Dwita Nugrahanti https://telusuri.id/penulis/dwita-nugrahanti/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Dec 2022 06:29:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dwita Nugrahanti https://telusuri.id/penulis/dwita-nugrahanti/ 32 32 135956295 Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/ https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/#respond Tue, 06 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36444 Pelabuhan Matahari Terbit di Sanur, pagi itu sudah ramai wisatawan. Kami yang baru saja memasuki area parkir, sudah menyangka bakal ramai tapi tidak seramai ini. Puluhan orang berjejal menanti keberangkatan menuju Nusa Penida, pulau yang...

The post Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Pelabuhan Matahari Terbit di Sanur, pagi itu sudah ramai wisatawan. Kami yang baru saja memasuki area parkir, sudah menyangka bakal ramai tapi tidak seramai ini. Puluhan orang berjejal menanti keberangkatan menuju Nusa Penida, pulau yang menjadi tujuan kami dan peserta Kok Bisa Green Creators Academy: Local Impact yang akan diselenggarakan hari itu bersama kelompok Nuansa Pulau. Rencananya, kami akan belajar sedikit tentang terumbu karang beserta cara transplantasinya di sana.

Pelabuhan Matahari Terbit tampak bersolek. Nuansa pelabuhannya mirip dengan bandara. Di lantai dua, ada teras luar yang menghadap langsung laut yang memisahkan Nusa Penida dan Bali. Pelabuhan ini baru satu minggu diresmikan, salah satunya karena ada gelaran G20 di Nusa Dua. Kami yang baru pertama kali ke sini menjadi terkagum-kagum. Pun, dalam pikiran saya terngiang bahwa kadang hanya demi sebuah acara seremonial, suatu tempat bisa berubah drastis; jalannya, pelabuhannya, bandaranya.

  • Pelabuhan Sanur
  • Peserta KBGC

“Ini, makan dulu. Biar nggak ngantuk di kapal,” celoteh Mauren, yang membuyarkan lamunan saya tentang pelabuhan.

Semua peserta menikmati pemandangan dari pelabuhan; ada yang berfoto dengan latar belakang laut, ada yang memperhatikan kapal yang lalu lalang di kejauhan, ada juga yang sedang membuat konten video. Tak lama berselang, kami pun satu per satu menaiki kapal. Sepersekian menit terlewati dari jadwal keberangkatan yang tertera di karcis, saya menjadi gusar. Para peserta yang tadinya terlihat antusias, jadi terlihat resah karena jadwal keberangkatan tampaknya terlambat. Kami semua dibuat mati kebosanan.

45 menit berlalu dalam gelisah, akhirnya kapal bernama The Tanis yang kami tumpangi mulai dikemudikan. Guncangan kapal mulai terasa. Sepanjang penyeberangan, gunung-gunung terlihat indah di sisi kiri. Awalnya saya menikmati perjalanan ini, tetapi pada akhirnya saya memilih untuk tidur.

Ini merupakan kali kedua saya naik kapal dalam hidup. Dan, jujur saja, naik kapal tidak semenyenangkan naik pesawat. Ombak yang saling bertautan menghantam lambung kapal, agak membuat saya gusar, membayangkan kalau-kalau perahu ini terhempas dan kami semua terbalik. Alamak! Saya jadi ketakutan sendiri karena overthinking. Mungkin, trauma semasa kecil karena jatuh dari jetski membuat saya enggan menatap lekat ombak. 

Tiba di Nusa Penida

Dari kejauhan, tanah Nusa Penida sudah terlihat mencolok dengan kapal-kapal yang banyak besandar di pantainya. Pulau ini sama sibuknya dengan Bali daratan yang ramai dengan aktivitas pariwisata. Baru saja kaki melangkah untuk pertama kalinya menuju ke Pelabuhan Penida, saya harus merasakan getirnya jatuh di atas air laut. Baju dan tas yang saya bawa jadi basah semua. Alangkah sebalnya saya hari ini! Kegiatan belum mulai saja, ujiannya sudah cukup meledakkan isi kepala.

Mauren dan Eghi mulai memanggil nama peserta satu per satu, memastikan semua berhadir dan tidak ada yang ketinggalan. Ayu, Debbie, dan Dudu ikut mendokumentasikan kegiatan di tengah arus keluar masuk wisatawan. Selepas presensi, Eghi memimpin rombongan berjalan ke arah parkiran, sementara Mauren sibuk menelpon sang supir yang akan menjemput.

Dari arah yang berlawanan, tampak seorang pria berbaju ungu yang muncul dari arus turis, yang bergerak melawan arah. Ketika rombongan kami berpapasan dengan dia, kami acuh saja, tak mengira dialah yang menjemput kami. Tiba-tiba, dari belakang rombongan, Ayu menyapanya dengan sumringah.

“Bli Gusti!”

Lelaki berbaju ungu itu segera mengenali suara Ayu yang berteriak memanggilnya dan menghampiri rombongan kami. 

“Ayo ke depan, sudah ada mobil yang menunggu kalian,” jelasnya.

Sebuah mobil mini bus sudah menunggu kami di pinggir jalan utama yang cukup sempit dilalui banyak kendaraan. Rombongan kami bergegas naik untuk menghindari kemacetan yang semakin riuh.

Tempat tujuan kami adalah Nuansa Pulau, sebuah kelompok pemuda yang bergerak di bidang transplantasi terumbu karang. Mereka adalah pemuda-pemuda lokal yang dilibatkan untuk memahami alam tempat tinggal mereka, terutama soal laut dan terumbu karang. 

Nuansa Pulau
Foto bersama di depan Nuansa Pulau/Kok Bisa

“Karena materi sudah saya bagikan sebelumnya, saya yakin kalian semua bisa baca. Sekarang silahkan tanya, dari pertanyaan serius sampai pertanyaan konyol,” ucap Pak Pras yang membuka materi pagi itu. Rahmadi Prasetyo, atau yang biasa akrab disapa Pak Pras, merupakan seorang dosen dari Universitas Dhyana Pura yang juga merupakan seorang Coralist Expert di Indonesia, mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta.

“Apakah karang bisa hidup di air tawar apa hanya di air laut?” tanya salah seorang peserta.

“Jawabannya tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena tidak ada karang yang bisa hidup di air tawar, tetapi ada beberapa karang yang tahan dengan salinitas yang tidak terlalu asin. Tapi hampir semua karang ada di laut dengan salinitas 33-35, dan itu asin,” papar Pak Pras.

“Apa dampak fish feeding pada terumbu karang?” salah satu peserta lain bertanya.

“Itu bantuan langsung tunai kepada ikan,” terang Pak Pras diikuti gelak tawa peserta, “Dalam fisiologis dan ekologis tentang hewan laut, kita tidak merekomendasi kegiatan tersebut, karena bakal mengganggu daya juang ikan untuk makan,” lanjutnya.

“Kalau dampak ke karangnya ada, Pak?”

“Kalau dampak ke karang sebenarnya tidak ada, yang jelas kan makanan itu organik dan itu pasti akan hancur juga. Yang berdampak adalah waktu dia memberi makan ikan,[yang mungkin] kakinya menendang karang.”

Lanjut, pertanyaan lainnya dari peserta perempuan yang menanyakan soal aktivitas pariwisata apa yang tidak ramah terhadap terumbu karang. “Yang pertama, yang paling parah adalah kicking ya, kicking itu aktivitas fisik yang akhirnya akan merusak karang. Yang kedua adalah fishibing, yang itu akan membuat massa berkelompok. Yang ketiga adalah masalah muring atau penjangkaran. Kalau kapal lempar jangkar pasti ke bawah kan? Pasti kena karang. Salah satu yang paling disarankan adalah memakai fixed mooring boey, tapi nggak semua tempat ada kan?” jelas Pak Pras.

Kemudian pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut para peserta, Pak Pras menjelaskan pemaparannya dengan telaten dan ringan. Saya tidak terpikirkan bahwa materi terumbu karang bisa seasyik ini untuk dimengerti. Penjelasan Pak Pras berlanjut pada bagaimana karang bisa dikategorikan sebagai hewan, zonasi jenis karang, cara perkembangbiakan, dan lain sebagainya. 

Menurut Pak Pras, pengetahuan tentang alam ini perlu disampaikan kepada masyarakat luas dengan bahasa yang paling sederhana, terutama di media sosial yang sekarang sangat mudah untuk diakses. Nantinya, hal-hal sederhana ini bisa membantu masyarakat luas menjadi paham kenapa terumbu karang sangat berarti bagi ekosistem laut.

Interaksi cair antara kami dan Pak Pras membuat waktu menjadi berlalu sangat cepat, tak terasa saat yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba: berkebun terumbu karang! Sebelum peserta pergi ke laut untuk menanam terumbu karang, Bli Nyoman memberikan penjelasan mengenai bagaimana prosedur penanaman terumbu karang beserta media yang digunakan, reef stars. Ada 15 fragment dalam satu reef stars, yang terbagi di beberapa sisi. Di setiap sisinya, kecuali tiga sisi lain yang digunakan untuk mengikat reef stars satu sama lain, terikat satu baby coral yang akan harapannya akan tumbuh setelah berada di laut.

  • Materi terumbu karang
  • Pemasangan terumbu karang
  • Memasang fragmen karang

Satu per satu peserta dengan telatennya mengikat bayi-bayi karang ke reef stars. Tidak satupun di antara mereka yang tak antusias. Bahkan beberapa peserta ingin mengikat lebih banyak karang dari jumlah yang sudah ada.

Meski langit cukup kelabu, tiada satupun air yang jatuh ke bumi siang itu. Kapal yang tertambat di pinggir pantai sudah memanggil kami untuk menaikinya. Kondisi saat itu laut cukup tenang, angin tidak berhembus kencang. Setelah mengikuti aba-aba dari Pak Pras dan kru Nuansa Pulau, semua yang berada di kapal mulai menceburkan diri. Masing-masing mulai mengamati terumbu karang yang tumbuh di sekitaran Nusa Penida. Terumbu karang di perairan Nusa Penida kondisinya cukup bagus. Setelahnya, kami meletakkan tiga reef stars di dasar laut dengan kedalaman 7 meter. 

Berkah terbesar Bali adalah laut. Laut bagi masyarakat di Nusa Penida adalah tautan langsung menuju Sang Hyang Widhi. Jauh sebelum peraturan perundang-undangan tentang pelestarian ekosistem laut dibuat, masyarakat di Pulau Nusa Penida sudah memberlakukan hukum adat atau disebut awigawig yang melindungi alamnya dari eksploitasi berlebih. Meskipun gemerlap pariwisata sempat mengancam alam Penida yang memukau, lambat laun kesadaran masyarakat kembali tumbuh, seiring pengajaran dan pembelajaran yang mereka dapatkan.

Seusai lelah snorkeling dan santap siang. Acara berlanjut dengan pemaparan Menjadi Green Content Creator oleh Debbie Marteng. Sebagai seorang kreator konten, Debbie menceritakan kiat-kiat apa saja yang diperlukan untuk bisa survive dalam dunia perkontenan. Ia juga membagikan cukup banyak tips untuk peserta dalam membuat karya video kampanye perjalanan lestari dan tentu saja perjalananya menjadi seorang kreator konten.

“Sebelumnya saya tidak tahu apa-apa tentang gambar, tapi sok tahu aja tentang menggambar. Ternyata, pas kontennya naik. Akhirnya saya bikin clay artwork; bikin asbak, celangan, terus kontennya naik juga,” ceritanya. Debbie mengingatkan bahwa untuk jadi kreator konten perlu ketelatenan dan konsistensi yang tinggi. Kreatifitas perlu terus diasah untuk tetap menghasilkan konten yang digemari orang banyak. 

“Di dunia ini tidak ada yang baru, adanya ATM (Amati Tiru Modifikasi),” tutur Debbie meyakinkan para peserta untuk berani mulai membuat konten sepulang dari Nusa Penida.

  • Kebun karang
  • Reef star
  • Reef star
  • Reef star
  • Debbie Marteng

Kala mentari tak nampak jua karena kepulan awan yang mulai semakin rapat, kami semua harus menyudahi kegiatan di Nusa Penida. Seharian berkawan dengan laut dan matahari membuat sebagian kulit saya terbakar. Saya dan Mauren harus meninggalkan teman-teman di belakang untuk mengurus tiket kapal menuju ke Bali daratan. Semoga saja hujan tidak turun. 

20 menit berselang, para peserta mulai berdatangan ke pelabuhan. Kami menghabiskan sisa waktu di Penida berkumpul di warung untuk jajan dan minum kopi. Kapal datang, dan kami masuk dan mengecek semua peserta agar tidak ada yang tertinggal.

Tapi tunggu! Ada dua orang yang tidak terlihat batang hidungnya di kapal. Jangan-jangan mereka ketinggalan di pelabuhan? Atau jangan-jangan mereka masih di Nuansa Pulau?

Saya menjadi agak sedikit panik.

Mauren mulai berkeringat gugup dan naik ke atas dek untuk menghitung kembali peserta. Setelah bolak-balik sampai tiga kali, dua orang yang kami cari ternyata duduk santai di beranda. Syukurlah, di hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan ini, saya mengakhirinya dengan duduk mengantuk di kursi kapal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/feed/ 0 36444
Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/ https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/#respond Wed, 14 Apr 2021 08:50:02 +0000 https://telusuri.id/?p=27591 Siapa tak kenal Balada Si Roy, novel klasik yang hadir menemani para remaja dan muda-mudi Indonesia di tahun 80-an. Awalnya cerita Roy merupakan cerita bersambung yang muncul di Majalah Hai, cerita ini lalu dibundel menjadi...

The post Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tak kenal Balada Si Roy, novel klasik yang hadir menemani para remaja dan muda-mudi Indonesia di tahun 80-an. Awalnya cerita Roy merupakan cerita bersambung yang muncul di Majalah Hai, cerita ini lalu dibundel menjadi sebuah serial. Diceritakan, si Roy seorang anak muda yang berani melawan status quo dan represi yang jelas tergambarkan pada masanya. 

Di akhir tahun 2020, kabar mengenai film Balada Si Roy menjadi sorotan. Pasalnya, selain jelas akan menjadi film nostalgia di beberapa kalangan, juga menjadi film yang bisa merefleksikan kehidupan anak muda era itu melalui sesosok Roy. Film ini disutradarai oleh Fajar Nugros dan diproduksi oleh IDN Pictures. TelusuRI berkesempatan untuk mewawancarai Salman Aristo, penulis naskah film Balada Si Roy.

Kiprah Mas Aris dalam menyulap novel menjadi naskah film sudah tidak asing lagi. Selain Balada Si Roy, Mas Aris juga telah sukses menyulap Ayat – Ayat Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy, Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata, dan Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari menjadi film yang berjudul Sang Penari

Balada Si Roy dan Salman Aristo

salman aristo balada si roy
Salman Artisto/Istimewa

Bagi Mas Aris, novel Balada Si Roy adalah sebuah karya yang ikonik pada masanya. “Gue punya karir yang lebih panjang lagi yaitu sebagai pembaca Balada Si Roy,” ujarnya. Namun lebih dari itu, cerita Balada Si Roy ternyata memiliki kedekatan karakter dengan Mas Aris.

“… bahwa Balada Si Roy adalah salah satu hal yang membentuk gue di usia remaja, selain Slank dan Iwan Fals. Balada Si Roy yang membentuk bagaimana gue bersikap, ada kedekatan dalam representasi dengan karakternya. Mindset yang tidak mempertanyakan segala hal tapi dengan sikap yang jelas, tidak mudah tunduk, itu dari Balada Si Roy,” tegasnya.

Karena kedekatan itulah, di awal karir perfilmannya Mas Aris memang bermimpi untuk bisa terlibat dalam pembuatan film Balada Si Roy. Rencana pembuatan film Balada Si Roy beberapa kali sempat sayup-sayup dikabarkan jauh sebelumnya, namun baru ramai terdengar pasti di tahun 2020. Ketika mengetahui bahwa Fajar Nugros yang akan menyutradarai Balada Si Roy Mas Aris sempat bertanya-tanya “Kok makin deket ya aksesnya,” ucap Mas Aris.

Mas Aris dan Fajar Nugros sebelumnya sudah pernah dipersatukan dalam sebuah film berjudul Queen Bee. Keterlibatan Mas Aris dalam film pertama yang digarap oleh Fajar Nugros menjadikan hubungan mereka cukup erat. “Jadi gue berpikir kaya memang sudah jalannya untuk bisa bertemu dengan salah satu mimpi gue,” jelasnya.

Karakter Roy di layar lebar

poster film balada si roy
Poster Film Balada Si Roy/Istimewa

Karakter Roy diakui sebagai sebuah karakter yang ikonik pada masanya, sehingga proses adaptasi dari novel ke layar lebar pun diakui Mas Aris melalui proses pengembangan yang cukup panjang. Ketika ditanya bagaimana Mas Aris menghidupkan karakter si Roy ke layar lebar, Ia menjelaskan “… kita memutuskan untuk memakai tahun yang sama persis dengan tahun cerita di novel karena berbagai macam pertimbangan salah satunya adalah Roy menjadi hidup di zamannya. Bisa jadi sikap Roy jika dibawa ke jaman sekarang terlalu banyak modifikasi sehingga karakternya bukan Roy lagi,” ia bertutur dengan antusias. 

Dalam konferensi pers virtual film Balada Si Roy di kanal YouTube IDN Times, Mas Aris menyebutkan bahwa Roy adalah karakter yang anti-stagnan. “Buat si Roy stagnan itu artinya mati, dia mau terus berada di dinamika perubahan.”

Karakter ‘memberontak’ khas anak muda inilah yang paling kuat terlihat dari si Roy, khususnya karena latar cerita ini ditulis pada masa yang ‘stag’ atau tepatnya adalah sebuah rezim. Prinsip karakter Roy yang menolak stagnasi dan represi inilah yang digambarkan Mas Aris dalam film ini.

Jika kalian adalah pembaca setia Balada Si Roy, kalian pasti sadar bahwa jiwa petualang dan karakteristik si Roy sebagai seorang pejalan, tergambar di hampir seluruh novelnya. Menariknya, esensi perjalanan Roy menurut Mas Aris berbeda daripada pandangan orang kebanyakan yang melihat perjalanan hanya sekedar ketertarikan terhadap alam dan kegiatan berfoto ria saja.

“Kalau mau lebih dari sekedar turis, coba baca Joe Balada si Roy, bahwa berpetualang, berkunjung ke tempat lain, bertamu, akan jauh lebih punya makna kalau semangatnya lebih dari sekedar turistik.” 

Ia menyayangkan pandangan turistik yang terlalu mendambakan keindahan alam Indonesia saja. “Gua punya agenda untuk bilang bahwa barang siapa yang masih berpikir kalau sumber kekayaan Indonesia berasal dari kekayaan alam adalah pola pikir yang sangat kolonial.” 

balada si roy
Buku Balada Si Roy: Joe/TelusuRI

Menurut Mas Aris keindahan Indonesia itu terletak di masyarakatnya yang beragam. “Jadi it’s in the people dan itu yang dicari sama Roy di sepanjang perjalanan. Kalau kita baca di buku-buku berikutnya, yang dicari Roy kan orang, masalah, masyarakat, karakter yang dia temui karena memang itu Indonesia,” lanjutnya.

Mas Aris juga menuturkan bahwa kegelisahan karakter Roy membuat Ia berani jadi seorang yang belajar dari perjalanan. “Karena Roy jalan-jalan bukan untuk melihat pemandangan, dia mau keluar dari status quo yang mengekang, keberanian itu yang membuat dia memilih untuk berjalan, sehingga ia mendapat pelajaran tentang hidup dan tentang Indonesia.”

Namun sayangnya, karena novel yang diadaptasi adalah novel pertama; Joe maka perjalanan Roy sendiri sebenarnya belum dimulai. Walaupun begitu, Mas Aris menekankan bahwa pesan moral yang ingin disampaikan melalui film Balada Si Roy ini disasarkan kepada anak muda Indonesia.

“Artinya dalam keseharian, dalam proses berfikir, dalam proses melihat, dalam proses berinteraksi, tidak boleh terjebak di zona nyaman dan stagnasi, harus lapar dengan yang namanya dinamika dan kemungkinan-kemungkinan.”

Film Balada Si Roy ini nampaknya tidak cukup hanya sebagai bahan bernostalgia, cerita si Roy perlu kita pahami bahwa itu adalah sejarah peran dan sikap anak muda pada masa itu. Mas Aris pun berpesan bahwa “Balada Si Roy adalah catatan sejarah yang bisa dipelajari, tidak hanya sekedar bahan bernostalgia,” tutup Mas Aris mengakhiri perbincangan kami.Nah, kamu termasuk orang yang menunggu penayangan film ini Balada Si Roy, kah?

The post Film Balada Si Roy: Bukan Sekadar Bahan Nostalgia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/film-balada-si-roy-bukan-sekadar-bahan-nostalgia/feed/ 0 27591
Mencicipi Ragam Soto Nusantara https://telusuri.id/mencicipi-ragam-soto-nusantara/ https://telusuri.id/mencicipi-ragam-soto-nusantara/#respond Tue, 23 Feb 2021 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27163 Cita rasa masakan Indonesia dari Sabang hingga Merauke memang telah diakui dunia. Terbukti dari dimasukkannya beberapa hidangan Indonesia dalam list World’s 50 Best Foods oleh CNN. Tapi diantara seluruh masakan Indonesia, menurutku soto adalah hidangan yang...

The post Mencicipi Ragam Soto Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
Cita rasa masakan Indonesia dari Sabang hingga Merauke memang telah diakui dunia. Terbukti dari dimasukkannya beberapa hidangan Indonesia dalam list World’s 50 Best Foods oleh CNN. Tapi diantara seluruh masakan Indonesia, menurutku soto adalah hidangan yang paling menarik. Khususnya di saat musim hujan seperti sekarang ini. Jika diperhatikan, soto memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda tergantung sebutan di daerah asalnya. Selain namanya, jenis kuah dan isinya juga berbeda, ada yang berkuah santan, ada yang berkuah keruh, dan ada yang berkuah bening kuning.

Jika kalian salah satu warga Indonesia yang mengidamkan makanan berkuah, berikut ragam soto yang telah menghiasi industri kuliner Indonesia dan patut kamu coba!

Soto Banjar 

Soto Indonesia
Soto Banjar Kalimantan dalam acara festival kuliner Kampoeng Legenda di Mal Ciputra via TEMPO/Nita Dian

Sudah jelas dari namanya, soto yang satu ini khas warga suku Banjar, Kalimantan Selatan. Hidangan yang satu ini selalu dirindukan oleh masyarakat berdarah Banjar yang merantau ke Ibukota. Soto Banjar memiliki kuah yang khas, dengan campuran susu dan warna kuah yang agak kuning keruh.

Walaupun menurut beberapa sumber menunjukkan versi kuah soto yang lebih bening tanpa campuran susu. Meski kuahnya berbeda, isi soto Banjar biasanya memiliki isi yang kurang lebih sama. Dalam soto Banjar yang wajib ada adalah; lontong atau ketupat, soun, telur dan ayam. Perasan jeruk nipis menjadikan rasa kuah soto yang gurih menjadi sedikit asam dan bercita rasa segar. 

Soto Tangkar dan Soto Betawi

Soto Indonesia
Peserta meracik soto Betawi H. Ma’ruf via TEMPO/Nita Dian

Nama ‘tangkar’ yang berarti tulang iga adalah bahan utama hidangan yang berikut ini. Soto khas adat Betawi ini dulunya dijajakan untuk masyarakat kalangan bawah. Karena kebanyakan masyarakat kalangan bawah pada saat itu tidak mampu membeli daging sapi, maka soto tangkar menggunakan tulang iga yang memiliki sedikit daging sisa.

Seringkali soto tangkar sulit dibedakan dengan soto Betawi, tetapi sebenarnya perbedaan soto tangkar dengan soto Betawi adalah kuahnya yang lebih kemerahan dan mengandung santan yang lebih sedikit. Selain itu, berbeda dengan soto tangkar, bahan utama soto Betawi bermacam – macam, dari mulai daging, kikil, paru dan jeroan lain. 

Soto Lamongan

Soto Indonesia
Soto Lamongan via Flickr/Gage Batubara

Soto Lamongan terkenal dengan bubuk koya nya yang menjadi ciri khasnya. Di daerah asalnya, soto Lamongan lebih dikenal sebagai soto koya. Koya sendiri adalah kerupuk udang yang dihancurkan hingga menjadi bubuk, dan ditaburkan di atas hidangan soto. Soto koya berbahan utama daging ayam, dengan menggunakan kaldu ayam dan tambahan bihun, telur, dan kol, maka soto koya menjadi sebuah hidangan yang lengkap untuk dinikmati panas-panas di kala musim hujan.

Soto Lamongan yang menjadi sorotan di Ibukota salah satunya adalah Soto Lamongan dan Sate Kambing Jaya Agung di bilangan Menteng. Tempat ini ternyata sudah menjual soto Lamongan selama hampir setengah abad lamanya. 

Soto Kudus 

Soto Indonesia
Soto Kudus via TEMPO/Ahsin Pramugani

Hidangan yang satu ini umumnya memiliki bahan utama daging ayam atau daging sapi. Kuahnya kuning kecoklatan dan kuahnya ringan, cenderung keruh. Seperti namanya, soto Kudus berasal dari kota Kudus, Jawa Tengah. 

Uniknya, soto Kudus pada awalnya tidak berbahan utama daging ayam atau sapi. Pada masa itu Sunan Kudus melihat masih banyak masyarakat beragama Hindu. Dalam agama Hindu memang tidak diperkenankan untuk mengkonsumsi daging sapi. Oleh karena itu soto di Kudus disajikan dengan daging kerbau agar masyarakat yang beragama Hindu dapat menikmatinya juga. 

Salah satu tempat untuk menikmati soto Kudus adalah di Soto Kudus Blok M. Di tempat ini, makan soto Kudus wajib dibarengi dengan perkedel kentang dan sate telur puyuh. Terletak di Jalan Wijaya I, no. 44, menu utamanya dibanderol dengan harga Rp24 ribu, tentunya harganya belum termasuk tambahan perkedel dan sate telur puyuh. Namun jika kalian berencana jalan-jalan ke Kudus dalam waktu dekat, sempatkanlah mencoba makan soto Kudus Pak Di atau Pak Ramidjan. 

Soto Sokaraja, Banyumas

Soto Indonesia
Soto Sokaraja via Flickr/Dian Kurnia Utami

Identik dengan taburan kerupuk merah muda, yang disebut kerupuk cantir di atasnya. Soto Sokaraja disebut oleh warga Banyumas sebagai soto Sokaraja. Sebagai makanan tradisional khas Banyumas, Jawa Timur, sroto berbeda dengan soto lainnya. Kuahnya yang cenderung keruh biasanya dilengkapi sambal kacang.

Bahan utama soto bisa berupa daging ayam atau daging sapi, namun bahan yang wajib ada adalah ketupat, tauge, kerupuk cantir, dan sambal kacang rumahan. Agar lebih segar, bisa juga ditambahkan perasan jeruk nipis. 

Coto Makassar, Makassar

Soto Indonesia
Coto Makasar di Restoran Pelangi via TEMPO/Yosep Arkian

Memiliki bahan utama daging dan jeroan sapi, coto Makassar juga terkenal dengan rasanya yang kuat dan khas rempah-rempah Indonesia. Rasa kuatnya dikarenakan resepnya menggunakan 40 macam rempah-rempah seperti rerimpangan, dedaunan, biji-bijian dan lain sebagainya.

Kuahnya yang kental biasa dimakan dengan buras atau ketupat. Berasal dari Sulawesi Selatan, coto Makassar sangat mudah dijumpai di gerai makanan atau jalan-jalan di Kota Makassar. Salah satu gerai coto yang terkenal di Makassar adalah Aroma Coto Gagak. Harga semangkuk coto dibanderol Rp20 ribu, cukup mahal dibanding gerai coto Makassar lainnya, namun rasanya diakui oleh warga lokal.

Nah, tentunya selain 6 soto di atas, masih banyak lagi soto-soto lezat khas nusantara yang bisa dicoba. Mungkin setelah pandemi berakhir kalian bisa mencobanya langsung di daerah asalnya. Tapi untuk sekarang ini mungkin bisa kita cicipi di kota masing-masing dulu ya, Sob!

The post Mencicipi Ragam Soto Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicipi-ragam-soto-nusantara/feed/ 0 27163
Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/ https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/#respond Sun, 24 Jan 2021 05:34:18 +0000 https://telusuri.id/?p=26546 “Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus. Malam itu, beberapa tahun yang lalu, kami (beberapa mahasiswa yang sedang KKN di sebuah dusun...

The post Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? appeared first on TelusuRI.

]]>

“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Malam itu, beberapa tahun yang lalu, kami (beberapa mahasiswa yang sedang KKN di sebuah dusun di Jawa Tengah) duduk bersama ibu-ibu warga dusun sekitar selepas pengajian mingguan. Di tengah bercengkrama dan melahap suguhan tuan rumah, Pak Kades mampir menyampaikan informasi program yang dicanangkan Pak Presiden terkait pengukuran lahan untuk sertifikasi tanah dan secuil informasi mengenai pemilu presiden.

Setelah Pak Kades pamit, seorang mahasiswa pria mampir untuk mengajukan pengelolaan program sampah yang bisa dikembangkan bersama karang taruna desa. Namun ibu-ibu nampak tidak antusias.

Pemilihan Sampah

Foto: Slum Dwellers International (Flickr)

“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan lebih lanjut, tidak nampak reaksi berbeda dari para ibu-ibu. Menyadari hal itu si mahasiswa pun menutup diskusi, berterima kasih dan pamit pulang. 

Sebelum tidur, aku mengulang-ulang skenario yang barusan kusaksikan itu di kepalaku. Muncul berbagai pertanyaan di pikiranku, salah satunya adalah “kenapa ya mereka menolak untuk mengubah kebiasaan mereka?” 

Soal Kebiasaan

Di pikiranku aku pun bernostalgia pengalaman berbeda yang kurasakan tepat setahun sebelumnya. Saat itu aku adalah mahasiswa tahun ke-3 yang tengah melakukan pertukaran pelajar ke salah satu negara Nordik. Aku dan kedua teman sekelasku belajar selama 2 semester di sebuah kota industri bernama Malmö di provinsi Skåne, di area selatan Swedia.

Sewaktu di sana ada beberapa kebiasaan yang sulit kuubah. Pertama, tidak adanya Ayam Geprek Bu Rum, dan yang kedua adalah cara membuang sampah yang ribet.

Di asrama khusus pelajar mancanegara, tidak semua mahasiswa pertukaran pelajar tahu cara memilah sampah layaknya warga Skandinavia. Maka, selama masa orientasi pihak asrama memuat informasi sistem pemilahan sampah mereka.

Bukan, ini bukan masalah pemilahan sampah organik dan sampah anorganik seperti yang biasa kita temukan di Indonesia. Sistem pengolahan sampah di sana, khususnya di asrama dibagi menjadi 5 bagian, yakni sampah gelas, sampah dus, sampah karton, sampah plastik, dan sampah kaleng. Ini belum termasuk sampah organik yang wajib dibuang setiap malam menggunakan kantong sampah kertas khusus. 

Awalnya aku menganggap enteng hal ini. Aku membuang dus bekas susu ke tempat sampah untuk dus, toples saus pasta bekas ke tempat sampah kaca. Mudah, tidak masalah.Pemilihan Sampah

Pada hari piket, aku mengumpulkan kantong-kantong sampah organik ke dalam plastik sampah hitam besar agar lebih mudah dibawa. Kemudian aku membawa kelima jenis sampahnya turun untuk dibuang ke ruang pembuangan sampah di luar gedung.

Di lain hari, kulihat seorang teman selantai mengambil sampah kaca bekas pasta dari tempat sampah dan mencucinya sambil menggerutu. Rupanya dia kesal bahwa masih ada yang tidak membersihkan sampah gelas kacanya.

Aku pun tertegun, pikirku “oh kita harus membersihkannya dulu sebelum membuangnya?”. Walaupun sampah yang diambilnya bukan milikku, dengan sedikit malu-malu aku pun memancing penjelasan lebih lanjut mengenai pembuangan sampah yang benar. 

Setelah ngobrol panjang lebar, ternyata cara buang sampah yang selama ini kulakukan masih salah. Ketika membuang sampah dus susu, seharusnya aku mencuci dus tersebut lebih dulu supaya bisa didaur ulang, begitu juga dengan toples kaca bekas saus pasta. Selain itu, aku juga harus memisahkan dulu dus susu dengan tutup plastiknya karena pengolahan dua jenis sampah ini berbeda meski berasal dari satu kemasan yang sama.

Kemudian yang paling penting adalah jika membuang sampah organik menggunakan kantong plastik di ruang pembuangan sampah maka pengelola gedung bisa dikenakan denda.

Daur Ulang Sampah di Seminyak Bali

Daur ulang sampah di Seminyak Bali/Johannes P Christo (TEMPO)

Kalau dilihatnya saat ini, mungkin kita kagum atau iri dengan pengelolaan sampah di Swedia. Tapi, jangan salah, sistem ini juga tidak diterapkan secara instan. Sejarahnya, isu lingkungan di Eropa pada abad ke-19 memang merupakan isu yang didominasi oleh masyarakat elit (Rootes C, 2008). Lambat laun, kepedulian masyarakat meningkat melalui kebijakan yang mempertimbangkan aspek lingkungan. 

Swedia menerapkan sistem deposit kaleng bekas pada 1984, menyusul botol pada 1994. Artinya, sistem pendukung pengelolaan sampah itu, dan sosialisasinya, sudah terjadi sejak dua puluh-an tahun lalu. Pastinya bukan hal mudah untuk menerapkannya. 

Bahkan sampai sekarang pun, Swedia masih melakukan upaya-upaya perbaikan. Misalnya yang dilakukan oleh Beteendelabbet alias ‘laboratorium tingkah laku’. Fokus organisasi tersebut adalah mengubah cara masyarakat Swedia hidup agar lebih berkelanjutan. 

Ida Lemoine, pendiri Beteendelabbet, mengatakan tujuan mereka adalah membuat layanan yang memudahkan orang melakukan hal yang benar. “Kita harus bisa menjadikan diri kita sendiri, sebagai konsumen, mau berbagipakai dan pakai ulang berbagai gadget, pakaian dan perabotan. Bahkan ruang kerja dan rumah,” kata Lemoine

Butuh Waktu dan Upaya Lebih

Kalau Swedia, yang relatif kecil dibandingkan Indonesia, butuh waktu lama untuk menerapkan sistem mereka. Dan masih terus melakukan perbaikan. Apakah kita mau berharap bahwa omongan mahasiswa ‘sok tau’ di depan warga bisa mengubah perilaku? Jelas tidak. 

Jelas butuh upaya yang lebih menyeluruh. Misalnya, kebijakan soal sampah ini juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Mengutip Kang Bagja, pendiri ForestDigest, saat menceritakan tentang pencapaian warga Desa Bendungan. Ia mengatakan, kebijakan yang berfokus lingkungan akan menghasilkan peningkatan perekonomian yang lebih baik. 

Sepulang dari dua bulan mengabdi di dusun itu, aku menceritakan hal ini ke Bapak. Bertemu dan mensosialisasikan program perusahaan kepada warga merupakan bagian dari pekerjaan Bapak. Aku pun menceritakan program pengolahan sampah itu kepada Bapak.

Mendengar itu Bapak pun menjawab dengan santai “Nih ya, bertahun-tahun mereka buang sampah ke jagang, dari kecil mereka diajarkan kalo buang sampah ya ke jagang, terus ada mahasiswa KKN yang baru datang tiba-tiba nyuruh jangan buang sampah ke jagang, ya mana bisa!”

Mendengar tanggapan Bapak, pikirku “ah ternyata memang tidak bisa semudah itu ya mengubah kebiasaan dan cara hidup di tempat yang bukan kampung halaman sendiri. Pastinya nggak mungkin dilakukan hanya dalam kurun waktu 2 bulan oleh anak-anak yang baru tahu teori.”

Dari situ aku belajar, mungkin warga setempat punya kearifan lokal mengenai pembuangan sampah. Siapapun patut memahami dari mana datangnya kearifan itu dan mengerti asal-usul sebuah kebiasaan, sebelum serta-merta mengubahnya. Lain ladang, lain belalang.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/feed/ 0 26546
Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/ https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/#comments Thu, 07 Jan 2021 08:32:34 +0000 https://telusuri.id/?p=26207 Forest Digest didirikan oleh para alumni Institut Pertanian Bogor dengan tujuan mengkampanyekan pengelolaan hutan yang lestari. Sejak didirikan, Forest Digest mengeluarkan media cetak yang menyasar para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan pemerintahan karena sarat akan...

The post Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam appeared first on TelusuRI.

]]>
Forest Digest didirikan oleh para alumni Institut Pertanian Bogor dengan tujuan mengkampanyekan pengelolaan hutan yang lestari. Sejak didirikan, Forest Digest mengeluarkan media cetak yang menyasar para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan pemerintahan karena sarat akan penelitian ilmiah yang sekiranya bisa membantu dalam penentuan kebijakan.

Dengan terbatasnya capaian distribusi untuk produk media cetak, mendorong Forest Digest memutuskan untuk membuat website di 2018 agar dapat diakses dari seluruh penjuru Indonesia. Khawatir akan tenggelamnya website mereka di tengah banjir informasi di masa sekarang, dibuat lah media sosial, agar konten mengenai lingkungan di website mereka bisa merambah generasi muda. 

Kang Bagja, pemimpin redaksi Forest Digest. Foto: Kang Bagja

Pemimpin redaksi Forest Digest, Kang Bagja bercerita banyak sekali selama kiprahnya mengelola media yang berfokus pada lingkungan. Sebagai alumni dan pemimpin redaksi Forest Digest, beliau menceritakan ragam permasalahan lingkungan saat ini hingga gaya hidup yang perlu digubah untuk menanggulangi krisis iklim dan pencemaran lingkungan di Indonesia.

Mengangkat isu dan masalah lingkungan

Kondisi lingkungan global berada di titik yang mengkhawatirkan. Isu di media sosial saat ini sedang marak krisis iklim, termasuk soal pemanasan suhu bumi yang diakibatkan oleh produksi emisi karbon yang berlebihan pada setiap aktivitas manusia.

Pada kenyataannya manusia tidak bisa menanggung kenaikan suhu bumi jika lebih dari 2 derajat celcius. Bahkan di tengah pandemi seperti saat ini, walaupun kegiatan ekonomi melambat, tingkat kenaikan suhu bumi ternyata tidak menurun. Hal ini diakibatkan energi yang dibutuhkan untuk aktivitas daring lebih besar dibandingkan aktivitas offline, sehingga emisi yang dikeluarkan pun lebih banyak. 

Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Kang Bagja menjelaskan “akibat pengelolaan hutan tak lestari, sekitar 34 juta hektar hutan tidak lagi menjadi hutan akibat degradasi dan banyaknya pembakaran liar.”

Sayangnya kebijakan ekonomi di Indonesia masih menjadi fokus utama dan paling besar jika dibandingkan dengan kebijakan yang menunjang kelestarian lingkungan. Forest Digest berharap ke depannya hutan-hutan di Indonesia bisa dilindungi oleh masyarakat adat. Hal ini dikarenakan warga lokal lah yang tahu betul keadaan hutan-hutan mereka, sehingga jika terjadi kerusakan pada hutan-hutan mereka, maka imbasnya pun akan dirasakan oleh mereka sendiri.

Namun di tengah banjir informasi di media sosial dan media digital, isu lingkungan dan HAM menjadi isu-isu yang mudah timbul-tenggelam. Hal ini diakui betul oleh Forest Digest, maka dari itu, selain ingin menyasar para pemangku kebijakan, Forest Digest juga menyasar masyarakat luas, terutama para anak muda yang kreatif. Kunci utama Forest Digest agar tetap relevan bagi masyarakat, khususnya di kalangan muda adalah dengan mengaitkan pengaruh isu lingkungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Walaupun masih banyak kegiatan umat manusia yang mencemari lingkungan, Forest Digest selalu ingin menyorot secercah harapan dari masyarakat lokal yang peduli dan berhasil merubah lingkungannya menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan. Kang Bagja mengambil contoh masyarakat di Desa Bendungan, Kabupaten Bogor yang menyulap selokan kotor yang penuh sampah menjadi kolam budidaya ikan. Beliau menunjukkan bahwa ini adalah salah satu contoh dimana kebijakan yang fokus kepada kelestarian lingkungan akan menghasilkan perekonomian yang baik pula.

Lalu, anak muda bisa apa?

Tentunya tidak cukup hanya menyasar anak muda sebagai audiens, ketika sudah mendapatkan atensi dari anak muda Indonesia, lantas apa yang bisa mereka lakukan sebagai masyarakat yang berwawasan? Anak muda di desa lebih banyak mempraktekkan menanam pohon dan bertani, berbeda dengan anak muda di kota yang mungkin hanya tahu dari bacaan di media sosial dan berita. Kang Bagja menyayangkan kondisi pandemi ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan beberapa program-program bagi anak-anak muda. 

Di tengah pandemi ini anak muda dan bahkan orang dewasa lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah dan berkegiatan di dunia maya. Forest Digest menyarankan agar teman-teman di rumah tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya, selain karena menambah produksi karbon emisi, akan lebih sehat jika kita menyisihkan waktu 2-3 jam beraktivitas di luar rumah; seperti berjalan kaki atau bersepeda, tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan dan tidak beramai-ramai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Tengah Gegap-Gempita Media Sosial, Isu Hutan Timbul-Tenggelam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-tengah-gegap-gempita-media-sosial-isu-hutan-timbul-tenggelam/feed/ 1 26207
Lagu Perjalanan ala Endah N Rhesa https://telusuri.id/lagu-perjalanan-endah-n-rhesa/ https://telusuri.id/lagu-perjalanan-endah-n-rhesa/#respond Fri, 11 Dec 2020 03:51:50 +0000 https://telusuri.id/?p=25792 Musik dan perjalanan, seperti mata uang logam yang saling melengkapi. Sunyi, mungkin begitu rasanya jika perjalanan tidak diiringi oleh alunan musik yang mengisi kekosongan waktu saat belasan jam harus duduk di kereta atau sekedar berbincang...

The post Lagu Perjalanan ala Endah N Rhesa appeared first on TelusuRI.

]]>
Musik dan perjalanan, seperti mata uang logam yang saling melengkapi. Sunyi, mungkin begitu rasanya jika perjalanan tidak diiringi oleh alunan musik yang mengisi kekosongan waktu saat belasan jam harus duduk di kereta atau sekedar berbincang dengan kawan sembari menunggu matahari tenggelam. Berhubung beberapa waktu lalu TelusuRI telah menggelar #NgobrolBareng Endah N Rhesa, kali ini kita akan menggali koleksi lagu mereka yang bertemakan perjalanan. Kalau kamu masih #dirumahaja, lagu-lagu ini juga seru kok didengerin sambil baca buku perjalanan.

  1. Liburan Indie

Lagu ini berkisah tentang konsep liburan santai sambil menikmati hiburan rumahan. Diiringi genjrengan gitar, lirik lagu ini menyebutkan beberapa penyanyi dan grup musik kenamaan Indonesia, seperti Barry Likumahuwa, Mocca, dan Sir Dandy. Pas banget buat jadi temen liburan #dirumahaja ala kamu.

  1. Long-Lost Friend

Tidak jauh dari karakteristik Endah N Rhesa yang liriknya selalu bercerita, lagu ini mengangkat kisah perjalanan bersama kawan. Long-Lost Friend dibuat setelah mereka mengadakan tur sepeda ke tujuh kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Liriknya pendek, namun menggambarkan tentang pengalaman di tempat-tempat yang dikunjungi, salah satunya di Sidoarjo.

  1. Take Me Home

Lagu ini menjadi bagian dari album pertama Endah N Rhesa bertajuk Nowhere to go yang rilis di tahun 2005. Take Me Home bercerita tentang keinginan untuk pulang, ah, pasti sobat rantau mengerti gimana rasanya rindu, ingin pulang ke rumah dan bertemu keluarga. Namun makna “pulang” dalam lagu ini bisa diartikan tidak hanya pulang ke rumah, tapi juga bisa berarti kembali ke sebuah situasi atau keadaan yang sekiranya lebih baik dari saat ini.

  1. Menua Bersama

Lagu ini berkisah tentang perjalanan hidup bersama pasangan, saling menemani hingga hari tua. Romantis namun realistis, menceritakan bagaimana perjalanan hidup bersama mengarungi segala kesulitan dan drama hidup. Nah lagu ini cocok buat kamu yang sudah berpasangan, kala dilanda kesulitan, ingat bahwa semua bisa dilalui bersama. Seperti liriknya ini;

Kau dan aku tak surut waktu/ Merajut drama hidup sampai kita tua nanti/ Perbedaan takkan habis/ Aku Bahagia jalani berdua denganmu/ Kuingin menua bersama//

  1.   Ssslow

Alunan irama yang blues dan santai seolah menggambarkan masa-masa pandemi di mana semua hal bergerak perlahan. Faktanya lagu ini memang baru dibuat dan dirilis sekitar Ramadhan pertengahan tahun 2020 ini. Lagu ini rasa-rasanya pas buat diputar sembari mengingat masa-masa kemacetan saat perjalanan pulang kantor. Eh, cocok lho buat menemani perjalanan kamu sembari melepas kepenatan bagi sobat-sobat yang masih harus mondar-mandir work from office.

  1. Kou Kou the Fisherman

Jika mendengar lagu ini seakan menonton film animasi tentang cerita seorang nelayan yang sedang berlagu. Terutama liriknya;

The time is running I said to myself, “fish or cut bait, Kou?”/ But then there’s something big, swimming towards my boat/ Life is tough, yes it’s tough, but don’t give up/ Life is good, yes it’s good, I’ve got food//

Bagi kalian yang sudah rindu pantai, lagu Kou Kou the Fisherman seperti membawa kita liburan ke pesisir. Selain Kou Kou the Fisherman lagu yang mungkin bisa mengurangi sedikit kerinduan anak kota terhadap pantai adalah lagu yang berikutnya.

  1.   Seluas Harapan

Ya, selain menggunakan metafora pantai di liriknya, serta alunan gitar blues khas Endah N Rhesa, perjalanan di lagu ini diartikan sebagai perjalanan hubungan dua orang dan harapan yang besar terhadap hubungan tersebut agar tetap berjalan langgeng.

  1.   Pulang ke Pamulang

Lagu ini adalah lagu terbaru dari Endah N Rhesa yang rilis di awal Oktober kemarin ini. Mengisahkan tentang perjalanan pulang ke kampung halaman mereka di Tangerang Selatan dan bagaimana Endah N Rhesa mengajak kita untuk mengartikan “pulang”. Pada sesi #NgobrolBareng dengan TelusuRI minggu lalu, Endah N Rhesa bercerita lebih dalam lagi tentang arti dan cerita di balik lagu Pulang ke Pamulang. Simak ceritanya di sini.

  1. Hello, Love is in Town

Lagu ini bercerita tentang perjalanan ke rumah di kereta. Liriknya yang sederhana, mengajak kita untuk mengingat kembali saat-saat kereta akan lepas landas dari stasiun keberangkatan, menuju stasiun tujuan.

Nah itu dia lagu bertema perjalanan ala Endah N Rhesa. Dan, ngomong-ngomong soal musik dan perjalanan, lagu apa sih yang sering kalian putar ketika sedang dalam perjalanan jauh?

The post Lagu Perjalanan ala Endah N Rhesa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lagu-perjalanan-endah-n-rhesa/feed/ 0 25792
Bincang Musik dan Perjalanan bersama Endah n Rhesa https://telusuri.id/bincang-musik-dan-perjalanan-bersama-endah-n-rhesa/ https://telusuri.id/bincang-musik-dan-perjalanan-bersama-endah-n-rhesa/#comments Tue, 08 Dec 2020 09:01:03 +0000 https://telusuri.id/?p=25706 Pada Minggu, (29/11/2020) lalu, TelusuRI berkesempatan ngobrol bareng dengan salah satu grup musik Ballad kenamaan tanah air Endah N Rhesa. Mungkin banyak dari kalian yang sudah mendengar lagu terbaru mereka yang berjudul Pulang ke Pamulang....

The post Bincang Musik dan Perjalanan bersama Endah n Rhesa appeared first on TelusuRI.

]]>
Endah N Rhesa

Endah N Rhesa/Istimewa

Pada Minggu, (29/11/2020) lalu, TelusuRI berkesempatan ngobrol bareng dengan salah satu grup musik Ballad kenamaan tanah air Endah N Rhesa. Mungkin banyak dari kalian yang sudah mendengar lagu terbaru mereka yang berjudul Pulang ke Pamulang. Lirik dan video musiknya menceritakan perjalanan mereka pulang ke Pamulang dan bagaimana Endah N Rhesa mengajak kita memaknai arti ‘pulang’. Melalui lamannya Endah N Rhesa memang mengakui bahwa lagu-lagu mereka dapat dikategorikan ke genre balada, yang berarti lagu yang bercerita. 

Nah, di #NgobrolBareng kali ini, Endah N Rhesa membagikan cerita mereka tentang bagaimana cerita di balik pembuatan lagu Pulang ke Pamulang, serta bagaimana mereka memaknai perjalanan. Yuk kita simak!

Halo Mbak Endah dan Mas Rhesa, apa kabarnya nih?

Endah: Baik-baik sehat, dirimu gimana Tiffany?

Baik-baik sehat Mbak! Mbak, “Pulang ke Pamulang” itu mirip banget sama tur virtual TelusuRI deh, aku melihat di setiap liriknya direpresentasikan secara visual, nah boleh diceritakan nggak, bagaimana proses pembuatan lagu itu?

Endah: Jadi korelasi visual lagu “Pulang ke Pamulang” itu karena kami tinggal di Pamulang, dan kata-kata pulang ke Pamulang memang sering diucapkan, secara bunyi juga enak [didengar]. Akhirnya kita memutuskan untuk ya sudah yuk kita bikin sesuatu [untuk] mendeskripsikan bagaimana Pamulang melalui kacamata Endah n Rhesa.

[Lagu ini] sebenarnya [bercerita], kaya apa sih yang kita lalui di sini, apa yang kita lihat, dan rute-rute mana yang sering kita lewati. Jadi inilah yang kita abadikan dalam sebuah lagu  yang sebenarnya maknanya banyak banget, yaitu doaku akan selalu pulang ke Pamulang. Intinya dimanapun kita berada akan selalu mengirimkan doa ke orang-orang yang kita sayang, ke tempat-tempat yang kita sayang.

Nah kemudian korelasi antara bagaimana ya memvisualisasikan lagu tersebut, ketika melihat video “Pulang ke Pamulang” memang ada spot-spot yang juga disebutkan di dalam lirik lagunya. Misalnya lirik tiba di bundaran, itu adalah tugu keramat kita, Tugu Pamulang.

Ketika ngelewatin persis seperti yang ada di video, di tepian selatan [berarti itu adalah visualisasi] saat masuk Tangerang Selatan dari arah Jakarta, atau saat melewati pacuan kuda lewat flyover Ciputat terus kemudian tiba di bundaran, memang seperti itu rute yang kita lalui. Akhirnya kita bisa menciptakan lagu dari sebuah tempat dari berbagai angle, dan lagu ini kami dedikasikan untuk tempat tinggal kami.

Rhesa:  Lirik doaku akan selalu pulang ke Pamulang, memang bercerita tentang sebuah tempat atau sebuah situasi, tapi inti dari lagu ini sebenarnya adalah kemanapun kita pergi doa kita akan selalu pulang ke tempat di mana ada orang yang kita sayang ada keluarga kita, kurang lebih gitu. 

Berarti Mas Reza tuh yang sebenarnya anak Pamulang banget ya dari kecil?

Rhesa: Iya dari SD aku di sini tahun ‘88.

Endah: Saksi mata pembangunan Pamulang lah Rhesa itu, dari sebelum ada bioskop, sampe ada bioskop, dan sekarang nggak ada bioskop lagi.

Secara pribadi lagu Ini kan mengandung sebuah doa, apa aja sih doa-doa itu? Selain itu, apa sih perubahan spesifik dari Pamulang itu sendiri sejak ‘88? 

Endah: Sebenarnya kalo doa memang karena orang tua Rhesa kan di sini ya.

Rhesa: Jadi keluarga dan teman-teman kita di sini, apalagi sejak ada Earhouse. Makanya ada lirik kawanku telah tumbuh seribu. Di Earhouse ini kita mulai banyak kawan, dan mulai ada obrolan kreatif dari santai sampai yang produktif. Makin ke sini, hubungan kami menjadi erat dengan kawan-kawan di Pamulang ini, jadi doa kami akan selalu buat mereka dan buat orang tua kita juga.

Nah kalau perkembangan Pamulangnya sendiri sebenarnya cukup variatif ya.  Jadi pada intinya ada yang bertambah berkembang dan ada yang mengalami penurunan. Itu proses ya, karena kami ‘kan di pinggiran gitu,  di pinggiran selatan Tangerang Selatan [tepatnya], kadang-kadang ada minimarket masuk yang lalu menjadi besar, terus toko elektronik, dsb.

Endah: Pamulang itu menurut aku masih sangat fokus dengan wilayah pemukiman, wilayah tempat tinggal gitu, mungkin berbeda dengan beberapa tempat-tempat yang lain yang memang sudah ada banyak pusat perbelanjaan yang lebih fancy atau gedung-gedung perkantoran yang besar-besar, atau misalnya wilayah industri.

Tapi sebenarnya Pamulang ini memang sebagian besar pemukiman jadi memang berasa banget wilayah suburban-nya. Di mana Kalau kemacetan datang itu ketika orang pergi ke kantor dan di jam-jam tertentu.

Kemudian banyak banget tempat-tempat yang membuat nyaman bermukim di sini. Misalnya betapa banyaknya makanan dari yang tendaan, angkringan, sampai dengan restoran franchise luar negeri. 

Menurutku ini yang membuat kita merasa cukup nyaman di Pamulang, [Pamulang] tidak kehilangan identitasnya meskipun di tempat-tempat sekitarnya sudah mulai bermunculan tempat baru. Akhirnya kita memutuskan untuk menjadikan itu sebagai tempat tinggal aja nih kita jadi tempat tinggal bersama dengan ular, musang, biawak dan lain-lain.

Wah memangnya masih ada ya Mbak, Mas, ular-ular dan biawak gitu di sana? 

Endah: Masih, karena memang kebanyakan tempat di Pamulang itu sawah, setu, dan danau. Jadi memang sangat variatif bener seperti yang Rhesa bilang tadi.

Endah N Rhesa

Endah N Rhesa/Istimewa

Pulang ke Pamulang bercerita tentang perjalanan, dari banyaknya lagu Endah N Rhesa, kenapa sih memilih tema perjalanan. Lalu, bagaimana perjalanan itu sendiri dimaknai oleh Endah N Rhesa?

Rhesa: Memang ada beberapa lagu yang punya visualisasi [terlebih] dulu seperti perjalanan kami. Di album kelima misalnya, kami punya “Hello, Love is in Town” yang bercerita tentang perjalanan pulang ke rumah di dalam kereta.

Endah: Kami punya banyak waktu di perjalanan apalagi dulu sering tur, mungkin dalam satu minggu, di rumah hanya tiga hari, sisanya memang kita akan pergi dan sibuk dengan hal-hal di luar rumah. Secara nggak sadar rasa itu ada dan akhirnya terekam dalam sebuah lagu.

Kalau buat kami, makna perjalanan itu adalah dimana kita bisa mendapati banyak kejutan di tengah-tengah proses yang kita jalani. Di perjalanan ada proses-proses, berangkat, ketemu orang, bersiap-siap, kemudian sampai ke tujuan. Dengan adanya proses itu mungkin kita bisa menjadi a better person gitu, justru bukan fokus ke tujuannya, tapi malah bagaimana kita bisa enjoy ketika hal tersebut berjalan. 

Rhesa: Kemanapun perjalanannya, menurutku memang yang paling penting adalah supaya kita bisa sampai ke tujuan. 

Endah: Tapi kadang-kadang belok tujuannya karena somehow perjalanan itu kan menuju sesuatu, ketika kita punya bekal, ketika kita punya knowledge, dan kita berproses, kita melihat satu tujuan yang ternyata proses itu bisa mendukung untuk tujuan kita ke sana gitu. 

Untuk lagu berikutnya, mana yang akan diangkat nih?

Sebenernya kita nggak pernah benar-benar merencanakan apa yang ingin kita bikin. Jadi kita berdua itu impulsive banget orangnya. Tabungan lagu kami itu sedikit, jadi belum punya rencana. Biasanya ketika lagi ada ide langsung kita eksekusi.

Sebenernya sih akan sangat menarik jika setiap tempat itu punya cerita. Nggak harus tempat yang semua orang tau, dan nggak harus [berbentuk] lagu, mungkin bisa film atau lukisan. 

Kalau misalnya ditantang untuk membuat lagu tentang ragam kuliner indonesia kira-kira tertarik nggak? 

Tertarik sekali. Tapi memang harus tunggu momen nya. Karena kita tipikal yang sangat impulsive dan spontan, kita sebenarnya kalau mau bikin lagu tentang apa aja kalo based on challenge tuh seru. Sekarang aja juga bisa. 

“Jangan lupa makan pecel lele tenda, yang ada di pinggiran Pamulang, warung tenda yang beragam, pecel lele ayam bakar juga ada kerang-kerang nikmat rasanya,” Endah menyanyi.

Nah itu [lagu] tentang warung tenda, judulnya warung tenda.. 

Wah mantap, keren banget, langsung dibikinin dan dinyanyiin tuh! Padahal seharusnya Endah N Rhesa nggak nyanyi loh di #NgobrolBareng ini. Terima kasih banyak, Mbak Endah dan Mas Rhesa cerita-ceritanya.

Terima kasih banyak juga @ayotelusuri dan temen-teman pejalan, semoga nanti kita bisa jumpa di Earhouse, jumpa di Pamulang, semoga kita juga bisa jumpa jangan virtual, setelah pandemi rame-rame bareng.

Simak lagi percakapan dengan Endah n Rhesa di akun Instagram TelusuRI

The post Bincang Musik dan Perjalanan bersama Endah n Rhesa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bincang-musik-dan-perjalanan-bersama-endah-n-rhesa/feed/ 1 25706
Ngobrol soal “Peduli Pekerja Pariwisata” bareng Jonathan Thamrin https://telusuri.id/ngobrol-soal-peduli-pekerja-pariwisata-bareng-jonathan-thamrin/ https://telusuri.id/ngobrol-soal-peduli-pekerja-pariwisata-bareng-jonathan-thamrin/#respond Mon, 29 Jun 2020 06:26:55 +0000 https://telusuri.id/?p=22737 Beberapa hari yang lalu, Ngobrol Bareng TelusuRI kedatangan Jonathan Thamrin, pendiri Travacello, sebuah perusahaan perjalanan (travel company) yang siap mengantar pelancong ke berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan ke tempat-tempat seperti Raja Ampat, Ora, Morotai, Tangkahan,...

The post Ngobrol soal “Peduli Pekerja Pariwisata” bareng Jonathan Thamrin appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa hari yang lalu, Ngobrol Bareng TelusuRI kedatangan Jonathan Thamrin, pendiri Travacello, sebuah perusahaan perjalanan (travel company) yang siap mengantar pelancong ke berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan ke tempat-tempat seperti Raja Ampat, Ora, Morotai, Tangkahan, dan Sumba sempat ditawarkan oleh Travacello sebelum pandemi. 

Travacello menjadi menarik sebab yang mereka tawarkan pada pejalan bukan sekadar pengalaman berwisata, tapi juga kesempatan untuk berkontribusi positif pada masyarakat yang bermukim di daerah tujuan pelesiran. Mereka punya gerakan bernama Travacello Care yang berfokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat di destinasi wisata seluruh Indonesia.

Salah satu program Travacello Care yang menarik adalah Shoes 4 Hope yang tujuannya menggalang dana untuk menyumbangkan sepatu kepada anak-anak di Sumba dan Labuan Bajo. “Awalnya waktu gue ke Sumba gue liat anak-anak kecil lari-lari nggak pake sepatu, saat itu gue mikir, padahal sepatu gue di rumah banyak, di situlah gue kepikiran buat adain Shoes 4 hope,” cerita sosok yang biasa dipanggil Jo itu. 

Selain Shoes 4 hope, Travacello juga sudah mengadakan beberapa kegiatan lain, di antaranya Sumba School Project dan Festival Jalin Mimpi.

Peduli Pekerja Pariwisata

Sebagai salah seorang aktor industri pariwisata, Jo tahu bahwa pandemi mempersulit hidup para pekerja wisata, apalagi pekerja lepas. Sebagai bentuk solidaritas kepada teman-temannya yang menyambung hidup lewat pariwisata, lewat Travacello Care, Jo pun menggagas Peduli Pekerja Pariwisata. Lewat program ini, ia mengajak publik luas untuk mendonasikan sebagian rezeki kepada para pekerja pariwisata yang terdampak, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dalam bentuk uang tunai atau sembako.

Donasi ini dikhususkan bagi para karyawan MICE, usaha tur dan perjalanan (tour & travel), rental kendaraan, karyawan penginapan/homestay, pengemudi bus dan kapal tur, pemandu wisata, dan pekerja dunia penyelaman yang mengalami PHK, penutupan usaha, dan cuti tak berbayar. Untuk menghindari penyalahgunaan donasi dan agar tepat sasaran, Travacello Care akan menolak calon penerima bantuan jika tidak memenuhi kriteria.

Dimulai sejak Maret, dampak dari gerakan ini sudah mulai terasa bagi mereka-mereka yang menerima manfaatnya. Sebagian kisah penerima diunggah di akun Instagram Travacello.

Karyawan hotel mensimulasikan penyemprotan koper tamu di Hotel Inaya Putri Bali, Nusa Dua, Bali, Jumat, 5 Juni 2020 via TEMPO/Johannes P. Christo

“Kami diwajibkan unpaid [leave] mulai Februari kemarin,” tutur seorang karyawan perusahaan tur dan perjalanan Indonesia lewat rekaman suara. “Di bulan Juni ini masih diberlakukan … [dan] dana ini akan saya gunakan untuk melunasi uang sekolah anak-anak saya yang sudah menunggak dua bulan, kemudian minggu depan ada jadwal pemeriksaan untuk ibu saya ke dokter, dan sisanya akan saya pakai untuk membayar kekurangan hutang saya. Untuk teman-teman para pekerja pariwisata lainnya: semangat dan tetap berpegang pada Tuhan. Saya percaya pasti akan ada jalan keluar bagi kita semua.”

Di pengujung sesi Ngobrol Bareng kemarin, Jo mengumumkan bahwa Peduli Pekerja Pariwisata akan membuka gelombang kedua pendaftaran relawan dan penerima donasi yang akan diinformasikan lebih lanjut lewat Instagram @travacello dan situs web Travacello Care. Jika kamu belum bisa berdonasi uang maupun sembako, Peduli Pekerja Pariwisata juga membuka kesempatan untuk berkontribusi dengan cara lain. Kalau kamu seorang desainer, misalnya, kamu bisa mendonasikan karya semisal kartu pos, masker, dan suvenir untuk dijual oleh Travacello Care. Profitnya akan didonasikan kepada para pekerja pariwisata terdampak corona.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ngobrol soal “Peduli Pekerja Pariwisata” bareng Jonathan Thamrin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngobrol-soal-peduli-pekerja-pariwisata-bareng-jonathan-thamrin/feed/ 0 22737
Mengenal Sejarah Jakarta lewat Tur Virtual https://telusuri.id/mengenal-sejarah-jakarta-lewat-tur-virtual/ https://telusuri.id/mengenal-sejarah-jakarta-lewat-tur-virtual/#respond Thu, 25 Jun 2020 01:35:12 +0000 https://telusuri.id/?p=22629 Rute penjelajahanku di Jakarta tidak jauh-jauh dari kantor dan apartemen. Mungkin pengecualiannya cuma pergi sesekali ke pusat perbelanjaan untuk nongkrong bareng teman. Maka, aku tak terlalu kenal Jakarta. Tapi, pada HUT Jakarta ke-493 kemarin, aku...

The post Mengenal Sejarah Jakarta lewat Tur Virtual appeared first on TelusuRI.

]]>
Rute penjelajahanku di Jakarta tidak jauh-jauh dari kantor dan apartemen. Mungkin pengecualiannya cuma pergi sesekali ke pusat perbelanjaan untuk nongkrong bareng teman. Maka, aku tak terlalu kenal Jakarta. Tapi, pada HUT Jakarta ke-493 kemarin, aku diajak mengenal Jakarta lebih dalam lewat tur virtual kolaborasi TelusuRI dan Jakarta Good Guide.

Ditemani Mas Farid dari Jakarta Good Guide, kami memulai perjalanan dari titik awal Jakarta, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa yang pernah berperan penting dalam jalur perdagangan rempah dan budak di masa lalu. Pelabuhan ini, menurut penjelasan Mas Farid, sudah ada sejak abad ke-5. Jika yang menjadi patokan adalah itu, tentu umur Jakarta akan jauh lebih uzur dari 493 tahun.

Pelabuhan Sunda Kelapa/TelusuRI

Lalu kami ke Museum Bahari, sebuah tempat yang dulunya adalah kompleks gudang penyimpanan rempah yang hendak dijual. Beberapa di antara gedung tersebut telah terendam air, ada pula yang pernah kebakaran.

Tak jauh dari Museum Bahari adalah Pasar Ikan dan Menara Syahbandar. Mas Farid bercerita bahwa sekitar abad ke-17 sempat didirikan kastil di daerah ini yang berfungsi sebagai kantor pusat VOC. Namun, pada abad ke-19 kastil terebut dihancurkan oleh Daendels dan puing-puingnya dipakai untuk memerluas kota Batavia ke Selatan. Ada juga sebuah gedung tua dengan lambang VOC di tembok. Itu adalah bekas galangan kapal VOC, tempat kapal-kapal naik dok setelah melewati perjalanan panjang selama 8 bulan sampai 1 tahun antara Negeri Belanda dan Hindia-Belanda.

Kemudian kami dibawa melihat Kali Besar. Kawasan Kali Besar dulu wilayah sibuk, distrik yang jadi pusat bisnis Batavia. Banyak sekali perusahaan rekanan VOC yang membangun kantor di tempat ini.

Dari Kali Besar, Mas Farid mengajak kami ke selatan, ke sebuah wilayah yang dulu disebut Weltevreden (tempat yang nyaman). Di kawasan inilah Waterlooplein—tempat orang-orang kaya Belanda melewatkan malam Minggu—berada. Nama Waterlooplein ternyata tercipta untuk merayakan kemenangan Belanda atas Prancis di Waterloo. Sekarang, di tempat ini menjulang Patung Pembebasan Irian Barat. Tapi dulu ada patung singa di sana yang kemudian dihancurkan tentara pendudukan Jepang. Sekarang, Waterlooplein disebut Lapangan Banteng dan masih saja digunakan warga untuk bermalam Minggu.

Dekat Lapangan Banteng ada sebuah gedung besar berwarna putih yang disebut Witte Huis. Gedung itu dahulunya sempat hendak digunakan sebagai istana pemerintahan, namun, sayang sekali, pembangunannya mesti tertunda dan baru selesai tahun 1828. Kini, gedung itu digunakan oleh Kementerian Keuangan. Selain Witte Huis, ada satu lagi gedung yang menarik, yakni Kimia Farma. Sebelum digunakan oleh perusahaan obat itu, gedung ini pernah jadi salah satu loji Freemason. Dari bekas loji itu, Mas Farid menunjukkan keelokan Gedung Kesenian Jakarta.

Sekitar Pasar Baru dan Menteng

Setelah melihat gedung-gedung lawas, kami bergeser secara virtual ke Pasar Baru. Mbak Ika yang memandu kami menelusuri Pasar Baru. Ternyata banyak sekali tempat menarik, seperti Wihara Sin Tek Bio atau Wihara Dharma Wijaya. Selain itu juga ada Toko Kompak. Karena agak tinggi dan punya balkon, toko ini dulunya sering didatangi jenderal-jenderal Belanda yang ingin melihat perayaan Cap Go Meh. Kuliner terkenal Pasar Baru juga kami intip, yakni Bakmi A Boen dan Bakmi Gang Kelinci. Walaupun belum bisa ke sana dan mencicipi langsung, cerita-cerita tersebut cukup untuk referensi.

Museum Proklamasi/TelusuRI

Dari Pasar Baru, kami beranjak ke sebuah daerah yang lebih baru, sebab kawasan itu baru dibangun pada abad ke-20: Menteng. Lewat Google Maps mode satelit, daerah Menteng tampak lebih rapi dan teratur ketimbang wilayah lain. Sengaja dibuka sebagai perumahan orang Eropa, kawasan Menteng diisi oleh rumah-rumah berpekarangan luas. Mas Farid menunjuk salah satu rumah di Menteng, yakni bekas kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda yang menjadi lokasi perumusan naskah proklamasi. Kini, rumah itu bernama Museum Proklamasi. Menariknya, menurut Mas Farid, rumah itu tidak berubah dan susunan perabotannya masih dipertahankan seperti sedia kala.

Setelah itu, kami pergi ke gedung Bappenas yang ternyata sempat jadi loji perkumpulan Freemason. Dari sana, kami ke Galeri Seni Kunstkring. Sebelum menjadi galeri, bangunan ini adalah gerbang masuk daerah Menteng. Karya Pablo Picasso pernah dipamerkan di galeri ini sekitar tahun 1930. Sesaat setelah Indonesia lepas dari Belanda, gedung ini sempat jadi gedung imigrasi. Tapi, akhirnya kembali difungsikan sebagai galeri seni. Sekarang ada kedai kopi di Galeri Seni Kunstkring. Mas Farid menyarankan untuk mencoba kopi Kawi dan roti bluder di sana.

Loji Freemason Bappenas di masa lalu/TelusuRI

Selesai tur virtual ini, banyak sekali informasi dan cerita sejarah Jakarta yang kuperoleh. Rasanya tak sabar lagi untuk menelusuri secara langsung tempat-tempat yang diceritakan oleh Mas Farid. Mungkin nanti ketika keadaan lebih aman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Sejarah Jakarta lewat Tur Virtual appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-sejarah-jakarta-lewat-tur-virtual/feed/ 0 22629
Menelusuri Museum Wayang secara Virtual https://telusuri.id/menelusuri-museum-wayang-secara-virtual/ https://telusuri.id/menelusuri-museum-wayang-secara-virtual/#respond Mon, 22 Jun 2020 16:59:19 +0000 https://telusuri.id/?p=22574 Saat ini, karena liburan dengan cara biasa belum aman, teknologi digital menjadi secercah harapan yang mendorong munculnya alternatif untuk dunia pariwisata. Tur virtual adalah sebuah produk yang diyakini bisa membangkitkan pariwisata di tengah pandemi COVID-19....

The post Menelusuri Museum Wayang secara Virtual appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat ini, karena liburan dengan cara biasa belum aman, teknologi digital menjadi secercah harapan yang mendorong munculnya alternatif untuk dunia pariwisata. Tur virtual adalah sebuah produk yang diyakini bisa membangkitkan pariwisata di tengah pandemi COVID-19.

Maka akhir-akhir ini saya cukup sering “jalan-jalan.” TelusuRI sering sekali mengadakan tur virtual dengan rute yang beragam dan menarik. Salah satu yang baru saja saya ikuti adalah tur virtual Museum Wayang di Kota Tua Jakarta bersama REFO Indonesia.

Asal-usul gedung dan cerita tentang wayang

Bersama Mas Irfan, pemandu Museum Wayang, mula-mula kami melihat gedung museum dari luar. Ternyata dulunya gedung Museum Wayang adalah gereja bagi para tentara Belanda yang diberi nama Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda). Gereja ini sempat runtuh akibat bencana alam, dibangun kembali pada 1912, hingga kemudian dijadikan De Oude Bataviasche Museum atau Museum Sejarah Jakarta. Baru di tahun 1968 gedung ini dijadikan Museum Wayang.

Mas Irfan kemudian menceritakan bahwa wayang adalah sebuah [produk] seni-budaya yang sudah berabad-abad umurnya. Kata wayang sendiri berasal dari kata “bayang.” Di zaman ketika listrik dan TV belum ada, hiburan masyarakat adalah menonton dalang memainkan bayangan wayang yang disinari blencong (lampu pada zaman itu). Menariknya, kata “bayang” juga dimaknai sebagai bayang-bayang kehidupan manusia. Kelir atau layar putih diartikan sebagai dunia dan gedebog atau batang pisang tempat wayang ditancapkan adalah bumi. Menurut Mas Irfan, pertunjukan wayang aslinya berlangsung selama 9 jam—atau bisa semalam suntuk. Selama pertunjukan berlangsung sang dalang tidak boleh beranjak dari duduknya.

Setelah banyak bercerita tentang sejarah wayang, Mas Irfan pun mengajak kami masuk ke gedung museum. Di lorong pertama saya melihat jejeran wayang golek yang ukurannya beragam. Ada yang besar seukuran anak usia 10 tahun dan ada yang kecil sekitar 20-30 cm. Wayang golek, wayang khas Jawa Barat, berbeda dari wayang kulit. Selain bahasa penyampaiannya, material bahan wayangnya juga beda. Jika wayang kulit terbuat dari kulit kerbau, wayang golek dari kayu albasia atau kayu lame.

Wayang kulit dan wayang golek hanya salah dua dari sekian banyak wayang di Indonesia. Mas Irfan menyebut bahwa koleksi di Museum Wayang saat ini mencapai jumlah 6.800. Umumnya wayang merujuk pada kisah-kisah Ramayana atau Mahabarata, dua epos dari India. Menariknya, cerita-cerita wayang tidak sepenuhnya mengikuti kisah-kisah dari India tersebut. Ada aspek-aspek yang disesuaikan dengan norma dan budaya yang berlaku di nusantara. Sebagai contoh, ada tokoh-tokoh baru dalam wayang, semisal Petruk dan Bagong.

Silsilah wayang

Beranjak dari lorong utama, kami melewati sebuah taman yang di sana ada tulisan “Jan Pieterszoon Coen.” Ternyata taman itu dulunya makam para serdadu dan jenderal Belanda. Walaupun makam itu sudah dipindahkan, masih ada beberapa batu nisan yang dipasang di dinding lorong taman. Mendengar kata “makam,” mungkin sebagian orang akan bergidik. Tapi, taman ini malah enak dilihat alih-alih menyeramkan.

Naik ke lantai 2, kami diajak ke ruang silsilah. Di dalamnya ada sebuah papan besar bertuliskan Silsilah Wayang Purwa, yakni silsilah tokoh dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Mas Irfan menjelaskan, “Inilah yang membuat pakem cerita wayang. Wayang dari mana pun daerahnya, bentuknya, dan bahasanya, selama ceritanya tentang purwa (awal), tidak akan bisa diubah karakter dan tokohnya karena sudah ada silsilahnya.”

Lalu kami diajak masuk ke ruangan berisi wayang-wayang dari mancanegara. “Wayang Suriname merupakan wayang yang paling mirip dengan wayang Indonesia dilihat dari cempolan-nya, karena di negara ini banyak sekali orang Jawa dari Indonesia,” Mas Irfan bercerita.

Di dalam ruangan itu ada pula wayang tipis dari Kamboja, wayang golek Kanton dari Tiongkok, dan wayang potehi berupa boneka tangan yang biasa ditampilkan di hari-hari besar. Di ruangan ini juga banyak boneka dari India dan Vietnam. Walaupun beberapa dari koleksi ini tidak bisa disebut wayang, esensi puppet show menurut Mas Irfan terinspirasi dari wayang.

Di akhir tur virtual, Mas Irfan juga berpesan bahwa kita harus merasa bangga dan ikut serta mengembangkan budaya yang kita punya saat ini. Ia juga berharap bahwa anak-anak muda bisa dengan bijak menggunakan gawainya untuk mempelajari kebudayaan Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Museum Wayang secara Virtual appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-museum-wayang-secara-virtual/feed/ 0 22574