Dyah Sekar Purnama Ratri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/dyah-sekar-purnama-ratri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 01 Nov 2022 05:26:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Dyah Sekar Purnama Ratri, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/dyah-sekar-purnama-ratri/ 32 32 135956295 Mengasihi Bumi dan Mencintai Langit bersama Bumi Langit Institute https://telusuri.id/mengasihi-bumi-dan-mencintai-langit-bersama-bumi-langit-institute/ https://telusuri.id/mengasihi-bumi-dan-mencintai-langit-bersama-bumi-langit-institute/#respond Mon, 31 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35989 “Merawat dan menjaga alam adalah tanggung jawab manusia sebagai makhluk berakal budi. Alam sudah memberi banyak, kita seharusnya bisa bersikap baik terhadap alam,” tutur Pak Iskandar sore itu. Kunjungan saya dan beberapa rekan dari komunitas...

The post Mengasihi Bumi dan Mencintai Langit bersama Bumi Langit Institute appeared first on TelusuRI.

]]>
“Merawat dan menjaga alam adalah tanggung jawab manusia sebagai makhluk berakal budi. Alam sudah memberi banyak, kita seharusnya bisa bersikap baik terhadap alam,” tutur Pak Iskandar sore itu. Kunjungan saya dan beberapa rekan dari komunitas lingkungan berakhir berkesan kala sang pemilik Bumi Langit Institute, Pak Iskandar Waworuntu, tengah berdiam di Yogyakarta. 

Bumi Langit Institute
Rumah Joglo berbahan kayu sebagai ciri khas area Bumi Langit/Dyah Sekar Purnama

Pak Iskandar serupa bintang bagi anak-anak muda yang masih penasaran dan mengeksplorasi ragam aksi lingkungan seperti kami. Figur Pak Iskandar selama ini hanya bisa kami lihat melalui layar laptop atau televisi, berkisah tentang kearifan alam melalui dokumenter “Semes7a”. Pengalaman tak terduga tersebut dimulai dari kunjungan ‘asyik-asyikan’ kami ke Bumi Langit Institute.

Didasari oleh penegasan rekan saya bahwa Bumi Langit adalah tempat yang berkonsep sustainable yang menyajikan makanan enak dan pengalaman dekat dengan alam, kami tak dapat menolak. Saya dan tiga rekan saya bertolak dari wilayah Ring Road Utara Yogyakarta ke daerah Imogiri, Kabupaten Bantul, dengan layanan mobil online yang disewa selama 12 jam. Saat itu hari Sabtu, namun jalanan Yogyakarta tampak lancar seakan warganya tak sedang sibuk dan wisatawan tak sedang huru-hara. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam dari Yogyakarta ke kawasan Imogiri, tempat Bumi Langit Institute berdiri di antara perbukitan hijau dan hutan pinus. 

Rindang, sederhana, dan sejuk. Itulah tiga kata yang menjadi first impression kami ketika memasuki wilayah Bumi Langit. Kami disambut oleh sebuah joglo luas yang menyajikan pemandangan Kota Yogyakarta dari kejauhan. Joglo ini berfungsi sebagai restoran sekaligus tempat para tamu pertama berhenti dan mengamati area Bumi Langit. 

Berbagai jajanan tradisional dan kue berbahan unik berjajar di meja kayu yang berdiri di sisi joglo. Di sebelah meja jajanan, tertata manis barang-barang kerajinan kayu dan non-kayu yang memiliki nilai ramah lingkungan. Konsep semi-outdoor dari Joglo ini membuat udara segar Imogiri menyelusup masuk mengimbangi terik mentari pukul dua belas hari itu. 

Bumi Langit Institute
Sajian berbahan organik nan sedap khas Bumi Langit/Dyah Sekar Purnama

Makan di restoran Bumi Langit, atau disebut Warung Bumi, merupakan pengalaman yang menyenangkan. Selain bumbu medhok dan sedap yang digunakan restoran, bahan-bahan yang digunakan juga menambah nilai unik menu Warung Bumi. Bahan-bahan yang digunakan dalam masakan merupakan bahan yang ditumbuhkan dan diambil dari wilayah kebun Bumi Langit, mulai dari beras hingga protein hewani seperti ayam. Hal tersebut membuat sajian Warung Bumi mendapat predikat organik. Saya memesan ayam goreng kecombrang dan kombucha telang. Ayam goreng yang disajikan oleh Warung Bumi memiliki rasa gurih yang pas, tambah sedap dengan sambal kecombrang yang segar dan melimpah di atasnya, ditambah nasi berwarna kecokelatan produksi Bumi Langit yang pulen dan dilahap saat masih panas.  Begitu menggugah selera! 

Kombucha produksi Bumi Langit juga patut diacungi jempol. Disajikan dengan es, hadir dengan warna ungu-biru memikat akibat tambahan bunga telang. Rasa masam akan mengejutkan lidah saat pertama meneguk kombucha ini, namun kemudian digantikan oleh rasa segar. Cocok sekali dinikmati pada siang hari yang panas. Selain itu, makanan yang disajikan oleh Warung Bumi pastinya sehat karena diproduksi secara berkelanjutan, tanpa tambahan pestisida ataupun bahan kimia lain.

Hal yang wajib dilakukan saat mengunjungi Bumi Langit adalah mengikuti Tur Kebun. Sesi Tur Kebun bertujuan memfasilitasi pengunjung untuk melihat sekeliling Bumi Langit, mulai dari kebun hingga bangunan fungsional disana. Biasanya, tur ini berdurasi 1–2 jam dan ditempuh dengan berjalan kaki. Tur Kebun Bumi Langit menghadirkan pengalaman agrowisata yang menyenangkan sekaligus terkesan ‘berbeda’. Kita dapat melihat berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan di Bumi Langit, seperti beragam jenis sayuran hingga buah-buahan kecil seperti beri hutan. Bumi Langit juga mengambil produk hewani dari ternak yang dikembangkan di sana, mulai dari ayam, bebek, hingga sapi.  

Bumi Langit Institute
Beri hutan yang ranum dan siap disantap langsung dari pohonnya/Dyah Sekar Purnama

Hal unik yang menjadi ciri khas Bumi Langit adalah konsep permakultur yang diusungnya. Permakultur adalah konsep pertanian berkelanjutan yang mementingkan ekologi, yang mana manusia harus hidup seimbang dan mengambil secukupnya dari alam. Konsep tersebut terlihat jelas di Bumi Langit. Pemandu kami menjelaskan bagaimana warga dan para relawan makan dari kebun sendiri. Olahan produk buah-buahan, seperti selai beri hutan, menjadi bukti bahwa Bumi Langit benar-benar memanfaatkan sumber dari alam sekitar. 

Sampah organik yang dihasilkan pun akan digunakan untuk kompos atau biogas. Contohnya saja, sayuran yang tidak terpakai akan dimasukkan ke kandang ayam. Sayuran tersebut akan menjadi pakan ayam ataupun dicacah menjadi potongan kecil oleh kaki ayam, sehingga memudahkan proses kompos. Bumi Langit adalah tempat yang cocok bagi para pegiat lingkungan atau orang yang tertarik dengan konsep sustainability dan ramah lingkungan.

Terdapat beberapa rumah yang terbuat dari kayu di Bumi Langit. Rumah-rumah tersebut digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Pak Iskandar, founder Bumi Langit. Selain itu, beberapa rumah juga ditempati oleh para relawan yang belajar permakultur atau menghabiskan waktu liburan mereka untuk melatih keterampilan. Ada juga bangunan kayu lain yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan perpustakaan, berjajar rapi diapit pepohonan dan rumput hijau. Kami juga disambut oleh senyum ramah para relawan yang sedang mondar-mandir di kebun, sedang belajar menanam atau membuat kompos. Suasana yang ramah dan ‘seperti di rumah’ melekat dengan atmosfer Bumi Langit.

Hari itu, Fortuna seakan berpihak pada kami. Setelah berkeliling dan mendapat informasi baru mengenai konsep permakultur dan usaha menjaga lingkungan, kami beristirahat di sebuah rumah. Bermain bersama anak anjing sekaligus melepas dahaga dengan air mineral yang disajikan guide kami. 

Tak disangka, rumah tersebut adalah tempat kediaman Pak Iskandar Waworuntu dan beliau muncul dari dalam rumah, menyapa kami. Mendengar tentang organisasi kami, Pak Iskandar langsung berkenan untuk menyambut dan mengajak kami mengobrol. Sungguh kesempatan langka, karena menurut pemandu kami, Pak Iskandar jarang berada di rumah maupun Yogyakarta.

Bumi Langit Institute
Bertegur sapa dengan Pak Iskandar dan Bu Darmila, pendiri Bumi Langit Institute/Dyah Sekar Purnama

Perbincangan di sore hari itu membuka benak kami tentang pentingnya harmoni antara alam dan manusia. Kami mengetahui tentang Pak Iskandar dan usahanya menjaga lingkungan melalui dokumenter “Semes7a,” yang mana konsep permakultur dan Bumi Langit Institute diulas. Sebagai pemeluk agama yang taat, Pak Iskandar menerapkan konsep-konsep agama dalam hubungan antara manusia dan alam. Salah satu pesan yang beliau titipkan adalah menjadi berakhlak pada alam, berfokus pada bagaimana kita dapat memperlakukan alam dengan bertanggung jawab. Kehidupan Pak Iskandar dan keluarganya juga membuat kami kagum. 

“Masa pensiun idaman,” ujar teman-teman saya. Pak Iskandar dan istrinya tinggal berkecukupan dengan gaya hidup sederhana dan minim limbah di Bumi Langit. Berbagai makanan telah disediakan oleh alam sekitar dan kebun mereka. Di tengah-tengah perbincangan dengan Pak Iskandar, Bu Darmila, istri beliau, datang dari kebun usai memetik timun dan kangkung untuk makan malam. Prinsip dan gaya hidup Pak Iskandar benar-benar menambah wawasan baru bagi kami.

Bumi Langit Institute dapat menjadi tempat pilihan kala berkunjung ke Yogyakarta, terutama bagimu yang tertarik dengan isu lingkungan atau menyasar tempat wisata bernuansa alam. Selain pengalaman baru, Bumi Langit Institute juga memfasilitasi pengunjungnya dengan pengetahuan baru. Bumi Langit Institute tak hanya berperan sebagai destinasi yang menarik, namun juga secuil contoh bagaimana manusia dapat hidup harmonis dengan bumi. Kunjungan ke Bumi Langit Institute mengingatkan kami kembali akan pentingnya mengasihi bumi, hijau dan jauh dari eksploitasi, serta mencintai langit, biru dan minim polusi, sebagai lambang harmoni antara manusia dan semesta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengasihi Bumi dan Mencintai Langit bersama Bumi Langit Institute appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengasihi-bumi-dan-mencintai-langit-bersama-bumi-langit-institute/feed/ 0 35989
Hutan Kota Srengseng, Denyut Jantung Biodiversitas di Tengah Deru Kendaraan Jakarta  https://telusuri.id/hutan-kota-srengseng/ https://telusuri.id/hutan-kota-srengseng/#respond Sun, 11 Sep 2022 02:51:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35176 “Jakarta panas, polusi semua!” Seorang teman mengomel dengan wajah masam.  Entah berbekal berita atau pengalaman pertama menginjakkan kaki di ibu kota, kesannya  terhadap Jakarta jelas kelabu. Tajuk bahwa Jakarta merupakan ibu kota dengan roda  pembangunan...

The post Hutan Kota Srengseng, Denyut Jantung Biodiversitas di Tengah Deru Kendaraan Jakarta  appeared first on TelusuRI.

]]>
Jakarta panas, polusi semua!” Seorang teman mengomel dengan wajah masam.  Entah berbekal berita atau pengalaman pertama menginjakkan kaki di ibu kota, kesannya  terhadap Jakarta jelas kelabu. Tajuk bahwa Jakarta merupakan ibu kota dengan roda  pembangunan bergulir dan ragam isu lingkungan tentu membuat teman saya yang biasa  hidup di kota yang tenang tersebut rewel. Namun pada siang hari di bulan Juni tersebut,  saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke titik hijau Jakarta. Bertolak ke arah  barat, tempat jantung biodiversitas berdenyut lembut bersama dengan deru kendaraan. 

Penanda Penangkaran Lebah Klanceng,_Mempermudah_Pengunjung_untuk_Menengok_Hewan_Unik_Ini
Penanda penangkaran lebah klanceng, mempermudah pengunjung untuk menengok hewan unik ini/Dyah Sekar Purnama

Tidak ada pencakar langit, tidak ada gedung-gedung beton menjulang. Jika tidak  melihat lambang provinsi DKI Jakarta di papan penanda, rasanya sulit dipercaya bahwa  kita tengah berada di ibukota. Pohon-pohon lebat memenuhi tempat tersebut, mengusir  terik mentari Jakarta yang berambisi membakar kulit. Tempat tersebut adalah Hutan Kota  Srengseng. Hutan Kota Srengseng menjadi salah satu denyut nadi biodiversitas dan  pelestarian lingkungan di Jakarta. 

Saya mengunjungi Hutan Kota Srengseng di Jakarta Barat bersama beberapa  rekan dari organisasi lingkungan. Awalnya, kami hanya terpanggil untuk melihat  ‘penghuni’ baru di tempat tersebut. Namun, saat memasuki wilayah Hutan Kota  Srengseng, komentar seperti, “Kok bisa ada hutan asri seperti ini di Jakarta? Dikira hanya  ada di wilayah Jakarta Utara saja!” terus melayang. Pohon dengan berbagai ukuran, bentuk, hingga spesies tumbuh subur di tanah seluas 15,3 hektar ini. Beberapa nama pohon dipajang pada papan penanda. Kami menemukan pohon mahoni, jati, hingga  akasia. Terkadang, berbagai jenis burung dan reptil, seperti biawak, melesat pesat di  depan kami.  

Suasana di hutan kota Srengseng
Suasana di Hutan Kota Srengseng/Dyah Sekar Purnama

Hutan kota yang diresmikan oleh pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1995 juga  memenangkan hati warga Jakarta, terutama Jakarta Barat, sehingga dipilih menjadi  tempat jalan-jalan santai. Jalan setapak dari bebatuan yang mengular  di kawasan hutan menghadirkan fasilitas jalan santai dan jogging yang nyaman. Jalan  tersebut juga dilengkapi dengan jalur khusus difabel, sehingga menjadi sebuah tempat  yang inklusif. Beberapa pengunjung menggantung hammock di antara pohon-pohon  besar, bersantai sembari mendengarkan musik.

Hutan Kota Srengseng juga menyediakan tanah lapang berumput yang cocok untuk piknik, tersebar di beberapa titik. Sebuah danau membentang di jantung Hutan Kota Srengseng, diapit pepohonan lebat. Danau tersebut seringkali dipakai oleh para pengunjung atau warga untuk memancing. Warna gelap, kehijauannya menjadi media yang baik untuk kecantikan berkas cahaya matahari senja. Udara segar, suasana teduh, dan pemandangan menghijau menjadikan Hutan Kota Srengseng tempat yang baik untuk melarikan diri sejenak di hari yang sibuk.  

Hutan Kota Srengseng menyediakan ruang lapang untuk konservasi. Sarana  pembibitan pohon, dihadirkan dalam jajaran polybag dengan batang mungil yang  mencuat dari dalamnya dan rumah kaca penuh tunas, tersedia di kawasan hutan ini.  Polybag dan pot berisi tanaman berwarna-warni juga menarik mata pengunjung yang  tengah mampir ke bagian konservasi Hutan Kota Srengseng. Tak hanya pohon dan flora  menarik mata, Hutan Kota Srengseng juga melindungi spesies fauna. Salah satunya  adalah lebah trigona atau lebah klanceng. 

Lebah trigona atau klanceng menjadi alasan utama saya dan teman-teman  berkunjung ke Hutan Kota Srengseng. Lebah yang lebih sering disebut ‘lebah tanpa  sengat’ ini menarik kami dengan julukannya, namun mempesona kami dengan fakta faktanya. Lebah trigona di Hutan Kota Srengseng dihadirkan dari Sumatera dan  Sulawesi, dengan tiga spesies yakni trigona itama, trigona thoracica, dan trigona biroi.  Mereka diberi tempat tinggal dalam belasan rumah kayu kecil dengan sekat-sekat yang  cocok untuk menyimpan makanan. Lebah berukuran mungil itu mendapatkan makanan  mereka dari beragam flora yang tumbuh di Hutan Kota Srengseng. Mereka memiliki  kemampuan terbang puluhan kilometer, namun tak akan lupa jalan pulang. Lebah trigona  menghasilkan madu dengan rasa yang lezat dan propolis yang punya sejuta manfaat,  terutama untuk kecantikan. Ranger Hutan Kota Srengseng yang menemani kami berkata  bahwa madu lebah trigona memiliki rasa yang lebih manis dan ‘bersih’ daripada madu  lebah biasa.  

Mencicipi Madu Lebah Klanceng dari Sarangnya
Mencicipi madu lebah klanceng dari sarangnya/Dyah Sekar Purnama

Kawasan konservasi lebah trigona di Hutan Kota Srengseng terbuka lebar untuk  para pengunjung. Kita bisa mengunjungi lebah yang populasinya terancam karena  perubahan iklim dan deforestasi tersebut. Bahkan, saat musim panen, para pengunjung  diperbolehkan untuk mencicipi madu langsung dari sarang lebah trigona.

Berbekal  sedotan kecil, kita bisa menyesap cairan manis dari relung-relung kecil tempat lebah menempatkan madu produksinya. Saya berkesempatan untuk mencicipi langsung lebah  madu trigona saat itu. Tidak usah khawatir, lebah trigona tidak punya sengat yang  menyakitkan dan berwatak cukup ‘ramah’ sehingga tidak akan mengganggu kita saat  mengambil madunya. Mata otomatis membelalak setelah lidah mengecap manisnya  lebah madu trigona, sekaligus didorong rasa senang karena pengalaman baru yang  ‘beda’ dan asyik.

Kegiatan interaktif tersebut ditujukan sebagai sarana edukasi sekaligus  pengingat bagi para pengunjung untuk peduli terhadap konservasi dan biodiversitas.  Tanpa biodiversitas, kita tidak bisa menikmati hal-hal yang tersaji di meja, melekat ke  tubuh, hingga tertangkap oleh mata. 

Jakarta tidak hanya tentang polusi udara dan pembangunan luar biasa. Jakarta  punya banyak wajah yang dapat kita telusuri, salah satunya adalah wajah kepedulian  terhadap konservasi. Hutan Kota Srengseng, dengan udara segar dan kanopi teduhnya,  berbisik pada kita bahwa harapan masih ada. Harapan akan kelestarian sumber daya  alam dan biodiversitas terus berdenyut, usaha untuk menghargai sahaja alam raya masih  ada, bahkan di ibukota Jakarta yang berada. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hutan Kota Srengseng, Denyut Jantung Biodiversitas di Tengah Deru Kendaraan Jakarta  appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hutan-kota-srengseng/feed/ 0 35176
Kuliner Prancis dan Arsitektur Jawa dalam Cinema Bakery Yogyakarta https://telusuri.id/kuliner-prancis-dan-arsitektur-jawa-dalam-cinema-bakery-yogyakarta/ https://telusuri.id/kuliner-prancis-dan-arsitektur-jawa-dalam-cinema-bakery-yogyakarta/#respond Sat, 25 Jun 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34111 Upaya pemasaran dan promosi di era ini telah mencapai kemutakhiran, terutama di antara kawula muda. Saat ini istilah fear of missing out (FOMO) menjadi kata yang lekat bagi generasi muda yang cakap teknologi dan seakan...

The post Kuliner Prancis dan Arsitektur Jawa dalam Cinema Bakery Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Upaya pemasaran dan promosi di era ini telah mencapai kemutakhiran, terutama di antara kawula muda. Saat ini istilah fear of missing out (FOMO) menjadi kata yang lekat bagi generasi muda yang cakap teknologi dan seakan tak bisa lepas dari sosial media. Fear of missing out atau diterjemahkan kasar menjadi ketakutan untuk menjadi yang tertinggal, marak digunakan sebagai strategi pemasaran untuk meningkatkan popularitas suatu produk, layanan, dan tempat.

Fenomena suatu tempat menjadi marak dikunjungi, café dilabeli istilah ‘hits’, serta restoran didatangi pelanggan secara berbondong-bondong merupakan buah dari FOMO tersebut. Sebuah bakeri dan kafe kecil yang tersembul di antara ramainya Jalan Palagan Yogyakarta menjadi bukti nyata akan fenomena yang satu ini.

Saya dan tiga orang teman—generasi Z yang hobi main sosial media—menjadi sasaran empuk bagi pemasaran berbasis FOMO. Berkunjunglah kami ke tempat ini, dengan harapan menemukan kudapan lezat dan tempat yang bagus untuk diabadikan dalam foto, menjadi bukti bahwa promosi dari mulut ke mulut dalam platform sosial media mampu menghadirkan rasa penasaran dan tidak mau ketinggalan dalam diri kami. 

Kala itu, sosial media Twitter dihebohkan oleh sebuah utas yang membahas tentang café cantik dengan estetika khas Prancis menjual pastry dan kue dengan harga sangat terjangkau. Lantas, kami tidak mau ketinggalan hype-nya dan langsung ingin bergegas ke sana. 

Perjalanan menuju Cinema Bakery dapat dikatakan cukup membingungkan dan unik. Meskipun terletak di Jalan Palagan, kami harus melewati perkampungan, kebun, hingga tambak lele. Jika tidak menggunakan maps, tentunya kami bisa tersesat saat itu. Kami pun sampai ke café mungil berwarna putih yang diapit oleh pepohonan setelah sepuluh menit mengendarai motor dari Jalan Palagan. 

Cinema Bakery Yogyakarta

Bangunan Cinema Bakery menimbulkan kesan vintage dari segi bentuk serta bahan penyusunnya. Bentuk bangunan Cinema Bakery menyerupai sebuah joglo, namun dengan atap yang didesain lebih sempit dan terlihat modern dari joglo pada umumnya. Bangunan tersebut disusun dari kayu yang dicat putih, memberikan kesan vintage namun cantik. 

Dua jendela besar membuat kami dapat mengintip ke interior Cinema Bakery dan jajaran kue yang dipajang di etalase. Tulisan berbahasa Inggris dan Prancis menghias jendela café, ditulis dengan font bergaya klasik. Eksterior café ini cantik untuk diabadikan dalam foto, sekaligus kian mengundang pengunjung untuk masuk.

Kesan vintage semakin kental saat kami sudah masuk ke bagian utama café. Paduan interior khas Eropa dan Jawa berkolaborasi apik untuk menciptakan interior yang nyaman dipandang mata. Ubin kuning khas arsitektur keraton, beberapa meja tua bergaya Jawa, lukisan dan pajangan ala Prancis, serta deretan kudapan favorit khas Jawa dan Eropa Menyusun ruangan tersebut. 

Pemandangan sore dan perangkat makanan estetis ala Cinema Bakery/Dyah Sekar Purnama

Berbagai menu pastry, kue, roti, pai, hingga es krim tersedia dalam café ini. Makanan tersebut dipajang dalam etalase dan lemari es ala bakery yang langsung menyambut kami begitu masuk. Croissant mengilat, kue cokelat menggugah selera, macaroon warna-warni, dan banyak jenis makanan lain berjajar rapi mengundang kita untuk membeli. 

Selain menggugah selera, pastry dan kue di Cinema Bakery dijual dengan harga bersahabat. Pastry ukuran kecil dibanderol dengan harga Rp7.500, sedangkan ukuran besar seharga Rp13.500. Terdapat berbagai jenis kue tart disini, semuanya dibanderol dengan kisaran harga Rp20.000 – Rp30.000. Roti-rotian, seperti baguette dan sourdough, juga dijual dengan harga terjangkau yakni di kisaran Rp10.000 – Rp20.000. 

Tersedia juga makanan asin seperti quiche dan pizza, yang dijual dengan harga sedikit lebih mahal yakni di kisaran Rp30.000 – Rp40.000. Namun mengingat pastry dan kue disini dibuat oleh chef berkebangsaan Prancis yang mulai naik daun, arga tersebut sangatlah terjangkau.

Mencicipi Kue Prancis Buatan Chef Cedric dalam Bangunan Bergaya Jawa

Kami diarahkan ke bagian belakang joglo Cinema Bakery untuk menikmati kudapan. Tempat duduk di Cinema Bakery tersedia dengan konsep semi-outdoor, kami duduk dalam ruang beratap, namun tidak ada yang membatasi kami dengan bagian luar café. Udara dingin membelai kulit sebagai sisa dari hujan yang turun sore itu. Suasana sore yang dingin dan interior Cinema Bakery yang hangat, dengan lampu kuning dan kursi bergaya vintage, membuat pengunjung betah berlama-lama disini. 

Oreo Cheesecake, Red Velvet, dan Lemon Tart khas Cinema Bakery/Dyah Sekar Purnama

Kami membeli beberapa pastry, roti, dan kue andalan Cinema Bakery, antara lain adalah baguette, lemon tart, cheesecake Oreo, kue opera, sable, pastry berupa pain au chocolat, dan quiche daging. Secara umum, semuanya enak serta membuat kami makan dengan lahap dan kenyang. Kami juga tidak memesan minum karena Cinema Bakery menyediakan satu botol besar air mineral, lengkap dengan set gelas cantik, untuk para tamu dine-in

Baguette milik Cinema Bakery memiliki tekstur yang keras seperti baguette pada umumnya. Terdapat sensasi remahan di bagian kulit baguette. Uniknya, rasa baguette ini sedikit asin dan gurih. Satu baguette dapat dibagi menjadi sepuluh potong, sehingga cocok untuk dimakan bersama-sama.

Sable (kiri) dan Roti Pain Au Chocolat (kanan)/Dyah Sekar Purnama

Pain au chocolat merupakan sejenis croissant dengan kulit meremah dan berkilat serta isian cokelat. Pain au chocolat di Cinema Bakery cukup cocok dengan selera saya, yakni renyah dan tidak terlalu berminyak. Bagian tengah dari roti ini terasa lembut, ditambah terdapat cokelat yang tidak terlalu manis. 

Kue andalan yang direkomendasikan Cinema Bakery adalah lemon tart. Lemon tart milik Cinema Bakery memiliki warna kuning lembut dengan krim meringue putih di atasnya. Kue tersebut memiliki cita rasa lemon yang kuat namun tidak terlalu asam, tekstur lembut, serta rasa manis dari meringue. Keunikan rasa lemon tart membuat kue ini pantas menjadi andalan Cinema Bakery. 

Kue lain yang kami coba adalah kue opera dan cheesecake Oreo. Tidak ada yang spesial dari cheesecake Oreo, rasanya manis, paduan tekstur lembut dan renyah mendominasinya, namun kurang terasa kejunya. Kue opera cukup membuat kami takjub. Kue tersebut memiliki cita rasa kopi yang kuat dan paduan cokelat yang tidak terlalu manis sehingga mampu memanjakan lidah.

Terdapat biskuit unik yang wajib untuk dicoba ketika mengunjungi Cinema Bakery yakni sable kacamata. Sable merupakan cookies asal Prancis, tepatnya dari wilayah Normandy, yang berbasis mentega dan memiliki tekstur meremah. Sesuai namanya, sable yang dijual di Cinema Bakery berbentuk menyerupai kacamata, dengan bentuk kapsul dan memiliki dua cekungan yang diisi selai stroberi. Biskuit yang satu ini layak menjadi favorit karena paduan rasa manis, asam, serta tekstur remahnya. Biskuit tersebut akan lebih berkesan jika dikonsumsi bersama secangkir teh atau kopi hangat.

Satu kesan yang saya dapatkan dari Cinema Bakery adalah café ini estetis dan Instagramable secara natural. Mulai dari interior, peralatan makan, suasana, hingga pemandangan, menyiratkan kesan cantik dan nyaman untuk dikunjungi. Pengalaman menyenangkan dengan kudapan lezat dan tempat bernuansa homey tersebut pun didapatkan dengan harga yang bersahabat.  Lebih uniknya lagi, konsep makanan Prancis café ini mampu berkolaborasi unik dengan budaya lokal Yogyakarta, yaitu bangunan berbentuk Joglo. Cinema Bakery menjadi café-bakery Yogyakarta yang dapat dimasukkan ke dalam bucket list liburan. Harga terjangkau dan hidangan berkualitas mampu memikat pengunjung dari segala usia. Dijamin, Cinema Bakery akan membuat kita terpesona di kunjungan pertama!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Prancis dan Arsitektur Jawa dalam Cinema Bakery Yogyakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-prancis-dan-arsitektur-jawa-dalam-cinema-bakery-yogyakarta/feed/ 0 34111
Gunung Api Purba, Pesona dan Jalur Pendakian yang Tidak Purba https://telusuri.id/gunung-api-purba-pesona-dan-jalur-pendakian-yang-tidak-purba/ https://telusuri.id/gunung-api-purba-pesona-dan-jalur-pendakian-yang-tidak-purba/#respond Tue, 14 Jun 2022 01:15:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33995 Semester ganjil telah menemui akhirnya di bulan Desember lalu. Sontak, para mahasiswa atau pelajar yang terlampau akrab dengan kelas daring dan tumpukan tugas menggunakan waktu tersebut untuk melepas penat. Saya dan teman-teman saya masuk ke...

The post Gunung Api Purba, Pesona dan Jalur Pendakian yang Tidak Purba appeared first on TelusuRI.

]]>
Semester ganjil telah menemui akhirnya di bulan Desember lalu. Sontak, para mahasiswa atau pelajar yang terlampau akrab dengan kelas daring dan tumpukan tugas menggunakan waktu tersebut untuk melepas penat. Saya dan teman-teman saya masuk ke dalam golongan tersebut. Kami merindukan tiupan udara segar, hamparan bukit dan lanskap hijau, cahaya matahari hangat, dan elemen lain yang punya kekuatan untuk menyembuhkan–atau bahasa populernya: healing. Status kami sebagai mahasiswa pecinta alam membuat destinasi outdoor menjadi tempat yang wajib untuk dikunjungi,  guna melepas penat setelah satu semester kuliah. Akhirnya, dengan perencanaan dadakan dan alat-alat panjat tebing dalam satu carrier, kami meluncur ke Gunung Api Purba Nglanggeran.

Gunung Api Purba Nglanggeran merupakan tempat yang cukup familiar di telinga saya. Tempat tersebut disebutkan dalam lagu Didi Kempot, dibawakan sebagai perihal yang penuh memori namun juga menyakitkan. Gunung setinggi 800 mdpl tersebut juga cukup sering digunakan sebagai tempat organisasi pecinta alam untuk melakukan latihan navigasi darat. Namun, kunjungan di akhir Desember tersebut merupakan kunjungan pertama saya ke gunung api purba. Sepeda motor melaju stabil di jalan Wonosari-Jogja yang sudah ramai tatkala hari masih pagi. Setelah sekitar 45 menit perjalanan dari Yogyakarta, kami sampai di loket Gunung Api Purba Nglanggeran.

Mulainya liburan akhir tahun dipertegas oleh bus wisata dan mobil yang bergantian memasuki lahan parkir. Pengunjung gunung api purba tidak hanya berupa anak-anak mapala berpakaian seadanya dan membawa carrier seperti kami, tetapi juga orang dewasa dan anak-anak berkaos kembaran. 

Beragamnya wisatawan di Nglanggeran mencerminkan posisi gunung tersebut sebagai lokasi wisata alam yang populer. Selain itu, Nglanggeran juga digadang-gadang sebagai tempat latihan untuk para calon pendaki yang ingin mendaki gunung-gunung yang lebih tinggi. Pantas saja tidak ada namanya sepi di gunung ini!

Biaya untuk masuk ke Nglanggeran terbilang terjangkau, yakni sebesar Rp15.000 per orang. Tarif parkir untuk sepeda motor hanya sebesar Rp2.000. Ramah untuk kantong, bukan? Berita yang bagus untuk kami para mahasiswa yang uang jajannya masih dijatah.

Setelah melakukan pengecekan logistik dan melengkapi barang bawaan, kami mulai mendaki di naik ke gunung api purba.

Popularitas Nglanggeran membuat gunung satu ini dihiasi berbagai gimik unik. Baru beberapa meter kami mendaki naik, kami melihat sejumlah spot foto unik didirikan di sisi jalan pendakian. Terdapat sebuah spot foto berupa sarang burung besar yang dapat ditempati oleh dua orang. Selain itu, ada juga batu besar yang dengan ukiran fosil dinosaurus di permukaannya. Tentu saja, untuk mempertegas status ‘purba’ di Gunung Api Purba Nglanggeran.

Kami pun tergelitik melihat spot foto tersebut. Terdapat juga beberapa fasilitas lain di Gunung Api Purba Nglanggeran selain spot foto tersebut, seperti kursi dari balok kayu hingga pendopo tempat beristirahat. Jalur pendakian pun dibuat nyaman untuk mendaki, terdiri dari batu-batu yang mudah ditapaki.

Jalur pendakian Gunung Api Purba sudah mulai ramah pemula/Dyah Sekar Purnama

Panorama dan ornamen yang disediakan oleh Gunung Api Purba Nglanggeran meniadakan kata ‘bosan’ dalam perjalanan kami. Mulai dari jalan setapak berbatu dengan bongkahan batu dan pepohonan tinggi di kanan-kiri, hingga tebing sempit yang diapit dua dinding batu raksasa. Kami ditantang dengan berbagai posisi mendaki dalam perjalanan ini. Mulai dari bisa mendaki tenang sambil bersenandung, hingga harus fokus memanjat dan memastikan kaki memijak batu yang tepat. Bahkan, saat melewati sebuah jalan yang sangat sempit, salah satu teman saya harus memanjat tebing batu untuk memindahkan carrier kami yang besar dan berat. Walaupun tidak terlalu tinggi, jalur pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran tidak boleh diremehkan.

Kami memutuskan beristirahat sebentar di sebuah gubuk yang tersedia di persimpangan jalur menuju puncak. Di belakang gubuk tersebut tersaji pemandangan yang mengagumkan. Kami berdiri di sebuah bukit batu raksasa, dengan ujung menghadap ke arah Yogyakarta. Kota dan wilayah Gunungkidul terlihat seperti miniatur. Bentangan warna hijau turut mengapit miniatur kota tersebut, ditemani oleh kabut tipis yang menyelimuti lembut. 

Langit berwarna biru pucat, menyiratkan sedikit mendung siang itu. Namun langit yang tidak terlalu terik tersebut sangat nyaman bagi perjalanan kami serta bagus untuk diabadikan dalam foto. Ditambah, di sebelah kami terlihat jalan menuju puncak Gunung Api Purba Nglanggeran yang berupa bukit batu raksasa, lebih tinggi dari tempat kami berdiri. Terlihat begitu gagah di kamera. Tentu saja, kami tak mau ketinggalan untuk mengabadikan foto.

Tim terpisah menjadi dua ketika kami mulai melakukan summit attack alias pendakian menuju puncak. Hanya saya, teman saya bernama Oren, dan ketua mapala, Faqih, yang mendaki sampai puncak. Sementara itu, personil lain mengaku kalah dihajar medan Gunung Api Purba dan memilih beristirahat sebelum panjat tebing. Karena saat itu saya yang mengajak mereka pergi ke Gunung Api Purba, tentunya tidak afdol kalau saya tidak ikut ke puncak. Kami pun memulai perjalanan yang diperkirakan memakan waktu setengah jam tersebut. 

Perjalanan menuju puncak dapat dikategorikan level medium. Terdapat jalan sempit yang sulit dilewati, bahkan lebih sempit dibanding tebing yang kami lewati sebelumnya. Saat itu, Faqih pun mengalah dan memutuskan untuk menjaga carrier yang notabene tak bisa dibawa. 

Jalan selanjutnya cukup santai, berupa hutan dengan tanah humus yang setengah kering. Terdapat sedikit undakan dibentuk oleh batu dan akar pohon. Namun, saat tinggal beberapa meter dari puncak, jalur mengundang hati-hati dan fokus untuk meningkat. Kami harus memanjat tangga bambu yang terlihat rapuh, bahkan memiliki pijakan yang jarang-jarang. Setelah pemanjatan yang membuat jantung berpacu cepat, panorama indah membentang di hadapan kami.

Pemandangan dari titik tertinggi di Gunung Api Purba/Dyah Sekar Purnama

Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran bisa digambarkan sebagai sebuah lahan luas dengan ujung berupa jurang. Puncak ini berupa gunung batu karst besar. Terdapat bendera Indonesia serta sebuah prasasti penanda berdiri di tengah-tengah puncak ini. Panorama berupa bukit-bukit batu, tebing batu, bukit menghijau, serta miniatur kota membentang di hadapan kami. Melihat tebing batu yang langsung menyambut dari tempat awal mendaki, saya langsung terbayang panorama ala film Jurassic Park

Angin berhembus cukup kuat, membawa udara dingin yang melepas lelah serta keringat kami. Banyak orang memilih duduk-duduk lebih lama, menikmati panorama dan udara segar. Saya dan Oren pun tidak ketinggalan untuk mengambil foto dengan latar belakang pemandangan indah tersebut. Namun, kami memutuskan tidak berlama-lama di puncak,agenda selanjutnya masih menunggu kami di bawah.

Tebing karst di Gunung Api Purba menjadi arena panjat tebing/Dyah Sekar Purnama

Morfologi Gunung Api Purba Nglanggeran yang terdiri dari batu karst membuat tempat ini cocok menjadi arena panjat tebing. Kami semua turun menuju pendopo yang kami temui di awal perjalanan. Di sana, terdapat sebuah dinding batu dengan banyak tonjolan dan beberapa lubang yang cocok untuk dijadikan tempat panjat tebing. Seusai makan siang, kami langsung memasang perlengkapan panjat tebing di tebing batu tersebut. Kami bergantian mencoba memanjat tebing batu yang terbilang ‘mudah dipanjat’ tersebut. 

Oh, tapi tidak bagi saya! Sebagai pemanjat pemula dan pencetak skor payah di divisi panjat tebing, saya sangat cupu dalam memanjat. Baru dua pijakan, saya sudah jatuh dalam tiga kali coba. Belum lagi bonus lecet di jari karena memegang tebing yang keras dan kasar. Namun, pengalaman tersebut menyenangkan untuk saya. Akan saya coba lagi dalam kesempatan berikutnya!

Jam menunjukkan pukul 16.00 saat kami mulai membereskan peralatan panjat. Barang-barang lain, seperti bekas makanan dan matras pun juga telah kami bersihkan. Kami memulai perjalanan pulang sebelum hari terlalu larut dan hujan turun. Sambil menuruni jalur pendakian, kami melontarkan candaan. Sore yang mulai dingin dihangatkan oleh tawa dan canda yang kami bagi bersama.

Dalam lingkungan mahasiswa pecinta alam, kami menyebut keakraban ini sebagai ‘keluarga’. Ah, saya jadi ingat lagu Didi Kempot yang diubah liriknya oleh salah satu teman seangkatan mapala. Lirik gubahan tersebut merepresentasikan keseruan hari tersebut, yang bunyinya, “Ademe gunung api purbo, isih kalah karo angete keluarga.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Api Purba, Pesona dan Jalur Pendakian yang Tidak Purba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-api-purba-pesona-dan-jalur-pendakian-yang-tidak-purba/feed/ 0 33995
Mencari Secuil Lega, Mengukir Kenangan Tak Terlupa di Pantai Watunene https://telusuri.id/mencari-secuil-lega-mengukir-kenangan-tak-terlupa-di-pantai-watunene/ https://telusuri.id/mencari-secuil-lega-mengukir-kenangan-tak-terlupa-di-pantai-watunene/#respond Sun, 27 Mar 2022 15:35:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33174 Lagi-lagi Yogyakarta, kota yang tak pernah kehabisan ide untuk menghibur para penghuninya yang penat. Angkringan yang hangat dan ramah di kantong mahasiswa, Merapi yang gagah dan menyejukkan di sebelah utara, hingga garis pantai berpasir putih...

The post Mencari Secuil Lega, Mengukir Kenangan Tak Terlupa di Pantai Watunene appeared first on TelusuRI.

]]>
Lagi-lagi Yogyakarta, kota yang tak pernah kehabisan ide untuk menghibur para penghuninya yang penat. Angkringan yang hangat dan ramah di kantong mahasiswa, Merapi yang gagah dan menyejukkan di sebelah utara, hingga garis pantai berpasir putih yang memanggil-manggil mereka yang letih. Dengan berdasar penat dan ingin healing sebelum mulai melakukan penelitian skripsi, saya dan delapan orang mahasiswa semester akhir lain bertolak ke selatan Yogyakarta. Pasir putih, udara asin, air laut yang menghangatkan kaki, dan matahari siang menjadi incaran kami saat itu.

Seusai mengambil sekotak pizza yang sudah dipesan, mobil sewaan kami mulai melaju menuju Jalan Wonosari-Yogyakarta yang tak pernah benar-benar sepi. Perjalanan terasa menyenangkan dengan obrolan ringan, candaan, dan lagu yang kami putar dengan volume maksimum dari ponsel. Kami bergerak tanpa tujuan spesifik, hanya ingin menuju pantai saja.

Pantai Wediombo, sebuah pantai dengan cekungan bebatuan menyerupai kolam menjadi tujuan kami setelah lima belas menit browsing dengan sinyal minim. Pasir putihnya membuat kami bersemangat. Namun sayang sekali, langkah kami dialihkan oleh semesta. Hujan turun perlahan. Pantai Wediombo punya aturan baru yang membuat kami pada akhirnya singgah ke tempat lain.

Perjalanan semakin seru dengan ketidakpastian.

Dari Wediombo kami bertolak ke jalanan sempit kanan kirinya adalah jurang. Jalan berbatu harus dilewati oleh Peter, julukan mobil sewaan berukuran besar yang kami paksa untuk menyusuri jalan Gunungkidul. Kami pun harus turun bergantian untuk melihat apakah jalan bisa dilalui oleh mobil dan berlabuh ke sebuah pantai.

Untungnya, perjalanan ini berbuah manis. Lautan biru membentang di depan mata, ditemani oleh gulungan ombak berbuih. Di bawah sana, terhampar sebuah pantai berpasir putih dengan bebatuan besar. Teman saya memberi tahu bahwa nama pantai tersebut adalah Watunene.

Jalan terjal menuju Pantai Watunene/Dyah Sekar Purnama

Perjalanan menuju garis pantai cukup sulit. Undak-undakan batu dengan tali nilon tipis sebagai pegangan harus kami langkahi perlahan. Bebatuan tersebut terasa tajam dan licin di bawah sandal yang kami pakai. Aduh, mengerikan, tapi menyenangkan juga! Seketika saat pasir putih sudah di dekat mata, rasa sakit hilang. Kaki ini langsung sanggup berlari untuk menginjak pasir selembut tepung tersebut.

Hangatnya pasir pantai, matahari yang mencubit kulit, aroma garam yang terbawa angin, dan gulungan ombak yang membasuh kaki otomatis memberikan efek ‘sembuh’ dalam hati kami. Tawa lepas dari bibir, senyum merekah tanpa malu-malu, saat kami mulai menyibukkan diri bermain air dan menikmati halusnya pasir. Batu karang besar berhiaskan lumut dan tumbuhan terlihat begitu apik di lensa kamera. Langit biru cemerlang membuat sukacita kami makin membara. Lebih lagi, tidak ada pengunjung lain di pantai yang cukup tersembunyi ini.

Keindahan Pantai Watunene dari ujung tebing/Dyah Sekar Purnama

Siang makin matang di atas kepala. Kami pun menghabiskan waktu di bawah teriknya matahari dengan melahap pizza dan meneguk soda yang tak lagi dingin. Cerita dan canda dilontarkan di sela-sela kunyahan, membuat kami di waktu tersebut terasa lebih akrab. Tak butuh waktu lama untuk kami berdelapan merasa kenyang. Pantai Watunene membuat kami terlalu bersemangat untuk bermain dan menelusuri keindahannya. 

Hari semakin sore dan kami berdelapan menikmati kegiatan kami masing-masing. Ada yang duduk santai dan meneduh, jalan berdua, swafoto dan memotret sekeliling, hingga berjalan jauh untuk menyusuri kawasan pantai. Saya tidak mau ketinggalan untuk menikmati keindahan pantai yang senyap ini. Saya dan dua orang teman bertolak ke utara, menuju bagian pantai yang belum dapat kami lihat dari titik awal kami berkumpul bersama.

Teriknya mentari di Watunene siang itu hanya membuat senyuman kami kian mengembang/Dyah Sekar Purnama

Pantai Watunene memiliki kemiripan dengan Pantai Wediombo. Di sini juga terdapat sejumlah ‘kolam alami’ yang terbentuk dari batu karang yang hampir terendam air laut dan membentuk cekungan menyerupai lingkaran. Ada cukup banyak cekungan cekungan menyerupai kolam di Pantai Watunene, mulai dari yang ketinggian airnya menyentuh betis hingga sampai ke dada. Kondisi alam Pantai Watunene yang asri membuat cekungan kolam ini menjadi tempat tinggal biota laut seperti ikan kecil, ganggang, dan kepiting. Selain itu ada juga juga bulu babi di antara karang-karang penyusun kolam. Di sisi lain, tampak tebing batu menjulang tinggi. Ada pula batu karang berlumut, dan bebatuan yang terlihat bagus saat saya foto.

Mentari yang bergerak ke ufuk barat membentuk siluet, lanskap petang itu begitu manis. Udara di sekitar lalu berubah dingin seiring tenggelamnya matahari. Kami bertiga berhenti di garis pantai yang dihiasi jajaran batu besar, air laut merendamnya hingga berlumut. Teman saya sibuk menjepret deretan bebatuan tersebut, mengomentari bahwa lanskap itu menyerupai negara-negara Nordik kala musim panas berakhir. 

Tenggelamnya matahari menandakan bahwa kami harus membereskan barang bawaan dan menyudahi aktivitas di Pantai Watunene. Tebing dan jalanan berbatu di depan tak akan nikmat untuk dilewati saat gelap. Kami mengucapkan sampai jumpa pada ombak yang menggulung makin ganas. Rasa gembira sekaligus rileks memenuhi hati kami selepas bertolak dari Pantai Watunene.Rasa cinta dipajang dalam kata-kata, layaknya sebuah artefak dalam museum, padahal kini hilang seperti tinta yang dibasahi terlalu banyak air mata. Paragraf tersebut terlintas di benak saya kala foto kami mendarat di laman recommended photos ponsel. Pengalaman menyenangkan, orang-orang yang mungkin tidak lagi menyenangkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencari Secuil Lega, Mengukir Kenangan Tak Terlupa di Pantai Watunene appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencari-secuil-lega-mengukir-kenangan-tak-terlupa-di-pantai-watunene/feed/ 0 33174
Mengenang Histori dan Kultur Jawa Melalui Koleksi Museum Sonobudoyo https://telusuri.id/mengenang-histori-dan-kultur-jawa-melalui-koleksi-museum-sonobudoyo/ https://telusuri.id/mengenang-histori-dan-kultur-jawa-melalui-koleksi-museum-sonobudoyo/#comments Sun, 06 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32518 Yogyakarta begitu terik siang itu. Suara kendaraan bermotor berderu keras dari jalan utama Alun-alun Utara menjelang jam makan siang. Dari balik pagar, saya melihat sejumlah bus berjalan pelan dari kawasan Titik Nol Kilometer, tanda musim...

The post Mengenang Histori dan Kultur Jawa Melalui Koleksi Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
Yogyakarta begitu terik siang itu. Suara kendaraan bermotor berderu keras dari jalan utama Alun-alun Utara menjelang jam makan siang. Dari balik pagar, saya melihat sejumlah bus berjalan pelan dari kawasan Titik Nol Kilometer, tanda musim liburan telah tiba. Topeng karakter wayang menyambut saya dan seorang teman kala kami turun dari sepeda motor. Bangunan bergaya keraton, dengan bangunan putih dan pagar hijau khasnya, mengundang kami untuk segera menjelajahinya. Setelah membayar tiket masuk senilai Rp3.000,00 per orang, kami bergegas masuk dengan antusiasme seorang anak sekolah yang sedang karyawisata.

Suara gamelan yang berdenting lembut menegaskan suasana anggun dan aura kuat dari Keraton Yogyakarta. Saya menyempatkan diri untuk mencatat kesan pertama saya terhadap Museum Sonobudoyo selama kami memenuhi syarat untuk berwisata di masa pandemi. Saya membayangkan sebuah museum klasik tanpa adanya teknologi atau sentuhan modern, seperti museum di dalam kawasan Keraton. Namun, Museum Sonobudoyo berdiri tegak dengan arsitektur Jawa yang apik sekaligus teknologi yang membuat kunjungan lebih nyaman dan interaktif. Contoh sederhananya, ada air conditioner di museum ini. Kunjungan jadi nyaman dan menyenangkan, terutama di tengah panasnya Kota Yogyakarta. 

Museum Sonobudoyo
Ruang koleksi pertama yang bernuansa keraton dengan ornamen yang kental akan budaya Jawa/Dyah Sekar P

Dua ruang pertama di Museum Sonobudoyo membuat saya dan teman saya menolak untuk berjalan berjauhan. Ruangan pertama, dengan nuansa warna cokelat dan penerangan yang muram, memajang artefak Jawa klasik. Tempat tidur beratap dari kayu yang mewah, cawan kuningan, guci, wayang kulit, dan beberapa artefak lain dipajang di ruangan tersebut. Nuansa Jawa kental dan tidak adanya pengunjung menciptakan aura mistis sekaligus menakjubkan. 

Di ruangan selanjutnya, terdapat peninggalan purbakala seperti alat-alat batu dan tulang serta tengkorak manusia purba. Terdapat kubur batu di bagian lantai, dengan kerangka manusia yang entah asli atau replika, menjadi highlight dari bagian prasejarah di Museum Sonobudoyo. Sebagai generasi Z, tidak dapat dipungkiri bahwa kami ingin mengabadikan apapun yang kami lihat di museum. Namun saat itu, terdorong respek, rasa kagum, sekaligus bergidik, kami menyimpan ponsel dalam tas masing-masing dan memutuskan menyaksikan bukti kejayaan nenek moyang yang terpajang di seluruh museum. 

Ruangan selanjutnya merupakan ruang yang memajang artefak dari candi Hindu-Buddha di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta serta peninggalan Mataram Islam. Benda-benda seperti cermin, miniatur patung Ganesha, artefak pemujaan bernama gentha dan darpana, guci, replika kapal, dan teko antik terpajang cantik dan dapat diamati melalui kaca. Ruangan ini juga dihiasi oleh stained glass—kaca berwarna-warni—khas Eropa yang dipajang dekat dengan langit-langit museum. Uniknya, stained glass tersebut berdampingan dengan dinding kayu khas Keraton, menciptakan perpaduan arsitektur Jawa-Eropa yang cantik. 

Kesenian merupakan tema dari ruang-ruang berikutnya. Terdapat ruangan yang memamerkan kain batik dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Di ruangan tersebut, terpajang juga pakaian pengantin khas Yogyakarta dan informasi mengenai filosofi yang terkandung di dalamnya. Terdapat ruang yang memajang berbagai wayang kulit, mulai dari wayang berbentuk manusia, seperti tokoh dewa-dewi dan pahlawan, hingga hewan seperti kancil dan buaya. Ruangan wayang dilengkapi oleh layar besar yang menampilkan video animasi wayang yang menceritakan kisah Ramayana. 

Ruangan selanjutnya memamerkan topeng dari pelbagai daerah, lengkap dengan informasi mengenai bagian, cara pembuatan, hingga karakter dari topeng. Kali ini, tidak hanya budaya Jawa yang dibawakan. Topeng-topeng khas Bali, seperti leak dan barong, juga terpajang apik. Usai menjelajah ruangan tersebut, saya kembali diingatkan akan kekayaan dan keindahan budaya negeri kita. Itupun baru Jawa Tengah dan Yogyakarta, bagaimana dengan daerah lain? Pastinya menakjubkan dan kaya sekali!

Sebuah ruangan luas dengan dinding berhiaskan ukiran khas Jawa menjadi tempat saya dan teman beristirahat sejenak. Mengagumi ukiran-ukiran kayu yang kami taksir harganya mencapai ratusan juta rupiah, berbincang sebentar, hingga mengambil foto di depan dinding dan pintu kayu yang cantik. Cahaya siang yang masuk melalui pintu kaca di sebelah barat membuat ruangan ini terlihat kian apik pada lensa kamera. Cocok untuk mengabadikan momen berkunjung ke Museum Sonobudoyo! 

Ternyata, tidak hanya artefak dan peninggalan budaya Jawa saja yang disimpan di Museum Sonobudoyo, tetapi juga artefak Bali. Seusai menjelajahi peninggalan Jawa berupa keris dan permainan tradisional, pengunjung diarahkan ke ruangan besar yang memajang peninggalan khas Pulau Dewata. 

Museum Sonobudoyo
Nuansa khas Bali di tengah Kota Yogyakarta/Dyah Sekar P

Patung dewa-dewi Hindu yang megah, pintu dan ukiran kayu bernuansa keemasan, dan masih banyak lagi. Di bagian outdoor dari kawasan Bali, terdapat sebuah taman kecil bergaya Bali dengan gapura dan adanya patung berkain kotak-kotak. Terdapat juga pendopo dengan arsitektur khas Bali di balik gapura. Nuansa Bali yang kental membuat kita merasa bukan lagi berada di Yogyakarta. Cocok untuk berfoto dan “menipu” para followers di sosial media bahwa kita sedang berlibur di Bali. 

Kunjungan yang tak terbilang panjang ke Museum Sonobudoyo tersebut mencetak pengalaman berharga untuk kami. Selama tiga tahun berkuliah di Kota Pelajar, hal ini menjadi satu momen dimana kami diingatkan akan pesona dan kekayaan kultur Jawa. Koleksi, artefak, dan karya seni yang terpajang rapi dalam gedung museum menjadi pesan pada generasi saat ini mengenai budaya, kecerdasan, dan pamor nenek moyang bangsa Indonesia. 

Tak ada alasan untuk tidak mengunjungi museum ini bila berkunjung ke Yogyakarta. Lokasi di pusat kota, mudah diraih oleh berbagai moda transportasi, hingga tiket masuknya yang ramah untuk dompet menjadi alasan Museum Sonobudoyo layak menjadi tempat wisata yang populerhits. Entah untuk wisata bernuansa kental budaya Yogyakarta atau sekadar membunuh kebosanan, Museum Sonobudoyo akan menjadi tempat yang saya rekomendasikan.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Histori dan Kultur Jawa Melalui Koleksi Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-histori-dan-kultur-jawa-melalui-koleksi-museum-sonobudoyo/feed/ 1 32518