Dimas Purna Adi Siswa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/dimas-purna/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 15 Jul 2024 07:10:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dimas Purna Adi Siswa, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/dimas-purna/ 32 32 135956295 Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/ https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/#respond Mon, 15 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42342 Berkunjung kembali ke Pulau Dewata menjadi salah satu keinginan yang telah saya nantikan beberapa waktu belakangan ini. Tidak dapat dimungkiri Bali menjadi destinasi yang sangat lengkap untuk mencurahkan segala rasa yang terpendam. Setelah sekian purnama...

The post Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung kembali ke Pulau Dewata menjadi salah satu keinginan yang telah saya nantikan beberapa waktu belakangan ini. Tidak dapat dimungkiri Bali menjadi destinasi yang sangat lengkap untuk mencurahkan segala rasa yang terpendam. Setelah sekian purnama berlalu, kali ini saya kembali menyambangi Bali bersama orang terdekat.

Tidak banyak tempat yang saya kunjungi karena keterbatasan waktu. Tujuan utama saya di antaranya menyambangi Uluwatu. Mungkin rencana perjalanan saya terdengar terlalu biasa dan klise. Akan tetapi, menurut saya salah satu daya tarik Uluwatu adalah betapa lengkapnya obyek wisata ini. Dari menikmati sunset dengan megahnya pemandangan laut dari atas tebing, hingga mengunjungi Pura Uluwatu yang dikelilingi oleh ratusan monyet.

Tidak hanya keindahan dan suasana alamnya saja. Uluwatu pun menyajikan kesenian yang sudah sangat mendunia. Sajian seni itu disebut Tari Kecak. 

Menilik Kembali Tari Kecak

Jujur, saya sudah sangat sering menikmati kesenian Tari Kecak. Perjumpaan pertama saya menonton Tari Kecak saja waktu masih di sekolah dasar. Tidak tahu mengapa, saya tidak ada bosannya untuk kembali menonton kesenian tersebut.

Ada keunikan Tari Kecak yang sangat berbeda, yaitu hanya diiringi oleh musik yang dikeluarkan oleh mulut para penarinya. Kemudian kostum para penari utama yang sangat khusus dan eksentrik, ditambah adanya interaksi para penari di tengah pentas dengan penonton yang cukup menghibur. Sampai dengan makna dari Tari Kecak itu sendiri yang membawa seribu satu arti, yang dapat ditangkap berbeda oleh satu wisatawan dan yang lainnya.

Mungkin kebanyakan orang akan mendapatkan makna kebahagiaan dan perasaan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Namun, saya justru tenggelam dalam pikiran yang membawa diri untuk jauh merenung. Apabila semakin dalam memaknai Tari Kecak, apa yang terjadi dan dialami oleh pasangan kekasih Rama dan Sita bukanlah hal yang biasa. Termasuk apa yang diperjuangkan oleh mereka berdua patut untuk dijadikan teladan.

Tepat pada pukul 16.00 WITA saya tiba di Pura Uluwatu dengan mengendarai mobil. Akses menuju lokasi terbilang cukup mudah karena sudah dapat dilalui oleh kendaraan besar, seperti bus maupun truk. Namun, lokasi Pura Uluwatu yang berada di ujung Pulau Bali membuat durasi perjalanan cukup memakan waktu. Dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai saja membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit untuk sampai ke lokasi dengan catatan khusus: tidak ada macet. 

Pada saat memasuki Pura Uluwatu, seluruh wisatawan tidak bisa sembarangan masuk. Kami wajib mengikuti aturan dan tata cara selayaknya memasuki sebuah tempat suci. Seluruh wisatawan harus mengenakan kain tambahan yang dililitkan di perut sampai kaki.

Hal yang perlu diketahui oleh wisatawan adalah ketika masuk ke Pura Uluwatu, maka tidak serta-merta dapat menyaksikan pertunjukan Tari Kecak. Tarif masuk Pura Uluwatu sebesar Rp30.000 untuk wisatawan lokal. Apabila kita berniat menonton Tari Kecak maka harus membeli lagi tiket pertunjukan tersebut. Ada tiket on the spot untuk membeli Tari Kecak, tetapi ketersediaan tiket tersebut betul-betul sulit diprediksi. Lantaran Tari Kecak adalah tujuan utama saya, sudah barang tentu saya memesan tiket secara daring dari jauh-jauh hari.

Kesenian Tari Kecak yang akan saya nikmati sejatinya dijadwalkan pada pukul 18.00 WITA. Belajar dari pengalaman sebelumnya, setibanya di Pura Uluwatu saya sesegera mungkin mencari posisi yang strategis. Selain lebih khidmat menikmati pertunjukan, juga agar mendapatkan lokasi terbaik untuk melihat matahari terbenam.

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Para penari kecak memasuki tempat pertunjukan/Dimas Purna Adi Siswa

Tenggelam dalam Tari Kecak

Om Swastiastu!

Pembawa acara membuka pertunjukan sekaligus menyapa wisatawan yang sudah hadir. Tidak lama berselang, pertunjukan dimulai dengan ritual doa yang dipanjatkan oleh Pandita kepada seluruh penari. Pertunjukan Tari Kecak dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu adegan Rama dan Laksmana meninggalkan Sita, Sita diculik oleh Rahwana, Hanoman menyusup ke Alengka, dan adegan terakhir tatkala Hanoman mengobrak-abrik Alengka Pura (Ubudian, 2021). 

Sejatinya cerita Tari Kecak ini bermula dari hasrat Sita untuk mendapatkan Rusa Emas. Di kala usaha Rama memburu Rusa Emas di tengah hutan, Sita mendengar teriakan minta tolong dan seketika mengira teriakan tersebut berasal dari Rama. Sita yang tengah kalang kabut langsung menyuruh Laksmana untuk mencari Rama. Laksmana yang sempat tidak mau meninggalkan Sita sendirian—karena telah berjanji untuk menjaganya—justru dituduh secara sembrono oleh Sita bahwa Laksmana mau mengambil keuntungan apabila terjadi kematian Rama, yang merupakan kakaknya. 

Di titik inilah saya mulai hanyut, tenggelam merenungi kisah kasih diri sendiri. Prasangka buruk menyelimuti pikiran sehingga logika tidak dapat berpikir dengan jernih. Acapkali prasangka membawa kita pada tindakan yang ceroboh dan berdampak pada orang lain secara menyakitkan. 

Seakan terkena getah atas tindakan buruknya sendiri. Babak yang menyakitkan pada Tari Kecak ini adalah Sita diculik oleh Rahwana, sosok yang mempunyai sepuluh muka dan digambarkan sebagai tokoh yang keji dan kejam. Perjuangan keras Rama, dengan dibantu Laksmana serta Hanoman untuk menyelamatkan Sita, ditanggapi oleh Sita dengan memberikan sebanyak mungkin pertanda. Tujuannya memberikan ketenangan serta petunjuk kepada Rama. Kisah romansa Rama dan Sita ini pun tidak kalah mengharukan dibanding dengan Romeo dan Juliet. 

Hal yang membuat saya semakin termenung adalah tragedi kelam yang dialami oleh Rama dan Sinta bukanlah barang remeh. Coba bayangkan apabila kekasih hati kita tiba-tiba diculik oleh orang yang kita ketahui berperilaku dan berperangai tidak baik. Jika hanya berlandaskan pada logika dan firasat, pemikiran buruk sudah terbayang dan rasanya seakan hanya ingin menyerah saja bukan? 

Firasat dan logika terkadang menyatu dalam satu konklusi yang sama. 
Terlebih prasangka yang buruk bertamu memberikan hentakan gema. 
Akan tetapi, kali ini aku belajar kembali. 
Tidak selalu logika dimenangkan. 
Belum tentu firasat dibenarkan. 
Arunika yang sedari tadi menyeruak itu sejatinya sedang tertutup oleh kabut hitam. 
Oleh awan abu yang diiringi desir angin badai yang menerkam. 
Izinkan aku, langit meneduhkanmu. Aku percaya. 
Gemuruh badai akan berganti dengan ketenangan. 
Kabut hitam pun menyusul akan hilang dengan kegembiraan. 
Hingga akhirnya Arunika-ku kembali bersinar beratraksi. 
Beranjak dari timur ke barat menjadi Virama yang utuh suci. 

(Dimas Purna Adi Siswa, 2024)

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Pemandangan matahari terbenam/Dimas Purna Adi Siswa

Makna yang mendalam dari pertunjukan Tari Kecak membuat saya tenggelam pada palung pemikiran yang dalam dan melahirkan ungkapan sajak di atas secara impulsif; yang belajar dari makna Tari Kecak. Perenungan kali ini kembali menampar diri untuk terus belajar. Di tengah badai masalah yang menghantam dalam suatu hubungan, hal pertama yang perlu dicermati ialah agar tetap berpikir jernih.

Apabila pasangan kita yang tidak dapat berpikiran jernih, kitalah yang berusaha menenangkan, mendampingi, dan terus berusaha di sampingnya. Begitu pun sebaliknya. Karena sejatinya setiap persoalan atau kesulitan dalam hubungan hanyalah sebuah babak baru untuk mencapai tingkatan-tingkatan selanjutnya.


Referensi

Ubudian. (2021). Sinopsis Lengkap Pementasan Tari Kecak Uluwati. Diakses dari https://www.ubudian.id/page/sinopsis-lengkap-pementasan-tari-kecak-uluwatu.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tari-kecak-dan-kontemplasi-yang-menampar-diri/feed/ 0 42342
Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/ https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/#respond Thu, 15 Sep 2022 05:03:56 +0000 https://telusuri.id/?p=35312 Subuh pada hari Sabtu. Kali ini saya harus menggerakkan sendi-sendi otot untuk bergegas mandi. Bukan untuk berangkat bekerja, tapi untuk merealisasikan wacana perjalanan bersama teman-teman kantor yang sudah dielu-elukan sedari November tahun lalu, namun baru...

The post Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar appeared first on TelusuRI.

]]>
Subuh pada hari Sabtu. Kali ini saya harus menggerakkan sendi-sendi otot untuk bergegas mandi. Bukan untuk berangkat bekerja, tapi untuk merealisasikan wacana perjalanan bersama teman-teman kantor yang sudah dielu-elukan sedari November tahun lalu, namun baru Juni kemarin kami lakukan. Gelar “sarjana wacana” memang cukup pantas disematkan pada kami, hanya sekedar pergi ke Bogor saja dari Jakarta membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Tentang perjalanan kali ini, dibilang liburan, juga tidak. Tapi kalau dikatakan enggan liburan juga tidak pas. Pikiran saya hanya ingin mewujudkan keinginan seorang teman bernama Diana yang sudah ngidam untuk melawat di Kebun Raya Bogor. Iya betul, lokasinya harus di Kebun Raya Bogor. Tidak mau hanya sekedar di Taman Kota Jakarta. Saya juga tidak tahu mengapa harus di sana. 

Saya tipikal orang yang kalau bepergian, tidak terlalu terpaku dengan waktu. Mengalir saja dengan menikmati setiap momen bersama. Namun, agak berbeda dengan Diana. Segala jadwal acara, menjahit kain untuk alas piknik, hingga briefing H-1 sebelum keberangkatan pun dilakukan. 

Bak kepanitiaan kampus mengadakan acara study tour, semua hal harus dipersiapkan dengan matang. Titik kumpul pun sudah ditentukan di Stasiun Manggarai. Kami rencananya berkumpul di sana pukul 06.00 WIB. Tapi, karena teman-teman saya berempat dari Clement, Alifah, Gita, dan Diana menjunjung tinggi budaya lokal jam karet, baru sekitar pukul 07.30 kami baru berkumpul semuanya, cukup on time

“KRL ke Bogor ada di peron 12,” ucap salah seorang petugas Stasiun Manggarai. Kami pun bergegas menuju ke sana. Nah, di sinilah kejadian seru mulai terjadi. Saya rasa kami semua sejak bangun tidur hingga naik KRL masih dalam keadaan setengah sadar, sleepwalking rasanya. Bagaimana tidak? Ketika menunggu kereta di peron 12, ada kereta yang datang kami langsung saja masuk tanpa memperhatikan informasi tujuan kereta tersebut. Ditambah lagi, ketika kami sudah masuk dan duduk. Kami langsung terhipnotis nyamanya kursi kereta hingga terlelap tidur. Hanya ada Diana yang masih membuka mata dan asyik membaca novel. 

Saya sedikit terbangun ketika kereta sudah sampai di Stasiun Pasar Minggu Baru. Aneh, kenapa saya malah mendengar kereta ini sedang menuju ke stasiun akhir Cibinong dan Nambo. Wah salah naik kereta nih! 

Nyasar di Stasiun Cibinong
Nyasar di Stasiun Cibinong/Dimas Purna Adi Siswa

Lalu, cobalah saya bicara dengan Mbak Gita yang memang asli tulen Jakarta, “Nggak mungkin salah kereta, gue anak KRL nih. Udah pasti ke Bogor ini, kalo ke Nambo mah transit lagi,” ucapnya. Saya berdebat ngalor-ngidul dengan Mbak Gita yang kekeh bahwa kereta ini pasti sampai di Bogor, tapi dalam benak hati saya tetap berpikir sepertinya kami salah naik kereta. 

Benar saja kereta ini bertujuan akhir di Nambo. Rencana awal sampai di Stasiun Bogor sekitar jam setengah sembilan menjadi molor karena harus kembali ke Stasiun Citayam untuk ganti kereta. 

Kami akhirnya tiba di Bogor meskipun sangat meleset dari jadwal yang kami rencanakan. Sebelum naik angkutan kota berwarna hijau, kami membeli sedikit kudapan. Diana yang sangat semangat untuk tetap on track sesuai jadwal agaknya sudah pasrah. Apalagi melihat teman saya Alifah yang kerjanya sepanjang jalan hanya tidur saat di kereta maupun angkot. Mungkin dalam pikirannya, ya sudah yang penting tidak lagi wacana untuk piknik. 

Tibalah kami di Kebun Raya Bogor, banyak pengunjung lain yang antri membeli tiket masuk menyambut kedatangan kami. Rencananya kami semua ingin mengelilingi Kebun Raya dengan menaiki sepeda, tapi melihat antrian yang cukup panjang kami urungkan niat tersebut. Coba beralih menaiki shuttle bus atau golf car ternyata harus menunggu sekitar 40–60 menit. Fix, kami salah tanggal. 

Kolam Kebun Raya Bogor
Kolam Kebun Raya Bogor/Dimas Purna Adi Siswa

Kami putuskan seketika, untuk langsung menuju inti acara. Piknik!

Setelah berkeliling mencari lokasi untuk menggelar tikar, akhirnya kami menemukan satu lokasi yang cukup luas dengan kondisi rumput yang kering, dan tentunya lokasi ini berada di bawah pohon yang cukup rindang. 

“Cocok nih!” ujar saya.

Langsung saja segera menggelar tikar dan menata satu per satu makanan yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Bercengkrama bercerita satu sama lain sambil menikmati makanan. Saya mulai merasakan kehangatan yang sudah lama saya tidak rasakan.

Ingatan saya mulai muncul kembali akan kebiasaan keluarga saya dahulu yang cukup sering piknik bersama. Dari rumitnya persiapan berangkat, mencari spot untuk menggelar tikar, hingga makan bersama sambil bersenda gurau. Ternyata tanpa saya sadari, piknik bersama teman saya ini sangat membuat rindu akan keluarga yang saat ini sudah tidak utuh.

Tanaman Kebun Raya Bogor
Tanaman Kebun Raya Bogor/Dimas Purna Adi Siswa

Meskipun, hanya bersama teman-teman kantor, setidaknya hal ini cukup memberikan kehangatan dan kebahagiaan yang sudah lama tidak saya rasakan. Memang betul waktu bersama orang-orang yang kita sayangi sangat-sangatlah berharga hingga ada ucapan bahwa hadiah yang sangat berharga dari seseorang adalah waktu yang dia berikan kepada kita. Karena, dari waktu bersama tadilah muncul kenangan yang akan selalu terpatri dalam jiwa setiap manusianya. Apalagi kalau waktu bersama ini menyangkut kehangaan dan kebersamaan dengan keluarga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kebun Raya Bogor dan Ingatan yang Tak Pudar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-raya-bogor-dan-ingatan-yang-tak-pudar/feed/ 0 35312
Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/ https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/#respond Tue, 24 Nov 2020 09:02:31 +0000 https://telusuri.id/?p=25508 Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa...

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa mempertahankan ide atau gagasan kita, setidaknya di depan para dosen penguji. Saya pun sempat mengalami penyakit sejuta umat dalam menghadapi skripsi, yakni insecure alias ketakutan akan ketidakmampuan saya untuk menyelesaikannya. Terlebih momok skripsi akan selalu membayangi sampai ujian pendadaran.

Untuk mengurangi rasa khawatir yang tak kunjung usai, saya mencoba membuat jadwal yang benar-benar saya taati. Awalnya, saya menargetkan akhir 2019 sudah ujian seminar proposal. Tapi, saya malah terbuai karena terlalu fokus menuntaskan tanggung jawab saya di organisasi. Meskipun judul sudah di-acc sejak akhir Oktober, sampai Natal tiba pun belum saya sentuh sedikit pun skripsi saya. Saya pikir, dibawa santai saja, masih bisa, kok, terkejar selesai bulan Mei dan ikut wisuda Agustus.

Mengawali tahun baru, saya bikin resolusi paling realistis: kejar tayang proposal skripsi agar bisa ujian seminar proposal secepatnya. Bersamaan kejar tayang proposal tersebut, berita COVID-19 sudah tersebar ke penjuru dunia. Ketakutan pun mulai bermunculan di mana-mana. Saya, sih, menanggapinya dengan santai. “Ah, peduli kucing. Penting skripsi saya selesai. Lagian tidak akan ngefek juga ke skripsi saya,” pikir saya. Bak ibu yang sedang hamil, saya mencoba fokus seratus persen kepada sang buah hati—skripsi—dan tidak mau berpikir terlalu jauh dari apa yang sedang ada di depan mata.

Pertengahan Februari saya sudah seminar proposal. Tapi, bukannya langsung mengerjakan Bab IV, saya malah berleha-leha tak melakukan apa pun selama sebulan. Ketika saya sudah mengumpulkan niat dan semangat untuk kembali berperang, tak disangka-sangka corona akhirnya masuk juga ke Negeri Khatulistiwa ini. Seketika juga semua aktivitas terhenti. Saya masih santai-santai saja waktu itu, belum panik seperti orang kesurupan, sebab saya lihat baru di Jakarta saja ada yang kena. Di Jogja sendiri, sih, masih aman-aman saja. Eh, tapi, kok, seminggu-dua minggu kemudian makin gila saja perkembangannya.

Tak pernah terpikirkan oleh saya jika efek COVID-19 akan benar-benar membuat stres. Bagaimana tidak? Aktivitas luring terhenti dan tak semua orang, perusahaan, atau lingkungan kerja mampu beradaptasi secara cepat, tak terkecuali administrasi kampus dan pelaksanaan penelitian saya. Tiga minggu setelah kasus pertama diberitakan, universitas saya langsung menutup semua akses ke kampus. Aktivitas administrasi kampus pun boleh dibilang dalam dua minggu pertama benar-benar lumpuh. Rencana saya untuk melakukan penelitian dan wawancara ke beberapa instansi harus benar-benar tertunda. Selama bulan Maret saya pusing tujuh keliling.

Waktu corona masih di Negeri Tirai Bambu, saya masih berniat untuk datang langsung ke instansi tempat penelitian saya di Surabaya, Bandung, dan Makassar. Sebenarnya itu ide cukup nekat, karena dosen pembimbing saya menyarankan untuk sekadar mengambil data di kota tempat saya kuliah saja. Tapi, kalau tidak hajar sepenuhnya, rasanya seperti ada yang kurang. Saya cukup menyesal juga tidak langsung mengeksekusi penelitian setelah seminar. Pembenaran saya, sih, namanya juga mahasiswa; malas itu bukan penyakit tapi memang sudah mendarah daging saja. Mau tidak mau saya harus cari “jalan tikus” biar target wisuda Agustus tetap terkejar.

Jalan skripsi saya saat corona bisa dibilang memotong arus dan tidak menaati prosedur. Supaya selesai sebelum Lebaran, saya nekat mencari dan menghubungi narasumber alternatif selain yang seharusnya saya datangi di tiga kota besar tadi. Syukurnya, semua narasumber yang saya hubungi langsung bersedia dan tidak keberatan apabila saya hubungi hanya lewat WhatsApp dan saya wawancara secara daring. Bahkan, saya tidak membawa surat izin penelitian dari kampus. Narasumber sudah aman, sekarang saya butuh data lainnya. Saya coba korek informasi dari kampung halaman untuk mencari responden. Ternyata cukup susah kalau tidak pakai surat resmi. apalagi bagi mahasiswa peneliti seperti saya yang tidak punya terlalu banyak jejaring.

Pengerjaan skripsi benar-benar saya kebut satu bulan penuh sepanjang April. Saya sudah seperti romusa rasa-rasanya, mengerjakan skripsi tiada henti dan tanpa pandang waktu, begadang sampai tidur hanya beberapa jam tiap harinya selama sebulan, hanya untuk melayani tuan yang bernama skripsi. Tapi, lebih baik jangan terlalu berlebihan seperti saya, sebab saya harus membayar “utang” dalam bentuk gejala tifus pascaskripsi. Kerja, kerja, kerja—tifus.

Upacara wisuda dan pelepasan daring/Dimas Purna Adi Siswa

Untuk menyiasati data yang belum sepenuhnya saya dapat, kadang saya menggunakan hipotesis atau asumsi pribadi terlebih dahulu. Baru nanti saya ubah dan sesuaikan apabila data benar-benar sudah ada. Untungnya asumsi saya hampir sembilan puluh persen sesuai dengan data yang akhirnya saya dapatkan. Coba kalau tidak, bisa-bisa harus kerja dua kali.

Ketika selesai, naskah skripsi langsung saya kirimkan kepada dosen pembimbing. Dan kesusahan/kesulitan sepertinya memang selalu beriringan dengan kemudahan. Setelah sebulan kerja rodi, saya seperti merdeka dari penjajahan.

Awalnya, saya pikir proses revisi naskah skripsi akan memakan waktu hingga sebulan. Sudah banyak cerita soal proses revisi skripsi yang berlangsung berminggu-minggu, jadi barangkali lumrah saja saya berasumsi demikian. Tapi, nyatanya, keesokan hari setelah saya kirimkan, dosen pembimbing saya mengirimkan revisian. Benar-benar terkejut saya. Total, saya hanya perlu waktu tiga hari untuk memoles naskah sampai menjadi sempurna dan siap untuk dihidangkan. Saya apresiasi betul dosen pembimbing saya; benar-benar mengerti dan memahami mahasiswanya, meskipun dirinya dikenal perfeksionis.

Badai corona memang benar-benar memaksa semua umat manusia untuk berubah dan beradaptasi kembali untuk bisa bertahan. Kaget dan tersendat-sendat karenanya memang keniscayaan. Tapi, bukan berarti tidak bisa melaluinya juga.

Sudah hampir sembilan bulan hidup di tengah pandemi, saya kira corona bukan momok yang sangat menakutkan, tapi juga tidak bisa diremehkan. Syukurnya, hampir semua lini sudah beradaptasi—dan saya harap kamu juga demikian. Apabila sekarang di tengah-tengah pandemi begini kamu sedang mengerjakan skripsi, semoga cerita saya bisa sedikit menolong.

Tapi, saran utama saya, sih, paling penting jaga kewarasan diri saja dulu. Habis itu baru mengurus skripsi.

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/feed/ 0 25508
Perjalanan Mendebarkan ke Puncak Widosari https://telusuri.id/perjalanan-mendebarkan-ke-puncak-widosari/ https://telusuri.id/perjalanan-mendebarkan-ke-puncak-widosari/#respond Fri, 13 Nov 2020 08:56:41 +0000 https://telusuri.id/?p=25235 Obrolan tentang pariwisata Jogja memang takkan ada habisnya. Dari tempat wisata ramai seperti Malioboro, Candi Prambanan, Taman Sari, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta sampai pantai-pantai di Gunung Kidul, semua memancarkan daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan....

The post Perjalanan Mendebarkan ke Puncak Widosari appeared first on TelusuRI.

]]>
Obrolan tentang pariwisata Jogja memang takkan ada habisnya. Dari tempat wisata ramai seperti Malioboro, Candi Prambanan, Taman Sari, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta sampai pantai-pantai di Gunung Kidul, semua memancarkan daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan. Kulinernya pun tidak kalah menarik untuk dicoba.

Saya sendiri sebenarnya pernah hidup di Jogja selama kurang lebih empat tahun, dari 2016 hingga 2020. Saya pulang ke kampung halaman bulan Juli 2020 lalu karena masa studi saya sudah selesai. Tapi, akhir Agustus lalu, meskipun sedang di tengah pandemi, saya mampir ke Jogja. Selain untuk melepaskan penat sejenak, saya ke Kota Gudeg untuk mengurus dokumen kelulusan sekaligus bertemu teman-teman kuliah sebelum kami sibuk dalam kehidupan masing-masing.

Tanggal 26 Agustus 2020, saya bersama lima teman main ke Kulonprogo. Sebenarnya tempat yang akan kami datangi dulunya adalah lokasi KKN teman saya. Karena sudah bosan mampir ke tempat wisata Yogyakarta yang mainstream, kami mencoba untuk ke Kulonprogo. Bagi banyak orang, mungkin nama Kulonprogo masih belum setenar Kota Yogyakarta atau Sleman. Tapi, beberapa tahun terakhir Kulonprogo mulai menunjukkan taringnya, terlebih usai rampungnya Yogyakarta International Airport.

Kebun teh sebelum Puncak Widosari/Dimas Purna Adi Siswa

Kami berangkat ke tempat yang dikenal oleh warga setempat sebagai Bukit Widosari itu saat matahari sedang terik-teriknya. Perjalanan ke sana bisa menghabiskan satu album Iwan Fals. Tempat ini masuk Kulonprogo, D.I. Yogyakarta, namun lebih dekat jika dicapai dari Magelang, Jawa Tengah. Ada dua hal yang bisa dilihat di kawasan Bukit Widosari, yakni kebun teh dan Puncak Widosari. Akses jalan menuju tempat itu sudah bisa dilalui kendaraan roda empat, melewati perbukitan dengan belokan serta tanjakan-turunan.


Ketika sampai di sana kami langsung disapa udara segar dan hawa sejuk, meskipun kami tiba sekitar pertengahan antara Zuhur dan Asar. Terik panas matahari jadi tak terasa. Ah, memang ini yang saya cari-cari. Entah karena sedang pandemi atau memang karena belum banyak yang tahu, tempat itu tak terlalu ramai. Hanya dua-tiga rombongan yang kami lihat waktu itu.

Sambil menikmati suasana, kami beristirahat di salah satu warung kecil yang berjejeran. Sekadar untuk mengganjal perut dan melepas dahaga saya rasa sajian di warung-warung ini sangat pas.

Selesai menghabiskan dua Indomie, lima es teh, dan beberapa gorengan, kami terus ke tujuan pamungkas.

Jalan ke sana benar-benar sangat memacu adrenalin—apalagi bagi yang kebagian jatah menyupir mobil seperti saya. Jika ada kesempatan ke sana lagi, saya sepertinya akan naik motor saja. Jalan ke parkiran Puncak Widosari berbatu-batu dan sangat sempit—kadang mesti melewati jurang tanpa pengaman. Saya tak tahu apa yang bakal terjadi jika dua mobil berpapasan, sebab tak semua ruas punya ruang untuk meminggirkan si roda empat.

Bukit Widosari, Kulonprogo
Jalur bata beton sebelum tangga menuju Puncak Widosari/Dimas Purna Adi Siswa

Maka lega sekali rasanya ketika saya akhirnya memarkirkan mobil di areal parkir di puncak bukit. Beban tanggung jawab di pundak karena membawa lima anak manusia seketika terangkat—andai mereka tahu bagaimana rasanya menyetir di jalur penuh tantangan tadi. Dari tempat parkir ke puncak, kami tak perlu susah-susah mendaki jalan setapak, sebab sudah ada jalur dan tangga beton.

Rasa tak menentu akibat semburan adrenalin dan capai karena menaiki anak tangga seolah-olah mendadak hilang begitu kami tiba di puncak bukit. Saya tak menyangka pemandangan akan seelok ini. Juga, banyak tempat untuk berfoto di sana—tapi tenang, tak ada spot foto “love”, kok. Kalau mau duduk-duduk, bisa pilih salah satu dari kursi yang disediakan untuk istirahat. Tapi, tak ada pedagang atau warung kecil di puncak.

Kami pun berkeliaran di sekitar Puncak Widosari. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Rona senja sudah mulai kelihatan, menyapu pemandangan dengan nuansa keemasan.

The post Perjalanan Mendebarkan ke Puncak Widosari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mendebarkan-ke-puncak-widosari/feed/ 0 25235
Kehangatan Toleransi di Kintamani https://telusuri.id/kehangatan-toleransi-di-kintamani/ https://telusuri.id/kehangatan-toleransi-di-kintamani/#respond Sat, 17 Oct 2020 12:44:26 +0000 https://telusuri.id/?p=24537 Mungkin perjalanan ini sudah agak usang. Namun, sayang rasanya apabila memori ini tidak saya abadikan. Yogyakarta, 29 Juni 2019, adalah awal perjalanan saya menuju Pulau Dewata. Mulanya, perjalanan itu saya kira bakal melelahkan, membosankan, dan...

The post Kehangatan Toleransi di Kintamani appeared first on TelusuRI.

]]>
Mungkin perjalanan ini sudah agak usang. Namun, sayang rasanya apabila memori ini tidak saya abadikan.

Yogyakarta, 29 Juni 2019, adalah awal perjalanan saya menuju Pulau Dewata. Mulanya, perjalanan itu saya kira bakal melelahkan, membosankan, dan penuh drama, sampai-sampai saya berharap agar itu cepat berakhir saja. Kenyataannya, saya menikmatinya.

Tapi perjalanan saya ke Bali itu sebenarnya bukan untuk liburan atau hura-hura, meskipun memang tak bisa dipungkiri ada niat terselubung untuk hal itu. Saya ke sana dalam rangka menunaikan salah satu program kuliah autentik dari kampus saya, universitas yang warna jas almamaternya mirip karung goni itu. Jelas saya tidak ke sana sendiri. Ada 29 orang lain—dengan tingkah polah masing-masing—yang menemani saya. Dari sekadar “teman” atau “kenalan,” status mereka berubah jadi “sohib” di mata saya.

Tapi saya menulis ini bukan untuk bercerita tentang mereka. Bukan juga untuk berkisah tentang keindahan Pulau Dewata, sebab pastilah akan klise. Yang hendak saya ceritakan adalah pelajaran soal toleransi beragama yang saya dapat dari warga lokasi KKN saya, saudara-saudara baru saya di Bali.


Kami diterjunkan ke Desa Kedisan dan Desa Buahan. Kalau kamu tahu Danau Batur alias Danau Kintamani, bayangkan tepiannya. Kedua desa itu tepat berada di tepian danau itu. Mudahnya, kalau ada yang bertanya “Kemarin kau KKN di mana?” saya akan bilang: “Di daerah Kintamani.” Nama Kintamani, kecamatan di mana kedua desa lokasi KKN kami berada, memang lebih tenar. Selain kopi, nama Kintamani juga identik dengan salah satu jenis anjing. Pasti kamu pernah dengar lagu “Anjing Kintamani” yang bikin nama Shaggydog tenar ke penjuru Indonesia.

Kami tiba di Kintamani siang hari tanggal 30 Juni 2019. Meskipun masih terang, hawa dingin, karena tempat itu memang berada di pegunungan. Dingin tentunya bisa diobati oleh sesuatu yang hangat. Kehangatan itu saya dapat dari sambutan warga setempat. Tapi, rupanya tak hanya warga setempat yang bersuka cita menyambut kedatangan kami, hewan-hewan peliharaan juga. Baru saja sampai di depan gerbang pondokan, kami sudah disambut gonggongan selamat datang anjing peliharaan Pak Broto. Beliau bersama sang istri, Bu Komang, adalah pemilik rumah yang jadi pondokan kami selama masa KKN.

Setiba di lokasi, kami langsung melebur dengan warga setempat. Karena akan menjadi warga Kedisan dan Buahan selama beberapa waktu, sudah jadi keharusan bagi kami untuk srawung-srawung lucu.


Saya masih ingat sekali, orang pertama yang saya kenal di lokasi KKN adalah seorang pemuda asli Kedisan, namanya Bli Dodi. Dialah yang mengenalkan kami kepada warga Kedisan lainnya, berkat bantuannya mengadakan “perjamuan.” Slogan Bli Dodi: “pesta selalu.”

Selain ikut “perjamuan,” cara kami berkenalan dengan lokasi KKN adalah ikut ke ladang, babat hutan, main futsal di dermaga, dan—ini yang takkan pernah saya lupakan—ikut upacara adat.

Kenyataan bahwa saya tidak berasal dari sana dan tidak memeluk Hindu tidak menjadi masalah bagi warga desa yang melaksanakan upacara adat. Dan bagaimana mereka menyikapi perbedaan itu membuat mata saya terbuka—sekaligus bikin saya terharu.

Salah satu upacara adat di Kintamani/Dimas Purna

Upacara adat yang pertama kali saya ikuti adalah purnama kasa di Desa Buahan. Uniknya, waktu saya ikut upacara itu, di desa sebelah, Kedisan, tidak ada upacara serupa. Tentu saya bertanya, kenapa demikian? Ternyata di Kedisan ada bayi kembar yang baru lahir. Selama 40 hari setelah bayi lahir tidak boleh ada upacara adat.

Purnama kasa itu berlangsung beberapa hari. Salah satu kegiatannya ialah berkeliling Pura Ulun Danu Batur, seperti tawaf. Usai upacara, kami diajak makan bersama. Sudah jadi tradisi di sana bahwa setiap kegiatan akan diakhiri dengan makan bersama.

Saya suka makan, apalagi kalau gratis dan enak. Tapi, waktu itu, bukannya senang saya malah takut. Kenapa begitu? Alasannya sederhana, saya tidak bisa makan babi atau olahan yang menurut kepercayaan saya tak boleh dimakan. Mungkin, kalau dipaksakan makan babi, diri saya bisa gemetar hebat dan takut. Entahlah, saya juga bingung, padahal saya juga tak suci-suci amat. Dari sekian larangan yang saya langgar, salah satu yang tak pernah bisa saya lakukan adalah mengonsumsi makanan atau minuman yang dilarang. Mau tidak makan, tentu saya akan merasa tidak enak dengan tuan rumah. Sebaliknya, kalau ikut makan, saya juga khawatir.

Meskipun sudah berpikir keras untuk menghindar, akhirnya saya memutuskan ikut makan. Ketika saya mau mengambil makanan dengan perasaan yang campur aduk, tiba-tiba salah seorang tokoh adat menunjuk ke arah beberapa lauk sambil berkata dengan logat khas Bali, “Ini jangan dimakan, ya. Ini olahan babi—tapi kalau mau makan juga tidak apa. Ini ada lauk yang barusan dimasak buat yang tidak bisa makan babi.”

Saya lega.

Makan-makan bersama usai upacara adat/Dimas Purna

Setelah saya telusuri, rupanya semula juru masak tidak tahu ada rombongan dari luar desa yang ikut upacara adat, rombongan yang kebanyakan tidak beragama Hindu dan tidak bisa makan olahan tertentu. Tahu bahwa mereka kedatangan tamu, dengan sigap juru masak dibantu tokoh adat setempat mempersiapkan lauk agar kami tetap bisa mengikuti makan-makan usai upacara adat kala itu. Hari itu tampaknya saya tak cuma ditakdirkan untuk menikmati makanan melainkan juga menikmati toleransi beragama.

Di beberapa kesempatan makan bersama atau “perjamuan” pun kami sering diingatkan, “Kalau nggak bisa makan dan minum jangan dipaksa, ya. (Yang) penting kita ngobrol-ngobrol bareng aja. Tapi kalau mau, ya, ini coba aja.”

Namanya juga anak muda, apalagi kami sedang jadi warga lokal alias akamsi, banyak dari sohib saya yang minum arak dan makan babi. Kata mereka, sih, enak sekali. Bahkan lebih enak daripada olahan di kota atau restoran mahal. Saking takjubnya dengan mahakarya masakan babi, sohib-sohib bahkan sampai bikin kolase foto yang diberi judul: “Babi Adalah Sumber Kehidupan.”

Cerita ini mungkin sederhana sekali, tapi sangat bermakna bagi saya. Saya yang terbiasa menjadi mayoritas seperti ditampar rasanya. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya teman-teman minoritas yang terkadang sampai mesti mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan [di tengah-tengah mayoritas].

Seharusnya perbedaan apa pun tak dijadikan permasalahan, terlebih masalah agama. Jika ada gesekan, semua bisa diselesaikan dengan cara yang indah tanpa harus mengakibatkan timbulnya perpecahan. Terpenting dari itu, semua terletak bukan pada keberbedaannya tapi kebersamaannya.

The post Kehangatan Toleransi di Kintamani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kehangatan-toleransi-di-kintamani/feed/ 0 24537