Dewi Sartika https://telusuri.id/penulis/dewisartika/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:03:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dewi Sartika https://telusuri.id/penulis/dewisartika/ 32 32 135956295 Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/#respond Wed, 30 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46807 Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada 1923. Arsitektur bagian depannya masih bercirikan khas bangunan-bangunan era kolonial. Di sampingnya, ada penjual minuman Siropen. Cukup membayar Rp7.000, pengunjung bisa menikmati minum es Siropen.

Usai melalui Jalan Mliwis, Toufan kemudian membawa kami ke Jalan Jembatan Merah. Masih melewati beberapa gedung-gedung tua, tibalah kami di salah satu bangunan ikonis di seputaran jalan ini: Gedung Singa. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Pabrik sirup Siropen di Jalan Mliwis/Dewi Sartika

Gedung Singa

Penyebutan Gedung Singa mengacu pada keberadaan dua patung menyerupai singa yang ada di depan pintu masuk bangunan tersebut. Lebih tepatnya hewan mitologi yang memiliki sayap, bentuknya mirip sphinx. Kedua patung ini dibuat Da Costa de Mendes, pematung terkenal Eropa.

Hal lain yang membuat Gedung Singa istimewa yaitu mozaik rancangan seniman berdarah Belanda, Jan Toorop. Mozaik menggambarkan dua perempuan mengangkat bayi. Sosok berpenampilan menyerupai Firaun berada di tengah-tengahnya.

“Jadi, mozaik ini ada artinya. Yang kiri orang Eropa, yang kanan perempuan Jawa pribumi. Keduanya menggendong anak. Anak yang kiri gembira, yang kanan nangis. Terus dewanya yang di tengah-tengah itu, kakinya yang sebelah kiri menghadap perempuan Eropa. Itu rasis, ya, memilih perempuan Eropa,” terang Toufan kepada kami di seberang gedung.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Tampak depan Gedung Singa/Dewi Sartika

Mulanya, Gedung Singa merupakan Kantor Perusahaan Umum Asuransi dan Tunjangan Hari Tua (Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente), sebuah perusahaan asuransi terbesar di Hindia Belanda kala itu. Pembangunannya diarsiteki Hendrik Petrus Berlage, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hemert. Saat ini, Gedung Singa dimiliki perusahaan asuransi Jiwasraya dan dibiarkan kosong.

Di seberang jalan Gedung Singa, ada bekas halte untuk menunggu kedatangan trem dan berfungsi juga sebagai tempat memarkir kendaraan. Hingga kini, bentuk bangunan yang atapnya dari tembok ini tak berubah sama sekali. Sekarang, beberapa pedagang memanfaatkan tempat ini untuk jualan.

“Hal menarik lainnya, dahulu tempat ini enggak setinggi ini, ya, alias lebih rendah dari jalan maupun gedung-gedung itu,” tambahnya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Bekas halte trem dan tempat parkir/Dewi Sartika

Gedung Radar Surabaya

Selanjutnya, kami menuju Roode Brug alias Jembatan Merah yang letaknya tak jauh dari Gedung Singa. Menurut Toufan, jembatan ini sudah tidak asli lagi. Jembatan Merah berdiri di atas Kali Mas. Jalur transportasi utama di masa kolonial ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Kembang Jepun (Pecinan). Dulunya di sekitar jembatan pernah berdiri kantor residen Surabaya. Jejak keberadaan kantor residen tak berbekas sama sekali karena bangunan tersebut dihancurkan untuk akses jalan.

Setelah melewati Jembatan Merah, kami menuju kantor Radar Surabaya. Tak kalah dengan Gedung Singa, arsitektur gedung ini juga tak kalah menawan. Dengan dominasi warna putih, gedung bertingkat ini dilengkapi jendela-jendela besar berteralis di bagian bawahnya. Bagian depan menuju pintu masuk berbentuk melengkung sebagaimana Gedung Singa.

Gedung ini awalnya milik Unie Bank voor Nederland en Koloniën. Dibangun pada 1880. Sesudah kemerdekaan, bangunan ini digunakan sebagai kantor media cetak The Java Post milik orang Tionghoa. Selanjutnya, The Java Post diakuisisi lalu berganti nama menjadi Jawa Pos. 

Meskipun disebutkan berdiri pada abad ke-19, tetapi bangunan ini tidak mencirikan gaya indische empire dengan pilar-pilarnya yang khas. Menurut perkiraan Arief DKS, bangunan tersebut sudah mengalami renovasi di masa kolonial mengingat gaya bangunan dan ornamennya khas tahun 1900-an.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Radar Surabaya/Dewi Sartika

Beristirahat di Tepi Kali Mas

Selesai mengamati detail-detail ornamen yang ada di luar gedung tersebut, kami beranjak menuju Jalan Panggung. “Dinamakan Jalan Panggung karena dulunya rumah-rumah di sini bentuknya seperti panggung dan orang-orang Melayu tinggal di sini.”

Sebelum memasuki mulut gang, Toufan juga menerangkan, dahulu Jalan Panggung pernah menjadi pasar gelap transaksi opium. Tak hanya itu saja, ada terowongan menuju sungai untuk menyelundupkan opium.

Kami menyusuri Jalan Panggung yang meriah dengan bangunan bercat warna-warni. Makin ke dalam, bangunan-bangunan lawas bertingkat khas abad ke-19 terlihat jelas meski beberapa sudah direnovasi di sejumlah bagian. Hingga akhirnya, hidung saya membaui aroma rempah-rempah. Saya sempat membatin, kira-kira dari mana asal aroma ini, mengingat bangunan-bangunan di Jalan Panggung rata-rata digunakan sebagai toko sedang tutup di hari Minggu. Jawaban itu baru saya dapat ketika Toufan memberitahu ada toko obat-obatan tradisional terkenal di jalan ini.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Rumah-rumah bergaya indische empire di sepanjang Jalan Panggung/Dewi Sartika

Aroma rempah-rempah berangsur berkurang lalu berganti dengan bau amis ikan menjelang tiba di pertigaan Jalan Panggung. Para pedagang dengan hasil laut berganti bersahutan menawarkan ikan, kepiting, dan udang. Di sebelah kanan sebelum belok, mata saya tertuju pada Pasar Pabean yang memperdagangkan rempah-rempah. Saya belok ke kiri kemudian belok kanan.

Kami beristirahat di tepi Kali Mas. Di seberang berdiri Jembatan Merah Plaza (JMP). Dari tempat kami duduk yang dipisahkan jalan, terdapat permukiman padat penduduk. Berdekatan dengan rumah-rumah yang nyaris tak menyisakan ruang tersebut, berdiri menara syahbandar. 

“Ini menara syahbandar digunakan untuk mengawasi kapal-kapal yang datang ke sini. Kali Mas ini dulu, kan, pelabuhan sungai sebelum ada Tanjung Perak. Kita lihat di bangunan menara syahbandar ada gambar lambang, yang kiri lambang Surabaya lalu sebelah kanan lambangnya Jakarta,” jelas Toufan.

Beberapa teman memutuskan melihat lebih dekat menara syahbandar. Tak lupa memotret bangunan tersebut. Saya lebih memilih untuk duduk saja karena masih merasa kelelahan. Satu hal yang kemudian agak saya sesali begitu balik ke Malang.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Penampakan menara syahbandar/Dewi Sartika

Peristiwa 10 November 1945

Kami cukup lama beristirahat di tepi Kali Mas, mungkin sekitar satu jam sambil ngobrol dengan tema random yang berkaitan dengan sejarah. Sesudahnya, kami mengayunkan langkah ke Taman Sejarah dan Museum Hidup Kota Lama Surabaya. Di sini, pengunjung yang ingin mengelilingi Kota Lama Surabaya bisa menaiki kendaraan dengan tarif bervariasi. 

Kami sempat berhenti sejenak mendengarkan cerita Toufan mengenai Peristiwa 10 November 1945. Di sini terdapat replika sedan SB 723 yang dinaiki Jenderal Mallaby.

“Pas Jepang menyerah, senjatanya direbut para pejuang kita, Inggris datang ke sini karena sebagai mandat pemenang Perang Dunia II. Jadi, dia punya misi untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan Jepang serta menjaga ketertiban yang nantinya akan diserahkan ke NICA Belanda. Nah, orang Indonesia berpikir, ngapain diserahkan ke Belanda sementara kita sudah merdeka sehingga para pejuang siap-siap sekitar bulan Agustus dan September.”

Sembari bersimpuh sebentar karena kepayahan, Toufan melanjutkan kisah mengenai kedatangan Sekutu (Inggris) ke Surabaya pada 25 Oktober. Para serdadu Inggris menyebar ke kota, salah satunya adalah gedung Internatio yang berhasil dikuasai.

“Pada tanggal 26, 27, 28, 29, dan 30 terjadi perang kota. Akhirnya Sukarno didatangkan ke Surabaya untuk berdiskusi, terjadi gencatan senjata. Tapi, tanggal 30 Oktober masih terjadi tembak-tembakan antara pejuang kita dan tentara Inggris. Lalu, Mallaby datang, tapi enggak diperbolehkan masuk ke gedung oleh pejuang. Lalu, tiba-tiba pasukan Inggris dari India datang, menyiapkan mortir dan senjata untuk menembaki pejuang supaya Mallaby masuk ke mobil karena dikepung para pejuang saat menunggu perundingan selesai. Banyak pejuang yang tewas, ada juga yang sembunyi di sungai sementara di dalam mobil, sembunyi tiga orang termasuk Mallaby dan ajudannya. Karena banyak rekannya yang ditembaki, tiba-tiba datang seorang pemuda lalu menembaki. Lalu, ajudannya keluar dari pintu samping melemparkan granat ke arah pemuda tersebut. Granatnya meledak. Mati Mallaby.”

Saya mendengarkan dengan saksama penjelasan mengenai kematian Jenderal Mallaby. Ia meneruskan ceritanya, kematian Mallaby bisa jadi karena orang Inggris sendiri.

“Ketembak, iya, tapi belum tentu [langsung] mati. Kena granat pasti mati. Yang nembak itu lalu loncat ke Dul Arnowo, ’Wes, Cak. Wes tak beresi (sudah saya beresi, Cak)’. Saat Dul Arnowo tahu siapa yang diberesi pemuda itu, Dul Arnowo pun meminta pemuda tersebut diam saja alias tidak mengaku. Karena pemuda inilah yang menjadi penyebab pertempuran 10 November.”

Toufan mengaku mengenal pemuda tersebut yang bernama Abdul Aziz dari Ampel, pejuang PRI (Pemuda Republik Indonesia). Apa yang ia ceritakan hanyalah salah satu dari beberapa versi terbunuhnya Mallaby. Akibat kejadian ini, Inggris kemudian marah lalu menelepon Sukarno. 

Pertempuran pun terjadi. Inggris sempat memberikan ultimatum kepada warga kota. Pada 9 November keesokan harinya warga harus menyerahkan diri dengan senjata yang dimiliki mulai pukul enam  pagi di tempat-tempat yang telah ditentukan. Namun, ultimatum ini diabaikan. Akhirnya, tanggal 10 November, Surabaya dibombardir dari darat, laut, dan udara  sampai tiga minggu. Karena kalah, pada 1 Desember para pejuang kemudian keluar dari kota.

Usai mendengarkan penuturan Toufan mengenai Peristiwa 10 November, kami menuju titik akhir tur, Jalan Kasuari. Deretan pajangan berupa tulisan berisi sejarah Kota Lama Surabaya menarik perhatian saya. 

Salah satunya tertulis, Raja Mataram Pakubuwono II menyerahkan Surabaya kepada VOC sebagai imbalan atas tertangkapnya Trunojoyo. Sebelumnya, sesuai catatan penulis Portugis, Tome Pires di tahun 1511, wilayah Surabaya dipimpin Pate Bubat yang independen. Lalu, Surabaya diserang Kerajaan Mataram berkali-kali hingga berhasil ditaklukkan pada 1625.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Internatio/Desi Mahargyani

Saya beralih ke tulisan lain yang menjelaskan asal-usul kata ‘Surabaya’. Ternyata nama kota ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti berani (melawan) bahaya. Sementara simbol Surabaya berupa ikan hiu dan buaya berasal dari cerita rakyat dan baru muncul di abad ke-19.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya berjalan melewati lapangan yang berada di samping gedung Internatio. Gedung Internatio dulunya merupakan kantor Internationale Credit Vereeniging Rotterdam. Beberapa anak sedang bermain bola. Seorang juru foto menghampiri salah satu dari kami, menawarkan jasanya. Kami menggeleng sebagai isyarat menolak. Sebenarnya saya pribadi ingin mengabadikan momen dengan latar gedung ini, tetapi apa ada daya, rasa lelah sudah benar-benar menggerogoti tubuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-3/feed/ 0 46807
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/#respond Tue, 29 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46793 Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela yang menjadi salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di bagian tengah ada menara  yang dihiasi jam pada bagian atasnya. Saat ini, gedung tersebut menjadi kantor Maybank dan terletak di pojok Jalan Cendrawasih.

Hanya beberapa langkah dari Maybank, Toufan mengajak kami berhenti sesaat di sebuah toko di Jalan Cendrawasih. Kesan jadul menjadi hal pertama yang saya lihat. Saya pun membatin, toko ini pasti berusia tua. Tak mungkin Toufan mengajak kami ke sini kalau bangunan ini bukan toko lawas.

Sebuah papan kayu dengan tulisan Kopi Sigan tergantung di bagian atas depan toko. Seiring langkah kami memasuki toko, aroma kopi menguar. Enak. Seorang perempuan dan laki-laki berjaga di depan. Dengan ramah keduanya menyambut kami. Beberapa merek kopi tersaji di etalase berkaca bening. Begitu pula barang-barang lain. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang ada isinya juga tersaji. Suasana jadul benar-benar saya rasakan di toko ini. Dari keterangan penjaga, toko ini sudah ada sejak tahun 1930-an. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Toko Sigan/Dewi Sartika

Lawang Sewu-nya Surabaya

Usai membeli kopi serta jajanan di Kopi Sigan, kami berjalan kembali. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di gedung PTPN XI di Jalan Merak. Sebenarnya, kami tidak berniat masuk ke gedung ini. Namun, sepertinya Toufan menangkap peluang bisa memasukinya sewaktu mendapati ada dua bus yang terparkir di luar gedung. 

“Mumpung ada yang mengunjungi gedung ini, kita coba masuk saja.”

Toufan kemudian memandu kami masuk ke gedung. Di dalam, rombongan siswa sekolah sedang melakukan foto kelulusan. Sedikit tergesa-gesa, saya meniti anak tangga menuju lantai dua. Kondisi di bagian atas lebih ramai lagi. Bersama yang lain saya lalu menuju teras. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Salah satu bagian gedung PTPN XI yang berada di belakang/Dewi Sartika

“Gedung ini disebut juga sebagai Lawang Sewu-nya Surabaya,” ujar Toufan kepada kami. Memang dari luar, penampakan bangunan ini memang menyerupai Lawang Sewu.

Awalnya, gedung ini merupakan kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) atau Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang berdagang gula, kopi, dan singkong. Dibangun pada 1911–1921 dengan bahan-bahan material dari luar negeri, diresmikan 18 April 1925.

Tidak hanya bagian luarnya saja yang terlihat megah dan mewah, tetapi juga interior bagian dalamnya, sangat berkelas. Di lantai dua terdapat panel relief yang menggambarkan aktivitas di perkebunan. 

Kami tak bisa berlama-lama di dalam gedung, seorang satpam mendatangi kami. Karena tak berizin, kami pun harus lekas keluar. Toufan mengajak kami ke tepi anak tangga. Telunjuknya tertuju pada kaca patri yang terpasang di atas. Saya mendongak. Di tiap-tiap bagian tengah, ada panel stained glass dengan lambang berbeda.

“Ada delapan lambang, jadi tiap lambang yang ada berbeda-beda bentuknya. Lambang-lambang tersebut melambangkan kota-kota yang ada di Hindia Belanda. Salah satunya ada lambang Kota Surabaya.”

Kami bergegas keluar gedung, tetapi masih berada di bagian depan. Toufan memberitahu kami bahwa di samping pintu masuk ada bungker. Satpam mengizinkan kami untuk masuk. Kesan pertama, bungker ini lebih mirip galeri seni karena kondisinya bersih dan beberapa pajangan terpasang di tembok.

Fakta unik lain mengenai gedung yang diarsiteki Hulswit, Fermont, dan Cuypers, ternyata gedung ini tahan gempa. Hal ini tampak pada salah satu pilar bangunan di luar yang berada di tengah-tengah. Diamati lebih saksama, berbeda dengan pilar lainnya, bagian tengah pilar tersebut seolah terbelah yang ditandai dengan keberadaan garis vertikal. 

Meskipun waktu yang kami miliki hanya sedikit, setidaknya kami beruntung bisa masuk. Selanjutnya, Toufan mengajak kami untuk melihat sebuah bangunan yang diperkirakan sebagai rumah tertua di Surabaya. Letaknya berada di seberang jalan Gedung PTPN XI. Untuk mencapai rumah tersebut, kami harus melewati gang kecil.

“Dilihat dari bentuk atapnya, sudah kelihatan ini kalau rumahnya dari masa VOC,” celetuk Arief DKS dari Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) Malang sekaligus seorang arsitek yang turut membersamai perjalanan kami.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bangunan yang disinyalir sebagai rumah tertua di Surabaya/Dewi Sartika

Cerita Korps Cacad Veteran

Perjalanan menjelajahi Kota Lama Surabaya masih berlanjut dengan melewati Jalan Krembangan Timur. Kepada kami, Toufan bercerita mengenai Makam Krembangan yang pernah menjadi kuburan pertama orang-orang Eropa di Surabaya sebelum pindah ke Peneleh. Kebetulan, letaknya tak jauh dari tempat kami berjalan. Dulunya, letak makam selalu berada di luar tembok kota.

Lalu, berdirilah kami tepat di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah hati. Agak lama kami berdiri sembari mengamati pintu gerbang tersebut, terutama desain serta besinya.

“Diduga kuat, tembok lama dari Kota Lama yang masih tersisa yang itu.” Toufan menunjuk ke tembok berwarna hijau yang berada tak jauh dari pintu gerbang.

Ketika meneruskan perjalanan, kami melewati tembok yang dimaksud Toufan tadi. Berjalan agak pelan, saya memerhatikan tembok itu karena posisi lebih dekat. Temboknya tak begitu tinggi, sekitar 175 sentimeter. Padahal dalam bayangan saya, temboknya tinggi sekali. Menurut Toufan, tembok Kota Lama setinggi itu karena elevasi jalan semakin meninggi tiap waktu.

Kemudian, tibalah kami di kawasan utama Kota Lama Surabaya, Jalan Rajawali. Toufan mengajak kami ke kompleks bangunan Korps Cacad Veteran RI Kota Surabaya. Semula kami memang tak berencana masuk ke dalam area kompleks ini. Namun, setelah mendapat izin, kami lekas masuk.

Sebelum masuk, Toufan memberitahu kami, kompleks ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal. Begitu masuk, mata saya terbelalak, untuk menyakinkan diri tempat ini memang benar-benar ada yang mendiami. Deretan ruangan yang menyerupai rumah petak dengan kondisi kusam dan nyaris kumuh menjadi perhatian saya, sebelum belok ke kanan mengikuti Toufan dari belakang.

Seorang perempuan berusia lanjut tengah duduk di pojokan. Setelah Toufan meminta izin, perempuan bernama Bu Endang itu lalu memandu kami memasuki bungker dan membuka pintu. Sebelum masuk, ia memberitahu ruangan bungker masih tergenang air karena hujan yang turun semalam.

Bungker dipenuhi berbagai barang. Hampir tak menyisakan ruang kosong. Berbeda dengan bungker di Malang yang pernah saya masuki, kondisi di sini sangat pengap sehingga menimbulkan bau yang sulit digambarkan. Sebuah kipas angin kecil dinyalakan untuk memberikan udara baru. Namun, belum ada tiga menit di dalam bungker, saya memutuskan secepatnya keluar karena tak sanggup berlama-lama di bungker.

Di luar, saya mendapati seorang pria sedang duduk di kursi. Namanya Pak Agus. “Dulu tempat ini menjadi rumah bagi perwira militer Belanda. Cirinya kalau bangunan penting itu ada bungker. Sejak awal saya tinggal di sini,” ucapnya mengawali pembicaraan.

Pak Agus menjadi penghuni yang masih bertahan di tempat ini sementara lainnya telah direlokasi ke Kampung Pejuang, Benowo. Bukan tanpa alasan ia memutuskan bertahan. Ia ingin melihat kebijakan wali kota terkait pemanfaatan bangunan ini ke depannya. Masih dari penuturan Pak Agus, dulunya ada 17 keluarga yang tinggal di sini. Ia adalah generasi kedua.

Dari pembicaraan itu, saya jadi tahu mengapa kompleks ini dinamakan Korps Cacad Veteran serta memiliki semboyan: tumbal negara. “Jadi, kalau pahlawan itu ditembak, beliau meninggal, tetapi kalau veteran ditembak itu sakti alias masih hidup, tapi cacat,” jelas Pak Agus.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bagian depan kompleks bangunan Korps Cacad/Dewi Sartika

‘Diculik’ Nona Cilik Belanda

Kami meneruskan perjalanan menyusuri Jalan Rajawali. Deretan bangunan lawas yang masih kukuh berdiri di tepi jalan. Plakat cagar budaya tertempel di tiap sisi bangunan.

Selanjutnya, kami berhenti di sebuah bangunan bergaya indische empire dari abad ke-19. Sebelumnya, Toufan menunjukkan kepada kami foto lawas bangunan tersebut. Ia memberitahu bahwa dulunya bangunan dengan sejumlah pilar putih tersebut adalah apotek pertama di Surabaya.

Kami bertemu Sri dan Subaidi yang sedang membersihkan bagian dalam bangunan. Ternyata, keduanya mengenal Toufan. “Rencananya mau dibuat warung kopi,” jawab Sri saat ditanya hendak dibuat apa ruangan tempat ia sedang menyapu.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bekas bangunan apotek pertama di Surabaya/Dewi Sartika

Bangunannya sendiri tersekat menjadi dua yang dipisahkan tembok tepat di bagian tengah. Namun, menurut Arief DKS, tembok pemisah ini dulunya tak ada. Kondisi bagian dalamnya masih berantakan. Di bagian belakang malah nyaris hitam pekat. Sementara atapnya sendiri berupa kayu. 

Sri dan Subaidi berbaik hati mengizinkan kami semua untuk masuk ke ruangan sebelah yang terdapat anak tangga menuju lantai atas. Berbeda dengan ruangan sebelah yang kosong dan gelap, ruangan yang baru saja saya masuki ini diisi dengan banyak barang. Sepertinya dimanfaatkan untuk tempat tinggal.

Anak tangga bercat hijau berada di sebelah kanan. Satu per satu kami menaikinya lalu tibalah kami di lantai dua. Lantai atas kelihatan lengang, tak banyak barang. Ada beberapa ruangan di sini. Lantainya berupa kayu. Menurut Arief DKS, terbuat dari kayu jati tua yang diperkirakan umurnya puluhan tahun sehingga terlihat kuat. Jendela-jendela berukuran besar juga menghiasi bagian atas.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Bagian dalam bangunan yang ditempati Bu Sri/Dewi Sartika

Usai melihat-lihat, kami kemudian turun. Sri dan Subaidi menghentikan aktivitas mereka membersihkan ruangan. Kami berbincang-bincang dengan keduanya di bagian depan bangunan.

“Saya pernah kehilangan anak saya selama satu jam. Dicari-cari di dalam enggak ketemu. Lalu, saya mau turun tangga, ternyata anak saya ada di belakang saya. Katanya, dia ada di sini. Terus saya tanya, dari mana? Dia jawab, kalau dia diajak noni-noni main, dikasih mainan. Noninya cantik. Noninya bilang, itu lo, kamu dipanggil mamamu, ayo pulang tak antar,” terang Sri sambil duduk di kursi plastik.

Sri dan Subaidi telah tinggal di bangunan tersebut sejak 1993, sedangkan orang tuanya pertama kali menempati gedung ini tahun 1970-an. Dari keterangannya, status kepemilikan gedung ini adalah milik mereka.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/feed/ 0 46793
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/#respond Mon, 28 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46783 Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa menuntaskan keinginan tersebut.

Tidak seperti tahun lalu sewaktu mengikuti tur heritage di Kampung Peneleh, saya bersama seorang teman berangkat dari Malang sekitar pukul 04.30 WIB naik kereta api, membuat kami berdua lumayan mengantuk selama perjalanan. Untuk menghindari itu, saya dan lainnya memutuskan mengambil jadwal kereta pukul enam pagi.

Kami tiba di Stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 08.30. Selama menjelajahi Kota Lama Surabaya, kami akan dipandu Toufan Hidayat. Ia seorang pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas pegiat sejarah. Beberapa kali ia mengikuti tur heritage di Kota Malang. Dari sinilah, saya mengenalnya. 

Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Surabaya Kota, kami memilih berjalan kaki saja daripada naik taksi daring. Hitung-hitung olahraga sembari menikmati bangunan-bangunan tua. Begitu keluar dari stasiun, saya terperangah. Suasana hiruk-piruk menjadi pemandangan utama. Ada pasar baju bekas layak pakai, para pedagang menggelar lapak di tepi jalan raya. Baju-baju tergantung di hanger, ada pula yang menaruhnya begitu saja di bawah. Tak ketinggalan para pedagang kuliner ringan juga meramaikan suasana.

Saat berjalan, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan penjual nasi. Sayangnya, hanya ada nasi pecel. Sementara yang lain rupanya lebih tertarik meneruskan perjalanan menuju titik pertemuan dengan Toufan. Untuk mengganjal perut, kami sempat berhenti di sebuah minimarket.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Toufan Hidayat, pemandu tur, sedang memberi penjelasan kepada peserta tur/Dewi Sartika

Berkunjung ke Museum Hidup Polisi

“Halo, Mbak, posisi di mana?”

Saya lalu bertanya kepada yang lain sesudah mengangkat telepon dari Toufan sewaktu mengantre di kasir. “Kita di Jalan Veteran,” ucap Vadia, salah satu sahabat yang turut serta dalam tur ini.

Usai mengetahui posisi kami, Toufan kemudian memberitahu titik pertemuan. Tak lagi di Kantin Kasuari sebagaimana rencana awal, tetapi bergeser ke depan Museum Polrestabes Surabaya. Kami pun tak berlama-lama di minimarket. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi perut, kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Pagi itu, Jalan Veteran cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sesosok laki-laki bertopi berdiri di depan museum. Kami menghampirinya. Tak berselang lama ia lalu menjelaskan mengenai kawasan kami berada saat itu.

“Jadi, Kota Lama dulu dikelilingi tembok. Temboknya, ya, jalan ini lalu sungainya ada di belakang bangunan-bangunan itu. Sementara di sini juga pintu pos utama keluar Kota Surabaya,” terang Toufan kepada kami. Telunjuknya mengarah kepada jalan di depan kami sewaktu menerangkan bahwa jalan raya tersebut dulunya adalah tembok kota.

Menurut Toufan juga, dahulu permukiman orang-orang Belanda (VOC) bentuknya mengikuti model bangunan di Eropa yang dikelilingi tembok. Saya pun teringat kastil-kastil di Eropa yang pernah muncul di film berlatar abad pertengahan. Sesudah tembok lalu ada sungai yang juga mengelilingi permukiman tersebut, sungai berisi buaya. Baik sungai dan tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Tampak depan bangunan Museum Hidup Polisi/Dewi Sartika

Sesudah mendengar keterangannya, pandangan saya langsung tertuju ke gedung Museum Polrestabes Surabaya yang tepat di berada di samping kami berdiri. Dari kejauhan, bangunan tersebut seolah-olah sudah menunjukkan keangkuhannya. Gedung museum dihiasi pilar-pilar raksasa putih serta deretan jendela berukuran besar.

Toufan melangkah memasuki kompleks museum. Ia hendak meminta izin agar bisa memasuki gedung, lebih tepatnya dalam istilah Bahasa Jawa, untung-untungan. Bisa masuk, ya, alhamdulillah, tidak bisa masuk juga tidak apa-apa.  Mengingat untuk bisa masuk ke tempat tersebut pengunjung harus meminta izin tiga hari sebelum kunjungan dilakukan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, saya baru sadar bahwa tepat di bagian pintu masuk Museum Polrestabes Surabaya inilah pada warsa 2018 lalu terjadi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan Toufan. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu sewaktu kejadian ini menjadi headline pemberitaan di televisi maupun media daring.

Ia kemudian kembali dengan wajah semringah karena izin berhasil ia kantongi. Kami pun membuntutinya dari belakang. Seorang petugas polisi yang semula berjaga di pos mengiringi langkah kami memasuki gedung museum. Makin mendekati bangunan, rasa-rasanya hati saya makin berdecak kagum dengan kemegahannya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Berbagai jenis seragam polisi/Dewi Sartika

Koleksi Museum Beragam

Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1808 sebagai bagian dari rencana Daendels menjadikan Surabaya sebagai pangkalan militer. Mulanya, bangunan ini dipakai untuk barak militer. Selepas Daendels tak berkuasa, fungsinya masih sama, hingga pada 1925 gedung ini dialihfungsikan sebagai kantor kepala komisaris kepolisian Surabaya. Sampai sekarang, bangunan ini juga masih aktif sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Begitu memasuki gedung, berbagai benda pajangan, seperti senjata, seragam polisi, dan sepeda zaman dulu memenuhi bagian dalam bangunan. Semuanya tertata rapi di display. Tak ketinggalan pula terdapat patung M. Jasin yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri.  Tepat di tengah-tengah terdapat sebuah lonceng berwarna keemasan dengan tulisan terukir di bagian badan lonceng.

Dari keterangan yang saya baca, lonceng yang didesain Paul van Vlissingen dan Dudok van Heel ini digunakan sebagai tanda peringatan oleh pemerintah Belanda. Tahun pembuatannya sendiri sekitar 1843 dan terbuat dari bahan besi kuningan. Untuk membawa lonceng ini dari Belanda ke Hindia Belanda—sekarang Indonesia—dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Uniknya, lonceng dengan bentuk dan tulisan sama ini tak hanya terdapat di Surabaya saja, tetapi juga ditemukan di Benteng Willem, Ambarawa.

Sempat tebersit di pikiran saya, mengapa museum ini dinamakan museum hidup. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Alasannya, tak seperti museum pada umumnya yang bisa dikunjungi kapan saja, untuk bisa ke sini harus izin terlebih dahulu mengingat gedung ini masih aktif digunakan untuk pertemuan polisi. Hal ini ditandai dengan sebuah ruang pertemuan yang berisi kursi-kursi.

Selanjutnya, kami juga menyempatkan untuk melihat-lihat bagian samping bangunan yang juga dikenal sebagai gedung Hoofdbureau ini. Di masa kolonial tempat ini memang menjadi kantor pusat polisi di Surabaya.

“Itu meriam asli, ya. Ditemukan tahun 2009 di Kota Lama, tepatnya di gedung Telkom. Dulunya, gedung itu pabrik senjata, awalnya Pindad. Jadi, sebelum pindah ke Bandung, dulu berada di daerah Jembatan Merah. Pabrik tersebut memproduksi meriam, [tetapi] karena panas akhirnya pindah ke Bandung dan Malang karena hawanya lebih dingin. Ada sembilan meriam yang ditemukan,” jelas Toufan sewaktu kami berdiri di dekat meriam yang berada di pojok gedung museum.

Sembari diselimuti kekhawatiran, kamu lalu masuk ke bagian lain kompleks gedung museum. Alasan mengapa kami nekat, tak lain dan tak bukan karena penasaran dengan bungker yang ada di samping gedung. Sayangnya, bungker tersebut terkunci. Kami hanya sebentar saja karena memang izin memasuki kompleks ini sebenarnya hanya untuk ke gedung museum saja, tidak ke bagian yang lain.

Sepertinya, ada banyak sebutan untuk bangunan yang baru saja kami kunjungi. Selain disebut Museum Polrestabes Surabaya dan Museum Hoofdbureau, bangunan ini juga menyandang nama lain, yaitu Museum Hidup Polri.

Beranjak keluar untuk meneruskan perjalanan, di bagian depan kompleks bangunan berdiri dengan gagah patung dengan seragam polisi. Sosok tersebut adalah Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjadi Kapolri pertama Republik Indonesia sekaligus Grand Master Freemason di Indonesia.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/feed/ 0 46783
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/#respond Thu, 06 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45870 Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua ruang ibadah lainnya yang berukuran lebih kecil. Pun, tak begitu banyak cerita yang dikisahkan Agung Buana, pemandu tur kami.

Ia menyebut Kelenteng Eng An Kiong didirikan menjelang Perang Jawa pecah, tepatnya tahun 1820. Dari segi bangunan ia menyebut, kelenteng pernah mengalami kebakaran di tahun 90-an atau tahun 2000 awal. Akibat kebakaran tersebut, kelenteng pun direnovasi dengan menggunakan material dari keramik sementara bahan asli dari kayu.

“Kita lihat, bangunan kelenteng ini didominasi warna kuning dan merah. Bagi masyarakat Tionghoa, merah itu mengandung makna kemakmuran sementara warna kuning berarti kemasyhuran,” terangnya.

Kelenteng Eng An Kiong disebut juga bangunan Tri Dharma karena menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Buddha, Tao, dan Konghucu. Tidak hanya menyoroti tentang bangunannya saja, Agung juga menjelaskan bagaimana akulturasi kebudayaan Tionghoa dan lokal terjadi di kelenteng ini.

“Di bagian belakang kelenteng, ada gamelan, wayang, dan pertunjukan-pertunjukan yang sifatnya percampuran kebudayaan Tionghoa dan budaya masyarakat Jawa, termasuk juga budaya Madura. Ini adalah melting pot, pelelehan kebudayaan, akulturasi. Salah satu akulturasi ini tidak hanya pada bangunan, tetapi juga pada makanan.”

Salah satu akulturasi pada makanan adalah lontong Cap Go Meh. Ia mengatakan bahwa lontong berasal dari Jawa dan orang Tionghoa tidak mengenal lontong sebelumnya. Selain lontong, ada juga cwi mie dan bakso Malang. Misalnya, di bakso Malang ada siomay yang merupakan makanan Tionghoa. Adanya akulturasi dalam makanan ini tersirat makna kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Ruang sembahyang lainnya di Kelenteng Eng An Kiong/Dewi Sartika

Jejak Sejarah di Hotel Emma

Selesai mengisi perut di kantin, kami meneruskan perjalanan ke selatan. Kami menelusuri Jalan Martadinata. Di sepanjang salah satu ruas jalan utama Kota Malang ini deretan toko berdiri menghiasi sisi jalan. Kami sempat berhenti sebentar ketika Agung memberikan aba-aba kepada para peserta. Ia membelakangi jalan raya dan sebuah bangunan showroom mobil bekas dengan tulisan “Hotel Emma” di bagian atasnya.

Menjorok ke dalam, di samping showroom tersebut ada Hotel Emma yang berada di bagian belakang. Hampir tidak tampak sama sekali bentuk bangunan hotel. Kepada kami, Agung mulai bercerita. Dahulu, kira-kira hampir 100 tahun lalu, Hotel Emma sudah ada dan termasuk hotel terbaik di wilayah Malang sebelah timur.

“Hotel Emma termasuk hotel yang punya reputasi baik sebelum zaman Jepang. Namun, setelah Jepang masuk ke Malang, Hotel Emma menjadi hotel untuk khusus tentara Jepang yang pangkatnya bukan perwira. Jadi, prajurit-prajurit ke bawah di sini tempatnya. Banyak peristiwa yang namanya jugun ianfu. Ngambil orang-orangnya dari mana? Orang Bululawang, Kepanjen, Wonokoyo, Arjowinangun, diambillah lalu dibawa ke sini. Jadi, hotel ini punya sejarah cukup kelam saat Jepang masuk mulai tahun 1942 hingga 1945. Setelah itu jadi hotel untuk orang-orang yang melakukan transaksi perdagangan di Kota Malang,” jelasnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Bagian depan Hotel Emma yang digunakan sebagai showroom mobil/Dewi Sartika

Objek menarik lainnya di Jalan Martadinata membuat langkah kami terhenti lagi. Masih sederet dengan Hotel Emma yang berada di seberang jalan, sebuah rumah tua bergaya kolonial membuat mata saya tertuju kepadanya. Sayangnya, keindahan bangunan tersebut luput dari para pemakai jalan karena terhalang pagar dan tanaman yang menutupi bagian muka rumah.

“Rumahnya cantik sekali, ya. Rumahnya masih bertahan sampai sekarang. Model arsitekturnya, art deco. Coba lihat ornamen di pilar-pilarnya, ada ornamen art deco yang kental sekali di tahun 1920-an. Kedua, railing tangga, kaca patrinya juga masih bagus. Ini adalah rumah yang masih mempertahankan diri,” terang Agung.

Benar adanya kalimat terakhir yang diucapkan Agung. Sepanjang Jalan Martadinata, rumah tersebut bisa dibilang satu-satunya sampai saat ini yang masih terawat. Walaupun sebenarnya ada lagi satu atau dua rumah era kolonial di pinggir jalan ini yang juga masih berdiri. Hanya saja sebagian besar telah berubah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu rumah era kolonial yang masih utuh di Jalan Martadinata/Dewi Sartika

Tugu Lonceng, Penanda Kawasan Pecinan

Jalan Martadinata tersambung dengan pertigaan Pecinan, yaitu Jalan Kyai Tamin. Kemudian, kami berdiri di samping kompleks ruko yang berada tepat di pertigaan. Kami berada di dekat sebuah pohon dengan daun-daunnya yang besar. Saya tak tahu pohon apa ini. Beberapa orang yang melewati atau berada di jalan ini tampak memerhatikan keberadaan kami.

Dekat pohon besar tersebut ada sebuah pajangan menyerupai tugu dengan ujungnya berupa jam. Orang-orang menyebut kawasan pertigaan ini dengan sebutan kawasan Lonceng karena keberadaan tugu tersebut. Jujur, saya sempat bingung dengan sebutan ‘lonceng’ mengingat tugu itu tak memiliki lonceng pada umumnya.

“Kawasan Lonceng ini adalah penanda kawasan Pecinan. Pecinan paling selatan ditandai dengan adanya sebuah lonceng. Nah, lonceng yang dimaksud adalah sebuah tugu dengan tanda waktu atau jam. Letaknya dulu ada di tengah-tengah sini. Namun, sekarang dipindah di sini,” terang Agung sembari tangannya menyentuh tugu bercat merah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Gerbang Pecinan di Jalan Kyai Tamin yang berada persis di seberang tugu lonceng/Dewi Sartika

Ia juga menjelaskan lokasi tugu lonceng ini bergeser letaknya karena adanya pelebaran jalan. Saking terkenalnya sebutan lonceng ini, beberapa warung kuliner yang ada di sekitar Pertigaan Lonceng ini turut memakai nama lonceng, seperti tahu telur lonceng dan soto lonceng.

Kami lalu menyeberang di tengah padatnya lalu lintas di pertigaan menuju kawasan Pecinan. Kawasan ini ditandai dengan adanya gerbang di Jalan Kyai Tamin. Tak begitu jauh, ada warung soto lonceng yang menjual soto Lamongan. Sederet dengan soto lonceng, masuk ke gerbang kompleks ruko, di pagi hari ada penjual nasi buk Madura. Di pagi hari, para pembeli antri berbaris untuk membeli nasi buk ini. Namun, saat kami berada di Jalan Kyai Tamin menjelang siang, penjual nasi buk sudah membereskan dagangannya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu kuliner terkenal yang berada di dekat Gerbang Pecinan/Dewi Sartika

Bekas Terminal Angkutan

Selanjutnya, kami belok kanan ke Pasar Besar Malang. Suasana tampak ramai meski tak sepadat hari-hari aktif. Toko-toko di sepanjang Jalan Kopral Usman banyak yang tutup. Kemudian kami mendengarkan penjelasan Agung tentang tempat ini.

“Ini adalah bagian belakang pasar. Tapi kira-kira di antara tahun 1928 sampai 1930-an, bagian belakang pasar ini adalah sebuah terminal. Jadi, pasarnya ada di bagian depan sementara di belakang ini terminal untuk mobil-mobil angkutan yang namanya demmo, bukan bemo. Demmo saat itu menjadi alat transportasi untuk perkotaan. Jadi, kalau orang belanja dari sana terus ke sini,” jelasnya. Tangannya mengarah ke bagian depan Pasar Besar.

Ia lalu menerangkan lebih lanjut bahwa terminal di belakang Pasar Besar ini dulunya dibagi menjadi dua bagian, yaitu angkutan untuk mengangkut orang yang kendaraannya memakai mesin dan dokar penumpang. Sementara dokar pengangkut barang berada di sebelah selatan Pasar Besar, tepatnya di daerah Comboran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)

“Di situlah kuda-kuda dari Kepanjen, Kedungkandang, dan Bululawang berhenti di Comboran. Kudanya istirahat, disuruh makan dan minum. Ketika kudanya minum dari gentong besar, ini namanya nyombor. Makanya dinamakan Comboran,” ucap Agung Buana sewaktu menjelaskan asal-usul nama Comboran.

Perjalanan kami berlanjut melewati bagian depan Pasar Besar lalu Jalan Zainul Arifin atau lebih populer disebut Kudusan. Berikutnya, kami belok ke Jalan KH Ahmad Dahlan lalu memasuki Kampung Temenggungan sebelum tiba di titik awal pemberangkatan, Kafe Pop Mason 52. 

Sungguh, sebuah perjalanan yang lumayan melelahkan bagi saya pribadi. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali tur heritage sebelumnya yang pernah saya ikut. Rasa-rasanya tur kali ini menjadi rute terjauh yang pernah saya tempuh. Namun, rasa lelah yang mendera cukup terobati dengan pengetahuan yang didapat dari hasil menelusuri jejak sejarah sudut-sudut Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/feed/ 0 45870
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/#comments Wed, 05 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45856 Napas saya terengah-engah saat menaiki anak tangga di Kampung Warna-Warni Jodipan. Kami hendak keluar setelah menjelajahi beberapa bagian permukiman ini. Tak seperti saat memasuki kampung, untuk keluar kami harus mendaki. Sampai di pintu keluar yang...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Napas saya terengah-engah saat menaiki anak tangga di Kampung Warna-Warni Jodipan. Kami hendak keluar setelah menjelajahi beberapa bagian permukiman ini. Tak seperti saat memasuki kampung, untuk keluar kami harus mendaki. Sampai di pintu keluar yang tembus ke Jalan Juanda, sejenak saya mengambil jeda untuk istirahat sambil meneguk air mineral. Begitu juga peserta lainnya. Tak bisa dimungkiri, raut wajah mereka menunjukkan kelelahan.

Sesudah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Juanda. Beberapa bedeng yang menjual barang-barang bekas berdiri di kedua sisi jalan. Tumpukan koper, peralatan dapur hingga kursi roda menjadi bagian dari barang-barang bekas yang dijual.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bedeng-bedeng di ruas Jalan Juanda yang menjual aneka barang bekas/Dewi Sartika

Malang, Laboratorium Arsitek di Indonesia

Seperti Jalan Aries Munandar, Jalan Juanda juga menyimpan bangunan-bangunan era kolonial. Tak banyak memang. Namun, sisa-sisanya masih dapat dilihat. Saya pun baru menyadarinya. Maklum saja, saya jarang lewat jalan ini. Kalaupun pernah, itu dengan mengendarai motor sehingga abai dengan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa.

Agung Buana, pemandu tur, meminta kami untuk berhenti di pinggir jalan. Pandangan kami semua kemudian tertuju pada sebuah rumah berpagar biru langit.

“Masih banyak bangunan kuno. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi permukiman padat penduduk juga. Kita mengenali rumah-rumah kuno itu dari mana? Jangan melihat dari depannya saja, tetapi lihatlah atapnya. Ada fasad-fasad bangunan yang menunjukkan kekunoannya. Ciri lainnya, di ujung atapnya ada semacam mahkotanya.”

Ia juga menambahkan, rumah-rumah yang ada di Jalan Juanda ini sudah ada sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Ciri lain bangunan-bangunan tua pada masa itu adalah mempunyai halaman yang luas.

Kami berjalan kembali hingga sampai di pertigaan Jalan Juanda, yang terhubung dengan Jalan Mangun Sarkoro. Jalan Mangun Sarkoro dikenal dengan nama Gang Boldy. Nama ini diambil dari nama pengusaha keturunan Armenia, A.M.J. Boldy.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gang Boldy/Dewi Sartika

Tak Jauh dari Gang Boldy, sebuah rumah tua berdiri. Saya sempat terperangah. Rumah yang dahulu sering terlihat kusam kini berubah menjadi cantik. Tampak sekali tembok dan pagarnya telah dicat ulang. 

Kami berdiri di seberang rumah tersebut, tepatnya di depan rumah bergaya jengki yang populer tahun 1950-an. Kepada kami, Agung meminta kami untuk melihat bagian atapnya serta ornamen-ornamen luar rumah tersebut. 

“Malang mempunyai banyak ciri arsitektural, makanya disebut laboratorium arsitek di Indonesia. Karena apa? Bangunan-bangunan semacam itu rata-rata (dibangun) tahun 1910-an, sementara rumah jengki yang ini sesudah kemerdekaan,” katanya sambil menunjuk rumah di seberang jalan, yang diperkirakan berdiri pada 1910-an tersebut.

Tepat di samping rumah era kolonial yang terletak di seberang jalan, juga ada rumah tua berpagar cokelat yang berbeda bentuknya. Menurut Agung, rumah tersebut merupakan tipe-tipe rumah tahun 60 hingga 70-an. Adapun ruko di samping rumah berpagar cokelat, ia menyebut gaya ruko tahun 80-an dan 90-an awal.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Sosok Thee Tjoe Kam

Pasar Kebalen berada di Jalan Zaenal Zakse. Jalan ini memanjang dari perempatan Kelenteng Eng An Kiong hingga perempatan Kebalen yang menjadi titik pertemuan Jl. Zaenal Zakse, Jl. Juanda, Jl. Kebalen Wetan, dan Jl. Muharto. Perempatan ini menjadi salah satu titik tersibuk di pagi hari, terutama ketika berangkat kerja atau sekolah. Untuk itu, menghindari Jalan Zaenal Zakse sebenarnya solusi terbaik meski menjadi jalan tembusan menuju Pasar Besar Malang.

Bayangkan saja, berkendara melewati Jalan Zaenal Zakse dengan para pedagang yang menggelar lapaknya di sisi kanan-kiri jalan, sementara dari arah berlawanan juga meluncur kendaraan bermotor. Syukur-syukur kalau yang lewat adalah sepeda motor. Adakalanya kendaraan roda empat juga lewat Pasar Kebalen, yang tentu saja sering menimbulkan kemacetan karena jalan terlalu sempit. Tak hanya itu saja, jalan ini juga dibelah rel kereta api. Kereta api yang lewat juga menambah kemacetan di Pasar Kebalen.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Itulah sekilas mengenai kondisi Pasar Kebalen yang biasa menjadi tempat saya berbelanja. Sebenarnya, tempat tinggal saya lebih dekat dengan Pasar Induk Gadang, tetapi saya lebih suka belanja di tempat ini. Alasannya, meski sering macet, tetapi suasana pasar tradisional ini membuat saya terkesan dengan banyaknya orang yang saya temui. Selain itu harga  sejumlah kebutuhan dapur di pasar ini juga tergolong murah karena bisa ditawar.

Pasar Kebalen menjadi tujuan kami berikutnya usai mendengar cerita di Jalan Juanda. Sebelum memasuki area pasar, di perempatan, kami terlebih dulu belok ke kiri. Agung hendak mengajak kami melihat bekas rumah pengusaha Tionghoa sukses era kolonial, Thee Tjoe Kam.

Sebagaimana A.M.J. Boldy yang menjadi nama tempat, nama Thee Tjoe Kam juga diabadikan menjadi nama perempatan, yakni Perempatan Cukam yang merupakan nama lain Perempatan Kebalen. Dari arah kelenteng, kediaman Thee Tjoe Kam berada di sisi kiri jalan.

Saya masih ingat, dulu, bekas rumah Thee Tjoe Kam ini hampir tak terlihat karena ditutupi seng. Sekarang, seng-seng tersebut telah hilang. Nasib rumah tersebut serupa dengan bangunan-bangunan tua tak terawat, kusam dengan warna hitam yang perlahan merambat menghiasi dinding-dinding rumah. Di halaman depannya ada sejumlah gerobak jualan. Sepertinya para pedagang menyimpan gerobaknya di tempat ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gerobak-gerobak penjual makanan terparkir di depan bekas kediaman Thee Tjoe Kam/Dewi Sartika

Menara Seruling dan Pasar Kebalen

Kami hanya sebentar mengamati bekas kediaman Thee Tjoe Kam. Saya lalu melangkah beberapa meter kemudian berdiri di depan sebuah toko roti. Lalu lintas di Jalan Muharto terbilang ramai. Mata saya tertuju pada sebuah objek ketika Agung mulai berbicara.

“Orang Malang menyebutnya menara seruling. Menara ini tinggal satu-satunya yang masih utuh di Malang. Dulu digunakan sebagai penanda kalau ada serangan udara. Dibangun oleh Belanda tahun 1940 karena Belanda mengkhawatirkan Jepang akan masuk ke Hindia Belanda melalui serangan udara. Kalau ada serangan udara, sirine itu berbunyi dan berputar. Terdengarnya bisa mencapai radius empat sampai lima kilometer.”

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Menara seruling di dekat perempatan Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Dari keterangan Agung, Belanda membangun delapan menara seruling di Kota Malang. Di antara menara-menara tersebut, menara seruling di Jalan Muharto ini terbilang masih lengkap dan bahkan masih berfungsi. Menara ini digerakkan generator ANIEM. Jadi, di mana ada menara seruling di situlah terdapat gardu listrik.

Usai mendengar penuturan Agung, kami bergerak ke barat menuju Pasar Kebalen. Kami melewati sebuah bangunan besar bercat putih yang lagi-lagi terlihat kusam. Itulah hotel milik Thee Tjoe Kam. Sisa-sisa kemegahan hotel tersebut masih terlihat dari lengkungan dinding serta pilar-pilar yang menyatu dengan tembok. Ada juga dinding persegi yang menyerupai jendela. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Sisa bangunan hotel milik Thee Tjoe Kam di area Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Meskipun waktu mulai beranjak siang, Pasar Kebalen masih ramai. Namun, tak ada lagi kemacetan karena pedagang mulai berkurang. Menyisakan pedagang-pedagang lainnya yang masih setia duduk dekat barang-barang jualan tempat mereka menanti pembeli. 

Kami menyeberang. Tepat di hadapan kami ada penjual kelapa. Beberapa kelapa yang sudah bersih dari sabutnya tertata rapi di meja. Pedagang kelapa tersebut berjualan di muka sebuah rumah tua bergaya kolonial. Tak seperti rumah Thee Tjoe Kam, bangunan ini masih terawat dan bersih. Agung menunjukkan beberapa aspek kolonial yang melekat di rumah tersebut. Ia tak segan memuji keindahan kaca patri yang terpasang di bagian atas.

“Pasar Kebalen ini memang berada di pinggir jalan. Saya saat ini sedang melakukan proses penelitian pasar-pasar tradisional di Kota Malang. Saya menemukan data, bahwa dari awal Pasar Kebalen ini memang pasar tumpah. Jadi, pasar ini merupakan titik pertemuan dari lokasi-lokasi produsen pertanian, seperti Kedungkandang, Wonokoyo, dan Kepanjen. Sumber-sumber pertanian turun ke sini semua. Begitu sampai sini, mereka kemudian melakukan proses jual beli,” terang Agung Buana mengenai keberadaan Pasar Kebalen.

Alasan dipilihnya Pasar Kebalen menjadi lokasi jual beli karena pada saat itu Pasar Induk Gadang belum ada. Artinya, Pasar Kebalen menjadi pasar paling ujung di Kota Malang waktu itu. Faktor lainnya, lokasi pasar ini juga berdekatan stasiun trem, terminal, dan permukiman yang berada di sebelah timur kota.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bangunan era kolonial dengan Bintang David di bagian atasnya, terletak di belakang kelenteng/Dewi Sartika

Kami meneruskan perjalanan melewati para pedagang yang masih bertahan di pasar. Satu-dua pedagang menjajakan dagangannya kepada kami. Setibanya di Kelenteng Eng An Kiong, kami tak langsung istirahat. Para peserta termasuk saya melihat-lihat keindahan kelenteng yang menjadi tempat ibadah agama Buddha, Tao, dan Konghucu sembari mendengarkan penjelasan singkat dari Agung.

Masih di kompleks kelenteng, tepat di samping tempat ibadah terdapat area kantin yang menyatu dengan tempat parkir. Kami bergegas ke kantin. Maklum saja, perjalanan yang kami tempuh ternyata cukup jauh sehingga membuat kami lumayan kepayahan. Setidaknya, menyantap rujak cingur atau kolak bisa memulihkan tenaga kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/feed/ 2 45856
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/#respond Tue, 04 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45845 Kami menyusuri Jalan Aries Munandar usai mendengarkan cerita bangunan bekas sekolah Tionghoa. Lalu, tibalah saya dan peserta lainnya di perempatan yang menghubungkan Jl. Aries Munandar, Jl. Juanda, dan Jl. Gatot Subroto. Selain perempatan kelenteng yang...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami menyusuri Jalan Aries Munandar usai mendengarkan cerita bangunan bekas sekolah Tionghoa. Lalu, tibalah saya dan peserta lainnya di perempatan yang menghubungkan Jl. Aries Munandar, Jl. Juanda, dan Jl. Gatot Subroto. Selain perempatan kelenteng yang saya sebutkan sebelumnya, perempatan ini juga termasuk jalur transportasi tersibuk, terutama di pagi dan sore pada hari-hari aktif. Lalu lintas hari Minggu cenderung berjalan normal tanpa macet.

Berada dekat pohon besar dan hampir tertutup tiang besi, sebuah penanda dengan warna kuning berdiri sebelum Jembatan Brantas. Ya, inilah titik nol Kota Malang. Bukti kawasan ini menjadi pusat aktivitas di kota dengan hiruk-piruk berbagai alat transportasi darat yang melintas di kawasan ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Penanda titik nol Kota Malang di dekat Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Titik Nol Kota Malang

“Titik nolnya Kota Malang yang lebih unik lagi, ada dua. Yang satu di sini, yang satunya lagi di bawah jembatan penyeberangan Sarinah. Titik nol ini menandai jalur pos. Belanda selalu membuat perkiraan perpanjangan wilayah per kilometer biar tahu jarak antardaerah. Jalur pos itu tidak harus melalui kantor pos, tetapi jalur pos itu bisa digunakan untuk jalur transportasi, jalur kereta api, dan lain-lain, makanya titik nolnya digunakan di sini,” terang Agung Buana, pemandu tur, dengan suara lebih nyaring.

Masih menurut keterangan pemerhati sejarah Malang itu, ada juga pendapat lain bahwa jalur ini dibuat jawatan perhubungan era Belanda. Tujuannya, untuk menandai Kota Malang dengan kota-kota lain, seperti Surabaya yang berjarak 89 kilometer dan Purwosari 28 kilometer.

Dari tempat kami berdiri, terlihat Kampung Warna-Warni Jodipan, sebuah permukiman padat penduduk yang berada di tepi Sungai Brantas. Dahulu, sebelum menjadi permukiman, kampung ini adalah sebuah bantaran Sungai Brantas. Awal mula bantaran ini menjadi sebuah kampung tak lepas dari kebutuhan tempat tinggal oleh tunawisma (homeless). Karena keterbatasan yang dimiliki, mereka kemudian membangun gubuk-gubuk kecil yang di kemudian hari berkembang menjadi permukiman seperti sekarang.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Jembatan Buk Gluduk dipotret dari Jalan Gatot Subroto, bersebelahan tepat dengan gapura Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

Jembatan Buk Gluduk

Kami tak berlama-lama di dekat titik nol Kota Malang. Dengan agak tergesa-gesa, saya dan peserta lainnya menyeberang jalan sesudah Agung memberi aba-aba.

Kendaraan-kendaraan lalu-lalang di Jembatan Buk Gluduk. Jembatan ini melintang di atas Sungai Brantas sehingga sering juga disebut Jembatan Brantas. Nama Buk Gluduk sendiri berasal dari struktur jembatan ini yang mulanya dibuat dari kayu. Kata buk berasal dari bahasa Belanda “brug”, yang berarti jembatan. Lidah orang lokal menyebutnya buk. Sementara penamaan gluduk punya kisah tersendiri. Dahulu, jembatan papan kayu ini sering dilalui cikar yang kemudian menimbulkan suara gluduk-gluduk.

Saat ini Jembatan Buk Gluduk sudah berganti dengan struktur beton. Agung Buana juga menambahkan, di era tahun 1950-an jembatan ini direnovasi dan penamaannya diubah menjadi Jembatan Pahlawan.

Tepat di bawah Jembatan Buk Gluduk, permukiman dengan atap berwarna-warni langsung menjadi perhatian bagi siapa saja yang sedang berdiri di atas jembatan sisi timur. Itulah Kampung Warna-Warni. Pandangan saya lalu beralih ke depan. Sebuah jembatan rel kereta api membentang membelakangi Pegunungan Tengger (di dalamnya ada Semeru dan Bromo) dan Gunung Mburing.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Konstruksi Jembatan Buk Gluduk yang dilihat dari Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

“Gunung Mburing ini sebutan baru. Sebutan lamanya adalah Gunung Malang. Kenapa kita ini disebut Kota Malang, salah satunya karena keberadaan gunung ini. Disebut Gunung Malang karena gunung ini melintangi atau menghalangi pandangan terhadap Gunung Semeru, istilahnya malangi,” ucap Agung.

Jauh sebelum masa kolonial, jalur Gunung Mburing yang memanjang membelakangi Gunung Semeru ini merupakan jalur kuno peradaban kerajaan-kerajaan di Malang, seperti Kanjuruhan dan Singasari. Menurut Agung, dahulu orang-orang harus memutar terlebih dulu sehingga di beberapa titik di jalur tersebut terdapat bangunan candi-candi, semisal Candi Jago dan Candi Kidal. Jalur ini pula, yang digunakan Hayam Wuruk sewaktu melakukan perjalanan sebagaimana yang terdapat di kitab Kakawin Nagarakretagama.

“Dahulu, jalur utamanya ada di sebelah timur. Berarti, peradaban di Malang ini bergeser dari timur ke barat. Pergeseran inilah yang menyebabkan salah satu hal Kota Malang mengalami banyak perubahan, mulai dari konturnya, [hingga] sistem pemerintahannya ke barat semuanya,” tambahnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Tampak atas Kampung Warna-Warni yang dipisahkan Sungai Brantas, difoto dari sisi timur Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Kampung Warna-Warni Jodipan

Dari Jembatan Buk Gluduk, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Warna-Warni. Sebelum memasuki kampung, Agung sempat memberikan cerita pengantar mengenai permukiman ini. Selain menjadi tempat tinggal warga, ternyata di kawasan Kampung Warna-Warni terdapat depo Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). 

Tak hanya depo saja, tetapi juga ada rumah-rumah untuk karyawan perusahaan yang terletak di sebelah utara. Sementara itu, mengenai keberadaan rumah-rumah di tepi Sungai Brantas ini, Agung juga mengemukakan fakta menarik.

“Uniknya, rumah-rumah ini, dia bertingkat tapi tidak longsor. Ada yang tahu enggak mengapa rumah-rumah di Malang yang berada di pinggir sungai ini tidak banyak mengalami kelongsoran? Ada yang tahu kenapa?” tanyanya kepada para peserta.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)

Salah satu peserta memberi jawaban tepat atas pertanyaan yang dilempar Agung. Selanjutnya, mantan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) tersebut menjelaskan, ciri-ciri sungai di Malang umumnya dalam dan tidak lebar alias sempit. Lereng di sepanjang pinggir sungai tidak berupa tanah, melainkan batu cadas. Ia lalu membandingkan lereng-lereng di permukiman di Surabaya yang cenderung rata, berbeda dengan di Malang yang cenderung dalam.

“Sebelum tahun 2016, rumah-rumah ini cenderung kotor. Angka kriminalitas juga tinggi yang menyebabkan suasana menjadi rawan. Orang enggak berani masuk ke kampung ini. Nah, sekarang, kampung ini sering didatangi orang-orang dari negara lain. Kenapa? Mereka menikmati kampung ini mulai dari jembatan sampai ke daerah dalamnya. Tahun 2018 sampai sekarang tempat ini menjadi kampung wisata,” jelasnya.

Untuk masuk ke Kampung Warna-Warni, setiap pengunjung dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang. Begitu masuk, kami langsung disambut dengan anak tangga. Di atasnya, payung-payung beraneka warna terpasang sepanjang anak tangga yang mengarah ke bawah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Pak Agus (paling kanan) bersama para peserta tur heritage/Dewi Sartika

Kami sempat sekitar setengah jam berada di salah satu sudut kampung yang menghadap ke arah sungai. Dari sini, kami juga bisa melihat bagian bawah Jembatan Buk Gluduk sebelum meneruskan perjalanan. Agung membawa kami ke bagian permukiman yang lapang, mirip sebuah aula. Hanya saja salah satu sisinya hanya dibatasi pagar. Pengunjung bisa menyaksikan Sungai Brantas dan jembatan kaca yang menghubungkan dua permukiman. Kampung Warna-Warni memang dipisahkan Sungai Brantas.

Tepat di tengah-tengah, beberapa orang duduk beralas tikar. Seorang pemuda berselempang putih dengan kemeja merah sedang berbicara di hadapan orang-orang tersebut. Di sampingnya ada white board yang terpasang di tripod. Baru saya ketahui dari penjelasan Pak Agus bahwa pemuda tersebut dari Universitas Malang sedang memberikan materi kepada warga sekitar. Pak Agus merupakan warga Kampung Warna-Warni, sekaligus seorang pelukis gambar-gambar yang menghiasi beberapa bagian tembok di kampung.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/feed/ 0 45845
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/#respond Mon, 03 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45835 Kota Malang pada Minggu pagi di awal Desember tahun lalu berselimut mendung. Dengan harap-harap cemas, hati kecil saya berdoa semoga tidak hujan. Maklum saja, beberapa hari belakangan, hujan senantiasa mengguyur Kota Malang. Saya hendak mengikuti...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota Malang pada Minggu pagi di awal Desember tahun lalu berselimut mendung. Dengan harap-harap cemas, hati kecil saya berdoa semoga tidak hujan. Maklum saja, beberapa hari belakangan, hujan senantiasa mengguyur Kota Malang. Saya hendak mengikuti tur heritage “Riwa Riwi Oyi”. Ini untuk pertama kalinya saya ikut. Sebelumnya, penyelenggara sudah mengadakan tur serupa ke balai kota dan Stadion Gajayana.

Memasuki perempatan Kelenteng Eng An Kiong dengan laju motor agak cepat, saya melewati salah satu persimpangan jalan tersibuk di kota ini. Pagi itu, suasana lalu lintas sudah mulai ramai meski waktu masih menunjukkan pukul 07.00. Sementara di samping kelenteng, aktivitas pasar telah dipenuhi manusia dan kendaraan. 

Usai melaju di Jalan Pecinan Besar, saya bergerak ke arah Kudusan kemudian belok lagi ke kanan. Tak sampai seratus meter, saya melambatkan motor sebelum berhenti sejenak untuk menyeberang. Saya memasuki halaman depan sebuah bangunan berpagar hitam dengan dominasi warna putih di dinding. Untuk ketiga kalinya saya ke sini. Kunjungan pertama, bangunan ini masih terbengkalai. Lalu kunjungan kedua dan ketiga, bangunan ini telah berubah rupa menjadi semacam kafe dengan ruang pameran di dalamnya.

Beberapa orang telah tiba terlebih dahulu. Setelah menyapa sejumlah peserta, saya mendaratkan tubuh ke sebuah kursi kayu yang diletakkan di depan bangunan. Sesaat, mata saya tertuju pada langit yang masih digelayuti mendung. Sesudah menunggu sekitar 30 menit, saya dan peserta lain memulai perjalanan. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan gedung yang pernah digunakan sebagai markas Freemason/Dewi Sartika

Markas Freemason di Jalan Aries Munandar

Jalan Aries Munandar. Titik kumpul kegiatan sekaligus kawasan pertama yang menjadi tujuan kami. Saya sudah cukup familiar dengan area ini karena sebelumnya pernah mengikuti tur heritage yang memasukkan Jalan Aries Munandar sebagai destinasinya.

Berada di Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Jalan Aries Munandar juga menyimpan bangunan-bangunan tua era kolonial yang terdapat di sepanjang jalan. Tentu saja, bangunan-bangunan ini berdiri berdampingan dengan bangunan modern lainnya. Salah satunya adalah Kafe Pop Mason 52, titik awal pemberangkatan kami. 

Bagi orang awam, bisa jadi gedung ini tak ada bedanya dengan bangunan lain yang menghiasi Jalan Aries Munandar. Namun, jangan salah, Kafe Pop Mason 52 ternyata menyimpan kisah menarik untuk disimak. Siapa yang mengira, dahulu pada masa kolonial, Kafe Pop Mason 52 pernah menjadi markas organisasi Freemason. Bangunannya sendiri diresmikan pada 11 April 1914.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Agung Buana memberi penjelasan kepada para peserta tur/Dewi Sartika

“Freemason menggunakan gedung ini untuk perpustakaan di lantai satu dan aktivitas lainnya di lantai dua. Saat ini, lantai satu digunakan untuk kafe, di belakang digunakan untuk homestay, sementara di lantai duanya digunakan untuk galeri,” jelas Agung Buana, pemandu tur.

Ia mempersilakan para peserta naik ke lantai dua untuk melihat-lihat. Sebelumnya, lelaki yang juga menjabat sebagai kepala rumah tangga di Balai Kota Malang ini memberitahu kami, bahwa kondisi di lantai dua sedikit berantakan mengingat minggu sebelumnya ada pameran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)

Bersama peserta lainnya, saya meniti anak tangga yang bentuknya sedikit curam dan sempit. Beberapa lukisan masih terpasang di dinding dan tergeletak di lantai. Sejumlah potongan kertas berisi nama pelukis dan judul lukisan juga masih menempel di tembok lantai dua. Tak afdal rasanya memasuki bekas markas Freemason tanpa melihat ciri khasnya, yaitu lantainya yang berwarna hitam-putih. Itu pula yang menjadi tujuan saya. Meskipun sebelumnya sudah pernah melihat, tetapi hal ini masih menarik minat saya untuk kembali melihatnya.

Lantai dua disekat menjadi dua bagian. Bagian depan terdapat balkon, sedangkan lantai hitam-putih ada di bagian belakang. Lantai yang menyerupai papan catur tersebut tampak kusam di beberapa bagian. Maklum saja, bagian ini masih asli sejak awal berdiri. Saya kemudian teringat akan ruangan di Hotel Shalimar yang juga pernah menjadi markas Freemason. Lantainya juga hitam-putih, hanya saja tidak kusam karena memang bukan orisinal.

Selain gedung bekas markas Freemason, di Jalan Aries Munandar juga terdapat bangunan tua lainnya yang sudah ada sejak zaman kolonial. Di seberang Kafe Pop Mason 52, terdapat sebuah rumah tua peninggalan masa kolonial dengan tulisan “1913” di bagian atasnya, yang merujuk pada tahun pendirian rumah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Salah satu rumah tua di Jalan Aries Munandar yang dibangun pada tahun 1913/Dewi Sartika

Arsitektur Chalet di Bekas Sekolah Tionghoa

Berjarak sekitar 50 meter dari Kafe Pop Mason 52, ada bangunan milik ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij) atau perusahaan listrik yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Kami berdiri di tepi jalan. Di seberang jalan, gedung bercat biru berdiri kokoh. Dulunya, gedung tersebut berfungsi sebagai rumah generator yang memasok tenaga listrik untuk daerah sekitarnya, seperti Kota Lama, Pecinan hingga daerah Klojen. Diperkirakan gedung tersebut dibangun pada awal tahun 1900-an.

“Menjelang tahun 1940-an, kantor ANIEM pindah ke Kayutangan. Ada perbedaan yang menarik. Gedung ini, ornamennya masih sama, yang beda cuma warnanya saja. Atapnya juga agak beda sedikit, tapi yang lainnya masih sama. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai gudangnya PLN,” ucap Agung.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Bangunan bekas kantor ANIEM yang kini menjadi gudang PLN/Dewi Sartika

Kami lalu beranjak lagi, tak jauh dari bekas gedung ANIEM. Kami berdiri di depan sebuah bangunan yang sekarang difungsikan sebagai kafetaria, dengan menu andalan pizza. Dilihat dari depan, bangunan ini sepertinya tak memiliki nilai historis. Namun, begitu bola mata ini mendongak, ada yang istimewa dari bangunan itu. Ya, bagian atasnya berupa ornamen kayu mirip kipas. Masih asli. 

Agung pun memuji ornamen tersebut. Menurutnya, dibandingkan bangunan lain di Kota Malang yang rata-rata ornamennya tempelan dari semen, ornamen kayu ini terkesan mewah dan artistik. Ia juga menambahkan, kayu yang digunakan jelas merupakan kayu pilihan. Sebab, sifatnya kering dan kuat sehingga mampu bertahan kurang lebih seratus tahun.

Dari dulu, sebenarnya saya agak penasaran dengan bentuk ornamen itu. Sepanjang tur heritage yang pernah saya ikuti, ornamen kayu menyerupai kipas seingat saya hanya ada di bangunan tersebut. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab beberapa hari kemudian. Sebuah info penting tentang ornamen diunggah Anthony, pemilik kafetaria yang juga turut menyertai perjalanan tur di grup Whatsapp Temenggoengan Heritage.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan bangunan berarsitektur Chalet yang telah terbagi menjadi dua bagian/Dewi Sartika

Berdasarkan keterangan dari Olivier Johannes Raap, penulis sejumlah buku, seperti Djawa Tempo Doeloe, Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, dan Kota di Djawa Tempo Doeloe, bangunan dengan ornamen kayu tersebut bergaya arsitektur Chalet. Gaya ini terinspirasi dari rumah adat di daerah perdesaan dan pegunungan di Eropa.

Sayangnya, bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai sekolah Tionghoa (Holland Chinese School) ini terpotong menjadi dua karena kepemilikan yang berbeda. Tepat di sebelah kafetaria, ada sebuah kafe. Berdasarkan penelusuran Anthony, tidak ada data lengkap mengenai bangunan yang ia miliki. Sampai sekarang, lelaki dari Jakarta itu pun masih berusaha mencari informasi mengenai bangunan tersebut hingga ke Belanda. Hal ini berbeda dengan data-data terkait bangunan-bangunan tua lainnya di Jalan Aries Munandar yang terbilang lengkap.

Sementara itu, Agung menuturkan, bangunan-bangunan di Kota Malang—termasuk di Klojen Kidul—punya sejarah panjang. Menunjukkan bahwa dulunya adalah daerah aktivitas utama sebelum bergeser ke arah barat. Setidaknya, ada bukti lain yang menunjukkan hal tersebut.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/feed/ 0 45835
Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/ https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/#respond Fri, 13 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42647 Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini...

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar dengan halaman luas. Belum lagi deretan pohon palem raksasa di kanan-kiri jalan. Sementara bagian tengahnya ada taman yang berbentuk memanjang.

Intinya, Jalan Ijen atau sering disebut Idjen Boulevard ini tertata sangat baik. Bisa jadi karena kawasan ini adalah salah satu landmark Kota Malang sehingga harus selalu terlihat cantik. Rumah-rumah megah dengan berbagai gaya seolah menandakan bahwa tempat ini bukanlah kawasan sembarangan. Kenyataannya memang demikian, karena Idjen Boulevard merupakan permukiman elit dari masa kolonial Belanda hingga saat ini.

Saking cantiknya Idjen Boulevard ketika itu, tempat ini pernah dinobatkan sebagai kawasan terbaik pada masa kolonial. Idjen Boulevard sendiri membentang dari selatan ke utara. Mulai dari perempatan Jalan Kawi hingga perlimaan Gereja Katedral Ijen.

Kesempatan untuk menjelajahi tempat ini sambil mendengarkan kisah sejarah Idjen Boulevard, kembali saya dapatkan pada Februari lalu. Sewaktu saya mengikuti tur heritage bertema Nooit Klaar yang diadakan Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Dalam bahasa Belanda, Nooit Klaar mempunyai arti perencanaan yang belum selesai.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Para peserta mendengarkan arahan sebelum tur dimulai/Dewi Sartika

Dari Rumah Bentoel ke Rumah Soesman

Dulunya, kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya di masa kolonial memang masuk dalam bouwplan (rencana penataan kota) VII Kota Malang. Pada waktu itu, pemerintah Belanda berencana membangun kota ini secara bertahap melalui sejumlah bouwplan. Sayangnya, ketika Belanda hendak melengkapi pembangunan kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, Jepang keburu masuk ke Indonesia pada tahun 1942.

Warsa 1917, bouwplan Kota Malang pertama kali dilaksanakan. Sementara bouwplan VII yang meliputi Idjen Boulevard dan sekitarnya baru dilakukan tahun 1935. Perencanaan tata kota kawasan ini sendiri diarsiteki Thomas Karsten, yang dikenal juga sebagai orang di balik pembangunan Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Hardjonagoro di Solo.

Bouwplan VII merupakan kelanjutan dari proyek bouwplan V yang dimulai dari Jalan Semeru dengan dua gedung kembar yang mengapit jalan tersebut hingga ke arah barat yang tembus ke Jalan Ijen (Idjen Boulevard).

Saya berjalan beriringan dengan salah satu peserta yang saya kenal di tur-tur heritage sebelumnya. Kami menyusuri Jalan Semeru mengikuti instruksi Irawan Paulus, pemimpin tur. Bersama peserta lainnya, kami berangkat dari titik kumpul yang berada di Jalan Sumbing kemudian menyeberangi jalan. Selanjutnya kami singgah dan berdiri di samping gedung perpustakaan Kota Malang.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Rumah Bentoel sebelum ditutupi seng/Dewi Sartika

“Bangunan bercat merah yang ada di hadapan kita ini sering disebut sebagai ‘Rumah Bentoel’. Kenapa demikian? Karena dulunya rumah tersebut memang dimiliki pengusaha rokok cap Bentoel sehingga dinamai Rumah Bentoel,” jelas lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Om Ir itu.

Sebagai permukiman elit, rumah-rumah di Jalan Ijen memang dibangun untuk kebutuhan tempat tinggal bagi orang-orang kulit putih maupun orang berada yang termasuk dari kalangan Tionghoa. Rumah Bentoel mulanya dimiliki The Bo Gwan. Rumah ini berdiri pada tahun 1935 dengan Liem Bwan Tjie sebagai arsiteknya. Ia dikenal sebagai arsitek Tionghoa pertama di Kota Malang.

Sebelum mendapat sebutan Rumah Bentoel, bangunan yang terletak di Jalan Semeru dan Jalan Ijen tersebut juga pernah menjadi kediaman Wali Kota Malang semasa pendudukan Jepang, Raden Adipati Ario Sam (1942–1954), kemudian dimiliki pengusaha rokok Bentoel. Menurut kabar terakhir yang diperoleh ICH, kepemilikan rumah tersebut sudah beralih tangan ke pihak lain.

Sayangnya, keasrian dan keindahan bangunan era kolonial tersebut terancam. Sudah beberapa minggu belakangan, rumah yang didominasi warna merah itu ditutupi seng. Bukan rahasia umum lagi, apabila sebuah rumah telah tertutup seng, dipastikan bangunan tersebut akan berubah. Hal ini pula yang pernah saya temui di kawasan Idjen Boulevard beberapa waktu lalu. Semoga saja apa yang saya perkirakan tersebut salah.

Tak berselang lama sesudah para peserta berjalan, kami kemudian berhenti beberapa meter dari bangunan Perpustakaan Kota Malang. Perhatian saya dan lainnya tertuju ke seberang jalan, saat Om Ir menunjuk sebuah rumah di samping Museum Brawijaya.

Diperkirakan rumah tersebut dibangun pada 1930-an. Pemiliknya bernama Soesman. “Dulu, ada dua orang bernama Soesman. Yang satu orang Belanda berdarah campuran, satunya lagi pribumi. Dugaan saya, pemilik rumah yang ada di belakang saya ini adalah Soesman, orang Belanda berdarah campuran,” ucap Om Ir ketika menerangkan singkat tentang pemilik awal rumah tersebut.

Berdasarkan kisah yang diperoleh, Soesman merupakan anggota volksraad (dewan rakyat) sekaligus aktif di Indo-Europeesch Verbond (IEV). Ia juga yang berupaya mempertahankan bouwplan VI (kawasan yang diberi nama pulau-pulau) sebagai tempat hunian bagi kaum menengah ke bawah, karena sebelumnya ada rencana akan dibuat sebagai area industri pada saat itu. Sayangnya, rumah milik Soesman sekarang sudah berubah bentuk. Hanya atapnya saja yang masih asli.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Gardu ANIEM di Idjen Boulevard/Dewi Sartika

Sejumlah Ciri Khas Kawasan Idjen Boulevard

Selesai mendengar penjelasan, kami kemudian meneruskan langkah menyusuri jalur pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang Jalan Ijen. Sesekali saya menengok ke atas, lalu menyadari bahwa saya seolah seperti kurcaci yang berada di bawah barisan pohon palem yang sudah ada sejak kawasan ini mulai dibangun. Tak luput, sepasang mata saya juga mengedarkan pandangan ke rumah-rumah yang kami lewati saat itu.

Sementara itu, lalu-lalang kendaraan tak berhenti melewati jalan kembar yang berada di Idjen Boulevard. Ya, kawasan ini dibelah dua jalan yang dipisahkan taman yang membentang di sepanjang Jalan Ijen. Dikutip dari Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, boulevard sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti dua ruas jalan dengan taman yang ada di tengah-tengahnya. 

Pada salah satu taman, terdapat gardu ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij), perusahaan listrik yang berdiri pada 1909. Fungsinya untuk menyalurkan listrik melalui kabel ke rumah-rumah di kawasan Idjen Boulevard.

“Rumah-rumah yang ada di kawasan ini dulunya tidak dibangun secara serentak, tetapi setahap demi setahap,” ucap lelaki kelahiran 1967 tersebut.

Bentuk rumah-rumah di sepanjang Idjen Boulevard sekarang sudah bercampur. Ada bangunan peninggalan kolonial, ada juga yang sudah beralih rupa menjadi bangunan bergaya modern. Om Ir menjelaskan bahwa dulunya tipe rumah-rumah di Idjen Boulevard berbentuk rumah vila dengan ukuran sekitar 1.000 meter persegi (paling kecil 600 meter persegi), dengan ukuran bangunan banding tanah adalah 50:50.

Rumah vila di Idjen Boulevard yang masih bisa dilihat adalah sebuah rumah bertingkat dengan tulisan De Vliering di salah satu bagian atasnya. Tidak seperti rumah dua lantai zaman sekarang yang terdiri dari beberapa ruangan, lantai dua di De Vliering hanya berisi satu kamar saja.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Irawan Paulus dengan sebuah foto rumah De Vliering/Dewi Sartika

Ciri khas Idjen Boulevard tak hanya rumah vila saja, tetapi juga menyangkut jalur pejalan kaki. Dulunya pedestrian tidak mulus seperti saat ini (dilapisi lantai), tetapi hanya berupa tanah yang dilapisi batu-batu kecil. Tujuannya agar air hujan yang jatuh di jalur pejalan kaki bisa meresap ke tanah dan tidak meluber ke jalan.

“Dulu, di sini masih terdapat burung-burung manyar yang hinggap di pohon-pohon palem yang ada di sepanjang Jalan Ijen. Sekarang sudah habis karena diburu manusia. Tupai juga masih ada saat itu,” kenang Om Ir kepada para peserta.

Kami melanjutkan perjalanan lalu berhenti kembali di depan sebuah jalan yang menyerupai gang yang diapit dua rumah. Dari penjelasan Om Ir, kami mengetahui kegunaan jalan ini di masa kolonial dulu.

Dulunya, jalan ini disebut brandgang yang berarti gang kebakaran. Brandgang ini bisa ditemui di setiap permukiman yang dibangun pemerintah Belanda saat itu. Keberadaan gang tersebut digunakan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalan yang dilalui mobil pemadam kebakaran seandainya terjadi kebakaran. Sayangnya, kini gang yang menghubungkan Idjen Boulevard dan Jalan Rinjani tersebut menjadi jalan buntu.

Salah satu rumah bergaya kolonial yang mengapit brandgang pernah menjadi rumah kos anak laki-laki (jongen) sebagaimana iklan termuat di Soerabaijasch Handelsblad tahun 1935—yang ditunjukkan kepada peserta tur. Tentu saja, saat itu yang mampu ngekos adalah anak-anak Belanda yang bersekolah di Kota Malang. 

Jadi, rumah kos ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berbeda dengan kos zaman sekarang yang cenderung bebas, menurut Om Ir, pada masa itu anak-anak yang kos tinggal satu atap dengan induk semang atau pemilik kos. Sejujurnya, cerita ini mengingatkan saya kepada kisah Presiden Sukarno ketika indekos di rumah HOS Cokroaminoto.

Waktu terus bergerak menuju siang hingga akhirnya tiba di perlimaan yang ditandai dengan keberadaan Gereja Katedral Ijen. Sembari berjalan, dalam hati saya membayangkan bagaimana kondisi kawasan bouwplan VII tempo dulu dan merasa beruntung masih bisa menikmati kawasan ini.

Rasa-rasanya tak berlebihan, sebagai warga Kota Malang, saya sangat berterima kasih kepada Thomas Karsten atas mahakaryanya yang satu ini. Meskipun nasib arsitek kelahiran Amsterdam tersebut harus berakhir pada 1945 di kamp interniran di Cimahi, sewaktu pendudukan Jepang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/feed/ 0 42647
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/#respond Fri, 16 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42517 Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya. Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya.

Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu akhirnya berjumpa dengan juru kunci tempat ini. Namanya Nurrasul. Ia sedang berada di sebuah gazebo yang difungsikan sebagai tempat cangkruk (kongko). Setelah Titu memberitahunya kalau kami tidak bisa masuk karena terkunci, ia kemudian mengantarkan kami ke makam Ki Ageng Gribig.

Seperti sebelumnya, kami juga hanya sebentar di dalam makam Ki Ageng Gribig. Kami lalu kembali menemui Nurrasul yang masih berada di gazebo.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Nurrasul, juru kunci makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Cerita dari Juru Kunci

Sungguh, saya dan Titu merasa beruntung bisa bertemu Nurrasul. Kami berdua mulai mengorek kisah tentang kawasan makam ini. Kepada kami, lelaki kelahiran 1961-an itu membuka cerita bahwa kompleks makam tersebut ada setelah bupati pertama Malang wafat.

“Kalau ditanya berapa luas pesarean ini, kurang lebih satu hektare, ya. Sementara penghuni makam di sini selain Ki Ageng Gribig dan bupati Malang, mereka harus kerabat dari keturunan bupati Malang,” ucap Nurrasul.

Mendengarnya penjelasan Nurrasul, akhirnya teka-teki keberadaan makam bupati Banyuwangi dan bupati Bondowoso di kompleks ini terjawab. Sekaligus menyudahi rasa penasaran saya.

Nurrasul menambahkan, di samping mereka yang masih keturunan keluarga bupati Malang, terdapat pula makam murid-murid Ki Ageng Gribig. Namun, untuk hal ini, ia tak mengetahui nama-nama murid tersebut mengingat umur makamnya sendiri sudah sangat tua. Ditambah tak ada keterangan nama pada nisan.

Lelaki yang mulai menjadi juru kunci lima tahun lalu itu menambahkan, biasanya makam-makam yang masih diziarahi para pengunjung atau keluarga memiliki ciri, yaitu makamnya dipagari. Sementara makam-makam tanpa pagar adalah kuburan tua yang tidak dikunjungi oleh keturunannya atau makam tak dikenal.

Saat saya bertanya tentang status cagar budaya makam ini, Nurrasul menjelaskan bahwa makam bupati Malang telah ditetapkan sebagai cagar budaya karena merupakan bangunan asli. Saya pun teringat dengan sebuah papan yang tertempel di dinding, isinya penetapan bangunan yang dilindungi tersebut. Ia juga memperkirakan, bangunan makam itu ada setelah Raden Adipati Ario Notodiningrat II dan Raden Tumenggung Notodiningrat I wafat.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)

Lebih lanjut, dari cerita yang beredar, dulunya bangunan makam tersebut akan dipakai sebagai masjid. Namun, karena suatu hal, rencana itu terlaksana. Sejauh ini, dua bangunan makam utama bupati Malang hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak didirikan, mulai dari tembok hingga kayu. Dari keterangan Nurrasul, satu-satunya yang berubah hanyalah genteng bangunan yang pernah rusak kemudian diganti di masa kepemimpinan Bupati Abdul Hamid Mahmud (1985–1995).

“Yang jelas makam Ki Ageng Gribig ini sudah ada terlebih dahulu ketimbang dua makam bupati. Karena Ki Ageng Gribig ini sangat dihormati, maka bupati Malang pertama berpesan kepada penerusnya untuk dikubur berdekatan dengan Ki Ageng Gribig,” jelas pria yang tinggal tak jauh dari makam itu.

Nurrasul pun menyebut jumlah makam di kompleks ini di atas 100, dengan jumlah makam yang ada penandanya sebanyak 160 makam. Sementara itu, makam Ki Ageng Gribig ternyata bukanlah makam tertua. Ia mengatakan masih ada makam yang jauh lebih tua. Diperkirakan makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi atau masa akhir Majapahit yang ditandai dengan gambar matahari pada nisan.

Tentang nisan sendiri, ada satu hal yang membuat saya penasaran sejak masuk ke makam Raden Adipati Ario Notodiningrat II. Mengapa nisan mantan penguasa Malang tersebut disarungi kain?

Saat bertanya ke Nurrasul, jawabannya sangat sederhana. Supaya nisan tidak kotor.

“Nisan-nisan yang ada di makam ini ada yang terbuat dari teraso, ada juga yang dari kayu. Kalau nisan bupati kedua Malang dari teraso, sementara nisan Ki Ageng Gribig dari marmer, tetapi sudah diganti,” ujarnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Tempat “Ngalap” Berkah yang Minim Perhatian

Kendati cukup sepi, bukan berarti tempat ini jarang dikunjungi. Dari keterangan Nurrasul, makam Ki Ageng Gribig banyak didatangi pengunjung saat Jumat Legi. Bahkan ada yang datang dari luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, Mojokerto, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Kebanyakan pengunjung melakukan kegiatan yasinan dan tahlil. Sementara di hari biasa, makam ini dikunjungi orang-orang berlatar akademis yang hendak melakukan penelitian.

Omong-omong soal pengunjung, Nurrasul membagikan pengalaman menarik selama menjadi juru kunci makam. “Paling ramai itu sewaktu Pemilu kemarin. Banyak caleg (calon legislatif) yang datang ke sini untuk ngalap (mencari) berkah. Terus akhir-akhir ini juga beberapa calon wali kota Malang juga berkunjung. Ada yang datang antara jam 12 dan jam 1 pagi. Cerita ini saya dapat dari warga sekitar,” katanya.

Beberapa nama sempat ia sebut. Nama-nama yang sangat familiar di telinga saya, mengingat baliho dan poster mereka sering saya jumpai di jalan.

Lalu saat saya menanyakan biaya perawatan makam, ia memberitahu bahwa dana yang dipakai berasal dari kotak infak atau swadaya masyarakat sekitar. Hasilnya untuk kegiatan operasional, termasuk membayar tukang sapu makam. Tak ada bantuan dari Pemerintah Kota Malang atau Kabupaten Malang. Nurrasul mengungkap bantuan terakhir yang ia terima berasal dari Kabupaten Malang sekitar tiga tahun lalu. 

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Beberapa makam di samping bangunan makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Warga Lesanpuro tersebut sehari-hari berada di makam mulai pagi hingga sore. Ketika siang tiba, ia akan pulang untuk beristirahat sebelum kembali bertugas. Ia juga bercerita mengenai buyutnya yang sudah menjadi juru kunci sejak tahun 1800–an. Dari cerita yang ia dapatkan, bupati pertama Malang-lah yang menunjuk langsung keluarga Nurrasul sebagai kuncen.

“Karena turun-temurun jadi kuncen, keluarga saya dimakamkan di sini termasuk buyut saya. Kalau saya nanti masih belum tahu, dimakamkan di sini atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri menggantikan sang ayah sejak tahun 2019.

Saya tergelitik mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, bagaimana seandainya anak Nurrasul tak berminat meneruskan pekerjaan sebagai kuncen?

Ada alasan saya bertanya tentang hal ini. Bagi saya, minat generasi muda saat ini terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah atau nilai-nilai lokalitas terus-menerus menurun. Atau bahkan tidak tertarik sama sekali. 

Mendengar pertanyaan saya, Nurrasul menghela napas panjang. “Ya, kalau anak saya enggak mau, nanti yang menggantikan saya adalah adik saya,” jawabnya. Sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan menghiasi wajahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/feed/ 0 42517
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/#respond Wed, 14 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42503 Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun dari boncengan. Kami beranjak memasuki gerbang pemakaman.

Sebenarnya, keinginan saya untuk berkunjung ke tempat ini cukup besar sejak dulu. Namun, karena beberapa hal, saya baru bisa mewujudkannya baru-baru ini. Sejujurnya, meski sudah lama tinggal di Malang, tetapi keberadaan pesarean (makam) Ki Ageng Gribig baru saya dengar beberapa waktu lalu. Bukan cuma saya saja yang tidak tahu, melainkan juga masyarakat Malang pun tak banyak yang menyadari. Setidaknya hal inilah yang diakui juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang sempat saya temui.

Akses menuju makam di Jalan Ki Ageng Gribig Gang 3 tersebut sangat mudah. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi jarak dari pusat kota hanya sekitar 25 menit. Bagi pengunjung luar kota, makam Ki Ageng Gribig juga bisa dicapai melalui pintu keluar tol Malang (Madyopuro) yang hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Sosok Ki Ageng Gribig

Suasana pagi di makam Ki Ageng Gribig pada Minggu (19/4/2024) terpantau sepi. Suasana asri menjadi hal pertama yang saya tangkap. Kami berdua lalu menghampiri lelaki yang saat itu sedang menyapu. Kami berpikir dia adalah juru kunci (kuncen) makam. Ternyata kami salah. Kepada kami, ia mengaku hanya petugas kebersihan makam. Ia kemudian memberitahu kami nama penjaga makam.

Sebelum berlalu, saya beranjak memasukkan selembar uang ke dalam kotak infak yang ada di dekat gerbang makam.  Setelah itu, saya dan Titu lanjut jalan untuk melihat-lihat area kompleks makam.

Makam Ki Ageng Gribig sebenarnya menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kota Malang, selain Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di pusat kota. Sesuai namanya, di kompleks makam ini memang terdapat kuburan Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di Malang.

Diduga, Ki Ageng Gribig merupakan keturunan seorang kesatria bernama Menak Koncar dan berasal dari Mataram. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Saat itu, Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain, termasuk daerah Malang dan sekitarnya

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Lorong hening/Dewi Sartika

 Ki Ageng Gribig dikirim ke wilayah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Semula Ki Ageng Gribig ditugaskan di Pasuruan, lalu setelah itu pindah ke Malang—dulunya masuk wilayah Pasuruan. Adapun Kampung Gribig sendiri kemungkinan sudah eksis sejak zaman Majapahit di bawah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Menurut Devan Firmansyah, pemerhati sejarah sekaligus penulis sejumlah buku tentang sejarah Malang Raya, menyebut identitas Ki Ageng Gribig di Malang cukup beragam. Ki Ageng Gribig disebut paman Sunan Giri, cucu Sunan Giri, cucu Raja Blambangan, atau cucu Untung Surapati.

Dari empat kemungkinan tersebut, Devan meyakini Ki Ageng Gribig di Malang bisa jadi  merupakan cucu Raja Blambangan (Menak Koncar) atau cucu Untung Surapati. Namun, ia belum bersedia berkomentar lebih lanjut tentang hal ini. “Nanti tak jadikan buku dulu, Mbak, biar enak membacanya,” jawabnya melalui pesan Whatsapp kepada saya.

Ya, ia memang sedang menyusun buku tentang sejarah Ki Ageng Gribig untuk diterbitkan. Selain menjelaskan latar belakang Ki Ageng Gribig, Devan juga masih berusaha menghubungkan Ki Ageng Gribig Jatinom di Klaten dengan Ki Ageng Gribig di Malang. 

“Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) saya. Kedua tokoh tersebut ada hubungan apa,” sambungnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Bagian dalam bangunan makam bupati kedua Malang/Dewi Sartika

Menelusuri Dua Bangunan Makam Utama

Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya dan Titu secara acak melihat-lihat berbagai makam yang ada di kompleks. Pandangan kami lalu tertuju pada sebuah bangunan yang mencolok mata dengan dominasi warna putih pada dinding dan sepasang daun pintu bercat hijau. Dilihat dari bentuk pintu dan dua jendela yang berukuran besar, sepertinya bangunan tersebut sudah berusia tua.

Sebuah foto Raden Adipati Ario Notodiningrat II terpajang di samping pintu. Ia adalah bupati kedua Malang yang memerintah mulai tahun 1839 hingga 1884. Saya pun akhirnya menyadari di dalam bangunan tersebut terdapat makam.

Berhubung pintunya tertutup, semula kami ragu-ragu untuk masuk. Saya bahkan mengintip dari jendela untuk melihat bagian dalam. Tak berselang lama, kami pun memutuskan masuk. Selain pusara sang bupati yang berhias gorden putih dengan kain kuning menutupi nisan, juga terdapat beberapa nisan kayu kerabat dekat sang bupati.

Kami tak lama berada di dalam. Selanjutnya kami kembali melihat sejumlah makam yang ada di bagian depan bangunan tersebut. Salah satunya adalah kuburan Raden Ario Soeroadikoesoemo yang wafat pada 28 Juni 1946. Sebagaimana tulisan yang terpasang di pagar makam, disebutkan bahwa ia merupakan seorang pensiunan patih di Malang.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Setelah mengamati dari dekat, kami langkahkan kaki menuju tempat lain. Tepat di belakang bangunan pertama, ada bangunan lain yang bentuknya serupa dengan sebelumnya. Kali ini, tempat yang hendak kami masuki adalah bangunan makam Raden Tumenggung Notodiningrat I alias Raden Pandji Wielasmorokusumo. Dialah bupati Malang pertama selama periode 1819–1839.

Dalam Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, dijelaskan bahwa kawasan Malang dahulu kala masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, para bupati Malang yang memerintah masih terhitung keturunan Surakarta. Tidak mengherankan bila sejumlah bupati Malang pun mempunyai gelar khas bangsawan Jawa.

Untuk menuju makam Raden Tumenggung Notodiningrat, kami harus belok melewati jalan kecil yang berada di samping bangunan pertama. Sesuai yang tertera di papan penunjuk, jalan ini dinamakan Lorong Hening. Saya tak mengetahui alasan di balik penamaannya.

Sebelum memasuki bangunan tersebut, ada sejumlah makam yang terletak di sekitarnya, seperti pusara bupati Banyuwangi, KRT. Ario Notodiningrat yang wafat 6 November 1918, maupun makam Raden Toemenggoeng Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai bupati Bondowoso.

Sama seperti kuburan Raden Adipati Ario Notodiningrat II, di bagian dalam bangunan juga terdapat sejumlah makam. Persisnya 25 makam kerabat terdekat bupati pertama Malang tersebut. Bentuk makam juga tak beda jauh dengan sebelumnya, dikelilingi gorden dan pada nisan ditutupi kain kuning.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Makam Utama yang Lebih Sederhana

Selanjutnya, kami menuju pesarean paling kesohor di kompleks makam ini, yaitu Ki Ageng Gribig. Ketika berjalan, mata saya tertuju pada bangunan terbuka berisi kuburan yang dikelilingi pagar putih. Papan nama terpasang di langit bangunan bertuliskan Pesarean Nyai Kanigoro (garwo Sayyid Sulaiman Mojoagung). Dalam bahasa Jawa, kata garwo kurang lebih bermakna istri.

Nyai Kanigoro sendiri merupakan putri dari Ki Ageng Gribig. Ia dipersunting Sayyid Sulaiman, salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa Timur. Kuburan Nyai Kanigoro berada tepat di depan makam Ki Ageng Gribig.

Dibandingkan dengan dua bangunan awal yang kami masuki, bangunan makam Ki Ageng Gribig terlihat lebih sederhana. Menurut saya, bangunannya menyerupai langgar (musala) kecil dengan dua pintu. Ketika hendak masuk, saya dan Titu harus mengurungkan niat karena kedua pintunya terkunci. Berhubung tak bisa masuk, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kompleks makam yang asri dan rimbun. Bagi saya, kondisinya lebih mirip kebun raya.


Referensi

Aminudin, M. (2023, 26 Maret). Menilik Makam Ki Ageng Gribig, Tokoh Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6638958/menilik-makam-ki-ageng-gribig-tokoh-penyebar-islam-di-malang.
Aminudin, M. (2023, 27 Maret). Asal-usul Ki Ageng Gribig Sosok Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6640618/asal-usul-ki-ageng-gribig-sosok-penyebar-islam-di-malang.
Anggraeni, P. (2018, 12 September). Masjid An-Nur Celaket; Dibangun Keturunan Sunan Gunung Jati, Saksi Penyebaran Islam di Malang. Diakses pada 24 Mei 2024 dari https://jatimtimes.com/baca/178841/20180912/081400/masjid-annur-celaket-dibangun-keturunan-sunan-gunung-jati-saksi-penyebaran-islam-di-malang.
Mahmudan. (2024, 1 April). Ternyata Begini Sejarah Ki Ageng Gribig, Babat Alas dan Jadi Penyebar Islam di Malang Timur. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://radarmalang.jawapos.com/sosok/814502434/ternyata-begini-sejarah-ki-ageng-gribig-babat-alas-dan-jadi-penyebar-islam-di-malang-timur?page=2.
Widodo, D. I. (2006). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayumedia Publishing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/feed/ 0 42503