Diyah Deviyanti, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/diyah-deviyanti/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 19 Aug 2021 04:18:58 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Diyah Deviyanti, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/diyah-deviyanti/ 32 32 135956295 Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/ https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/#respond Fri, 06 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29423 7 April 2021, aku masih di kampung halaman, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebijakan work from hometown akibat pandemi COVID-19 membuatku bisa tinggal di kampung halaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Meskipun aku bekerja di...

The post Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam appeared first on TelusuRI.

]]>
7 April 2021, aku masih di kampung halaman, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebijakan work from hometown akibat pandemi COVID-19 membuatku bisa tinggal di kampung halaman dalam kurun waktu yang cukup lama. Meskipun aku bekerja di sini, kebiasaan bekerja di lapangan membuatku ingin menambah aktivitas lain di luar pekerjaan utama, yaitu menulis.

Di sini, ada satu Desa yang menarik perhatianku. Namanya Desa Kandung Suli. Desa ini terletak di Kecamatan Jongkong dan masih satu kecamatan dengan desaku. Jarak dari desaku ke sini juga cukup dekat, menggunakan motor hanya membutuhkan waktu 30-45 menit dengan jalanan aspal dan berbatu. Masyarakat Desa Kandung Suli menggunakan motor sebagai alat transportasi darat, dan perahu untuk jalur sungai.

Perahu - transportasi Desa
Perahu – transportasi Desa/Diyah Devianti

Menelusuri sejarah Desa Kandung Suli

Menurut Pak Ahmadi, Kaur Umum dan Perencanaan Desa Kandung Suli, zaman kerjaan dahulu kala, tempat ini dihuni oleh orang Dayak. Ada seorang pria bernama Suli menikah dengan seorang wanita Undang, mereka memiliki 2 orang anak. Anak lelakinya bernama Linau memadu kasih dengan adik kandungnya sendiri hingga hamil. Akibat perbuatan tersebut Suli dan sang adik mendapatkan hukuman pancung di Bukit Senara (Bukit Susu). Darah mereka berdua mengalir ke Sungai Letang hingga Sungai Terus di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Konon katanya Sungai Terus dinamakan karena darah Suli dan sang adik mengalir terus menerus. Untuk mengenang kejadian tersebut, makanya desa ini dinamakan Kandung Suli yang mengambil nama sang ayah kedua anak muda tersebut. Pak Ahmadi bilang, beliau tidak mengetahui tahun kejadian kisah ini. Seperti cerita dari orangtuanya, kisah ini terjadi pada zaman kerajaan.

Lalu setelah ratusan tahun, datanglah nelayan dari Desa Piasak—desa yang terletak di Sungai Kapuas dan Desa Gerayau. Kedua Desa ini terletak di Kecamatan Selimbau. Pada masa Camat Adi Jinan sekitar tahun 1960-an, Kadung Suli masih bergabung dengan Kampung Jongkong Pasar. Sahari menjadi kepala kampung pertama. Lalu, kepala kampung kedua—Untat Sahari merupakan anak dari mantan kepala pertama.

Setelah itu, Kadung Suli berubah menjadi dusun dan masih tergabung dengan Dusun Jongkong Pasar. Kepala dusun pertama yaitu Muhidin, dilanjutkan ke kepala dusun kedua yaitu Awaludin. Lalu, kepala dusun ketiga Saharmansah. Kepala dusun keempat yaitu Suharman, ia menjabat pada 2008-2011. Tahun 2011 terjadi pemekaran, dan Desa Kandung Suli berubah status menjadi Desa Mandiri terlepas dari Desa Jongkong Pasar. Kepala desa pertamanya ialah Herman Pelani, ia dilantik oleh Camat Karim. Kepada Desa kedua Awaludin—mantan kepala dusun kedua—yang menjabat hingga saat ini.

Mitologi Desa

Danau Kandung Suli
Danau Kandung Suli/Diyah Devianti

Desa Kandung Suli juga terkenal dengan keangkerannya. Bahkan terdapat satu kisah yang hingga kini masih dipercaya setiap warganya yakni adanya “penunggu” atau gana yang bernama Modang Bedaun. Konon, Modang Bedaun adalah batang pohon yang hanya memiliki selembar daun. Ia dipercaya berada di dalam Danau Kandung Suli. Ketika air pasang, Modang Bedaun berjalan ke Nanga Bantas dan ketika air surut berjalan ke Sungai Marau.

“Saya pernah menjala ikan, namun jalanya robek akibat ikan siluk merah berantai. Ikan siluk biasa kita kenal sebagai ikan arwana. Ikan siluk merah berantai ini juga salah satu penunggu di desa ini. Sisik ikan ini punya rantai tajam yang jarang ditemui.”

“Ada seorang teman yang sedang menjala ikan. Ia melihat ikan siluk merah berantai yang tiba-tiba berubah menjadi ular,” sambung Pak Awaludin, Kepada Desa Kandung Suli.

Mata pencaharian masyarakat

Warga membersihkan ikan
Warga membersihkan ikan/Diyah Devianti

Desa yang terletak tepat di tepi danau ini juga menyimpan beragam jenis air tawar di sana. Sayangnya, ketika aku menanyakan berapa jumlah jenis air tawar yang ada, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya. Namun masyarakat meyakini ada ratusan jenis ikan air tawar di sana. Letak geografis Desa Kandung Suli juga yang menjadi salah satu alasan pekerjaan utama masyarakat adalah nelayan. Selain itu ada juga yang menyadap karet di perkebunan milik sendiri. 

Meski hanya ada 2 pekerjaan utama mayoritas warga, nyatanya ada pekerjaan tambahan yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu. Mereka selalu punya cara untuk membantu suami agar kebutuhan dapur dan anak bisa terpenuhi. Pekerjaan tersebut yaitu membuat keranjang dari rotan, tikar dari kulan—tumbuhan endemik di Kapuas Hulu—atau pandan berduri.

Saya kemudian berbincang dengan Nenek Piah. Ia ialah salah satu pengrajin keranjang dan tikar. Semenjak suaminya meninggal pada 2018 lalu, membuat keranjang atau membuat tikar menjadi pekerjaan utamanya.

“Nenek sudah tidak bisa menyadap, sekarang membuat keranjang dan tikar saja dari rumah. Bahan baku seperti rotan dan pandan berduri ada yang mencarikan. Nanti jika keranjang atau tikar yang terjual, uangnya kami bagi dua. Terkadang pencari bahan baku yang membelinya,” paparnya.

“Harga keranjang ukuran besar Rp40 ribu; dan yang kecil Rp30 ribu. Sedangkan tikar Rp40 ribu untuk ukuran kecil dan Rp70-80 ribu karena pembuatannya susah,” sambungnya.

Jika diulas lagi sejak pencarian bahan baku hingga pembuatan, membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk ukuran keranjang kecil dan 5 hari ukuran besar. Jadi harga yang tersebut relatif murah. Namun menurut Nenek Piah, jika dijual lebih mahal, tidak ada yang mau beli.

Syukurnya, meski harga yang tergolong murah, Nenek Piah bilang kalau generasi muda masih ada yang mau belajar menganyam meski bukan menjadi pekerjaan utama. Pekerjaan ini juga membuatnya bersyukur masih bisa bekerja di hari tua ketimbang berdiam diri saja di rumah.

HHBK nenek Piah sedang membuat bahan anyaman kerangjang rotan
Nenek Piah sedang membuat bahan anyaman kerangjang rotan/Diyah Devianti

Selain membuat anyaman, ada lagi pekerjaan tambahan yang unik menurutku yaitu menyiangi ikan-ikan hasil nelayan sebelum dijual ke pasar. Misalnya jenis ikan patin, dipotong menjadi beberapa bagian seperti membuang perutnya, mengambil bagian bawah perut yang mayoritas isinya lemak ikan, lalu memisahkan duri, memotong kepala dan terakhir memisahkan antara tulang dengan isinya yang biasa kita kenal sebagai istilah fillet. Nah, setiap bagian ini dikerjakan oleh masing-masing orang. Meski begitu, upahnya sama rata yaitu Rp2 ribu per kg. 

Bahagia dalam kesederhanaan

Hari ini aku diingatkan lagi, setiap orang punya standar masing-masing dalam hidup, berapapun penghasilannya bisa saja mencukupi kebutuhan keluarga jika disyukuri dan digunakan sebagaimana mestinya. Jadi, memang betul bahagia tidak selalu bisa diukur seberapa banyak kamu punya harta. Alam yang lestari, ada sumber alam yang bisa dimanfaatkan namun juga menjaganya disaat yang bersamaan, bisa juga membuat warganya bahagia dalam kesederhanaan.

Melangkah kaki ke daerah yang masih berdekatan dengan hutan selalu membuatku takjub akan sistem-sistem sederhana namun dilakukan dengan sepenuh jiwa. Sistem-sistem sederhana ini membuat alam kita terus terjaga, karena menjaga alam kita kadang tidak melulu harus menunggu sistem menjadi sempurna, hanya cukup dijalani saja agar semua merasa aman karena saling menjaga.

Seperti harapan Pak Awaludin Kepala Desa Kandung Suli, “DKS maju, mau jadi Desa Mandiri dan ada banyak aset misalnya ada ikan arwana, sarang burung walet untuk pendapatan Desa. Ada usaha kecil menengah misalnya kerajinan bisa menjadi besar, alamnya terus terjaga agar suasana yang nyaman seperti ini selalu ada, masyarakat tidak serakah dan selalu hidup selaras dengan alam”.

Akhir tulisan, ada banyak kisah di setiap jejak kaki kita melangkah. Ceritakanlah pengalaman kita dan orang yang kita temui, nantinya mungkin kisah ini bisa sebagai pengingat ataupun sebagai sejarah keberagaman bangsa kita, Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup dalam Kesederhaan, Selaras dengan Alam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-dalam-kesederhaan-selaras-dengan-alam/feed/ 0 29423
Hubungan Budaya dan Hutan https://telusuri.id/hubungan-budaya-dan-hutan/ https://telusuri.id/hubungan-budaya-dan-hutan/#respond Wed, 03 Feb 2021 03:51:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26739 Saya salah satu orang yang sangat berminat untuk berpetualang ke alam bebas dan daerah yang masih berdekatan dengan hutan. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di sana, mulai dari bagaimana alam berhubungan erat dengan budaya...

The post Hubungan Budaya dan Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya salah satu orang yang sangat berminat untuk berpetualang ke alam bebas dan daerah yang masih berdekatan dengan hutan. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di sana, mulai dari bagaimana alam berhubungan erat dengan budaya dan kehidupan kita hingga bagaimana alam menjadi tempat satu-satunya yang tepat untuk melarikan diri dari hiruk pikuk keriuhan kota.

Pulang dari perjalanan biasanya saya mendapat pelajaran baru, pelajaran yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah. Kali ini, saya ingin menceritakan satu pelajaran tentang budaya warga lokal di Desa Air Tenam yang berhubungan erat dengan hutan yang masih terjaga dengan baik.

Kunjungan saya pada Maret 2020 lalu ke Desa Air Tenam di Bengkulu Selatan, sebelum pandemi COVID-19 membatasi ruang gerak untuk berpetualang lagi, saya belajar satu budaya sederhana yang bermakna dan mencerminkan sifat ‘merasa cukup’ dari warga lokal.

Berawal dari menyantap hidangan rendang rusa yang dimasak oleh ibu-ibu untuk menyambut kedatangan kami. Saya lalu bertanya kepada mbak Nur Qomariyah yang akrab dipanggil Qoqom, daging rusa ini didapatkan dari mana. Menurut penjelasan Mbak Qoqom, daging rusa ini khusus dihidangkan untuk kami yang dianggap tamu agung.

Proses pengambilan rusa ke hutan pun tidak sembarangan, jadi sebelum kami datang warga bermusyawarah untuk ke hutan dan berburu menggunakan tombak (secara tradisional). Berburu daging rusa di sini sangat jarang, mungkin hanya 1 ekor per tahun atau berdasarkan musyawarah dan saat tertentu saja, bahkan ada peraturan adat yang dibuat jika ada yang melanggar kesepakatan, besar denda pun ditetapkan secara bermusyawarah yang artinya saat ini tidak ada kisaran tepat karena denda akan disesuaikan dengan nilai tukar uang pada saat kejadian.

Menarik perhatianku hukum adat ini dibuat oleh warga atas kesadaran mereka terhadap kelestarian ekosistem hutan yang mereka jaga dengan ketat, bahkan hingga saat ini belum pernah ada kejadian yang melanggar hukum adat ini. Contohnya, untuk menyambut kedatangan kami mereka hanya berburu 1 ekor rusa yang beratnya sekitar 25-30 kg.

Aku bahkan sempat bertanya, kenapa tidak beberapa ekor agar semua warga bisa menikmatinya juga? Jawaban Bapak Nasiun yang dikenal dengan nama akrabnya Cik Nas membuatku terkejut dan merasa malu telah bertanya, “karena kalian tamu agung kami, jadi kami hanya mengambil 1 ekor rusa saja di dalam hutan, tidak perlu semua warga menikmati daging rusa ini, turut mencicipinya saja saat memasak sudah cukup bagi kami, yang penting kalian merasakan ketulusan kami dan ini juga salah satu budaya kami di sini.”

Menurut Mbak Qoqom, rendang rusa ini dimasak dengan bumbu rendang pada umumnya seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, serai, daun kunyit, daun jeruk, daun salam, garam, dan pala yang mayoritas ditanam sendiri oleh warga di kebun dan hutan tanaman rakyat mereka, namun yang sedikit berbeda adalah semua bumbu dihaluskan lalu dituangkan santan kelapa kental yang dimasak pada temperatur sedang, kemudian baru daging rusanya dimasukkan.

Daging rusa lebih lembut dari daging sapi namun sedikit lebih amis, oleh sebab itu cuma butuh waktu 1,5 jam hingga 2 jam saja untuk memasaknya agar daging menjadi empuk dan enak, namun perbanyak rempahnya agar amis daging tidak terasa. Benar saja, rasa rendang daging rusa kala itu membuatku dua kali nambah nasi dan bahkan minta lagi untuk lauk saat kami berkemah di malam harinya.

Santapan daging rusa ini membuat saya belajar satu hal yaitu budaya sangat erat hubungannya dengan hutan, jika kita menjaga hutan dan alam dengan baik, ada banyak sumber makanan dan protein di sana, akan tetapi kita juga harus bijak ketika mengambilnya, karena semua yang ada di hutan bisa menopang kebutuhan kita manusia namun kelestarian ekosistemnya juga perlu kita jaga.

Artinya kita hanya perlu ‘merasa cukup’ agar hutan dan alam kita tetap lestari, dengan lestarinya hutan dan alam kita, sumber makanan dan budaya kita juga akan tetap ada. Terbukti, untuk mengambil 1 ekor rusa warga lokal tidak perlu jauh masuk ke hutan karena hutan di sini masih sangat terjaga, banyak hewan yang berkeliaran dengan bebas tanpa takut akan diburu oleh manusia. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hubungan Budaya dan Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hubungan-budaya-dan-hutan/feed/ 0 26739
Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/ https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/#respond Tue, 14 Jul 2020 06:18:23 +0000 https://telusuri.id/?p=23062 Perjalanan menuju desa yang terletak di Bengkulu Selatan, Desa Air Tenam, menjadi hadiah awal tahun 2020 yang menyenangkan untuk saya, karena itu adalah kali ketiga saya bepergian ke daerah sebelum kebijakan PSBB dan larangan untuk...

The post Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan menuju desa yang terletak di Bengkulu Selatan, Desa Air Tenam, menjadi hadiah awal tahun 2020 yang menyenangkan untuk saya, karena itu adalah kali ketiga saya bepergian ke daerah sebelum kebijakan PSBB dan larangan untuk melakukan perjalanan ke luar kota diterapkan akibat wabah COVID-19 yang melanda Indonesia.

Desa Air Tenam adalah desa baru yang secara definitif mulai berdiri pada tahun 2016, di bawah administrasi Kecamatan Ulu Manna, setelah sebelumnya bergabung dengan dusun lain. Sejak banyak penduduk baru datang ke Air Tenam pada 1990-an untuk berladang, wilayah itu kemudian menjadi tempat persinggahan untuk beristirahat oleh orang-orang dari kampung lain yang ladangnya jauh dari tempat mereka tinggal. Karena alamnya yang sejuk dan nyaman serta subur, para penduduk kampung lain kemudian memutuskan untuk menetap dan tinggal hingga akhirnya membangun sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Air Tenam.

Foto aerial Desa Air Tenam/Dian Setiawan

Kehangatan dan keramahtamahan penduduk Air Tenam terpancar jelas dari senyum semringah semua warga yang berkumpul di lapangan menyambut kami. Sejak datang kami sudah dianggap layaknya keluarga oleh mereka. Sore itu, kami disambut dengan tarian andun yang gerakannya menyampaikan pesan untuk membangun kebersamaan dan harmoni (namun, jika dilakukan pasangan laki-laki dan perempuan, tari ini untuk mencari jodoh atau pasangan hidup).

Ada suguhan camilan lokal yang menarik perhatian saya, yaitu pempek. Pempek yang disajikan spesial, terbuat dari ikan pelus, endemik di Sungai Ulu Manna. Rasanya agak berbeda dari pempek pada umumnya, lebih kenyal, ikannya lebih berasa, dan sangat enak. Rasa khas makanan lokal selalu membuat saya tertarik, bahkan sering saya rindukan setelah kembali ke kota. Sore yang sempurna itu kami tutup dengan meminum kopi lokal jenis robusta produksi warga Air Tenam menggunakan gelas bambu.

Sambutan masyarakat Desa Air Tenam/Dian Setiawan

Hari kedua kami mengunjungi hutan yang dikelola oleh masyarakat Air Tenam dan hutan lindung tempat pohon-pohon bisa diadopsi. Praktik adopsi pohon ini menarik. Caranya adalah dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang akan menjaga dan merawat pohon dan hutan tersebut. Program adopsi pohon ini digagas agar pohon yang sudah tumbuh puluhan bahkan ratusan tahun di hutan tersebut bisa tetap berfungsi secara ekologis terhadap ekosistem di sekitarnya. Di Desa Air Tenam, program adopsi pohon oleh masyarakat ini didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI.

Saya kemudian memutuskan mengadopsi satu pohon atas nama saya dan memberikan kompensasi berupa uang. Jumlahnya disesuaikan dengan biaya perawatan yang cukup untuk merawat pohon tersebut agar dapat berdiri tegak selama setahun—sampai kuat—di dalam hutan.

Sejuknya hutan yang masih terjaga dilengkapi senda gurau warga yang menemani kami membuat perjalanan selama tiga jam itu tidak terasa.

Kebetulan hari itu juga merupakan hari peluncuran program adopsi pohon di Desa Air Tenam. Pak Sarno, warga yang terlibat dalam program ini, menyambut program adopsi pohon dengan antusias karena merasa perjuangan mereka selama ini dalam menjaga hutan telah mendapatkan dukungan dari orang-orang yang tinggal di kota.

Sorenya kami bersama warga mengunjungi Air Terjun Air Tenam yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama empat puluh lima menit dari desa. Ketika sampai di air terjun, saya dan teman-teman tidak ragu melompat dan berenang ke kolam alaminya. Sejuknya air dan segarnya udara di hutan yang terjaga membuat kami merasa nyaman untuk menghabiskan sore bersama warga di sini. Sepulang dari air terjun, kami disuguhi buah durian yang masak di pohon. Rasa manis dan legitnya lebih enak dari durian yang biasa saya beli di kota.

Air Terjun Air Tenam/Dian Setiawan

Malamnya kami berkemah di hutan yang tidak jauh dari desa. Saya sempat berbincang dengan seorang nenek bernama Juriah dan seorang ibu bersama Susmi yang selalu menyiapkan makanan kami selama di Desa Air Tenam. Saya dianggap cucu dan anak angkat oleh mereka. Saya pun bercanda meminta mereka memasakkan makanan khusus untuk saya. Dan, benar saja, kedua perempuan baik hati itu membuat makanan spesial berupa sambal ikan sidat, endemik Sungai Ulu Manna yang hanya bisa hidup di sungai berair jernih dan tidak tercemar.

Foto bersama warga saat kemping di hutan/Dian Setiawan

Ketulusan mereka tidak hanya diucapkan melalui kata-kata, tapi sungguh-sungguh dicerminkan dalam tindakan. Saya selalu merasakan kehangatan ketika mengunjungi daerah-daerah di interior Indonesia, menjadi candu yang membuat saya merindukan tinggal di desa. Suasana kekeluargaan yang hangat di hutan bersama tim dan warga serta senda gurau kami malam itu masih terekam jelas dalam ingatan saya hingga saat ini.

Di hari ketiga kami menjelajahi Sungai Ulu Manna dengan arung jeram. Lagi-lagi saya terkesima melihat dinding batu alami di tepi sungai, pohon-pohon, dan tumbuhan dengan warna dan bentuk unik yang memukau mata. Saya betah untuk terus memandangnya. Kadang juga terlihat kera ekor panjang Macaca fascicularis yang duduk di tepi sungai mencari makanan dalam kelompok. Burung-burung pun tidak mau ketinggalan terbang mengitari kami. Meskipun kegiatan arung jeramnya sangat menantang, masyarakat Air Tenam sudah menyiapkan prosedur yang aman untuk pemula karena didampingi pemandu yang profesional.

Menjelajahi sungai dengan arung jeram/Dian Setiawan

Perjalanan empat hari tiga malam ke Desa Air Tenam membuat saya bersyukur, sebab bisa menyaksikan keelokan alam bebas—hutan yang masih terjaga dan udara segar—sebelum kembali ke kota serta mendapatkan keluarga baru yang hangat.

Bagi siapa pun yang membaca cerita ini, jangan lupa untuk menjadikan Air Tenam sebagai salah satu tujuan perjalanan kamu selanjutnya. Jangan takut untuk terus melangkah jauh menjelajahi Indonesia dan hutannya, untuk mengenali masyarakat. Dan jika kamu mengunjungi tempat mereka, jangan lupa untuk ikut menjaga alamnya. Alam dan hutan akan selalu menyertaimu ke mana pun kamu pergi dengan oksigen dan air bersih yang kamu nikmati setiap hari.

Hutan selalu menjadi tempat yang tepat untuk saya pulang, selain kampung halaman saya sendiri. Alam memang tidak pernah berdusta tentang ketulusannya dalam memberi; ini semakin mengasah kepekaan saya. Mendatanginya seolah candu yang tak ingin saya hilangkan. Candu ini membuat saya terus ingin berkontribusi menjaga alam dan hutan dengan berbagai cara.

The post Ketulusan Alam dan Manusia: Cerita dari Hutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketulusan-alam-dan-manusia-cerita-dari-hutan/feed/ 0 23062