Dedhi Wicaksono https://telusuri.id/penulis/dedhi-wicaksono/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 28 Feb 2020 10:36:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dedhi Wicaksono https://telusuri.id/penulis/dedhi-wicaksono/ 32 32 135956295 Pendidikan Moral Pariwisata https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/ https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/#respond Fri, 28 Feb 2020 10:36:17 +0000 https://telusuri.id/?p=19908 Perlu diketahui bahwa pariwisata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan wisatawan, tapi juga kepuasan komunitas dan lingkungan alam. Hermantoro (2017) menyebutkan bahwa pariwisata adalah sebuah domain pembangunan dan bukan sektor pembangunan. Apa bedanya? Sebuah domain...

The post Pendidikan Moral Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlu diketahui bahwa pariwisata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan wisatawan, tapi juga kepuasan komunitas dan lingkungan alam. Hermantoro (2017) menyebutkan bahwa pariwisata adalah sebuah domain pembangunan dan bukan sektor pembangunan. Apa bedanya? Sebuah domain adalah ruang yang berisikan berbagai dukungan kegiatan sektor. Ia terbangun atas sinergi antarsektor dan output. Outputnya adalah output kolektif dan bukan output individual.

Pengembangan dan pembangunan sarana prasarana di suatu kawasan ekowisata menjadi mutlak dilakukan. Namun, sebelum pelaksanaannya, harus dilakukan pengkajian dan penilaian aspek penting prinsip ekowisata. Pemanfaatan alam, jika dilaksanakan secara benar, akan berdampak positif bagi seluruh kalangan yang terkait. Namun, jika tidak dilakukan—pengembangan dan pembangunan—secara benar dan bijak, efek domino bernilai negatif akan muncul.

Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang tidak relevan dengan prinsip pengembangan wisata di kawasan konservasi taman nasional. (Tujuan utama kegiatan wisata di taman nasional adalah memberikan edukasi kepada siapa saja yang datang ke kawasan tersebut.)

Mengingat bahwa Rinjani sudah menjadi ikon keindahan alam yang agung di Pulau Lombok, dengan suguhan Danau Segara Anak, kiranya akan lebih baik jika konsep kereta gantung dan wisata helikopter (heli tourism) tersebut tidak dilanjutkan. Cukup anggap itu mimpi buruk. Saatnya pemerintah dan stakeholder bangun dan buka mata; tanpa kereta gantung dan wisata helikopter pun wisatawan mancanegara dan domestik sudah tertarik untuk mengunjungi Gunung Rinjani. Barangkali ini juga saat yang tepat bagi kita semua untuk menghirup napas dalam-dalam lalu merenungkan dan menghayati kekayaan sumber daya alam yang kita miliki.

Setiap jengkal tanah kita diisi oleh kekayaan alam dan budaya yang luar biasa dan berbeda-beda. Jadikan perbedaan itu sebuah kekuatan—dan jangan hanya sekadar meniru orang luar. Lagipula, dalam teori mana pun, wisatawan akan melihat perbedaan antardaerah (destinasi), bukan persamaannya. Itulah sebabnya mereka berwisata. Ketika semula orang bangga tidur di hotel berbintang, saat ini banyak yang memilih tinggal di homestay karena akan mendapatkan pengalaman yang lebih bernilai dalam hidupnya. Mereka mendapatkan nuansa lokal, memahami kearifan lokal, dan nilai-nilai kelokalan lainnya. Mereka dibekali dengan keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) sebelum melakukan pilihan perjalanannya dan ini menghasilkan bentuk wisata yang disebut sebagai wisata minat khusus.

Harapan perubahan

Para investor tampaknya bersemangat luar biasa untuk mencoba peruntungan di dunia bisnis wisata minat khusus seperti pendakian. Sayangnya, keinginan itu tidak dibarengi dengan pengetahuan, hanya mengedapankan keuntungan. Rinjani hanya dilihat sebagai sebuah objek yang dapat dijadikan barang dengan segmen pasar yang luas. Ia tak dilihat sebagai sesuatu yang menghidupi seluruh wilayah Pulau Lombok, bahkan, dalam skala lebih luas, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Barangkali kita juga perlu bertanya: Apakah produk wisata yang digadang-gadangkan itu telah melalui proses kajian mendalam? Orientasi pembangunan tampaknya hanya mengejar angka, sehingga kepuasan turis (tourist satisfaction) jauh lebih diutamakan daripada kepuasan komunitas (community satisfaction) apalagi kepuasan lingkungan (environment satisfaction). Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan sering dilupakan dan tidak masuk dalam pertimbangan pengambilan keputusan.

Maka, kembali lagi: etika mana yang dianut dan standar moral mana yang digunakan? Jelas antroposentris. Seluruh pertimbangan bertumpu pada apa yang bisa didapatkan sebesar-besarnya oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan, hasrat, dan nafsunya.

gunung rinjani
Dari bibir kawah Gunung Rinjani via instagram.com/failureproject

Saat ini target pariwisata adalah menarik pengunjung sebanyak-banyaknya dan menghasilkan uang yang melimpah bagi “kelompok” pemegang kepentingan. Sebenarnya, tidak ada masalah dalam hal menghadirkan suatu teknologi baru guna menambah atraksi, namun akan berakhir bencana jika pertimbangannya hanya berdasar pada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta sehingga berhak menentukan segala, dan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Padahal, telah diketahui bahwa kerusakan yang ada di bumi, baik di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan lainnya, bersumber dari perilaku dan regulasi buatan akal kapitalis manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia yang diyakini lebih berakal dibanding makhluk hidup lainnya di muka bumi ternyata telah keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.

Cara berpikir seperti ini akan menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat lokal yang telah dibangun berabad-abad lamanya, dari sisi alam, ekonomi, dan sosial budaya.

Tapi era euforia pariwisata telanjur dimulai. Kini, gaung promosi pariwisata tidak hanya lagi ditangkap oleh para pelaku di tingkat nasional namun sampai juga ke desa. Siapa, sih, saat ini yang belum kenal branding pariwisata “Wonderful Indonesia” dan “Pesona Indonesia”? Ini sebuah ceritera sukses besar public-awareness campaign nasional—hampir menyamai sukses program Keluarga Berencana (KB) “Dua Anak Cukup”di era 90-an. Pariwisata kemudian diyakini sebagai cara mudah untuk cepat kaya. Ceritera sukses didengungkan untuk memotivasi daerah dan masyarakat. Ceritera dibangun dengan tema utama bagaimana kunjungan wisatawan dapat memberikan manfaat ekonomi langsung pada masyarakat setempat.

Abrakadabra!

Dampaknya nyata. Pariwisata kemudian menjadi trending topic di hampir setiap media cetak dan elektronik, bahkan dalam perbincangan (antar)komunitas. Berwisata juga telah menjadi sebuah lifestyle. Rasanya belum keren bila belum pernah berwisata ke mana-mana dan belum meng-upload foto-fotonya ke Instagram.

Permintaan (demand) pun menjadi sangat besar karena minat orang berwisata semakin besar, apa pun alasannya, entah mencari pengalaman (experience) maupun untuk eksis. Banyak yang bepergian ke tempat-tempat yang memerlukan persyaratan khusus, namun, jangankan empati, pengetahuan dasar soal sumber daya yang dikonsumsi pun mereka tidak paham. Kelompok ini hanya bertujuan untuk diakui sebagai kelompok wisatawan yang lebih “berkelas.”

Jika dihubungkan dengan “angin perubahan” Rinjani, wisatawan yang berkunjung ke Rinjani menggunakan kereta gantung atau helikopter bukan lagi terpancing datang karena memiliki minat khusus untuk memahami kekayaan alam, namun hanya untuk mengunggah foto-fotonya. Teknologi memang membuka ruang sangat besar bagi tujuan narsis. Respon langsung diberikan oleh tuan rumah—promosi, pembangunan besar-besaran, harga paket murah, termasuk memberikan “karpet merah” yang sangat luas pada investor tanpa memedulikan lagi daya dukung lingkungan. Di sinilah mewujud wisata massal yang berpotensi merusak masa depan destinasi pariwisata, wisata tanpa kemampuan manajerial yang baik. Saat ini hampir semua orang merasa sangat paham tentang pariwisata. Mereka merasa telah menjadi ahli pariwisata ketika berhasil mendatangkan wisatawan, terlebih dalam jumlah besar. Dari satu sudut pandang, tidak salah juga; kampanye besar-besaran memang lebih diarahkan untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya.

Namun, masa euforia ini harus segera “dibendung” dengan kampanye pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pariwisata dibangun untuk kemakmuran daerah, bukan sebaliknya (daerah dibangun untuk pariwisata). Butler (1980) menyampaikan model bagaimana sebuah destinasi pariwisata bisa runtuh ketika tidak dikelola dengan baik, sementara Doxey (1975) sudah mengingatkan kemungkinan terjadinya iritasi sosial. Peringatan-peringatan mereka benar adanya. Barcelona dan Venezia dapat dijadikan contoh. Saat ini warga kedua kota tersebut sudah sedemikian bencinya pada wisatawan karena jumlah kunjungan yang terlalu tinggi dan dampaknya yang tidak terkendali. “Tourist: your luxury trip my daily misery” atau “Tourist go home” adalah contoh nyata ujaran kebencian warga Barcelona terhadap wisatawan.

Jadi, untuk mengubah, apakah kita harus menunggu sampai pariwisata tidak lagi dianggap sebagai berkah namun musibah? Sebetulnya, prinsip pembangunan pariwisata adalah menjadikan sebuah destinasi pariwisata menjadi tempat hidup yang baik bagi warganya, bukan kesengsaraan. Dan ketika itu terwujud, destinasi pariwisata tersebut akan otomatis menarik untuk dikunjungi. Ini yang mendasari konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism development).

Ketika tamu adalah raja, tuan rumah jadi hamba

Ketika tamu selalu dianggap menjadi raja dan tuan rumah adalah hamba, kebahagiaan warga selalu dikalahkan. Kita lupa bahwa tujuan akhir pembangunan pariwisata adalah kebahagiaan masyarakat lokal. Bila ini dilupakan, ukuran keberhasilan pariwisata akan menjadi sangat bias. Pembangunan pariwisata dianggap sukses ketika wisatawan puas. Lihat bagaimana para pakar lebih sibuk mengukur kepuasan konsumen daripada kepuasan tuan rumah. Demikian pula ukuran keberhasilan yang dilihat dari besarnya aliran dana investasi yang masuk, tidak peduli siapa investornya. “Karpet merah” digelar, bukan untuk warga lokal tapi justru investor luar. Semuanya ini baik pada tahap tertentu, namun sangat berbahaya kalau sudah melewati batas ambang toleransi (social threshold) yang dapat diterima lingkungan.

Sebetulnya, tujuan pembangunan pariwisata, sekali lagi, adalah untuk membahagiakan masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagaimana disebutkan oleh Hermantoro (2018). Jadi, apa yang dikerjakan oleh Tri Rismaharini di Surabaya, yakni membangun taman-taman kota untuk membahagiakan warganya, adalah tepat. Dan ketika warga setempat bahagia, bonusnya adalah wisatawan akan datang, dan ini sudah terbukti. Jangan sampai pembangunan pariwisata justru menimbulkan masalah bagi warga lokal. Dalam setiap pembangunan pariwisata, kata kunci kebahagiaan komunitas (community happiness), dan keberlanjutan (sustainability) menjadi penting.

Sebetulnya, kita telah memiliki banyak pedoman dalam pembangunan pariwisata. Namun kita bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya. Coba Pak Gubernur dan tuan-tuan pemegang otoritas silaq pelungguh pade simak inti Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009, juga kode etik UNWTO (1999), dan Pedoman Sapta Pesona yang intinya menjaga keselarasan hubungan antara wisatawan dengan tuan rumah. Lebih luas lagi, menjaga keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antarmanusia, dan antara manusia dengan alam mengacu pada konsep kehidupan masyarakat Bali (Tri Hita Karana).

Intinya, tujuan pembangunan pariwisata bukan hanya untuk menyenangkan tamu. Terlebih penting adalah untuk kebahagiaan tuan rumah. Ketika warga bahagia, wisatawan akan datang, dan bukan sebaliknya. Ini menegaskan bahwa kepala daerah harus lebih mementingkan kebahagiaan warganya dan bukan sebaliknya. Ini baru tepat, karena pemerintah seharusnya dapat menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat pemilihnya untuk kesejahteraan mereka, karena warga lokal/rakyat adalah konsumen anda yang sebenar-benarnya.


Referensi

Butler, R.W. (1980). The concept of a tourist area cycle of evolution; implications for management of resources. Canadian Geographer, 24 (1), 5-12.

Doxey, G. (1975). A causation theory of visitor-resident irritants: Methodology and research inferences. Proceedings of the 6th Annual Conference of the Travel and Tourism Research Association.

Hermantoro, H. (2017). Memahami Konsep Dasar Pariwisata. Aditri: Depok.

Hermantoro, H. (2018). Think: Tourism Without the Box. Aditri: Depok.

The post Pendidikan Moral Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/feed/ 0 19908
“Mblusuk” ke Desa Sapit, Produsen Kopi Robusta Lombok https://telusuri.id/desa-sapit-lombok-timur/ https://telusuri.id/desa-sapit-lombok-timur/#comments Wed, 18 Apr 2018 01:30:43 +0000 https://telusuri.id/?p=8133 Jalan berliku, terjal, dan berlubang itu akhirnya bermuara di Desa Sapit, Lombok Timur. Disambut konfeti air hujan, saya dan Syukron diajak Bang Take ke salah satu dari banyak berugaq yang ada di desa itu. Di...

The post “Mblusuk” ke Desa Sapit, Produsen Kopi Robusta Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan berliku, terjal, dan berlubang itu akhirnya bermuara di Desa Sapit, Lombok Timur. Disambut konfeti air hujan, saya dan Syukron diajak Bang Take ke salah satu dari banyak berugaq yang ada di desa itu.

Di sana, kami disambut oleh Pak Arshad yang menawarkan minuman untuk menghangatkan badan, “Selamat Datang, Mas. Mau ngopi atau [minum] teh?”

desa sapit

Memilih biji kopi/Syukron

Sebentar saja, kopi dan gorengan hangat terhidang di berugaq—mengepul-ngepul. Hawa dingin Desa Sapit yang datang bersama hujan jadi agak sedikit berkurang. Sambil menyantap hidangan, kami mengobrol dengan warga Sapit yang ada di sana.

Kopi yang sudah membudaya di Desa Sapit

Minum kopi sudah menjadi tradisi turun-temurun di Desa Sapit. Dalam acara apa pun, kopi selalu menjadi suguhan wajib yang menemani hidangan lain. Orang-orang tua di sana minum kopi seperti minum obat, tiga kali sehari, yakni di pagi hari, siang, dan malam.

desa sapit

Memilih biji kopi/Syukron

Kopi pun bukan sekadar minuman untuk santai, namun juga teman ketika sedang bekerja. Saking ketergantungannya dengan kopi, beberapa orang warga mengaku bahwa mereka akan merasa sakit kepala apabila minum kopi terlambat dari jadwal biasanya.

Soal kopi pun mereka pilih-pilih. “Kalau kita orang tua mana bisa ngopi dengan kopi kemasan yang dijual [di warung-warung itu]. Tidak ada rasanya. Makanya kita buat sendiri secara tradisional,” ujar Amaq Anton yang punya kebun kopi di Blok Dupe.

desa sapit

Menyangrai kopi sapit/Syukron

Penduduk Desa Sapit memang bukan hanya konsumen kopi, mereka punya perkebunan dan sudah sejak lama membudidayakan kopi di Lombok Timur. Namun, sebagai salah satu produsen kopi robusta di Lombok, nama Desa Sapit masih belum begitu tenar dan nilai jual kopi sapit belum tinggi.

Barangkali salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan petani kopi di Desa Sapit tentang kualitas kopi. Menurut cerita para petani, selama ini mereka hanya menjual basah pada tengkulak—tentu saja hal itu tidak menguntungkan bagi mereka. Alhasil, sampai sekarang mereka belum memiliki akses terhadap pasar kopi.

desa sapit

Biji kopi yang telah disangrai/Syukron

Tak terasa sudah beberapa jam kami duduk di berugaq. Anton, sang pemilik homestay tempat kami akan menginap, telah datang menjemput. Kami pamit lalu mengikuti Anton menelusuri gelap dan tirai hujan yang rintik-rintik.

Melihat Gunung Rinjani dari Blok Dupe

Keesokan paginya kami pergi ke Blok Dupe menumpang motor. Jalan yang harus kami lalui lumayan sulit, sebab hanya setapak kecil berbatu yang sebagian dicor secara swadaya oleh masyarakat.

desa sapit

“Green bean,” “roasted bean,” dan “ground coffee”/Syukron

Kami berkendara ke sana sambil menyaksikan warna pagi. Sesekali, kami berpapasan dengan petani yang berjalan membawa cangkul dan air. Kiri-kanan, persawahan menghampar ditopang pematang. Tak jarang pula kami melihat kerbau. Di kejauhan sana, Puncak Dewi Anjani melambai-lambai meminta dihampiri.

Lima ratus meter sebelum Blok Dupe (sekitar 700 mdpl), kami harus meninggalkan motor dan melanjutkan petualangan dengan jalan kaki. Gonggongan anjing penjaga kebun kopi sedikit mempercepat langkah kami agar segera tiba di titik paling menarik Blok Dupe.

desa sapit

Gunung Rinjani tampak dari Desa Sapit/Syukron

Akhirnya kami tiba di sana. Lokasi menarik yang saya maksud adalah hamparan tanah lapang di ketinggian, yang dari sana kamu dapat menyaksikan pemandangan apik Gunung Rinjani. Untuk memanjakan wisatawan, dengan bergotong-royong warga membangun rumah pohon setinggi sekitar delapan meter.

Tapi rasanya tak perlu saya memanjat rumah pohon itu. Dari sini saja pemandangannya sudah memukau. Tak menunggu lama, saya keluarkan kamera, kemudian tak henti-henti memencet rana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Mblusuk” ke Desa Sapit, Produsen Kopi Robusta Lombok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/desa-sapit-lombok-timur/feed/ 2 8133
Konflik Lahan dan Perambahan, Cerita Lain dari Taman Nasional Gunung Leuser https://telusuri.id/menjaga-keasrian-taman-nasional-gunung-leuser/ https://telusuri.id/menjaga-keasrian-taman-nasional-gunung-leuser/#respond Mon, 25 Dec 2017 02:30:29 +0000 https://telusuri.id/?p=4953 Belum pudar ingatan kita tentang tragedi berdarah di Negeri Serambi Mekah, Nanggroë Aceh Darussalam. Konflik panjang lebih dari tiga dekade di sana telah mengubah segalanya. Konflik-konflik lainnya lahir, baik vertikal maupun horizontal, menyisakan kepedihan yang...

The post Konflik Lahan dan Perambahan, Cerita Lain dari Taman Nasional Gunung Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
Belum pudar ingatan kita tentang tragedi berdarah di Negeri Serambi Mekah, Nanggroë Aceh Darussalam. Konflik panjang lebih dari tiga dekade di sana telah mengubah segalanya. Konflik-konflik lainnya lahir, baik vertikal maupun horizontal, menyisakan kepedihan yang masih tersisa di setiap sudut kota.

Ribuan orang menjadi korban. Lainnya mengungsi ke berbagai penjuru, ke mana pun, asal bisa hidup dengan tenang.

Kontras dengan tetangganya, di areal hutan negara yang dikelola Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) suasana begitu tenang. Harimau sumatera berkeliaran di habitat terakhirnya. Orangutan bercengkerama ramah dengan sesama. Berbagai jenis burung terbang dengan riang dan bebas. Sungai-sungai besar mengalir membelah pegunungan megah.

Jadi tameng aktivitas ilegal

Lalu, apa hubungan antara TNGL dengan konflik yang terjadi di Aceh? Begini ceritanya.

Berdasarkan catatan, sejak tahun 1999 para pengungsi dari Aceh mulai berdatangan ke kawasan TNGL. Mereka eksodus ke Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Taman Nasional Gunung Leuser

Ekosistem Leuser yang masih hijau dan asri via instagram.com/kakikukaku_

Awalnya hanya ada enam kepala keluarga. Kini jumlahnya sudah mencapai hampir seribu kepala keluarga—jumlah yang cukup untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal perkebunan. Tak ayal, konflik horizontal dengan masyarakat sekitar tidak dapat dihindarkan. Parahnya, kondisi ini dijadikan tameng oleh para perambah untuk melakukan aktivitas ilegal di kawasan taman nasional. Dari sinilah cerita konflik lahan di Besitang dimulai.

Konflik lahan juga terjadi antara Taman Nasional Gunung Leuser dengan dua perusahaan perkebunan sawit, yakni Perkebunan PIR … dan PT ….¹ Sebagian areal konsesi kedua perusahaan ini disinyalir masuk dalam kawasan taman nasional.

Akhir tahun 2006 Balai TNGL melakukan rapat dengan Kapolda Sumatera Utara dan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Pada kesempatan itu Kakanwil BPN mengatakan bahwa jika sebagian dari tanaman kelapa sawit kedua perusahaan tersebut terbukti masuk kawasan maka BPN akan membatalkan sertifikat dan hak guna usaha (HGU).

Senada dengan konflik sebelumnya, hal ini juga dijadikan alasan oleh para perambah untuk melakukan aktivitasnya. Ahtu Trihangga, penyuluh sekaligus staf Seksi Perlindungan, Pengawetan, dan Perpetaan Balai TNGL, menjelaskan hal ini secara rinci.

“Adanya perusahaan itu seolah-olah jadi pembenaran buat mereka, sampai mereka bilang jika perusahaan boleh beraktivitas di kawasan taman nasional kenapa kami tidak?” tuturnya penuh semangat. Luas hutan yang rusak akibat perambahan diperkirakan mencapai lebih dari 600 hektare.

Langkah penyelesaian

Menanggapi situasi ini, Taman Nasional Gunung Leuser telah melakukan berbagai langkah penyelesaian. Upaya preventif, persuasif, pre-emtif maupun represif telah dilakukan, namun belum dapat menyelesaikan konflik ini.

Taman Nasional Gunung Leuser

Jeram-jeram kecil di Taman Nasional Gunung Leuser via instagram.com/kakikukaku_

Sejak tahun 2002 hingga 2009, TNGL bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait berupaya melakukan relokasi terhadap warga perambah. Namun, hanya sebagian kecil yang secara sukarela mengikuti program itu. Sebagian lainnya tetap bertahan di areal TNGL.

Tak ketinggalan, operasi pengamanan hutan dengan melibatkan aparat berkali-kali dilakukan. Tahun 2006, Operasi Hutan Lestari yang melibatkan Polda Sumut berhasil mengeluarkan 33 kepala keluarga serta membebaskan 50 hektare tanaman sawit. Satu tahun kemudian, dengan membawa sebuah ekskavator, 100 hektare tanaman sawit milik perambah berhasil dimusnahkan.

Puncaknya, pada pertengahan tahun 2011 Balai Taman Nasional Gunung Leuser melakukan operasi besar-besaran. Operasi Hutan Lestari dilaksanakan dengan melibatkan 1.500 anggota dari berbagai unsur, baik Polri, TNI, maupun pemerintah daerah setempat.

Namun, rupanya kegiatan ini sudah terendus. Ketika tiba di lokasi, ratusan masyarakat yang melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam telah siap melakukan pengadangan. Aksi anarkis tak terhindarkan sehingga terjadi kekacauan.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, delapan anggota masyarakat terkena tembakan peluru karet. Untuk menghindari aksi kekerasan lebih lanjut, kegiatan yang rencananya dilaksanakan selama tiga hari itu diurungkan.

Terus melakukan pendekatan

Pada akhir tahun yang sama, Taman Nasional Gunung Leuser kembali melakukan operasi serupa dengan terlebih dahulu melakukan penyuluhan kepada masyarakat perambah.

Tim gabungan antara Polisi Kehutanan dan TNI melakukan pendekatan selama tiga bulan secara terus-menerus. Hasilnya, 1.600 hektare lahan sawit berhasil dimusnahkan. Namun, pekerjaan rumah Balai TNGL belum selesai. Masih banyak para perambah yang belum berhasil dikeluarkan.

Taman Nasional Gunung Leuser

Sebuah sungai menembus TNGL via instagram.com/kakikukaku_

Menurut penuturan Ahtu, tidak mudah melakukan pendekatan kepada mereka. “Tidak mudah bagi kami untuk masuk ke sana. Bahkan, Kepala Balai kami sudah dianggap musuh oleh mereka,” terangnya.

Namun, Andi Basrul, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, tidak gentar dan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan kasus perambahan di seluruh kawasan TNGL.

Langkah penyelesaian tetap mengedepankan solusi yang terbaik untuk semua. Siapa pun tidak ingin kekerasan terjadi. Semoga iktikad baik semua pihak dapat melahirkan hasil yang baik juga. Masyarakat dapat hidup aman dan sejahtera, belantara Leuser bisa terus terjaga kelestarian fungsinya.


[1] Nama perkebunan dan perusahaan disamarkan (25/12/17)—ed.

The post Konflik Lahan dan Perambahan, Cerita Lain dari Taman Nasional Gunung Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjaga-keasrian-taman-nasional-gunung-leuser/feed/ 0 4953
Cerita Duka dari Samudra Taka https://telusuri.id/bom-ikan-taka-bonerate/ https://telusuri.id/bom-ikan-taka-bonerate/#respond Fri, 15 Dec 2017 02:30:25 +0000 http://telusuri.id/?p=4575 “Insting bertahan hidupnya masih bekerja. Lelaki tadi segera lompat dari atas perahu. Merasa belum puas, pengemudi perahu motor memutar buritan dan mengarahkan baling-baling mesin seakan ingin membunuh si lelaki. Namun berbekal pengalaman bertahan hidup, si...

The post Cerita Duka dari Samudra Taka appeared first on TelusuRI.

]]>
Insting bertahan hidupnya masih bekerja. Lelaki tadi segera lompat dari atas perahu. Merasa belum puas, pengemudi perahu motor memutar buritan dan mengarahkan baling-baling mesin seakan ingin membunuh si lelaki. Namun berbekal pengalaman bertahan hidup, si lelaki berhasil naik kembali ke boat. Merasa usahanya gagal, sang pengemudi segera melajukan perahu untuk melarikan diri dari kejaran ….”

Kamu keliru jika mengira paragraf di atas dicomot dari sebuah film. Cuplikan itu juga tidak berasal dari novel picisan atau komik. Itu adalah kisah nyata yang dialami para pejuang bahari di Laut Flores, tepatnya Kepulauan Taka Bonerate.

Para pengejar dalam “adegan” itu adalah anggota Polisi Kehutanan (Polhut) dari Balai Taman Nasional Taka Bonerate. Sementara yang dikejar ialah para pengebom ikan yang kerap beroperasi di sana. Datanglah ke Selayar, cerita ini akan kamu dengar langsung dari “aktornya.”

Taka Bonerate saat ini telah menjadi salah satu destinasi wajib para petualang, baik lokal maupun mancanegara. Pulau-pulau berhias nyiur tampak seperti lukisan yang menakjubkan. Gugusan karang terhampar bak karpet yang menutupi dasar samudra. Puluhan bahkan ratusan jenis ikan aneka warna dan ukuran menari-nari dengan bebas. “Mekah para penyelam” dan berbagai julukan lain melekat pada wilayah ini.

Betapa kerdil manusia ketika dihadapkan pada “akuarium raksasa” terindah di dunia itu. Namun sayang sekali: keindahan itu kini tengah terusik. Berbagai ancaman menyapa kehidupan yang damai. Pengeboman ikan, pembiusan, serta perusakan dan pencurian karang semakin merajalela dan menjadi noktah merah di atas kanvas ilahi.

Balada bom ikan Taka Bonerate

Beberapa tahun ke belakang, penggunaan bom dalam penangkapan ikan terus meningkat. Selain beberapa pelanggaran lain, aktivitas pencurian ikan menggunakan bom sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini terungkap dari penuturan Anto Nor Fajar, Koordinator Polisi Kehutanan di Taman Nasional Taka Bonerate.

“Memang ada beberapa jenis pelanggaran. Tetapi bom ikan ini intensitas dan dampaknya sangat parah,” tutur pria yang akrab disapa Anto itu. Tidak hanya membunuh ikan, karang tempat ikan-ikan bertelur ikut hancur terkena bom. “Kalau tempat bersarangnya rusak, bagaimana bisa berkembang biak?” lanjutnya.

Para pengebom ikan menggunakan modus yang sama. Pertama-tama mereka mencari target, yakni lokasi di mana kawanan ikan berkumpul. Kemudian, “Duar!!!” Dalam sekejap ribuan ikan menggelepar. Para pelaku tinggal menyelam dengan bantuan kompresor untuk memanen hasilnya.

“Hebatnya, sumbu api tidak mati di dalam air; jadi mereka bisa memperhitungkan saat yang tepat kapan bom tersebut harus meledak,” jelas pria yang kini menjabat sebagai Polhut Penyelia itu.

Taka Bonerate

Pulau Makam Karang via SkyGrapher.id/Murah Kurniadi

Jika seorang koboi selalu berkuda ke mana-mana, maka penyelam berkeliaran di bawah laut dengan tabung oksigen. Pengebom ikan lain lagi. Saat menyelam untuk memanen ikan, mereka menggantungkan nyawa pada sebuah kompresor.

Masih bingung hubungan antara kompresor dan menyelam? Baik, saya coba jelaskan sedikit. Biasanya kompresor digunakan untuk mengisi angin pada ban kendaraan yang kempes. Nah, oleh para penyelam tradisional, alat tersebut disambungkan dengan selang sebagai pengganti udara yang mereka hirup di bawah air. Penggunaan kompresor ini memang sangat mengancam keselamatan penggunanya. Namun, hanya dengan inilah mereka bisa menyelam dalam waktu yang cukup lama untuk memungut “hasil panen.”

Dari pupuk urea

Bupati Selayar sempat melegalkan penggunaan kompresor. Namun setelah mendapat berbagai kecaman, edaran tersebut ditarik. Bupati pun mengeluarkan larangan penggunaan kompresor, khususnya di wilayah taman nasional. Seolah tidak pernah kehabisan akal, beberapa pelaku mencoba menggunakan modus lain. Pengeboman ikan dilakukan saat laut sedang surut sehingga mereka dapat menyelam tanpa kompresor.

Asri, Pengendali Ekosistem Hutan di Taka Bonerate, ikut memperkaya diskusi kami dengan informasi. Menurutnya, yang menjadi target para pelaku bom adalah jenis ikan pelagis, yaitu ikan-ikan yang biasanya bergerak secara bergerombol. “Biasanya yang mereka tangkap ikan ekor kuning dan sinrili—itu termasuk jenis ikan pelagis,” papar pria yang saat ini tengah menggilai fotografi itu.

Bekerja sama dengan Polres setempat, otoritas Taman Nasional Taka Bonerate melakukan investigasi untuk memetakan jalur perdagangan bom. Menurut penjelasan Anto, bahan dasar pembuatan bom adalah pupuk urea. Di Malaysia pupuk ini digunakan pada perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan penelusuran tim, bahan dasar pupuk berasal dari Batam dan Malaysia.

Pupuk urea itu diangkut menggunakan kapal dari Pulau Bonerate. Mengarungi Laut Jawa, kapal bergerak menuju wilayah Pangkep. Di pulau ini sebagian pupuk diturunkan, dijual dengan sistem barter—motor bodong sebagai alat pembayarannya. Sisanya diturunkan di Pulau Bonerate.

Sumbu dan detonator didatangkan dari Parepare dan Kalimantan. Setelah dikumpulkan di Bonerate, pupuk, sumbu, dan detonator disebarkan dalam bentuk terpisah ke beberapa wilayah sekitar seperti Sinjai, Pulau Panjang, hingga Wakatobi. “Mereka memiliki jaringan yang rumit dan rapih. Bom ini disinyalir digunakan sampai Taman Nasional Wakatobi,” ujar Anto yang hingga kini telah berkarir selama empat belas tahun sebagai Polhut.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sinjai beroperasi 24 jam. Berton-ton ikan diangkut setiap hari dari Taka Bonerate. Ikan yang telah dikeringkan dan dibekukan juga dikirim ke Makassar dan Bulukumba. “Penjual seafood di Makassar dan Sinjai bisa bangkrut kalau tidak ada kiriman ikan dari pulau ini,” sela Asri.

Menjaga atol terbesar ketiga di dunia

Masih menurut Asri, ikan kerapu dan sunu khusus dijual ke Bali. Sebagian kecil dijual ke Makassar. Kedua jenis ikan ini ditangkap dengan cara dibius sehingga sesampainya di tujuan ikan-ikan itu masih tampak segar. Jika pernah mengonsumsi kedua jenis ikan ini di Pulau Dewata, barangkali santapan mahal kamu didatangkan dari Taka Bonerate secara ilegal.

Hitung-hitungan kasar terhadap aktivitas ilegal ini akan membuat siapa pun tercengang. Sebuah kapal yang mengangkut 1200 sak bahan dasar bom dapat menghancurkan karang seluas 6000 km2.

Dengan asumsi satu kilometer persegi karang sehat menghasilkan 30 ton ikan, maka bom tersebut bisa memanen 180.000 ton ikan. Jika rata-rata ikan karang hidup berharga Rp 200.000 per kilogram, maka kerugian negara setidaknya sekitar Rp 36 triliun. Sungguh bukan angka yang kecil. Ironisnya, jangankan pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat pun sepertinya belum menyadari telah terjadi perampokan besar-besaran terhadap sumber daya mereka.

Taka Bonerate

“Mangrove” Pulau Pasi Gusung via SkyGrapher.id/Murah Kurniadi

Taman laut seluas 530 ribu hektare–dengan hamparan karang terluas di Asia Tenggara–ini diawasi oleh 15 orang Polhut.

Meskipun ditugaskan di wilayah yang luasnya bukan main, mereka tidak menganggap kondisi ini sebagai sebuah kendala. Berbagai upaya pengamanan terus ditingkatkan. Koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak semakin dipererat. Penyuluhan dan penyadartahuan dilakukan tiada henti. Bukan semata karena kewajiban. Lebih dari itu, kebanggaan menjadi penjaga salah satu taman laut terindah di dunia menjadi alasan mereka untuk tetap bertahan. Mereka adalah para pengabdi samudra.

Namun di sisi lain, menyangsikan mereka mampu menghadapinya sendiri rasanya sebuah kewajaran. Berbagai kekuatan dan kepentingan hadir di sini menjadi lawan yang tangguh. Dukungan bagi mereka merupakan keniscayaan jika kita ingin taman bawah air ini tidak hanya menjadi dongeng bagi anak cucu kita nanti. Sampai kapan Taka Bonerate menjadi atol terbesar ketiga di dunia? Mari kita jawab dengan aksi nyata, bukan dengan kata-kata.

The post Cerita Duka dari Samudra Taka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bom-ikan-taka-bonerate/feed/ 0 4575