Eka Herlina, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/ekaherlina/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 17 Sep 2024 05:56:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Eka Herlina, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/ekaherlina/ 32 32 135956295 The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/ https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/#comments Sun, 15 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42656 “When Someone makes a decision, he is really diving into a strong current that will carry him to places he has never dreamed of when he first made the decision.” The Alchemist by Paulo Coelho....

The post The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian appeared first on TelusuRI.

]]>

“When Someone makes a decision, he is really diving into a strong current that will carry him to places he has never dreamed of when he first made the decision.” The Alchemist by Paulo Coelho.

Santiago, seorang pemuda yang dengan yakin menjual semua dombanya demi perjalanan menemukan harta karun. Sebuah keputusan yang tidak mudah bagi pemuda yang biasa menikmati hari-hari bersama gerombolan domba, menyesapi manisnya wine (anggur) dan membaca buku.

Santiago berani keluar dari zona nyaman Andalusia, kampung halamannya, meninggalkan kedua orang tua, domba, dan tentu saja rumah tempat ia biasa beristirahat dengan tenang. Demi sebuah impian menemukan harta karun yang dinilai berharga nun jauh di Mesir. 

It’s the possibility of having a dream come true that makes life interesting…

Begitulah gambaran ringkas cerita novel berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho, yang terbit pertama kali pada 1988 silam. Sebuah novel yang membuat saya berhenti sejenak membacanya dan tertegun pada isi novel tersebut; menyadari kisah mencerahkan tentang mengejar impian. 

Paulo Coelho, penulis asal Brazil ini mampu menyihir para pembaca lewat kisah sederhana dan ringan, tetapi penuh makna kehidupan yang masih relevan dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Tak tergerus oleh zaman meskipun The Alchemist berlatar belakang kehidupan lawas, bukan sebuah kehidupan modern.

The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian
Sampul depan The Alchemist karya Paulo Coelho/Eka Herlina

Dari Spanyol Menuju Mesir

Saya teringat kalimat filsuf Tiongkok Lao Tzu, “Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama”. Langkah pertama Santiago berawal dari impian tentang harta karun. Ya, the first steps are actually the treasure. 

Santiago pun dengan berani memulai langkah perjalanan mewujudkan mimpi demi menemukan harta karun, tanpa membayangkan risiko yang akan dihadapinya saat menuju Mesir. Harta karun yang ia percayai berdasarkan ucapan seorang peramal, yang mengatakan tidak ada habisnya apabila dipakai sebanyak tujuh turunan sekalipun. 

Sebelum memimpikan mengenai harta karun, sebenarnya Santiago memiliki impian melakukan perjalanan. Sebagaimana alasan saat ia memutuskan menjadi seorang pengembala karena memungkinkan bepergian mengunjungi berbagai tempat. Namun, harta karun yang pada akhirnya membuat ia memulai langkah pertamanya melakukan sebuah petualangan. 

Tidak saja soal berbagai tempat yang dapat ia kunjungi, tetapi Santiago akan menemui pengalaman-pengalaman tak terduga dan ragam cerita yang membawa pada sebuah komitmen tentang impian itu sendiri.

Jalan Panjang Menemukan Harta Karun

When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.

Jika sedang memaparkan buku berdasarkan kutipan di atas tanpa mengatakan judul buku, tentu bagi pembaca The Alchemist sangat mudah menebak. Pernyataan tersebut merupakan bagian dari pelajaran yang didapatkan Santiago dalam perjalanannya.

Adalah Melchizedek, orang tua yang berasal dari Salem yang mengajarkan Santiago tentang proses mengejar impian dan bagaimana menemukan personal legend atau legenda pribadi. Tak kalah menarik adalah ia memberitahukan Santiago tentang peka dalam membaca tanda kehidupan.

Pertemuan dengan Melchizedek yang mengaku sebagai The King of Salem dan percakapan yang terjadi di antara mereka tertanam di kepala Santiago. Kelak menjadi pegangan dalam langkah perjalanannya. 

Dalam perjalanan selanjutnya, Santiago menghadapi rintangan di mana ia dengan mudah tertipu sehingga bekalnya dirampok. Ia sempat goyah, apalagi terkenang kehidupan yang nyaman saat bersama domba-dombanya dulu. 

When I had my sheep, I was happy, and I made those around me happy. People saw me coming and welcomed me, he thought. But now I’m sad and alone. I’m going to become bitter and distrustful of people because one person betrayed me.

Santiago memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan sejauh ini, termasuk percakapan bersama Melchizedek beberapa waktu lalu. Ia tersadar pada kesimpulan tentang pilihan. Ia memiliki pilihan, apakah menjadikan dirinya korban malang di tempat asing atau seorang petualangan yang sedang mencari harta karun. Santiago pun memilih untuk tetap fokus pada perannya sebagai seorang petualang yang mencari harta karun.

Dari peristiwa perampokan yang dialami Santiago, kita belajar untuk melihat dari dua sisi dan tidak menyerah begitu saja. Tetap fokus pada tujuan dan impian yang diraih. Dan, jangan biarkan pengalaman buruk menghalangi untuk mencapai suatu impian. 

Selanjutnya, kita diajak menelusuri kisah Santiago dan Pemilik Teh. Ia memutuskan untuk tinggal sementara dan bekerja dengan Pemilik Teh tersebut untuk mengumpulkan bekal agar bisa melanjutkan perjalanan menemui harta karun. Santiago belajar makna Maktub, segala sesuatu telah tertulis—di sini saya memahami sebagai takdir.

Santiago memanfaatkan kejelian dalam membaca tanda sebagaimana yang ia pelajari dari Melchizedek. Ia mengajak Pemilik Teh menyajikan teh di gelas kristal yang selama ini hanya jadi pajangan, agar dapat menarik pembeli lebih banyak datang. Bisa ditebak, penjualan pun meningkat dan tentu saja Santiago memperoleh uang sebagai bekal dalam perjalanan selanjutnya.

Kemudian pada fase perjalanan berikutnya, Santiago bertemu dengan orang Inggris yang mencari sang Alkemis, batu filsuf, dan obat hidup. Mereka terjebak di gurun yang sedang terjadi perang saudara. Di tempat ini juga, Santiago jatuh hati dengan Fatima, gadis gurun yang juga menaruh hati padanya. 

Santiago juga bertemu dengan sang Alkemis, orang yang dicari-cari oleh orang Inggris selama ini. Namun, yang justru bertemu dengan Alkemis adalah dirinya. Banyak dialog menarik yang terjadi di antara mereka berdua. Termasuk ketika Santiago sempat berpikir untuk berhenti dan menjalankan kehidupan bersama Fatima di gurun tersebut. 

Sang Alkemis mengingatkan tentang impian Santiago. Ia dan Fatima akan menikmati hidup dengan bahagia. Memiliki banyak unta dan domba, tetapi ketika seiring waktu Santiago nantinya akan dibayangi soal harta karun yang menjadi impiannya. 

You must understand that love never keeps a man from pursuing his destiny,” ujar sang Alkemis.

Kutipan-kutipan dialog yang menarik di novel The Alchemist/Eka Herlina

Akhir dari Perjalanan Santiago

Bagaimana akhir dari perjalanan Santiago menemukan impian, apakah ia akhirnya bisa mendapatkan harta karun?

Apa yang dicari oleh Santiago ternyata bukanlah berada di piramida tersebut, tetapi justru di kampung halamannya. Harta karun itu berada di reruntuhan gereja, tempat pohon Sycamore tumbuh. Sebuah daerah di mana ia kerap menghabiskan hari-hari bersama dombanya saat menjadi pengembara dulu. 

Menurut saya, bukan akhir perjalanan Santiago yang membuat novel ini membekas di jiwa. Akan tetapi, proses perjalanan dari mulai padang rumput di Spanyol, gurun, hingga ke tujuan akhir piramida. Bertemu banyak tokoh mengagumkan yang menjadikan cerita ini menakjubkan. Harta karun sebenarnya adalah perjalanan yang dilakukan oleh Santiago itu sendiri.

There is only one way to learn. It’s through action. Everything you need to know, you have learned through your journey.

The Alchemist bukanlah sekedar sebuah novel, melainkan juga sebuah buku pengembangan diri. Paulo Coelho mampu mencubit hati para pembaca lewat kalimat-kalimat bijak yang masih relevan dalam kehidupan saat ini.


Judul: The Alchemist
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Alan R. Clarke
Penerbit: HarperCollins (UK)
Tahun terbit: 2021
Tebal buku: 177 Halaman
ISBN: 978-0-00-715566-8 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/feed/ 1 42656
Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/ https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/#respond Sat, 09 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40319 Dari perbukitan seserpih cerita membangkitkan ingatan pada kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri.  Jika mengetik ‘Gunung Padang‘ di laman pencarian, kita dibawa pada informasi tentang situs Gunung Padang yang berada di Jawa Barat. Akan berbeda...

The post Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari perbukitan seserpih cerita membangkitkan ingatan pada kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri. 

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Akses jalan dari bawah ke puncak Gunung Padang/Eka Herlina

Jika mengetik ‘Gunung Padang‘ di laman pencarian, kita dibawa pada informasi tentang situs Gunung Padang yang berada di Jawa Barat. Akan berbeda hasilnya kalau menggunakan kata kunci ‘Wisata Gunung Padang di Kota Padang‘, maka sebuah cerita tempat dan informasi menarik dengan sekelumit kisah legendaris Siti Nurbaya yang kita jumpai.

Gunung Padang merupakan sebuah bukit yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat; menjadi perpaduan antara keindahan alam, jejak sejarah, dan kisah roman.

Saya tidak tahu apakah kisah novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai mengenai Siti Nurbaya dan Samsul Bahri karya Marah Rusli benar-benar ada. Namun, sementara ini mari abaikan persoalan kebenaran kisah legendaris tersebut. Ada yang lebih menyenangkan kala menjadikan perbukitan ini sebagai destinasi ketika mampir ke Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela.

Memulai pagi di Bukit Gunung Padang

Pagi atau sore menjadi waktu terbaik untuk menelusuri kawasan wisata Gunung Padang, yang juga terkenal dengan sebutan Bukit Siti Nurbaya. Alasannya sederhana, yakni untuk menghindari cuaca panasnya Kota Padang yang akan membuat cepat lelah dan banjir keringat.

Gunung Padang merupakan sebuah bukit kecil dengan ketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letaknya  di seberang selatan dari muara Batang Arau—salah satu sungai di Padang. Warga lokal kerap menyebutnya Gunung Padang, karena bisa dibilang tempat tertinggi yang ada di pusat kota. 

Gunung Padang merupakan salah satu spot populer bagi warga lokal untuk melakukan kegiatan jogging di akhir pekan. Selain panorama alam yang menyenangkan, Gunung Padang menyimpan cerita legenda cinta Siti Nurbaya dan jejak sejarah masa penjajahan Jepang.  

Untuk bisa memasuki kawasan ini, kita membayar biaya tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang. Butuh sekitar 20 hingga 30 menit melakukan perjalanan ke puncak bukit. Ada Taman Siti Nurbaya di sana. Jika kamu pernah membaca novel Marah Rusli, tempat ini terasa tidak asing lagi. Novel tersebut mendeskripsikan gambaran Taman Siti Nurbaya dengan baik.

Sebagai warga lokal saya akan memberikan saran. Mulailah berjalan santai dari jembatan Siti Nurbaya menuju arah Gunung Padang. Kamu akan menemui suasana Kota Padang yang tenang, serta pelabuhan dan rumah penduduk yang terkesan humanis dan damai. 

Selepas pintu gerbang, kita akan menjumpai beberapa rumah nelayan. Kemudian terdapat jalan setapak dengan pemandangan laut. Kita bisa melihat asyiknya beberapa orang yang sibuk memancing. 

Jejak peninggalan era penjajahan Jepang

Di tengah perjalanan ke puncak Gunung Padang terdapat peninggalan era penjajahan Jepang. Kita akan menemui beberapa bunker yang bisa membuat penasaran.

Sayangnya tak ada informasi lebih lanjut soal jejak sejarah tersebut. Bungker pertama berdekatan dengan rumah penduduk. Bungker kedua tak jauh dari bungker pertama yang berfungsi sebagai gudang. 

Dari literasi yang saya baca di Wikipedia, bunker yang berdekatan dengan permukiman penduduk disebut dengan Pilboks. Memiliki ruangan cukup luas dan terdapat meriam besi besar yang kira-kira dibangun sekitar tahun 1942—1945. Sementara yang kedua memiliki bentuk seperti rumah, bertuliskan “BOW” dan memiliki dua ruangan tak beratap. 

Trek menuju ke atas tidak terlalu terjal, meski kadang cukup melelahkan. Terdapat anak tangga yang memudahkan berjalan kaki. Beberapa kali saya melipir ke tempat ini. Sekadar merasakan suasana alam yang sejuk dan melepaskan kelelahan dari hiruk pikuk Kota Padang. Saya juga kerap menjumpai rombongan keluarga yang membawa anak kecil hingga ke puncak. 

“Capek,“ begitu suara keluhan terdengar dari mulut bocah berusia sekitar tujuh tahun. Dan, memang benar adanya orang dewasa paling jago berbohong. Seperti yang dilakukan oleh ibu sang bocah.

“Seentar lagi nyampai kok,” jawab sang ibu. Dia tetap menyuruh anaknya mendaki.  Padahal masih ada puluhan anak tangga yang mesti dilalui.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Cerita singkat Siti Nurbaya dan Samsul Bahri/Eka Herlina

Makam Siti Nurbaya

Sebelum mencapai puncak, terdapat sebuah celah batu dengan tangga menurun. Di situ ada keterangan bahwa lorong di bawahnya merupakan makam Siti Nurbaya. Sulit untuk memastikan ada atau tidaknya sosok Siti Nurbaya, mengingat karakter tersebut berasal dari karya sastra novel.

Seperti banyak orang tahu, Siti Nurbaya adalah karakter dalam roman klasik Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Di kisah ini, ia dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, yang usianya jauh di atasnya untuk melunasi utang ayahnya. Di sisi lain, Siti Nurbaya sedang menjalin kasih dengan Samsul Bahri.

Meskipun Samsul Bahri pergi meninggalkan Siti Nurbaya demi melanjutkan pendidikan, tetapi Siti—yang sudah menikah dengan Datuk Maringgih—tetap mengirim surat ke Samsul. Siti ketahuan oleh suaminya. Ia pun diracuni dan meninggal dunia. 

Hancur hati Samsul Bahri mendengar berita pujaan hatinya tersebut. Untuk membalas dendam, Samsul Bahri pun bergabung menjadi pasukan Belanda dan terjadilah peperangan yang berujung saling membunuh. Begitulah sekilas kisah roman legendaris Siti Nurbaya.

Sebagai warga lokal yang senang jalan-jalan, saya tidak terlalu tertarik turun ke lorong tersebut untuk sekadar menengok makam Siti Nurbaya.

Kaki saya selalu tidak sabar menapaki anak tangga menuju puncak. Di tempat itulah saya bisa melepas lelah. Menikmati lanskap Kota Padang seraya menyeruput sebotol air mineral.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Area taman Siti Nurbaya di puncak Gunung Padang/Eka Herlina

Taman Siti Nurbaya

Dari puncak Gunung Padang, terhampar Taman Siti Nurbaya seluas kira-kira 180 meter persegi. Menyambut kedatangan saya yang kelelahan usai menapaki anak tangga. Napas saya cukup ngos-ngosan menyadari kenyataan betapa lemahnya tubuh ini. 

Kesejukan taman dengan naungan pepohonan yang rindang dan asri, membuat suasana nyaman untuk melepaskan lelah. Taman ini menawarkan pemandangan indah dan menyejukkan saat bersantai. Di sebelah utara dan timur, kita dapat menikmati pemandangan Kota Padang. Ke arah selatan panorama Pantai Air Manis dan Pulau Pisang. Sementara di sisi barat, hamparan laut lepas Samudra Hindia melambai-lambai.

Di perbukitan inilah, terpampang sebuah slogan. “PADANG KOTA TERCINTA,” sebuah identitas ibu kota Provinsi Sumatra Barat dan sering terlihat ketika menelusuri Pantai Padang. 

Puas menjelajah Gunung Padang, menyeruput secangkir es kopi di sebuah kedai kopi kekinian di kawasan Sungai Batang Arau adalah pilihan baik untuk menutup lelah usai naik-turun anak tangga. Batang Arau cocok jadi tempat singgah sembari memandang lepas kapal-kapal yang berlabuh di sepanjang muara sungai.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Kawasan Sungai Batang Arau/Eka Herlina

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/feed/ 0 40319
Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/ https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/#respond Mon, 05 Jul 2021 01:08:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28588 Waktu santai saya terganggu kala tiba-tiba salah satu kerabat meminta saya untuk menemani mereka ke bandara pada suatu sore selepas Ashar. Ia meminta saya menjemput anggota keluarga dekat mereka. Kerabat ini baru saja kehilangan anggota...

The post Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau appeared first on TelusuRI.

]]>
Waktu santai saya terganggu kala tiba-tiba salah satu kerabat meminta saya untuk menemani mereka ke bandara pada suatu sore selepas Ashar. Ia meminta saya menjemput anggota keluarga dekat mereka. Kerabat ini baru saja kehilangan anggota keluarga. Lazimnya sebuah keluarga yang berkumpul kala duka datang, maka yang merantau pun terpaksa melakukan perjalanan pulang membawa kesedihan tak terelak.

Saya tak akan membahas tentang duka bagaimana rasanya ditinggalkan. Tentu ada ragam air mata yang sulit terlukiskan dan sesak yang tak terbantahkan. Apalagi sepanjang tahun 2020 mental kita diuji dengan ragam cerita kesedihan dari dampak virus COVID-19.

Ditinggalkan tanpa pernah kembali dan tersisa adalah untaian doa yang menjadi penguat kaki ini untuk terus melangkah. Berbicara tentang rasa kehilangan akibat ditinggalkan oleh mereka yang tak akan bisa kembali ke dunia ini adalah topik yang selalu saya hindari. Bagaimanapun kesedihan adalah hal yang pasti.

Kerap melakukan perjalanan udara selama sepuluh tahun belakangan ini, bukanlah sesuatu yang istimewa bagi saya. Namun, di dunia ini ada bagian orang-orang yang hadir dengan cerita belum tersentuh atas nama bandara. Salah satunya adalah kerabat saya ini.

Di tengah kesedihan yang sedang menghampiri keluarga ini, ada kesenangan tersendiri saat untuk pertama kalinya memencet mesin ticketing parkir kala memasuki area bandara. Untuk pertama kali keluarga tersebut mengetahui kertas ticketing yang perlu dijaga dengan baik agar prosedur perjalanan keluar bandara bisa lancar. Saya berusaha mengabaikan ego pamer, berusaha mengikuti ritme kegembiraan mereka di tengah tubuh kondisi fisik yang masih lunglai akibat berita duka tersebut.

Saya terbawa euforia pertama kali melihat Bandara Internasional Minangkabau. Mengikuti suasana keluarga ini yang terlihat gembira meskipun sebenarnya air mata dan sesak itu belum reda. Saya mengarahkan mereka ke pintu kedatangan internasional yang tampak sepi dan gelap. Saya berpikir positif soal suasana COVID-19 yang belum reda dan jadwal penerbangan masih lengang. Lampu akan hidup nanti pas pesawat landing

Bandara mulai tampak ramai yang setidaknya mengingatkan saya pada perjalanan kala di waktu subuh yang kerap saya lakukan beberapa tahun lalu saat menjadi mahasiswa rantau di ibukota. Saya mengarahkan keluarga ini pada suatu warung roti di bandara seraya menunggu pesawat landing sebentar lagi.

Sejenak saya terdiam, pada orang-orang yang berbaur di depan pintu kedatangan domestik. Menanti seseorang yang mereka jemput. Saya tersadar pada kebodohan saya setelah sekian lama tidak menghampiri bandara. Saya lupa penerbangan dari Medan masih masuk kawasan domestik dan dua tahun belakangan. Sebelum corona memang saya kerap keluar dari pintu kedatangan internasional karena penerbangan dari Kuala Lumpur. Saya lupa bahwa ada namanya pembagian terdiri dari area kedatangan antara domestik dan internasional.

Kedatangan International/Eka Herlina

Sore mulai beranjak berganti dengan suasana senja nan syahdu selepas hujan. Pesawat keluarga kerabat mengalami keterlambatan mendarat. Dari info flight radar pesawat masih berputar di atas menunggu informasi agar bisa mendarat dengan aman. Salah satu dari mereka yang tadinya bisa tersenyum mengabadikan diri berfoto di depan pintu kedatangan internasional tampak gelisah duduk di salah satu kursi di warung roti yang terdapat di bandara. Senyumnya sudah memudar dan lebih banyak melamun penuh kegelisahan. Lupa sejenak pada euforia pertama kali ke bandara.

“Aku tidak pernah naik pesawat,” ucapnya beberapa waktu lalu saat di parkiran mobil sebelum melangkah ke pelataran Bandara Internasional Minangkabau.

“Insya Allah suatu hari kelak ada rejeki. Ada masanya,” balas saya dengan perasaan berkecamuk. Rasanya sulit untuk bercerita membagi pengalaman terbang saya selama dua belas tahun belakangan ini saat situasi beliau sedang kehilangan anggota keluarga.

Penghujung senja dan rasa rindu yang bergejolak

Senja dan bandara serta selepas hujan adalah rangkaian kerinduan akan sebuah perjalanan yang dulu kerap saya lakukan. Saya tak bisa menyembunyikan rasa buncah saat mendengar suara dari mikrofon khas bandara tentang informasi penerbangan “Attention, please…” sudut mata saya berair.

Rindu turun dari pesawat menelusuri garbarata dan melenggang keluar kala menjelang maghrib dengan menyandang ransel. Saya kangen masa kala melewati usia 20-an awal kala ketakutan dan kekhawatiran tak terpikirkan—entahlah, makin beranjak dewasa diri ini penuh kekhawatiran tak berarti. 

Sejujurnya saya takut naik pesawat. Saya masih mengalami ketakutan kala take off dan landing. Masih memejamkan mata kala melewati rangkaian tersebut. Dan, tentu saja saat merasakan turbulensi. Maka mulut dan hati saya sibuk berdoa; “Allah, Eka masih ingin melihat wajah Ama (Ibu).” Di atas pesawatlah saya tersadar pada sikap tidak menyenangkan saya pada ibu saya yang kerap membantah ucapan beliau.

Biasanya kala terbang saya lebih memilih perjalanan di waktu subuh agar bisa tidur dengan baik di pesawat dan dapat mengabaikan rasa takut sejenak akibat ngantuk. Dan, sebelum terbang saya biasanya terjaga sepanjang malam dengan gelisah. 

Saya rindu. Batin saya seraya menggigit bibir lembut. Melempar pandangan ke suasana bandara dengan cahaya redup dan langit yang mulai gelap. Corona benar -benar menguji saya untuk sejenak istirahat dari perjalanan ini. Memberi waktu dalam perenungan kembali tentang langkah ini. Tentang memasuki garis batas, bahwa hidup tak selamanya tentang perjalananan di luar sana.

Ruang bandara/Eka Herlina

Termasuk belajar memahami situasi kala mereka yang jarang keluar dan kerap berada di ruang lingkup sosial kecil dengan sikap santai buang sampah begitu saja adalah hal yang lumrah. Saya cuma terpaku saat melihat orangtua yang katakanlah berasal dari daerah pelosok yang makan roti di tempat kedai tersebut, sampah pembungkusnya di buang ke lantai begitu saja.

Ah, andaikan anak muda, sudah gatal mulut ini negur.” Orang tua yang tak memiliki kesempatan pendidikan dan waktu mengukir pengalaman mengasah sisi humanis tak bisa disalahkan begitu saja—tugas kita lah yang memberitahu dengan baik perihal sampah harus berlabuh dimana.  

Setahun sudah COVID-19 hadir dalam kehidupan ini. Suasana bandara di tengah penerbangan yang mulai perlahan kembali normal namun menghadirkan prosedur yang cukup merepotkan tentunya. Tentang protokol kesehatan yang harus dipatuhkan. Namun, kita lupa tidak semua dari orang-orang yang melakukan perjalanan di tengah COVID-19 adalah mereka dari kalangan yang mengikuti perkembangan informasi. Beberapa pejalan yang sudah menahan rindu dan melangkah tak sabaran keluar pintu domestik untuk menemui anggota keluarga secepatnya tertahan demi mengisi aplikasi yang tidak saya ketahui. Hal ini terlihat dari tangkapan kamera CCTV yang disiarkan oleh pihak bandara.

Bandara dan senja masih menyisakan cerita rindu yang tak terbantahkan. Pada syahdunya cerita perjalanan yang kerap membuat diri ini menemui hal-hal yang menakjubkan. Dan, bandara masih saja menghadirkan ragam cerita, termasuk dari anggota termuda keluarga kerabat ini. Antusias di tengah duka yang menyelimuti untuk pertama kalinya bisa merasakan naik pesawat. “Umi apakah adik lagi mimpi?” Celetuk bocah empat tahun. 

The post Pada Suatu Senja di Bandara Internasional Minangkabau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pada-suatu-senja-di-bandara-internasional-minangkabau/feed/ 0 28588
Sampah di Sudut Kota Padang https://telusuri.id/sampah-di-sudut-kota-padang/ https://telusuri.id/sampah-di-sudut-kota-padang/#respond Fri, 19 Feb 2021 11:38:27 +0000 https://telusuri.id/?p=27121 Ekspresi wajah Anthoni, seorang teman berkewarganegaraan Prancis sulit dibaca kala melihat pemilik lapak makanan di salah satu pesisir Pantai Padang membuang sampah langkitang dan pensi begitu saja di atas pasir pantai. Pensi dan langkitang adalah...

The post Sampah di Sudut Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekspresi wajah Anthoni, seorang teman berkewarganegaraan Prancis sulit dibaca kala melihat pemilik lapak makanan di salah satu pesisir Pantai Padang membuang sampah langkitang dan pensi begitu saja di atas pasir pantai. Pensi dan langkitang adalah kudapan khas di Pantai Padang yaitu jenis keong dan siput air tawar yang disajikan dengan bumbu rempah khas Sumatera Barat. Perpaduan bumbu gulai nan gurih serta pedas, membuat cemilan ini cukup populer bagi masyarakat Minangkabau.

Cara memakan langkitang ini pun cukup rumit, mesti dihisap untuk mengeluarkan dagingnya atau dalam bahasa Minang dikenal ‘dicucuik’. Langkitang dan pensi biasanya disajikan dalam piring plastik kecil, dibanderol dengan harga Rp5 ribu per porsi. Untuk minuman pendamping dua kudapan tersebut terdapat kelapa muda yang disajikan dalam bentuk utuh.

Sisa sampah langkitang dan pensi serta kelapa dibuang begitu saja oleh penjual di salah satu lapak di mana saya, Anthoni, dan seorang teman lainnya sedang istirahat sejenak di tepi pantai atau kerap disebut taplau. Kami duduk di bangku plastik dengan dipayungi oleh tenda warna-warni yang terdapat di bibir pantai. 

Saya berusaha abai terhadap pandangan Anthoni dan memilih menatap piring pensi seraya menyeruput pelan kelapa muda. Sementara teman saya sibuk menjelaskan ke Anthoni betapa buruknya masyarakat lokal perihal sampah. Meskipun sampah organik tetap saja tidak sedap dipandang oleh mata. Teman saya pun berbagi keluhan terhadap tumpukan sampah lainnya dihadapan kami. 

“Ini karena musim hujan makanya sampahnya berlabuh ke pinggir pantai,” gumam saya pelan yang membuat teman saya dan Anthoni menanggapi dalam diam. Kami sibuk tenggelam dengan pikiran masing-masing terhadap pemandangan buruk tersebut. Biasanya, pada musim hujan kuantitas sampah meningkat lebih banyak dari biasanya. Pada musim hujan juga, sampah-sampah di kawasan penduduk dibuang ke muara dan dibawa kembali oleh laut ke bibir pantai. Berserakan begitu saja. 

Sampah-sampah di pantai Padang
Sampah-sampah di pantai Padang/Eka Herlina

Tadinya saya tak ada keinginan untuk mengajak Anthoni dan teman saya ke taplau menghabiskan sisa sore hari. Saya cukup kebingungan kala pacarnya Anthoni, yang tak lain teman saya meminta untuk menemani menghabiskan satu hari di Padang. Sebagai penikmat jalanan, biasanya bule gitu paling senang hal-hal yang berbau alam. Maka saya mengajak untuk menelusuri kawasan Pecinan di Padang atau Pondok Cina menuju Bukit Gunung Padang. Menelusuri jalanan yang dipenuhi oleh kota tua dan berlabuh menapaki puluhan anak tangga menuju Bukit Gunung Padang. Oh, ya kami mesti membayar retribusi yang saya lupa berapa harga masuknya, dan tak ada perbedaan harga antara turis asing dengan lokal, serta cukup terjangkau.

Bawa sampah pulang bersama/Eka Herlina

“Eka di sini banyak sampah botol mineral ya!” seru Anthoni seraya melepas pandang ke bawah melihat Padang dari ketinggian sesampainya kami di atas. Hanya ada kami bertiga saat itu di tengah puluhan pohon layaknya hutan kecil yang menenangkan di Taman Siti Nurbaya.

Saya cuma tersenyum. Tak ada tong sampah di taman yang berada di puncak Bukit Gunung Padang saat itu. Membawa sampah tersebut turun adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan sebagai pejalan. Saya terlalu malas untuk meluapkan sumpah serapah dan keluhan tentang sampah saat itu. 

Saya cukup kelelahan saat turun ke bawah usai melihat Kota Padang dari ketinggian dan menghirup udara segar dibarengi dengan pemandangan tak mengenakan, yakni sampah plastik dimana-mana. Terkadang setiap kali mengunjungi tempat ini bersama teman dari luar kota, saya suka mengkhayal tentang tata kelolanya. Misalnya saja, kebersihan dan rumah penduduknya dicat dengan lukisan mural seperti Gamcheon Culture Village Busan, Korea Selatan.

Saya tidak tahu apakah ada sosialisasi pemerintah setempat dengan penduduk di sekitar area Bukit Gunung Padang soal pariwisata. Menurut saya, bisa saja kawasan ini ditata lebih apik supaya lebih nyaman dikunjungi. Kebersihan, kerapian, keramahan, dan tersedianya kamar mandi umum yang bersih dan tentu saja toko souvenir bisa diagendakan.

Lalu, biaya retribusi bisa diimbangi dengan berbagi keuntungan bersama masyarakat yang tinggal di sekitar sebagai bentuk simbiosis mutualisme untuk menjaga dan merawat kebersihan. Atau bisa juga pengelola menyediakan fasilitas seperti tiket yang dibeli bisa ditukar dengan hasil karya masyarakat setempat.

Bagaimana pun pariwisata adalah salah satu sektor penting dalam meningkatkan perekonomian. Sayangnya, apalah artinya saya, cuma remahan rengginang yang bisanya ngeracau di sosial media.

Entah faktor usia yang sudah menua, atau mood yang sudah rusak dengan perihal sampah saya tidak punya energi cukup untuk kembali ke bagian pusat Kota Padang. Masih ada sisa waktu menjelang penghujung sore sebelum Anthoni dan teman saya beranjak ke luar Kota Padang, tepatnya ke Payakumbuh. Terlintas saat itu mengajak ke taplau untuk mengistirahatkan diri di pinggir pantai. Pada sopir transportasi online saya memintanya untuk diturunkan dimana kami bisa menikmati pensi dan langkitang serta kelapa muda. Pada akhirnya berlabuh di Pantai Muaro Lasak yang menjadi ikon pariwisata Padang. 

Sampah yang menghiasi pesisir pantai di Padang
Sampah yang menghiasi pesisir pantai di Padang/Eka Herlina

Saya tak memiliki kesan menyenangkan soal pesisir pantai saat menemui sampah yang menghiasi sore nan mendung pada dua tahun yang lalu kala saya menghabiskan sore di Muara Lasak bersama Anthoni dan pacarnya (saat ini sudah menjadi istrinya). Sebagai masyarakat Padang, entah kenapa saya enggan menghabiskan waktu di tempat tersebut kecuali jika ada teman yang datang berkunjung dan meminta untuk menemani menghabiskan waktu di Padang.

Saya baru menyadari ternyata cukup lama juga saya tak menyinggahi salah satu tempat favorit menghabiskan senja dengan cemilan langkitang, pensi, dan kelapa muda segar—dan pandemi membuat saya agak khawatir untuk menuntaskan rindu terhadap cemilan lezat tersebut di Pantai Muaro Lasak saat ini.

Saya lebih memilih ke pesisir pantai dekat rumah, yang bukan kawasan wisata, menyaksikan debur ombak di pagi hari usai bersepeda keliling kompleks perumahan. Tak ada langkitang, pensi, dan kelapa muda. Suasananya sepi dari pengunjung wisata, namun menyedihkan adalah tetap saja sampah berserakan di sepanjang pantainya.

Maka maafkan saya yang cuma berkhayal mengenai kawasan pesisir pantai di Padang bisa terbebas dari sampah. Meskipun dalam pantauan saya, sudah ada beberapa gerakan pemuda yang sadar akan lingkungan kerap melakukan aksi sosial memungut sampah-sampah di pesisir, tapi tetap saja persoalan sampah adalah tanggung jawab individu dan bersama.

Perlahan dan pelan-pelan memberi sosialisasi berkelanjutan tentang kesadaran lingkungan bagaimana memperlakukan sampah sebagaimana mestinya setidaknya langkah yang harus konsisten diberikan kepada masyarakat. Memberi pelatihan dalam pemilahan sampah serta menyediakan bank sampah. 

Maafkan saya, semangat jiwa muda saya sudah memudar seiring rasa kesal pada berjamuran kopi kekinian yang menggunakan cup plastik sekali pakai dan juga perilaku masyarakat yang tidak sadar-sadarnya membuang sampah begitu saja. Sementara itu, di sudut warung kopi kekinian saat menyelesaikan tulisan ini, saya mengukir harapan adanya program tanggung jawab perkumpulan warung kopi kekinian setempat terhadap sadar lingkungan, wah alangkah menyenangkan bukan?

Maafkan diri ini yang tak bisa mengajak barista kopi kekinian untuk berbicara tentang ide ini. Cuma bisa bercerita tentang harapan-harapan yang suatu hari harapan ini tidak berlabuh ke tong sampah. Terabaikan dan menguap begitu saja. Semoga suatu hari nanti, bisa rebahan di atas pesisir pantai di Kota Padang tanpa terganggu dengan sampah yang berserakan begitu saja. Ya, semoga. 


Sampah Kita merupakan sebuah tajuk untuk berbagi pengalaman refleksi tentang sampah. Sampaikan cerita dan refleksimu soal sampah, bagikan tips dan kiat menyelesaikannya di telusuri.id/sampahkita.

Sampah Kita didukung oleh Lindungi Hutan dan Hutan Itu Indonesia.

The post Sampah di Sudut Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampah-di-sudut-kota-padang/feed/ 0 27121
Arti Rumah Kala Pandemi https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/ https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/#respond Wed, 10 Feb 2021 04:15:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26939 Saya mengusap lembut sampul paspor yang warna putihnya mulai menguning. Setahun sudah benda ini terabaikan begitu saja. Biasanya akhir tahun kaki saya sudah gatal melangkah beranjak pergi ke luar Indonesia. Menyandang ransel dan ‘menggembel’ di...

The post Arti Rumah Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya mengusap lembut sampul paspor yang warna putihnya mulai menguning. Setahun sudah benda ini terabaikan begitu saja. Biasanya akhir tahun kaki saya sudah gatal melangkah beranjak pergi ke luar Indonesia. Menyandang ransel dan ‘menggembel’ di suatu tempat sekedar menikmati atmosfer perjalanan yang berbeda. Saya rindu melewati malam-malam yang melelahkan di bandara saat menanti penerbangan pagi. Berbagi cerita dengan para musafir dan tersenyum hangat pada warga lokal.

Pandemi COVID-19 membuat langkah terhenti begitu saja. Merubah tatanan segala lini kehidupan yang membuat saya, kamu dan kita lelah yang tak terkatakan. Namun dibalik kelelahan dan kejenuhan akan pandemi, saya menemui hal-hal yang luput dalam perenungan saya sebagai bocah yang suka ‘hilang’ dari rumah.

Selama ini rumah bagi saya tak ubah kerinduan akan masakan ibu saya saat melepas lelah dalam melakukan perjalanan. Menuntaskan rindu dalam hitungan hari kemudian beranjak pergi. Rumah juga sebagai persinggahan sementara kala masalah keuangan saya mulai menipis. Seperti itu saya memaknai sebuah rumah. Tak ada kegembiraan berarti kecuali saat dalam perjalanan dan bertemu orang asing.

“Cobalah duduk di depan (toko bapak), biar berinteraksi dengan orang. Biar bisa terbuka pikiran. Ndak mambanam sedalam kamar doh. (Enggak mendap dalam kamar aja),” omel Ibu saya kala awal–awal pandemi saat pulang ke rumah.

Terbiasa di tanah rantau saya melewati sebagian waktu sebagai anak kosan dan menghabis hari–hari dengan melakukan perjalanan, saya cukup asing dengan suasana lingkungan di rumah. Rumah sekedar pelepasan rasa lelah yang membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar kala pulang. Menjadi manusia rebahan yang sibuk berkhayal bikin bucket list tempat yang ingin segera dikunjungi.  

Ibu saya pun mengenang sikap saya yang berbeda saat ia melewati suatu perjalanan bersama saya kala itu. “Kamu waktu itu cerewet bercerita dengan orang,” ucap ibu saya melihat sikap saya yang lebih banyak diam di rumah daripada berbicara banyak.

Saya menghela napas merenungi kembali tentang diri ini untuk pertama kalinya berada di rumah dalam jangka waktu yang cukup lama setelah sejak usia belasan tahun meninggalkan rumah. Rumah bagi saya masih terasa asing dan yang tersisa dalam ingatan ini adalah rasa masakan Ama, begitu saya memanggil ibu saya.

Perjalanan itu Bernama Rumah

Saya selalu mengumbar kepada orang–orang yang resah dengan kebiasaan saya melakukan perjalanan bahwa perjalanan mengasah sisi humanis saya sebagai makhluk sosial dan meleburkan keegoisan saya sebagai manusia. Cukup beralasan ketika orang–orang di sekitar saya sibuk mempertanyakan tujuan hidup saat mereka yang berada di usia saya sibuk bercengkrama dengan bocah dan pusing memikirkan menu makanan di rumah. Sementara hari–hari saya berkutat pada perjalanan dan destinasi apa yang ingin saya tuju.

Foto: Eka Herlina

Saya selalu berujar bahwa perjalanan yang saya lakukan baik ketika melangkah ke luar Indonesia atau sekedar mengunjungi suatu daerah adalah sebagai pembentukan karakter diri agar lebih baik pada kehidupan sosial. Bagaimana menghadapi perbedaan dengan bijak serta soal kemandirian hidup. Perjalanan bagi saya tak ubahnya sebuah sekolah dan orang–orang yang saya temui adalah mata pelajaran. 

Ternyata saya tidak sepenuhnya benar dengan pemikiran egois saya. Saya lupa masih merupakan bagian dari anggota keluarga yang selalu siap menyambut saya dalam keadaan apapun. Saya abai pada kehangatan ruang keluarga dan tawa yang senantiasa pecah dalam kebahagiaan bernama keluarga. Bahwa rumah tidak sekedar masakan Ama yang kerap dirindukan dalam perjalanan.

Pandemi membuat langkah saya terhenti dan kembali berada di rumah dalam waktu yang cukup lama. Perjalanan saya saat ini bernama rumah perlahan mengasah sisi kepekaan saya sebagai manusia. Saya menyadari binar mata kasih sayang ayah saya saat beliau tiba-tiba mengelus lembut kepala saya ketika saya sedang menikmati makan siang. Beranjak dewasa, ternyata di mata seorang ayah, saya tetaplah gadis manja. 

Foto: Eka Herlina

Rumah membuat saya banyak menghabiskan waktu dengan Ama ternyata mencubit hati saya akan sebuah kepedulian. Ama menyisihkan sedikit rezeki yang ia dapat untuk berbagi ke kerabat jauh ayah. Dari Ama saya juga belajar tidak ada kata malu untuk belajar kembali pada hal -hal yang terlupakan. Bersama Ama, saya mulai belajar mengaji membaca Alqur’an dengan baik. Ama mendatangkan seorang guru Tahsin yang usianya lebih dari sepuluh tahun dibawah saya. 

Saya sempat kehilangan momen tumbuh kembang saat beranjak remaja tanpa kehadiran Ama karena mesti merantau ke tempat nenek.  Lebih banyak di rumah, ternyata tak sekedar masakan Ama yang membuat saya berkesan tapi juga celetuk-celetuknya yang mengandung nasehat membuat saya bersyukur pada takdir Allah memiliki ibu yang menakjubkan. 

Pandemi membuat saya jadi mengetahui hal-hal yang mengagumkan dari adik saya. Saya menemui sikap bijak dari sosok adik yang terasa seperti seorang kakak dalam bersikap menghadap sosial kehidupan. Rumah yang terasa asing perlahan menguap kala saya mulai memberanikan diri menebar senyum dari balik masker kepada tetangga. Pandemi membuka mata saya akan hangatnya sebuah perjalanan bernama rumah. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arti Rumah Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arti-rumah-kala-pandemi/feed/ 0 26939