Dwi Dian Wigati, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/dwi-dian-wigati/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 08 Oct 2021 11:01:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dwi Dian Wigati, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/dwi-dian-wigati/ 32 32 135956295 PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/ https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/#respond Fri, 08 Oct 2021 01:23:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30862 Semasa corona, pasien COVID-19 terus bertambah, ekonomi semakin turun, dan kebutuhan hidup terasa menjadi mahal. Semua masyarakat dipukul rata dengan keadaan yang kala itu terus mencekam. Tidak sedikit yang mengalami rasa takut untuk sakit yang...

The post PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semasa corona, pasien COVID-19 terus bertambah, ekonomi semakin turun, dan kebutuhan hidup terasa menjadi mahal. Semua masyarakat dipukul rata dengan keadaan yang kala itu terus mencekam. Tidak sedikit yang mengalami rasa takut untuk sakit yang berujung pada kematian. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meredam penyebaran COVID-19. Mulai dari social distancing, PSBB, dan sekarang PPKM. 

PPKM pertama kali diberlakukan sejak tanggal 11-25 Januari 2021 untuk wilayah DKI Jakarta dan 23 Provinsi lainnya yang memiliki risiko tinggi penyebaran COVID-19. Namun, solusi ini dianggap belum efektif dan akhirnya muncul  PPKM mikro yang mulai 9-22 Februari 2021 yang berlaku untuk tujuh provinsi.

Pada bulan Juli PPKM diberlakukan lagi dengan sebutan PPKM darurat yang berlaku mulai tanggal 3-20 Juli 2021, khususnya wilayah Jawa-Bali. Namun, seiring kasus yang terus meningkat PPKM darurat terus diperpanjang hingga saat ini. Seluruh kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring, mal/swalayan/pusat perdagangan ditutup total, tempat wisata ditutup dan tidak boleh makan di restoran (dine-in).

Bagi kami seorang mahasiswa yang suka me-refresh pikiran disela-sela kesibukan kuliah terasa bosan dan sumpek. Mal, restoran, dan tempat wisata yang biasa dikunjungi tutup total. Bertemu dengan teman sekelas pun hanya bisa tatap muka secara daring. Tidak ada tawa renyah saat duduk di taman depan kelas sambil menunggu dosen. Kami hanya bisa berdoa wabah pandemi segera berakhir.Kesibukan yang tidak pernah usai walau hanya via daring, tapi membuat rasa jenuh semakin membara. Lalu bagaimana harus menghibur diri? Baca novel, nonton drama korea, dan bermain game online menjadi kebiasaan baru kami. Nyatanya itu semakin membuat beban menumpuk. Sedangkan untuk kondisi sekarang kita harus tetap bahagia supaya bisa meningkatkan iman dan imun.

Buah nanas
Buah nanas/Dwi Wigati

Kami orang desa yang memiliki mayoritas mata pencaharian sebagai petani menjadikan sawah sebagai tempat hiburan utama. Mulai dari menanam padi, jagung, tembakau, sayur-mayur, hingga buah-buahan. Salah satunya menanam buah nanas. Menanam nanas ini menjadi salah satu mata pencaharian pokok masyarakat Desa Ponggok, Kabupaten Blitar untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu, mayoritas lahan yang dimiliki masyarakat penuh dengan tanaman nanas. Anehnya hanya tanaman ini yang bisa tumbuh hingga berbuah dengan baik. 

Meskipun jalanan sawah yang kecil dan berliku tidak menyurutkan rasa bahagia kami yang mendapat hiburan sederhana. Bentuk unik dari pohon nanas, daun hijau yang runcing dan bergerigi pada sisi-sisinya, serta buah yang ada daunnya runcing menjadi pengetahuan baru bagi kami, khususnya saya. Ini adalah pengalaman pertama yang saya dapat. Selama ini suka dengan buah nanas tetapi tidak mengetahui wujud dari pohonnya.

Susur
Sungai dikelilingi pohon besar/Dwi Wigati

Tepat pada sawah paling bawah terdapat sungai kecil yang dikelilingi pohon-pohon besar. Saat turun ke bawah kami harus melewati jalan berkelok dan tertutupi daun nanas juga. Namun, membuat kami semakin penasaran dan tertantang. Sedikit demi sedikit melewati jalan yang licin dan menurun. Teman-teman yang ada di belakang saya harus bersabar dan perlahan menunggu antrian melalui jalan kecil. 

Sungai itu dikelilingi pohon besar yang sedikit rimbun. Walaupun sungainya kecil seperti tidak berpenghuni, di dalamnya juga ada ikan-ikan kecil dan kepiting sungai yang hidup. Bebatuan yang besar menjadikan mereka mudah untuk berlindung dari hujan dan panas. Airnya tidak begitu dalam, sehingga kami berani memanfaatkannya untuk menghibur diri dengan bermain air. Air-air yang mengalir dengan mudahnya membawa daun-daun yang berserakan di atasnya. Sungai ini sepi dan berada paling bawah, tetapi tidak membuat kami takut dan menyurutkan rasa ingin tahu kami untuk bermain air dan berfoto ria di tengah rasa panas dari matahari yang menyengat. 

Tempat yang sederhana itu tidak kalah estetis dengan tempat wisata lainnya. Sederhana tapi angelnya dapat. Matahari pun mau berkongsi dengan kamera ponsel Android sederhana milik Ila, teman saya. Pohon-pohon besar yang mengelilingi sungai juga tidak mau menghalangi sinar surya yang menerpa. Warna pastel dari jilbab dan jaket Levi’s warna hitam yang saya pakai mendukung background sekitar. 

Nanas yang berbuah manis dan segar ini biasanya dibuat rujak buah. Dan, ternyata satu buahnya memiliki harga yang sangat murah dari petani. Per biji yang lumayan besar hanya senilai Rp2 ribu. Bahkan harganya seperti makanan gorengan yang terdapat pada pinggir jalan. Padahal buah nanas ini memiliki banyak manfaat, loh. Salah satunya memiliki kandungan vitamin C yang berguna untuk meningkatkan imunitas tubuh. Sedangkan gorengan memiliki banyak lemak yang bisa memicu kolesterol.

Pernahkah teman-teman membayangkan kalau harga hasil panen petani tidak sesuai dengan jerih payah mereka? Mulai dari menanam hingga menunggu hasil panennya yang paling cepat sekitar sepuluh bulan. Jika mereka menanam yang berjenis madu hingga 24 bulan baru bisa dipanen buahnya. Belum hitungan seberapa banyak biaya pupuk yang mereka keluarkan. Bisa rugi yang mereka dapatkan. Inilah hal yang sangat disayangkan juga selama pandemi. Penghasilan menurun dari banyak segi termasuk pertanian. Sedangkan bahan makanan pokok semakin mahal.

Siangnya pada salah satu rumah masyarakat, kami diberi suguhan buah nanas yang sudah dipotong, cilok, kerupuk sambal, semangka, dan es sirup segar. Suguhan ringan tetapi menggiurkan. Rasa asam, manis, dan segar dari nanas cocok dimakan dengan cilok bersaus dan kerupuk sambal. Begitulah indahnya sikap dan nuansa desa yang tidak terlupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post PPKM Diperpanjang Kebun Nanas menjadi Pilihan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ppkm-diperpanjang-kebun-nanas-menjadi-pilihan/feed/ 0 30862
Silaturahmi Menyenangkan ala Santri di Wajak, Malang https://telusuri.id/silaturahmi-menyenangkan-ala-santri-di-wajak-malang/ https://telusuri.id/silaturahmi-menyenangkan-ala-santri-di-wajak-malang/#respond Thu, 19 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28933 Suasana lebaran masih terasa setelah musim ketupat. Seluruh santri Pesantren Rosyad wajib kembali ke pondok untuk melakukan kewajiban seperti mengaji, piket hari raya, dan lain-lain. Waktu dua minggu cukup bagi kami untuk temu kangen dengan...

The post Silaturahmi Menyenangkan ala Santri di Wajak, Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Suasana lebaran masih terasa setelah musim ketupat. Seluruh santri Pesantren Rosyad wajib kembali ke pondok untuk melakukan kewajiban seperti mengaji, piket hari raya, dan lain-lain. Waktu dua minggu cukup bagi kami untuk temu kangen dengan keluarga. Bu nyai pun melarang kami berlama-lama di rumah. Khawatir lambat laun semakin tidak kerasan dan malas untuk mengaji.

Kami di pesantren tinggal di kamar yang telah dibagi oleh pengurus pondok, PHD namanya. Mungkin sempat iri dengan mereka yang belum kembali ke pondok. Namun, kami menepisnya karena ini wujud tirakat sebagai seorang santri—berani keluar dari zona nyaman.

Tepat hari Minggu, kami sekamar mengisi waktu luang dengan ber silaturahmi ke rumah Ustadzah Nur. Beliau dahulu menyimak hafalan Al-Qur’an para santri dan sekarang menetap di daerah Wajak, Malang, dengan keluarganya. Silarurrahim ini sudah kami rencanakan dari puasa. Mengingat silaturahmi yang dulu hanya beberapa orang saja yang bisa ikut.

Wajak, daerah yang masih akrab dengan suasana desa. Kami bertujuh belas naik sepeda motor dengan saling berboncengan. Empat laki-laki dan sisanya perempuan. Teman-temanku banyak yang bilang rumahnya ustadzah itu jauh banget dan rute jalannya sulit dihafal. Kami yang awalnya mau perempuan aja, akhirnya memutuskan mengajak laki-laki sebagai penunjuk jalan.

Susur jalan/Dwi Dian Wigati

Aku memutuskan untuk mencoba menghafal setiap jalan yang dilewati. Rasa penasaran yang dikatakan teman-teman ingin kubuktikan bahwa jalannya mudah dihafal. Sebab, dulu sempat main ke rumah teman yang ada di Wajak. Awal perjalanan masih hafal, setiap rute dan belokan kuingat-ingat. Namun, lambat laun jalanan semakin asing. Aku tak tahu-menahu akan daerah yang kulewati. Semakin jauh semakin membingungkan. Banyak belokan dan jalan terus dari satu desa ke desa lainnya.

Ternyata ekspektasiku hancur. Aku pasrah, mengikuti para laki-laki yang berada di jalan paling depan. Aku terus mengingat kostumnya, warna helm, dan sepeda yang mereka gunakan agar tak tertinggal. Terutama jika terpisah karena lampu merah.

Kuakui perjalanannya memang jauh. Namun, asyik dan menyenangkan. Kanan-kiri tak luput dari tumbuhan. Untuk aku yang sudah lama tinggal di kota merasa sangat bahagia. Pohon pinus berjejer indah di pinggir jalan. Begitu pun dengan pohon bambu. Meskipun jalan naik turun tapi rasa lelah terkalahkan dengan rasa bahagia yang menguasai hati.

Pinus besar/Dwi Dian Wigati

Perkiraan 1,5 jam sampai di rumah ustadzah. Ternyata 2 jam lebih baru bisa sampai. Saking sulitnya arah dan jalanan macet, akhirnya ada yang tertinggal rombongan. Sedangkan kami hampir sampai tujuan. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan. Berangkat bareng juga harus sampai tujuan bareng. 

Sesampainya di rumah ustadzah kami terkejut. Ternyata bersamaan dengan para ustadzah lainnya. Rasa sungkan tetap menyelimuti. Namun, mereka menyambut kedatangan kami dengan hangat. Tuan rumah pun mempersilahkan kami untuk makan siang. Sambal bandeng dan pokak yang ada di dalam wadah melambai-lambai ingin dimakan. 

Talaman (budaya makan bersama ala pesantren) yang tersedia menjadi pilihan kami untuk makan bersama. Kebersamaan ini menambah rasa nikmat nasi jagung dan sambal yang kami telan. Sedikit tapi mengenyangkan. Tak sampai di situ kami juga menikmati jajan sisa hari raya. Seperti matari, stik bawang, dan tak lupa teh hangat menyertai dinginnya udara.

Tak terasa matahari naik ke atas, tiba waktu salat Zuhur. Kami pun bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah secara bergantian. Setelah itu, kami mendapat tawaran untuk pergi ke kebun, kupikir kebun itu seperti sawah yang ditanami padi dan sayur-mayur. Jalannya nyaman, banyak tanaman jagung yang ditanam di pinggir pematang sawah. Namun, ekspektasiku kalah lagi. Ternyata kebun itu seperti lereng gunung.

Kebun/Dwi Dian Wigati

Butuh perjalanan jauh untuk sampai tempat tujuan. Jalan yang berkelok-kelok, naik-turun, dan masih terbuat dari tanah. Rasanya begitu menguji nyali dan kesetiaan pada kawan. Teman-teman banyak yang memilih turun dari sepeda motor saat melalui jalan naik dan turun serta mendorong dari bawah. Kami pun kaget melihat kondisi jalan yang seperti itu. Jalan yang dibilang mudah oleh ustadzah. Mungkin karena kami tak terbiasa dan sudah lama tinggal di kota.

Di kebun, kami memetik terong, daun prei, dan cabai merah untuk dibawa pulang ke pesantren. Supaya bisa mengirit pengeluaran untuk makan. Kami yang dari notabenenya dari kota sangat bahagia. Apalagi jarang di sawah. Bahkan, baru kali ini tahu wujud dari tanaman tersebut. 

Kanan-kiri jalan menuju kebun juga masih tampak hijau-hijauan. Terlihat belum ada perubahan yang signifikan. Tak ada jalan kecil-kecil yang bisa membantu perjalanan. Namun, para warga nampak bahagia dan mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah.

Langit mendung, hujan pun turun dengan senangnya. Di tengah-tengah kebun yang kami lalui. Tak ada yang bawa payung. Akhirnya menggunakan alternatif lain dengan memetik daun talas dan pisang untuk mencegah air yang menembus baju. Jalanan semakin licin dan hujan pun semakin deras. Sayur mayur yang kami petik juga semakin banyak. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang nekat menerjang guyuran hujan deras. 

Laju sepeda kami semakin pelan. Tanah yang kami lalui licin dan sulit untuk dilewati. Banyak jalan turun. Kami menyempatkan diri untuk berteduh sebentar di gubuk pinggir jalan yang ada di kebun. Namun, gubuk itu ternyata atapnya bolong. Guyuran hujan sangat terasa. Akhirnya, kami memutuskan untuk nekat menerjang hujan. Alhamdulillah, perjalanan semakin menyenangkan dan membuat candu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Silaturahmi Menyenangkan ala Santri di Wajak, Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/silaturahmi-menyenangkan-ala-santri-di-wajak-malang/feed/ 0 28933