Dhave https://telusuri.id/penulis/dhave-dhanang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 30 Jul 2019 11:54:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dhave https://telusuri.id/penulis/dhave-dhanang/ 32 32 135956295 Maso Minta, Mahalnya Melamar Nona Timor https://telusuri.id/masominta/ https://telusuri.id/masominta/#respond Thu, 06 Apr 2017 10:46:45 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=692 “Kalo ada yang mo maso minta, nona tarima saja, jang ale pikir beta lai, perkara cinta beta cinta, mo sayang paling sayang, marsio mo biking apa, parcuma beta susah di rantau.“ Artinya: kalau ada yang...

The post Maso Minta, Mahalnya Melamar Nona Timor appeared first on TelusuRI.

]]>

Kalo ada yang mo maso minta, nona tarima saja, jang ale pikir beta lai, perkara cinta beta cinta, mo sayang paling sayang, marsio mo biking apa, parcuma beta susah di rantau.

Artinya: kalau ada yang mau melamar, nona terima saja, jangan pikirkan saya, perkara cinta saya cinta dan sayang, tetapi apa boleh buat, percuma saya sedang susah di rantau. Tetiba saya teringat lagu tersebut saat berada di tengah-tengah Pulau Timor. Kebetulan saya sedang mengikuti prosesi maso minta (lamaran). Di sinilah saya baru mengerti betapa peliknya prosesi yang harus dijalani kedua calon mempelai Timor untuk menikah.

Soal budaya melamar, masing-masing daerah memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Bagi pemuda kawasan Indonesia timur, lamaran acap kali menjadi sesuatu yang menakutkan. Bukan takut menghadapi keluarga mempelai, tetapi takut akan harga maskawin yang dipatok. Konon, di beberapa daerah untuk melamar perempuan sudah dipasang tarif yang didasarkan pada gelar pendidikan. Semakin tinggi gelarnya, semakin mahal harga maskawinnya. Ada yang dibayar dengan beberapa ekor hewan ternak seperti sapi, kuda, atau babi. Lebih ekstrem, ada pula yang satuannya bukan lagi “ekor” tetapi “kandang.” Namun ada juga permintaan yang terkadang kelewat batas, seperti adat di Flores yang harus membawa gading. Jelas-jelas di sana tidak ada gajah.

maso minta Sapi menjadi salah satu maskawin untuk meminang gadis Timor

Sapi menjadi salah satu maskawin untuk meminang gadis Timor/Dhave Dhanang

Saya terkesima dengan lelaki asal Rote yang ingin melamar gadis pujaanya asal Timor dari suku Amanuban. Dia jauh-jauh datang dari Pulau Rote membawa keluarga besarnya untuk melakukan prosesi maso minta. Tak beda dengan adat di Jawa yang harus membawa seserahan, di sana pengantin pria juga mesti membawa seserahan yang disebut dengan dulang. Mempelai lelaki akan membawa minimal lima dulang yang isinya barang-barang berharga. Dulang-dulang tersebut diberikan kepada calon mempelai wanita, ibu mertua, ayah mertua, keluarga besar, dan tokoh adat. Uniknya, pihak perempuan juga akan memberikan dulang yang sama, namun biasanya harganya di bawah dulang pihak laki-laki.

Prosesi diawali dengan kedatangan calon mempelai laki-laki berserta keluarga besarnya. Lewat seorang juru bicara, mereka mengutarakan maksud dan tujuannya kepada pihak perempuan. Dalam prosesi ini, juru bicara adalah ujung tombak dalam keluarga. Lewat bahasa-bahasa daerah dengan nada yang cepat dan tidak saya pahami mereka berkomunikasi layaknya sedang tawar-menawar. Benar saja, saya bertanya kepada Pak Nahor Tasekeb—Kepala Desa di daerah tersebut—mengenai apa yang sedang mereka lakukan. “Mereka sedang tawar-menawar maskawin, mau berapa banyak dan dalam wujud barang atau uang. Pihak perempuan akan memberikan tawaran dan pihak laki-laki tinggal setuju atau keberatan. Jika keberatan dengan harga, maka akan ditawar dan begitu seterusnya sampai ada kesepakatan.“

Calon mempelai pria menjemput sendiri gadis pujaannya di dalam kamar/Dhave Dhanang

Sebelum prosesi maso minta biasanya sudah ada kesepakatan dahulu jauh-jauh hari. Maso minta sekarang lebih berfungsi sebagai sebuah ritual, formalitas yang harus dijalankan. Berbeda dari zaman dahulu. Di Timor, adat maso minta juga dikenal dengan istilah kasih terang, yang artinya menerangkan jika ada seorang laki-laki yang sedang meminang perempuan maka lelaki lain harus mengerti untuk langkah mundur.

Kepakatan yang tercapai antara kedua belah pihak akan ditandai dengan diterimanya sirih pinang, lalu dilanjutkan dengan penyerahan dulang. Saat yang ditunggu-tunggu, calon pengantin laki-laki harus menjemput sendiri gadis pujaannya di dalam kamar. Sementara itu, di dalam kamar perempuan ada beberapa saudaranya yang juga dirias tak kalah cantik dari calon mempelai. Harapannya, mempelai laki-laki salah ambil anak gadis dan sebagai hukumannya sang pria harus membayar denda adat. Mungkin jika saya disuruh demikian, tabungan saya bakalan ludes buat bayar denda adat, karena wajahnya mirip semua dan cantik-cantik pula.

Kedua keluarga berkenalan dengan cara menari bersama/Dhave Dhanang

Sesudah menemukan gadis pujaannya, calon pengantin laki-laki akan membawa calon istrinya itu keluar dan memperkenalkannya pada semua yang hadir. Prosesi selanjutnya dilakukan di pelaminan; mempelai laki-laki akan memasangkan perhiasan kalung, anting, atau cincin sebagai pengikat sedangkan perempuan akan mengalungkan kain timor pada laki-lakinya. Acara selanjutnya adalah ibadah pemberkatan sebelum dilanjutkan dengan pesta makan-makan.

Sembari menyantap hidangan pesta saya bertanya pada Eni Tauho, seorang kolega dosen, tentang berapa uang yang dihabiskan dalam prosesi ini. Ia menjawab, “Satu ekor babi sedang, 1 ekor babi besar, 750 ribu untuk mempelai perempuan, 2 juta calon mertua, 2 karung beras, uang dapur 3 juta, tenda 2 juta. Mungkin untuk satu maso minta rerata 20 juta, bahkan lebih. Nanti waktu pernikahan bisa 75 juta sampai ratusan juta. Ini model kampung, Mas. Bayangkan mereka yang tinggal di kota bisa lebih lagi, terlebih [kalau] yang diundang pejabat.“ Dia menjelaskan seolah memberi gambaran betapa mahalnya untuk meminang seorang gadis Timor.

maso minta

Menyantap hidangan pesta/Dhave Dhanang

Dalam adat Timor saat ini, maso minta masih dilakukan namun disesuaikan dengan perubahan yang ada, walaupun ada yang masih konservatif. Bagi kaum lelaki dengan harta pas-pasan, ritual ini bisa menjadi sebuah ketakutan ketika ingin melamar gadis pujaannya. Seorang pemuda Timor yang saya temui sempat curhat, kebetulan setengah mabuk oleh tuak, “Mas jika tidak mampu bayar, kawin saja sama orang luar Timor. Sama nona Jawa enak, Mas. Jika ingin tetap sama nona Timor, kasih hamil saja dulu nanti pasti harganya diturunkan.” Entah benar atau tidak, saya hanya mengangguk dan bergumam, “Ada benarnya juga.” Saya lupa berapa tusuk sate saya habiskan dan berapa gelas bir yang disulangkan. Kepala sedikit miring dan telinga menikmati alunan lagu Timor. “Parcuma.. beta susah di rantau.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Dhave Dhanang.

The post Maso Minta, Mahalnya Melamar Nona Timor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masominta/feed/ 0 692
Gambang Semarang Penyintas Zaman di Kota Lama Semarang https://telusuri.id/gambang-semarang-penyintas-zaman/ https://telusuri.id/gambang-semarang-penyintas-zaman/#respond Tue, 24 Jan 2017 06:34:11 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1261 Iringan musik dan lagu bernada keroncong itu pun lenyap dari pendengaran. Tepuk tangan riuh kembali menggema. Tiga sosok laki-laki berpakaian safari tempo dulu maju dengan gaya jenaka. Lawakan-lawakan dibawakan dengan sangat apik sehingga berbuah tawa....

The post Gambang Semarang Penyintas Zaman di Kota Lama Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Iringan musik dan lagu bernada keroncong itu pun lenyap dari pendengaran. Tepuk tangan riuh kembali menggema. Tiga sosok laki-laki berpakaian safari tempo dulu maju dengan gaya jenaka. Lawakan-lawakan dibawakan dengan sangat apik sehingga berbuah tawa. Gambang Semarang kembali hadir di ujung lorong Kota Lama Semarang.

Jika belum familiar dengan Gambang Semarang, cobalah main ke Stasiun Tawang yang berada tak jauh dari Kota Lama Semarang. Memasuki pelataran, pasang telinga baik-baik saat ada kereta masuk. Walau cuma berdurasi beberapa detik, dengarkan nada khas yang muncul dari pengeras suara. Itulah Gambang Semarang.

Gambang Semarang sebenarnya adalah tarian yang diringi musik dari instrumen yang terbuat dari bilah-bilah kayu yang disebut gambang. Tak hanya tari dan musik saja yang ditampilkan, lawakan dan lagu juga disajikan. Kini alat musik yang dipakai semakin beragam sehingga pementasannya jadi jauh lebih menarik. Tata lampu dan suara menjadi bumbu-bumbu penyedap yang menyulap Gambang Semarang menjadi lebih berkilau.

Pertunjukan Gambang Semarang/Dhave Dhanang

Serpihan-serpihan Gambang Semarang kini dicoba untuk disatupadukan kembali. Bagian-bagian yang hilang dibuat kemudian dimunculkan kembali. Tahun 1963 tarian ini sudah eksis dan diawaki oleh baik pribumi maupun keturunan Tionghoa. Mereka biasanya mengadakan pertunjukan di daerah pecinan, yakni di Gang Pinggir.

Sejarah Gambang Semarang bermula dari Gambang Kromong Betawi. Tersebutlah sebuah kelompok seni Gambang Kromong bernama Putri Kedaung yang sering berpindah-pindah kota. Putri Kedaung dijalankan oleh Suhardi bersama saudara-saudaranya, yakni Mpok Neni, Mpok Royom dan Mpok Ira. Mereka keluar dari Jakarta lalu manggung berpindah-pindah. Bandung, Bogor, Pekalongan, hingga Weleri di Kendal adalah lokasi-lokasi pentas mereka.

Pada tahun 1963 mereka tiba di Kota Lumpia dan mulai dikenal sebagai Gambang Semarang. Meskipun langkah Gambang Semarang tak semulus yang diharapkan, kelompok ini terus bertahan hingga muncul generasi kedua pada tahun 1957. Bersamaan dengan itu muncul juga kelompok kesenian serupa yang dipimpin oleh Lie Tik Boen. Grup baru ini memberi banyak warna baru sebab musik yang ditampilkan mengusung irama rancak ala melayu, syahdu ala mandarin, romantis ala pop, dan hangat ala keroncong.

Gambang Semarang

Pengatur tempo sedang beraksi/Dhave Dhanang

Hingga sekarang Komunitas ini masih terus unjuk seni di sudut Kota Lama di belakang Gereja Blenduk, menampilkan kesenian yang semakin terkikis oleh zaman. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua duduk lesehan menghadap panggung. Lagu-lagu pop, keroncong, dan mandarin didendangkan dengan lantunan alat musik lengkap.

Kendang, bonang, kempul, gong, suling, kecrek, dan gambang berpadu menjadi musik yang harmonis. Pengaruh musik Tionghoa tampak pada penggunaan alat musik gesek kongahyan atau tehyan. Saya seperti kembali pada masa pra-kemerdekaan, ketika kesenian mempersatukan rakyat saat sedang benar-benar butuh hiburan.

Saya sangat menikmati lantunan lagu yang diringi dengan musik yang harmonis. Ketika musik indah itu masih terngiang-ngiang di telinga, Gambang Semarang kemudian menyuguhkan tari-tarian rampak dan—inilah khasnya—sebagai pengatur tempo muncullah lawakan-lawakan segar yang akan mengocok isi perut penonton. Saya bangga bahwa anak mudalah yang mementaskan itu.

The post Gambang Semarang Penyintas Zaman di Kota Lama Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gambang-semarang-penyintas-zaman/feed/ 0 2213
Nuansa Bali di Argosari https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/ https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/#respond Fri, 20 Jan 2017 06:00:59 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1244 Konon pada awal masehi Hindu sudah merambah kawasan nusantara. Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan itu dibawa oleh pedagang, tentara yang yang kalah perang, hingga misionaris. Apapun itu, yang jelas Hindu telah memberi warna pada kerajaan-kerajaan...

The post Nuansa Bali di Argosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Konon pada awal masehi Hindu sudah merambah kawasan nusantara. Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan itu dibawa oleh pedagang, tentara yang yang kalah perang, hingga misionaris. Apapun itu, yang jelas Hindu telah memberi warna pada kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai dan Majapahit. Pengaruh terbesar Hindu terasa sekali sekitar abad ke-14 manakala Majapahit berjaya. Runtuhnya Majapahit karena serangan dari kerajaan utara membubarkan kerajaan besar tersebut beserta pengaruh Hindunya. Ada versi sejarah yang mengatakan bahwa sebagian rakyat Majapahit melarikan diri ke Bali, namun ada pula yang akhirnya berdiam di sekitar Bromo. Namun ada pula kisah lain yang mengatakan bahwa ketika Majapahit bergolak wilayah Lumajang nyaris tidak terkena dampak.

Siang itu saya mengobrol dengan Pak Marto, seorang pemangku Pura Mandara Giri Semeru Agung di Senduro, Argosari, Lumajang. Dia menceritakan sepenggal kisah tentang Hindu di Pulau Jawa bagian timur. Menurut cerita, memang banyak pelarian Majapahit yang ke Bali dan menetap di sana. Sementara sisanya masih bertahan di seputaran kerajaan Majapahit di Trowulan. Saat itu, Pak Marto baru saja menerima tamu-tamu dari Bali yang datang untuk beribadah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pura ini adalah impian yang mewujud bagi warga Hindu Lumajang yang sejak tahun 1969 sudah ingin mendirikan tempat ibadah. Setelah melewati jalan yang panjang dan banyak rintangan, akhirnya berdirilah tempat ini.

Suasana Argosari/Dhave Dhanang

Makna filosofis pendirian pura ini berhubungan dengan mitos bahwa ketika Pulau Jawa terombang-ambing di lautan, Betara Guru memerintahkan memotong bagian puncak Mahameru di India dan menancapkannya di Tanah Jawa agar pulau ini menjadi tenang. Maka Gunung Semeru menjadi paku bumi Tanah Jawa.

Tahun 1992 di sisi timur Gunung Semeru berdirilah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Kemegahan bangunan ini sudah terasa saat memasuki pintu gerbangnya. Rasanya seperti memasuki sebuah istana kerajaan. Nuansa Majapahit begitu terasa saat melihat ornamen bangunan. Barangkali benar yang dikatakan Pak Marto tadi: “Hindu di nusantara dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, salah satunya adalah model-model bangunan pura.”

Saat memasuki pelataran pura, ternyata sedang ada sesi pengambilan gambar. Ada sosok-sosok mirip raja dan permaisuri, di belakangnya beberapa dayang mendampingi. Mereka sedang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Meskipun tidak tahu persis kisah apa yang sedang difilmkan, saya kira tidak akan jauh-jauh dari tema Kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Saya lanjut melihat-lihat sisi dalam pura. Namun sayang saya harus berhenti di gerbang sebab hanya mereka yang beribadah saja yang boleh masuk kawasan dalam pura. Untuk menghormati mereka yang beribadah, cukuplah saya sampai batas luar pagar saja.

Desa Argosari

Pura yang sudah didamba sejak 1969/Dhave Dhanang

Sebelum pergi ke sini, selama dua hari saya menyambangi desa Argosari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hampir di setiap rumah terdapat candi kecil sebagai tempat sembahyang dan meletakkan sesaji [seperti pelinggih di Bali]. Saya seolah-olah sedang berada di Bali. Namun akhirnya saya sadar bahwa justru dari sinilah umat Hindu Bali berasal. Aroma dupa tercium begitu kental, aneka buah-buahan disajikan, kain diselimutkan pada arca, dan hiasan janur melambai-lambai terkena terpaan angin. Meskipun ini Tanah Jawa, saya sedang berada dalam nuansa Pulau Dewata.

Sayup-sayup terdengar obrolan pemuda-pemuda desa yang bergerombol di depan rumah sambil berteduh dari sengatan matahari. Mereka mengenakan sarung. Di Desa Argosari, meskipun terletak di ketinggian 2000 mdpl sehingga udara terasa dingin, terik matahari tetap saja bisa dirasakan. Para pemuda tersebut mengobrol menggunakan bahasa daerah, bahasa Tengger, sehingga saya tidah paham apa yang mereka perbincangkan. Namun ketika saya bertanya, mereka menjawab dengan bahasa Indonesia.

Di sembir desa tampak sebuah danyangan. Di sebuah lembah yang curam ada sebuah bangunan yang dikeramatkan oleh penduduk desa Argosarid sebab di sinilah roh-roh leluhur mereka ditempatkan. Tepat di belakangnya sebuah pura kecil sedang direnovasi. Salah seorang pekerja mengatakan bahwa tempat ini digunakan untuk ngaben. Ngaben di sini bukan membakar jenazah seperti di Bali, tetapi sebagai tradisi simbolis saja sebab umat Hindu di sini dimakamkan dengan cara dikubur. Ngaben dilaksanakan secara simbolis dalam sebuah prosesi ibadah.

Masjid Jabal Nur Hidayatullah yang berdekatan dengan pura/Dhave Dhanang

Saya memperhatikan saat seorang pekerja sedang membuat wajah raksasa di dinding pura. Sekarang sangat susah mendapatkan batu utuh sehingga ornamen candi dibuat dari campuran semen dan pasir. Mereka tak lagi memahat, melainkan mencetak. Salah seorang pembuat ornamen candi ternyata beragama Islam. Ia begitu lihai membuat benda-benda yang beraroma Hindu. “Saya tukang, sehingga harus bisa dan tidak ada hubungannya dengan agama.” Seseorang bisa melahirkan mahakarya bernuansa kepercayaan apapun, terlepas dari kepercayaan yang dianutnya. Lantas saya ingat bahwa yang mendesain Masjid Istiqlal adalah F. Silaban yang beragama Katolik.

Langkah kaki ini membawa saya pada sebuah bangunan di dekat pura yang tak lain tak bukan adalah masjid tertinggi di Pulau Jawa. Masjid Jabal Nur Hidayatullah ini terletak pada 2.264 mdpl, dekat sebuah pura. Dari sini kamu bisa melihat awan-awan yang berarak di bawah sana. Konon kampung ini begitu kondang sampai-sampai banyak yang menyebutnya sebagai Kampung Nirwana. Manakala sebuah pura dan masjid berjajar dan pemeluknya hidup berdampingan, saya tak habis pikir kenapa Majapahit bisa runtuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nuansa Bali di Argosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nuansa-bali-di-argosari/feed/ 0 2211
Menelusuri Nadi Kali Pancur https://telusuri.id/menelusuri-nadi-kali-pancur/ https://telusuri.id/menelusuri-nadi-kali-pancur/#respond Tue, 17 Jan 2017 15:40:22 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1278 Walaupun sekuat tenaga tangan ini menarik, kernmantle statis berdiameter 8 mm itu nyaris tak bergeming. Saya kembali mencoba menarik tali itu agar bisa lepas dan terurai dari simpulnya. Sepertinya ada yang menyangkut. Saya pun memanjat...

The post Menelusuri Nadi Kali Pancur appeared first on TelusuRI.

]]>
Walaupun sekuat tenaga tangan ini menarik, kernmantle statis berdiameter 8 mm itu nyaris tak bergeming. Saya kembali mencoba menarik tali itu agar bisa lepas dan terurai dari simpulnya. Sepertinya ada yang menyangkut. Saya pun memanjat dinding air terjun kali pancur setinggi 25 meter untuk melepaskan tali yang sengkarut. Benar saja. Sesampai di puncak air terjun, saya menemukan bahwa simpul tali tersangkut di celah batu. Baru saja hendak melepas simpul tersebut, tiba-tiba dua teman saya menyusul di belakang.

“Kalian mengapa menyusul?” tanya saya. “Kami pengen turun sekali lagi,“ jawab mereka serempak. Canyoning ternyata membuat kedua teman yang baru pertama kali saya ajak itu tuman alias ketagihan.

Semalam hujan mengguyur badan Gunung Telomoyo dengan lebatnya. Prediksi saya debit sungai-sungai di kaki Telomoyo akan membesar, dan pasti alirannya juga akan deras. Debit dan aliran sungai penting sekali artinya ketika kamu melakukan canyoning, yakni aktivitas alam-bebas menyusuri aliran sungai.

Medan yang menantang/Dhave Dhanang

Jika dihitung-hitung barangkali sudah lima kali saya menyusur Kali Pancur. Namun tiap kali menyusurinya saya selalu mendapatkan nuansa yang berbeda—itulah yang menjadi alasan mengapa saya terus kembali menikmati tiap lekuk alirannya. Bertiga kami menuruni ratusan anak tangga dari gerbang Kali Pancur menuju air terjun. Karcis masuk Kali Pancur terbilang sangat murah, hanya Rp2.000.

Dinding sebelah kiri jalur longsor di beberapa titik. Sepertinya efek hujan deras beberapa waktu yang lalu. Apalagi lereng di sana hanya ditumbuhi oleh rumput gajah tanpa perakaran tanaman keras yang mempu menahan laju erosi.

Wetsuit, pakaian ketat yang mampu menjaga suhu tubuh, segera saya kenakan. Penggiat canyoning yang sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam air, bahkan sampai berjam-jam, sangat rentan terkena serangan hipotermia atau kehilangan panas tubuh. Pemakaian wetsuit sangat disarankan agar suhu tubuh tetap hangat. Perlengkapan wajib selanjutnya adalah seat harness yang berguna untuk mengamankan tubuh ketika menuruni air terjun. Perlengakan terakhir adalah helm dan perlatan panjat tebing berupa descender, ascender, beberapa cincin kait, dan tali kernmantle.

Kali Pancur

Aliran deras yang memacu adrenalin/Dhave Dhanang

Hingga saat ini canyoning belum begitu populer di kalangan masyarakat. Medan yang menantang terkadang menjadi hambatan, begitu pula dengan peralatan yang bisa dibilang cukup mahal. Selain itu, seorang penggiat canyoning harus memiliki kondisi fisik yang baik, menguasai seluk-beluk tali temali dan bisa panjat tebing. Dalam satu rombongan, tidak semua orang harus memiliki kemampuan-kemampuan tersebut. Setidaknya leader yang memimpin di depan dan salah satu di antara mereka yang berada di tengah dan belakang mesti menguasai materi canyoning agar dapat membantu teman-teman yang belum menguasai teknik penelusuran sungai.

Perlahan kaki ini masuk dalam aliran air sungai berwarna coklat tanah. Sepertinya di hulu hujan lebat sedang turun dan mengikis tanah, melarutkan material-material berwarna coklat dalam air. Agak risih rasanya masuk dalam aliran sungai berwarna coklat. Namun di beberapa aliran air coklat tersebut sudah berubah bening ditapis material-material alami.

Untuk melintasi Kali Pancur sekurang-kurangnya kamu akan melewati lima air terjun dengan ketinggian bervariasi. Ada dua yang tingginya 5 meter, satu yang tingginya 15 meter, dan sepasang lagi dengan ketinggian lebih ekstrem—25 meter. Menuruni air terjuan sangat menantang sebab selain hambatan berupa ketinggian ada hambatan lain yakni batu yang licin dan aliran sungai yang kencang. Setelah memasuki aliran air, bisa saja napasmu terasa sesak dan susah ditarik, seperti tenggelam dalam air. Antisipasinya adalah dengan berdiri membentuk sudut 45 derajat dengan tebing agar kepala keluar dari aliran air dan kaki masih berpijak pada dinding air terjun.

Melintasi Kali Pancur/Dhave Dhanang

Awalnya cukup sulit mengajari dua teman yang baru pertama kali menikmati kegiatan ini. Namun, setelah dua kali menuruni air terjun mereka sudah lancar rappelling dengan berbagai hambatan. Mereka begitu menikmatinya sampai-sampai, demi memanjat sebuah air terjun kedua kalinya, mereka ingin memanjat dinding air terjun. Sebuah tindakan yang berbahaya jika dilakukan hanya untuk menuntaskan rasa penasaran.

Semakin deras aliran sungai, semakin deras pula kerja pompa adrenalin. Namun penelusuran masih akan berlangsung selama beberapa jam lagi, sementara tubuh-tubuh kami mulai menggigil. Seperangkat alat masak kami keluarkan. Sebentar kemudian air mulai mendidih. Di bawah air terjun, kami bertiga yang menikmati teh tarik panas ditemani debur suara air terjun yang menghempas karena gravitasi. Kami sangat beruntung karena sungai mengizinkan kami bertiga untuk menjadi tamu istimewanya.

Setelah makan, badan kembali hangat dan rasa lelah hilang sudah. Saatnya kembali mengeluarkan adrenalin menyusuri dua air terjun ekstrem pamungkas. Air terjun yang pertama tampak biasa karena hanya berupa aliran saja. Namun yang kedua beraliran deras dan di dalamnya terdapat rongga. Sebuah pohon aren atau enau kami jadikan tambatan untuk tali kami sebagai anchor emas sebab di sana tidak ada lagi yang bisa dijadikan tambatan.

Makan untuk mengisi energi/Dhave Dhanang

Paling depan, saya perlahan-lahan turun sambil memeriksa keamanan jalur. Inilah adalah jeram yang paling saya takuti. Alirannya cukup deras sehingga kadang susah untuk bernapas. Kepala terasa sedang dihajar manakala helm ini dihujani oleh aliran air terjun. Sebuah tebing berbentuk teras langsung membentuk posisi yang overhanging atau menggangung. Kali ini tidak ada pegangan kecuali seutas tali. Setelah mengambil napas dalam-dalam, saya turun pelan. Tak berapa lama saya kembali bernapas dengan leluasa.

Usai menikmati lorong air terjun kamu harus segera menepi jika tidak ingin terjebak dalam jeram air dalam yang pusarannya mirip mesin cuci. Saya sempat hampir terjebak di dalam pusaran itu. Untung saja wetsuit membuat saya kembali mengapung ke permukaan. Sepertinya lain kali kami harus mengenakan pelampung. Perlahan-lahan teman-teman saya menyusul dan merasakan sensasi yang sama seperti saya—mungkin mereka lebih antusias karena baru pertama kali.

Penelusuran sebentar lagi berakhir. Sebuah dinding di kiri sungai menghujani kami dengan tetesan air mirip butiran hujan. Dinding berwarna hijau karena ditumbuhi rerumputan perintis seperti hutan vertikal dengan hujan yang lebat. Dari ketinggian 25 meter, air yang turun deras berubah menjadi butiran-butiran sebelum akhirnya menghempas. Kami seperti berdiri di bawah teras rumah saat hujan lebat. Tak terbayangkan bagaimana dahsyatnya peristiwa geologis yang teleh membentuk morfologi sungai ini.

Ketagihan “canyoning”/Dhave Dhanang

Ketika aliran sungai sudah berubah pelan dan tak ada lagi jeram, kami menepi. Kembali seperangkat dapur perjalanan kami keluarkan untuk membuat mie instan demi menambah tenaga sebelum melanjutkan perjalanan menuju ujung desa yang masih membutuhkan 1,5 jam perjalanan. Usai berganti pakaian kering, kami melangkahkan kaki menyusuri hutan dan sawah milik penduduk hingga menjumpai perkampungan. Akhirnya kami tiba di jalan raya. Saatnya pulang. “Kapan kita canyoning lagi?” Di atas angkutan umum yang sesak, salah seorang teman bertanya. “Ealah, tuman,” jawab saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Nadi Kali Pancur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-nadi-kali-pancur/feed/ 0 2215
Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/ https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/#comments Thu, 12 Jan 2017 14:03:45 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1268 Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi...

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi adalah lembaran-lembaran benang penyusun kain tenun. Beruntung saya berkesempatan melihat transformasi segumpal kapas hingga menjadi selembar kain, yang merupakan salah satu dari tenun Nusantara di Nusa Tenggara Barat.

Daratan Sumatera terkenal dengan ulos, di Jawa khususnya Jepara ada kain troso, di Timor ada tais, hingga Papua dengan rajutan noken-nya. Budaya memanfaatkan serat tumbuhan menjadi seni kriya dari pakaian hingga perlengkapan penunjang kebutuhan. Hasil buah tangan yang terampil dengan motif yang sederhana, hingga yang rumit dengan penuh makna. Ada yang hanya polos rupanya, ada juga yang penuh dengan warna-warni alam. Inilah warisan budaya nenek moyang berupa lembaran-lembaran kain, yang di tiap jengkal Nusantara memiliki pencirinya masing-masing.

Seorang nenek sedang memintal benang/Dhave Dhanang

Pagi ini saya diajak mengunjungi Desa Sade di Pulau Lombok. Desa yang masih mempertahankan adat nenek moyang ini menjadi salah satu tujuan pelancong yang menyambangi Pulau Lombok. Rumah-rumah beratap jerami masih tetap kokoh berdiri di balik perkembangan modernisasi. Prilaku menjaga kebersihan rumah kadang susah dipahami karena mereka mengepel lantai dengan kotoran sapi. Lebih aneh lagi manakala seorang lelaki meminang pujaan hati yakni dengan cara menculik gadis pujaannya di malam hari. Suku Sasak di Lombok dengan segala budaya dan keramahannya menyambut mereka yang terheran-heran seperti terkena gegar budaya, termasuk saya.

Tambatan mata saya tertuju pada seorang nenek yang sedang memintal kapas-kapas menjadi berhelai-helai benang. Kapas dipilin lalu ditarik ujungnya dengan cara ditautkan dan dibelitkan pada roda yang berputar. Pilinan diatur agar memiliki ukuran besar yang sama hingga menjadi gulungan-gulungan benang. Usai dipintal benang-benang ini lalu diberi warna. Pewarna alami yang biasa dipakai antara lain ketepeng, jambu biji, jati, tom (indigofera), kepel, pacar air, alpukat, urang aring, manggis, kedelai, kara benguk, sabut kelapa, getah gambir, bunga sari kuning, biji alpukat, Bixa orelana, kacang merah, makutodewo dan lain sebagainya. Usai diwarnai, akan dilakukan penghanian pada benang, yakni mengikatkan benang-benang pada alat tenun, seperti yang saya lihat saat berkunjung di Desa Kertasari, Taliwang, di Pulau Sumbawa.

Yang menarik dari pembuatan selembar kain tradisional adalah proses menenun. Sebelum menenun, akan ditentukan motifnya terlebih dahulu. Di sinilah harga sebuah kain tenun akan ditentukan. Semakin rumit, sulit, dan bagus makna dari motof kain maka akan semakin mahal harganya—selain kualitas kain dan tingkat kerapian pembuatan.

Alat cetak motif tenun troso Jepara/Dhave Dhanang

Di Jepara ada sentra industri kain tenun troso. Motif tenun troso sebelumnya sudah ditentukan lalu dicetak pada cetakan dan dengan alat tenun akan secara otomatis tercetak dengan sendirinya. Lain lagi kisah saat saya mengunjungi Pulau Timor, NTT. Dalam membuat motif, mama-mama penenun kain tais (kain timor) membuat motif sepenuhnya mengandalkan imajinasi dan hitungan. Inilah kekhasan masing-masing motif kain tenun Nusantara.

Di Kertasari, Pulau Sumbawa, membuat kain tenun saat ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu saja. Generasi muda sepertinya sudah enggan menenun. Di bawah rumah panggung yakni hunian khas orang Selayar dari Makassar, kaum ibu sedang sibuk menyelesaikan selembar kain sarung. Mereka ada yang memintal, melungsing, dan menenun demi menghasilkan selembar kain bermotif khas orang pesisir. Di Desa Sade, yang menenun tidak lagi kaum ibu—gadis-gadis juga ikut terlibat. Di Sade kain tenun tak lagi menjadi pemenuh kebutuhan sandang, tetapi menjadi komoditi wisata. Kain tenun berupa selendang, slayer, jarik, diperindah dengan motof-motif yang menarik bahkan ada yang bertulisankan “Lombok, Desa Sade” sebagai penciri asal kain tenunnya.

Helaian-helaian benang warna-warni kini sudah membelit leher para pelancong untuk dijadikan buah tangan. Ada teman saya yang kini mengoleksi kain-kain tenun Nusantara—hebatnya dia selalu menitip pada saya. Dalam benak saya hanya bisa bersenandika, suatu saat kain tenun itu akan berkali-kali lipat harganya dan menjadi sebuah investasi nilai seni. Nusantara, pulau-pulaumu bak helaian warna-warni benang yang ditenun menjadi selembar kain utuh yang bernama Indonesia.


Artikel ini ditulis oleh Dhave Dhanang dan sebelumnya dipublikasikan di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/feed/ 1 2214
Sejarah Pitarah di Lembah Napu Taman Nasional Lore Lindu https://telusuri.id/lembahnapu/ https://telusuri.id/lembahnapu/#respond Sun, 08 Jan 2017 13:05:38 +0000 http://telusuri.org/?p=1385 Kata orang tua di Jawa, “Anak kecil aja mangan brutu, nanti getune tibo mburi” (anak kecil jangan makan brutu atau pantat ayam, nanti penyesalan ada di belakang). Entah kenapa kata-kata itu yang teringat saat saya...

The post Sejarah Pitarah di Lembah Napu Taman Nasional Lore Lindu appeared first on TelusuRI.

]]>
Kata orang tua di Jawa, “Anak kecil aja mangan brutu, nanti getune tibo mburi” (anak kecil jangan makan brutu atau pantat ayam, nanti penyesalan ada di belakang). Entah kenapa kata-kata itu yang teringat saat saya melewatkan dua situs batu besar (megalitikum) yang terdapat di Lembah Napu, Taman Nasional Lore Lindu. Jika dilihat saat ini memang tidak ada yang istimewa dari situs tersebut. Tetapi jika ditelisik lebih jauh ke masa lalu maka akan terasa betapa berharganya peninggalan manusia zaman dahulu.

Indonesia dianugerahi lanskap yang luar biasa. Namun tidak banyak yang mengira bahwa ada masa ketika Sumatera, Kalimantan, dan Jawa masih bergabung menjadi satu daratan. Begitu pula dengan Papua dan Australia—juga satu daratan. Sementara itu Sulawesi kokoh berdiri menjadi pulau tersendiri. Kira-kira begitu para ahli geologi menceritakan bentuk muka bumi Indonesia pada masa lalu.

Lain lagi cerita dari para arkeolog yang meneliti asal muasal manusia, khususnya soal siapa nenek moyang orang Indonesia. Teori Out of Africa menceritakan bahwa pada 100 ribu tahun yang silam ada migrasi manusia dari Afrika menuju seluruh penjuru dunia. Dari bukti fosil yang ditemukan di beberapa tempat di Indonesia, manusia sampai di nusantara sekitar 39.000-40.000 tahun yang lalu. Sebelum manusia (Homo sapiens) datang di nusantara, sudah ada yang datang terlebih dahulu yakni Manusia Purba (Homo erectus) yang kini sudah tinggal fosil saja.

Lembah Napu yang serupa mangkuk raksasa/Dhave Dhanang

Menurut catatan sejarah, ada tiga periode kedatangan manusia ke nusantara. Periode pertama adalah kedatangan ras melanesia, kedua adalah kedatangan austronesia lewat Malaya, dan yang ketiga adalah tibanya austronesia lewat Taiwan. Yang menarik, perjalanan migrasi manusia dari Taiwan menuju Filipina, lalu masuk Sulawesi, berpencar ke Kalimantan, Jawa, dan Indonesia Timur ini dikenal sebagai teori Out of Taiwan.

Berbicara tentang Sulawesi, pulau ini adalah pulau pertama di nusantara yang disinggahi para pitarah [nenek moyang] yang berjalan dari Taiwan, menyebrang ke Filipina, sebelum berjalan ke Sulawesi. Di Sulawesi banyak ditemukan bukti-bukti sejarah kehidupan masa lalu, dan yang terkenal adalah di Goa Leang-Leang di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bukti prasejarah inilah yang menguatkan dugaan asal-usul nenek moyang manusia nusantara.

Sideperti Pulau Paskah di selatan Samudara Pasifik yang memiliki peninggalan megalitik berusia sekitar 600 tahun yang termasyhur sampai ke penjuru dunia, Indonesia juga memiliki situs-situs megalitikum yang hingga saat ini masih mudah di temukan. Di NTT masih banyak dijumpai kubur batu berukuran raksasa. Sementara itu, di Sulawesi terdapat patung-patung berukuran besar yang mirip moai Pulau Paskah.

Lembah Napu

Peninggalan Zaman Megalitikum di Lembah Napu/Dhave Dhanang

Selain lembah-lembah lain di Pulau Sulawesi, Khususnya di Sulawesi Tengah dan Selatan, Lembah Napu di Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, juga punya situs megalitikum. Lembah Napu serupa mangkuk ukuran raksasa di ketinggian di atas 1.000 mdpl. Di sini ditemukan beberapa situs megalitukum berupa patung-patung menyerupai manusia. Ukuran patung di sini masih berkisar 1-1,5 meter, sedangkan di Lembah Bada ada yang berukuran hingga 4 meter. Konon, menurut ahli sejarah batu-batu ini dibuat pada 3.000-4.000 SM. Menurut Kompas.com, berdasarkan “…data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah saat ini terdapat 432 objek situs megalit di Sulawesi Tengah. Tersebar di Lore Utara dan Lore Selatan, Poso sebanyak 404 situs dan di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs.”

Tidak terbayangkan pada 3.000-4.000 SM sudah ada peradaban di Sulawesi—berdasarkan bukti-bukti megalitikum. Nusantara memiliki sejarah yang panjang dan tidak kalah dengan sejarah dunia, namun sayang belum tergali sepenuhnya. Situs-situs megalitik yang berjumlah lebih dari seribu menjadi saksi bisu perjalanan panjang nenek moyang dari negeri antah berantah menuju seluruh pelosok nusantara. Suatu saat Indonesia akan berkata pada dunia: kami punya rekaman sejarah perjalanan panjang umat manusia!


Artikel ini ditulis oleh Dhave Dhanang dan sebelumnya dipublikasikan di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Pitarah di Lembah Napu Taman Nasional Lore Lindu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lembahnapu/feed/ 0 2216