluar, asap putih mendesis kencang dan mengepul di udara. Aroma khas bandeng presto mengisi ruangan.

Dua jam di awal pembukaan uap adalah sebuah penentuan: Apakah bandeng sudah lunak? Jika sudah, maka dijaga kobaran apinya. Namun, jika berlebihan atau kekurangan, kobaran itu diatur lagi sesuai porsinya.

Total tujuh jam untuk memasak. Dua jam telah digunakan di awal sebagai penentuan. Kini, dengan kopi, rokok, bluetooth speaker, dan ponsel, Mamat dan Lik To setia menunggu bandeng presto matang. Setiap 30 menitnya mereka harus membuka tube secara berulang hingga lima jam sisa waktu itu terpenuhi.

Kini matahari sudah condong ke barat. Tujuh jam telah berlalu, Mamat dan Lik To segera mematikan api dan membuka tube dandang. Desis uap pun keluar, dari yang berbunyi kencang dan keluar cepat, berangsur-angur mereda. Akhirnya kematangan bandeng presto telah mencapai klimaksnya.

Mur mulai diputar dan terlepas satu persatu dari pasangannya. Mamat dan Lik To mulai memosisikan diri untuk mengangkat penutup dandang. Dengan kedua tangannya yang lihai itu, pembukaan dandang pun terselesaikan.

Berbeda dengan dua jam di awal proses memasak, kini aroma khas bandeng semakin tajam menusuk paru-paru kami. Aroma itu mendatangkan keinginan untuk bergegas menyantap dengan nasi dan sambal.

  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()

Kedua karyawan mulai melanjutkan tugasnya. Kotak-kotak kayu bandeng presto itu dikeluarkan dari dandang. Tanpa sarung tangan dan sebuah alas, mereka segera mengambil kotak-kotak itu dan dipindahkan keluar. Bandeng masih panas, begitu juga dengan kotak wadahnya. Tapi mereka sudah terbiasa. Kotak-kotak itu ditata menumpuk, perlu ditunggu dua jam lamanya agar suhu kembali normal.

Suhu pada ikan-ikan bandeng itu berangsur-angsur menjadi normal. Kini sudah dua jam berlalu. Ada dua pilihan di benak mereka.

Pertama, jika stok ikan rekan kerja seduluran kehabisan, mereka akan datang dan mengambilnya setelah proses masak selesai. Begitu juga dengan stok Pak Arif di Pasar Cebongan, jika di sana kehabisan maka ikan-ikan itu langsung dibawa ke sana.

Kedua, jika hari ini stok rekan-rekan dan Pak Arif masih banyak, bandeng-bandeng itu belum bisa disebar ke pasar-pasar. Namun, perlu menghuni dulu di freezer rumah produksi Pak Arif. 

Mamat dan Lik To memahaminya dan menemukan jawaban. Mereka lalu mulai memindahkannya ke freezer di rumah produksi.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Foto bersama Pak Arif (tengah) usai melihat proses produksi bandeng presto. Tampak anggota Melati Suci Project, yaitu Zakia (paling kiri), saya, Dyah, Tarissa, dan Ama/Rahmat

Setelah proses itu selesai, tiba-tiba Pak Arif berkata, “Saya itu berharap nantinya punya toko besar di pinggir jalan dengan nama Oleh-oleh Khas Juwana: AN. Putra Juwana. Bukan hanya menyediakan bandeng-bandeng saja, tapi makanan seafood lainnya juga yang siap saji.”

Tak hanya itu, jika mengulang masa lalunya, banyak sekali pelajaran yang ingin ia sampaikan ke khalayak, terutama yang ingin menjadi pengusaha. “Kalau ingin menjadi usahawan itu harus komitmen, profesional, dan tekun. Tapi yang utama harus suka dulu, kalau suka pasti akan nyaman dan enak untuk terus berjalan,” tambahnya dengan wajah penuh harap.


Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Arif Kurniawan, pemilik usaha AN. Putra Juwana berdiri di balik etalase produk bandeng-bandeng presto (Afrinza Amalusholehah)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/feed/ 0 47483
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/#respond Wed, 18 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47474 “Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.” Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)   “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok. “Nggih, Mbok,” jawab saya. Inilah keseharian saya, Arif...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>


Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.”

Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)


  “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok.

Nggih, Mbok,” jawab saya.

Inilah keseharian saya, Arif Kurniawan kecil selama kelas 1–3 SD. Begitu pun lima saudara saya. Jika dagangan ikan Simbok di siang hari belum habis, maka kami disuruh menjualnya keliling desa dengan daerah yang berbeda-beda. Maklum, kami hidup di Juwana, Pati. Sejak kecil sudah hidup di lingkungan petani ikan dan berkenalan dengan ikan, bahkan kami turut menjualnya.

Waktu kian berjalan, kelas 4 SD saya berhenti jualan keliling. Syukurlah, karena ekonomi Simbok sudah membaik.

Setahun berselang, saat kelas 5 SD, entah mengapa saya tiba-tiba terpikir suatu hal: “Bagaimana, ya, kalau saya keluar dari Juwana untuk cari pengalaman dan wawasan?” Dan benar, pikiran saya termanifestasi. Pergilah saya ke Surabaya, tepatnya terminal GM Sari, hanya dengan berbekal celana, baju lengan panjang, dan sarung.

Kepergian itu mempertemukan saya dengan seorang penjual asongan di terminal, Mas Andre, yang juga menawari berjualan. Di situlah sumber penghidupan saya. Melalui pekerjaan itu, saya juga dapat berkenalan dengan banyak teman. Ada pengamen, anak punk, dan anak jalanan lainnya. Sepuluh bulan berjalan, saya berpikir, “Kok begini, ya, kehidupan?”

Akhirnya saya memutuskan pulang ke Juwana. Sesampainya di rumah, saya yang merasa masih kecil dan sudah pergi berkelana, tidak dikhawatirkan sama sekali oleh keluarga. Paling hanya lontaran Simbok yang cukup singkat, “Seko ngendi wae, Le, Le… (Dari mana saja, Nak, Nak…).”

Tapi tidak apa, lontaran singkat itu sudah saya anggap sebagai tanda cinta, apalagi saya yang masih diterima untuk tidur di rumah. Karena masih kelas 5 SD, sempat saya ditawari untuk lanjut sekolah, bahkan kepala sekolah datang ke rumah. Namun, saya tolak. Mau bagaimana lagi? Uang hasil berdagang dari Surabaya sudah saya belikan becak dan kambing, yang bisa digunakan untuk mencari uang.

Kini keseharian saya bukan sekolah seperti anak pada umumnya lagi, juga bukan penjual ikan keliling di desa. Saya menjadi tukang becak keliling dari pagi sampai sore. Setelah itu menjadi penggembala kambing yang setiap harinya harus membabat rumput.

Liputan langsung ke Pasar Cebongan dan Rumah Produksi AN. Putra Juwana/Melati Suci Project1

Arif Kurniawan Kecil yang Masih Haus Pengalaman Hidup

Kalau becak sepi, sumber kehidupan saya dari kernet bus. Karena masih merasa kurang, pergilah saya ke Yogyakarta bersama teman. Sesampainya di Jogja, saya berjualan garam bata, yang ukurannya memang seperti balok bata sebenarnya.

Pernah sekali waktu kena marah sopir karena menjatuhkan garam bata. Mau bagaimana lagi? Masih kecil sudah nyunggi benda berat, terkena senggol sedikit pasti jatuh. Tapi tidak apa, karena tujuan saya memang pergi ‘mencari pengalaman dan wawasan’.

Mencari kedua tujuan itu tidak hanya di Jogja. Kalau perlu saya pergi ke daerah lain lagi. Akhirnya saya pergi ke Solo untuk bekerja. Di situ saya bersama teman mengolah dan berjualan bandeng presto di toko milik bos kami, mengubah duri-duri padat pada ikan menjadi lunak, dan memajangnya untuk dijual.

Namun, pengalaman di Solo tidak mudah. Pernah sekali dandang yang digunakan untuk membuat presto meledak. Hal itu disebabkan oleh uap angin pada dandang yang telat dikeluarkan.

Pengalaman pahit itu membuat saya kembali ke Jogja. Di Jogja, saya diajak oleh seorang bernama Tomo untuk mempresto dan jualan ikan bandeng juga. Namun, di lingkungan kerja, teman-teman sering merundung saya karena belum sunat. Itu memang benar, karena saya pergi keluar dari Juwana masih usia belia. Atas kejujuran mereka, wajah saya memerah malu, lalu saya pulang lagi ke tanah kelahiran.

Sesampainya di Juwana, becak dan kambing hasil dari Surabaya saya ubah menjadi uang. Bukan untuk foya-foya, jalan-jalan, ataupun merayakan kepulangan, melainkan modal sunat dan membuat kamar sendiri. Bagi saya itu sudah menjadi suatu kebanggaan karena merupakan hasil dari keringat saya sendiri.

Berjalannya waktu saya masih di Juwana. Kendati demikian, saya tetap pergi juga ke Batam. Sebab, saya jualan barang mentah logam kuningan yang dikirimkan ke sana. Suatu ketika saya sedang pergi ke rumah sakit. Di situ terjadi pertemuan saya dengan Maryono, yang merupakan salah satu anggota tempat pelelangan ikan (TPI). Ikutlah saya dengan Maryono meninggalkan pekerjaan barang mentah logam kuningan itu.

Di TPI harus memiliki kartu anggota. Itu adalah tempat gledek kapal pelelangan, dari pelelangan diantar ke bakul. Saya perlu bekerja keras, karena jika tidak sat-set, uang tidak akan mengalir. Begitulah pengalaman dunia kerja yang saya alami.

Tak lama, atas jerih payah usaha, saya mendapatkan enam bakul. Tentunya itu menjadi keuntungan tersendiri untuk menambah penghasilan saya. Namun, itu berangsur tidak lama. TPI semakin sepi. Terpikirlah keresahan untuk mencukupi kebutuhan. Teringat saya akan relasi di Jogja, bergegaslah saya ke sana untuk mengobati keresahan itu.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi nelayan sedang mengumpulkan ikan di atas kapal/setengah lima sore via Pexels

 * * *

“Sayang! Kopi, sayang!” lantang Pak Arif Kurniawan menyuruh istrinya.

“Hahahaha,” riuh tawa kami mendengarnya.

Di luar hujan memahat tanah halaman rumah. Bau petrikor menyerbak di udara. Selasa (8/4/2025) sore itu, di teras rumahnya, kisah masa kecil Pak Arif diceritakan. Ucapannya meminta kopi ke istrinya memecah imajinasi kami2 yang turut hanyut ke masa lalunya. Saat-saat sebelum sukses menjadi pengusaha bandeng presto Juwana di Jogja.

Kopi sudah datang, korek dihidupkan, asap kretek Dji Sam Soe mengepul di udara. Tandanya cerita berlanjut. 

“Lanjut lagi, ya? Jadi, pada waktu itu…”

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Sore itu Pak Arif (tengah) di sela-sela menunggu kopi dari istrinya, sedangkan saya (kiri) sedang bertanya suatu hal. Sementara Ama, Dyah, dan Tarissa (kanan) antusias menyimaknya/Sayyidati Zakia Afkaroh

* * *

Arif Kurniawan Kembali ke Jogja

Di Jogja saya bertemu dengan Pak Bambang, orang yang bekerja sama dengan saya untuk jualan ikan bandeng. Ikan diambil dari Jawa Timur. Namun, banyak komplain dari pelanggan, ada yang mengatakan ikannya kurang lunak, ada yang mengatakan baunya apak.

Atas pengalaman itu saya berpikir, “Saya, kan, asli Juwana dan di situ tempatnya bandeng. Nah, ini bisa jadi kesempatan untuk jual sendiri dengan ganti tempat pengambilan ikan.”

Kini saya sudah tumbuh dewasa, pengalaman dan wawasan sudah banyak saya lalui, proses belajar itu perlu saya gunakan untuk berdiri sendiri. Akhirnya, dengan rasa percaya diri, saya utang masing-masing 5 juta rupiah ke bank dan kakak kandung, yang saya gunakan untuk membeli bandeng 8 juta dan 2 juta diputar untuk kulakan.

Maklum, masih merintis. Ikan bandeng dari Juwana itu sampai Jogja bukan melalui mobil pribadi, melainkan menumpang truk yang kirim garam dari Juwana ke Jogja. Jualan bandeng masih sendiri, belum mempunyai bakul. Uang serasa berjalan di tempat saja. Terpikirlah saya untuk mencari bakul.

Akhirnya, saya dapat bakul dari beberapa daerah. Ada yang di Gamping, Bantul, Piyungan, Prambanan, hingga Magelang. Tapi sayang sekali, uang masih terasa berjalan di tempat. Bakul-bakul itu sering kali utang dan lama membayarnya.

Sebelum saya putuskan bakul-bakul itu, ada ide untuk menjual dengan konsep seduluran. Berbeda dengan franchise yang mengkapitalisasi pasar dan rekannya, konsep seduluran yang saya maksud ini lebih ke kekeluargaan.

Konsep yang saya bangun ini lebih transparan dan tidak merusak pasar. Jadi, misal ikan di pasaran seharga Rp8.000,, ikan dari seduluran ini juga harus menjual dengan harga yang sama. Tak hanya itu, setiap enam bulannya, juga ada kumpul diskusi untuk membahas perkembangan kerja sama.

Atas dasar itu, saya berhasil menggaet tiga orang, yang masing-masing memiliki kios di Pasar Kuthu, Pasar Pundung, dan Pasar Godean. Untuk usaha saya sendiri berada di Pasar Cebongan. Para bakul awal yang banyak notanya itu pun saya putuskan secara sepihak dan pindah ke konsep ini.Sebelum ada kios di Pasar Cebongan, saya berjualan secara liar, tempat kurang mumpuni, tidak ada orang lewat, dan kurang laku. Tapi satu hal, saya tidak boleh menyerah! Dengan uang seadanya, akhirnya saya beli kios di pasar bagian dalam. Berjalannya waktu, kios saya pindah di bagian luar dan laris hingga kini.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi tumpukan ikan yang dijual di sebuah lapak tanpa kios tetap/Shukhrat Umarov via Pexels

 * * *

“Jadi, begitu, Mas dan Mbak-mbak sekalian,” ucap Arif Kurniawan memungkasi cerita hidupnya.

Hujan kian mereda. Kopi Pak Arif tinggal setengah. Dua rokok kretek sudah tertidur di pangkuan asbak. Langit semakin gelap, suasana itu dipenuhi rasa ingin tahu kami untuk pergi ke Pasar Cebongan dan mengikuti proses membuat bandeng presto secara langsung.

“Kami berencana meliput proses pembuatannya, Pak,” ucap saya sebagai anggota tim Melati Suci Project.

“Oke, silakan datang ke sini. Sabtu pagi jam 06.00-an kami produksi,” jawabnya.

(Bersambung)


  1. Tidak ada foto masa lalu Pak Arif Kurniawan. Namun, dongeng itu dibuktikan dengan video liputan kami yang sudah ada di YouTube. Untuk foto-foto produksi ada di tulisan kedua yang terbit di hari berikutnya. ↩︎
  2. “Kami” di sini adalah anggota Tim Melati Suci Project, yang beranggotakan: Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. ↩︎

Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Tumpukan kotak bandeng presto setelah dimasak di rumah produksi Pak Arif Kurniawan (Tarissa Noviyanti Az Zahra)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/feed/ 0 47474
Museum Pertama di Boyolali (2) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/#respond Wed, 02 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46514 Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi...

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi pemimpin Lembaga Orthopedi dan Prothese. Sempat pula ia menjadi penggerak berdirinya Yayasan Koperasi Harapan. Atas usahanya yang ulet, daerah aktivitasnya pun semakin luas.

Dua tahun setelahnya, yakni 1957, ia mendirikan sheltered workshop penyandang disabilitas prothese di Surakarta. Di situ tidak hanya membuat alat-alat saja, tetapi juga menampung para kaum difabel, yang nantinya mereka diberi kesempatan bekerja dan melatih diri sesuai kemampuan masing-masing. Upaya tersebut menunjukkan Prof. Dr. Soeharso telah berbuat baik bagi psikologi mereka, sehingga mereka akan merasa masih berguna dan layak untuk hidup. Pada tahun 1962, Prof. Dr. Soeharso juga merintis pendirian Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC)1. Sesuai dengan namanya, yayasan itu digunakan untuk mendidik dan memberi latihan olahraga bagi para individu difabel agar badannya sehat.

Tidak berhenti di situ, tahun 1967 didirikan juga Yayasan Balai Penampungan Penderita Paraplegia di Surakarta. Hampir bersamaan, pada tahun 1968 didirikan pula Dana Skoliosis Resser di Surakarta yang diketuai Prof. Dr. Soeharso. Selain aktif di bidang kesehatan, Prof. Dr. Soeharso juga aktif di bidang kebudayaan dan kesenian Jawa2.

Begitulah beberapa andil perjuangan Prof. Dr. Soeharso yang sangat berguna bagi masyarakat. Tentu masih banyak lagi jasa lainnya yang belum saya sebutkan di sini.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Abdul Rochim berjalan di antara galeri arsip foto untuk turun dari lantai dua ke lantai satu/Danang Nugroho

Diorama Kebudayaan Boyolali

Selanjutnya diorama budaya yang ada di Boyolali juga ditampilkan. Misalnya, tradisi ngalap berkah apem kukus keong mas di Pengging, Banyudono, dan tradisi sedekah gunung di Lencoh, Selo.

Selain itu, ada juga cagar budaya yang ada di daerah saya, Cepogo, yang belum lama dibuatkan dioramanya di museum, yakni Candi Lawang, Candi Sari, dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Cagar budaya lainnya adalah Loji Papak di Juwangi dan Umbul Pengging di Banyudono.

Di samping itu, tak hanya diorama, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain yang ditampilkan di lantai satu, seperti foto-foto bupati Boyolali dari masa R. Hamong Wardoyo dan seterusnya. Ada juga arsip foto sejarah Presiden Sukarno dan Soeharto yang pernah datang ke Boyolali, koleksi batuan klasik pindahan dari Rumah Arca di Taman Sono Kridanggo—yang digusur menjadi pom bensin—kereta kencana, meriam, keris, beberapa pusaka peninggalan Pakubuwono X, dan masih banyak lagi peninggalan bersejarah lainnya.

Ketika saya dan Abdul Rochim naik ke lantai dua, kami melewati lorong berbentuk spiral untuk mencapainya. Di sini tersaji arsip foto-foto bersejarah di Boyolali pada tembok lorong, yang menemani perjalanan pengunjung agar tak bosan sekaligus menambah pengetahuan. Ketika kami mencapai lantai dua yang beratap kaca itu, ternyata ruangan seperti auditorium itu kosong. Setelah itu, kami bergegas turun menemui Mas Pepi untuk mengobrol di bagian registrasi.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sejarah Berdirinya Museum R. Hamong Wardoyo

Atas ide dari bupati ke-23 Boyolali Seno Samodro, tahun 2015 didirikan museum pertama di atas lahan bekas gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boyolali. Operasional pertama pada awal 2016.

“Alasan Pak Seno mendirikan museum itu apa, Mas?” tanya saya.

“Bapak Seno itu punya ide untuk memperkenalkan Boyolali ke masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun [masyarakat] luar Boyolali, bahwa di sini itu ada museum yang bisa memperkenalkan Boyolali,” ujar Mas Pepi.

Banyak yang menyebut bentuk bangunan ini mirip Museum Louvre di Paris. Jadi, sejarahnya, sebelum jadi bupati Pak Seno pernah bekerja menjadi koresponden beberapa media cetak Indonesia di Prancis, seperti Bola, Merdeka, dan GO. Maklum jika bekerja di Prancis, karena ia adalah lulusan Sastra Prancis UGM. Meski menamatkan kuliah selama 7,5 tahun, siapa sangka dialah yang menjadi pelopor berdirinya museum pertama di Boyolali. Ia kembali ke Indonesia tahun 20003.

“Setelah pulang ke Boyolali [Bapak Seno itu] punya angan-angan [kurang lebih], ‘Oh, suk ning Boyolali tak buatkan museum seperti yang ada di Paris, Prancis’, begitu,” ungkap Mas Pepi.

Begitulah alasan mengapa Museum R. Hamong Wardoyo mirip Museum Louvre di Paris, Prancis. Adapun nama R. Hamong Wardoyo diambil dari bupati ke-10 yang memimpin Boyolali pada 1947.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Potret wajah Bupati Boyolali periode 1945-1948 R. Hamong Wardoyo/Danang Nugroho

Rencana Selanjutnya di Lantai dua

Ternyata, lantai dua itu walaupun kosong tetap digunakan untuk kegiatan pertemuan, sarasehan, atau peminjaman tempat dari orang luar. “Mungkin ke depannya kami buatkan bioskop mini,” ungkap Mas Pepi.

Ia juga menambahkan, “Ada rencana mau minta file Joglo Wisata tentang terjadinya proses erupsi Merapi untuk dibawa ke sini. Ada juga rencana film tentang asal usul Boyolali,” tambahnya.

“Di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Boyolali itu ada film dokumenter tentang Boyolali, Pak. Mungkin bisa dikoordinasikan,” celetuk saya.

Walaupun lantai dua dari atap kaca, tetapi ada rencana pembuatan bioskop mini itu. Tentu harus ada desain pembuatan ruang khusus agar cahaya dari luar yang tembus melalui atap kaca itu tidak masuk ke ruang bioskop mini. Entah nantinya terlaksana atau tidak, tentu hal itu menjadi nilai plus sebagai daya tarik wisatawan.

Selain itu, beberapa orang tentu ada yang memiliki gaya belajar audiovisual. Jika memang rencana itu terealisasi, misal kurang memahami bagian museum di lantai satu, mereka tentu dapat merasakan dampaknya melalui media bioskop mini di lantai dua, sehingga pesan-pesan sejarah, budaya, dan pembelajaran pada benda-benda mati itu bisa tersampaikan kepada para pengunjung.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sarana Pembelajaran Masyarakat dan Bekal Pulang

“Kalau outing class itu giliran, Mas. Sering. Misal minggu ini dari sekolah A, [kemudian] besok sekolah B. Makanya mereka itu kalau berkunjung kirim surat dulu yang isinya akan berkunjung hari apa, tanggal berapa, dan jumlah siswa berapa, gitu,” jawab Mas Pepi menyambung pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya.

Museum ini tentu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat luas. Tidak hanya mereka yang bersekolah saja, tetapi juga bagi semua kalangan, baik di wilayah Boyolali maupun luar Boyolali.

Dari anak sekolah, seringnya yang berkunjung adalah anak-anak PAUD, TK, SD, dan SMP. Kalau anak SMA biasanya ke sini untuk tugas video kelompok atau individu. Bertepatan juga dengan Kurikulum Merdeka yang memiliki P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yaitu program yang ada kegiatan di luar kelasnya. Tentu pada saat guru memilih tema kearifan lokal, para siswa bisa diajak berkunjung ke Museum R. Hamong Wardoyo agar lebih mengenali Boyolali dan sejarahnya.

Mas Pepi mengungkapkan, kalau yang berkunjung itu tidak hanya sekolah di Boyolali saja, melainkan dari luar Boyolali juga, seperti pengunjung umum. Ramainya museum terjadi pada masa liburan atau tanggal merah. Sementara anak sekolah, selain kegiatan outing class tadi, biasa berkunjung sepulang sekolah.

Namun, ada juga ironisnya. “Kalau untuk pengunjung umum harian itu masih sepi. Sampai sehari tidak ada pengunjung itu sering,” kata Mas Pepi.

Saya pun agak heran karena ada hari-hari tanpa kunjungan itu. Kemudian saya tanyakan harapan Mas Pepi dari museum ini. “Harapannya, ya, semoga banyak orang berkunjung ke museum. Intinya, ya, meningkatnya wisatawan yang pergi ke Boyolali, khususnya ke Museum Hamong Wardoyo, [agar] mereka mengenal lebih dalam tentang sejarah atau apa yang ada di Kabupaten Boyolali, yang masyarakat [sekitar dan luar] belum tahu tentang sebagian kecilnya,” pungkasnya.

Saya lantas mengucap terima kasih dan membawa bekal pulang ‘pertanyaan’ dari perkataan Mas Pepi sebelum memungkasi wawancara itu. “Apakah museum ini perlu menjelma bupati ke-10 Boyolali itu sebagai manusia hidup lagi untuk berteriak dikunjungi supaya sehari-harinya tidak sepi?”


  1. Pada nama lembaga bagian ‘Penderita Cacat’ alangkah baiknya diganti cara membaca/pada saat Anda menulis (misal bukan sejarah nama lembaga yang paten) dengan Difabel, Kaum Difabel, Penyandang Disabilitas, atau Kaum Penyandang Disabilitas seperti yang tertulis dalam Arif Maftuhin, “Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, September 2014, http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html. ↩︎
  2. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎
  3. Taufiq, “Mengenal Lebih Dekat Seno Samodro: Membuat Boyolali Tersenyum dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia”, Kagama.co, 5 November, 2018, https://kagama.co/2018/11/05/mengenal-lebih-dekat-seno-samodro-membuat-boyolali-tersenyum-dengan-pertumbuhan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia/3/. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/feed/ 0 46514
Museum Pertama di Boyolali (1) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/#respond Tue, 01 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46513 Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi? Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan...

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi?

Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan sebutan Kota Susu, Boyolali kini tampak lebih maju. Salah satu kemajuan itu terlihat dari berdirinya museum pertama bernama Museum R. Hamong Wardoyo.

Cuti bersama Tahun Baru Imlek (28/1/2025) memancing hasrat saya untuk pergi bermain di kota sendiri. Awan kelabu yang terlihat menggumpal di Cepogo, daerah saya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Museum R. Hamong Wardoyo.

“Ayo, jadi apa tidak? Tapi mendung cuacanya,” ajak Abdul Rochim, teman saya dalam bahasa Jawa.

“Oke, gas! Santai, bagian kota tampak cerah. Otw (dalam perjalanan ke) rumahmu,” celetuk saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Tampak depan Museum R. Hamong Wardoyo Boyolali/Danang Nugroho

Perjalanan ke Museum

Seperti biasanya, daerah pegunungan memang lebih sering mendung dan hujan, tetapi tidak dengan daerah perkotaan. Sebab, dataran pegunungan lebih tinggi, sehingga saya bisa melihat cuaca di dataran rendah yang lebih cerah. Sinyal hijau cuaca di daerah bawah akhirnya mengantarkan kami bergegas menuju museum.

Kami mengendarai sepeda motor ke museum. Jarak dari Cepogo cuma 12 km, hanya memakan waktu 20 menit perjalanan. Lokasi museum terletak di Jl. Pandanaran No. 19, Tegalmulyo, Siswodipuran, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan masuk ke bangunan yang mirip dengan Museum Louvre di Rive Droite Seine, arondisemen pertama di Paris, Prancis. Museum ini berbentuk segi enam dan atap dari kaca serupa piramida.

Kami mengisi daftar hadir. Tidak ada biaya masuk alias gratis. Tampak beberapa wisatawan yang berkunjung hari ini. Pada saat pengisian itu, saya sempat mengobrol sejenak dengan penjaga museum bernama Farid Purnomo atau akrab disapa Mas Pepi. Kami pun janjian untuk wawancara dengannya setelah mengitari museum.

Di dalam gedung museum, tampak lorong melingkar di lantai satu dan lorong spiral untuk naik ke lantai dua. Kami menelusuri bagian bawah terlebih dahulu.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang mengisi daftar hadir disaksikan Mas Pepi/Danang Nugroho

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Nama Boyolali

Awalnya kami disuguhkan sebuah diorama seorang bekas bupati Semarang pada abad XVI, Ki Ageng Pandan Arang atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo—ada juga yang menyebutnya Sunan Tembayat—yang sedang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Konon, ia diramalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar. Hal itu berkaitan dengan sejarah nama Boyolali.

Menurut cerita rakyat yang hidup di sini, Ki Ageng Pandan Arang kala itu terkenal dengan wataknya yang suka pada harta dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, berkat dakwah Sunan Kalijaga, ia disadarkan akan sangkan paraning dumadi, sehingga ia dengan tulus ikhlas meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukannya di Semarang. Sunan Kalijaga menugaskannya pergi ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam diikuti istri dan anak.

Selama perjalanan sufi tersebut, ia mengalami berbagai rintangan dan ujian. Ia berjalan cukup jauh meninggalkan istri dan anak—yang tertinggal karena tergoda harta dunia dan belum ikhlas untuk meninggalkan. Sambil menunggu anak dan istrinya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di atas batu besar yang berada di tengah sungai (sekarang belakang Gedung Sonosudoro Theater). Dalam istirahat dan penantiannya itu, ia berucap, “Boya wis lali wong iki (sudah lupakah orang ini?”. Dari ucapan itu maka jadilah nama ‘Boyolali’. 

Perjalanan sufi Ki Ageng Pandan Arang berlanjut ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten. Ketika sang istri atau Nyi Ageng dan anaknya sampai di batu tersebut dan mengetahui kalau sang suami sudah tidak ada, Nyi Ageng berkata, “Kiai, boya wis lali aku teko ninggal wae.” Kemudian mereka menyusul Ki Ageng Pandan Arang.

Begitulah cerita rakyat singkat yang masih hidup tentang asal usul nama Boyolali. Kabupaten Boyolali berdiri pada 5 Juni 1847, ditandai dengan surya sengkala “Kas Wareng Woh Mojo Tunggal.” Nama Boyolali diambil dari rangkaian kata “Boya” dan “Lali” yang berarti jangan lupa; selanjutnya menjadi semboyan rakyat Boyolali, terutama para pemimpin-pemimpin di sini untuk selalu patuh, taat, penuh rasa tanggung jawab, serta penuh kewaspadaan dalam melaksanakan tugasnya1. “Sungguh, sejarah nama yang menampar diri bagi para pemimpin untuk selalu berkontemplasi,” batin saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang membaca desskripsi diorama Asal Mula Kabupaten Boyolali/Danang Nugroho

Diorama Erupsi Merapi dan Pahlawan Nasional dari Boyolali

Perjalanan kami menelusuri museum berlanjut. Sejajar dengan diorama Ki Ageng Pandan Arang tadi, terdapat diorama-diorama lain yang memperlihatkan tragedi, perjuangan, budaya, dan cagar budaya yang ada di Boyolali. Tentang tragedi, museum menampilkan diorama erupsi Gunung Merapi. Mengapa terdapat diorama tragedi erupsi Gunung Merapi?

Boyolali terletak di lereng gunung Merapi, sehingga ketika erupsi besar terjadi, kami juga terkena dampaknya. Periode 3000—250 tahun yang lalu, Gunung Merapi tercatat mengalami sekitar 33 letusan, dengan letusan terparah pada 4 Agustus 1672. Kemudian abad ke-19 merupakan periode Merapi baru. Waktu itu tercatat 80 kali letusan pada tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872. Setelahnya, Merapi mengalami letusan lagi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1998, 2001, 2006, 2010, 20212, dan 2024.

Semasa kecil, saya pernah mengalami letusan hebat saat 2010. Kala itu saya yang berada di Cepogo diguyur abu vulkanik yang begitu tebal, sehingga perlu mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Terdapat sebutan aktivitas vulkanik pada Gunung Merapi yang masih saya ingat hingga kini, yakni wedhus gembel. Penamaan wedhus gembel diartikan sebagai awan panas yang keluar saat erupsi terjadi. Wedhus gembel dalam bahasa Indonesia berarti ‘kambing atau domba berbulu gimbal’, selaras dengan visualisasi awan panas yang keluar bergumpal-gumpal berwarna abu-abu keputihan seperti bulu domba. Hingga kini, Merapi masih aktif mengeluarkan guguran lava dan ditetapkan statusnya menjadi Siaga.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama erupsi Gunung Merapi/Danang Nugroho

Sementara di kaki Gunung Merbabu, lahir seorang anak laki-laki bernama Soeharso pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Ampel, Boyolali. Anak itu kelak menjadi salah satu pejuang kesehatan dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perjuangan Prof. dr. R. Soeharso menjadi salah satu diorama yang ditampilkan di museum.

Soeharso memiliki enam saudara. Di keluarganya, Soeharso termasuk anak yang cerdas. Pada masa itu, masih sedikit sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Indonesia masih dalam masa penjajahan dan keculasan kolonial, yang sengaja membuat sebagian besar rakyat Indonesia untuk tetap bodoh agar Belanda tidak kesulitan untuk terus menjajah.

Hanya di kota-kota besar saja ada sekolah. Soeharso harus pergi ke Salatiga untuk menempuh pendidikan dengan jalan kaki. Sebuah keberuntungan ia bisa diterima di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Salatiga. Singkat cerita, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sarjana, Soeharso dapat menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa pernah tinggal kelas sampai meraih gelar profesor. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, Prof. dr. R. Soeharso mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan bekerja di bidang kesehatan.

Soeharso merupakan perintis dan perencana Rehabilitasi Centrum (RC) di Sala—Solo atau Surakarta sekarang—untuk menampung penyandang disabilitas akibat perang. Pada 1945 Soeharso mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Surakarta dan menjadi pemimpin gerak cepat di garis depan Ambarawa dan Mranggen. Sekitar tahun 1945–1946, banyak pemuda yang kehilangan anggota tubuhnya dan menjadi penyandang disabilitas. Pada waktu itu, Soeharso dan Soeroto Reksopranoto sebagai tenaga teknik dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jebres Surakarta mulai melakukan percobaan dalam menghasilkan tangan dan kaki tiruan.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda I dan II (1947–1949), Soeharso memimpin pasukan gerak cepat PMI Cabang Surakarta. Tugasnya makin berat, karena ia juga menjadi dokter Palang Merah di Sukoharjo. Selama beberapa tahun tiada henti Soeharso berjuang untuk mengobati penyandang disabilitas. Karena jumlah penyandang bertambah, akhirnya didirikan rumah sakit darurat yang terletak di belakang RSUP Jebres.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama perjuangan Prof. dr. R. Soeharso/Danang Nugroho

Sesudah tanggal 28 Agustus 1951, Rehabilitasi Centrum untuk pertama kalinya diperkenalkan ke masyarakat umum. Kemudian pada tahun 1953, Soeharso berhasil pula mendirikan Rehabilitasi Centrum (Rumah Sakit Ortopedi) di Surakarta hingga mendapat perhatian dari dunia internasional atas usahanya dalam bidang kesehatan.

Di bawah dukungannya, 10 cabang Yayasan Anak-anak Penyandang Disabilitas dapat didirikan. Masih di Surakarta, Soeharso juga mendirikan Sheltered Workshop Foundation dr. Soeharso3. Usahanya untuk memelihara dan merawat anak-anak penyandang disabilitas belum usai, tetapi masih ada kelanjutan kegiatan lainnya.

(Bersambung)


  1. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Boyolali, “Laporan Akhir Identifikasi dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Boyolali Tahun 2020”, BI-SMART Boyolali, https://bi-smart.boyolali.go.id/uploads/riset/2020/rekomendasi_riset/a2730bfd0663f7ae4ed145c6b974f102.pdf. ↩︎
  2. Fathur Rachman, “Riwayat Letusan Gunung Merapi, Paling Parah Tahun 1930”, Tempo.co, 30 November, 2022, https://www.tempo.co/politik/riwayat-letusan-gunung-merapi-paling-parah-tahun-1930-244552. ↩︎
  3. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/feed/ 0 46513
Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/ https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/#comments Sat, 30 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44244 “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005) “Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan...

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>

“Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005)

“Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan raut wajah mengingat masa lalu. Saya mewawancarainya di pintu masuk gedung Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Selasa (15/10/2024).

Itulah idealisme atau cita-cita Nugrahanto Widodo sejak masa kuliah dulu yang terealisasi tahun ini. Nugrahanto Widodo, atau akrab disapa Totok Kontil, akhirnya bisa tampil di BBY dengan pameran tunggalnya yang bertajuk “Kembali”.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Suasana galeri di hari terakhir pemeran tunggal Mas Totok/Danang Nugroho

Mas Totok cerita, ia dulu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kalau menonton pameran dulu biasanya di Purna Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Zaman dulu bus kota hanya sampai pukul lima sore. Jadi, kalau pulang habis nonton pameran itu biasanya malam hari dan jalan kaki. Ia selalu melewati BBY karena sudah tidak ada angkutan. Berawal dari sinilah keinginan untuk pameran tunggal di BBY bermuara.

Pameran ini dibuka hari Selasa, 8 Oktober 2024. Dibuka oleh Nasirun, dikuratori Kuss Indarto, dan diberi pengantar esai oleh Alexander Supartono. Pameran berlangsung pada 9–15 Oktober 2024.

Sebelum perbincangan hangat saya dengan Mas Totok itu terjadi, saya sempat masuk pameran terlebih dahulu. Saya menilik karya demi karya seni lukis Mas Totok yang berjumlah 42. Ketika saya selesai menyelami pameran dan hendak keluar, saya berjumpa Mas Totok. Ia sedang duduk dan melukis di depan pintu masuk gedung BBY. Di situlah ia menceritakan perjalanan dan tema “Kembali” kepada saya.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Saya foto bersama Nugrahanto Widodo (kiri) di depan karya berjudul Dodol Balon di dalam gedung pameran BBY/Danang Nugroho

Perjalanan Totok Kontil dan Tema “Kembali”

Mas Totok lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Kini tinggal di sebuah gang buntu di Jalan Kayu Manis, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan. 

Dulunya, setelah lulus SMA, Mas Totok sempat kuliah Ilmu Arsitektur selama tiga tahun di ITN Malang. Setahun berikutnya ia berhenti, tidak mau kuliah. Akhirnya, karena desakan orang tua, Mas Totok melanjutkan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Ia masuk pada 1992 dan lulus satu dekade kemudian. Saat mengerjakan skripsi, ia pernah menggelar pameran tunggal di Warung Senja, daerah Taman Sari.

“Kalau di ISI itu ada dua tugas akhir, yaitu skripsi karya atau skripsi penelitian. Saya memilih tugas akhir skripsi karya minimal 20 lukisan. Akhirnya saya pemeran tunggal [skripsi karya] pertama di Warung Senja dekat alun-alun kidul. Waktu itu saya cukup bangga, walaupun belum masuk galeri, saya bisa menampilkan di warung-warung supaya karya saya bisa dinikmati orang-orang,” ucap Mas Totok tersenyum.

Pada 1998–2005, ia juga sempat mengikuti Komunitas Taring Padi. Setelah itu, Mas Totok pergi ke Jakarta sebagai guru paruh waktu dan mengajar di beberapa sekolah, mulai dari Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, hingga Pondok Cabe di Tangerang Selatan.

Bagi Mas Totok, Jakarta waktu itu tidak mudah. Maksudnya, perjalanan mengajar di sana sangat menyita waktu. Dulunya angkutan umum sulit dicari. Perjalanan ke sekolah pun antara 1–2 jam baru sampai. Kelelahan psikis juga terjadi, lantaran banyak siswa di sana yang jika ditegur lapor orang tua. Faktor ini menghambat Mas Totok berkarya di depan kanvas ataupun medium lain.

“Karena hal itu, saya tidak punya waktu untuk menggambar,” ungkapnya.

Setelah menjadi guru tetap di salah satu sekolah di Jakarta, Mas Totok masih merasa mandul dalam berkreasi. Dalam setahun, ia hanya menghasilkan satu atau dua karya saja. Bahkan pernah tidak sama sekali.

Ia lalu mencoba coretan-coretan di kertas ukuran A3 untuk melatih kembali kreativitasnya. Hasilnya kemudian dipamerkan di Survival Garage (pameran tunggal kedua). Karena merasa kurang maksimal, menjelang tidak lagi bekerja sebagai guru, selama dua tahun terakhir semangatnya dalam berkreasi kembali menggebu. Mas Totok berusaha mengasah kembali kreativitasnya melukis menggunakan media kertas.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Seorang pengunjung mengamati karya-karya Mas Totok. Hasil kreativitas yang kembali tumbuh setelah lama vakum/Danang Nugroho

“Saya pensiun [tahun ajaran] 2023/2024, ya, di situ saya aktif menggambar dengan media kertas. Supaya apa? Supaya bisa saya bawa ke mana-mana. Dengan pulpen dan kertas, di mana pun bisa saya coret-coret,” jelasnya.

Semangat yang menggebu itu akhirnya bermuara pada pameran ini. “Kembali” sebagai sebuah proses kreatif dan ia bawa ke Yogyakarta, agar bisa diapresiasi kembali oleh masyarakat atau seniman di daerah istimewa tersebut. 

“Saya mengambil tema ‘Kembali’ karena saya memang ingin menampilkan kembali karya-karya saya, setelah vakum dari 2005 sampai 2024 tidak pernah menampilkan karya saya di publik Yogyakarta. Pameran kedua saya di Survival Garage itu kurang maksimal, karena saya merasa tempatnya pada waktu itu masih kecil dan belum dikenal banyak orang, jadi masih minim apresiasi. Akhirnya saya memilih di BBY ini,” tutur Mas Totok.

Pameran tunggal “Kembali” menjadi pameran ketiga Mas Totok. Perjalanan dan tema “Kembali” Mas Totok juga bisa ditilik melalui kanal Youtube Bentara Budaya berjudul “KEMBALI Sebuah Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo” dan katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

Berkarya dengan Jujur

Usai membicarakan perjalanan dan tema “Kembali”, saya mencoba mengulik karya-karya Mas Totok yang dipamerkan. Karya-karya yang saya lihat banyak menggambarkan masyarakat kelas bawah. Namun, ada juga karya yang timbul dari pengalaman pribadi Mas Totok.

Karya Jangan Mudah Berjanji, misalnya. Lukisan ini memperlihatkan Jokowi yang tengah membawa keranda yang bertulis SIPON, disertai tameng, dedaunan rimba, dan kawat berduri di depan gambar sosok Presiden ke-7 Indonesia itu. 

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Karya Jangan Mudah Berjanji yang mengkritik Jokowi/Danang Nugroho

Mengutip dari artikel “Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul” yang dimuat di TEMPO (7/6/2023), saat menjadi calon presiden semasa Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji akan mencari Wiji Thukul yang belum ditemukan sejak peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sipon atau Siti Dyah Sujirah, istri sang penyair, awalnya merasa salut dengan keberanian Jokowi mengucapkan janji tersebut. Namun, setelah berbagai upaya yang Sipon lakukan, hasilnya selalu nihil. Sipon pun mulai meragukan janji Jokowi.

“Tapi Pak Jokowi, maaf kalau dengar atau baca ini, pesan saya jangan mudah berjanji,” kata Sipon kepada Tempo (15/5/2018). 

Hal itulah yang diamini Mas Totok dalam karya Jangan Mudah Berjanji. Dengan wajah prihatin, Mas Totok berkata, “Saya berkarya tidak bisa bohong. Waktu itu saya baru aja baca koran tentang Pak Jokowi saat periode pertama pernah berjanji pada istrinya Wiji Thukul, Sipon, bahwa pernah akan mencarikan jasad suaminya. Tapi sampai Sipon meninggal [5 Januari 2023] tidak terlaksana. Saya cuma mengingatkan saja, orang itu gampang mengucapkan, namun sukar untuk melaksanakan.”

Selain itu, ada lukisan lain yang berjudul Transaksi di Bawah Meja. Karya ini memperlihatkan dua orang yang tengah memberikan kertas bertulis “PAJAK” di atas meja dan transaksi uang di bawah meja.

“Karya itu menceritakan keadaan di sebagian besar perusahaan besar. Kebetulan itu juga [terjadi] di perusahaan [tempat kerja] saya tentang pembayaran pajak. Jadi, kadang pajak yang dipotong tidak sesuai dengan yang diomongkan—maksudnya bisa dimanipulasi. Manipulasi itu antara pemilik perusahaan dan pegawai pajak,” ungkap Mas Totok.

Kedua ide karya tersebut merupakan hasil dari pengalaman pribadi Mas Totok. Pertama, setelah membaca koran, lalu yang kedua dari perusahaan tempat kerjanya. Memang benar, Mas Totok tak bisa berbohong pada karyanya. Ia tak banyak merenung dulu untuk berkarya, tetapi langsung mengeksekusi jika perlu dan penting untuk dituangkan sesuai fakta.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Lukisan Transaksi di Bawah Meja yang dihasilkan dari pengalaman kerja Mas Totok/Danang Nugroho

Gambaran Masyarakat Kelas Bawah melalui Karya Seni Lukis

“Saya biasanya seneng jalan, Mas. Ada sesuatu yang menarik akan saya gambar,” ujar Mas Totok.

Cerita dari Mas Totok belum usai. Perbincangan hangat terus kami lakukan. Saya mengulik karya-karya lain yang Mas Totok pamerkan, terutama yang menggambarkan masyarakat kelas bawah dengan suasana kegembiraan. Hal itu juga yang diungkapkan Ilham Khoiri pada esainya di e-katalog “Kembali”.

Ilham mengungkapkan bahwa gambaran Mas Totok serupa catatan harian yang memotret pernak-pernik kehidupan warga di sekitarnya. Karya Mas Totok cenderung menangkap keramaian aktivitas masyarakat bawah, ada orang-orang nongkrong, jual beli di pasar, keluarga lagi berpiknik di tempat wisata, atau warga bepergian dengan naik kendaraan yang melaju di jalanan.

Seperti karya berjudul Pasar Loak Beringharjo. Mas Totok cerita, itu adalah gambaran keramaian pasar. Tentu pasar barang bekas itu menjadi incaran utama bagi masyarakat kelas bawah.

Kemudian, karya berjudul Uyek-uyekan. Diceritakan bahwa di daerah Babadan, lereng Gunung Merapi, pada waktu 2004 belum ada angkot. Sehingga ketika mereka bepergian harus bareng-bareng dan “uyek-uyekan” menggunakan mobil pikap. Hal ini memang terbukti, karena saya juga tinggal di lereng Merapi, tepatnya Kecamatan Cepogo, Boyolali. Semasa saya kecil, jika ada salah satu tetangga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, kami membesuk bersama dengan mobil pikap. Di beberapa daerah pun masih ada yang seperti itu sampai sekarang.

Tak terasa, perbincangan saya dengan Mas Totok dipungkasi malam yang semakin larut. Pukul 21.00 pameran harus ditutup. Sebelum saya pamit, kami menyempatkan foto bersama.

Sebagai pemungkas, kita perlu “kembali” pada kutipan dari buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho dan kutipan wawancara dengan Mas Totok yang saya cantumkan di awal naskah. Seharusnya, ada pembelajaran yang bisa kita ambil. Apakah idealisme atau cita-cita kita akan kalah oleh keadaan? Atau, justru kita akan bisa mencapainya seperti cita-cita Mas Totok pada pameran “Kembali” ini?

Panjang umur perjuangan! Salam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/feed/ 1 44244
Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/ https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/#respond Mon, 04 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42976 Berdiri sejak 26 September 1982, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tahun ini kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-42. BBY menggelar pameran seni rupa dengan tema “Tarik Tambang”, menampilkan karya seni rupa yang sesuai dengan realitas sosial...

The post Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Berdiri sejak 26 September 1982, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tahun ini kembali merayakan ulang tahunnya yang ke-42. BBY menggelar pameran seni rupa dengan tema “Tarik Tambang”, menampilkan karya seni rupa yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Konsistensi BBY dalam merayakan ulang tahunnya ini tentunya juga untuk melestarikan dan memperkenalkan seni tradisi dan seni modern kepada masyarakat, agar eksistensinya tidak terkikis zaman. 

Pameran ini dibuka pada Kamis (26/9/2024), yang dimeriahkan oleh Elisha Orcarus Allaso dan Campursari Grapyak Semanak Yogyakarta. Pameran berlangsung sampai 4 Oktober 2024, dibuka pada pukul 10.00–21.00 WIB.

Pada Jumat sore (4/10/2024), saya bersama teman saya, Afrinola, mengunjungi gedung BBY yang beralamat di Jalan Suroto 2, Kotabaru. Cukup mudah menemukan lokasi BBY, karena di atas gerbang pintu masuk terdapat plang bertuliskan “KOMPAS”. Grup Kompas Gramedia memang ikut mendirikan dan menyokong dana pembangunan BBY.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Tampak depan gedung Bentara Budaya Yogyakarta/Danang Nugroho

Mengenang Sejarah dan Tradisi Masyarakat Indonesia

Saya datang sekitar pukul 17.15, menjelang azan Magrib tiba. Saya tidak sempat bertemu kurator di sana untuk saya wawancarai. Saya hanya menemui penjaga registrasi pameran. Saya lalu memperkenalkan diri dan mencoba bertanya-tanya.

“Maaf, Kak. Karena sudah malam [di luar jam kerja], para kurator sudah tidak ada di sini. Saya tidak ada wewenang memberikan informasi karena takutnya salah dengan informasi sebenarnya. Nanti Anda bisa gali ulasan karya via Instagram Bentara Budaya Yogyakarta dan ‘e-katalog’-nya saja,” tuturnya.

Dilansir dari reels Instagram @bentarabudayayk, Romo Sindhunata, salah satu kurator BBY, mengemukakan bahwa Bentara Budaya, sebagai lembaga yang selalu mengenang sejarah dan tradisi, selalu berusaha untuk menemukan tema-tema yang dekat dengan kehidupan rakyat sehari-hari.

“Tarik tambang itu pasti ada di setiap pikiran orang [Indonesia], karena ini berkenaan dengan proklamasi [kemerdekaan Indonesia] setiap kali peringatan ulang tahun. Sebagai realitas, ini [atraksi tarik tambang] ada, dan mengena,” tutur Romo Sindhunata.

Jika mengulang kembali perayaan 17 Agustus-an, peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tentu frasa “tarik tambang” tidak akan jauh dan relevan dengan masyarakat Indonesia. Biasanya pada beberapa tempat, entah itu padukuhan, desa, sekolah, tempat kerja, ataupun tempat-tempat lainnya, mengadakan lomba-lomba untuk semarak kemerdekaan. Salah satunya lomba atraksi tarik tambang.

Maklum, sebagai hiburan masyarakat, atraksi tarik tambang biasanya tak mengunggulkan kemenangan di atas kekalahan. Peserta yang kalah dan yang menang akan tertawa bersama. Begitu pula dengan para penonton yang menyaksikan. Hal itu dikarenakan mereka sedang merayakan kegembiraan bersama menyambut kemerdekaan. 

Akan tetapi, alih-alih menyoroti tradisi ultah kemerdekaan itu. Tarik tambang juga berkaitan dengan kondisi sosial-politik yang belum lama ini menjadi perbincangan bagi masyarakat Indonesia, yaitu terkait konsesi tambang bagi ormas keagamaan.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Karya-karya yang Selaras dengan Polemik di Indonesia

Sebelumnya, menyambut kedatangan pemerintah baru, BBY mengundang para perupa, baik pelukis maupun pematung, untuk berpartisipasi dalam pameran ini. Sebanyak 33 perupa ikut terlibat. Hasilnya, para perupa tidak menyoroti “Tarik Tambang” sebagai atraksi saja, tetapi menjadi alegori bagi tarik-menarik kekuasaan, yang sesuai dengan polemik sosial-politik di Indonesia.

Jika direnungkan, setelah Pemilu 2024, seakan penguasa politik Indonesia sudah tidak peduli lagi dengan fungsi dan keluhuran kuasanya. “Tarik Tambang” bukan seperti atraksi pada 17 Agustus-an lagi, bukan lagi kegembiraan yang mewarnai, melainkan hasrat akan kekuasaanlah yang mendominasi. Mereka tarik-menarik di antara satu dengan yang lainnya, tanpa memerhatikan keprihatinan terhadap masalah-masalah yang dialami rakyat.

“Maklum, karena begitu mendengar kata tambang, walaupun asosiasi kami sebenarnya lebih terkait [atraksi] tarik tambang. Orang teringat akan policy pemerintah yang sempat menjadi polemik, justru di akhir pemerintahannya memberi konsesi kepada ormas keagamaan untuk bersedia mengelola tambang,” ucap Romo Sindhunata.

Tema “Tarik Tambang” ternyata menjadi pemantik teman-teman seniman untuk mencurahkan keresahan mereka pada karyanya. Mereka juga mengkritisi polemik konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada ormas keagamaan tersebut. Bagaimana tidak resah? Sebelumnya ormas-ormas kelihatan malu-malu untuk menerima tawaran itu. Akan tetapi, kemudian sebagian menerimanya. Hanya sebagian kecil yang menolaknya.

Karya Hermanu, misalnya, berjudul “UNTUNG DUNIA MASIH BERPUTAR (TERJERAT TAMBANG)”, yang memperlihatkan dua simbol ormas keagamaan terbesar; bintang, bumi, berwarna biru dan hijau, yang ditarik oleh tambang (tali yang besar). Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ormas keagamaan itu perlu ke sana? Karena jika direnungi, tambang dan agama itu dua bidang yang berbeda.

Kemudian, karya Alit Ambara “TUG OF WAR”, yang memperlihatkan sebuah bumi terikat tali tambang dan terperas hingga bentuknya menyerupai angka delapan. Jika dibayangkan, tentu itu merupakan simbolik pemerasan yang sangat destruktif, apa saja yang diperas dari bumi hingga bentuknya tidak bulat lagi.

Di karya foto, Ferganata Indra membawa judul “(SI)JI (LO)RO (TE)LU”. Gambar itu memperlihatkan keserakahan pengerukan tambang pasir, sampai-sampai truk itu perlu ditarik dengan tali yang besar secara beramai-ramai. Hal itu memperlihatkan bagaimana sebagian orang masih saja membantu keserakahan oknum yang menambang pasir.

Selain tiga karya itu, masih ada 30 karya lain yang juga menampilkan sebuah seni rupa. Karya-karya ini juga berkaitan dengan atraksi tarik tambang dan kritik pada polemik konsesi tambang bagi ormas keagamaan di Indonesia. Karya-karya itu dapat dilihat melalui katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
  • Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta

Menyisihkan Perhatian pada Masyarakat Pinggiran

Setelah saya mengamati semua pameran ini, saya cukup puas dan mengapresiasi BBY yang masih peduli terhadap polemik di Indonesia. Pameran ini memperlihatkan bagaimana perayaan ulang tahun itu bukan hanya untuk kegembiraan saja. Akan tetapi, pemeran ini mengajak masyarakat untuk lebih peka lagi terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia yang memprihatinkan.

Kepekaan yang saya maksud adalah melihat orang-orang pinggiran yang selalu saja dibiarkan menderita. Karya Ledek Sukadi, yang berjudul “HAI SANG PENGUASA”, menggambarkan seorang pejabat atau penguasa sedang mengendalikan rakyat kecil dengan gerobak yang bertulis “GERBONG DERITA”. Penguasa yang serakah menjadi jalan derita bagi mereka masyarakat pinggiran.

Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta
Karya Ledek Sukadi yang memperlihatkan keserakahan pejabat dan membuat rakyat menderita/Danang Nugroho

Pameran ini adalah dinamika bangsa yang digambarkan melalui karya-karya seni rupa. Masih ada kepedulian dan perhatian BBY beserta para seniman yang terlibat terhadap masyarakat pinggiran. 

Seperti ungkapan Romo Sindhunata dalam Instagram BBY, “Saya menjadi teringat seorang di Kalimantan mengatakan: ‘kalau semua hutan di Kalimantan digunduli dan orang beramai-ramai ke sana mengeruk tambang, tidak mustahil Kalimantan yang rimba raya ini menjadi padang gurun yang luas di masa depan’.”

Selain pernyataan itu, saya juga teringat pada postingan channel Youtube Watchdoc Image yang menayangkan film dokumenter SEXY KILLERS. Film ini mempersoalkan permasalahan tambang dan masyarakat pinggiran yang terkena dampaknya. 

Lewat perayaan ke-42 BBY, tentu kita sebagai masyarakat Indonesia diajak untuk merenung dan mempertanyakan lagi, apakah kegembiraan masyarakat masih menjadi prioritas? Atau justru kepentingan segelintir orang saja yang lebih diutamakan?

Belajar dari tulisan guru saya, Pak Eko Triono, dalam buletin Mimesis 2024 yang dicetak Divisi Susastra Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (KMSI UNY), cerita yang baik tidak memberi kesimpulan. Cerita yang baik memberikan kesan, juga beban pada pikiran pembaca, dan saya juga mencoba melakukannya di akhir tulisan ini. Jadi, silakan dijawab dan disimpulkan sendiri. Tabik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perayaan dan Perenungan 42 Tahun Bentara Budaya Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perayaan-dan-perenungan-42-tahun-bentara-budaya-yogyakarta/feed/ 0 42976
Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/ https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/#respond Sat, 19 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42879 Senin malam yang sunyi (26/8/2024) mengantarkan saya ke gelaran Nandur Srawung (NS) ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Gelaran ini dimulai 15 Agustus dan berakhir 28 Agustus 2024. NS kali ini mengusung tema “Wasiat: Legacy”....

The post Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin malam yang sunyi (26/8/2024) mengantarkan saya ke gelaran Nandur Srawung (NS) ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Gelaran ini dimulai 15 Agustus dan berakhir 28 Agustus 2024. NS kali ini mengusung tema “Wasiat: Legacy”. Gelaran dibuka pukul 11.00–21.00 WIB. Untungnya saya datang pukul 19.00 WIB.

Sesampainya di TBY, saya langsung disuguhkan Wayang Carangan karya Nasirun (2023), dirakit oleh Zulfian Amrullah yang sudah melalui diskusi bersama tim kurator dan Nasirun. Wayang ditampilkan dengan bungkus-bungkus kotak kain putih transparan yang memberikan wajah baru bagi gedung TBY. Hal itu sejalan dengan tema NS #11 yang menampilkan karya maestro seni rupa Indonesia, berdampingan dengan seniman masa kini yang terinspirasi dari ‘wasiat’ pendahulu mereka.

Cukup sudah saya memandangi wayang karena kaki saya sudah risih. Akhirnya saya bergegas masuk untuk menilik warisan-warisan kebudayaan yang ditampilkan melalui produk seni rupa masa kini di dalam.

Tapi, tunggu dulu. Ada bendera Palestina!

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Aneka kardus ungkapan di bawah karya Taring Padi berjudul “People Justice”/Danang Nugroho

Produk Seni sebagai Respons terhadap Penindasan Kolonial

Bendera Palestina membuat saya tertarik untuk mendekatinya. Tepat di belakang bendera, ada karya bertuliskan “From the river to the sea, Palestine will be free“. Itulah kalimat puitis yang langsung saya baca. Kalimat itu terpampang di area pintu masuk dan disertai aneka kardus dengan berbagai tulisan, lukisan, dan ungkapan di bawahnya.

Ternyata kardus-kardus itu adalah buah karya dari pengunjung yang menyatakan keberpihakannya. Saya kagum, produk itu menghasilkan ungkapan-ungkapan pengunjung, seperti kisah Burung Pipit yang membantu Ibrahim ketika dibakar. Walaupun hanya setetes air dari paruh pipit untuk memadamkan api, tetapi itu menunjukkan standing position-nya. Ada usaha untuk menyatakan sikap. Untungnya, tidak ada yang seperti cicak pada kisah tersebut. Semua ungkapan pada kardus mendukung kemerdekaan bagi Palestina.

Setelah menilik karya-karya itu, saya dan teman saya, Afrinola, hendak ikut memberi ungkapan. Sayang, kardus sudah habis. Namun, tidak apa, saya gali saja karya ini melalui wawancara dengan Mas Rain Rosidi, salah satu kurator pameran NS #11. Ternyata, pembuat karya mengenai Palestina itu adalah Komunitas Taring Padi.

”Ketika Taring Padi kami undang, [mereka] langsung mengajukan project mengenai Palestina. Karena Palestina ini nyambungnya dengan kita adalah: sikap bangsa kita menyatakan kemerdekaan dan sikap setiap kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Sehingga ketika membicarakan Palestina itu sama saja membicarakan sikap kita terhadap penindasan kolonial,” ungkap Rain Rosidi.

Memang benar. Setiap negara itu harus merdeka. Agar penindasan usai dan keadilan itu terlaksana, bukan hanya utopis. Karya awal sebelum pintu masuk ini telah mempresentasikan sikap produk seni yang baik bagi para pengunjung.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Bendera Palestina di depan karya Taring Padi/Danang Nugroho

Karya sebagai Gambaran Warisan Zaman Tiap Dekade

Pameran ini menggali bagaimana warisan membentuk dan memengaruhi karya, serta pemikiran seniman generasi terkini dalam berbagai aspek sosial, budaya, dan artistik. Pada setiap ruang ada subtema besarnya. Subtema dilihat dari dekade dalam praktik seni rupa di Indonesia sejak pascakemerdekaan. Karya-karya diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan pada beberapa ruang.

Pertama, “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang semangat lepas dari kolonialisme dan penjajahan terhadap keindahan alam Nusantara. Karya terkait Palestina masuk dalam tema besar bagian pertama ini. Kedua, ”Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia” (1955–1965). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang gerakan sanggar-sanggar seni yang turun ke bawah (turba) dan munculnya kesadaran praktik seni sebagai bagian dari kebudayaan dunia.

Ketiga, “Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk” (1965–1975). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang periode humanisme universal dan lirisisme pasca 1965. Keempat, “Menggali Akar dan Mendobrak Batas” (1975–1985). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang kembalinya gaya tradisional dan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru.

Kelima, “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang munculnya kecenderungan menjelajah dunia mimpi dan imajinasi dengan gaya surealis, serta seni sebagai media protes sosial. Keenam, “Seni Publik dan Media Baru” (1995–2003). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang seni rupa publik dan penjelajahan medium baru termasuk seni video dan seni instalasi. Ketujuh, “Seni Pop dan Kampung Global” (2005–2015). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang perayaan budaya populer dan kedigdayaan teknologi digital yang memungkinkan interaksi global.

Pameran NS #11 menampilkan karya yang terinspirasi dari warisan yang dimiliki Indonesia melalui sejarah-sejarah per dekade tersebut. Pameran ini menciptakan dialog masa lalu dengan masa kini, serta menafsirkan ulang warisan seni. 

”Seni rupa itu kan produk kebudayaan. Jadi, hasil sekarang itu merupakan buah dari masa lalu,” tutur Rain Rosidi.

Pada NS #11 kali ini, terdapat total 81 karya dari 75 seniman. Terdapat juga partisipan dari Program Nandur Gawe (program tahunan NS), yaitu Syeaan Isradina Paricha yang berkolaborasi dengan Arahmaiani, Olga Souvermezoglou dengan Taring Padi, dan Sora Gia dengan Radio Buku. 

Kurator pada pameran ini bukan hanya Rain Rosidi. Ada empat lainnya, yakni Arsita Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agrivina, dan Sujud Dartanto. 

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Daftar nama partisipan dan kolaborator NS #11/Danang Nugroho

Lebih dari Sekadar Hiasan dan Produk Transaksional

Saya tertarik dengan “Oleh-oleh khas Jiwa Ketok” karya Rocky Academy, karena ada tengkorak yang memegang kertas bertuliskan: “Wahai Angkatan Muda, Tanyakan lagi Kepada Jiwamu: Untuk Apa Ke Sekolah Seni? Jika Hari Ini Galeri & Pasar Tidak lagi Peduli Atas Upayamu. Apalagi Kamu Tidak Berupaya Apa-Apa, Haha.”

Ternyata itu adalah kritik dari seni rupa sekarang yang mulai dianggap sebagai barang komoditas. “Ketika membaca sejarah, di Jogja itu dominasi keyakinan mengenai seni itu lebih dari sekadar itu. Seni bukan hanya produk lukis yang masuk galeri kemudian masuk pasar. Tapi seni itu juga produk kebudayaan yang mengandung pernyataan, memiliki makna, dan nilai; di luar nilai fisik yang diperjualbelikan seperti hiasan,” ungkap Rain Rosidi.

Karya itu merepresentasikan sejarah masa lalu. Karena karya ini berada dalam sub tema “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955), maka perlu dikaitkan dengan periode 1940–1950-an. Kala itu Indonesia mengalami fase penting dalam kesadaran nasionalisme dan identitas sebagai bangsa merdeka. Kesadaran nasionalisme tumbuh subur di kalangan seniman seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, dan Affandi. Mereka menggambarkan perjuangan kondisi sosial rakyat Indonesia dan menyuarakan aspirasi kemerdekaan melalui karya. 

Karya Rocky Academy merupakan wujud kritik dari identitas seni. Seni itu memiliki pernyataan, makna, dan nilai yang bisa ditafsirkan identitasnya. Bukan hanya sekadar hiasan yang masuk galeri kemudian masuk pasar dan menjadi produk transaksional.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Potret “Oleh-oleh khas Jiwa Ketok” karya Rocky Academy/Danang Nugroho

Protes Kemarahan: Hati yang Terlalu Jauh

Ketika perjalanan saya sampai di ruang dengan subtema kelima, yakni “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995), saya langsung teringat kejadian-kejadian akhir ini di Indonesia. Lima hari sebelum ke sini, tepatnya Rabu (21/8/2024), merupakan hari di mana masyarakat Indonesia geram dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR yang tiba-tiba membahas RUU Pilkada tentang ambang batas dan juga calon usia. Pada hari itu juga terdapat protes dengan unggahan “Peringatan Darurat” di media sosial, disusul demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia.

Ingatan saya itu terpicu oleh karya Olga Souvermezoglou yang berkolaborasi dengan Taring Padi. Karya itu sebelumnya sudah memperlihatkan runtutan kronologi protes di Indonesia. Kemudian, pengunjung diajak interaktif untuk mengungkapkan protesnya melalui kertas, spidol, dan lem yang sudah disiapkan. Setelah itu, pengunjung bebas untuk menempelkannya di tembok. Saya menemukan banyak sekali protes yang berkaitan dengan tragedi demokrasi di hari Rabu itu dan keresahan-keresahan lainnya.

Karya Olga merupakan representasi seni rupa tahun 1980–1990-an. Kala itu lahir aliran-aliran baru yang muncul sebagai respons terhadap keadaan sosial politik yang ada. Karya ini terekam dalam seni lukis surealis di Yogyakarta.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Berbagai ungkapan protes dari para pengunjung/Danang Nugroho

“Seniman memberikan ruang bahwa seni itu adalah media untuk protes. Taring Padi meyakini bahwa seni itu adalah alat politik untuk menyatakan pendapat dia itu menggunakan seni. Di era itu (1980–1990-an) memang menggunakan seni untuk statement politik. Termasuk kritik sosial,” ungkap Rain Rosidi.

Bagi saya, protes itu adalah wujud kemarahan yang menandakan hati yang terpaut jauh dengan yang dituju. Mengapa demikian? Karena jika suara tidak pernah didengar, tentu menimbulkan suara yang lebih lantang disertai kemarahan agar didengarkan. Berbeda dengan hati yang dekat. Tanpa perlu bersuara lantang dan kemarahan. Cukup dengan saling memandang saja sudah saling memahami dan mengerti.

Memang benar, malam yang sunyi—bagi saya—terobati dengan suara-suara yang ramai ketika saya menyelami pameran NS #11. Dengan adanya pameran ini, berbagai karya masa kini yang berdialog dengan masa lalu itu menjadi bunyi. Semua karya merepresentasikan subtema per zamannya. Dapat saya tafsirkan bahwa keseluruhan pameran ini sesuai dengan tema yang diusung, yakni “Wasiat: Legacy”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/feed/ 0 42879
Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/ https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/#respond Wed, 09 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42815 Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya...

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai penduduk asli Dukuh Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, aku menjalani rutinitas yang berbeda ketika hari Minggu Pahing. Sebagai anak muda di sini, aku dan kawan-kawan lain tergabung dalam organisasi karang taruna Digdaya Muda. Para anggota karang taruna mengemban tugas untuk menjaga tempat parkir dan stan yang ada di Pasar Ngatpaingan.

Pagi itu (14/07/04), setelah memberi makan rumput ke beberapa sapi ternakku, aku berangkat menunaikan tugas kepemudaan karang taruna. Meski Pasar Ngatpaingan buka sejak pukul 07.00 sampai 12.00, kami dilatih disiplin untuk mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu sebelum acara dimulai. Tidak hanya kedisiplinan, tetapi juga untuk melatih kekompakan dan gotong royong.

Sehari sebelumnya, tugas para pemuda-pemudi untuk acara Pasar Ngatpaingan sudah dibagi oleh koordinator kami. Mulai dari menjaga karcis masuk parkir, tempat parkir mobil dan motor, portal jalan, dan stan di pasar. Karena setiap sektor ada beberapa anggota, ketika acara sudah dimulai, kami diperbolehkan satu atau dua kali menengok Pasar Ngatpaingan secara bergantian. Ketika jatahku tiba, aku pergi sejenak untuk mengunjungi pasar.

Nilai Kearifan Lokal di Pasar Ngatpaingan

Sperti biasa, aku melihat seni pertunjukan terlebih dahulu yang ditampilkan di Pasar Ngatpaingan. Aku datang di waktu yang tepat pada pukul 09.00, saat pertunjukan seni reog dimulai.

Ada beberapa acara di Pasar Ngatpaingan. Kegiatan senam ibu-ibu PKK pukul 07.30–08.15, lalu kesenian reog pukul 09.00–10.30. Pengunjung bisa membeli camilan di stan-stan pasar untuk dinikmati sembari menonton pertunjukan. Dagangan yang dijual beragam, di antaranya getuk, tiwul, mentho, wajik, jadah, soto, siomay, dan es campur. Untuk stan karang taruna berbeda, kami menyediakan kopi, gorengan, dan nasi bakar. Tidak hanya makanan dan minuman, beberapa stan juga menyediakan dolanan anak dan sayur segar. Untuk bertransaksi di Pasar Ngatpaingan, pengunjung bisa membeli koin terlebih dahulu seharga Rp5.000 per koin. Para pedagang sendiri sudah mengatur dagangannya seharga koin yang ditukarkan.

Setelah menikmati pertunjukan dan jajanan yang ada, para pengunjung juga bisa mengabadikan momennya di photo booth yang disediakan. Di situ juga terdapat lurik yang bisa dipakai sebagai kostum saat berfoto.

Banyak nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Pasar Ngatpaingan, seperti gotong royong dan kekompakan. Tidak hanya karang taruna, hal itu juga dilakukan warga desa yang menempati stan masing-masing di pasar. Sehari sebelum Minggu Pahing biasanya pemilik stan membersihkan pasar bersama-sama. Kemudian, saat acara sudah mulai, biasanya mereka saling bantu membawakan barang ke pasar.

Kami juga melestarikan budaya Jawa dengan mengenakan pakaian lurik. Nilai-nilai kearifan lokal lain juga tercermin dari pakaian lurik khas Jawa yang kami pakai. Lalu transaksi jual-beli layaknya pasar tradisional, terjadi interaksi sosial antarpengunjung dengan saling tegur sapa. Pertunjukkan reog sendiri juga menjadi nilai budaya yang tetap dipertahankan eksistensinya di sini.

Setelah pasar berakhir dan tugasku selesai, aku berencana mengitari desa. Aku menyambangi Candi Lawang dan melihat wujud kemandirian energi di desa ini.

  • Pertunjukan kesenian reog di Pasar Ngatpaingan/Danang Nugroho
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Menilik Candi Lawang

Aku mengunjungi Candi Lawang bersama ketiga saudaraku, yaitu Iqbal, Fadhil, dan Putra. Mereka kuajak menilik kembali monumen sejarah yang ada di desa sendiri. Kondisi candi saat kami berkunjung bersih dan terawat. 

Menurut sejarah, Candi Lawang pertama kali dilaporkan oleh P. A. Hadiwijaya, Kepala Perkebunan Sukabumi di Paras pada 1919. Temuan candi kala itu terkubur di tengah area kebun kopi. Setahun kemudian dilakukan ekskavasi atau penggalian di tempat penemuan candi.

  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
  • Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci

Kompleks candi terdiri dari candi induk yang dikelilingi lima candi perwara. Candi induk berbentuk bujur sangkar dan sudah tidak utuh lagi. Hanya terlihat sebagian saja yang tersisa, yaitu pondasi, kaki, tangga masuk, dan bingkai pintu. Terdapat yoni dan bingkai pintu yang menjadi ciri khas candi ini. Karena penampakan pintunya yang menonjol, candi ini disebut Candi Lawang. Dalam bahasa Jawa, lawang berarti pintu. Sayangnya, candi-candi perwara yang mengelilingi candi induk sudah tidak utuh atau rusak.

Pada bagian kiri pintu candi induk terdapat inskripsi yang dibaca “ju thi ka la ma sa ts ka” dengan keadaan sudah agak samar. Huruf yang dipakai pada inskripsi adalah aksara Jawa Kuna yang banyak digunakan dan berkembang sekitar abad IX–X Masehi. Candi dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, di bawah pemerintahan raja-raja dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.

Menghemat Biaya Listrik melalui Kotoran Sapi

Dari candi, kami menuju tempat pengolahan kotoran sapi (biogas) menjadi energi listrik. Jaraknya hanya 20 meter saja.

Biasanya, masyarakat di Dukuh Dangean dan sekitarnya memanfaatkan kotoran sapi hanya untuk biogas saja. Namun, kali ini berbeda. Tepat di belakang rumah Bapak Supomo, terdapat pendapa dan mesin generator sebagai tempat konversi energi biogas menjadi energi listrik pertama di Dangean.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Mesin PLT-Biogas di Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Pada 2020, warga masyarakat Dangean gotong royong untuk membangun pendapa tersebut. Setelah pendapa jadi, Bapak Supomo dan rekan-rekan lain yang mengetahui tentang mesin generator konvertor itu mulai merakit dan memasangnya. Akhirnya, setahun kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLT-Biogas) bisa digunakan. 

Hingga kini, biogas yang berada di belakang rumah Bapak Supomo sudah bisa dimanfaatkan untuk menerangi 20 lampu jalan yang ada di bagian timur dukuh. Tentu inovasi ini mampu mengurangi biaya listrik tiap warganya. Sebelumnya lampu jalan terhubung ke listrik masing-masing rumah.

Rencananya, PLT-Biogas akan dipasang di beberapa titik lagi mengingat luasnya wilayah Dukuh Dangean. Semakin luas jangkauan, semakin terasa manfaat konversi energi ini. Dukuh-dukuh lain nantinya juga bisa meniru dan mencontoh implementasi Desa Mandiri Energi (DME) di Dangean.

Paket Lengkap di Minggu Pahing

Dukuh Dangean masih menjadi tempat yang asri dari dulu sampai sekarang, karena lokasinya yang terletak di lereng Gunung Merapi. Di setiap sudut jalan, ada majalah dinding (mading) yang memperlihatkan nilai-nilai kearifan lokal. Mading-mading tersebut mencantumkan tulisan-tulisan berbahasa Jawa yang maknanya begitu dalam, seperti “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, “Mulat sarira hangrasa wani”, Ajining diri gumantung ing lathi”, “Sirna dalane pati, nur sifat, luber tanpo kebek”, “Jer basuki mawa beya”, danAlon-alon asal kelakon”.

Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci
Papan informasi sejarah Dukuh Dangean/Danang Nugroho

Sebagai kampung wisata, selain acara Pasar Ngatpaingan, Dangean juga menawarkan paket outbound bagi siapa saja yang berminat. Reservasi bisa melalui Instagram @wisatadangean atau datang langsung. Dalam paket ini, tamu akan diajak memerah susu sapi, menanam dan mengambil sayuran, mengunjungi Candi Lawang, dan melihat kawasan DME.

Kemudian di pintu utama bagian timur dukuh, terdapat plang yang menginformasikan tentang profil Dukuh Dangean. Selain wisata, ada juga informasi terkait acara sadranan di dukuh ini. Sadranan atau nyadran berasal dari kata Sradha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam dan tabur bunga oleh masyarakat Jawa. Puncaknya berupa kenduri di makam leluhur. Sadranan hanya dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah.

Menurutku, Minggu Pahing adalah waktu yang paling tepat bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Wisata Dangean. Sebab, pengunjung bisa menikmati paket lengkap yang tersedia dalam satu hari yang sama, mulai dari Pasar Ngatpaingan, Candi Lawang, dan Desa Mandiri Energi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Kampung Wisata Dangean, Minggu Pahing adalah Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-kampung-wisata-dangean-minggu-pahing-adalah-kunci/feed/ 0 42815
Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/ https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/#respond Sun, 29 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42756 Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola,...

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola, teman kuliahku yang selalu asyik diajak ngobrol dan bercanda.

Sekitar 11 km sebelum tiba, kami sempatkan istirahat dulu untuk makan di warung Mie Ayam Pakde Wonogiri dan ibadah di masjid terdekat. Setelah itu, perjalanan kami lanjutkan ke Waduk Sermo.

Setelah hampir sampai, kami mencoba masuk melalui jalur utama. Namun, sayang sekali ternyata jalur itu tutup dan sudah dipindah. Akhirnya kami berputar arah dan mengikuti petunjuk untuk mencapainya. Kami dikenakan Tarif Pemungutan Retribusi (TPR) Rp10.000 per orang. Jalur baru yang kami lewati lumayan berkelok disertai tebing dan pepohonan di kiri dan kanan. Jalan yang membelah bukit sangat mengesankan bagiku, mengingatkanku kala study tour SMP dulu ke Pantai Pandawa, Bali.

Begitu waduk terlihat, aku memutuskan untuk berhenti dahulu di tempat yang cocok untuk istirahat dan memandangi waduk. Kami memilih tempat bernama Gumuk Sriti, ada gardu pandangnya di sana. Akan tetapi, gardu pandang yang terbuat dari kayu itu sudah rapuh dan tidak layak digunakan, sehingga kami memilih duduk di rerumputan dan berteduh di bawah pohon. Aku melihat waduk yang begitu luas, perahu lalu-lalang, area camping, beberapa wisatawan, dan nelayan di sekitarnya.

  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo

Waduk sebagai Sumber Pencaharian Warga

Kami mencoba mendekati dan mewawancarai salah satu nelayan untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka. Nelayan itu bernama Mas Lovenda.

Mas Lovenda menjelaskan bahwa mencari ikan di Waduk Sermo sudah menjadi mata pencaharian bagi warga sekitar. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak sehabis pulang sekolah atau pada saat liburan kadang juga ikut mencari ikan di waduk. Jenis-jenis ikan yang didapat sendiri banyak, seperti betutu, nila, gurame, bawal, dan gabus.

Cara nelayan menangkap ikan menggunakan dua opsi, yaitu menebar jala atau membentangkan jaring. Tidak ada opsi untuk menggunakan pancing, karena opsi itu menyulitkan nelayan mendapatkan ikan.

“Kalau pake pancing susah kalo kayak kami nelayan. Sulit dapet ikan. Kalau yang mancing ‘kan paling cuma buat hiburan. Bukan buat mata pencaharian,” kata Mas Lovenda.

Saya juga sempat menanyakan perihal waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan. Mas Lovenda menjelaskan bahwa waktu untuk mendapatkan ikan tidak pasti. Tidak ada patokan waktu untuk mencari ikan. Akan tetapi, jika kondisi sehabis hujan, ikan sulit didapatkan.

Mas Lovenda juga menentukan waktu untuk membentangkan jaring. “Cuma ‘kan kalo jaring dibatasi dari jam 4 sore, baru bisa pasang jaring.”

“Oh, kenapa alasannya, Mas?” tanyaku.

“Kan ada perahu, dari pariwisata itu.”

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Potret Mas Lovenda sedang menebar jala di salah satu sisi Waduk Sermo/Danang Nugroho

Kalau malam Mas Lovenda pasang jaring, maka jaring diambil pada pagi hari sebelum wisata Waduk Sermo buka karena takut terkena perahu wisata yang berlalu-lalang. Mas Lovenda dan para nelayan lainnya menebar jaring menggunakan rakit. Nantinya jaring dibentangkan sesuai dengan posisi yang sudah mereka tentukan. Setelah itu mereka mencari ikan lagi dengan cara menebar jala.

Ikan yang mereka dapatkan terkadang dikonsumsi pribadi atau dijual. Biasanya ikan itu dijual ke pengepul. Kalau dijual ke pengepul bisa dapat Rp20.000 per kg, sedangkan jika ke luar pengepul mencapai Rp30.000 per kg.

Mas Lovenda sendiri biasanya menjual ikan ke pengepul karena lebih efektif dan hemat tenaga. Rata-rata per hari bisa mendapat 5 kilogram ikan atau jika dirupiahkan bisa Rp100.000 per harinya. Pikirku, “Jika itu konsisten selama sebulan, maka sudah melebihi UMR Jogja.”

Bagi Mas Lovenda, nelayan itu bebas. Tidak terikat waktu untuk berangkat. Siang dan malam bisa untuk mencari ikan. Karena Mas Lovanda hendak menebar jala, aku dan Afrinola mengucapkan terima kasih dan pamit untuk melanjutkan berkeliling Waduk Sermo. 

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Sejumlah tenda pengunjung di salah satu area perkemahan Waduk Sermo/Danang Nugroho

Mengitari Waduk Sermo dalam Sekali Tarikan Gas

Kami memutuskan untuk mengitari waduk menggunakan motor sampai kembali lagi ke tempat awal. Aku menarik gas secara perlahan-lahan. Untuk menikmati perjalanan, kecepatan motor hanya berkisar 15–20 km/jam. 

Di perjalanan awal, aku melihat ada prasasti bertuliskan daftar pengikut transmigrasi terdampak pembangunan Waduk Sermo. Ada beberapa nama warga yang dipindahkan. Ini hal menarik yang perlu digali.

“Kita nanti tanyakan waduk dan prasasti itu ke warung itu ya, Nol,” ajakku.

“Iya, Nang. Nanti coba tanya-tanya seputar waduk dan prasasti itu,” jawab Afrinola.

Setelah melewati prasasti, banyak warung yang berjualan di pinggir jalan. Tidak hanya warung, ada juga bengkel dan beberapa rumah jamur untuk singgah dan istirahat para pengunjung sembari melihat keindahan waduk. Di samping itu, terdapat pula wisma atau vila apabila para pengunjung ingin menginap di sekitar waduk.

Cara lain untuk para pengunjung bisa menginap di dalam area waduk adalah camping atau berkemah. Banyak area camping yang bisa disinggahi. Selain Gumuk Sriti tadi, ada juga Taman Munggur, Mengger Kemuning, Menara Pelangi, Sermo Glamp Camp, Bukit Kelengkeng, dan Panorama Setro. Sepertinya asyik melihat pengunjung yang berkemah, karena bisa berwisata perahu dan memancing ikan untuk konsumsi mereka.

Perjalanan belum usai. Di beberapa sudut waduk airnya surut dan sepi pengunjung. Kami malah melihat beberapa orang sedang mencari rumput. Pikirku, berarti bagian wisata hanya di dekat jalur masuk utama saja, karena kalau sudah jauh dari pintu masuk, tempat ini sepi dan air pun tidak menggenangi sudut-sudut waduk.

Kemudian sampailah kami di tempat TPR kedua. Ternyata ada dua tempat untuk jalur masuk dan keluar. Kami diarahkan penjaga TPR ke pintu utama. Penjaga TPR juga menjelaskan kalau kami sudah berjalan 18 km selama mengitari waduk. Kami langsung bergegas kembali menuju jalur utama dan mampir ke warung dekat prasasti transmigrasi tadi.

Prasasti Transmigrasi dan Dongeng dari Pedagang 

Sampailah kami ke TPR awal dan berjalan sedikit untuk singgah di warung dekat prasasti transmigrasi. Kami memesan minum dan berbincang hangat dengan salah satu pedagang bernama Ibu Mursinah. Nama warungnya Warkop Yu Mur.

Aku menanyakan perihal sejarah dari prasasti transmigrasi yang berjarak sekitar 10 meter dari warkopnya. Bu Mursinah menjelaskan, dulu di daerah waduk adalah permukiman penduduk. Kemudian mereka dipindahkan atau ditransmigrasikan ke Desa Taktoi, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, dan Riau. Transmigrasi massal tersebut melibatkan 102 warga yang disebut dengan istilah bedol desa.

Waduk Sermo dibuat saat zaman Presiden Soeharto. Pembangunan mulai tahun 1994 dan diresmikan pada 1996. “Dulu itu sini masih pegunungan. Kemudian bisa seperti ini lantaran diledakkan,” ungkap Bu Mursinah.

Dengan adanya waduk ini, masyarakat di daerah Wates dan sekitarnya bisa mendapatkan manfaatnya. Waduk dikelola Kementerian PUPR untuk pengairan atau irigasi ke sawah daerah sekitar, serta sebagai sumber air bersih untuk minum yang dikelola PDAM setempat.

Lalu seiring berjalannya waktu, Waduk Sermo juga dikelola oleh dinas pariwisata yang bekerja sama dengan warga sekitar untuk dijadikan tempat wisata. Karena bekerja sama, warkop dan pedagang kaki lima yang ada di sekitar waduk tidak dikenakan tarif sewa tempat.

Bu Mursinah sendiri mengungkapkan kalau puncak keramaian sekarang hanya di hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional. Selain hari itu sepi pengunjung. “Kalau tahun 2019 ke bawah itu masih ramai, Mas. Waktu itu, kami para pedagang juga menyediakan sewa skuter dan ATV. Tapi karena makin sepi, semua itu rusak dan dijual,” ungkapnya.

Sepinya waduk sendiri, menurut Bu Mursinah, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari jalan masuk yang dialihkan, wahana wisata yang hanya viral sesaat, dan tarif masuk naik empat ribu rupiah dari yang dulunya Rp6.000.

“Kalau untuk pedagang-pedagang kayak gini, ya, kalau ramai ya ramai, kalau enggak ya tetap sepi pol. Satu hari itu nggak tentu dapet duit,” pungkas Bu Mursinah.

Setelah mendengar pernyataan itu, aku berharap dinas pariwisata dan warga sekitar mampu membuat Waduk Sermo kembali ramai lagi seperti dulu. Menawarkan spot wisata yang lebih menarik. Dengan pemberdayaan seperti itu, warga sekitar juga akan merasakan dampak baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/feed/ 0 42756
Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/ https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/#respond Tue, 28 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42039 Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi...

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi jual beli layaknya pasar tradisional.

Sebagai pengantar, Pasar Kangen Yogyakarta adalah sebuah acara tahunan yang telah dimulai sejak 2007 di Kota Yogyakarta. Di festival tahunan tersebut, pengunjung dapat menikmati beraneka ragam jajanan khas, unik, dan barang antik yang langka. Acara ini biasanya diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Namun, pada tahun 2024, Pasar Kangen hadir di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah istimewa ini, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

Pasar Kangen yang diselenggarakan di UNY mengambil tema “Transformasi Budaya Kerja, Menguatkan UNY PTN-BH”. Kegiatan ini diadakan di area Taman Pancasila Kampus UNY, Jl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta. Pasar Kangen UNY berlangsung selama 17–19 Mei 2024 dengan jadwal operasional berbeda. Pada hari Jumat (17/5), pasar mulai buka pukul 15.00–22.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu pukul 07.00—22.00 WIB. 

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Keramaian menyemut di pintu masuk Pasar Kangen UNY sisi utara Taman Pancasila/Danang Nugroho

Semangat dan Kreativitas Para Pedagang

Minggu malam (19/05), tepatnya pukul 19.00, saya berkunjung ke pasar tersebut karena saat itu merupakan hari terakhir pasar digelar. Lewat pintu masuk pasar bagian utara Taman Pancasila, saya dan para pengunjung lainnya berjumpa dengan stan tiap fakultas di UNY. Mengapa demikian? Sebab Pasar Kangen bekerja sama dengan kampus karena bertepatan dengan acara Dies Natalis ke-60 UNY.

Ketika saya berjalan lagi dan menilik tiap stan, semangat pedagang patut diacungi jempol. Mereka melayani dengan sepenuh hati siapa pun pembeli yang datang. Hal ini sesuai dengan pepatah yang dicantumkan di situs web pasarkangen.com: “Ora Cucul Ora Ngebul”, yang berarti manusia bergerak maka rezeki selalu hadir. Maksudnya, menjadi manusia yang rajin bekerja dan tak sekadar pasrah, sehingga keringat yang bercucuran akan berganti dengan rezeki dalam wujud apa pun.

Di sisi lain, terkait kreativitas, para pedagang memberdayakan stan masing-masing dengan dekorasi dan nama-nama yang unik. Tentunya hal tersebut untuk menarik para pengunjung agar mampir ke stan mereka. Contohnya, ada salah satu stan yang menjual dawet dengan jenama dawet ireng Jembut (Jembatan Butuh). Tidak hanya itu, di stan-stan lain juga menampilkan nama-nama unik pada produknya, seperti bir jawa, jeniper lupis, rempah suwuk, dan banyak lagi.

  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan

Aneka Jualan untuk Raga dan Jiwa

Para pedagang Pasar Kangen menawarkan berbagai jajanan khas yang unik dan langka yang pernah ada di Yogyakarta ataupun daerah lain, seperti rujak cingur, jadah tempe, es limon, gudek, sate kere, dan lento. Di stan lain, para pedagang ada yang menawarkan berbagai pernak-pernik macam aksesoris, lukisan, make up, dan barang-barang antik. Tak hanya itu, tersedia pula stan yang membuka jasa pijat di tempat tersebut. Kesemuanya itu yang dimaksud dengan jualan untuk raga.

Di sisi lain, tidak hanya raga, tetapi para pedagang juga menawarkan makanan untuk jiwa, yaitu buku. Beberapa stan menjual buku-buku lama yang masih layak jual dan baca. 

Dengan makanan yang higienis dan bergizi, raga manusia akan sehat. Dengan membeli dan membaca buku, cakrawala pengetahuan manusia akan bertambah dan tahu akan arah yang dituju. Pasar Kangen telah memberi penawar raga dan jiwa yang baik bagi para pengunjung.

Miniatur Zaman bagi Manusia Postmodernisme

Dapat dikatakan Pasar Kangen UNY merupakan miniatur zaman bagi masyarakat postmodern. Pasalnya postmodern ini mencerminkan masyarakat yang memiliki rasa keterasingan, rasa tidak aman, dan ketidakpastian mengenai identitas dirinya.

Karena hal tersebut, Pasar Kangen hadir untuk meredakan perasaan-perasaan itu agar para individu kembali pada fitrahnya. Dengan berkunjung dan menikmati suasana pasar, para pengunjung akan terbawa suasana tempo dulu dan menjalin interaksi dengan pedagang ataupun dengan pengunjung lainnya. 

Berkaitan dengan postmodernisme, ternyata ada satu hal unik di Pasar Kangen UNY. Terdapat salah satu stan yang menawarkan jasa peramalan melalui kartu tarot. Tentunya para individu postmodern yang memiliki perasaan akan “ketidakpastian” banyak yang memakai jasa tersebut. Para pengunjung itu tentunya ingin memiliki kepastian di kehidupannya, sehingga hari-harinya tidak gundah dan bingung. Unik bukan?

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Stan yang membuka jasa pembacaan kartu tarot/Danang Nugroho

Berjalan, Membeli, dan Menikmati

Tiga kata yang diterapkan para pengunjung Pasar Kangen UNY, yaitu berjalan, membeli, dan menikmati. “Berjalan”, maksudnya mengitari semua stan dan melihat-lihat apa yang kira-kira menarik dan diinginkan. “Membeli”, berarti setelah mengitari stan yang ada di sana, para pengunjung mulai menjalin interaksi dengan pedagang, kemudian ada tawar-menawar dan transaksi jual beli. Terakhir adalah “menikmati”, usai para pengunjung membeli barang yang diinginkan, mereka tinggal duduk di pelataran Taman Pancasila UNY dan menikmati hiburan yang dipentaskan di panggung.

Beragam hiburan dihadirkan pada acara tersebut, beberapa penampilan seperti Yuliono Singsot, Damar Patung Pantonim, hiburan kesenian mahasiswa Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB), penampilan dari beragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang ada di lingkungan UNY. 


Daftar Pustaka

Adikara, G. (2024). Pasar Kangen UNY Hadirkan 200 Tenant Jajanan Nostalgia. Diakses dari https://www.uny.ac.id/id/berita/pasar-kangen-uny-hadirkan-200-tenant-jajanan-nostalgia pada 20 Mei 2024.
Situs Web Pasar Kangen (2023). Diakses dari https://www.pasarkangen.com/ pada 20 Mei 2024.
Wikipedia. (2023). Pasar Kangen Yogyakarta. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Kangen_Yogyakarta pada 20 Mei 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/feed/ 0 42039