Etzar Diasz, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/etzardiasz/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Dec 2021 06:55:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Etzar Diasz, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/author/etzardiasz/ 32 32 135956295 Bersumpah Berhenti Merokok di Bibir Jonggring Saloko https://telusuri.id/bersumpah-berhenti-merokok-di-bibir-jonggring-saloko/ https://telusuri.id/bersumpah-berhenti-merokok-di-bibir-jonggring-saloko/#respond Tue, 21 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29293 Dari stasiun Senen, kami bertolak ke Malang, Jawa Timur. Kereta api Matarmaja dengan biaya Rp150.000 per orang, akan membawa kami dalam jangka waktu kurang lebih 16,5 jam perjalanan. Setibanya di kota yang dicap sebagai kota...

The post Bersumpah Berhenti Merokok di Bibir Jonggring Saloko appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari stasiun Senen, kami bertolak ke Malang, Jawa Timur. Kereta api Matarmaja dengan biaya Rp150.000 per orang, akan membawa kami dalam jangka waktu kurang lebih 16,5 jam perjalanan. Setibanya di kota yang dicap sebagai kota pendidikan tersebut kami bertemu dengan regu pendaki yang juga berasal dari Jakarta, Indra dan Ical.

Setelah makan siang bersama di alun-alun kota, kami menaiki angkot TA atau Tumpang-Anjung Sari, menuju Pasar Tumpang. Di sekitar Pasar Tumpang, kami menyewa basecamp dan menjadikannya tempat menyimpan barang yang sekiranya tidak diperlukan pada saat melakukan trekking atau pendakian. Basecamp tersebut sudah dilunasi di awal bersama tiket dan simaksi yang sekiranya kurang lebih Rp500.000 selama kurang lebih 5 hari untuk 4 orang.

Tim pendakian/Etzar D

Setelah istirahat sejenak dan melengkapi beberapa kebutuhan lain di pasar tradisional, Pasar Tumpang, kami segera menaiki jip menuju desa terakhir, Ranu Pani. Harga sewa Jeep umumnya Rp650.000 untuk kapasitas 10-12 orang dan memakan waktu 1,5 jam perjalanan. 

Ketika sampai di Ranu Pani, kami hanya tinggal daftar kembali atau sekadar melapor dan menunjukkan bukti pendaftaran serta memberikan KTP dan nomor telepon yang bisa dihubungi tanpa harus mengeluarkan biaya karena sudah dilunasi via online dengan biaya Rp19.000 – Rp24.000 per orang. 

Bertolak dari Ranu Pani kami mulai berjalan kaki sejauh 3 km mengikuti jalur yang telah dibuat khusus ke arah Landengan Dowo yang disambut dengan perkebunan maupun persawahan serta tanjakan-tanjakan kecil yang lumayan menguras tenaga. Perjalanan dari Ranu Pani ke Landengan Dowo bisa memakan waktu 1,5 jam. 

Lalu, kami berjalan kaki lagi sejauh 3 kilometer menuju Watu Rejeng yang bentang alamnya sudah memasuki hutan rimba dan perbukitan. Perjalanan ini juga memakan waktu sekitar 1,5 jam. 

Dari Watu Rejeng kami lanjut lagi sejauh 4,5 km ke Ranu Kumbolo dengan estimasi waktu 2 jam perjalanan naik turun bukit-bukit kecil yang memakan banyak tenaga, tidak heran jika di setiap pos kami akan rehat sejenak. Di jalur ini giliran Ivan yang kondisi tubuhnya melemah. Asmanya kambuh yang membuat kami harus berkali-kali harus rehat di jalur pendakian dan pada akhirnya tiba di Ranu Kumbolo ketika magrib telah usai. 

Di danau indah tersebutlah kami bahu-membahu membangun tenda di tengah suhu yang dingin serta gelap yang indah dikarenakan di angkasa terlihat jelas bintang-bintang bertaburan yang nyaris tidak pernah ditemukan ketika berada di Jakarta. Indah sekali, seperti berada di tepian Danau Telaga atau Danau Lindu di Sulawesi Tengah. 

Seusai memasak dan makan malam bersama, kami segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Kali ini, giliranku yang kondisi tubuhnya tidak baik, aku diserang demam. Menggigil kedinginan, untung saja Rey sigap lalu segera mengobatiku. Ia takut jika aku diserang hipotermia.


Setelah makan siang, perjalanan kembali kami lanjutkan. Danau di belakang kami semakin terlihat indah ketika melihatnya dari jalur Tanjakan Cinta. Mitos yang beredar di kalangan pendaki, apabila mendaki di jalur pendakian ini tanpa istirahat dan menengok ke kanan serta kiri, maka kisah percintaan yang diimpikan bisa terkabul. 

Faktanya, aku hanya bisa merasakan capek dan haus. Tapi soal Ranu Kumbolo yang semakin indah dilihat dari puncak bukit Tanjakan Cinta, itu nyata.

Setelah puas menikmati sajian alam tersebut, kami segera turun menyusuri Oro-oro Ombo, yang merupakan rumah dari tumbuhan Verbena Brasiliensis. Sayang, bunga yang jika mekar berwarna ungu mirip bunga lavender itu sedang tidak mekar. Verbena memang merupakan semak tahunan yang tumbuh dari Januari hingga Agustus. Verbena Brasiliensis berpotensi merusak ekologi karena bunga ini menyerap air sangat banyak dan cepat membuat daerah di sekitarnya kekeringan. Jika perkembangannya tidak dikendalikan, Verbena dikhawatirkan akan menguasai habitat dan menggeser tanaman asli Oro-oro Ombo, juga mengganggu ekosistem.

Sekitar setengah jam kemudian rombongan kami akhirnya tiba di Cemoro Kandang dengan ketinggian kurang lebih 2500 mdpl. Di kawasan ini terdapat spesies bunga daisy. 

Jambangan 2600 mdpl/Etzar D

Kemudian kami lanjut lagi berjalan naik turun bukit selama setengah jam menuju Jambangan di ketinggian 2600 mdpl. Di wilayah ini bunga edelweis terlihat tumbuh liar layaknya tumbuhan lain. Lalu, sesuatu yang membuat hati semakin bergetar ketika melihat  Mahameru dari kejauhan, ia terlihat gagah, aku terpesona. 

Di Jambangan kami bertemu dengan pendaki lain dengan tujuan yang sama. Salah satunya ialah rombongan polisi asal Makassar yang tengah melakukan ekspedisi pendakian bersama yang ternyata di pandu oleh Mas Rochman Pembelot, pendaki yang terkenal dengan ekspedisi 0 rupiah. Puas menikmati suguhan keindahan yang ada, kami lanjut berjalan sejauh 3 km menuju Kalimati. 

Bersama pendaki Rp0/Etzar D

Pos ini berada di ketinggian 2700 mdpl. Terdapat sebuah bangunan serupa dengan yang ada di Ranu Kumbolo. Saat itu yang berkemah di Kalimati cukup ramai, beberapa tenda berdiri dengan warna yang berbeda-beda. Di Kalimati terdapat sumber mata air bernama Sumber Mani, butuh waktu berjalan sekitar setengah jam pulang pergi untuk menuju sumber mata air tersebut. Disarankan pendaki tidak ke Sumber Mani sendirian apalagi pada malam hari karena di wilayah ini masih banyak binatang buas berkeliaran. Sebelum gelap tiba sudah harus berada di area tenda. 

Selesai makan malam bersama, kami segera masuk ke tenda karena udara di luar semakin dingin. Lebih dingin dari ruang kantor berpendingin udara. Karena lelah, kami tertidur cukup lelap dan bangun pada pukul 1 pagi. Inilah pendakian sebenarnya. Tidak ada lagi kata landai seperti yang sudah dilewati sebelumnya. 

Rey dan Ivan sempat mengucapkan kata-kata mundur. Dalam artian, cukup di Kalimati saja. Tidak usah Mahameru. Ivan terlihat ragu, aku pesimis melihat semangat redupnya. Dia semacam racun akan bara semangatku sendiri. Sementara, aku dan Toni yakin bisa berdiri di Puncak Semeru. Seperti yang kita tahu, pendakian resmi Gunung Semeru sebenarnya hanya diizinkan sampai Kalimati. Lebih dari itu, risiko harus pendaki tanggung sendiri jika terjadi sesuatu yang bisa jadi kurang mengenakkan.

“Tidak akan kubiarkan siapa pun yang merusak impianku!” batinku. 

Seusai berdoa bersama, semua pendaki siap untuk summit attack. Setengah jam kemudian, sebelum menembus batas vegetasi, Ivan semakin menunjukkan hal-hal yang seharusnya ia tidak melakukan pendakian. Tiga menit berjalan, istirahat sampai lima menit. Begitu seterusnya, sementara udara semakin dingin dan angin mulai bertiup kencang. 

Ia memintaku untuk segera membawanya turun, tetapi tentu saja aku tidak mau. Usia yang lebih tua tujuh tahun dariku membuatnya seolah menganggap aku pemuda yang tidak bertanggung jawab dan terlalu mementingkan diri sendiri. 

Jujur, aku merasa bersalah, tetapi selain impian, aku mempunyai alasan yang jelas mengapa memilih untuk tetap naik ke puncak. Ia marah besar, tubuh tak berdaya itu ditolong oleh seorang pemuda baik hati, Ical, ia berkorban demi keselamatan dan kebaikan bersama. Aku merasa berhutang budi terhadapnya. 

Sekali lagi, ini bukan hanya soal impian besar atau kesetiakawanan. Memang benar, puncak sebenarnya adalah pulang dengan selamat. Tetapi, pilihan dia sendiri yang membuatku lebih memilih puncak. Andai saja, dari bawah, dari tenda ia memilih untuk tetap tinggal. Mungkin, itu lebih terhormat ketimbang menyusahkan banyak orang di jalur pendakian. Perlahan air mata ini jatuh, jatuh bersama embun dan gerimis di dedaunan. Rasa bersalah ini akan kusimpan selamanya. 

Sementara Rey dan Toni sudah jauh di atas sana, mereka sudah melewati batas vegetasi. Indra menguatkan aku. Di antara rasa takut dan kesedihan yang baru saja dilalui, kami akhirnya berhasil melewati Arcopodo. 

Kabarnya, di wilayah ini pendaki sering menemukan patung tak kasat mata. Hanya pendaki beruntung saja yang bisa melihatnya. Aku dan Indra terus naik, Rey menunggu kami sementara Toni sudah jauh di atas sana. 

Mahameru/Etzar D

Melihat aku dan Rey sedang serius dalam obrolan, Indra segera meninggalkan kami. 

Rey bertanya, “Zar, apa Ivan baik-baik saja? Oh iya, kalau berhasil berdiri di puncak sana, apa yang akan kamu lakukan setelahnya?”  

“Seharusnya sejak tadi di Kalimati, dia sudah menyerah. Jadi tidak ada pihak yang dirugikan. Aku merasa bersalah sekaligus berhutang budi kepada Ical. Untuk itu, aku berjanji setelah ini aku akan lebih mencintai alam ini.”

“Maksudmu? Dengan cara apa? Aku saja tidak yakin akan berhasil berdiri di sana. Kita sama-sama terlihat payah.” 

“Aku bersumpah akan berhenti merokok. Demi nafas yang sesak dan kepentingan menyelamatkan bumi dari asap rokok,” pungkasku. 

Aku dan Rey saling terus berjalan hingga tiba di Mahameru. Aku langsung bersujud syukur. Air mata kembali menetes. Haru biru di Mahameru. Aku dan Rey berpelukan. Aku tidak membawa wanita perkasa itu ke atapnya Pulau Jawa ini, dialah yang membawa dirinya sendiri. Dia bangga, aku pun demikian.

Sejenak merenung, inilah saat yang tepat. Maka kubiarkan mereka semua turun lebih dulu, sementara diri ini berjalan pelan menuju bibir kawah Jonggring Saloko. 

“Demi impian yang telah terwujud ini, wahai pemilik Jonggring Saloko, aku bersumpah akan berhenti merokok demi keselamatan diri dan bumi dari asap rokok!” Pekikku. 

Beberapa saat kemudian kawah itu seakan bergetar dan mengeluarkan asap seakan menerima sumpahku. Aku ketakutan. 

Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di sini karena menghirup zat racun yang berasal dari kawah tersebut. Takut hal itu terjadi kepadaku, aku segera menyusul turun. Padahal hati masih betah di Mahameru.

Setiba di Kalimati, aku segera menemui Ivan yang sedang bersantai di atas hammock lalu segera meminta maaf dan mentraktirnya air minum dan buah semangka segar. “Mendaki gunung adalah sebuah perjalanan spiritual, tidak bisa direkayasa. Sejak turun dari Mahameru, aku putuskan untuk berhenti merokok.” — Etzar D Sastra.

“Mendaki gunung adalah sebuah perjalanan spiritual, tidak bisa direkayasa. Sejak turun dari Mahameru, aku putuskan untuk berhenti merokok.” – Etzar D Sastra. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersumpah Berhenti Merokok di Bibir Jonggring Saloko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersumpah-berhenti-merokok-di-bibir-jonggring-saloko/feed/ 0 29293
Pendaki yang Mengurai Cikuray (2) https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-2/ https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-2/#respond Fri, 30 Apr 2021 13:30:42 +0000 https://telusuri.id/?p=27764 Gunung Cikuray terletak di perbatasan Kecamatan Cikajang, Dayeuh Manggung dan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ada tiga jalur pendakian yang bisa dilalui yaitu via Cikajang, Bayongbong, dan Pemancar di Cilawu.  Pemancar sendiri merupakan jalur yang...

The post Pendaki yang Mengurai Cikuray (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunung Cikuray terletak di perbatasan Kecamatan Cikajang, Dayeuh Manggung dan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ada tiga jalur pendakian yang bisa dilalui yaitu via Cikajang, Bayongbong, dan Pemancar di Cilawu. 

Pemancar sendiri merupakan jalur yang paling sering dilalui oleh para pendaki. Selain jalurnya yang terkenal ramah, juga paling mudah dalam urusan transportasi. Namun meski demikian, ini adalah jalur terpanjang. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mendaki relatif lebih lama dibandingkan jalur lain.

Rata-rata pendaki mencapai puncak Cikuray membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam. Tergantung lamanya beristirahat, serta kecepatan perjalanannya. 

Kami memulai petualangan setelah melewati Pemancar. Setapak demi setapak trek perlahan menanjak. Perjalanan melewati kebun teh di Pemancar sekitar 30 menit lamanya. Setelah itu baru memasuki hutan yang teduh. Kondisi tanah masih terlihat gersang.

Suasana di Puncak Cikuray/Etzar

Dari mulai Pos 1 hingga Pos 8, jalur yang dilalui selalu membuat dagu dan lututku beradu karena saking menanjaknya tanjakan yang ada. Nafasku sudah tak bisa dipacu dengan teratur lagi, ditambah kaki yang mulai terasa keram.

Jalur pendakian di Gunung Cikuray sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tanjakan di gunung lain. Kadang kita disuguhi dengan jalur yang curam dengan akar pohon yang kuat meski kadang terkesan licin sehingga harus ekstra hati-hati. Istimewanya, pendaki cukup terlindung dari sinar matahari karena jalur yang dipayungi rimba.

Ketika kami tiba di Pos 4 atau di Pos 5 terlihat seekor ‘bagas’, atau babi ganas. Hewan liar ini cukup populer di Cikuray. Tidak jarang para pendaki ketakutan jika hewan ini mendekat. Tapi tenang, mereka hanya sekumpulan hewan yang kelaparan.

Cukup disayangkan, Cikuray merupakan salah satu gunung terjorok yang pernah kulihat. Bagaimana tidak, sampah-sampah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah selama pendakian. Mulai dari botol plastik, kemasan permen, celana dalam bekas hingga pembalut bekas bisa ditemukan di beberapa sudut jalur pendakian. Ulah dari para pendaki abal-abal. 

Tidak terasa, hari mulai petang, setelah diguyur hujan ringan, beberapa tanjakan lagi kami akan segera tiba di puncak. Kami memang tipe penikmat perjalanan, terkesan santai namun tidak menyesal jika harus kemalaman sebelum mencapai puncak.

“Jangan melamun, yuk lanjut! Puncak sudah di depan mata.” Bisik Dimas.

Inilah aku, imajinasi ini terlalu liar. Sehingga di dalam kondisi seperti itu seakan aku berada di dalam film horor. Bukan tidak mungkin, sekelebat bayangan hitam baru saja lewat di sisiku itu adalah makhluk halus. Kami pun segera melanjutkan pendakian yang tinggal beberapa menit saja.

Sesampainya di puncak, terlihat ada beberapa tenda berdiri, suasana cukup ramai. Uniknya, terdapat seorang pedagang gorengan yang berteriak sambil menjajakan dagangannya. 

Dimas segera mencari lokasi untuk membuat tenda. Karena penuh, kami hanya bisa mendirikan tenda tidak begitu jauh dari bibir jurang. Cukup berbahaya, apalagi Puncak Cikuray merupakan lahan kosong yang hanya terdapat semak-semak rendah. Dikhawatirkan bila terjadi badai, tenda akan beterbangan. Mungkin, hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi para pendaki terdahulu untuk membangun sebuah pos seukuran pos satpam di puncak tersebut.


Foto pendakian Cikuray/Etzar

Pagi telah membelah gulitanya malam. Aku terbangun di sebelah Dimas. Sementara Sherli berada di tenda sebelah. Perlahan bangkit, lalu keluar dari tenda untuk menyambut sang mentari. Beberapa pendaki lain terlihat sibuk berswafoto. Tak lama, setelah itu Dimas muncul dengan kopi di tangan kanannya.

“Yuk kita sarapan dan segera berfoto, sebentar lagi kita harus sudah turun. Pendaki lain tampak berkemas, bahkan ada yang sudah turun. Oh, iya, Zar, jangan lupa bawa turun sampah kita ya. Biar aku yang bawa tenda dan barang berat lainnya.” ucapnya.

“Pastilah, dengan senang hati, kawan.” Ucapku. 

“Terima kasih, Zar.” 

“Tapi ingat, jangan melamun lagi di jalur pendakian.” Bisiknya. 

Hal lain yang masih membuatku tidak tenang ialah sesuatu yang menimpaku saat perjalanan turun. Aku memiliki kelebihan yang belum tentu bisa dimiliki orang lain, namun dampaknya, aku yang harus menanggungnya sendiri.

Seperti kebanyakan pendaki, awal turun gunung terasa mengasyikkan, karena butuh berjam-jam untuk naik, namun cukup singkat ketika turun. Tapi, sesuatu yang membuatku takut akan segera terjadi. Si bagas, dia benar-benar datang lagi. Kali ini lebih ganas dan hendak mengganggu kami. 

Maka dengan sigap kulemparkan sebuah tongkat yang ada di genggaman, lalu mengejarnya. Babi itu lari dan masuk ke dalam hutan. Namun, hal buruk segera terjadi. Pergelangan kaki ini seakan patah, aku sempat terkilir. Mungkin salah urat atau sejenisnya. Sangat sakit dan diri ini harus menahannya sampai tiba di Jakarta. 

Bayangkan saja ketika turun gunung dengan kaki yang sakit penuh debu, bahkan kesulitan untuk menyeimbangkan diri, aku juga sempat terjatuh. Rasanya seperti baru pulang dari medan perang. Babak belur. Tapi, untunglah risiko yang kualami hanya sekadar sakit di kaki. Bukan hal lain yang bisa membahayakan nyawa.

The post Pendaki yang Mengurai Cikuray (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-2/feed/ 0 27764
Pendaki yang Mengurai Cikuray (1) https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-1/ https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-1/#respond Thu, 29 Apr 2021 08:51:05 +0000 https://telusuri.id/?p=27750 Garut, kota yang sudah lama ingin aku kunjungi. Pas sekali, kabar gembira datang dari rekan rimbawan yang sudah lama aku kenal, mereka merupakan dua bersaudara beda ayah juga beda ibu. Bagaimana bisa? Ya memang bisa,...

The post Pendaki yang Mengurai Cikuray (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Garut, kota yang sudah lama ingin aku kunjungi. Pas sekali, kabar gembira datang dari rekan rimbawan yang sudah lama aku kenal, mereka merupakan dua bersaudara beda ayah juga beda ibu. Bagaimana bisa? Ya memang bisa, karena adanya ikatan tali persahabatan. Mereka adalah Sherli dan Dimas. 

Awal kisah pertemuan kami berawal dari pendakian di Mahameru. Berkenalan di Oro-Oro Ombo, satu tenda di Kalimati, dan bersenda-gurau di tepian Ranu Kumbolo. 

Jelas saja, aku yang tadinya sedang tiduran di ruang tamu sambil menulis cerita pendek tentang pendakian di Gunung Raung langsung meraung saking bersemangat karena bersama mereka, aku akan mencoba mengurai Cikuray!


Waktu yang dinanti tiba. Aku menjemput sang fajar. Sebenarnya bangun pagi bukan rutinitas bagi diri ini yang lebih aktif menulis di tengah malam dan tidur di pagi hari. Namun, demi perjalanan yang dinanti, tidak ada salahnya jika harus bangun lebih awal. Setelah mandi dan sarapan, barulah aku menuju stasiun kereta listrik atau KRL terdekat.

Setiba di Stasiun Manggarai, dari jauh tengah berdiri di tepian peron seorang wanita berkerudung putih. Ia melambaikan tangan ke arahku. Dengan penuh hati-hati aku segera menyeberang jalur, di sekitar kami lalu-lalang warga setempat yang sibuk dengan tujuan mereka masing-masing cukup membuatku harus lebih cekatan agar segera berdiri di hadapan Sherli. 

“Maaf, aku telat. Tadi agak macet.” Ujarku sembari mengatur napas.

Ia hanya tersenyum lalu mengajakku untuk duduk sejenak sembari menurunkan ransel besar yang sejak tadi setia berada di pundaknya.

“Bawa tenda, kan?” Tanyanya.

“Waduh, iya sih, bawa. Hehehe.”

Beberapa saat setelah kami ngobrol, kereta jurusan Tanah Abang tiba. Kami kembali bersiap-siap lalu berdiri di dekat peron untuk masuk ke dalam gerbong. Beberapa kali transit dan malah sempat salah jurusan, sebelum akhirnya kami berhenti di stasiun di mana Dimas menunggu dengan sabar.

Ketika keluar dari gerbong, hari sudah mulai sore. Hal ini dikarenakan kereta penuh dan sempat salah jurusan. Stasiun Tanah Abang memang terkenal cukup sibuk. Jika tidak pandai bertanya, tentu akan bernasib sama seperti kami.

“Kita dengan sangat terpaksa harus naik truk sayur, kereta jurusan ke Garut sudah pergi, dan akan ada lagi di esok hari.” Ujar lelaki berbadan tinggi itu. 

“Maaf Dim, tadi memang benar-benar kereta penuh, sulit untuk ditembus.” Ucapku.

Pria itu hanya mengangguk pelan lalu mengajak kami untuk segera menuju sebuah pasar malam tempat di mana truk yang dimaksud berada.


Sopir truk sayur kembali mengecek para penumpang, kami segera melakukan transaksi. Upah untuknya memang lebih murah, kira-kira Rp35.000-50.000/orang, tergantung banyaknya barang bawaan. Jika naik kereta atau bus mungkin akan memakan biaya perjalanan lebih dari Rp150.000/orang. Namun harga yang kami bayar ini sesuai dengan keadaan yang semestinya.

Perjalanan dimulai dari pukul 01.00 malam dan kami akan tiba di pusat Kota Garut ketika pagi tiba, dalam bak truk terbuka, dan dalam kondisi duduk berdempetan dengan warga lain beserta barang bawaan termasuk dua unit sepeda motor. Namun, begitulah sebuah perjalanan, kawan. Petualangan tidak akan indah jika semuanya berjalan begitu lancar. Jadi mari nikmati saja!

Foto pendakian Cikuray/Etzar

Truk tiba di pusat Kota Garut pukul 06.00, sesuai dengan perkiraan. Kami segera turun di sekitar pasar untuk mencari sarapan sambil menunggu mobil pemandu menjemput. Bubur ayam dan teh tawar panas mampu membuat stamina kembali pulih. Tidak lupa kami melengkapi segala kebutuhan pendakian. Sebuah swalayan kami masuki dengan berbekal Rp100.000 dari uang patungan.

Beberapa saat kemudian, mobil bak terbuka menghampiri, seorang pemuda dengan tutur kata sopan mengajak kami untuk segera naik ke bak mobil yang kali ini berukuran kecil tetapi cukup untuk membawa kami bertiga untuk sampai di Pos Pemancar. Ongkosnya hanya Rp100.000 untuk berangkat dan pulang nanti.

Lalu di persimpangan jalan terlihat 3 orang pendaki lain yang ingin menumpang. Maka kami menjadi 6 orang. Ketiga pemuda itu ialah Sadam, Ragil, dan Yoyo. Mereka berasal dari Bogor. Kami pun menemukan teman baru yang bisa diajak bercanda dan bercerita.

Kurang lebih terdapat 2 hingga 3 Pos Registrasi yang kami lalui, semuanya menarik biaya. Selama ini, rasa-rasanya baru kali ini membayar retribusi pendakian lebih dari satu kali. Memang tidak mahal, hanya Rp25.000 saja, namun nggak habis pikir aja sih, kenapa harus berturut-turut melapor di pos yang berbeda dan mengapa mengapa harus membayar di setiap pos tersebut. Padahal sejak dari pos pertama, biaya pendakian sudah kami bayarkan.

Tapi sudah, begitulah sebuah perjalanan.

The post Pendaki yang Mengurai Cikuray (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendaki-yang-mengurai-cikuray-1/feed/ 0 27750
Meraung di Ruang Raung https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/ https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/#respond Fri, 05 Mar 2021 11:45:21 +0000 https://telusuri.id/?p=27299 Ini adalah kisah perjalanan kami, tiga pendaki yang mendambakan berdiri di Puncak Sejati 3344 mdpl. Saya—Etzar, Sherly, dan Dimas. Kami bertiga berasal dari daerah yang berbeda, saya berasal dari Jakarta Selatan, Sherly dari Sukabumi dan...

The post Meraung di Ruang Raung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah kisah perjalanan kami, tiga pendaki yang mendambakan berdiri di Puncak Sejati 3344 mdpl. Saya—Etzar, Sherly, dan Dimas. Kami bertiga berasal dari daerah yang berbeda, saya berasal dari Jakarta Selatan, Sherly dari Sukabumi dan Dimas dari Tangerang. Perkenalan kami dimulai ketika bertemu di jalur pendakian Gunung Semeru pada Oktober 2018 silam. Sebenarnya bukan hanya bertiga yang ingin mendaki ke Gunung Raung, ada lebih dari 8 orang. Hanya saja, dikarenakan teman-teman yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing, maka hanya kami yang siap bertualang di gunung yang terkenal dengan jalur terekstrim tersebut. 

Setelah beberapa lama menunggu di Stasiun Pasar Senen, Sherly dan Dimas pun tiba, kami segera masuk ke dalam stasiun untuk menunggu kereta yang akan membawa kami ke Stasiun Gubeng, Surabaya. Estimasi perjalanan kurang lebih 9 jam. Setelah tiba di stasiun yang dituju, kami masih harus menunggu kereta menuju Stasiun Kalibaru, stasiun terdekat basecamp pendakian Raung. Dikarenakan keterangan waktu di arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul 2 pagi, maka kami segera keluar dari Stasiun Gubeng untuk mencicipi jajanan lokal di warung yang kebetulan buka sepanjang hari.

Pukul 5 pagi, kereta yang ditunggu telah tiba. Dengan suka cita kami kembali ke dalam Stasiun Gubeng untuk melanjutkan perjalanan ke Kalibaru.  Entah bagaimana, saya pikir dekat. Tapi ternyata, ini kisah petualangan saya paling lama dan terpanjang menggunakan kereta api.

Kereta tiba pada pukul 10:30 waktu setempat. Di stasiun kecil tersebut dari jauh terlihat bukan hanya Gunung Raung yang gagah, tetapi terlihat beberapa orang lelaki, tukang ojek, yang siap mengantar kami ke pasar untuk berbelanja segala kebutuhan dan pergi ke basecamp Alas Raung. 

Gunung Raung berjenis Stratovolcano atau gunung berapi kerucut, tercatat terakhir meletus pada tahun 2015 lalu. Secara geografis Gunung Raung tercatat masuk dalam wilayah 3 kota di Jawa Timur, yakni Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Sejak tahun 2018, tepatnya setelah insiden seorang pendaki terjatuh dari tebing dan meninggal dunia, pendakian Gunung Raung wajib menggunakan jasa pemandu.

Kami berangkat selepas salat jumat dengan didampingi 2 pemandu, yaitu Bejo dan Rio. Dari basecamp, kami berlima melakukan pendaftaran sebelum naik ojek menuju Pos 1. Kami melewati 30 menit awal perjalanan pertama di perkebunan kopi dan kakao. Perjalanan pun dimulai, benar-benar jalan kaki. Ya namanya juga mendaki gunung.

Pos 1 dikenal dengan nama lain Pos Mbah Sunarya. Pos ini berupa sebuah rumah kayu sederhana milik Mbah Sunarya yang merupakan rumah terakhir di kawasan tersebut. Begitu tiba, kami disuguhi minuman selamat datang, adalah kopi khas Raung yang diolah sendiri oleh Mbah Sunarya. Beliau juga menjual versi bubuknya seharga Rp20 ribu dalam wadah plastik.

Pukul 09:30 kami memulai pendakian. Perjalanan dari rumah Mbah Sunarya ke Pos 4 memakan waktu setidaknya 5 jam. Selama perjalanan kami melewati perkebunan kopi dan kakao yang dikelola warga, hingga tengah perjalanan antara Pos 3 ke Pos 4 ada sebuah gerbang pembatas alami dari dua buah pohon untuk menandakan masuk kawasan hutan, saya menyebutnya “pintu rimba”. 

Di wilayah ini kekayaan flora dan fauna masih beragam. Kami menemukan buah juwet/jamblang, atau jambu keling (Syzygium Cumini) hampir di sepanjang jalan Pos 3 ke Pos 4. Kami juga bisa mendengar suara burung-burung endemik, kotoran luwak pemakan kopi di tengah jalan setapak. 

Umumnya, pendaki mendapat pilihan bermalam di Pos 4 atau Pos 7. Mereka yang sudah terlatih dan punya stamina prima akan membangun tenda di Pos 7 dan bermalam di sana. Namun, seperti yang saya tahu, lebih banyak pendaki yang memilih bermalam di Pos 4. Kedua lokasi ini dipilih karena punya ruang cukup luas untuk mendirikan tenda.

Mendaki Gunung Raung
Ruang Raung/Etzar Diasz

Ketika tiba di Pos 4 hujan menyambut rombongan kami, saya menggigil, lalu teman-teman segera membangun tenda dan kami bermalam di situ. Porter tenda dan logistik pun mendirikan tenda.

Singkat cerita, besoknya pukul setengah 8 pagi kami bergerak menuju Pos 5, Pos 6 dan Pos 7 dengan jarak tempuh lebih kurang 3,5 jam. Pos 7 dipilih sebagai camp transit terakhir sebelum summit attack. Kami bertemu pendaki lain di sini, baik yang berangkat hampir bersamaan atau yang baru turun dari arah puncak.

Tak sedikit pendaki bermalam lagi di sini usai kembali dari puncak untuk menghimpun tenaga atau sekadar menikmati pemandangan. Kata Mas Rio, nama “Raung” diilhami bunyi angin yang meraung-raung bak suara mobil balap di lintasan sirkuit. 

Normalnya pendakian menuju puncak, dimulai jam 1 atau 2 dini hari. Sekitar jam 8 malam, badan yang lelah segera membuat kami terlelap meskipun suhu udara sangatlah dingin. Bunyi alarm membangunkan kami pukul 12 malam. Kami bergegas memasak air, menyeduh segelas kopi, dan membuat makanan ringan. Setelah berdoa bersama, kami pun siap memulai perjalanan ke puncak.

Dini hari itu, Mas Bejo dan Mas Rio menyarankan kami untuk segera memakai helm, headlamp, dan jaket dengan windstopper karena di angin berhembus kencang. Tepat 5 menit sebelum sunrise kami tiba di Pos 9, batas vegetasi terakhir. Di sini kami bertemu dengan rombongan open trip lain sebanyak 7 orang. 

Setelah memasang perlengkapan mountaineering seperti body harness, figure of 8, dan carabiner, kami berjalan mendaki menuju puncak pertama, Puncak Bendera. Di puncak ini terdapat sebuah bendera merah putih yang tiang besinya usang. Di sini, kami menikmati matahari pagi yang baru saja memperlihatkan dirinya, ditemani hembusan angin.

Saya segera mencium bendera itu, ada tetesan air mata ketika mengecupnya. Entahlah, saya menganggap puncak tersebut merupakan titik sejati dari pendakian ini. Atau, bisa jadi hanya euforia. Kalau cuaca cerah, dari sini para pendaki bisa melihat Gunung Semeru dan Gunung Argopuro.

Tujuan kami selanjutnya adalah Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati. Gunung Raung sebenarnya memiliki 4 puncak. Satu puncak yang lain adalah Puncak 17 yang berlokasi di antara Puncak Bendera dan Puncak Tusuk Gigi. Berhubung belum turun kabut dan angin tidak begitu kencang, bersama pendaki lain kami segera bergegas ke Puncak 17. Di sini kami hanya sebentar.

Dari Puncak 17, kami kemudian melewati Jembatan Shiratal Mustaqim, banyak orang menyebutnya jalur maut karena jurang dalam berada di sisi kanan-kirinya. Kunci untuk berjalan di sini adalah fokus memperhatikan jalan berpasir dengan kerikil vulkanik yang bisa jadi membuat kita terpeleset. Selain itu kita juga harus menunduk ketika angin kencang menerpa. Di rute inilah skill dan kematangan emosi kita diuji. Tak jarang nyawa kita hanya bergantung pada peralatan mountaineering yang digunakan. 

Kami harus disiplin mematuhi arahan Mas Bejo, kapan harus memasang carabiner di tali karmantel yang telah dipasang oleh pemandu saat membuka jalan sebelumnya, kapan harus rappelling turun dan naik, dan bagaimana posisi badan kita saat melewati tebing yang curam. Termasuk bagaimana koordinasi kaki dan tangan saat memanjat tebing berbatu bak bouldering. Hal yang tak dapat saya lupakan, dari jauh terlihat awan yang sangat indah di bawah kami.

Setelah berjalan, mendaki, dan memanjat bebatuan terjal selama 2,5 jam kami sampai di Puncak Tusuk Gigi. Di titik ini, saya kembali teringat ketika pada pendakian ke Puncak Mahameru setahun yang lalu, perbedaannya hanya di estimasi waktu saja. Benar-benar melelahkan.

Mendaki Gunung Raung
Puncak Tusuk Gigi/Etzar Diasz

Di sini banyak bebatuan vulkanik lancip berukuran besar, menjulang ke segala sisi bak tusuk gigi jika dilihat dari kejauhan. Sebenarnya antara Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati hampir berada pada ketinggian yang sama dan saling berdekatan. Sehingga para pendaki dapat memilih puncak mana duluan yang mau didaki.

Sepuluh menit kemudian akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak tertinggi Gunung Raung, yakni Puncak Sejati (3344 mdpl). Di puncak ini kami melihat kaldera kering seluas 750 x 2250 meter berbentuk elips dengan kedalaman 500 meter dan berwarna gelap. Di tengahnya masih terdapat lubang besar menganga dengan kepulan asap yang menunjukkan bahwa gunung ini masih aktif. Kaldera ini merupakan yang kaldera kering terbesar kedua se-Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.

Puas rasanya setelah susah payah mendaki akhirnya tiba juga di puncak tertinggi Gunung Raung. Kami pun bersantai, berswafoto, dan menikmati makanan ringan sambil beristirahat. Tanpa pikir panjang, aku langsung berteriak di bibir puncak tersebut. Tentu setelah mendapat izin dari Mas Bejo, hanya tiga kali, yaitu takbir. Di titik ini, suara saya meraung di ruang Raung. 

Mendaki Gunung Raung
Puncak Sejati/Etzar Diasz

Tak berapa lama, kami masih harus turun kembali menuju Pos 7 dan bermalam di sana. Normalnya paket perjalanan ke Gunung Raung dari jalur Kalibaru, Banyuwangi, ditempuh selama 3 hari 2 malam. Namun bagi yang sudah terlatih dengan energi prima dapat menempuhnya dengan 2 hari 1 malam.

Tak sedikit pula yang memilih pendakian selama 4 hari 3 malam. Hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah ketersediaan logistik terutama air, mengingat di jalur ini tidak terdapat sumber mata air sama sekali. Perlengkapan mountaineering dan arahan pemandu akan sangat berguna terutama sepanjang Pos 9 menuju Puncak Sejati. Juga perlengkapan yang mumpuni mulai dari jaket technical outdoor yang layak hingga sleeping bag dan tenda yang sanggup menahan terpaan angin yang meraung-raung.

Gunung membuat kita sadar bahwa jalan yang kita tempuh tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mendaki gunung itu tidak mudah, butuh mental dan fisik yang kuat. Semua perjuangan, usaha, dan kerja keras tidak akan sia-sia setelah kita berhasil mencapai puncak, melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumi ciptaan Tuhan. Meski begitu, puncak bukan segalanya.

Perjalanan ini memberikan kami banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Mendaki gunung adalah saat kita berjuang melawan diri kita sendiri. Saat kita memutuskan untuk menyerah di tengah jalan dalam kondisi tersulit, atau melanjutkan apa yang telah kita rencanakan jauh hari. Dan saat kita berhasil mengalahkan segala keluh kesah, ego, rasa ingin menyerah hingga tiba di puncak dan terpenting kembali lagi ke rumah dengan selamat, saat itulah kita merasa menang. Karena rumah merupakan puncak yang sesungguhnya.

The post Meraung di Ruang Raung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/feed/ 0 27299