Daviatul Umam https://telusuri.id/penulis/daviatulumam/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 02 Dec 2024 03:47:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Daviatul Umam https://telusuri.id/penulis/daviatulumam/ 32 32 135956295 Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/ https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/#respond Sun, 01 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44258 Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian...

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian Blambangan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada 24–26 Oktober 2024. Acara tersebut merupakan puncak kegiatan dari penerbitan antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu” yang diisi 200 penyair setelah dikurasi oleh tim kurator. Kami termasuk di antaranya.

Angka 200 terlalu banyak untuk ukuran bunga rampai. Meski disaring dari 400 lebih pengirim puisi, bagiku tetap terkesan sebagai antologi keroyokan. Itulah mengapa, aku tidak cukup percaya diri atas keterlibatanku dalam buku itu. Sekalipun ada embel-embel “Asia Tenggara” di sana. Lagi pula, 95% penyair terpilih adalah orang dalam negeri.

Bagaimanapun, aku bersyukur. Berkat JSAT, aku bisa berpelesir ke Banyuwangi dan merayakannya bersama orang-orang sehobi. Tentu saja tidak sekadar selebrasi. Menemukan pengalaman-pengalaman baru jauh lebih penting dari sebatas hore-hore dan pamer gigi di depan kamera.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Plakat registrasi wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Osing di depan rumah warga Kemiren, Banyuwangi/Daviatul Umam

Hari Pertama di Kemiren

Matahari hampir memerah di ufuk barat ketika kami menginjakkan kaki di halaman Rumah Budaya Osing (RBO) Kemiren. Mestinya kami bisa tiba beberapa jam lebih awal, seandainya mobil rombongan tidak terjebak macet panjang karena proyek jalan di Bangkalan. 

Di RBO, panitia menyambut hangat. Usai mengisi daftar hadir, kami menerima kaus seragam JSAT dan sekotak nasi. Lalu kami dibonceng oleh beberapa panitia ke tempat penginapan milik rumah warga Kemiren. Mereka menyebutnya homestay. Satu homestay berisi dua sampai empat orang sesuai kelompok. Aku berhasil satu kelompok bersama Helmy Khan—kawan karibku—setelah melakukan negosiasi dengan panitia.

Tuan rumah kami, Bu Ti’anah dan Pak Suroso, sangat ramah dan gaya bicaranya renyah. Pasutri berusia 60 tahunan tersebut hidup bersama seorang anak dan cucu perempuan. Sehabis membersihkan badan, sembahyang dan makan, kami disuguhi teh hangat dan sepiring aneka kudapan. Akan tetapi, belum sempat kami menghabiskan minuman dan kudapan itu, kami harus segera berangkat ke Pendopo Bupati Banyuwangi untuk mengikuti gala dinner.

Penampilan musik dan tari Sanggar Seni Joyo Karyo membuka acara perdana. Kemudian dilanjutkan dengan senarai acara inti, antara lain peluncuran antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, sambutan bupati, pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, ramah-tamah, pembagian buku sekaligus pembagian tugas Penyair School Visit ke sekolah-sekolah sasaran.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Suasana diskusi sastra di SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Menyapa Para Siswa SMPN 1 Kalipuro

Pukul enam keesokan paginya aku dan Helmy sudah bersiap-siap pergi ke sekolah sasaran. Helmy mendapat tugas ke MA Mambaul Huda, sedangkan aku ke SMPN 1 Kalipuro. Ini agenda kedua dari JSAT. Sehabis menyantap hidangan yang disuguhkan Bu Ti’anah, kami berjalan kaki ke RBO agak tergesa-gesa. Sebab, kata panitia, mobil penjemputan dari pihak sekolah sudah menunggu cukup lama di sana. Di RBO, kami berpencar menemui pihak sekolah masing-masing.

Kanti Rahayu namanya. Seorang guru paruh baya yang ditugaskan menjemputku bersama dua peserta lainnya, Eki Thadan (Jakarta) dan Nor Faizah (Sumenep). Setelah berkenalan dan berbincang ringan, kami berempat menaiki mobil jemputan. Di kursi depan samping sopir, sudah ada Bu Nisa, kepala SMPN 1 Kalipuro. Mobil melaju. Obrolan ringan kembali bersambut di sepanjang perjalanan.

Cuma butuh waktu setengah jam dari Kemiren ke Kalipuro dengan kecepatan sedang. Ketika kami hendak memasuki halaman sekolah, selawat berkumandang diiringi tabuhan rebana. Personel hadrah itu tak lain para siswa SMPN 1 Kalipuro sendiri. Mereka beserta segenap guru berdiri sejajar di kiri-kanan, tampak sangat antusias menyambut kedatangan kami.

Lepas dari keriuhan itu, aku berkata pelan kepada Faizah, “Kayak baru datang umrah aja kita.” Faizah cengar-cengir. Bukan apa-apa. Di Madura, penyambutan semacam itu lumrahnya dipersembahkan untuk orang yang baru tiba dari tanah Haramain. Mendapati bentuk penyambutan yang sama untuk kedatangan penyair, terlebih penyair abal-abal sepertiku, sungguh bagai mimpi di siang bolong dan sukses bikin aku terharu sekaligus salah tingkah.

Di ruang diskusi, puluhan siswa-siswi sudah duduk tertib di atas bangku. “Waalaikum salam..,” jawab mereka serempak begitu kami beruluk salam di mulut pintu. Kami duduk di bangku depan. Berbagai jenis kuliner lokal tersaji di meja kami. Acara segera dimulai. Seni mendongeng, pembacaan puisi, dan penampilan musik tradisional menjadi pembuka yang manis.

Menurut sambutan kepala sekolah, SMPN 1 Kalipuro didirikan sejak 1996. Dengan rendah hati, beliau bilang sekolah ini terpencil.

“Ya, beginilah keadaannya. Mewah. Mepet sawah,” candanya diikuti ledak tawa seisi ruangan. Letak gedung sekolah memang berada di pinggir sawah. Meski begitu, SMPN 1 Kalipuro tak senasib sekolah-sekolah di kampungku yang krisis murid. Tiap tingkatan ada enam kelas. Itu pun, per tahunnya, tidak semua calon siswa baru ditampung.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Para penyair JSAT foto bersama kepala sekolah dan para guru SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Lebih lanjut, Bu Nisa membeberkan bakat-bakat yang dimiliki para siswa di bidang seni dan olahraga. Semua bakat itu terwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler, kecuali seni membatik. Seni yang satu ini mendapat perhatian khusus dan diunggulkan daripada keterampilan lain sehingga menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Tak hanya itu. Sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan tersendiri, kain batik hasil karya seorang siswa dijadikan seragam wajib pada hari tertentu.

Kemudian Faizah, aku, Pak Eki, dan Pak Suhandayana (asal Surabaya yang datang belakangan dari Kemiren), bergantian bicara di depan siswa. Intinya, kami memaparkan sekelumit pengetahuan dasar tentang sastra dan dunia tulis-menulis. Selebihnya kami menceritakan proses kreatif sebagai pemantik bagi mereka supaya punya ketertarikan untuk membaca dan menulis.

Selesai diskusi, kami diajak ke Geopark. Sebuah miniatur Watu Dodol dan beberapa situs lain di sudut halaman sekolah. Geopark ini dikerjakan dan dirawat oleh seorang lelaki gempal bernama Pak Mujianto dengan bantuan sejumlah siswa. Hal tersebut, kukira, menunjukkan betapa sangat intimnya hubungan orang Banyuwangi dengan alam. Adapun SMPN 1 Kalipuro sendiri memang berdiri di tengah panorama mooi indie. Selain mepet sawah sebagaimana kata Bu Nisa, ada aliran Kali Sumber Penawar membelah halaman sekolah. Puitis sekali, pikirku.

Bersama para guru, kami lantas menyantap nasi pecel rawon. Setahuku, pecel dan rawon adalah dua jenis masakan yang tidak punya hubungan kekerabatan. Baru kali ini aku menjumpai keduanya sekandung dalam satu piring. Irisan daging sapi bertemu sayur kangkung; kuah sup hitam berbaur sambal kacang. Sebuah kolaborasi yang guyub, langsung akrab di lidah dan bikin nagih. Apalagi dimakan dengan kerupuk udang, yang seakan memang hanya ditakdirkan menjadi pelengkap bagi makanan berkuah seperti rawon.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Miniatur Watu Dodol di Geopark SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Mampir ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan

Di mana-mana, perpisahan pastilah menjadi konsekuensi dari pertemuan. Usai menerima kenang-kenangan dari Bu Nisa berupa kain batik karya para siswa, kami berpamitan. Namun, sebelum kembali ke Kemiren, Pak Mujianto dan Bu Kanti terlebih dahulu mengantar kami ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan sebagai bagian dari kegiatan Penyair School Visit.

Watu Dodol merupakan objek wisata gratis yang relatif dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Kurang lebih sama dengan miniaturnya di Geopark SMPN 1 Kalipuro. Maksud “watu dodol” tak lain batu hitam besar menjulang yang terjepit dua lajur jalan raya.

Tidak cukup lama kami di sana. Begitu selesai mengabadikan momen di bawah patung penari gandrung berlatar Selat Bali, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Cacalan. Cahaya sore masih lumayan terik. Kami ngadem di pinggir rawa, berpayung pohon-pohon hias nan rindang. Dari bangku kayu yang kami duduki, di kejauhan tampak terbujur daratan Pulau Dewata.

Rawa itu amat terawat. Airnya jernih. Pengunjung bisa bersenang-senang dengan menyewa kano atau perahu karet seharga Rp10.000–20.000. Kami sendiri lebih memilih mengobrol saja sambil menikmati tahu walik dan es degan.

  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi

Seminar Sastra di Marina Boom

Sabtu pagi (26/10/2024), aku dan Helmy mengemasi barang-barang ke dalam tas. Saatnya kami pamit pulang ke Bu Ti’anah dan Pak Suroso sembari berterima kasih dan memohon maaf atas segalanya.

“Kapan-kapan main lagi, ya. Nginap di sini,” ujar Bu Ti’anah lalu menyodorkan dua kain mafela batik kepada kami. Kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih.

Kami tidak langsung pulang ke Sumenep, karena kami hendak mengikuti acara Seminar Sastra di Pantai Marina Boom. Setibanya kami di Gedung Juang, tempat seminar, acara sudah dimulai. Dipandu Dr. Tengsoe Tjahjono, acara bertajuk Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional itu mulanya diisi Riri Satria yang memaparkan materi tentang tantangan menulis di era kecerdasan buatan. Selanjutnya Sofyan RH. Zaid menyampaikan hasil bacaannya terhadap puisi-puisi dalam buku “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, lalu disusul orasi sastra oleh D. Zawawi Imron. Sesi tanya jawab memungkasi seminar.

Itulah acara terakhir kami di JSAT Banyuwangi. Sejatinya kami ingin menonton pagelaran tarian Gandrung Sewu di pantai itu. Namun, kami harus segera pulang karena salah satu teman rombongan hendak mengejar acara lain di Gedung Cak Durasim, Surabaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/feed/ 0 44258
Menilik Kota Tua Kalianget https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/ https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/#respond Wed, 05 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42100 Setiap kali aku hendak bepergian ke luar pulau (Talango), otomatis aku melewati jalan raya Kalianget. Begitu pula tiap aku hendak pulang ke rumah, pastilah aku tak bisa melintasi jalan lain kecuali Kalianget. Walau demikian, baru...

The post Menilik Kota Tua Kalianget appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap kali aku hendak bepergian ke luar pulau (Talango), otomatis aku melewati jalan raya Kalianget. Begitu pula tiap aku hendak pulang ke rumah, pastilah aku tak bisa melintasi jalan lain kecuali Kalianget. Walau demikian, baru beberapa tahun belakangan aku tahu kalau ternyata Kalianget pernah menjadi kota modern di Madura. Sialnya, aku mendapatkan informasi itu justru dari seorang perempuan yang domisilinya sangat jauh dari Kalianget, yaitu istriku.

Kepada teman-temannya, dia kerap mendaku bahwa sejarah dan segala ihwal tentang Sumenep adalah “pelajaran” favoritnya. Sebab itulah dia tidak mau ketinggalan informasi apa pun mengenai Sumenep. Dia pun sat-set apabila ada destinasi wisata, kuliner, atau hal-hal baru lainnya di Sumenep. Sebagai lelaki yang malas jalan-jalan, aku sering terpaksa menjadi sopir yang mengantarnya ke tempat-tempat yang dia suka, sehingga lambat laun aku pun tertarik keluyuran ke berbagai tempat penting.

Kami suka pergi ke museum, situs sejarah, makam keramat, wisata alam, warung kuliner, maupun acara-acara kesenian. Suatu waktu istriku pernah mengajakku mengunjungi Kota Tua Kalianget. Aku menuruti. Tujuan utamanya untuk foto-foto, selain ingin memerhatikan lebih saksama bangunan-bangunan peninggalan Belanda di sana. Namun, karena tidak berniat menjadikannya sebagai tulisan, kami hanya melihat-lihat dan memotret objek seperlunya.

Hingga sore lalu (14/04/2024), dalam perjalanan menuju rumah untuk suatu keperluan, aku kebelet mampir ke Kota Tua Kalianget demi melihat-lihat lagi sejumlah bangunan lawasnya. Kali ini mesti lebih serius, tekadku. Sayang sekali, istriku tidak ikut lantaran harus mengurus nenek (mertua) yang dibelit demam. Tentu aku akan sedikit kerepotan menyusuri tempat ini, karena biasanya dialah pemandu perjalanan berbekal pengetahuan lokalitasnya.

Menilik Kota Tua Kalianget
Pintu utama Benteng Kalimo’ok/Daviatul Umam

Benteng Kalimo’ok

Apa boleh buat. Aku tidak punya banyak waktu untuk keluyuran sebab kungkungan pekerjaan. Kesempatan juga tidak selamanya terulang. Mau tak mau aku tetap menepi ke lokasi sebuah benteng lapuk di Desa Kalimo’ok. Kuparkir motor lalu menengok layar ponsel tepat pada pukul 16.11 WIB.

Pandanganku menyapu ke semua sisi depan benteng. Dindingnya mengelupas, lumut berbiak di sana-sini, rumput dan semak belukar tumbuh liar di sela-sela retakan beton. Ratusan tahun bersekutu, cuma efek itu yang ditimbulkan oleh ulah hujan dan matahari. Mereka belum mampu merobohkan benteng yang berdiri sejak tahun 1785 tersebut—sebagaimana tertulis di prasasti yang ditandatangani Bupati Sumenep, KH. Moh. Ramdlan Siraj, pada 31 Oktober 2001 silam.

Menurut keterangan papan informasi berwarna biru yang dibuat oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur, benteng itu memiliki dua pintu masuk. Di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang konon merupakan persembunyian serdadu asing, lengkap dengan bastion penyimpanan meriam di setiap sudut benteng. Kini bekas persembunyian itu telah disulap menjadi tempat peternakan.

Sementara di depan pintu benteng pada sisi kanan, sebuah gapura masih tegak kokoh. Di dindingnya ada sisa-sisa potongan huruf dan angka yang tak dapat kueja. Adapun di balik gapura kusam itu terbujur kijing-kijing bertanda salib. Tak banyak. Hanya belasan pusara yang semuanya berhulu ke barat. Namun, setelah aku melangkah masuk ke balik gapura, ternyata ada satu kijing yang nyeleneh: tidak bertanda salib dan berhulu ke utara.

Selama berpijak di tanah pemakaman, entah kenapa aku merasakan aura yang “liyan”. Persis aura yang pernah kurasakan dulu saat ikut teman menyambangi toko buku Kristen di Jogja.

Menilik Kota Tua Kalianget
Area pemakaman Kristen di dekat Benteng Kalimo’ok/Daviatul Umam

Rumah Tua dan Jejak Kolonial Lainnya

Aku melanjutkan penjelajahan ke Desa Kalianget Timur. Di sepanjang jalan, mudah sekali ditemui rumah-rumah khas Eropa di tepian kiri. Bak manusia dewasa, rumah-rumah itu terlihat segar bugar meski ada beberapa yang sudah diperbaharui dengan tetap mempertahankan bentuk asli arsitekturnya. Tiada rumah tanpa pagar. Semua pagar dirantai dan digembok. Sebagian besar ditempeli papan nama “Rumah Dinas PT Garam (Persero)”.

Kebetulan ada satu rumah yang pagarnya tengah terbuka. Seorang lelaki berkepala empat sedang menyiram tanaman. Buru-buru aku menghampirinya begitu ia sudah selesai dengan pekerjaannya dan bersiap-siap untuk pergi. “Rumah-rumah tua di sini kenapa banyak yang ditempeli nama ‘Rumah Dinas PT Garam’, ya, Pak?” tanyaku dengan polos sehabis berbasa-basi.

“Iya. Itu milik PT Garam. Ditempati orang-orang PT Garam. Sebagian juga disewakan,” jelasnya tersenyum renyah.

“Berarti bapak nyewa di sini?”

“Tidak. Cuma nyiram tanaman.” Bapak itu bergegas pergi usai kuucapkan terima kasih padanya.

Beragam corak rumah tua di Kalianget Timur dengan motir pagar yang hampir senada (Daviatul Umam)

Aku pun kembali memacu kendaraan ke arah timur, sampai berjumpa bangunan paling gigantik di antara bangunan klasik yang lain. Kendati berukuran tinggi dan luas, gedung ini hanya memiliki satu ruangan. Temboknya terkikis zaman dan meninggalkan bercak-bercak kehitaman. Beberapa bagian juga ditumbuhi perdu. Sepasang daun pintunya besar menjulang. Di depan pintu bercat kuning gading inilah anak-anak muda suka berpose. Sekali waktu aku juga pernah menyaksikan pasangan calon mempelai mengabadikan momen pranikahnya di sana.

Di seberang gedung, sebuah pos pantau berdiri. Pintunya ternganga lebar. Kendaraan roda dua terparkir di terasnya. Dari balik kaca jendela berwarna gelap dapat kutangkap bayangan seseorang yang sedang duduk di atas kursi. Aku beranjak masuk teras lalu memanggil salam di muka pintu. Laki-laki kurus berkaus satpam bangkit dari kursinya sembari menyambut salamku.

Anu. Numpang tanya, Pak. Gedung ini dulunya ditempati apa, ya?” aku menunjuk bangunan perkasa itu dengan jari jempol kanan.

“Itu gudang mesin, Mas. Pembangkit tenaga listrik,” terang Pak Satpam.

“Kalau rumah-rumah tua di jalan ini milik siapa?” tanyaku untuk memastikan.

“Milik PT Garam.”

Lagi-lagi betapa polosnya diriku, “Dibeli PT Garam atau gimana?”

Nggak. Itu aset negara. PT. Garam kan bagian dari BUMN.”

“Oh. Ya, sudah. Terima kasih banyak, ya, Pak.”

Aku berlalu pergi dan berlanjut menyusuri cagar budaya lainnya. Sesudah melaju pelan sepanjang ratusan meter, aku berhenti sejenak di seberang kantor PT Garam, mengamati sebuah monumen lokomotif yang sengaja dipamerkan. Hanya saja barang antik tersebut tidak dilengkapi plang atau tulisan singkat terkait keberadaan serta kegunaannya di masa penjajahan. Pengunjung awam sepertiku dipaksa bertanya sendiri ke Mbah Google.

Kemudian aku meluncur ke arah utara, mengitari lingkungan perumahan purbakala di sekitar jalan Brawijaya–Sam Ratulangi, Kalianget Timur. Sinar matahari mulai meredup. Pohon-pohon hias nan rindang menambah remang cakrawala. Meniti jalan aspal yang agak rusak membuat motor sedikit mengguncang-guncang tubuhku. Bagai mahasiswa semester akhir yang melakukan penelitian, sambil menyetir aku tak hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri.

  • Menilik Kota Tua Kalianget
  • Menilik Kota Tua Kalianget

Di daerah inilah rumah-rumah tua bercorak Eropa dengan aneka bentuk itu berpusat. Namun, aku lebih dulu tertarik menelisik pilar penyangga langit yang melampaui pohon tertinggi sekalipun. Sudah sejak lama aku penasaran terhadap kisah di balik beton raksasa ini. Difungsikan untuk apa ia oleh orang-orang Belanda dulu?

Tepat di sebelah baratnya, aku menemui seorang pemuda yang kelihatan sibuk menjamu para tamu. Aku bertanya secara singkat perihal fungsi dari pilar tersebut. “Itu PDAM, Mas,” jawab si pemuda sambil berdiri memegang senampan air gelas kemasan.

“Kalau di masa Belanda dulu?” kejarku.

“Saya gak tahu. Coba tanya sama yang lebih sepuh saja, Mas.” Tampaknya dia memang betul-betul sibuk dan aku telah mengganggunya.

“Baik, Mas. Terima kasih, ya.”

Sesuai sarannya, aku menyongsong ibu lansia yang berjalan kaki seraya menyunggi tabung gas elpiji tiga kilo. Masih menyorong pertanyaan yang sama dan ibu beruban itu pun menyuguhkan jawaban yang sama dengan si pemuda. Tak ada penjelasan komplet yang memuaskan rasa keingintahuanku.

Langit kian berjelaga. Azan Magrib berkumandang dari pelantang suara masjid. Kukira tak bakal memungkinkan untuk melanjutkan rekreasi. Akan terasa janggal jika aku memaksakan diri menjumpai orang-orang yang tak kukenal hanya untuk dimintai keterangan terkait sekelumit riwayat Kota Tua Kalianget. Setelah memotret salah satu rumah kuno dan gereja, aku segera pulang dengan berniat kembali datang keesokan harinya.

Menilik Kota Tua Kalianget
Tampak depan bangunan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Kalianget Timur/Daviatul Umam

Sejarah Gereja dan Rumah-rumah Lawas

Esoknya, aku menepati janjiku sendiri. Langsung saja aku menuju suatu titik di mana penjelajahanku kemarin terpotong. Kubidik ulang gereja sederhana itu demi menghasilkan gambar yang lebih bagus. Kukatakan “sederhana” sebab rumah ibadah Protestan itu tak ubahnya kediaman penduduk desa. Di terasnya terdapat satu set sofa merah serta sebuah meja. Dindingnya bertempelkan kayu salib cokelat dengan dua pintu kayu bercat kuning nyalang. Beberapa jendelanya juga berbahan kayu, sama dengan rumah-rumah tua di sekitarnya.

Walau sederhana, ia tampak sangat terawat. Baluran catnya masih baru. Rerumputan di halamannya terpangkas rapi, selain bebas dari sampah. Cuma guguran daun mangga kering berserakan, tetapi itu wajar belaka. Di samping bangunan ada seekor anjing berbulu lebat. Ia melongo di balik pintu berkawat tatkala aku menapaki halaman gereja. Karena waswas, langkahku urung untuk mendekat ke beranda. Aku cepat-cepat keluar karena khawatir binatang itu menggonggong sehingga membuat warga menaruh rasa curiga terhadapku. Walau sebenarnya aku telah mendapatkan izin dari seorang kakek yang menjadi juru kuncinya.

Dari kakek pemotong rumput ini aku menerima sejumlah informasi berharga. Katanya, hingga kini gereja itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Tiap Minggu umat Kristen berdatangan dari berbagai daerah untuk beribadah. Dia juga menjelaskan tahun berdirinya bangunan-bangunan bersejarah di desa itu.

“Rumah paling besar di sebelah ini dibangun tahun 1910. Dulu jadi kantor PT Garam. Kalau gedung pembangkit tenaga listrik di sana sekitar 1914. SD Taman Muda itu (dia menunjuk bangunan bercat kuning) lebih baru lagi, 1957,” tuturnya antusias.

Menilik Kota Tua Kalianget
Menara PDAM di Kalianget Timur/Daviatul Umam

“Kalau PDAM itu tahun berapa?” Aku masih sangat penasaran sama pilar penyangga langit.

“Itu bukan peninggalan Belanda. Warga sini sendiri yang bikin. Belum lama itu. 1984 kalau tidak keliru.”

Tak lupa, aku juga menanyakan biaya sewa rumah-rumah yang dikontrakkan oleh PT Garam. Kakek itu bilang, biayanya tergantung ukuran rumah. Beda-beda. Lumrahnya tiga atau empat juta lebih per tahun. Sebagian dari para penyewa adalah warga pribumi, sebagian lain pendatang dari Jawa. Mereka merintis bermacam usaha di sana. Jualan soto, bakso, telur ayam, dan mebel.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menilik Kota Tua Kalianget appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menilik-kota-tua-kalianget/feed/ 0 42100
Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/ https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/#respond Wed, 29 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42051 Sehari setelah lebaran ketupat, aku, Ibna, dan Gusti bervakansi ke Pulau Giligenting—salah satu pulau di antara 126 pulau yang ada di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Selain tertarik untuk menikmati keasrian pantainya, akses yang lebih mudah...

The post Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting appeared first on TelusuRI.

]]>
Sehari setelah lebaran ketupat, aku, Ibna, dan Gusti bervakansi ke Pulau Giligenting—salah satu pulau di antara 126 pulau yang ada di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Selain tertarik untuk menikmati keasrian pantainya, akses yang lebih mudah dibanding pulau-pulau lain adalah alasan utama kami mengapa memilih Pulau Giligenting sebagai destinasi liburan.

Beberapa hari sebelumnya, aku dan Ibna sempat merembukkan rencana liburan ini kepada Fai dan Romzul. Mereka bersilaturahmi ke rumah kami di hari yang sama, tetapi dalam waktu yang berbeda. Namun, Fai memutuskan tidak ikut karena suatu kendala. Sejak awal Fai memang menjawab ragu-ragu.

Romzul lain lagi. Penyair cum Madridista itu tidur kebablasan sehabis nonton pertandingan tim sepak bola kesayangannya melawan Manchester City. Delapan kali kutelepon selama pukul 07.30–09.00 tetap saja tak ada respons. Untunglah ada Gusti dan Ummul yang menyatakan siap ikut ketika kucoba hubungi, meskipun Ummul juga gagal pada akhirnya.

Terpaksa kami berangkat bertiga dengan menanggung rasa tidak enak pada Romzul. Mau bagaimana lagi, cuma hari itu (18/04/2024) satu-satunya kesempatan berlibur saat momen lebaran tahun ini. Hari berikutnya kami akan disibukkan dengan aktivitas masing-masing, sedangkan Romzul sendiri bakal segera balik ke Jogja untuk jangka waktu yang tak tentu lamanya.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Aktivitas awak perahu menaikkan motor penumpang di pelabuhan Tanjung/Daviatul Umam

Berlayar ke Giligenting

Pukul 09.15 aku dan Ibna berangkat dari rumah. Sementara Gusti yang rumahnya tak jauh dari pusat kota akan menunggu kami di Saronggi. Setelah bertemu, kami meneruskan perjalanan bersama-sama.

Dari pertigaan Saronggi, kami meluncur ke arah timur. Mungkin sekitar 15 kilometer sebelum akhirnya tiba di pelabuhan Tanjung pada pukul 10.33. Di sana tampak orang-orang sudah bersantai di tubuh perahu bersama kendaraan roda duanya.

Lalu seorang lelaki bertopi menagih uang tiket pada kami sebesar Rp15.000 per orang. Para petugas pelabuhan lantas menaikkan motor kami ke atas perahu dengan melewati titian papan kayu. Upah angkutnya sebesar Rp3.000 per motor. Setelah memastikan si kuda besi aman, kami menyusul naik dan memutuskan duduk di buritan. Tak berselang lama, mesin perahu menyala dan berangkat sepuluh menit kemudian.

Ini sensasi anyar bagiku karena baru pertama kalinya naik perahu dalam jarak tempuh yang cukup jauh. Sebelumnya hanya terbiasa menyeberang Kalianget–Talango PP yang butuh waktu lima sampai tujuh menit saja.

Kemudian seorang awak perahu meminta lagi karcis sekaligus ongkos motor sebesar Rp10.000. Aku tidak kaget, sebab memang begitulah peraturan berikut tarifnya menurut seorang teman yang pernah ke Giligenting. “Itu sudah terbilang murah,” imbuhnya.

Di tengah pelayaran, kami tidak banyak mengobrol. Kalaupun bercakap tiada topik penting yang kami bicarakan. Sebatas gurauan receh belaka. Sesekali mengabadikan momen untuk dipamerkan di akun media sosial kami. Sesekali pula ombak menerkam lambung perahu dengan amat kasar, membuat tubuhku hampir kehilangan keseimbangan. Bila sudah demikian, aku akan memegang tulang tepian geladak atau dinding perahu kuat-kuat. Beda halnya Ibna dan Gusti yang terlihat anteng-anteng saja menyikapi situasi tersebut.

Sepintas terbayang perjuangan para nelayan di antara ganas gelombang dan amuk badai. Sejak subuh hingga sore hari mereka tahan banting dalam kerasnya tantangan. Walaupun terkadang laut tidak memberinya apa-apa selain rasa lelah, mereka tetap tak jera untuk kembali mengarungi samudra. Begitu terus-menerus seperti yang digambarkan D. Zawawi Imron dalam sebuah puisinya, Kita Berlayar.

Kita tetap berlayar
melunasi hutang yang belum terbayar
Dahaga dan lapar
kobarkan di tiang layar

Persis bunyi larik ketiga dalam bait itu, perutku keroncongan lantaran sedari pagi cuma diisi camilan. Beruntung aku tidak pusing atau mabuk laut. Tapi, saking senangnya menikmati pelayaran, lapar tidak terlalu mengusik suasana hati. Isi kantung (dompet) yang sebetulnya juga sangat tipis, yang terkadang membayang, tidak begitu kuhiraukan. Aku lebih suka menghambakan uang demi kesejahteraan rohani daripada bertindak sebaliknya.

Bertamu ke Rumah Sri

Layar ponsel menerakan angka 11.20 ketika perahu yang kami tumpangi berlabuh di dermaga. Artinya, dari pelabuhan Tanjung ke Giligenting memakan waktu kurang lebih 37 menit. Siang itu langit sedikit kusam. Tidak seperti di tengah segara yang tampak berseri-seri dengan sapuan awan putih tak beraturan.

Aku dapat melihat jelas sebuah tulisan “Pantai Sembilan” yang terpancang di atas sebujur tembok. Pantai yang acap kudengar namanya itu ternyata berada di kawasan pelabuhan. Sudah sejak lama aku ingin menginjakkan kaki di atas hamparan pasir putihnya. Namun, kami terlebih dahulu bergegas menuju rumah Sri, kawan nongkrong kami—si paling dermawan. Dia warga asli Giligenting. Tak etis rasanya jika kami sebatas piknik tanpa bertamu ke rumahnya.

“Pengin beli apa gitu dulu, Gus. Aku lapar banget,” ucapku setelah kami menghentikan laju motor sejenak dengan mesin tetap menyala.

“Oke, ayo!” tanggap Gusti.

“Kamu mau makan juga?”

“Enggak, kenyang. Tadi udah makan di Saronggi.”

Ibna juga bilang kenyang. Maka, saat kami menemukan lapak makanan di samping kantor Kecamatan Giligenting, cuma aku seorang yang menyantap semangkuk mi ayam bakso. Ibna dan Gusti duduk menunggu di gardu. Sebenarnya sempat terpikir olehku untuk makan bersama di rumah Sri. Pasti dihidangi makanan berat, pikirku. Ya, seyakin itu. Sayangnya perut tak bisa diajak kompromi.

Benar saja, di rumah Sri kami ditawari makan. Kami tahu betul kemurahan hati Sri. Beberapa kali kami ditraktirnya makan di kafe. Namun, karena kami kompak bilang kenyang dengan alasan baru saja makan, Sri percaya dan takluk. Sebagai bentuk penghormatan yang agak brutal, kami mencicipi apa saja dari sekian jenis makanan ringan serta minuman yang tersuguh di atas meja.

“Enaknya mau dibawa ke mana, nih, anak-anak?” Gusti meminta pertimbangan Sri. Anak-anak yang dia maksud tak lain aku dan Ibna. Dia berlagak begitu karena dia sudah berkali-kali ke Giligenting. Kemungkinan dia banyak tahu tempat-tempat eksotis di pulau itu.

“Mending ke Pantai Kahuripan,” saran Sri dengan wajah pasi.

“Lebih asyik mana dibanding Pantai Sembilan?” tanyaku.

“Kahuripan, lah! Pantai Sembilan udah kurang terawat sekarang.” Kalau penghuni Giligenting sendiri sudah menyatakan demikian, otomatis otak kami langsung tersugesti.

Aku tidak tahu seberapa lama kami di rumah anak Fatayat itu. Yang jelas, perbincangan kami tidak panjang lebar dan berlarut-larut. Maklum, Sri masih dalam proses sembuh dari demamnya. Itu sebabnya dia tidak bisa menemani kami jalan-jalan. Andai saja dia sedang sehat walafiat, tentu akan beda cerita.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Ibna berpose di jembatan bambu Pantai Kahuripan/Daviatul Umam

Berpelesir ke Kahuripan

Beranjaklah kami dari rumah Sri menuju Pantai Kahuripan. Dengan bantuan Google Maps yang rada ngawur, kami melewati jalan aspal rusak, berliku, menanjak, hingga sempat kesasar ke bibir pantai berkerikil entah apa.

Menariknya, akses ke Kahuripan cukup puitis. Di sisi kiri-kanan jalan, berjajar pohon Plumeria rubra yang dahan-dahannya menjulang liar dan rindang. “Ketidakterurusan” pohon ini justru menciptakan panorama yang khas, seperti memasuki terowongan alami. Berpagar batang-batang kekar, beratap rimbun daun-daun, serta minim cahaya. Sial, aku tidak kepikiran memotretnya.

Sesampainya di Kahuripan, hal pertama yang kudapati adalah lanskap yang tak terlalu menggoda, tetapi juga tidak menimbulkan penyesalan. Kotoran sapi bertebaran di mana-mana. Dan kebetulan memang ada beberapa sapi di tepi pantai, memamah rumputan sembari menyimak debur gelombang. Jadi, pantai ini terbuka gratis bagi siapa saja, apa pun wujudnya.

Selain itu, tiada ciri mencolok dari pantai ini ketimbang sejumlah pantai yang pernah kusambangi. Tebing tinggi berbatu, daratan merimba didominasi pohon-pohon kuda, jembatan bambu yang menjulur ke batu danawa di lautan, tak cukup kuat memikat apalagi menjadi alasan untuk dirindukan.

Waaaw… Airnya sangat biru!” seru Ibna. Lagi-lagi itu bukan sebuah keunikan. Pantai Ponjuk Timur di pulauku juga biru sekali airnya.

Sebagaimana wisatawan pada umumnya, kami sibuk berswafoto dan merekam aksesori jagat raya. Memang, zaman digital telah banyak mengubah cara pandang. Dalam menikmati sebuah vista, kami lebih cenderung melihat melalui mata kamera daripada menghayatinya sepenuh jiwa.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Spot foto yang tak terurus di Pantai Sembilan/Daviatul Umam

Bertandang ke Pantai Sembilan

Kendatipun Pantai Sembilan dinilai kurang terawat oleh Sri, aku tetap penasaran akan salah satu pantai termasyhur di Sumenep ini. Lebih baik melihat satu kali daripada mendengar seribu kali; kiranya adagium itu akan selalu segar di kepalaku.

Pukul setengah empat, kata Gusti, perahu bakal berhenti beroperasi. Masih ada sisa waktu setengah jam lagi untuk sebatas jingkrak-jingkrak di Pantai Sembilan. Namun, Gusti menampik. Barangkali dia sudah kelewat bosan saking seringnya ke pantai itu. Dia menungguku dan Ibna di dermaga.

Sementara itu kami berdua berjalan kaki menyisir garis pantai. Ajaib! Kami bebas tiket  yang harusnya Rp5.000 per orang. Tak ada satu pun makhluk yang menegur kedatangan kami. Syukurlah.

Pasir nan putih rupanya tak sehalus pasir Lombang. Belum lagi udaranya. Meski ditanami beragam pohon hias, rasa gerah tak dapat dihindari. Matahari sore amat menyengat. Keringat merembes. Kami tak betah menyusuri pasirnya. Jika memaksakan diri berlama-lama di bibir pantai, mungkin kami akan segosong ikan pindang.

Bagaimanapun bentuk setiap tempat wisata, termasuk pantai, memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Pantai ini punya nilai unggul dengan fasilitasnya yang cukup memadai: gubuk penginapan, wahana rumah apung, banana boat, gazebo, dan berbagai jenis spot foto. “Coba lihat, airnya sangat bening!” Ibna menambahkan.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Sampah-sampah berserakan di kawasan Pantai Sembilan/Daviatul Umam

Adapun dari sekian pantai (atau objek wisata lainnya) yang pernah kukunjungi selalu punya satu kesamaan yang urgen: ada saja umat manusia yang hobi mencemari lingkungan. Seolah sampah memang sepantasnya dibuang di mana saja. Seolah semua tempat adalah tempat sampah.

Sayang sekali kami tak bisa menyaksikan suasana sunset di pantai ini. Selepas foto-foto sebentar, kami lalu balik menghampiri Gusti di dermaga. Berkerumun bersama orang-orang yang hendak menggunakan jasa perahu ke pelabuhan Tanjung. Masih dengan tarif yang sama, kami kembali berlayar dan pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/feed/ 0 42051