Djoko Subinarto, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/djoko-subinarto/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 23 Jun 2025 09:31:55 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Djoko Subinarto, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/djoko-subinarto/ 32 32 135956295 Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/ https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/#respond Mon, 23 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47513 Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut.  Di...

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut. 

Di alun-alun, setidaknya saya bisa merasakan esensi dari keberadaan sebuah kota. Bagaimana orang-orangnya berinteraksi, bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dan bagaimana ruang publik ini menciptakan hubungan antara individu dengan lingkungan sekitar.

Tentu saja, setiap orang yang datang ke alun-alun memiliki tujuan yang beragam. Namun, semuanya agaknya bertemu dalam satu titik, yakni keinginan untuk merasakan momen yang sederhana tetapi bermakna. 

Contohnya, ada yang datang cuma untuk berolahraga, ada yang sekadar jalan-jalan, ada yang beristirahat sambil menikmati suasana sekitar, dan ada pula yang mencari hiburan. Aktivitas yang beragam ini menunjukkan betapa alun-alun adalah ruang inklusif, yang menerima siapa saja tanpa pandang usia, status, atau latar belakang. 

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Pengendara melintas di depan Alun-alun Manonjaya/Djoko Subinarto

Alun-alun Manonjaya

Begitu pula dengan Alun-alun Manonjaya, di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu. Ketika matahari baru saja mulai menampakkan parasanya, Alun-alun Manonjaya mulai dipenuhi oleh warga dari berbagai kalangan.

Suara riuh rendah mereka berbaur dengan derap langkah kaki dan raungan mesin kendaraan, hingga tawa anak-anak yang bercampur dengan udara pagi yang segar. Menciptakan atmosfer pagi tersendiri. Sebagaimana alun-alun pada umumnya, Alun-alun Manonjaya berada di lokasi yang sangat strategis. Ia berada persis di pinggir Jalan Raya Manonjaya–Banjar.

Di sebelah barat alun-alun ini, berdiri Masjid Agung Manonjaya yang legendaris. Masjid Agung Manonjaya bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan saksi bisu sejarah panjang Tasikmalaya yang dulunya bernama Sukapura. Berdiri anggun sejak tahun 1837, dengan arsitektur klasiknya, masjid ini kiwari menjadi ikon Manonjaya.

Atapnya bertumpang tiga, menjulang ke langit seolah hendak meraih rahmat Ilahi, dengan mustaka tembaga yang konon berasal dari Masjid Pamijahan peninggalan Syekh Abdul Muhyi. Tiang-tiangnya—dahulu 29 buah, kini menjadi 61—menopang ruang suci seluas hampir seribu meter persegi, tempat doa dan harapan para jemaah bermuara.

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Masjid Agung Manonjaya yang bersejarah/Djoko Subinarto

Dilengkapi Dua Gawang

Alun-alun Manonjaya ini cukup khas. Bagian utama alun-alunnya merupakan lapangan sepakbola berumput alami. Lengkap dengan dua gawang terpasang di sisi barat dan timur. Di depan masing-masing gawang, dominasi tanah tampak lebih menonjol daripada rumput. Buntutnya, saat hujan turun, di depan kedua gawang ini bakal lebih becek ketimbang bagian lain lapang yang lebih berumput.

Track khusus berlapis batu andesit halus mengelilingi lapang sepakbola Alun-alun Manonjaya. Minggu pagi itu, saya melihat lumayan banyak warga yang memanfaatkan track khusus ini untuk melakukan aktivitas jalan pagi maupun joging ringan. 

Di beberapa sudut alun-alun, sejumlah pedagang makanan dan minuman menggelar barang dagangannya. Tak sedikit dari mereka yang baru menyelesaikan jalan kaki maupun joging langsung merapat ke penjual makanan dan minuman.

Sementara itu, di sisi barat alun-alun, tak jauh dari gawang sepakbola, penjaga penyewaan motor dan mobil kecil mainan sibuk melayani anak-anak yang hendak menyewa untuk dipakai wara-wiri di tengah lapangan sepakbola.

Di tengah lapangan, beberapa kelompok anak berlarian. Sebagian anak terlihat sedang bermain bola menggunakan bola plastik. Adapun beberapa anak yang lain asyik bermain kejar-kejaran. Tawa dan teriakan mereka membelah pagi, laksana melodi kebebasan yang tak terganggu oleh gawai atau jadwal padat orang dewasa. Dan di wajah-wajah polos itu, bisa jadi tersimpan ingatan akan masa kecil orang-orang dewasa. Saat kebahagian cukup digenggam dengan tersedianya sebidang tanah lapang dan teman-teman untuk berlari tanpa beban.

  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya

Tak Pernah Benar-benar Kosong

Namun, seiring udara pagi yang sejuk mulai berganti menjadi lebih panas lantaran matahari semakin tinggi, satu per satu anak-anak yang bermain di lapangan sepak bola itu orang mulai meninggalkan kawasan Alun-alun Manonjaya. Begitu juga orang-orang dewasa yang berjalan kaki maupun joging mengitari alun-alun, satu per satu mulai beranjak pergi.

Namun, meskipun mulai dihinggapi sepi, Alun-alun Manonjaya ini tak pernah benar-benar kosong tanpa aktivitas. Di beberapa sudut, sejumlah petugas kebersihan berseragam kaus biru mulai bekerja. Mereka berpatroli untuk mengumpulkan sampah demi sampah yang berserakan di sudut-sudut lapangan alun-alun. Pemandangan tersebut adalah gambaran dari peran yang selama ini mungkin tak terlihat dari mereka yang bertugas menjaga agar ruang publik—seperti Alun-alun Manonjaya ini—tetap bersih dan terawat. 

Sebagaimana pepatah kuno Inggris mengatakan, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others. Dalam hal ini, para petugas kebersihan adalah mereka yang melayani dengan cara yang paling sederhana tetapi penuh makna.

Pada akhirnya, alun-alun—di kota mana pun—adalah ruang yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati kerap bersemayam dalam kesederhanaan. Sebagai ruang publik, ia menjadi tempat untuk kembali ke inti kehidupan, yakni dengan menikmati waktu bersama orang-orang terkasih, larut dalam momen tanpa tergesa, dan menemukan kedamaian yang tumbuh dari hal-hal yang tampak remeh tetapi bermakna.

Dalam semangat seperti itulah, kita mungkin teringat pada pesan lembut yang terpatri dalam bait lagu Let It Be dari The Beatles, berupa sebuah ajakan untuk membiarkan segalanya mengalir sebagaimana adanya. Tak perlu dipaksakan, tak perlu diburu-buru. Dan di ruang seperti alun-alun itulah, kita perlahan belajar untuk benar-benar hadir dalam diam, dalam tawa, dan dalam rasa syukur yang tulus.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/feed/ 0 47513
Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/ https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/#respond Thu, 12 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47390 Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten...

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. 

Panjangnya hampir 500 meter dengan lebar sekitar 2,75 meter. Jembatan Surapatin, yang dibangun dan dikelola secara swadaya oleh warga lokal dan berbayar ini, menghubungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi di sisi barat dan sisi timur anak Danau Saguling. 

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Sebuah perahu bermesin tempel penuh penumpang melintasi perairan Danau Saguling/Djoko Subinarto

Sensasi Goyang-goyang

Delapan tahun setelah kunjungan pertama ke Jembatan Surapatin, Kamis siang (1/5/2025), saya berkesempatan kembali menyambangi jembatan ini. Jika pada kunjungan pertama saya datang dari arah barat via Gunung Bentang, maka pada kunjungan kedua saya datang dari arah timur jembatan ini, yakni daerah Batujajar.

Tidak banyak perubahan yang saya lihat dari penampilan Jembatan Surapatin secara umum. Hanya saja, pada kunjungan kedua ini, saya menyaksikan konstruksi jembatan yang telah mengalami peningkatan. Balok kayu yang digunakan sebagai lantai jembatan kini terlihat lebih tebal, besar, dan kokoh dibanding sewaktu pertama kali berkunjung. Saat itu saya melihat balok kayu yang digunakan tipis, kecil, dan di beberapa bagian terlihat sudah rapuh serta disulam bambu.

Sensasi goyang-goyang dan bunyi gemeretak tatkala balok-balok kayu terlindas ban sepeda motor masih tetap saya rasakan. Sama seperti delapan tahun lampau kala pertama melintasi jembatan ini.

Mempersingkat Perjalanan

“This bridge will lead you home,” begitu sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris. Ungkapan tersebut tampaknya menjadi sebuah realitas bagi warga yang bermukim di sisi barat dan sisi timur Jembatan Surapatin.

Bagi mereka, keberadaan jembatan apung ini sangat berarti. Tidak hanya mampu membawa mereka melalui jalan pulang menuju rumah—baik itu dari pasar, sekolah maupun tempat kerja—dengan lebih cepat, tetapi juga lebih murah. 

Sebelum ada Jembatan Surapatin, warga mesti naik perahu atau naik-turun angkot yang memutar jalan puluhan kilometer. Akibatnya, bukan saja membutuhkan waktu relatif lama, melainkan juga menyedot biaya. Sekarang, cukup membayar Rp2.000 (berjalan kaki atau bersepeda) atau Rp5.000 (sepeda motor), mereka bisa sampai ke tujuan dengan lebih cepat melalui Jembatan Surapatin.

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Dua pesepeda melintasi Jembatan Surapatin, tampak struktur sederhana yang digunakan, tetapi memberi manfaat besar bagi penggunanya/Djoko Subinarto

Kolam dan Saung Terapung

Sambil melintas di atas Jembatan Surapatin, kita bisa melihat kolam jaring terapung yang berada di sisi kiri dan kanan jembatan. Beberapa saung makan apung lesehan berdiri pula persis di tepi jembatan.

Saung makan apung ini umumnya menawarkan kuliner khas Sunda, seperti nasi timbel, lalap, ayam bakar, dan ikan bakar. Harga paket nasi timbel lengkap dengan lalap, ayam bakar, dan ikan bakar bervariasi, sekitar Rp20.000–Rp35.000 per porsi. 

Selain kuliner, saung-saung makan ini juga menyediakan fasilitas karaoke. Maka, setelah kenyang menyantap nasi timbel, pengunjung saung makan bisa santai berkaraoke sejenak sembari menikmati semilir angin di atas anak Danau Waduk Saguling.

Bisa dikatakan, Jembatan Surapatin ini sebagai bentuk infrastructure of care. Berkat jembatan apung ini, para nenek dan kakek yang mukim di sekitar anak Danau Saguling kini bisa lebih mudah menjenguk cucu mereka. Para petani juga bisa lebih cepat menjual hasil bumi mereka.

Bayangkan pula ketika jembatan ini dilalui motor tua yang mengangkut sayur-mayur dari kebun-kebun warga lokal. Maka jembatan ini bukan sekadar penghubung, tapi juga jalan logistik mikr—salah satu aspek yang kerap luput dari kalkulasi pembangunan skala besar.

Dalam konteks ini, jika sebagian infrastruktur besar kerap dikritik karena tak inklusif, maka Jembatan Surapatin justru jadi antitesisnya. Pasalnya, ia dibangun untuk kebutuhan dan manfaat yang nyata banyak warga.

Adaptasi Ekologis

Selain itu, Jembatan Surapatin merupakan bentuk adaptasi ekologis dari warga lokal. Ketimbang membangun jembatan beton besar, jembatan apung sederhana menjadi solusi ringan, cepat, dan fleksibel.

Meski demikian, ada pula tantangan dalam soal perawatan dan pemantauan. Ketahanan konstruksi jembatan tentu saja perlu terus dipantau. Tanpa perawatan memadai, jembatan bisa menjadi bahaya laten bagi keselamatan warga. Apalagi di era perubahan iklim, ketika hujan intensitas tinggi, angin ekstrem, maupun badai semakin sering terjadi sehingga bisa saja mengancam struktur jembatan apung ini.

Pada titik inilah upaya perawatan dan pemantauan menjadi hal yang sangat krusial untuk terus diupayakan. Warga di sekitar jembatan dituntut untuk merawat dan memantau struktur jembatan apung ini demi keselamatan bersama. Dengan demikian, warga tak sekadar menjadi pengguna, tapi juga penjaga keselamatan.

Tetap Menjadi Kebutuhan Primer

Di tengah proyek-proyek pembangunan skala besar, jembatan apung sederhana macam Surapatin agaknya bisa memberi inspirasi, bahwa pembangunan yang mampu memberi manfaat bagi warga tak harus serba megah dan mewah. Pemerintah daerah dan pusat perlu melihat keberhasilan pembangunan tak melulu hanya diukur dari panjang kilometer jalan tol. Keberhasilan itu juga bisa hadir dalam wujud puluhan meter kayu yang terbentang menyusun jembatan apung sederhana, yang akhirnya menyambungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi.

Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi kiwari, jembatan fisik—sesederhana apa pun bentuknya—rupanya tetap menjadi kebutuhan primer bagi banyak warga negeri ini. Di sinilah pentingnya kita memaknai pembangunan secara lebih inklusi, pembangunan yang mampu menjangkau mereka yang selama ini tak terjangkau.

Suka atau tidak, Jembatan Apung Surapatin telah mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan dan pembangunan sosial tidak selalu dibangun dari marmer dan beton. Namun. ia bisa juga muncul dari belahan-belahan kayu dan semangat gotong royong warga, yang notabene merupakan simbol kekuatan kolektif yang menjembatani keterpencilan menuju keterhubungan yang sarat makna dan manfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/inklusivitas-dari-sensasi-goyang-jembatan-surapatin/feed/ 0 47390
Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/ https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/#respond Wed, 04 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47312 Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon...

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Sektor pariwisata selama ini lebih lekat dengan aspek-aspek keindahan alam, peninggalan sejarah, atau kekayaan budaya lokal. Namun, di tengah perkembangan teknologi dan desain kawasan urban modern, sebuah infrastruktur seperti jembatan ternyata mampu pula menjadi ikon dan daya tarik utama destinasi wisata.

Secara fungsi, jembatan di mana pun adalah penghubung antartitik. Namun, dalam banyak kasus, jembatan justru bisa menjadi tujuan. Jadi, ia bukan sekadar perantara. Dalam konteks inilah muncul konsep pariwisata berbasis infrastruktur, yakni sebuah konsep yang menempatkan struktur buatan manusia sebagai daya tarik wisata itu sendiri.

Urry (2002) menegaskan bahwa objek wisata bukan hanya dinilai dari keindahannya, melainkan juga dari cara pandang dan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat terhadap objek tersebut. Dalam konteks ini, jembatan bisa menjadi objek wisata apabila dipandang menarik, simbolik, dan memiliki nilai visual atau historis yang kuat.

Kita ambil contoh, misalnya Golden Gate Bridge di San Francisco. Secara teknis, ia hanyalah sebuah jembatan penghubung. Namun, dalam realitas sosial dan budaya, ia telah menjelma menjadi simbol kota, bahkan negara. Lagu San Francisco, yang dinyanyikan oleh Scott McKenzie pada tahun 1967, menanamkan imajinasi romantis ihwal sebuah kota yang sebagian jiwanya berada di jembatan tersebut.

Fungsi simbolik jembatan juga terlihat di Tower Bridge di London. Dikelilingi oleh arsitektur kuno dan atmosfer kerajaan, Tower Bridge menyatukan keindahan struktural dan daya tarik historis. Banyak turis datang ke London tidak hanya untuk melihat Istana Buckingham atau Menara Big Ben, tetapi juga mengabadikan momen di atas jembatan yang menyeberangi Sungai Thames ini.

Di tanah air kita tercinta, Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya dan Madura, juga mulai tumbuh menjadi sebuah ikon dan menyedot wisatawan. Meski awalnya dibangun sebagai solusi mobilitas, dalam praktiknya, jembatan ini ternyata menarik banyak wisatawan lokal yang ingin merasakan sensasi menyusuri jembatan terpanjang di Indonesia ini (5.438 meter).

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Charles Bridge di Praha/Prague City Tourism via prague.eu

Menciptakan Efek Berantai

Dari sudut pandang ekonomi pariwisata, kehadiran jembatan yang ikonis sudah barang tentu mampu menciptakan efek berantai (multiplier effect). Faktanya, jembatan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, terbentuknya ekosistem kuliner dan suvenir, hingga penciptaan lapangan kerja.

Di sisi lain, jembatan juga bisa berfungsi sebagai kanvas arsitektur modern. Millau Viaduct di Prancis, misalnya, yang dirancang Norman Foster, kini dianggap sebagai mahakarya teknik sipil. Dengan ketinggian yang melampaui Menara Eiffel, viaduk ini justru menjadi magnet wisata bagi para pencinta desain futuristik dan struktur monumental.

Bukan cuma soal kemegahan, jembatan juga bisa memancarkan nuansa intim bahkan mistis. Ambil contoh Charles Bridge, sebuah jembatan batu tua yang dipenuhi patung dan sarat legenda di Praha, Ceko. Saat senja turun dan pengamen memainkan lagu Bridge Over Troubled Water karya Simon & Garfunkel, suasana berubah menjadi emosional, melahirkan pengalaman wisata yang menyentuh sisi diri yang terdalam. Refleksi emosional semacam itu jelas bukan hal remeh. 

Dalam banyak budaya, jembatan sering dimaknai secara metaforis sebagai penghubung: antara masa lalu dan masa depan, antara dua hati yang pernah terpisah, atau antara dunia luar dan dunia batin. Lagu The Bridge dari Elton John menggambarkan hal ini dengan indah, yakni jembatan sebagai simbol perjalanan spiritual dan pencarian makna terdalam dalam hidup.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Gwangan Bridge di Korea Selatan/Globaleur

Butuh Dukungan Narasi

Di sejumlah negara, pariwisata berbasis ikon infrastruktur seperti jembatan, ditopang pula dengan narasi yang mampu menggugah emosi dan membangun ikatan antara tempat dan pengunjung. Busan, Korea Selatan, membangun Gwangan Bridge bukan sekadar membentangkan batu dan baja, melainkan juga merangkai pertunjukan cahaya dan maraton malam yang menjelma pesta bagi mata dan jiwa. Dari sinilah wisata kontemporer berbasis infrastruktur berkembang: dari sekadar struktur fisik menjadi sebuah spektakel yang hidup.

Sebagaimana diketahui, elemen-elemen kota yang kuat secara visual (landmark) memiliki kekuatan untuk memandu persepsi dan emosi publik. Nah, jembatan, dengan struktur menjulang dan garis-garis arsitekturnya yang mencolok, bisa menjadi landmark yang kuat bila dikelola dengan baik.

Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, Jembatan Pasupati sempat digadang-gadang sebagai ikon Kota Bandung, dengan menonjolkan atraksi cahaya berwarna-warni. Namun, karena tanpa manajemen yang berkelanjutan, daya tarik jembatan kini mulai memudar. Pariwisata tak cukup dengan estetika sementara, dibutuhkan pula keberlanjutan dan inovasi.

Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata
Jembatan Pasupati Bandung/Djoko Subinarto

Memicu Perasaan Keterikatan

Pada dasarnya, tempat yang memiliki simbol kuat seperti jembatan mampu turut memicu sense of place, perasaan keterikatan pada suatu lokasi. Inilah sebenarnya modal yang bisa diperkuat oleh pemerintah daerah atau sektor swasta dalam upaya membangun sektor pariwisata tematik, khususnya yang melibatkan jembatan di negeri ini.

Namun demikian, ada juga tantangannya, yakni aspek keamanan, perawatan, dan kapasitas. Jembatan yang ramai dikunjungi wisatawan memerlukan kontrol lalu lintas, sistem penerangan yang aman, serta proteksi terhadap vandalisme.

Tak kalah penting juga adalah menjaga keseimbangan antara fungsi asli jembatan dan perannya sebagai daya tarik wisata. Sebagus apa pun desain dan daya pikatnya, jembatan tetaplah infrastruktur publik yang melayani mobilitas. Jangan sampai kunjungan wisata yang ramai justru mengganggu fungsinya sebagai jalur transportasi vital.

Untuk itu, diperlukan pendekatan lintas sektor yang saling melengkapi. Kolaborasi antara dinas pariwisata, dinas pekerjaan umum, dan pelaku ekonomi kreatif menjadi kunci. Mereka harus duduk bersama merancang strategi yang tidak hanya mengedepankan estetika, tetapi juga mempertahankan fungsionalitas. Inilah bentuk sinergi konkret dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, yang memberi manfaat ekonomi tanpa mengorbankan fungsi infrastruktur dasar.

Pada akhirnya, barangkali sudah waktunya kita merombak cara pandang kita terhadap jembatan. Ia bukan lagi sekadar jalan pintas yang menghubungkan dua tempat, melainkan juga bagian dari perjalanan itu sendiri. Sebuah ruang yang tidak hanya dilewati, tapi juga dialami, tempat di mana waktu, ruang, dan kenangan bertemu dan mengalir bersama pengalaman yang bermakna.

Sebagaimana sebuah puisi yang baik, jembatan tidak selalu harus mewah, panjang, serta tinggi menjulang nyundul langit. Keindahan jembatan justru terletak pada kemampuannya membuat kita berhenti sejenak. Kita menunduk, menatap ke bawah, menyadari perjalanan yang kita lewati, baik secara fisik maupun batin, dan merenungi apa yang telah dan akan kita tempuh.

Untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar teknik konstruksi. Kita memerlukan visi, narasi, dan manajemen kreatif agar setiap jembatan bisa menjadi ruang reflektif. Ia menjadi sebuah media yang tidak hanya menghubungkan dua sisi tanah, tetapi juga dua sisi jiwa—antara pengunjung dan tempat yang dikunjunginya.


Referensi:

Urry, John. (2002). The Tourist Gaze: Second Edition. London: SAGE Publications.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan sebagai Ruang Refleksi dan Daya Tarik Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-sebagai-ruang-refleksi-dan-daya-tarik-wisata/feed/ 0 47312
Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/ https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/#respond Wed, 28 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47254 Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45...

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45 km2 di Cianjur Selatan, Jawa Barat. 

Udara terasa sejuk, khas udara kawasan pegunungan. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dari beberapa kunjungan saya ke Sukanagara sebelumnya. Di persimpangan Jalan Raya Sukanagara-Pagelaran-Kadupandak, Tugu Teh memang masih berdiri. Tugu tersebut merupakan sebuah monumen kecil yang dulu digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan, bahwa Sukanagara adalah salah satu sentra teh terbaik di Kabupaten Cianjur. Tapi kini, warna tugu itu kian kusam, catnya mulai mengelupas, dan rumput-rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah turut menyuarakan kegamangan zaman.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Tugu Teh di Sukanagara/Djoko Subinarto

Dari Teh ke Durian

Ditilik dari sejarah pendiriannya, Tugu Teh di Sukanagara bukan sekadar penanda lokasi semata. Ia dulunya semacam deklarasi identita: Sukanagara adalah kawasan teh. Sebuah kawasan yang menghasilkan ribuan ton teh setiap tahunnya, diekspor ke berbagai negara, dan menjadi bagian penting dari perjalanan agrikultur kolonial hingga pascareformasi. Tugu itu berdiri sebagai saksi atas masa-masa ketika teh bukan sekadar komoditas, melainkan juga simbol kejayaan ekonomi pedesaan, kebanggaan masyarakat lokal, dan bahkan menjadi bagian dari narasi nasionalisme agraria pascakemerdekaan.

Bertahun-tahun lamanya, Sukanagara lekat dengan teh. Namun, imaji itu serta-merta hilang tatkala saya mendengar penuturan Asep Doneng, pemilik penginapan tempat saya biasa bermalam setiap kali berkunjung ke Sukanagara. Asep mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Pasirnangka—kawasan perkebunan teh terluas di Sukanagara—sudah tak sepenuhnya ditanami teh. “Sebagian sudah ditanami durian,” ungkapnya.

Saya setengah tidak percaya dengan pernyataan Asep. Sejenak, saya membayangkan sebuah kawasan dengan hamparan teh yang hijau bergelombang, yang mirip lukisan lanskap dalam buku-buku pelajaran geografi, tiba-tiba telah disulap menjadi kebun durian.

Lantaran penasaran dan ingin membuktikan perkataan Asep, saya pun segera menuju Pasirnangka. Dan benar saja. Di sejumlah lahan, saya melihat sendiri bagaimana pohon-pohon durian berdiri kukuh di antara tanaman teh. Di beberapa titik, pohon durian bahkan telah sepenuhnya mendominasi, sementara pohon teh sudah tak terlihat lagi.

Lebih menyedihkan lagi, terdapat lahan-lahan yang dibiarkan kosong, ditumbuhi belukar dan ilalang, dengan batang-batang teh yang mati perlahan. Lahan-lahan itu seperti memancarkan kemurungan tentang pergeseran zaman.

  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Tekanan Ekonomi hingga Faktor Iklim

Tentu saja, kenyataan ini pasti tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi karena akumulasi dari dinamika panjang, baik yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Mungkin ini yang disebut sebagai agrarian transition, yakni perubahan struktur ekonomi pedesaan akibat tekanan eksternal, seperti pasar global, perubahan kepemilikan lahan, hingga krisis iklim.

Sebagai ilustrasi, tekanan ekonomi terhadap teh sesungguhnya sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun konsumsi teh global meningkat, data dari International Tea Committee menunjukkan bahwa harga teh, terutama teh hitam yang dominan dihasilkan di Indonesia, cenderung stagnan. Sementara itu, ongkos produksi terus naik. Dalam logika ekonomi, hal ini berarti margin keuntungan semakin tipis, adapun risiko kerugian semakin besar.

Di sisi lain, durian justru sedang menikmati masa keemasannya. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023 menyebut ekspor durian Indonesia meningkat signifikan, terutama ke Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Komoditas ini dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Harga durian varietas unggul seperti musang king atau lokal unggulan seperti durian Pelipisan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buah. 

Namun, bisa pula agrarian transition ini dipicu pula oleh faktor ekologis. Faktanya, curah hujan semakin tidak menentu dan suhu semakin meningkat. Dampaknya, tanaman teh kian rentan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas.

Sebuah studi dalam Journal of Agricultural Meteorology, seperti dikutip Yan et al (2021), mencatat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas teh hingga 20% di wilayah tropis. Pohon teh, yang dulu tahan banting, kini makin rapuh terhadap iklim yang berubah cepat.

Tak hanya itu, ada juga aspek kelembagaan yang mungkin turut berperan. Perkebunan teh dulunya dikelola secara terpusat oleh perusahaan BUMN atau swasta berskala besar. Namun, pascareformasi dan restrukturisasi BUMN, banyak lahan dikembalikan kepada petani penggarap. Dalam pengelolaan individu yang tidak terintegrasi, teh menjadi komoditas yang sulit dirawat. Panen yang padat tenaga kerja, harga jual yang fluktuatif, dan kurangnya insentif dari pemerintah membuat tanaman teh semakin tidak menarik.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Bekas lahan perkebunan teh yang kini ditanami durian/Djoko Subinarto

Dinamika Agrikultur

Sukanagara agaknya sedang berubah. Dan perubahan ini adalah bagian dari dinamika agrikultur Indonesia secara luas. Di banyak tempat, petani tengah berhadapan dengan dilema; bertahan pada komoditas lama yang mapan secara historis tapi makin tidak menguntungkan, atau beralih ke komoditas baru yang lebih menjanjikan tapi penuh ketidakpastian.

Mungkin, inilah waktunya bagi Sukanagara untuk berdamai dengan keadaan yang terus berubah. Tidak harus memilih antara teh dan durian, tapi justru mencari titik temu di antara keduanya. Memadukan yang lama dan yang baru, demi tetap menjaga warisan sekaligus merangkul masa depan.

Teh mungkin tak akan lagi menjadi “raja” di Sukanagara. Akan tetapi, saya yakin, Sukanagara tetap sebagai tanah yang subur, tempat di mana kisah-kisah baru dan harapan-harapan baru selalu bisa ditanam dan ditumbuhkan.


Referensi:

Badan Pangan Nasional. (2025, 20 Maret). Dorong Ekspor Durian ke Tiongkok, Badan Pangan Nasional Kawal Pemenuhan Standar Keamanan dan Mutu Pangan. Siaran Pers, https://badanpangan.go.id/blog/post/dorong-ekspor-durian-ke-tiongkok-badan-pangan-nasional-kawal-pemenuhan-standar-keamanan-dan-mutu-pangan. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Pramono, B.T. (2021). Current Status of Indonesian Tea Industry. World Green Tea Association (O-CHANET), https://www.o-cha.net/english/association/information/documents/20211019-CurrentstatusofIndonesianteaindustry.pdf. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Samudera, J., Daryanto, A., dan Saptono, I.T. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship 3(1):14-23. DOI: 10.17358/ijbe.3.1.14.
Xinhua. (2024, 27 Juni). Indonesia Bidik Ekspor Durian Senilai 8 Miliar Dolar AS ke China. ANTARANews, https://www.antaranews.com/berita/4170828/indonesia-bidik-ekspor-durian-senilai-8-miliar-dolar-as-ke-china. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Yan, Y., Jeong S., Park, C.E., Mueller, N.D., Piao, S., Park, H., Joo, J., Chen, X., Wang, X., Liu, J., & Zheng, C. (2021). Effects of Extreme Temperature on China’s Tea Production. Environmental Research Letters, 16 (2021) 044040. DOI: 10.1088/1748-9326/abede6.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/feed/ 0 47254
Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/ https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/#respond Tue, 20 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47079 Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.  Dahulu, sebelum ada Jembatan...

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Menuju Cianjur dari arah Bandung via Rajamandala atau sebaliknya, kita harus melewati sebuah jembatan di atas aliran Sungai Citarum. Jembatan ini sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. 

Dahulu, sebelum ada Jembatan Rajamandala, yang dikenal pula sebagai Jembatan Citarum Baru, satu-satunya akses utama menuju Cianjur maupun sebaliknya via Rajamandala adalah Jembatan Citarum Lama. Jembatan ini adalah bagian kecil dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan Willem Daendels, pada abad ke-19.

Jalur Jembatan Citarum Lama berada di sisi selatan Jembatan Rajamandala dan terhalang oleh beberapa bukit. Berbeda dengan jalur Jembatan Rajamandala yang lebih modern, lurus, dan datar, jalur Jembatan Citarum Lama dihiasi dengan sejumlah kelokan tajam, tanjakan, serta turunan curam. 

Meski demikian, kawasan ini sesungguhnya menyimpan daya tarik tersendiri. Wilayah di sekitar Jembatan Citarum Lama masih dipenuhi belukar, hutan, maupun ladang. Suasananya lebih alami dibandingkan jalur Jembatan Citarum Baru, yang bernuansa urban dan relatif lebih sibuk. 

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kawanan kera yang berada di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Keberadaan Monyet Ekor Panjang

Salah satu daya tarik utama di kawasan Jembatan Citarum Lama adalah keberadaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sering berkeliaran di sekitar jembatan. Kera jenis ini termasuk spesies yang dapat beradaptasi dengan lingkungan urban sehingga sering pula ditemukan di sekitar pemukiman manusia. Keberadaan mereka di sekitar Jembatan Citarum Lama setidaknya menunjukkan bahwa ekosistem di sekitar kawasan masih cukup alami untuk mendukung populasi primata ini.

Saat saya menyambangi kawasan ini, Kamis pagi (3/4/2025), terlihat kawanan kera sedang terlihat berada tak jauh dari belokan di sisi timur jembatan. Sementara sebagian lainnya dengan lincah melompat dan bergelayutan di ranting-ranting bambu yang tumbuh di sekitar jembatan. Beberapa kera terlihat pula merayap di pagar jembatan.

Sejumlah pengendara yang melintas memilih untuk melambatkan kendaraan mereka, bahkan ada yang berhenti sejenak untuk memotret kera-kera tersebut. Namun, ada juga yang tampak ragu-ragu untuk melintas, khawatir kera akan melompat ke kendaraan mereka.

Sok, Teh, teras we. Moal nanaon, da (Silakan, Mbak. Terus saja. Nggak akan apa-apa),” kata seorang bapak, yang merupakan warga lokal. Ia meyakinkan seorang perempuan pengendara motor yang terlihat ragu untuk melintas tatkala sejumlah kera bergerombol di bahu jalan. Bapak itu lantas menggiring kera-kera itu ke tepi jalan.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Beberapa pengendara melintas dan berhenti di jalur Jembatan Citarum Lama/Djoko Subinarto

Menjadi Jalur Utama Bandung–Cianjur

Sementara itu, di sisi utara, Jembatan Citarum Baru yang menjadi jalur utama Bandung–Cianjur, kini menjadi kawasan yang semakin ramai. Bukan hanya aneka jenis kendaraan, kawasan ini juga disesaki para penjual makanan dan minuman.

Di kiri dan kanan jalan, berderet jongko yang menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak ketinggalan, sebuah toko swalayan berdiri pula tak jauh dari Jembatan Citarum Baru. Banyak pengendara yang memilih beristirahat sejenak di kawasan ini sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Boleh dibilang keberadaan Jembatan Citarum Baru ini telah menumbuhkan apa yang diistilahkan sebagai roadside economy. Artinya, infrastruktur jalan yang dibangun lantas mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sekitar jalur tersebut.

Dikutip dari Pikiran Rakyat (21/12/2020), Jembatan Citarum Baru pertama kali difungsikan sebagai jembatan tol pada tahun 1979. Kehadirannya dimaksudkan untuk memperpendek jarak dan waktu tempuh Bandung–Cianjur maupun sebaliknya.

Status tol Jembatan Rajamandala sepanjang 222 meter ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979. Pengoperasiannya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia, yakni Jalan Tol Jakarta, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978. Merujuk pada keputusan tersebut, saat diterbitkan, besaran tarif tol jembatan tersebut kala itu adalah Rp50 untuk kendaraan bermotor roda dua dan tiga, lalu Rp100 untuk kendaraan roda empat atau lebih.

Saat ini, Jembatan Rajamandala alias Jembatan Citarum Baru tak lagi berstatus sebagai jalan tol, Statusnya dicabut oleh Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan ini pun kini bisa dilintasi dengan gratis karena menyandang status sebagai jembatan umum non-tol.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Sungai Citarum difoto dari Jembatan Lama/Djoko Subinarto

Tidak Serta-merta Dilupakan

Lantaran kiwari sebagian besar pengendara umumnya memilih jalur Jembatan Citarum Baru, maka kawasan Jembatan Citarum Lama cenderung relatif lengang. Meskipun demikian, Jembatan Citarum Lama tidak serta-merta dilupakan. Selain warga lokal, toh masih ada pengendara yang memilih melewati jalur ini. Baik itu karena alasan nostalgia, menghindari kemacetan di jalur utama, atau sekadar ingin merasakan sensasi perjalanan dengan suasana yang lebih tenang.

Ditilik dari aspek historis, keberadaan Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari potongan kecil dari sejarah jaringan transportasi di Jawa Barat. Jembatan Citarum Lama bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan juga saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan sosial di wilayah tersebut.

Seperti telah disebutkan di muka, Jembatan Citarum Lama merupakan bagian dari proyek Jalan Raya Pos yang diinisiasi oleh Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Jalan Raya Pos ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jembatan Citarum Lama sendiri awalnya difungsikan untuk mendukung mobilitas logistik dan militer, serta menghubungkan kawasan pedalaman Tatar Sunda dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi yang berada di pesisir utara Jawa Barat.

Secara strategis, jembatan ini menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan antardaerah, terutama sebelum hadirnya jalan-jalan arteri modern dan tol. Arus manusia, hasil bumi, serta komoditas industri melewati jembatan ini selama beberapa dekade, menjadikannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi lokal.

Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan
Kepadatan kendaraan yang melintas di Jempatan Citarum Baru/Djoko Subinarto

Potensi Destinasi Wisata Sejarah

Dilihat dari kacamata pariwisata, jalur Jembatan Citarum Lama sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah serta ekowisata. Dengan panorama alam di sekitarnya dan keberadaan satwa liar macam kera ekor panjang, Jembatan Citarum Lama bisa dikembangkan sebagai objek wisata alternatif bagi mereka yang ingin merasakan perjalanan yang lebih tenang dan dekat dengan alam.

Pemerintah setempat, misalnya, dapat mengembangkan jalur ini sebagai rute wisata sejarah. Caranya dengan menyediakan informasi mengenai sejarah Jalan Raya Pos dan peran jembatan ini dalam mobilitas masyarakat dari masa ke masa. Konsep ini mirip dengan pengelolaan heritage road di beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, yang menggabungkan nilai historis sebuah jalan dengan pengembangan wisata.

Khusus berkaitan dengan keberadaan kera ekor panjang, tentu saja perlu ada upaya konservasi terhadap habitat satwa ini. Penyediaan papan peringatan untuk tidak memberi makan satwa liar secara langsung, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kiranya dapat membantu menjaga populasi mereka tetap lestari.

Dengan pendekatan yang tepat, jalur Jembatan Citarum Lama diharapkan bisa terus berfungsi sambil mampu mempertahankan nilai historis dan ekologinya. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, jembatan ini tetap memiliki daya tarik tersendiri yang tak bisa tergantikan oleh jalur baru yang lebih modern.

Melewati jalur Jembatan Citarum Lama bukan hanya sekadar melakoni perjalanan fisik, tetapi juga memasuki semacam lorong waktu. Setiap kelokan dan tanjakan di jalur ini menyimpan kisah tentang masa lalu yang gemanya masih bisa dirasakan hingga hari ini.

Bagi para pencinta sejarah, pengendara yang ingin mencari jalur alternatif dari arah Bandung menuju Cianjur maupun arah sebaliknya, atau mereka yang ingin sekadar menikmati suasana alam yang lebih tenang, jalur Jembatan Citarum Lama dapat menjadi opsi yang menarik. Sekaligus menawarkan pengalaman berkendara yang berbeda dibandingkan dengan jalur utama yang padat dan bising. 


Referensi:

Arifianto dan Muhaemin. (2020, 21 Desember). Jadi yang Pertama di Indonesia, Kisah Pembangunan Jembatan Tol Rajamandala Bisa Mendebarkan Jantung. Pikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011143809/jadi-yang-pertama-di-indonesia-kisah-pembangunan-jembatan-tol-rajamandala-bisa-mendebarkan-jantung?page=all, diakses pada Kamis, 10 April 2025.
Slamet, Ikbal. (2023, 29 Mei). Kenangan di Tol ‘Gope’ Jembatan Rajamandala Cianjur. Detik.com, https://www.detik.com/jabar/berita/d-6743344/kenangan-di-tol-gope-jembatan-rajamandala-cianjur, diakses, Kamis, 10 April 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jembatan-citarum-lama-yang-tak-selayaknya-dilupakan/feed/ 0 47079
Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/ https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/#comments Mon, 12 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46893 Udara dingin Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat, menyelimuti tubuh saat saya mulai mengayuh pedal mountain bike dari Doneng Sanua, losmen tempat saya menginap selama di Sukanagara. Bermodal semangat ‘45, saya melaju melewati jalanan di tengah-tengah...

The post Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra appeared first on TelusuRI.

]]>
Udara dingin Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat, menyelimuti tubuh saat saya mulai mengayuh pedal mountain bike dari Doneng Sanua, losmen tempat saya menginap selama di Sukanagara. Bermodal semangat ‘45, saya melaju melewati jalanan di tengah-tengah perkebunan teh yang berkabut dan lengang. Hanya berteman deru angin pagi, kicauan burung liar, dan sesekali bunyi jangkrik yang bersembunyi di rerumputan pinggiran jalan, serta suara roda sepeda yang bergesekan dengan aspal. 

Tujuan saya adalah Pantai Apra, Sindangbarang. Jarak yang harus saya tempuh pagi itu untuk sampai ke Pantai Apra sekitar 65,7 kilometer. Medannya lumayan menantang lantaran sebagian rute yang harus saya lewati adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok yang dihiasi banyak tanjakan dan turunan tajam. Tentu saja, tanjakan akan memaksa otot kaki dan paha bekerja lebih keras sementara turunan menuntut saya untuk lebih berhati-hati dan waspada.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Jembatan Leuwi Lutung, sekitar 30 kilometer sebelum Sindangbarang dari arah Tanggeung/Djoko Subinarto

Kali Ini Lebih Percaya Diri

Sebenarnya, tahun 2023 lalu, saya sudah berupaya melakukan solo ride ke Pantai Apra. Cuma, waktu itu saya salah membawa sepeda. Kala itu, saya sempat nekat menggunakan sepeda lipat ukuran 16 inci, single gear, dengan kombinasi gear set 44T chainring depan dan sprocket 16T. Setelah mencoba melaju dan terengah-engah dari Sukanagara hingga perbatasan Pagelaran, saya pun tidak pede (percaya diri) untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, saya balik lagi ke Sukanagara dan kunjungan ke Pantai Apra pun batal waktu itu.

Nah, Selasa pagi bulan lalu (1/4/2025), dengan menunggang MTB ber-gear set 38T–28T untuk chainring  depan dan sprocket 13T–32T, saya merasa jauh lebih pede menuju Pantai Apra. Pantai ini memang tidak sepopuler Pelabuhan Ratu atau Pangandaran. Namun, justru inilah yang membuat saya penasaran untuk keukeuh menyambanginya. 

Setelah menanjak asoy merayapi jalur tanjakan Sukarame yang dikelilingi perkebunan teh, saya melahap turunan demi turunan hingga Pagelaran dan akhirnya sampai di kawasan Tanggeung. Di Tanggeung, persisnya di daerah Leuwi Lutung, saya bertemu sejumlah pesepeda yang hendak menuju Pagelaran. Kami pun saling sapa. Mengetahui saya hendak menuju Pantai Apra, salah seorang dari rombongan pesepeda itu menyemangati saya. “Semangat, Kang. Dari sini, sekitar 30-an kilometer lagi,” katanya. Tapi, ia menambahkan, jalannya rolling. “Siap-siap tenaga untuk nanjak,” lanjutnya.

Dan memang betul. Setelah Leuwi Lutung, saya dihadapkan sejumlah tanjakan yang lumayan menguras tenaga dan kesabaran. Kilometer demi kilometer saya lalui. Napas terkadang mulai berat dan kaki terasa semakin kaku saat harus melaju di tanjakan dan melahap tikungan. Namun, setiap tanjakan dan tikungan yang saya lewati menghadirkan pemandangan yang memesona: hamparan persawahan nan elok, sungai yang mengalir tenang, dan bukit-bukit hijau yang anggun terlihat dari kejauhan.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Gerbang masuk wisata Pantai Apra/Djoko Subinarto

Masuk Pantai Apra Gratis

Setelah total 4,5 jam mengayuh pedal, akhirnya saya sampai di Pantai Apra. Langit cerah kebiruan membentang luas di atas kepala, sementara ombak besar berkejaran menuju pantai. Saya turun dari sepeda, menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum lega. Ini adalah momen yang sejak lama saya tunggu-tunggu: berada kembali di bibir pantai Laut Selatan.

Pantai Apra berada tak jauh dari Alun-alun Sindangbarang, sekitar 500 meter jaraknya. Tidak seperti beberapa pantai lain di pesisir selatan Jawa Barat, menurut saya, pantai ini relatif lebih sepi. Tidak overcrowded, seperti—katakanlah—Pangandaran. Tidak ada wisatawan yang berdesakan. Pasir hitam terlihat membentang luas, suara ombak terus bergemuruh.

Ada hal menarik yang saya temui di sini. Saat saya hendak memasuki kawasan Pantai Apra dan membayar retribusi ke petugas, saya justru langsung dipersilakan masuk tanpa harus membayar sepeser pun.

“Mangga lebet, we. Sapedah sareng anu mampah mah teu kedah mayar (Silakan masuk saja. Sepeda dan pejalan kaki tidak perlu bayar),” kata seorang petugas, dengan tanda pengenal tergantung di dadanya.

Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra
Sepeda tidak ditarik ongkos masuk ke Pantai Apra/Djoko Subinarto

Sementara itu, saya melihat pengunjung dengan mobil dan motor ditarik ongkos masuk. Terus terang, ini kebijakan yang bagus dan bisa dicontoh oleh pengelola tempat wisata lain. Saya pikir, seharusnya lebih banyak destinasi wisata di negeri ini yang menerapkan hal serupa sebagai bentuk dukungan terhadap wisata ramah lingkungan. 

Saya pun melenggang menuju bibir pantai. Ombak terlihat lumayan besar, sesuai dengan karakteristik pantai selatan yang dipengaruhi oleh arus kuat Samudra Hindia. Tampak ada beberapa plang peringatan tentang larangan berenang.

Di tepi pantai, sejumlah dipan untuk bersantai disewakan dengan harga Rp10.000 per dua jam. Angin laut menerpa wajah saya, membawa aroma khas. Rasanya begitu damai, seolah semua kepenatan perjalanan seusai merayapi jalan yang naik-turun menguap begitu saja.

Saya merasakan ihwal bagaimana suara ombak bisa begitu menenangkan. Ada penelitian memang yang menyebutkan bahwa suara alami, seperti ombak dan desir angin, mampu membantu menurunkan stres dan meningkatkan kesehatan mental. Mungkin itulah sebabnya saya merasa begitu rileks berada di pinggir pantai hari itu.

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati tempat yang relatif masih alami dan belum terlalu tersentuh pariwisata massal. Tanpa keberadaan banyak wisatawan, saya benar-benar bisa merasakan ketenangan yang boleh jadi sulit ditemukan di tempat-tempat wisata populer.

Bergegas Pulang

Ingin rasanya berlama-lama berada di Pantai Apra hingga senja menjelang dan sang surya tenggelam ke peraduannya. Namun, saya harus kembali lagi ke Sukanagara. Perjalanan pulang toh tidak kalah berat. Saya harus melahap sejumlah tanjakan panjang dan terjal mulai dari Tanggeung hingga perbatasan Sukanagara. Belum lagi jika hujan dan cuaca buruk, mengingat di beberapa titik, di sepanjang jalur Sindangbarang-Sukanagara, terdapat kawasan rawan longsor dan pohon tumbang.

Maka, saat matahari mulai kian condong ke arah barat, saya sadar bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kembali Sukanagara. Saya mengambil sepeda MTB saya yang telah menjadi teman setia dalam perjalanan ke Pantai Apra hari itu.

Saya memandang ke arah laut untuk terakhir kalinya sebelum pergi. Ia seolah berbisik, “Kembalilah kapan saja.”

Saya mulai mengayuh pedal perlahan. Jalanan panjang terbentang di depan menanti untuk kembali saya rayapi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Kabut Sukanagara ke Ombak Apra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-kabut-sukanagara-ke-ombak-apra/feed/ 1 46893
Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/ https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/#respond Thu, 01 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46818 Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara.  Memasuki kawasan Puntang, di...

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara. 

Memasuki kawasan Puntang, di suatu Sabtu pagi nan mendung, saya disambut oleh sejuknya udara pegunungan. Gemercik air sungai mengalir jernih, deretan pohon pinus menjulang tinggi. 

Di salah satu sudut jalan yang agak menikung, terpampang papan peringatan. “HATI-HATI!!! RAWAN POHON TUMBANG”—begitu bunyi peringatannya, yang sempat sejenak menarik perhatian saya.

Namun, yang paling membetot perhatian pagi itu sesungguhnya adalah puing-puing bangunan stasiun Radio Malabar. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Sungai Cigeureuh yang mengalir di sela-sela kaki Gunung Puntang.

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Jejak Radio Malabar yang tersisa dan kini hanya tinggal puing/Djoko Subinarto

Radio Malabar Dulu dan Kini

Dahulu, pada tahun 1920-an, Radio Malabar merupakan salah satu stasiun pemancar terbesar di dunia. Radio ini mampu menghubungkan kawasan Hindia Belanda, yang notabene merupakan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dengan Kerajaan Belanda di Eropa secara langsung. 

Proyek Radio Malabar sendiri diprakarsai oleh Dr. Cornelis de Groot dan dianggap sebagai sebuah terobosan besar dalam dunia komunikasi nirkabel masa itu. Teknologi yang digunakan di Radio Malabar memungkinkan transmisi gelombang radio hingga mencapai ribuan kilometer, menjadikannya sebagai pusat komunikasi strategis pada masanya.

Menyaksikan sendiri reruntuhan bangunan Radio Malabar yang masih tersisa di salah satu pojok kaki Gunung Puntang, saya lantas membayangkan beberapa ruang yang dipenuhi oleh deru mesin pemancar dan suara operator. Namun, kini hanya menyisakan tembok-tembok tua yang terus digerogoti zaman.  Bekas kolam berbentuk hati—yang beken dinamai Kolam Cinta—dan berada di depan puing bangunan Radio Malabar, yang dipisahkan oleh hamparan rumput, kini ditutupi oleh papan yang sebagian besar terlihat telah melapuk. 

Konon, Kolam Cinta adalah tempat yang digunakan sebagai area relaksasi bagi para insinyur dan pekerja yang mengoperasikan Radio Malabar. Saya membayangkan sebuah kolam besar dengan air yang sangat bening, ketika ikan-ikan berenang dengan suka cita. Saya juga membayangkan ada beberapa rumpun bunga lili air yang sengaja ditanam untuk memperelok tampilan kolam tersebut. 

Rekonstruksi Sejarah

Secara keseluruhan, saya melihat puing-puing peninggalan Radio Malabar itu tampaknya masih belum mendapat perhatian dalam hal rekonstruksi sejarah. Pasalnya, puing-puing itu masih dibiarkan apa adanya.

Padahal, rekonstruksi sejarah melalui situs-situs bersejarah dapat turut mengerek kesadaran masyarakat ihwal pentingnya warisan budaya. Menurut UNESCO, pelestarian situs-situs bersejarah bukan hanya sekadar untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk membangun rasa memiliki terhadap budaya dan sejarah lokal.

Di Indonesia, terus terang saja, banyak warisan sejarah yang terpinggirkan karena kurangnya dokumentasi dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Bahkan, tak sedikit bangunan pusaka yang akhirnya benar-benar lenyap tanpa jejak. Oleh sebab itu, jika puing-puing Radio Malabar tidak segera direkonstruksi, maka bisa saja jejak-jejak sejarah dan keberadaannya, cepat atau lambat, bakal benar-benar lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Tentang keberadaan stasiun Radio Malabar sendiri, salah satu bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kembali bangunan Radio Malabar dalam wujud museum interaktif. Museum ini nantinya dapat menyajikan dokumentasi sejarah, replika alat komunikasi lama yang pernah digunakan, hingga simulasi interaktif soal bagaimana stasiun radio di kaki Gunung Malabar ini dulu berfungsi. Dengan upaya rekonstruksi tersebut, para pengunjung diharapkan tidak hanya akan melihat sejarah sebagai sesuatu yang statis, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman yang hidup. 

Kita mungkin bisa belajar dari keberhasilan proyek rekonstruksi stasiun Radio Grimeton di Swedia, yang kini telah menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Stasiun radio tersebut mengalami rekonstruksi dan kini berfungsi sebagai pusat edukasi serta wisata sejarah. Rekonstruksi seperti yang dilakoni Radio Grimento di Swedia agaknya dapat diaplikasikan pula untuk Radio Malabar.

Selain melakukan rekonstruksi secara fisik, rekonstruksi juga bisa dilakukan secara  virtual. Di beberapa negara, pelestarian situs-situs bernilai sejarah telah dilakukan pula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Misalnya, lewat pemanfaatan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). 

Jika hal itu juga bisa dilakukan untuk stasiun Radio Malabar, maka dapat membantu visualisasi secara virtual ihwal bagaimana Radio Malabar beroperasi di masa lalu. Model rekonstruksi semacam ini tidak hanya bakal menarik bagi generasi yang lebih muda, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi para wisatawan, khususnya mereka yang akrab dengan teknologi digital.

Sembari duduk di salah satu bongkahan tembok puing Radio Malabar, imajinasi saya berkelana ihwal bagaimana suasana pada tahun 1920-an di tempat tersebut, manakala Radio Malabar masih beroperasi. Di tengah kesunyian alam Puntang, saya seakan mendengar gema suara operator yang sibuk mengirimkan pesan ke Belanda, Negeri Kincir Angin, nun jauh di Eropa sana. 

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Wisatawan membaca papan informasi yang menjelaskan sejarah Radio Malabar/Djoko Subinarto

Warisan Pustaka yang Harus Dijaga

Pada akhirnya, jejak sejarah bukan sekadar catatan-catatan yang tertuang di halaman-halaman buku belaka, melainkan juga jejak-jejak yang perlu dihidupkan kembali agar tidak terlupakan sama sekali. Kesadaran akan pentingnya rekonstruksi sejarah tidak hanya tentang mengenang masa lampau, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun masa depan. 

Andaikan saja, Radio Malabar dapat direkonstruksi. Kelak, warisan bangunan pusaka dari masa silam ini bisa menjadi aset wisata edukatif yang lebih bernilai bagi Indonesia.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berharga bisa hilang jika tidak dirawat dan dijaga. Dengan mempelajari dan merekonstruksi jejak dan warisan sejarah Radio Malabar, kita tidak hanya mengenang masa lampau, tetapi juga memastikan bahwa warisan sejarah nan berharga ini tetap hidup dan bisa dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nostalgia-radio-malabar-dan-perlunya-merekonstruksi-masa-lalu/feed/ 0 46818
Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/ https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/#respond Fri, 25 Apr 2025 03:00:48 +0000 https://telusuri.id/?p=46775 Ahad pagi (16/3/2025), sejumlah pelari tampak menyusuri ruas kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Mereka terlihat sedang berlari dari arah persimpangan Jalan Sulanjana–Jalan Ir. H. Juanda ke arah bawah. Ada yang berlari sendirian, ada juga yang...

The post Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago appeared first on TelusuRI.

]]>
Ahad pagi (16/3/2025), sejumlah pelari tampak menyusuri ruas kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat. Mereka terlihat sedang berlari dari arah persimpangan Jalan Sulanjana–Jalan Ir. H. Juanda ke arah bawah. Ada yang berlari sendirian, ada juga yang berpasangan maupun berkelompok.

Saat mereka sedang berlari, dengan memanfaatkan jalur khusus sepeda yang lengang, sejumlah fotografer yang mangkal di trotoar membidikkan kamera dan mendokumentasi mereka. Klik, klik, klik….tombol rana ditekan. Sebagian pelari langsung sigap berpose.

Salah seorang fotografer yang belakangan ini getol mangkal di Dago adalah Javier Nayaka (18). Belia asal Cimahi yang masih menuntut ilmu di salah satu sekolah vokasi ini, menyisihkan sebagian waktu libur akhir pekannya dengan memotret para pelari pagi, yang biasa wara-wiri di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretannya kemudian diunggah ke aplikasi Fotoyu. Selain mengembangkan dan mengasah kemampuan fotografinya, ia pun bisa meraup cuan dari hasil foto-foto yang terjual lewat aplikasi tersebut.

“Mulai motret di sini sejak Desember tahun lalu,” terang Javier, sembari mengokang kamera mirrorless pabrikan Jepang. Di sampingnya, sebuah komputer pangku berlayar 14 inci menyala. Javier langsung mentransfer foto-foto hasil jepretannya ke komputer pangku tersebut.

Javier tidak sendirian. Puluhan fotografer lain juga mangkal saban akhir pekan di sekitaran Dago. Seperti Javier, mereka juga mengunggah foto-foto karya mereka ke aplikasi Fotoyu.

Javier mengaku dirinya mengetahui adanya Fotoyu dari salah seorang temannya. Sejak itu, ia pun makin rajin memotret dan mengunggah karya-karyanya di aplikasi tersebut. Bahkan, kini bukan hanya foto yang diunggah, melainkan juga video berdurasi pendek.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Dua pelari sedang dipotret fotografer/Djoko Subinarto

Menciptakan Ekosistem Baru 

Kawasan Dago sendiri, khususnya saban Sabtu dan Ahad pagi, belakangan ini menjadi arena para pehobi lari. Jalan aspal mulus dengan naungan pohon-pohon rimbun, udara yang relatif sejuk, plus masih belum banyaknya kendaraan yang memadati jalan saat pagi hari, agaknya membuat para pelari merasa lebih nyaman melangkahkan kaki mereka di kawasan ini. Sementara itu, bagi para fotografer, Dago bisa pula menjadi ladang untuk mengais rupiah.

Alvin Toffler (1980) dalam The Third Wave antara lain menyebutkan, bahwa era informasi telah menciptakan ekosistem baru. Transaksi ekonomi tidak lagi melulu bergantung pada kepemilikan fisik semata, tetapi juga berbasis data dan konten digital. 

Dan inilah yang sejatinya terjadi di kawasan Dago. Foto-foto hasil jepretan para fotografer yang mangkal di kawasan ini, yang mendokumentasikan para pelari pagi dan lantas diunggah ke aplikasi Fotoyu, menjadi contoh konkret bagaimana ekonomi berbasis informasi bekerja.

Para pelari yang tertarik dengan foto-foto hasil jepretan para fotografer itu dapat dengan mudah mengakses, memilih, dan membeli hasil jepretan tersebut langsung melalui aplikasi. Tidak ada lagi kebutuhan untuk transaksi fisik di tempat. Semua dilakukan secara digital, mulai dari proses pemilihan foto hingga pembayaran.

Dalam konteks ini, fotografi bisa dikatakan bukan lagi sekadar urusan dokumentasi, melainkan juga sebagai sebuah bentuk kapital simbolik. Para pelari tidak hanya membeli foto karena mereka ingin memiliki kenangan semata, tetapi juga karena nilai sosial yang melekat pada foto-foto yang mereka beli. Mereka lantas mengunggahnya ke akun media sosial masing-masing, yang mampu menciptakan citra tertentu yang bernilai bagi identitas digital mereka di jagat maya.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Suasana kawasan Dago yang masih jarang kendaraan saat pagi/Djoko Subinarto

Tak bisa dimungkiri, pengalaman individu menjadi faktor utama dalam ekonomi digital saat ini. Pasalnya, di era serba digital, bukan hanya produk yang diperjualbelikan, melainkan juga pengalaman dan bagaimana pengalaman itu didokumentasikan serta dibagikan. Oleh karena itu, lari pagi di Dago agaknya bukan lagi sekadar aktivitas fisik semata, melainkan juga sebuah pengalaman yang memiliki nilai lebih ketika diabadikan dalam bingkai foto dan kemudian dipublikasikan melalui jejaring media sosial.

Bagi para fotografer dan pelari sendiri, apa yang berlangsung di kawasan Dago ini adalah simbiosis mutualisme. Pihak fotografer tidak perlu menyewa studio khusus atau mencari klien secara aktif. Calon klien datang dengan sendirinya saat mereka melaksanakan rutinitas olahraga lari pagi. Dengan bantuan teknologi modern, fotografer cukup mengunggah hasil jepretan mereka ke Fotoyu dan menunggu transaksi terjadi.

Di sisi lain, para pelari dengan mudah mendapatkan dokumentasi yang diinginkannya tanpa harus repot dan ribet membawa fotografer pribadi. Pelari pun semakin termotivasi untuk tampil maksimal, mengenakan pakaian olahraga yang stylish dan berlatih ihwal bagaimana mematut diri serta melakukan pose terbaik saat berlari di depan para fotografer. Semua ini tentu saja menjadi bagian dari ekosistem yang berkembang secara organik, selaras dengan pertumbuhan budaya digital kiwari.

Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago
Sejumlah warga memanfaatkan jalanan Dago yang lengang untuk berlari pagi/Djoko Subinarto

Interaksi Simbolik

Ditilik dari kacamata sosiologi, fenomena seperti yang berlangsung di kawasan Dago ini mencerminkan apa yang diistilahkan sebagai interaksi simbolik. Ini merujuk pada interaksi antara pelari dan fotografer yang tidak hanya bersifat transaksional, tetapi juga membentuk makna sosial baru. Sebuah senyuman di depan kamera, lompatan kecil dan acungan tangan saat berlari, hingga ekspresi kelelahan yang tertangkap lensa, semuanya menjadi bagian dari narasi yang lebih besar ihwal pengalaman dan gaya hidup kaum urban berikut eksistensi digital mereka.

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menciptakan cara baru bagi manusia untuk mengapresiasi dan mengkomersialkan pengalaman. Bersama kreativitas dan gaya hidup, teknologi akan terus berkembang sekaligus membukakan pintu-pintu peluang baru di tempat-tempat yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan maupun terbayangkan. 

Sudut-sudut kawasan Dago menjadi contoh nyata. Kemajuan teknologi telah membuat aktivitas sederhana seperti lari pagi mampu melahirkan ekosistem ekonomi berbasis digital yang khas, yang membuka peluang cuan bagi mereka yang jeli menangkap momen sekecil apa pun.


Referensi:

Toffler, A. 1980. The Third Wave. New York: Morrow.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menangkap Peluang Cuan dari Lari Pagi di Dago appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menangkap-peluang-cuan-dari-lari-pagi-di-dago/feed/ 0 46775
Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/ https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/#respond Sat, 14 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44570 Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat. Sabtu (5/10/2024)...

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
Pucuk daun mahoni itu tampak berkilau tersorot mentari pagi. Pucuk tersebut muncul dari bagian tunas yang tumbuh dari salah satu potongan pohon mahoni dewasa, yang berada di Jalan Garuda, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sabtu (5/10/2024) pagi itu, saya menyaksikan puluhan pohon mahoni yang telah ditebang di sisi utara Jalan Garuda. Di pagi yang sama, saya menyaksikan pula puluhan pohon bungur juga telah ditebang di bagian barat Jalan Abdurahman Saleh. 

Puluhan pohon itu menjadi tumbal bagi pembangunan jalan layang baru, yakni Jalan Layang Nurtanio. Nantinya akan menghubungkan Jalan Abdurrahman Saleh di utara dan Jalan Garuda di selatan. Pembangunan jalan layang ini tentu saja akan menambah panjang daftar jumlah jalan layang (flyover) yang dimiliki Kota Bandung. Akankah pada akhirnya julukan Kota Kembang bagi Bandung bakal berganti menjadi “Kota Flyover?

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Pengendara melintas di depan konstruksi jalan layang Nurtanio yang masih dalam proses pembangunan/Djoko Nubiarto

Berawal dari Konsep Kota Taman

Selain sempat dijuluki sebagai Paris-nya Jawa (Parijs van Java), Bandung sejak lama dijuluki pula sebagai Kota Kembang. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda sejak awal merancang Bandung dengan konsep kota taman.

Jalan-jalan kecil yang melingkar-lingkar dengan tegakan pohon yang rapat di kanan kiri, dihiasi taman-taman di sudut-sudut jalan yang ditumbuhi aneka kembang, menjadi ciri khas Bandung. Ditunjang dengan hawanya yang adem, plus lanskap pegunungan di sekelilingnya, membuat nuansa Bandung sebagai Kota Kembang semakin kuat.

Akan tetapi, laju urbanisasi yang deras secara perlahan mulai mengubah paras Bandung sebagai Kota Kembang. Betapa tidak? Dari sebuah kota yang dirancang dengan konsep kota taman, dan menjadi salah satu perlambang keindahan alam tanah Pasundan, Bandung kini berkembang menjadi sebuah kota metropolitan yang supersibuk.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2023 sebanyak 2.506.603 jiwa. Ini menjadikan Bandung, yang memiliki luas sekitar 167,31 kilometer persegi, sebagai salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk paling padat di Indonesia.

Seiring dengan makin sesaknya Bandung, ruang-ruang terbuka hijau turut terkonversi. Ada yang menjadi perkantoran, kompleks perumahan, kawasan perniagaan, dan sejumlah fasilitas publik lainnya.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Salah satu rumah warga terkena dampak proyek pembangunan jalan layang Nurtanio/Djoko Subinarto

Kemacetan Bandung: bahkan Jalan Layang pun Belum Cukup

Kemacetan lalu lintas boleh dibilang kini menjadi menu sehari-hari warga Bandung. Jalan-jalan disesaki kendaraan, yang sering kali melebihi kapasitas jalan yang ada. Sebagai respons terhadap problem kemacetan Bandung yang dari hari ke hari semakin parah, jalan-jalan di kota Bandung pun kian diperlebar. Namun, langkah ini rupanya masih belum cukup untuk mengatasi kemacetan yang kerap menyergap berbagai titik di Kota Bandung.

Maka, selain langkah memperlebar jalan, membuat jalan di atas jalan alias mendirikan jalan layang pun dilakukan. Harapannya tentu saja dapat menjadi bagian dari solusi kemacetan di Kota Bandung.

Hingga saat ini, Bandung telah memiliki lebih dari setengah lusin jalan layang dan kemungkinannya akan terus ditambah beberapa lagi. Harapannya, pembangunan jalan-jalan layang dapat memperlancar lalu lintas sehingga mengurangi terjadinya kemacetan.

Meski demikian, jalan layang ini nyatanya sama sekali tidak menyelesaikan penyebab utama kemacetan. Justru menimbulkan ketergantungan pada kendaraan pribadi, perencanaan kota yang buruk, dan ketidakmampuan sistem transportasi umum dalam melayani kebutuhan transportasi warga kota. 

Ketika jalan layang dibangun, kemacetan mungkin awalnya berkurang. Namun, seiring terus bertambahnya jumlah pengguna kendaraan pribadi, toh kemacetan tetap saja terjadi. Artinya, pendirian jalan layang sesungguhnya sama sekali bukan solusi cespleng kemacetan.

Selain itu, pembangunan jalan layang memakan ongkos lingkungan yang signifikan. Pembangunan jalan layang memerlukan beton dan baja dalam jumlah besar. Bahan-bahan ini memiliki jejak karbon yang substansial dalam proses pembuatannya.

Dari aspek finansial, pembangunannya juga memerlukan biaya jumbo. Contohnya, Jalan Layang Nurtanio yang saat ini masih dalam proses konstruksi. Total anggarannya mencapai 295 miliar rupiah. Belum lagi nanti ongkos pemeliharaannya.

Di kota-kota dengan lahan terbuka yang kian terbatas, pembangunan jalan layang juga dapat menggusur warga dan mengganggu infrastruktur kota yang sudah ada. Misalnya, infrastruktur hijau berupa pohon-pohon peneduh yang harus ditebang. 

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Tunas mahoni yang tumbuh dari batang pohon yang sudah ditebang sebagai dampak pembangunan jalan layang/Djoko Subinarto

Butuh Sistem Transportasi Publik yang Efisien

Dalam konteks Kota Bandung, daripada mengandalkan jalan layang untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung sebaiknya mengadopsi solusi yang lebih komprehensif agar mampu mengatasi penyebab utama kemacetan di ibu kota Jawa Barat ini. 

Salah satu strategi yang paling efektif adalah berinvestasi dalam sistem transportasi publik yang efisien dan terjangkau. Kota-kota seperti Singapura dan Tokyo, contohnya, telah membuktikan bahwa sistem metro, bus, dan kereta api yang dirancang dengan baik dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Secara signifikan juga mampu mengurangi kemacetan. 

Teknologi terkini juga perlu dimanfaatkan lantaran menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi kemacetan. Sistem manajemen lalu lintas cerdas, yang menggunakan data real time untuk mengoptimalkan aliran lalu lintas, contohnya, dapat mengurai kemacetan tanpa perlu membuat proyek infrastruktur yang menyedot dana besar seperti jalan layang. Contoh lain, aplikasi seperti Waze, yang memberikan informasi lalu lintas termutakhir kepada pengemudi, dapat dimanfaatkan untuk membantu mengalihkan arus kendaraan dari area yang macet.

Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Flyover
Jalan layang Pasupati yang sempat diharapkan menjadi solusi kemacetan di kawasan Pasteur/Djoko Subinarto

Prioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda

Elemen penting lainnya dalam mengurangi kemacetan Bandung adalah meningkatkan desain perkotaan untuk lebih memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda. Upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki, dengan trotoar yang aman, serta tersedianya jalur sepeda yang memadai, membuat warga Bandung dapat menikmati mobilitas yang lebih mudah dan nyaman. 

Peningkatan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda, dan dibarengi dengan pemberian insentif yang menarik, akan mendorong masyarakat untuk memilih berjalan kaki atau bersepeda sebagai moda transportasi utama di dalam kota. Ini tidak hanya mengurangi kemacetan lalu lintas, tetapi juga memberikan pilihan transportasi yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, desain kota yang memerhatikan kenyamanan pejalan kaki, seperti trotoar yang lebar dan bebas hambatan, akan membuat warga merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi terjadinya insiden kecelakaan.

Di samping itu, lingkungan yang lebih ramah akan mendorong lebih banyak warga berjalan kaki dan bersepeda. Polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor bakal berkurang. Pada saatnya, kondisi ini akan berdampak positif terhadap kualitas udara dan kesehatan warga. 

Seperti sama-sama kita ketahui, bersepeda dan berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mendukung gaya hidup sehat, yang bisa menurunkan angka obesitas dan penyakit terkait gaya hidup. Di saat yang sama, ketergantungan pada bahan bakar fosil juga akan berkurang sehingga turut menurunkan dampak negatif perubahan iklim.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandung: Dari Kota Kembang menuju Kota Jalan Layang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandung-dari-kota-kembang-menuju-kota-jalan-layang/feed/ 0 44570
Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/ https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/#respond Thu, 14 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43042 Isu soal gempa megathrust mencuat dan sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu, menyusul pernyataan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG menyebut adanya potensi gempa megathrust terjadi di Indonesia dan hanya tinggal menunggu...

The post Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust appeared first on TelusuRI.

]]>
Isu soal gempa megathrust mencuat dan sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu, menyusul pernyataan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG menyebut adanya potensi gempa megathrust terjadi di Indonesia dan hanya tinggal menunggu waktu.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, ketika menyinggung kekhawatiran ilmuwan Indonesia soal seismic gap megathrust Selat Sunda dan megathrust Mentawai-Siberut. 

“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’ karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujar Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024), sebagaimana dilaporkan laman Kompas.com.

Seismic gap adalah wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar atau gempa selama lebih dari 30 tahun. BMKG memperkirakan, megathrust Selat Sunda bisa memicu gempa dahsyat dengan kekuatan maksimal magnitudo 8,7 dan megathrust Mentawai-Siberut dengan kekuatan magnitudo 8,9.

Seperti diketahui, megathrust pada dasarnya adalah gempa bumi berukuran sangat besar yang terjadi di zona subduksi, di mana salah satu lempeng tektonik Bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya. Kedua lempeng tersebut saling bersentuhan dan bergerak maju satu sama lain, sehingga menyebabkan penumpukan regangan melebihi gesekan antara dua lempeng sehingga menyebabkan gempa yang sangat besar.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Wisatawan menjajal kapal motor milik nelayan di Palabuhan Ratu. Sektor wisata pesisir berpotensi terkena dampak megathrust/Djoko Subinarto

Daerah Rawan Gempa Megathrust di Indonesia

Sumber gempa megathrust ini biasanya terletak di bawah laut. Oleh karena itu, sangat  sulit untuk melakukan pengamatan secara rinci berdasarkan pengukuran seismik, geologi, maupun geodetik. Pelepasan energi yang sangat dahsyat selama gempa bumi megathrust—dan berpotensi menghasilkan tsunami yang dahsyat akibat pergerakan vertikal dasar laut yang besar yang terjadi ketika gempa berlangsung—dapat menimbulkan konsekuensi bencana bagi wilayah di sekitarnya. Termasuk potensi kerusakan yang sangat besar dari peristiwa seismik ini.

Gempa megathrust sangat berbahaya karena berpotensi menyebabkan kerusakan secara masif dan luas. Selain itu, gempa megathrust juga memiliki dampak jangka panjang. Pemulihan bisa memakan waktu bertahun-tahun, memengaruhi ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Zona megathrust Indonesia sendiri berada di daerah subduksi aktif, seperti subduksi Sunda. Adapun wilayah subduksi Sunda meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Selain itu, terdapat daerah subduksi aktif lainnya, yaitu subduksi Banda, subduksi lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi lempeng Laut Filipina, serta subduksi Utara Papua. 

Daerah subduksi aktif di Indonesia dibagi menjadi beberapa segmentasi sumber gempa zona megathrust, yang mencakup segmen-segmen Aceh-Andaman, Nias-Simeulue, Kepulauan Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai–Pagai, Enggano, Selat Sunda-Banten, Selatan Jawa Barat, Selatan Jawa Tengah, Selatan Jawa Timur, Selatan Bali, Selatan NTB, Selatan NTT, Laut Banda Selatan, Laut Banda Utara, Utara Sulawesi, dan Subduksi Lempeng Laut Filipina.

Berdasarkan kajian BMKG, potensi gempa megathrust diperkirakan mulai dari magnitudo 7,4 hingga magnitudo 9,2. Dengan potensi gempa sebesar itu, sudah bisa dibayangkan dampak kerusakan yang akan bisa ditimbulkan oleh gempa megathrust berikut berbagai implikasinya terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Ada lima kawasan potensial terdampak gempa megathrust dan berisiko tinggi di Indonesia: (1) Sumatra, terutama di sepanjang garis lempeng megathrust yang berada di pesisir barat, seperti Padang dan Banda Aceh; (2) Jawa selatan, termasuk Yogyakarta dan Cilacap, yang berada dekat batas lempeng; (3) Bali, yang meskipun tidak langsung berada di jalur megathrust, tetap berisiko karena kedekatannya dengan zona subduksi; (4) Nusa Tenggara, terutama Sumbawa dan Flores yang juga terpengaruh oleh aktivitas seismik; dan (4) Maluku-Papua, yang memiliki potensi gempa cukup tinggi karena kompleksitas geologi.

Gempa Aceh pada 2021 lalu adalah salah satu contoh terbaru. Gempa yang memiliki magnitudo 6,2 ini terjadi di daerah yang dekat dengan jalur subduksi. Meskipun tidak sebesar gempa yang terjadi pada tahun 2004 dan mengakibatkan tsunami, kejadian ini tetap menunjukkan potensi risiko yang ada di wilayah tersebut.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Gempa Aceh 2004 via VOA/Associated Press

Kesiapan Industri Pariwisata

Dengan kenyataan bahwa sebagian wilayah negara kita berada di zona megathrust, antisipasi dan strategi perlu benar-benar dipersiapkan. Semua sektor, termasuk industri pariwisata dan perjalanan, perlu mengantisipasi dan memiliki sejumlah strategi menghadapi potensi gempa megathrust. Dalam hal ini, industri pariwisata dan perjalanan setidaknya perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, protokol dan kesiapsiagaan. Bisnis pariwisata, termasuk sektor perhotelan, resor, dan layanan transportasi, harus mulai mengembangkan protokol kesiapsiagaan bencana secara menyeluruh, termasuk menyiapkan jalur evakuasi, akses logistik darurat, serta pelatihan bencana secara reguler untuk para stafnya.

Kedua, saluran komunikasi. Menyiapkan sistem komunikasi yang andal untuk memberi informasi kepada para wisatawan ihwal prosedur keselamatan dan update kondisi terkini secara real time jika sewaktu-waktu terjadi bencana.

Ketiga, infrastruktur tahan gempa. Berinvestasi dalam pembangunan gedung tahan gempa, terutama di zona berisiko tinggi, adalah langkah krusial. Hotel, bandara, dan infrastruktur utama lainnya harus dibangun atau direnovasi agar benar-benar tahan terhadap peristiwa seismik.

Keempat, penilaian risiko. Melakukan inspeksi dan evaluasi rutin terhadap infrastruktur yang ada untuk menilai kerentanan terhadap gempa, serta mengidentifikasi titik-titik evakuasi wajib dilakukan.

Kelima, asuransi dan mitigasi risiko. Penyedia jasa pariwisata dan perjalanan harus proaktif menawarkan opsi asuransi kepada wisatawan, dengan cakupan komprehensif untuk gangguan yang disebabkan oleh peristiwa seismik.

Keenam, rencana kontingensi. Operator tur dan agen perjalanan perlu pula mulai menyiapkan rencana kontingensi terkait pembatalan perjalanan, pengalihan rute, dan evakuasi darurat dalam hal terjadinya bencana.

Ketujuh, pertimbangan lingkungan dan geografis. Karena gempa megathrust dapat memicu tsunami, setiap destinasi pariwisata, terutama di kawasan pesisir, perlu mengembangkan sistem peringatan tsunami dan jalur evakuasi yang jelas.

Kedelapan, kolaborasi industri dan lembaga pemerintah. Para operator pariwisata perlu melakukan kerja sama dengan lembaga pemerintah, badan penanggulangan bencana, dan masyarakat lokal untuk memastikan upaya koordinasi dalam kesiapsiagaan dan respons bencana.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Pembangunan kembali merupakan bagian penting dari proses pemulihan pascabencana/Djoko Subinarto

Kesembilan, rekonstruksi dan dukungan ekonomi. Setelah bencana gempa megathrust, sudah barang tentu perlu upaya-upaya pemulihan, sektor industri pariwisata dan perjalanan mesti siap dan mampu mengambil peran dalam revitalisasi ekonomi lokal lewat upaya rekonstruksi dan pemulihan pascabencana.

Kesepuluh, manajemen krisis. Sektor industri pariwisata dan perjalanan perlu pula memiliki strategi manajemen krisis yang andal untuk bangkit dan membangun industri untuk kembali menarik kembali wisatawan pascabencana.

Dengan mengambil langkah-langkah yang memang diperlukan, diharapkan sektor industri pariwisata dan perjalanan di negara kita bukan hanya tetap mampu tumbuh dan berkembang, melainkan juga siap dalam menghadapi potensi gempa megathrust.


Referensi:

Bilek, S.L. & Lay, T. (2018, 16 Juli). Subduction Zone Megathrust Earthquakes. GeoScienceWorld, https://pubs.geoscienceworld.org/gsa/geosphere/article/14/4/1468/541663/Subduction-zone-megathrust-earthquakes. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.13 WIB.
Channel News Asia. (2024, 23 Agustus). Just A Matter of Time’ Megathrust Earthquake Hits Indonesia, as Government Agency Urges Mitigation Efforts. https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-megathrust-earthquake-mentawai-matter-time-japan-nankai-kyushu-4563476. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.16 WIB.
Ina, M.A. (2024, 15 Agustus). Apa Itu Gempa Megathrust?. RRI.co.id, https://www.rri.co.id/lain-lain/905458/apa-itu-gempa-megathrust. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.20 WIB.
Kenzu & Zulfikar, M. (2024, 5 September). Indonesia’s BNPB Urges Preparedness Against Megathrust Earthquakes. Antara News, https://en.antaranews.com/news/324859/indonesias-bnpb-urges-preparedness-against-megathrust-earthquakes. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.40 WIB.
Sanjaya, Y.C.A. (2024, 12 Agustus). BMKG Sebut Gempa Megathrust Indonesia Tinggal Menunggu Waktu, Bisa Capai M 8,9. Kompas.com, https://www.kompas.com/tren/read/2024/08/12/194500565/bmkg-sebut-gempa-megathrust-indonesia-tinggal-menunggu-waktu-bisa-capai-m-8?page=all#google_vignette. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.34 WIB..
Setyaningrum, P. (2024, 14 Agustus). 16 Lokasi Zona Megathrust di Indonesia, Kenali Potensi dan Sejarah Kegempaannya. Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2024/08/14/223209978/16-lokasi-zona-megathrust-di-indonesia-kenali-potensi-dan-sejarah?page=all. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.37 WIB.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/feed/ 0 43042