Dewi Rachmanita Syiam https://telusuri.id/penulis/dewi-rachmanita-syiam/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 30 Dec 2022 01:27:26 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dewi Rachmanita Syiam https://telusuri.id/penulis/dewi-rachmanita-syiam/ 32 32 135956295 Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/ https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/#respond Wed, 25 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36939 Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada...

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada akhirnya kami memilih untuk menjelajah ke berbagai gili di Lombok Timur. Pertimbangannya agar dekat dengan lokasi menginap saya di sebuah kos teman yang sedang mondok.

Maka, perjalanan menyusuri berbagai gili dengan perahu jadi juga. Saat itu saya ditemani 3 kawan lama dan seorang kawan baru yang sekaligus sembari memandu perjalanan. Kawan baru inilah yang berkoordinasi dengan si empunya perahu dan warga setempat. Sisanya kami hanya tinggal menikmati perjalanan sambil bercerita ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin tak karuan

Perjalanan kali ini, kami akan menyusuri tiga gili. Satu di antaranya ialah Gili Bidara. Kami melabuhkan kapal di tepian dan segera beranjak ke sebuah saung di pinggir pantai. Membuka camilan sekaligus kembali melanjutkan cerita yang dipenuhi pengalaman spiritual sekaligus romansa. Tak lupa, di antara celetukan ini dan itu, kami mengabadikan diri sambil main air dan pasir putih meski matahari benar-benar terasa sejengkal di atas kepala.

Setelah puas menertawakan berbagai cerita aneh di saung pinggir pantai, seorang kawan asli Lombok mengajak saya dan teman-teman lain—yang memiliki benang nasib sama yakni tidak jadi menikah—untuk melanjutkan perjalanan. Pilihannya ada dua: mengelilingi Pulau Bidara melalui susur tepi pantai atau melalui tengah pulau membelah perkebunan warga. Kami pada akhirnya memilih opsi dua dengan alasan tak jauh-jauh dari pengalaman menyantap ambon jawa dengan didahului melihat perkebunan—di tengah pulau kecil daerah Lombok—mungkin lebih langka dan menarik ketimbang “sekadar” melihat ombak yang berdesakan ke daratan.

Berjalanlah kami ke tengah pulau yang lautnya jamak dijadikan tempat snorkeling. Membelah perkebunan ini itu, termasuk ambon jawa atau ubi jalar itu sendiri. Sepanjang menapaki tengah pulau, kami tak ubahnya bercanda memparodikan acara penjelajahan televisi. Menertawakan berbagai hal dan menikmati perjalanan yang absurd dan “sangat khas wisatawan” ini.

pondok nelayan
Pondok di pinggir laut kepunyaan nelayan setempat/Dewi Rachmanita Syam

Hingga tibalah kami di area persinggahan para nelayan lengkap dengan rumah-rumah bak untuk hobbit dalam film Lord of The Ring versi pinggir laut. Dari kejauhan, bangunannya pendek dengan perkiraan tingginya tidak sampai 1.5 meter dan samar; apakah itu tempat tinggal, singgah sementara, tempat menyimpan peralatan melaut, atau hal lain. Bangunannya sederhana dengan atap dan dinding dari dedaunan khas pantai. Bentuknya pun bisa menyerupai gambaran rumah kebanyakan anak sewaktu kecil, bedanya tidak ada sawah maupun jalan menuju pegunungan. Pintunya pun sederhana, jendela pun bisa dihitung jari, bahkan beberapa tak memilikinya. Beberapa rumah berdekatan dengan ukuran yang berbeda.

Rumah-rumah sederhana itu biasa nelayan pakai untuk singgah atau menetap sementara demi efisiensi dan efektifitas waktu. Terlebih bila angin sedang kurang bersahabat. Mereka pun mengusahakan pemukiman layak dengan segala keterbatasan, termasuk untuk masak maupun berkumpul.

Di antara rumah-rumah sederhana tanpa panggung, terdapat semacam bale yang di dalamnya telah tersaji sepiring ambon jawa rebus hasil masakan mamak setempat. Tentu, ini saatnya kami menyantap si ambon jawa yang perawakan aslinya berkulit ungu dan berdaging kuning.

ambon jawa
Ambon Jawa yang rasanya seperti ubi/Dewi Rachmanita Syiam

Rasanya, ya seperti ubi pada umumnya, walau beberapa referensi menyebut padanan arti yang tepat untuk ambon jawa ialah singkong. Namun, dari segi bentuk maupun daging, panganan yang tersaji di hadapan saya saat itu lebih cocok dikategorikan sebagai ubi, walau tak manis-manis amat.

Kepulan uap panas muncul dari ambon jawa yang baru matang tersaji di piring. Potongan demi potongan kami santap dengan lahap. Menikmati perjalanan dengan tempo lebih rendah memang begitu nikmat, terlebih panganan ini kami dapat “fresh from the oven.”

“Panen setiap tiga bulan sekali tanam saja di sana,” kata salah seorang nelayan yang tengah membersihkan ambon jawa setelah dipanen.

Di sudut lain, seorang bapak dengan buff di kepala sibuk membersihkan ambon jawa. Sosok lain pun datang menambah pasokannya. Satu persatu ambon jawa dibersihkan dari daun dan akar, mereka mengkondisikannya untuk siap dijual ke masyarakat maupun konsumsi sendiri.

ambon jawa
Nelayan yang memanen ambon jawa/Dewi Rachmanita Syam

Umumnya di sini, ambon jawa memang untuk konsumsi pribadi, tapi tak menutup kemungkinan banyak yang menjualnya untuk warga setempat atau wisatawan. Saya pun kebagian dapat satu plastik berisi ambon jawa sebagai buah tangan yang siap diolah di Jakarta. Sayangnya, sesampainya di Jakarta tidak semua ambon jawa bisa saya nikmati. Karena perjalanan yang masih mampir ke beberapa tempat, beberapa ambon jawa terpaksa busuk di tengah perjalanan pulang dan saya harus membuangnya, meski sebenarnya merasa terpaksa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/feed/ 0 36939
11 Jam Menuju Surabaya: Adu Cepat di Pemalang dan Mati Lampu di Semarang https://telusuri.id/11-jam-menuju-surabaya-adu-cepat-di-pemalang-dan-mati-lampu-di-semarang/ https://telusuri.id/11-jam-menuju-surabaya-adu-cepat-di-pemalang-dan-mati-lampu-di-semarang/#respond Tue, 23 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34897 “Sudah vaksin 3 ya.” Seorang petugas stasiun Pasar Senen mengkonfirmasi status vaksin tiket saya sesaat sebelum memasuki peron kereta Airlangga dengan pemberhentian terakhir Surabaya Pasar Turi. Setelah sekitar tiga tahun absen melakukan perjalanan jauh, khususnya...

The post 11 Jam Menuju Surabaya: Adu Cepat di Pemalang dan Mati Lampu di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sudah vaksin 3 ya.”

Seorang petugas stasiun Pasar Senen mengkonfirmasi status vaksin tiket saya sesaat sebelum memasuki peron kereta Airlangga dengan pemberhentian terakhir Surabaya Pasar Turi. Setelah sekitar tiga tahun absen melakukan perjalanan jauh, khususnya dengan kereta ekonomi, akhirnya saya kembali menyusuri utara Jawa untuk berhenti di Kota Pahlawan dengan waktu tempuh lebih dari 11 jam. Beberapa hal cukup buat saya tercengang: pemugaran beberapa bagian stasiun, lokasi cetak tiket dan boarding yang berbeda, hingga pembagian masker ke tiap penumpang yang ternyata perjalanan penuh keimpulsifan ini berujung beragam cerita aneh. 

Dimulai dari saya harus mendengar keluhan seorang ibu sebab sang anak perempuannya dinilai kelewat kuper dan merengek minta nikah ketimbang lanjut kuliah. Drama itu kembali panjang saat si ibu dan anak perempuan serta anak laki-lakinya duduk terpisah. Percobaan untuk duduk di satu lokasi terus gagal. Ujungnya mereka hanya bisa ngedumel dan menempati kursi kosong depan saya karena penumpang semestinya tidak naik dari Jakarta.

Menunggu Kereta
Menunggu kereta/Dewi Rachmanita Syiam

Kereta terus melaju dan drama ibu-anak di depan pun kembali mengikuti. Saya hanya terdiam dan senyum tipis sembari membuka bekal di kotak makan dengan lauk nugget dan telur dadar.

“Dia pindah gerbong aja nggak berani. Memang saya salah juga sih terlalu protektif, jadi anaknya nggak berani ke mana-mana,” kata si Ibu yang tujuan bepergian kala itu untuk menghadiri sebuah hajatan di kampung.

“Hehe, iya bu. Mari makan, ya, Bu. Takut lambung saya kumat.”

Menjelang siang, saat kereta belum setengah jalan, mendadak langit lebih gelap. Tetesan air membekas di kaca dan petak-petak sawah kian samar. Memasuki daerah sekitar Cirebon, hujan tipis dan angin menerpa. Dan ini sepertinya pengalaman langka saya merasakan hujan saat di kereta, ditambah terkena tampias dari celah jendela yang berdebu. Syukurnya meski cuaca mulai gloomy, lambung saya masih aman jadi tidak harus menahan sakit di ulu hati dalam kondisi yang serba terbatas.

Kurang dari Dua Menit Menjemput Kasmir dan Mie Jawa

Hujan mereda, tapi kabar dari teman terus meluap di Instagram, termasuk dari seorang kawan kuliah asli Pemalang yang kini berprofesi sebagai fotografer lepas. Secara tak diduga ia tawarkan perbekalan sebagai pengganjal perut sampai Surabaya. Bagaimana caranya? Kereta yang saya tumpangi dalam beberapa jam ke depan akan mampir di Stasiun Pemalang dengan waktu pemberhentian hanya dua menit. Tantangannya adalah dengan waktu yang sangat singkat itu, saya harus segera turun dari kereta, berlari ke perbatasan stasiun, menjemput bekal dari kawan, dan kembali berlari masuk ke kereta. 

Saya tidak bisa membayangkan apakah kenekatan untuk mampir di stasiun ini akan berjalan mulus atau saya harus tertinggal kereta lalu kembali cari alternatif kendaraan agar mengejar stasiun berikutnya. Berjam-jam saya sempat ragu, tapi Prima, teman saya meyakinkan pasti bisa. Prima bahkan kirimkan saya panduan rinci saya harus berlari ke arah mana, harus standby di kereta nomor berapa, dan lain sebagainya. Di tengah dilema yang melanda itu, Prima juga masih sempat memberi pilihan perbekalan yang ingin saya santap nantinya: makanan kering atau makanan basah.

“Nanti, begitu turun lu pergi ke sini Dew, pintu tengah utama yang ada teralisnya. Bilang aja mau ambil makanan dari teman. Atau mau ambil titipan aja. Gua nggak akan bisa masuk, paling nunggu di luar.”

Momen itu pun kian dekat. Kereta Airlangga yang saya tumpangi memasuki Tegal. 

“Stasiunnya kecil tenang aja, kagak kayak (Stasiun Pasar) Senen yang kudu lewat terowongan,” ujar Prima yang masih berusaha meyakinkan kenekatan ini. 

Pukul 16.23 kereta dalam hitungan ratusan meter akan masuk Stasiun Pemalang. Sesaat setelah masinis umumkan akan segera tiba di stasiun, saya bergegas pindah ke kereta nomor 5 dan berdiri di depan pintu untuk siap-siap loncat dan lari menuju pintu tengah Stasiun Pemalang yang bahkan saya lupa seperti apa perawakannya. 

Prima di balik besi-besi pagar
Prima di balik besi-besi pagar/Dewi Rachmanita Syiam

Kereta kian pelan, saya meluncur berlari sembari infokan ke petugas akan ambil titipan. Prima pun memanggil di balik besi-besi pagar. Sebuah kresek hitam dan air mineral botol besar segera ia selipkan di antara celah pagar untuk dipindahtangankan. Demi mengabadikan momen epic ini, swafoto seadanya pun terjadi. Dan saya lalu kembali tancap gas bak perlombaan untuk masuk ke kereta.

Kurang dari dua menit saya sudah kembali duduk manis di kereta nomor 6. Menatap jendela dan lambaikan tangan ke Prima di luar stasiun. Beberapa buah kue kasmir, sebungkus mi jawa yang panas lengkap dengan kerupuk, dan air mineral pun terealisasi menjadi pengisi perut saya sampai Surabaya Pasar Turi.

Sebungkus mi jawa
Sebungkus mi Jawa/Dewi Rachmanita Syiam

Terus Melaju walau Gelap Gulita

Langit berganti malam dan kereta masih melaju hingga beberapa jam ke depan untuk sampai di kota yang akan jadi tempat transit sementara saya untuk ke Lombok. Kali ini depan saya ialah sepasang suami-istri dan seorang anak yang akan berhenti di tujuan akhir lalu lanjut perjalanan ke Banyuwangi. Sepanjang jalan mereka terus bercerita ini dan itu, termasuk bagaimana membiasakan anak mereka sejak usia hitungan bulan untuk bepergian jauh. Di tengah obrolan yang hangat, kereta mendadak kian gelap. Mati lampu di sekitar Semarang.

Epic-nya perjalanan ini kembali terjadi. Bisa-bisanya kereta rute panjang yang jarak tempuhnya 719 km ini lampunya padam, tapi kereta tetap terus melaju.

Penumpang di kereta 6 saling celingak-celinguk, termasuk saya dan teman baru saya di kanan dan seberang. Kami saling kebingungan dengan kondisi yang terjadi. Baik di luar maupun di dalam kereta mendadak gelap selama beberapa menit hingga sorotan lampu senter handphone mulai memancar dari banyak orang.

Dalam kereta malam hari
Dalam kereta malam hari/Dewi Rachmanita Syiam

Segelintir petugas mondar-mandir dan mulai sibuk otak-atik suatu loker di depan kursi 4E yang saya duduki. Kereta masih gelap. Butuh setidaknya lima belas menit sampai akhirnya kereta kembali terang. Para balita yang semula menangis karena tidak nyaman atau ketakutan pun mulai kembali wara-wiri di sepanjang lorong yang lebarnya paling-paling hanya 25 cm bila tidak disesaki koper dan aneka rupa perbekalan lain penumpang.

Sejatinya bepergian dengan kereta Airlangga ini merupakan perjalan pembuka saya untuk menemukan diri kembali. Kereta ekonomi sengaja saya pilih sebagai awalan untuk mendapati banyak obrolan dan aneka kegiatan membunuh waktu lain karena kursinya yang kurang nyaman sekaligus perjalan relatif lebih lama. Setelah ini, saya akan melanjutkan perjalanan mengarungi laut pesisir Jawa dan Bali serta berlabuh di Lombok menanti berbagai momen epic lain yang tak disangka-sangka untuk kembali meyakinkan siapa saya sejatinya setelah  dilema hidup jadi orang kantoran selama sekitar dua tahun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 11 Jam Menuju Surabaya: Adu Cepat di Pemalang dan Mati Lampu di Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/11-jam-menuju-surabaya-adu-cepat-di-pemalang-dan-mati-lampu-di-semarang/feed/ 0 34897
Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/ https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/#respond Tue, 12 Jul 2022 01:03:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34494 “Mbak masih tutup. Baru buka lagi jam 5.” Kalimat itu terus muncul dari saya selama beberapa kali ketika kebanyakan tamu Claypot Popo datang celingak-celinguk ingin dine in di kedai makanan Cina daerah Sabang itu. Hasil...

The post Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mbak masih tutup. Baru buka lagi jam 5.”

Kalimat itu terus muncul dari saya selama beberapa kali ketika kebanyakan tamu Claypot Popo datang celingak-celinguk ingin dine in di kedai makanan Cina daerah Sabang itu. Hasil duduk — bengong — ngobrol — makan roti srikaya — menginformasikan kedai tutup ke banyak orang — akhirnya berbuah manis. Pukul 5 kurang, bak tamu kehormatan, saya bersama Gema sudah diberi jalan khusus membelah antrian sebagai pengunjung pertama yang masuk ke Claypot Popo setelah terpaksa menunggu nyaris satu jam karena masih penuh dan resto rehat sejenak.

Saya lekas menghampiri seorang kasir berkerudung dengan wajah tampak mulai lesu di bawah tangga. Pesanan saya kala itu menu yang belum pernah saya coba sebelumnya: nasi telur dadar. Untuk Gema yang baru pertama berkunjung, misua telur asin mungkin jadi salah satu pilihan yang cukup tepat. Bakso goreng yang berdesakan di toples besar sempat menggoda, tapi saya urungkan mengingat belum lama melahap 3 roti kukus. Dan sembari saya memesan, Gema lekas ke lantai dua untuk ambil posisi andalan saya dan kawan-kawan biasa ke sini: loteng.

Dihiasi beberapa lampion mini yang menggantung seadanya dan meja serta kursi ala kadarnya pula, kami santap makan malam yang lebih awal dari seharusnya. Chilli oil tentu wajib siap di atas meja untuk menambah cita rasa menu yang entah mengapa tingkat kepanasannya tidak seperti biasa. Sesekali lalu lintas Sabang yang belum begitu padat terlihat dari celah dinding seng menambah keseruan petang itu pada penghujung Mei 2022.

Nasi telur dadar di Claypot Popo
Nasi telur dadar dan misua telur asin di Claypot Popo/Dewi Rachmanita Syiam

Nasi telur dadar di Claypot Popo bukan sembarang menu biasa. Walau tergolong menu sederhana, tapi cita rasanya dahsyat. Nasi yang berada di bagian paling bawah bukan sembarang nasi putih. Ia memiliki harum yang semerbak dan rasa gurih hasil tumisan bersama sedikit sayuran serta bawang putih. Di atasnya telur dadar yang punya tekstur maupun kegurihan yang pas pula. Perawakannya tak seperti telur dadar nasi padang maupun telur dadar gobal gabul yang minyaknya melimpah. Telur dadar di Claypot Popo seperti telur dadar rumahan yang buat kita semakin rindu kehangatan masakan ibu atau nenek.

Sedangkan misua telur asin memang menjadi menu andalan banyak orang. Misua dimasak dengan kematangan yang pas atau al dente bila disandingkan dengan pasta dari Italia. Kehalusan dan ketipisan mi itu berbalut apik dengan campuran telur asin yang tidak amis. Bumbu gurih menjadikannya sajian hangat nan lezat. 

Perjalanan saya dengan Gema ke Claypot Popo sebenarnya random. Sehabis menemani Gema makan pindang patin, saya yang hanya makan tekwan masih lapar dan sudah kepikir santap nasi telur dadar. Mengunjungi Pempek Cawan Putih untuk makan pindang dan tekwan pun random bin tak terencana. Dari yang semula ingin ke Bogor, lalu Pasar Baru, berujung makan di Sabang. Aneh sekali.

“Kalau ketahuan Emak gue makan pindang pakai sendok garpu, bisa diomelin gue,” kata Gema sembari menyiapkan tangannya untuk segera melahap nasi yang menguning setelah tercampur kuah pindang yang segar meski cenderung agak manis.

Pindang patin
Pindang patin/Dewi Rachmanita Syiam

Pindang patin di Pempek Cawan Putih daerah Sabang juga mungkin dapat dikatakan cukup otentik. Menurut beberapa kawan yang asal Sumatera sih demikian. Hal itu salah satunya bisa terlihat dari cara penyajiannya dengan wadah khusus. 

Pindang patin sendiri merupakan panganan khas Palembang dan mungkin daerah sekitarnya yang masih rumpun Melayu. Pengolahannya pun gampang-gampang susah, terlebih memang dahulu disajikan di tengah aktivitas masyarakat yang padat sehingga membutuhkan olahan yang praktis. Selain patin, pindang juga biasa dimasak bersama bahan-bahan lain, seperti udang, belida, dan lainnya. Bumbunya pun khas Indonesia yang kaya rempah: kunyit, serai, lengkuas, cabai, dan asam kandis. 

Walau sepertinya ada penyesuaian rasa untuk orang Jawa yang cenderung suka manis, pindang patin di resto yang tak begitu besar di bilangan Sabang itu patut dikunjungi kembali, apalagi harganya pun masih terjangkau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/feed/ 0 34494
Mencicipi Kue Karawo yang Dihiasi Lukisan Tangan Para Ibu Gorontalo https://telusuri.id/mencicipi-kue-karawo-yang-dihiasi-lukisan-tangan-para-ibu-gorontalo/ https://telusuri.id/mencicipi-kue-karawo-yang-dihiasi-lukisan-tangan-para-ibu-gorontalo/#respond Thu, 19 May 2022 23:20:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33408 “Eh bapak ke mana saja. Sudah ditunggu dari pagi, siang, sampai sore jadi tidak.” Ibu Leni, pemilik UKM Dahlia Cookies di Gorontalo menyambut saya dan tim dengan heboh. Ia mempertanyakan kejelasan kedatangan sata yang terus...

The post Mencicipi Kue Karawo yang Dihiasi Lukisan Tangan Para Ibu Gorontalo appeared first on TelusuRI.

]]>
“Eh bapak ke mana saja. Sudah ditunggu dari pagi, siang, sampai sore jadi tidak.”

Ibu Leni, pemilik UKM Dahlia Cookies di Gorontalo menyambut saya dan tim dengan heboh. Ia mempertanyakan kejelasan kedatangan sata yang terus mundur. Info awal yang ia terima pagi, lalu siang, dan saya baru mendarat saat sore menjelang. Bukan tanpa alasan ia terus menanti kabar. Sedari pagi ia dan para ibu telah siap di dapur menunggu kunjungan, sementara para pekerjanya itu harus pulang saat petang.

Dalam bangunan yang memanjang dengan tembok dihiasi aneka rupa piagam sertifikat dalam bingkai apik, Bu Leni lantas bawa kami menuju dapurnya yang ada di ujung rumah. Sebelum sampai di ujung, saya melewati semacam showcase room, tempat puluhan kuenya dipamerkan dalam toples berbagai ukuran. Tak lupa, buku tamu hadir di meja mengisyaratkan tempat Bu Leni memang sering dikunjungi banyak orang.

Para ibu yang sedang melukis kue karawo/Dewi Rachmanita Syiam

Di dapur Dahlia Cookies yang tak besar-besar amat dengan pintu belakang mengarah langsung ke halaman, ada para ibu yang sedang melukis kue karawo dan menyiapkan pisang keju susu untuk diolah menjadi keripik manis nan lezat. Mereka pun beratribut cukup lengkap dengan sarung tangan dan masker untuk menjaga higienitas produk olahannya yang sudah dijual ke berbagai daerah, termasuk menyebrang ke Pulau Jawa.

Kue karawo khas Gorontalo/Dewi Rachmanita Syiam

Kue karawo atau disebut juga kue kawarang memang diklaim khas Gorontalo karena penamaannya diambil dari sulaman khas karawo yang kependekan dari “kaita, tantheya, dan wo’ala” mempunyai arti “kaitan, rantai, dan bongkaran” layaknya proses sulaman maupun pembuatan kue. Sebenarnya kue karawo 11-12 dengan kue kering, terlebih kue untuk lebaran pada umumnya. Bahan dasarnya tepung, margarin, dan aneka rupa bahan pokok kue standar lain seperti pembuatan kue nastar, kastengel, atau kue lainnya seperti tepung terigu, telur, margarin, gula, dll. Bentuk umum kuenya ialah bulat dan hati. Beberapa juga memodifikasi menjadi bentuk seperti bulan sabit dan lainnya. 

Kue motif asli sulaman kawaro Gorontalo/Dewi Rachmanita Syiam

Namun, hal yang membedakan sekaligus menjadi keunikan atau added value ialah adanya lukisan dari gula warna-warni di atasnya. Warna yang digunakan umumnya ialah lima warna: putih, kuning, biru, hijau, dan merah. Gula yang berbentuk menjadi seperti cream pun dimasukkan ke kertas roti lalu dibuat kerucut dan siap menjadi “tinta” lukisan. Motifnya pun beragam sesuai kreasi Bu Leni dan tim. Ia dan para ibu-ibu sekitar tak melulu melukis dengan motif asli sulaman kawaro Gorontalo sejak abad ke-17, tapi juga mengembangkan motif lainnya yang lebih terkini dan cantik berada di kue. Semua motif pun dilukis manual dengan tangan para ibu-ibu Gorontalo dengan teliti dan telaten tiap kepingnya. Setidaknya untuk satu keping kue karawo, para ibu membutuhkan 30 – 60 detik untuk melukis motif kue.

Kue-kue kering/Dewi Rachmanita Syiam

Inovasi Ibu Leni tak hanya dari sisi motif lukisan kue karawo, melainkan rasa olahan kue karawonya itu sendiri. Kini yang menjadi best seller ialah rasa asli, coklat, serta kopi. Kue karawo dan kopi sendiri memang sudah disinyalir jadi teman bagi kebanyakan masyarakat Gorontalo. Tak jarang kue karawo dicocol ke kopi hitam yang pahit sehingga terdapat paduan rasa yang lezat.

Penjualan Dahlia Cookies sendiri patut diacungi jempol sebagai UKM daerah. Ratusan toples siap diedarkan ke berbagai penjuru tempat konsumen berada, terlebih menjelang Idulfitri seperti saat ini.

“Foto dulu dengan ibu-ibu, ya,” kata Bu Leni yang sedari awal tak melepas ponselnya untuk merekam kedatangan kami ke tempatnya.

Selepas pulang, tak hanya foto dan cerita yang saya dapat tapi beberapa toples kue karawo di tangan. Dalam beberapa minggu kue-kue itu ludes habis disantap orang rumah. Niat untuk lebaran gagal sudah saking begitu lezatnya kue karawo dari Ibu Dahlia dan para ibu-ibu Gorontalo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Kue Karawo yang Dihiasi Lukisan Tangan Para Ibu Gorontalo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicipi-kue-karawo-yang-dihiasi-lukisan-tangan-para-ibu-gorontalo/feed/ 0 33408
3 Jurus Jitu Menghindari Macet Arus Balik Lebaran https://telusuri.id/macet-arus-balik-lebaran/ https://telusuri.id/macet-arus-balik-lebaran/#respond Thu, 05 May 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=14499 Setelah bersuka ria merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung, tiba saatnya buat kembali ke perantauan. Sebagian dari kamu mungkin pilih naik moda transportasi umum seperti kereta, bis, kapal, atau pesawat. Lainnya pilih kendaraan pribadi,...

The post 3 Jurus Jitu Menghindari Macet Arus Balik Lebaran appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah bersuka ria merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung, tiba saatnya buat kembali ke perantauan. Sebagian dari kamu mungkin pilih naik moda transportasi umum seperti kereta, bis, kapal, atau pesawat. Lainnya pilih kendaraan pribadi, entah mobil atau sepeda motor.

Bagi kamu yang menggunakan jalur darat, macet tentu jadi hal yang paling dihindari. Biar nggak kejebak macet di jalan, ketahui dulu beberapa tips menghindari macet arus balik lebaran berikut:

Jaga terus kondisi tubuh, dari persiapan sampai akhir perjalanan via TEMPO/Prima Mulia

1. Pahami rekayasa jalan satu arah

Supaya perjalanan mudik dan balik aman dan nyaman, pihak-pihak terkait memberlakukan rekayasa lalu lintas, misalnya buka-tutup jalan. Jadi biar nggak kejebak macet arus balik lebaran, coba dicek dulu jadwal rekayasa jalan satu arah (one way) menuju Jakarta dan sekitarnya yang diterapkan di beberapa ruas tol.

One way arus balik lebaran 2019 berlaku pada 7-10 Juni dari pukul 12.00-24.00. Sistem one way bisa dinikmati dari KM 414 Gerbang Tol Kalikangkung Tol Batang-Semarang sampai KM 70 Gerbang Tol Cikampek Utama Tol Jakarta-Cikampek.

Ilustrasi macet via pexels.com/Stanley Nguma

2. Ketahui kapan puncak arus balik

Tempo melansir puncak arus balik diperkirakan terjadi pada H+3 Lebaran atau 9 Juni 2019. Nggak tanggung-tanggung, Jasa Marga memprediksi ada sekitar 104 ribu kendaraan yang bakal melewati Gerbang Tol Cikampek menuju Jakarta.

Supaya nggak kejebak macet arus balik lebaran, ada baiknya kalau kamu coba cari opsi waktu lain buat pulang.

3. Cari rute alternatif

Selain lewat jalur utama, kamu bisa pulang lewat jalur-jalur alternatif, entah lewat tol atau jalan biasa. Meskipun nggak “selurus” jalur utama, biasanya jalur alternatif bakal lebih sepi.

Sebelum balik, sebaiknya kamu cari info soal jalur-jalur alternatif yang bisa kamu lewati. Jadi, kalau nanti aplikasi navigasi di ponselmu ngasih tanda kalau jalanan kota di depan macet gila-gilaan, kamu bisa melipir lewat jalur alternatif.

Itulah tiga persiapan yang bisa kamu lakukan biar nggak kejebak macet arus balik lebaran. Jangan lupa juga buat menjaga kesehatan badan dan kondisi kendaraan. Hati-hati di jalan!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 3 Jurus Jitu Menghindari Macet Arus Balik Lebaran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/macet-arus-balik-lebaran/feed/ 0 14499
7 Jurus Jitu biar Mudik Naik Kapal Jadi Lebih Seru https://telusuri.id/mudik-naik-kapal/ https://telusuri.id/mudik-naik-kapal/#respond Sat, 30 Apr 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=14035 Kamu berencana naik kapal laut mudik Lebaran 2019 ini? Kalau iya, mending kamu simak dulu deh beberapa tips mudik naik kapal berikut supaya perjalanan kamu jadi lebih lancar dan seru. 1. Perhatikan jadwal keberangkatan dan...

The post 7 Jurus Jitu biar Mudik Naik Kapal Jadi Lebih Seru appeared first on TelusuRI.

]]>
Kamu berencana naik kapal laut mudik Lebaran 2019 ini? Kalau iya, mending kamu simak dulu deh beberapa tips mudik naik kapal berikut supaya perjalanan kamu jadi lebih lancar dan seru.

mudik naik kapal
Perhatikan jadwal keberangkatan kapal/Rawpixel

1. Perhatikan jadwal keberangkatan dan lama perjalanan

Satu hal yang mesti kamu tahu: perjalanan mudik naik kapal laut durasinya nggak sesingkat naik pesawat. Kamu bisa berhari-hari di tengah laut sebelum kapalmu sandar di sebuah pelabuhan. Makanya kamu mesti hitung-hitung benar jadwal liburmu. Pastikan jatah cutimu cukup buat perjalanan panjang naik kapal.

Satu hal lagi: jangan datang terlalu mepet sebelum jadwal keberangkatan—apalagi sampai telat. Begitu para penumpang dipersilakan buat naik, segeralah bergerak ke dek supaya kamu dapat posisi yang enak.

mudik naik kapal
Kecap ABC dan kecap Bango yang dijual di salah satu swalayan, Jakarta, Jumat, 8 Juni 2007 via TEMPO/ Muradi

2. Bawa makanan yang tahan lama

Pada waktu-waktu tertentu, awak kapal biasanya menyediakan makanan buat para penumpang. Tapi, belum tentu makanan yang disajikan itu bakal sesuai sama selera kamu.

Makanya ada baiknya kalau kamu bawa makanan-makanan tahan lama seperti rendang kering, kering kentang, dsb. Buat memperkaya rasa makanan-makanan itu, nggak ada salahnya juga kalau kamu bawa kecap dan saus.

mudik naik kapal
Obat-obatan pribadi/Stevepb

3. Bawa obat-obat pribadi

Supaya nggak repot sendiri mencari apotek di tengah laut, ada baiknya kamu bawa obat-obatan pribadi pas mudik naik kapal, misalnya obat diare, anti-mabok, anti-pusing, dan obat demam. Kalau bisa, taruh obat-obatan itu dalam wadah khusus supaya gampang dicari.

Seandainya sakitmu sudah nggak bisa lagi diatasi sama obat-obatan pribadi yang kamu bawa, kamu bisa pergi ke dokter yang stand by di kapal.

Ilustrasi perhiasan via TEMPO/Nurdiansyah

4. Hindari membawa barang berharga berlebihan dan mencolok

Nggak usah deh pakai perhiasan secara berlebihan. Itu sama saja ngasih celah buat para pelaku kejahatan. Kalau perhiasan yang kamu pakai sampai hilang, nggak ada yang bakal lebih menyesal selain dirimu sendiri, Sob.

Selain itu, kamu juga mesti selalu menjaga barang berharga yang kamu bawa. Setiap saat setiap waktu, pastikan barang-barang itu selalu berada dalam “perlindunganmu.”

Sekoci kapal/Nostradamuskk

5. Pahami petunjuk keselamatan di kapal

Sebelum berangkat mudik naik kapal, pastikan kamu sudah benar-benar memahami petunjuk-petunjuk keselamatan di kapal.

Kamu mesti tahu apa saja yang harus kamu lakukan dalam kondisi darurat—nggak panik, memakai pelampung, bergerak lewat jalur evakuasi, dsb. Kalau kamu masih bingung, jangan segan-segan buat nanya ke awak kapal.

Membaca buku via StockSnap

6. Bawa buku atau benda-benda lain yang bisa ngusir rasa bosan

Di laut, kadang ada masanya sinyal ponsel bakal terganggu dan kamu nggak bisa nelpon apalagi ngakses internet. Kalau sudah begitu, pasti rasa bosan bakal menyerang.

Buat mengantisipasi munculnya rasa jemu, sebaiknya kamu bawa benda-benda yang bisa bikin kamu sibuk, misalnya buku, board games, kartu remi, bola bekel—tapi meja pingpong jangan.

Semburan sebelum matahari terbit/Bogitw

7. Sempatkan menyaksikan matahari terbit dan tenggelam

Naik kapal laut, kamu punya kesempatan buat mengawali hari dengan nonton sunrise dan mengakhirinya dengan melihat sunset. Dari kapal, matahari terbit dan tenggelam keren banget, Sob! Nggak ada yang menghalangi matahari keluar-masuk garis langit… kecuali awan kalau lagi mendung.

Gimana? Sudah siap mudik naik kapal?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Jurus Jitu biar Mudik Naik Kapal Jadi Lebih Seru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mudik-naik-kapal/feed/ 0 14035
Dari Gorontalo ke Dubai, Sebuah Perjalanan Tethuna Mempopulerkan Sulam Karawo https://telusuri.id/dari-gorontalo-ke-dubai-sebuah-perjalanan-tethuna-mempopulerkan-sulam-karawo/ https://telusuri.id/dari-gorontalo-ke-dubai-sebuah-perjalanan-tethuna-mempopulerkan-sulam-karawo/#respond Wed, 27 Apr 2022 03:09:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33539 “Saya dulu kuliah ekonomi lalu jadi perancang busana pernikahan, tapi semenjak dibina Bank Indonesia khususnya masuk IKRA Indonesia, saya semakin tertarik dengan karawo dan ingin mempopulerkannya terutama ke anak-anak muda. Supaya mereka bisa bangga pakai...

The post Dari Gorontalo ke Dubai, Sebuah Perjalanan Tethuna Mempopulerkan Sulam Karawo appeared first on TelusuRI.

]]>
“Saya dulu kuliah ekonomi lalu jadi perancang busana pernikahan, tapi semenjak dibina Bank Indonesia khususnya masuk IKRA Indonesia, saya semakin tertarik dengan karawo dan ingin mempopulerkannya terutama ke anak-anak muda. Supaya mereka bisa bangga pakai karawo khas Gorontalo.”

Di bangunan pinggir jalan yang terdiri dari beberapa ruangan, termasuk ruang kerja berisi lebih dari 5 mesin jahit dan ruang tamu lengkap dengan rak untuk memamerkan kain karawo, Ramdhan atau yang akrab dipanggil Thuna, pemilik jenama Tethuna—anggota IKRA Indonesia, program Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia—bercerita tentang asal muasal dirinya mengembangkan kebudayaan khas Gorontalo yakni karawo. Sembari ditemani Mami Eda, salah seorang pengrajin karawo yang biasa berkolaborasi dengan Tethuna, Thuna juga menjelaskan bagaimana karawo itu tercipta dari benang hingga baju yang belum lama tampil di Dubai.

Desain motif pada kain berserat/Dewi Rachmanita Syiam

Sederhananya, karawo diawali dari adanya desain motif yang akan diaplikasikan ke kain berserat. Kain yang menjadi dasar dilubangi satu per satu sesuai pola lalu disulam sedemikian rupa hingga menjadi satu kesatuan indah karya tangan para ibu utara Sulawesi. Kedengarannya mungkin sederhana, tapi kenyataannya penyulamannya tak semudah itu. Secara teliti benang yang tipis harus satu persatu disulam manual hingga menjadi satu kesatuan motif.

Karawo sendiri merupakan sulaman khas Gorontalo yang eksistensinya sebenarnya sempat memudar. Semakin hilangnya kebanggaan karawo karena keengganan banyak orang terutama anak muda mengenakannya. Pengaplikasiannya tak jauh-jauh untuk busana formal. Namun, sederet kegiatan digagas Bank Indonesia dan berbagai pihak untuk kembali mengangkat karawo. Salah satunya melalui pembinaan para pelaku usaha, termasuk Tethuna.

“Saya pengen anak muda tidak malu pakai karawo. Karawo ini bisa dipakai untuk baju-baju kekinian atau motif sekarang,” tutur Thuna yang hari itu saat ditemui mengenakan gamis print kombinasi karawo.

Menyulam motif/Dewi Rachmanita Syiam

Bagaimana menciptakan rasa bangga memakai karawo? Thuna membuat desain yang mengikuti minat anak muda. Ia menyasar langsung anak muda lalu para orang tua mulai kembali melirik dan mengikuti. Motif-motif karawo ia buat lebih modern seperti geometris dan kartun. Hasilnya kini karena para pelaku usaha yang gigih serta inovatif, termasuk Thuna dan berbagai stakeholders, karawo kembali in.

Berjamaah melalui sulam Gorontalo

Tethuna merupakan seorang pelaku usaha memiliki daya juang dan semangat yang tinggi. Sebuah nilai khas dari para pelaku usaha syariah untuk dapat maju secara bersama-sama atau berjamaah. Selain memang berusaha mengangkat local wisdom berupa karawo dengan gaya yang lebih terkini mengikuti perkembangan fesyen dunia, Thuna melalui jenamanya mampu meningkatkan perekonomian warga setempat. 

Penjahit membuat busana/Dewi Rachmanita Syiam

Sebanyak 8 pegawai jahit dan 50 pengrajin hadir sehari-hari berkolaborasi dengan Tethuna untuk menciptakan aneka busana indah nan khas dari sulaman Gorontalo. Para pengrajin sendiri merupakan para kelompok-kelompok pengrajin yang secara turun temurun telah mewarisi budaya sulaman. Mereka pun terbagi menjadi beberapa keahlian khusus; melubangi kain, menyulam, dan mengikat.

Keterampilan para ibu-ibu dalam menyulam karawo itu tak bisa digantikan tangan. Menurut Thuna, pernah ada peneliti dari Jepang coba membuat mesin khusus, tapi belum berhasil. Alhasil, memang dibutuhkan regenerasi lewat berbagai sisi, termasuk kurikulum untuk melanjutkan budaya menyulam karawo. Dan dalam berbagai kesempatan bila sedang dibanjiri pesanan, Tethuna maupun para pelaku usaha karawo lain tak saling sikut malah berkolaborasi satu sama lain.

Dari para tangan ibu di Gorontalo yang menyulam di rumah masing-masing itu, busana padu padan motif karawo berhasil kian mendunia. Thuna bersama jenamanya Tethuna pernah berangkat ke Turki dan produk-produk karawonya laris diborong orang di Turki. 

Pada pertengahan Maret 2022, dalam gelaran Indonesia Modest Fashion Day yang merupakan bagian dari Bank Indonesia Special Week World Expo Dubai 2020, Tethuna menjadi salah satu perwakilan anggota IKRA Indonesia yang diikutsertakan dalam peragaan busana di Timur Tengah itu. Melalui koleksi bertema Sunset Sunrise, Tethuna membawa 6 looks dengan motif klasik karawo Gorontalo.

“Para ibu ini Thuna kasih tahu kalau baju-bajunya akan dibawa untuk show, jadi biar mereka juga semangat dan senang,” ujar Thuna. Perjalanan Tethuna belum berhenti. Melalui berbagai terobosan dan pengembangan produk serta bisnis, karawo bukan tak mungkin akan semakin diminati dunia. Kuncinya ialah berkolaborasi, berjamaah untuk terus mengharumkan warisan budaya lokal bernilai tinggi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Gorontalo ke Dubai, Sebuah Perjalanan Tethuna Mempopulerkan Sulam Karawo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-gorontalo-ke-dubai-sebuah-perjalanan-tethuna-mempopulerkan-sulam-karawo/feed/ 0 33539
Liburan saat Puasa? 5 Tips Berikut Bakal Bikin Perjalananmu Tetap Asyik https://telusuri.id/5-tips-asyik-liburan-saat-puasa/ https://telusuri.id/5-tips-asyik-liburan-saat-puasa/#respond Fri, 22 Apr 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=13843 Puasa-puasa begini bukan berarti kamu harus puasa traveling juga. Kamu masih bisa kok jalan-jalan meskipun harus tahan buat nggak makan dan minum dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Malah, liburan saat puasa bakalan ngasih...

The post Liburan saat Puasa? 5 Tips Berikut Bakal Bikin Perjalananmu Tetap Asyik appeared first on TelusuRI.

]]>
Puasa-puasa begini bukan berarti kamu harus puasa traveling juga. Kamu masih bisa kok jalan-jalan meskipun harus tahan buat nggak makan dan minum dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Malah, liburan saat puasa bakalan ngasih kamu banyak pengalaman liburan baru.

Nah, biar liburan saat puasa tetap asyik, mending baca dulu nih lima tips berikut:

liburan saat puasa
Jam-jam dinding yang menunjukkan waktu di berbagai kota via pexels.com/Pixabay

1. Catat jadwal imsak dan berbuka

Hal pertama yang sebaiknya kamu lakukan biar traveling saat puasa tetap asyik adalah mencatat jadwal imsak, azan Subuh, dan Magrib di tempat-tempat yang kamu datangi. Namanya orang baru, kamu pasti kurang familiar sama jadwal imsak dsb. di tempat itu. Ini penting banget. Soalnya, supaya tetap fit di jalan, kamu mesti disiplin makan sahur dan takjil.

Makanan bergizi via pexels.com/i love simple beyond

2. Makan sahur yang bergizi

Traveling tentu menuntut tubuhmu buat membakar banyak energi. Sementara, liburan saat puasa membuatmu nggak bisa makan atau minum seenaknya. Karena itulah kamu mesti memastikan bahwa kamu makan sahur yang bergizi supaya stamina kamu terjaga. Jangan lupa juga buat makan buah-buahan dan minum air putih yang banyak.

Siluet masjid via pexels.com/David McEahan

3. Temukan masjid dan tempat berburu takjil terdekat

Bulan Ramadan tentu saja jadi waktu yang tepat buat mendekatkan diri ke Yang Maha Kuasa. Jadi nggak ada salahnya buat rutin berjamaah di masjid waktu kamu liburan saat puasa. Syukur-syukur kamu juga bisa sekalian buka puasa bareng di masjid itu. Tapi, kalau kamu mau sekalian wisata kuliner dan mencicipi penganan (khas) lokal, kamu juga bisa mampir ke tempat masyarakat setempat berburu takjil.

Ilustrasi meminum vitamin via pexels.com/JESHOOTS.com

4. Bawa vitamin

Kadang, makan makanan bergizi, minum air putih yang banyak, dan melengkapi nutrisi dengan buah-buahan saja nggak cukup buat menjaga stamina liburan saat puasa. Kamu juga mesti menyuplai tubuhmu dengan asupan vitamin. (Supaya lebih aman, sebaiknya kamu konsultasi ke dokter soal vitamin apa yang paling dibutuhkan oleh tubuhmu saat liburan.) Asupan vitamin bakal bikin stamina lebih terjaga dan kamu jadi nggak gampang sakit.

Burger via pexels.com/Oliur Rahman

5. Bawa cadangan makanan dan minuman dalam tas

Namanya liburan, kadang kamu nggak bisa nebak bakalan berada di mana jam berapa. Mungkin saja pas azan Magrib kamu masih dalam bis dan jauh dari warung atau restoran yang menjual makanan. Membekali diri dengan makanan dan minuman dalam tas adalah langkah antisipasi supaya kamu nggak terlalu lama menunda buka puasa. ‘Kan lebih baik menyegerakan buka puasa ketimbang menundanya.

Jadi, gimana? Sudah siap merasakan keasyikan liburan saat puasa?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan saat Puasa? 5 Tips Berikut Bakal Bikin Perjalananmu Tetap Asyik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-tips-asyik-liburan-saat-puasa/feed/ 0 13843
Bocah dari Tual itu Panggil Saya Mama https://telusuri.id/bocah-dari-tual-itu-panggil-saya-mama/ https://telusuri.id/bocah-dari-tual-itu-panggil-saya-mama/#respond Wed, 16 Mar 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33035 Tubuhnya kurus kecil. Kulitnya gelap. Rambutnya tipis nyaris tidak ada. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka entah karena apa. Dan nada suaranya masih agak tinggi khas laki-laki yang belum pubertas. Bicaranya kadang masih belum benar-benar...

The post Bocah dari Tual itu Panggil Saya Mama appeared first on TelusuRI.

]]>
Tubuhnya kurus kecil. Kulitnya gelap. Rambutnya tipis nyaris tidak ada. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka entah karena apa. Dan nada suaranya masih agak tinggi khas laki-laki yang belum pubertas. Bicaranya kadang masih belum benar-benar jelas. Banyak pertanyaan kadang muncul darinya soal hal remeh temeh sampai aneh bin ajaib. Maklum, masih SD. Sialnya saya lupa ia sedang duduk di kelas berapa dengan seragam putih merah dan ranselnya yang punya ukuran besar itu. 

Acap kali ia main ke rumah sementara saya yang dindingnya masih belum sempurna—tanpa dihaluskan, tanpa cat. Ia kerap duduk di teras rumah yang juga masih belum sempurna—tanpa keramik lantai. Sepulang sekolah atau sengaja bolos sekolah. Saat ditanya alasan absen, ia hanya diam. 

Bocah Tual

Tingkahnya khas anak-anak. Suka bercanda dan begitu cari perhatian. Apalagi saya dan kawan-kawan lain adalah orang baru yang datang dari Jawa. Ia begitu penasaran dengan saya dan rekan-rekan. Apa-apa yang kami lakukan kemudian setelah sampai di lingkungan tempat tinggalnya selalu anak itu pantau. Terkadang ia seorang sendiri tanpa takut dengan orang baru seperti kami.

Beberapa hari saat awal kedatangan sebenarnya ia seperti tak akur dengan saya. Caranya cari perhatian dengan jail bersengkongkol dengan seorang kawan saya. Makin iseng saat ia mulai seolah bermain peran sebagai anak. Tentu saja saya semakin jadi bahan bercandaan kawan-kawan lain. Perihal duduk, ia tak jarang maunya berdekatan dengan saya. Atau saat berjalan pun demikian. 

Menjelang kepulangan, ia memaksa ikut saya naik bak terbuka menuju gua dan pantai. Duduk dekat saya dengan anteng tak seperti biasanya yang petakilan. Ibunya tak lupa titip sang anak ke saya. Bagaimana pun, perjalanan kali itu tak sebentar. Kok jadi seperti ibu beneran. Niat hati menikmati sepoi-sepoi angin dan halusnya pasir jadi harus dibarengi juga “mengurus” bocah.

Bocah Tual

Sepanjang pelancongan menyusuri pelbagai pantai di timur Indonesia itu, bocah itu tak lepas dari pantauan saya. Begitu pun ia yang enggan berjauhan. 

Hendrik namanya. Bocah dari Tual, Maluku Tenggara yang panggil saya mama. Menyusuri pantai dengan cardigan hitam kebesaran milik saya sambil gantungkan kamera di leher. Tak sangka, bocah jail itu bisa manis juga dengan berusaha mengabadikan saya dan kawan-kawan di pantai yang saat itu hitungan hari akan tinggalkan Tual.

“Jangan pulang. Di sini aja,” ujar Hendrik, anak laki-laki Tual yang entah bagaimana kabarnya sekarang.

Kenagan soal bocah nakal itu mendadak menyeruak belakangan ini seiring dengan kerinduan saya soal melakukan perjalanan. Perasaan rindu melancong, berkelana, traveling, atau apapun disebutnya itu mungkin tidak hanya dirasakan saya seorang, tapi juga banyak orang lain di luar sana yang kini harus lebih banyak mendekam di dalam rumah. Paling-paling “liburan” di beberapa kota terdekat atau dalih “Work From Bali”. Tapi, meski demikian rasanya tentu berbeda seperti sebelum Maret 2020—saat pandemi datang di Indonesia.

Bila ditanya apa yang dirindukan dari perjalanan sebelum pandemi, mungkin jawaban saya akan mengerucut ke pengalaman berjumpa dengan aneka rupa manusia, termasuk Hendrik. Setiap dari mereka selalu punya ceritanya masing-masing yang menarik sekaligus membekas. Aneka cerita serta pelajaran hidup pasti didapat dibanding hanya di depan layar laptop untuk selesaikan tasks yang tak kunjung berakhir di zaman yang mulai memasuki era Work From Anywhere. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bocah dari Tual itu Panggil Saya Mama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bocah-dari-tual-itu-panggil-saya-mama/feed/ 0 33035
Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/ https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/#respond Sat, 16 Jan 2021 07:37:17 +0000 https://telusuri.id/?p=26368 Pada akhir 2020, akhirnya saya seperti punya teman perempuan perjalanan yang dinanti-nanti. Saya menutup tahun yang bagai roller coaster dengan buku “Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri. Tiap kisahnya...

The post Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada akhir 2020, akhirnya saya seperti punya teman perempuan perjalanan yang dinanti-nanti. Saya menutup tahun yang bagai roller coaster dengan buku “Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri. Tiap kisahnya dalam menempuh separuh lingkar bumi ditulis begitu hangat dan memiliki kedekatan tersendiri bagi saya. Buku ini pun begitu spesial: catatan perjalanan, ditulis perempuan, dan tergolong baru karena terbit 2018.

Bila dalam buku-buku travel kebanyakan kita cenderung disuguhi kisah heroik pejalan perempuan yang melabeli dirinya backpacker murah, berfokus pada tips menekan biaya, atau seperti berkompetisi untuk menikmati tempat wisata terkenal, buku dari jurnalis BBC ini berbeda.

Ia mampu hadirkan kisah pejalan perempuan dengan berbagai kemelut dan sisipan sejarah. Latar belakang profesinya sebagai jurnalis, nampak nyata dalam karyanya yang penuh informasi berkat riset berpadu apik dengan pengalaman menarik yang dihadapinya dalam perjalanan. Dan seperti kata Leila S. Chudori, ia membawa subgenre penulisan perjalanan ke tahap yang lebih tinggi: ia memilih berdekatan dengan bumi dan air.

Perihal bumi dan air yang disinggung penulis Laut Bercerita, Famega memang menuturkan beberapa kisah perjalannya berkaitan dengan dua hal itu. Salah satunya soal ceritanya di Mongolia bersama keluarga nomaden. Keluarga yang ia tumpangi memiliki beberapa barang yang sumber listriknya dari panel surya di atap tenda.

Buku ini merupakan catatan perjalanan Famega ke Afrika sendirian via darat. Puluhan ribu kilometer ia tempuh bukan tanpa rasa takut. Ia membawa segala ketidakpastian, keraguan, dan kecamuk batin lain yang ada dalam petualangannya merayakan perbedaan dengan bermacam-macam orang yang ia temuinya di berbagai tempat. Berdiri 24 jam di kereta, makan langit-langit mulut kambing di Mongolia yang tidak boleh dimakan laki-laki karena akan membuat mereka jadi cerewet, menyusuri jalur Trans-Siberia, komunikasi melalui gambar, hitchhiking berbagai kendaraan, kehilangan barang, mendengarkan deklamasi puisi orang asing, dll.

Perempuan dengan ketar-ketir yang sama

Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika

“Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri/Dewi Rachmanita

Menelaah tiap kalimat di buku Famega membuat saya berefleksi sekaligus mengenang berbagai perjalanan lama saya. Terlebih 2020 nyaris tidak pernah bepergian jauh. Saya memilih lebih banyak menghabiskan waktu di rumah walau kebosanan dan keinginan berwisata terus menyerang.

Bukan hanya soal rindu “escape” ke tempat berbeda, tapi rindu bertemu banyak orang baru dengan berbagai latar berbeda. Saya rindu melihat langsung banyak kebaikan dan belajar di perjalanan. Dan rindu ada rasa takut yang akhirnya saya jadikan teman dalam berkelana.

Salah satu bagian dari buku Kelana bercerita soal Famega yang ragu menumpang truk. Sang supir harus mengembalikan truk terlebih dahulu dengan jalur yang menjauhi jalan raya. Namun, siapa sangka setelah sempat berpikir buruk atau ragu, ternyata supir tersebut malah khawatir dengan kondisi Famega. Ia menyapa Famega lewat Facebook dan memastikan kondisi perempuan yang ia temuinya di jalan. Hal ini mengingatkan betul dengan banyak sekali orang yang sering bertanya kabar saya setelah kami berbeda arah. Hubungan dengan orang-orang itu pun selalu saya usahakan jaga baik bahkan sampai bertahun-tahun setelah perjumpaan pertama kali.

“Saya ketar-ketir. Begitulah susahnya jadi perempuan, apalagi yang sedang sendirian di negeri asing. Meski percaya dengan insting, saya harus selalu waspada dengan laki-laki. Semua orang harus saya waspadai sampai dia terbukti tidak punya niat jahat, yang tentu saja baru terbukti ketika tidak ada hal buruk yang terjadi hingga akhir perjumpaan.”

Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika

“Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia sampai ke Afrika” karya Famega Syavira Putri/Dewi Rachmanita

Di bab berjudul “Lithuania: Bergandengan Tangan Ala Baltik” itu memantik memori  saya dengan pengalaman yang sama terkait waspada dengan orang di perjalanan. Saat itu saya masih kuliah dan sedang melakukan perjalanan ke Lombok untuk menyusul teman kuliah yang baru Rinjani untuk sama-sama bertualang bersama teman kuliah kami lainnya yang tinggal di Lombok.

Kapal dari Bali yang saya tumpangi bersandar di Lombok tengah malam. Kala itu saya pertama kali turun kapal sendirian tengah malam di Lombok. Buta arah. Belum lagi minim lampu menerangan. Saya hanya mengikuti kebanyakan orang melangkah. Sampai saya akhirnya menyadari ada seorang laki-laki di belakang saya. Ia bertanya arah tujuan saya. Saya hanya mengiyakan dan menjaga jarak sebagai bentuk kewaspadaan. Ia terus di belakang bahkan mengikuti saya. Dan ia pada akhirnya menemani saya menunggu teman datang di sebuah minimarket. Pada akhirnya saya tahu, dia bukan orang jahat, malah membantu saya untuk menghindari tindak kejahatan dari orang lain di malam yang gelap.

Saya sering ditanya, apa tidak takut bepergian sendiri? Kok berani? Apa tidak pernah bertemu orang jahat? Kenapa tidak bersama teman, terutama yang perempuan?

Sama seperti Famega, dalam perjalanan tentu kita butuh bantuan orang lain. Jangan sampai rasa takut bertemu orang jahat membuat kita menutup diri dari orang lain yang sebenarnya baik. Dan saya cukup percaya dengan kemampuan saya menjaga diri. Pun insting untuk menilai baik atau jahatnya orang yang tidak muncul begitu saja.

Terkait mengapa tidak bepergian bersama teman-teman lain, jawaban saya ialah pada halaman 40.

“Bukannya saya tidak punya teman, tapi sulit sekali mencocokan jadwal dengan mereka. Kalau terus menunggu teman, kapan perginya?” kata YC, turis asal Malaysia yang Famega temui di Vietnam.

Menutup buku Kelana berarti menutup sementara perjalanan saya dengan seorang teman perjalanan perempuan yang memiliki pandangan soal perjalanan, maupun tulisan perjalanan dalam koridor yang hampir satu mahzab. Begitupun terkait rasa ragu, semangat, dan nano-nano perasaan lainnya ketika bepergian jauh. Dan saya tidak sabar untuk kembali “berpetualang” dengan Famega ke tempat-tempat penuh kisah manusia menarik lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertemu Teman Perjalanan yang Dinanti-nanti lewat Buku “Kelana” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-kelana-famega-syafira/feed/ 0 26368