Dian Ariffah Kusumaningtyas, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/dianariffah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 14 Sep 2021 12:01:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dian Ariffah Kusumaningtyas, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/dianariffah/ 32 32 135956295 Naik Batik Solo Trans dan Cerita dari Toko Podjok https://telusuri.id/batik-solo-trans-dan-toko-podjok/ https://telusuri.id/batik-solo-trans-dan-toko-podjok/#respond Tue, 14 Sep 2021 09:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=29079 Baru ditinggal tiga bulan merantau, banyak hal berubah di Solo. Dari mulai tempat makan, pembangunan infrastruktur, sampai ikan cupang yang kini mudah dijumpai di mal. Padahal aku meninggalkan pesan saat merantau, “Kamu jangan berubah ya,...

The post Naik Batik Solo Trans dan Cerita dari Toko Podjok appeared first on TelusuRI.

]]>
Baru ditinggal tiga bulan merantau, banyak hal berubah di Solo. Dari mulai tempat makan, pembangunan infrastruktur, sampai ikan cupang yang kini mudah dijumpai di mal. Padahal aku meninggalkan pesan saat merantau, “Kamu jangan berubah ya, tetap menjadi seperti apa yang aku kenal.” Namun ternyata, Solo tidak menepati janjinya kecuali ketenangan yang sulit aku temukan di kota lain.

Hari ke-7 di rumah, tidak ada yang aku lakukan selain goler-goleran di kasur. Malas keluar rumah, tapi bosan di rumah. Iseng mengecek WhatsApp, tidak tahunya temanku mengajakku untuk menjajal naik BST atau Batik Solo Trans. Ini pengalaman pertama untukku. Padahal transportasi umum ini sudah diadakan sejak 2010 lalu, semasa Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Solo. Pada 2021 ini, BST meningkatkan fasilitas serta akses kemudahannya. 

BST dulunya hanya berwujud bus, dan jumlahnya tak banyak. Tapi kini sudah jauh berkembang lagi, bahkan untuk angkutan umum, sebut saja angkot, wilayah Solo juga ikut menyeragamkan warna dan motif catnya. Jika dulu BST hanya memiliki satu warna yaitu biru, sekarang untuk bus koridor 1 dan 2 yang melayani perjalanan rute Bandara Adi Soemarmo—Palur atau sebaliknya memiliki warna berbeda yaitu merah, dengan kapasitas penumpang yang lebih besar daripada model bus warna biru. 

Karena norak belum pernah sama sekali naik BST, maka bergegaslah aku bersiap-siap lalu menuju titik kumpul yang sudah diberi tahu oleh temanku. Ku kendarai motor menuju Mall Solo Square, guna memarkirkan motor sekaligus “titip” motor. Mengapa Solo Square? Karena dari arah Jalan Slamet Riyadi terdapat halte, dan dari arah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) juga terdapat halte, dan keduanya (baca: halte) berdekatan dengan lokasi Mall Solo Square. 

Dengan hati senang aku menyetujuinya, dan mengira bahwa temanku sudah pernah naik BST, tapi ternyata kami bertiga sama saja. Belum pernah ada yang pernah menjajal transportasi itu. Sehingga kami semua awam akan prosedur naik BST. Karena sistem yang berbeda dengan naik bus PATAS, ekonomi, atau bahkan bus yang pintu tempat kondekturnya terbuka. 

Padahal fasilitas transportasi umum itu dibuat dengan tujuan salah satunya untuk menanggulangi masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di sebuah kota. Perencanaan sistem baru dengan menyesuaikan sistem yang sudah ada, hingga uji coba untuk mendapatkan kepuasan dari pengguna dan pemerintah. 

Apalagi dengan meningkatnya pasar kendaraan, masyarakat semakin banyak yang membeli kendaraan pribadi, atau bahkan menambah koleksi pribadinya. Tujuannya sama-sama untuk mempermudah mobilitas masyarakat itu sendiri. Tapi dengan bertambahnya angka kendaraan pribadi dari suatu masyarakat seharusnya juga berbanding lurus dengan peningkatan infrastruktur jalannya sehingga bisa mengurangi angka kemacetan yang terjadi. 

Itulah sebabnya pemerintah mengadakan sebuah transportasi umum, gunanya adalah mengurangi angka kemacetan, karena tidak dipenuhi dengan kendaraan pribadi. Apalagi bus trans ini sudah memiliki jalur tersendiri. 

Tapi kembali lagi pada pilihan masyarakat. Kelebihan dari menggunakan kendaraan pribadi adalah untuk mempermudah diri sendiri. Ketika di transportasi umum pun mesti menghormati kepentingan orang lain, sehingga sopir juga tidak bisa diburu-buru, karena semua yang berada dalam satu transportasi tersebut sama-sama memiliki kepentingan yang sama, mencapai tujuan dengan cepat dan selamat. 

Gantungan BST/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Pelayanan BST ini juga cukup memuaskan dengan terus memperhatikan protokol kesehatan. Tersedia hand sanitizer di pintu masuk penumpang. Sopirnya yang juga selalu memakai masker. Bahkan saat itu terdapat penumpang yang mungkin lupa untuk kembali menaikkan masker, sehingga terlihat hidungnya, dan diketahui sopir, saat itu juga langsung ditegur, ia akan diberitahu untuk selalu menggunakan masker dengan baik dan benar. Pun pada saat turun dari bus, bahkan semua penumpang yang turun selalu mengucapkan terima kasih pada sang sopir, baik diucapkan dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia. Hal remeh seperti itu nyatanya bisa bikin senyum-senyum sendiri.

Bus Trans yang kami tumpangi ini berada di koridor 1 dan 2 dengan rute Bandara Adi Sumarmo—Palur. Tujuan kami yakni Pasar Gede. Dulunya Pasar Gede ini merupakan tempat jual beli ikan. Khususnya ikan hias. Dari yang paling murah hingga yang mahal, dari ikan pemakan takari sampai pemakan daging, semuanya ada. Bahkan pusat jual beli ikan berada di Pasar Gede. Tetapi sekitar tahun 2014 pedagang ikan yang semula berada di Pasar Gede direlokasi ke Pasar Depok. Anggapan pemerintah yang ingin mempertahankan citra Pasar Gede, karena dari awal, tepatnya pada masa penjajahan Belanda, Pasar Gede tersebut merupakan tempat jual beli barang-barang hasil bumi, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija. 

Sekarang Pasar Gede sudah seperti awal dulu, penjual sayur dan buah menempati kios-kios yang sudah disediakan. Dengan perkembangan zaman saat ini, pada lantai dua Pasar Gede terdapat foodcourt. Tidak seperti foodcourt di mal pada umumnya. Tempat ini menjual makanan dengan harga terjangkau yang menyediakan pemandangan hiruk pikuk kesibukan masyarakat Solo. Makanan yang paling terkenal di foodcourt ini adalah dimsum, bahkan instastory anak muda dipenuhi dengan makanan satu itu.

Pasar Gede tampak depan/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Sebelum beranjak untuk makan dimsum, dari halte Pasar Gede kami menjumpai sebuah warung di pojokan kios. Namanya memang Toko Podjok, menjual kopi dan juga cokelat. Nampak asing bagi kami karena baru pertama kali menjumpai warung itu. Ternyata mengetahui warung itu adalah sebuah keterlambatan. Karena track record warung ini yang sudah memasok kopi juga cokelat ke beberapa coffee shop, bahkan dalam jumlah besar. 

Cerita Toko Podjok ini dimulai pada tahun 1947, dan sekarang warung ini sudah dikelola oleh penerus generasi ketiga. Cokelat juga kopi ini tidak hanya diambil dari dalam negeri, tetapi mereka juga mengimpor dari negara lain. Salah satu yang paling saya ingat, cokelatnya mereka ambil dari Sulawesi Selatan.

Toko Podjok/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Kami pun membeli es coklat untuk diminum langsung di tempat dan membeli bubuk cokelat juga kopi untuk dibawa pulang. Menurut informasi langsung dari penjual, awalnya warung ini hanya menjual mentahan, tetapi baru-baru ini mencoba untuk melayani para pembeli yang ingin mencoba produk mereka yang sudah menjadi minuman. 

Harga Rp5 ribu untuk es cokelatnya. Dibungkus dengan tempat se-proper ini. Bahkan di luar ekspektasi kami. Rasa dari cokelat masih ada dan tidak terlalu manis. Untuk yang suka cokelat murni, ini bisa menjadi rekomendasi. 

Kemasan minuman cokelat/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Sruput. Mmmmm, enak! 

Harga bubuk coklat juga terjangkau, Rp10 ribu dapat tiga, untuk tiga kali minum. Sedangkan kopinya delapan belas ribu untuk seperempat kilogram.

Satu yang paling berkesan, ketika kami tanya kepada penjual, kenapa dijual dengan harga yang sangat murah, bahkan membayangkan akan dapat keuntungan saja sepertinya tidak sampai. Bayangkan saja, minuman yang dikemas sedemikian rupa, dengan rasa yang tidak mengecewakan, tetapi pembeli hanya membayar Rp5 ribu saja.

Lalu jawaban penjual adalah “Kalau nanti kami jual dengan harga mahal, itu sudah menjadi bagian para pemilik coffee shop.” Lalu, kami juga bertanya kenapa hanya menyediakan meja dan beberapa kursi untuk melayani pembeli, kenapa tidak buka warung yang istilah anak muda aesthetic. Lagi-lagi jawabannya sama, biar itu menjadi bagian pemilik coffee shop, kalau kami buka seperti itu juga yang ada malah mengambil rezeki orang lain, melayani membuat minuman seperti ini kan supaya pembeli bisa langsung merasakan dan tahu bagaimana rasanya produk kami. 

Salut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Naik Batik Solo Trans dan Cerita dari Toko Podjok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batik-solo-trans-dan-toko-podjok/feed/ 0 29079
Flyover Manahan-Purwosari: Atasi Kemacetan Malah Jadi Hiburan https://telusuri.id/flyover-manahan-purwosari-atasi-kemacetan-malah-jadi-hiburan/ https://telusuri.id/flyover-manahan-purwosari-atasi-kemacetan-malah-jadi-hiburan/#respond Fri, 27 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28959 Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung. Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung. Tahun 2018 aku memulai cerita...

The post Flyover Manahan-Purwosari: Atasi Kemacetan Malah Jadi Hiburan appeared first on TelusuRI.

]]>

Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung.

Merantau itu bukan berarti memupuk rasa kesedihan karena berjauhan, lalu ditumpahkan ketika nanti pulang kampung.

Tahun 2018 aku memulai cerita perantauan sebagai mahasiswa. Nasib masih mengandalkan uang orang tua, aku pulang ke rumah hanya pada saat libur panjang tiba saja, dan itu jatuh pada libur semester. Selama merantau bukan berarti bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang kota asalku, aku selalu memantau perkembangannya.

Biasanya, pas pulang ke Solo, aku keliling kota mengendarai motor baik di siang hari maupun malam hari. Tampak menyenangkan. Tanpa disadari, hal ini menjadi rutinitasku setiap pulang ke Solo.

Hingga pada pulang kampungku yang kesekian, aku bingung harus menelusuri seluk beluk Solo di bagian mana lagi. Selain berkeliling menggunakan motor, nongkrong di burjo dan angkringan, tentu saja tidak ada kegiatan yang lebih seru lagi. Kunjungan ke mal pun bukan suatu kewajiban, jadi absen dari sini tidak menjadi sebuah penyesalan.

Meski tinggal berada dekat dengan Solo, tetapi terkadang aku merasa awam dengan kota ini. Beberapa kali menjumpai jalan yang tampak baru bagiku. Untungnya tersesat bukan jadi masalah, toh masih di Solo tersesatnya. Apalagi zaman sekarang sinyal sudah semakin bagus dan internet bisa dijangkau di mana saja asal punya kuota internet.

Dari beberapa akun Instagram yang memberi kabar terkini seputar Solo dan sekitarnya, aku mendapatkan informasi tentang peningkatan infrastruktur, khususnya jalan raya perkotaan. Selesai membangun flyover di daerah Manahan-Kota Barat, nampaknya masih belum puas untuk menangani kemacetan Kota Solo yang semakin tidak waras—hingga jalanan di daerah Stasiun Purwosari dijadikan target untuk pembangunan flyover selanjutnya.

Memang sih di daerah tersebut mobilitas kendaraan sangat tinggi, dan kemacetan di jam-jam rawan sudah tidak bisa diobati lagi. Terlebih bagi kendaraan yang mengeluarkan asap cukup tebal dan hitam bukan main, lumayan mengganggu pengendara lain, dan mampu menyentil emosi seseorang.

Belum lagi klakson yang dibunyikan para pengendara bisingnya tidak karuan, saling menimpali satu sama lain. Maklum, sama-sama pemilik kepentingan dan tidak bisa ditinggal. Sebagai seseorang yang bisa menahan amarah karena kepanasan di motor dan terjebak macet, lebih baik jangan diikuti, tetap terus dilatih supaya lebih kuat tahan bising dan pusing. Aduh.

Flyover Manahan dari Jalan MT Haryono/Dian Ariffah

Aku menjajal melewati flyover dengan sepeda motorku. Kutunggangi motor dari perempatan lampu merah Jalan MT Haryono, Manahan; menuju flyover Manahan—Kota Barat. Flyover ini bercabang dua, satu berasal dari arah Jalan MT Haryono, dan satunya berasal dari arah Jalan Adi Sucipto. Keduanya akan membentuk jalan pertigaan. Jika memutuskan untuk melewati bawah flyover Manahan ini kita akan menjumpai mural, lukisan ala tembok jalanan.

Beberapa kali melintasi area bawah flyover ini, aku menjumpai para pengendara yang memutuskan berhenti untuk sekedar foto dengan berlatar mural tersebut. Mural yang cukup menarik, boleh dijadikan referensi konten di sosial media dengan sekedar membagikan cerita. Bahkan lokasi ini cukup menjadi trending di wilayah Solo. 

Mural di flyover Manahan/Dian Ariffah

Tiba di ujung flyover, aku sudah tiba di Kota Barat dengan Lapangan Kota Barat sebagai pembuka jalanan. Terdapat angkringan susu sapi segar yang menjadi ciri khas Kota Solo dan selalu ramai di malam hari, namanya Susu Shi Jack. Minuman susu segar dengan pelbagai varian menarik, harga murah, juga tentunya tidak menghilangkan rasa asli susu segarnya.

Dulunya, Susu Shi Jack berada di sebelah kanan jalan jika dari flyover, tetapi sudah pindah tempat di halaman parkiran Lapangan Kota Barat. Susu Shi Jack ini tidak hanya memiliki satu warung, tetapi ada banyak cabangnya di Solo. Bahkan beberapa foodcourt di Solo pasti mengandung Susu Shi Jack ini. 

Dari arah perempatan Kota Barat menuju Jalan Slamet Riyadi, lagi-lagi sore hari jalanan ini sungguh sangat macet hingga mengharuskanku menggunakan tradisi turun temurun, menyelip diantara celah yang ada. Ternyata tak semulus itu, aku harus terjebak lagi pada situasi lampu merah di perempatan menuju flyover berikutnya. Lampu hijau sudah menyala, aku putar stir ke kanan, mulai menyusuri Jalan Slamet Riyadi menuju flyover Purwosari.Sepanjang Jalan Slamet Riyadi ini pada hari minggu biasanya digunakan untuk Car Free Day. Kalau saja di sepanjang jalan menemukan rel kereta api, itu merupakan jalur Railbus Kereta Api Batara Kresna yang melayani perjalanan dari Stasiun Purwosari Solo menuju Stasiun Wonogiri. Menurut informasi, railbus ini sempat dihentikan pelayanannya karena dalam masa perbaikan dan pada 2021 ini sudah mulai dioperasikan kembali dengan tarif Rp4000.

Flyover Purwosari dari Jalan Slamet Riyadi/Dian Ariffah

Ternyata jalanan ini sudah sangat berubah, sudah ada jalur khusus BST (Batik Solo Trans). Dan sialnya lampu merah menghentikan kendaraanku, dari lampu merah kupandangi flyover tersebut dan nampak biasa saja karena sudah sering melihat flyover, juga nampak excited karena itu flyover baru. Lampu lalu lintas sudah berganti kuning, lalu hijau, dan aku mulai menarik gas motorku, ku arahkan pada jalan menggantung itu.

Belum sampai aku di atas, aku terkesima dengan pemandangan kotanya. Beruntungnya aku berada pada waktu matahari terbenam, membuatnya semakin cantik. Ditambah lalu lintas tidak begitu padat sehingga bisa betul-betul menikmatinya. Jika beruntung mendapatkan cuaca cerah, Gunung Merbabu dapat terlihat dari jalanan ini.

Gila betul rasanya.

Aku senyum-senyum sendiri merasakan suasana jalanan ini. Tanpa kebut-kebutan, udara sore hari bercampur polusi sangat menyenangkan. Dan aku yakin untuk para pekerja yang baru saja pulang dan melintasi jalanan itu, mungkin capeknya sedikit hilang. 

Tak terasa, motorku sudah sampai di ujung bawah flyover, dan setelah itu aku tidak tahu lagi akan membawanya ke mana. 

Dahlah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Flyover Manahan-Purwosari: Atasi Kemacetan Malah Jadi Hiburan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/flyover-manahan-purwosari-atasi-kemacetan-malah-jadi-hiburan/feed/ 0 28959
Menyusuri Pasar Ikan hingga Warung Makan di Jembatan Puri Sorong https://telusuri.id/menyusuri-pasar-ikan-hingga-warung-makan-di-jembatan-puri-sorong/ https://telusuri.id/menyusuri-pasar-ikan-hingga-warung-makan-di-jembatan-puri-sorong/#respond Thu, 18 Feb 2021 06:15:37 +0000 https://telusuri.id/?p=27090 Tidak heran jika daerah yang berada di dekat pantai, sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai penjual ikan dan hasil tangkapan laut lain. Sorong salah satunya, memiliki wilayah di pinggir daratan, membuat sebagian dari mereka memilih menjadi...

The post Menyusuri Pasar Ikan hingga Warung Makan di Jembatan Puri Sorong appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak heran jika daerah yang berada di dekat pantai, sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai penjual ikan dan hasil tangkapan laut lain. Sorong salah satunya, memiliki wilayah di pinggir daratan, membuat sebagian dari mereka memilih menjadi nelayan dan penjual ikan. 

Di Sorong, ada salah satu tempat bernama Jembatan Puri, tempat jual beli ikan dan hasil tangkapan laut lain. Tidak tahu mengapa nama itu tidak dinamakan “pasar”, tetapi tetap memakai nama asli dari tempat itu, Jembatan Puri. 

Pernah waktu itu saya ingin pergi ke Jembatan Puri menggunakan angkutan umum, ketika saya menyebutkan nama tempatnya “Pasar Puri” seketika langsung dikoreksi oleh bapak supir angkotnya, dengan logat khas Papua, “Jembatan Puri kah?” 

“Yang tempat jual ikan itu, Pak.” Jawab saya. 

“Oh, iya, Jembatan Puri itu.” Balasnya lagi. 

Seketika saya langsung mengiyakan, karena saya yang memang pendatang, tidak ada gunanya menyangkal lagi salah satu fakta yang ada di kota orang. 

Lokasi Jembatan Puri ini masih berada di Kota Sorong, tidak di ujung maupun di tempat terpencil seperti yang dibayangkan. Hanya saja perlu masuk ke dalam gang, tetapi tidak terlalu jauh dari jalan raya. 

Sampai di Jembatan Puri, ternyata tidak hanya menjual ikan dan hasil laut saja, ada juga yang berjualan sayur, sembako, juga sagu. Tetapi memang tidak seperti pasar tradisional kebanyakan. Hanya sedikit yang berjualan sayur dan sembako, karena memang spesialisasi tempat itu untuk berjualan ikan dan hasil laut lainnya.

Jam operasional Jembatan Puri buka dari subuh hingga jam 9 pagi. Pernah waktu itu saya mencoba datang jam 10, sudah tidak ada lagi penjual. Sepi. Mereka bahkan sudah keluar dari tempat itu dengan membawa peralatan jualannya juga barang dagangannya. Hanya sisa penjual sayur dan sembako, itupun hanya tinggal beberapa. 

Para penjual membuat lapaknya sendiri untuk barang dagangannya. Payung hanya opsional, dan mereka biasa menggunakan terpal sebagai alas ikan-ikan itu. Lalu memamerkan ikan-ikan itu, bahkan sudah ada yang dikelompokkan, atau sudah dihitung penjualnya, jika nanti ada yang membeli langsung dibungkus. 

Fakta lain yang membedakan Sorong dengan Jawa adalah timbangan. Membeli ikan di Sorong tidak dengan menyebut ingin berapa kilogram, tetapi penjualnya sudah membuat takaran sendiri, tinggal menyebut ingin berapa tempat yang mau dibeli. Pertama membeli juga agak bingung, karena terbiasa dengan menyebut beratnya, bukan jumlahnya. 

Contohnya saja ketika membeli ikan Kembung atau ikan Lema biasa orang sini menyebutnya, saya ditawari oleh penjual, satu tempat harganya lima belas ribu. Isi ikan sekitar lima ekor. 

Selayaknya pasar, Jembatan Puri tidak pernah kehabisan pembeli. Ada saja yang mendatangi tempat itu dan membeli beberapa ikan. Karena ikan-ikan yang dijual pun juga masih segar. Hasil tangkapan nelayan semalam berlayar, lalu esok paginya dijual. 

Lalu bagaimana dengan di pasar tradisional di sini? Apakah di pasar tradisional tidak menjual ikan segar?

Pasar tradisional juga menjual ikan laut, tetapi untuk kesegaran dari ikan tentu kalah dengan ikan yang dijual di Jembatan Puri. Uniknya pasar tradisional di Sorong, mereka buka dari pagi hingga sore menjelang maghrib. Biasanya di Jawa, pasar tradisional hanya buka dari pagi hingga siang atau dari sore hari hingga tengah malam. 

Tetapi enaknya belanja ikan di pasar tradisional, ketika sudah sore hari biasanya mendapat harga diskon. Dari yang semula membeli dua tempat diberi harga Rp30 ribu, bisa menjadi lebih ekonomis mendapat harga sampai Rp20 ribu. Tetapi perlu diingat, ikan sudah tidak sesegar pagi hari.

Tak jarang, pembeli ikan-ikan itu sebagian adalah pemilik warung makan seafood yang berada di Sorong. Tepatnya di Tembok Berlin, warung berjejeran di area ini, menawarkan aneka masakan hasil laut. Bedanya dengan di Jawa, pembeli bisa memilih sendiri ikan yang ingin dimakan. Memilih jenis ikan apa sampai ukuran yang seberapa.

Oh iya, Tembok Berlin itu sebutan nama tempat di Sorong. Biasanya itu menjadi titik tujuan akhir untuk orang-orang yang jogging di pagi atau sore hari. Karena di sore hari, selain terdapat warung makan seafood, juga tersedia penjual gorengan dan kelapa muda. Terlebih jika beruntung mendapat cuaca yang cerah, kita bisa mendapati pemandangan matahari tenggelam di Tembok Berlin.

Dua kali saya makan di warung makan area Tembok Berlin. Pertama kali ke sana, saya memilih ikan nubara karena memang tidak terlalu suka dengan ikan. Harganya cukup murah, Rp55 ribu sudah lengkap dengan nasi putih, lalapan, dan sambal colo-colo.

Sambal colo-colo itu mirip sambal dabu-dabu, bedanya adalah jika sambal dabu-dabu disiram dengan minyak, sedangkan sambal colo-colo menggunakan perasan jeruk nipis atau jeruk lemon. Rasanya sama-sama enak, hanya saja sambal colo-colo memiliki sensasi asam. Dipadukan dengan ikan bakar sangat cocok. Namun, kalau kurang suka dengan sambal colo-colo, kita bisa menggantinya dengan sambal terasi. 

Saya baru pertama kali mencicipi sambal colo-colo. Ternyata, rasanya enak. Cocok di lidah saya. Sambal colo-colo bisa menjadi alternatif bikin sambal super cepat ketika sedang malas mengulek.

Yang kedua, saya memilih ikan kerapu di warung berbeda dari warung pertama yang saya datangi. Warnanya merah, bentuk ikannya memanjang. Kalau ikan bubara bentuknya pipih atau melebar ke samping. Rasa dari ikan kerapu lebih juicy, lebih manis, lebih enak dibandingkan ikan bubara. Wajar sih, karena harganya juga lebih mahal dibandingkan dengan ikan bubara tadi. 

Sorong tak kalah unik dengan Bali, tak kalah ramai dengan Jakarta, pandangan “underestimate” hanya membuat diri tidak akan ke mana-mana. 

The post Menyusuri Pasar Ikan hingga Warung Makan di Jembatan Puri Sorong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-pasar-ikan-hingga-warung-makan-di-jembatan-puri-sorong/feed/ 0 27090