Fandy Hutari, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/fandy-hutari/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 May 2025 12:26:24 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Fandy Hutari, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/fandy-hutari/ 32 32 135956295 Jejak Raja Gula dari Semarang https://telusuri.id/jejak-raja-gula-dari-semarang/ https://telusuri.id/jejak-raja-gula-dari-semarang/#respond Thu, 29 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47264 Pada Juni 2022, saya menyusuri Kota Lama di Semarang, Jawa Tengah yang penuh dengan gedung-gedung peninggalan kolonial. Saya penasaran dengan gedung milik Oei Tiong Ham, saudagar yang dikenal dunia sebagai raja gula. Untuk menyusuri Kota...

The post Jejak Raja Gula dari Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Juni 2022, saya menyusuri Kota Lama di Semarang, Jawa Tengah yang penuh dengan gedung-gedung peninggalan kolonial. Saya penasaran dengan gedung milik Oei Tiong Ham, saudagar yang dikenal dunia sebagai raja gula.

Untuk menyusuri Kota Lama, demi mendapat kisah di balik gedung-gedung tua itu, saya meminta bantuan seorang pemandu wisata di sana, Aziz Nurkhusyaini. Kami janji bertemu di sebuah minimarket, tak jauh dari area Kota Lama. Dia lantas mengajak saya berkeliling.

Jejak Raja Gula dari Semarang
Pemandu wisata Kota Lama, Aziz, menunjukkan brankas peninggalan Oei Tiong Ham/Fandy Hutari

Riwayat Oei Tiong Ham

Di Semarang, nama Oei Tiong Ham seakan sudah menjadi legenda sebagai pengusaha sukses berjuluk Raja Gula. Mendengar nama itu, orang-orang langsung teringat pada bisnis gula.

Oei Tiong Ham kelahiran Semarang, 19 November 1866. Dalam buku Liem Tjwan Ling berjudul Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang, ayah Tiong Ham adalah seorang imigran yang meninggalkan Tiongkok pada 1858 ke Semarang lantaran meletus pemberontakan Taiping yang gagal.1

Tahun 1863 di Kota Atlas (julukan Semarang), ayahnya, Oei Tjie Sien, mendirikan firma Kian Gwan, yang berarti sumber dari seluruh kesejahteraan. Perusahaan itu bergerak dalam perdagangan produk khas dari Tiongkok serta mengekspor gula, tembakau, gambir, dan kemenyan ke Tiongkok. Berlanjut bisnis perdagangan antarpulau hingga antarnegara.

Di usianya yang baru 24 tahun pada 1890, Oei Tiong Ham memimpin perusahaan tersebut. Diperkirakan, antara 1890 dan 1904, perusahaan itu meraup untung sekitar 18 juta gulden dari perdagangan opium, yang menjadi peletak dasar berdirinya kerajaan bisnis tersebut.

Seiring perkembangan perusahaan, gula lantas menjadi komoditas penting penggerak roda bisnis keluarga Tiong Ham. Dominasi bisnis gula bertumbuh kala Tiong Ham mengambil alih lima pabrik gula, yaitu pabrik gula Pakis di Pati (1894); pabrik gula di Tanggulangin, Sidoarjo (1897); pabrik gula di Rejoagung, Madiun (1899); pabrik gula di Ponen, Jombang (1908); dan pabrik gula di Krebet, Malang (1908).

Dengan demikian, Tiong Ham menguasai 60% produksi gula di Jawa. Bisnisnya kian maju karena Perang Dunia I meletus pada 1914–1918. Akibatnya, negara-negara Eropa membutuhkan impor keperluan sehari-hari, utamanya gula, dari Dunia Timur.

Sebelumnya, tahun 1893, perusahaan diubah namanya menjadi NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Pada 1910, perusahaan itu membuka cabang di London, Inggris. Selanjutnya menyusul di Amsterdam (Belanda), New York (Amerika Serikat), serta Kalkuta dan Karachi (India).

Seiring waktu, nama perusahaan berubah menjadi Oei Tiong Ham Concern. Kemudian menjelma menjadi perusahaan dagang raksasa, yang meliputi Bank Vereeniging Oei Tiong Ham, pabrik-pabrik gula, perusahaan kapal Heap Eng Moh, NV Midden Java Veem, Soen Bie Kongsie, dan sebagainya.

Kala itu, Tiong Ham pun dekat dengan pejabat-pejabat kolonial. Ketika hingga akhir abad ke-19 di Hindia Belanda orang-orang Tionghoa tidak diizinkan memakai pakaian gaya Eropa, Tiong Ham adalah pengecualian. Dia orang Tionghoa pertama yang diperbolehkan memakai pakaian bergaya Eropa. 

Menurut sejarawan Mona Lohanda,2 pemerintah kolonial mengangkat Tiong Ham menjadi Kapitan Cina di Semarang pada 1898. Kapitan adalah gelar untuk para petinggi di kalangan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara. Namun, jabatan tersebut cuma dipegang kurang lebih dua tahun. Tiong Ham minta dibebastugaskan. Sebab, dia sibuk mengurus perusahaan. Belanda lalu memberikan pangkat kehormatan Mayor kepadanya.

Pada 1921, Tiong Ham memilih meninggalkan Hindia Belanda, lalu menyingkir ke Singapura. Perkaranya, karena dia diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi. Di Singapura, dia berstatus tanpa kewarganegaraan karena tak melaporkan diri pada legatie Belanda dan tidak masuk menjadi warga negara Inggris, yang kala itu menjajah Singapura. Pada 6 Juli 1924, Tiong Ham meninggal dunia.

Kisah Oei Tiong Ham Concern berakhir pada Juli 1961.3 Saat itu, pengadilan ekonomi Semarang memberikan voin in absentia kepada tujuh pemegang sahamnya. Vonis itu diberikan usai sebelumnya pemilik saham absen dalam persidangan dengan tuduhan perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan valuta asing.

Selanjutnya, pada Oktober 1964, pemerintah membentuk PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Radjawali Nusantara atau PT Radjawali Indonesia untuk mengelola aset-aset Oei Tiong Ham Concern.

Jejak Raja Gula dari Semarang
Bekas kantor Oei Tiong Ham Concern di Kota Lama/Fandy Hutari

Tiong Ham Mati Meninggalkan Gedung

Beberapa bangunan warisan Oei Tiong Ham masih bisa kita lihat di Kota Lama Semarang. Salah satunya bangunan yang kini menjadi Restoran Pringsewu. Menurut pemandu wisata Kota Lama, Aziz, bangunan ini dahulu adalah kantor pertama firma Kian Gwan.

Ketika saya menyusur ke dalam, ada dua brankas besar peninggalan Tiong Ham. Brankas terbuat dari besi itu, untuk menarik pintunya saja sangat berat. Dahulu, firma Kian Gwan menyimpan uang dan emas di brankas tersebut.

Saya dan Aziz kemudian berjalan lagi ke Jalan Kepodang. Di sini, ada bekas kantor Oei Tiong Ham Concern. Bangunan ini mulai difungsikan pada awal 1930-an, di bawah kendali putra Tiong Ham, yakni Oei Tjong Hauw. Dirancang arsitek Tionghoa bernama Liem Bwan Tjie, bangunannya sangat megah dan modern, dengan banyak kaca. Kantor itu digunakan sebagai kantor Bank Vereeniging Oei Tiong Ham. Sekarang sudah dijadikan kantor PT Rajawali Nusindo dan marketing PT Pharos.

Lalu, menurut dosen arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Choirul Anam, bangunan yang sekarang menjadi Hero Coffe dahulu adalah kantor pusat firma Kian Gwan.4 Akan tetapi, bangunan ini pada 1930-an merupakan kantor Yokohama Specie Bank (YSB).5

Jejak Raja Gula dari Semarang
Gedung Soesman Kantoor di Kota Lama Semarang/Fandy Hutari

Tak jauh dari Hero Coffee, ada bangunan Soesman Kantoor, yang menurut Choirul Amin dibangun pada 1866. Dia menulis, jedung itu merupakan milik Kian Gwan Concern, yang menjadi kantor ekspor dan impor.

Gedung itu pernah digunakan sebagai kantor pusat perusahaan importir NV Soesman & Co, yang didirikan A.E. Soesman pada 1835. Lantas pada 1898, Soesman & Co berubah menjadi perusahaan patungan bernama Soesman’s Emigratie, Vendu, en Commissie Kantoor. Dalam versi Dewi Yuliati dkk, tidak pernah disebutkan bangunan yang sekarang menjadi Hero Coffee dan Soesman Kantoor adalah peninggalan Tiong Ham.6

Di sebelah Soesman Kantoor, ada gedung yang menurut Choirul dibangun pada 1921. Bangunan yang dinamakan Monod Diephuis tersebut adalah milik Tiong Ham yang diberi dari Belanda. Dahulu dipakai sebagai kantor asuransi Monod milik Tiong Ham.

Sementara dalam tulisan Dewi Yuliati dkk, gedung tersebut milik perusahaan makelar H.J. Monod de Froideville Co. Tahun 1922, perusahaan itu melakukan merger dengan Diephuis en Fehr en Co, lalu menggunakan nama baru, yakni Monod, Diephuis & Co.

Setelah berkeliling menelusuri Kota Lama, Aziz memberikan informasi yang menarik. Katanya, ada bangunan lain di luar Kota Lama, yang dahulu merupakan rumah Tiong Ham. 

Berbekal alamat singkat yang diberikan Aziz, saya mencari rumah itu. Tibalah saya di depan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 3 Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Kyai Saleh, Semarang.

Jejak Raja Gula dari Semarang
Kantor OJK yang dahulu rumah Oei Tiong Ham di Semarang/Fandy Hutari

Dari trotoar, saya menyaksikan halaman yang begitu luas, juga bangunan tua yang megah. Rumah Tiong Ham ini dikenal orang dengan sebutan Istana Balekambang atau Istana Gergaji. Inilah rumah peninggalan taipan kaya raya Tiong Ham yang sangat luas. Di salah satu gerbangnya masih terdapat tulisan “Rumah Sembahyang Keluarga Oei”, yang cukup menandakan kantor tersebut dahulu benar-benar warisan Tiong Ham.

Bangunan ini hanya sebagian dari seluruh kawasan sekitarnya yang juga milik Tiong Ham, seluas 8,5 hektare. Di bagian belakang, dahulu ada taman yang sangat luas, difungsikan sebagai kebun binatang pribadi Tiong Ham.

Matahari mulai terbenam. Senja mengantarkan saya pulang ke penginapan. Anak-anak masih asyik berlarian di depan rumah megah itu, yang barangkali mereka tidak tahu, dahulu itu adalah istana sang Raja Gula.


  1. Liem Tjwan Ling, “Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019). ↩︎
  2. Mona Lohanda,“The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942”, (Ann Arbor: ProQuest, 1994). ↩︎
  3. Dewi Yuliati, Endang Susilowati, dan Titiek Suliyati, “Riwayat Kota Lama Semarang dan Keunggulannya sebagai Warisan Dunia”, (Semarang: Sinar Hidoep, 2020). ↩︎
  4. Amin, Choirul, “Jejak Bangunan Oei Tiong Ham di Kota Lama Semarang”, (Jurnal Sarga, 27 Maret 2020). ↩︎
  5. Dewi Yuliati et al, op. cit. ↩︎
  6. Ibid. ↩︎

Foto sampul: Potret Lukisan Oei Tiong Ham (Koleksi Peranakan Museum Singapura)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Raja Gula dari Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-raja-gula-dari-semarang/feed/ 0 47264
Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/ https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/#respond Mon, 19 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47068 Saya cukup beruntung. Setelah berkeliling Kota Malang, Jawa Timur, saya bisa mengunjungi Museum Musik Indonesia pada Mei 2023, sebelum museum itu pindah lokasi. Sebab, di lokasi yang ditempati Museum Musik Indonesia saat itu, gedungnya memuat...

The post Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya cukup beruntung. Setelah berkeliling Kota Malang, Jawa Timur, saya bisa mengunjungi Museum Musik Indonesia pada Mei 2023, sebelum museum itu pindah lokasi. Sebab, di lokasi yang ditempati Museum Musik Indonesia saat itu, gedungnya memuat kisah lain yang tak kalah menarik.

Berada di lantai dua Gedung Kesenian Gajayana, Jalan Nusakambangan, Malang, Museum Musik Indonesia menyewa tempat yang tidak terlalu besar untuk sebuah museum. Saat masuk, banyak rak yang berisi kaset-kaset, piringan hitam, dan CD.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Tampak depan Gedung Kesenian Gajayana di Malang saat masih ditempati sebagai Museum Musik Indonesia/Fandy Hutari

Koleksi Hasil Sumbangan 

Usman, salah seorang perawat museum itu mengajak saya mengobrol di kursi kayu di dalam museum. Dia lantas menawari saya ingin mendengar musik apa. Pilihannya, jatuh ke lagu yang dibawakan grup musik Genesis. Usman lantas menyetelnya lewat turntable di salah satu sudut ruangan.

“(Awalnya) berdiri tahun 2009, (namanya) masih Galeri Malang Bernyanyi,” ujar Usman, mengawali perbincangan.

“Jadi museum (tahun) 2016, pindah ke sini.”

Perjalanan museum ini cukup panjang. Kerap kali pula berpindah-pindah lokasi. Tahun 2013, museum itu terletak di perumahan Griya Shanta, Malang. Menurut pendiri Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto kepada ANTARA News1, gagasan mendirikan museum bertujuan menyelamatkan sejarah musik Indonesia. 

Menurut Hengki, selama ini banyak hasil rekaman lama musik di Indonesia yang sulit didapat. Ternyata, ada sejumlah orang yang menyimpan koleksi lama, lalu diserahkan ke pihak museum. Dia mengatakan, museum itu didirikan dengan dana dari sekelompok orang yang peduli terhadap musik Indonesia.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Usman, salah seorang perawat museum tengah menyetel piringan hitam/Fandy Hutari

Usman menyebut, ketika dihitung pada 2022, koleksi museum sekitar 35.000, terdiri dari kaset, CD, piringan hitam, buku, dan majalah. “(Koleksi) itu sumbangan, utamanya dari Indonesia. Tapi ada juga yang dari Belanda, Italia, Amerika Serikat,” kata Usman.

Di salah satu ruangan, terdapat aneka jenis alat musik tradisional. Menurutnya, alat musik tradisional tersebut juga disumbangkan dari wali kota seluruh Indonesia.

“Waktu Malang ada (acara pertemuan) Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) tahun 2017, (para) wali kota ke sini, kita surati harus membawa alat musik tradisional tadi,” tutur Usman.

Kaset, CD, dan piringan hitam terdiri dari berbagai macam genre, mulai dari pop, keroncong, jazz, rock, dari dalam dan luar negeri. Ada pula kaset anak-anak dan lawak. Usman mengatakan, kaset paling tua dari tahun 1979. Di beberapa rak pun tersimpan kaset lagu-lagu daerah dari berbagai provinsi.

Selain itu, kita bisa melihat poster grup musik, foto-foto, pernak-pernik grup musik, dan sebagainya. Tersimpan juga kostum grup musik Guruh Gipsy. Buku-buku tentang musik pun ada. Tak kalah menarik, majalah-majalah lawas tentang dunia hiburan, seperti Violeta.

Usman menyebut, piringan hitam grup musik The Tielman Brothers adalah yang paling langka. Tielman Brothers adalah grup musik Indonesia-Belanda, yang dibentuk anak-anak Herman Tielman dan Flora Lorine Hess, antara lain Andy (vokal dan gitar), Reggy (gitar), Ponthon (bas), dan Loulou (drum). Mereka tumbuh besar di Indonesia. Lalu, pada 1956, Tielman Brothers pindah ke Belanda.

Di buku Musicking in Twentieth-Century Europe2 disebut, dalam kariernya di Eropa, Tielman Brothers menjadi salah satu penampil paling populer dan inovatif dari Indo-rock, yakni gaya musik yang memadukan rock and roll dengan beberapa elemen keroncong. 

Sebelum membahas bagaimana grup yang kemudian dikenal sebagai Tielman Brothers berperan penting dalam pembentukan gaya Indo-rock Belanda, penting untuk menyoroti bagaimana pengalaman mereka di Indonesia hingga saat mereka pindah ke Belanda yang menggambarkan proses pertukaran dan perpaduan musik.

Namun, karena faktor-faktor lokal di Belanda, Tielman Brothers tetap menjadi band yang hanya dikenal di kalangan tertentu. Faktor-faktor tersebut meliputi ambivalensi Belanda terhadap komunitas mereka, lambatnya penerimaan rock and roll di Belanda, dan kekhawatiran luas tentang sifat musik yang dianggap tidak sehat (faktor Elvis Presley), terutama ketika dimainkan oleh pemuda Indo-Belanda.

Beberapa koleksi musik lawas di galeri museum/Fandy Hutari

Pada 1958, Tielman Brothers mendapat terobosan besar di Belgia melalui Brussels World Exhibition. Salah satu penampilan mereka yang mengesankan direkam dalam siaran televisi di Belanda pada 1960, menampilkan salah satu lagu ikonik mereka, “Black Eyes Rock.” Penampilan mereka terkenal karena aksi panggung yang spektakuler, seperti melempar gitar.

Lainnya, piringan hitam album Koes Plus bertajuk Dheg Dheg Plas. Album ini dirilis pada 1969. “(Album tersebut dirilis) itu karena dulu Koes Bersaudara, (mengubah nama) menjadi Koes Plus,” ucap Usman.

Terbentuknya Koes Plus terjadi setelah Nomo Koeswoyo memutuskan mundur dari Koes Bersaudara, usai merilis To The So Called The Guilties dan Djadikan Aku Dombamu pada 1967. Menurut Adhiyatmaka3, album Dheg Dheg Plas yang dirilis pada 1969 tidak diterima penggemar. Sebab, mereka tidak bisa dengan mudah menerima langkah yang diambil Tonny, Yon, dan Yok, yang menggantikan Nomo dengan Murry. Akibatnya, publik tak menyambut antusias album itu, bahkan mengabaikannya.

“Keajaiban” terjadi saat Koes Plus tampil di acara Jambore Grup Musik IK di Istora Senayan, Jakarta. Koes Plus tampil membawakan lagu-lagu baru ciptaan mereka yang cenderung jauh dari musik rock, ketika band lain membawakan lagu-lagu rock milik grup musik luar negeri. Penampilan Koes Plus berhasil memikat banyak orang. Lalu, album Dheg Dheg Plas mulai laku di pasaran dan membuat nama Koes Plus menjadi semakin besar.

Kepindahan Museum Musik Indonesia ke Gedung Kesenian Gajayana pada 2016 diresmikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Pemkot Malang mengizinkan Museum Musik Indonesia berkantor di sini.

Arief Wibisono4 menulis, gedung ini dibangun perkumpulan Tionghoa Ma-Chung pada 1934. Lantas, pada 1960-an, Pemkot Malang mengambil alih gedung ini, menggantinya menjadi Gedung Cenderawasih. Lalu, pada 1989 baru dinamakan Gedung Kesenian Gajayana. Tahun 1974 hingga 1990, gedung ini pernah menjadi kantor Dewan Kesenian Malang (DKM), sehingga dikenal juga dengan nama Gedung DKM.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Koleksi alat musik tradisional di Museum Musik Indonesia, Malang/Fandy Hutari

Pentas Nostalgia Dardanella 

Saat membuka pintu Museum Musik Indonesia di lantai dua, pandangan saya langsung tertuju pada kursi-kursi pertunjukan yang menghadap ke panggung. Berbagai pentas kesenian pernah diadakan di sini, di antaranya konser Koes Bersaudara, Dara Puspita, dan Titiek Puspa. Kemudian ketoprak Siswo Budoyo, komedi Lokaria, dan wayang orang Pancabudi.

Gedung ini pun pernah dijadikan tempat pentas reuni rombongan tonil atau sandiwara Dardanella. Pada 1959 dan 1960, beberapa anggota Dardanella, sebuah rombongan tonil atau sandiwara besar di masa kolonial, mementaskan lakon “Dr. Samsi” karya Andjar Asmara.

Ramadhan KH5 menulis, Malay Opera Dardanella didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada 21 Juni 1926. Pendirinya seorang Rusia kelahiran Penang, Willy Klimanoff, atau yang terkenal dengan nama A. Piedro. Dardanella merombak kebiasaan-kebiasaan panggung yang lazim dilakukan stambul. Pertama, ketika layar diangkat, mereka segera bermain. Tak ada introduksi dahulu. Kedua, mengutamakan adegan. Nyanyian diperdengarkan bila perlu saja.

Perkumpulan ini punya nama-nama beken di panggung sandiwara, seperti Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II, Astaman, dan Ferry Kock, yang disebut The Big Five. Dardanella melakukan pertunjukan keliling dunia pada 1935. Mereka memiliki misi untuk menampilkan tari-tarian Indonesia di sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Nepal, India, Yunani, Turki, hingga Amerika Serikat. Setelah itu, anggotanya terpecah. Ada yang ikut serta, ada yang tetap tinggal di Indonesia.

Pementasan reuni Dardanella bermain di Gedung Pekan Raya Surabaya pada Juni 1959, Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Bandung dan Gedung Kesenian Jakarta pada 8 Juli 1959. Pertunjukan terakhir diadakan di Gedung Ma-Chung (sekarang Gedung Kesenian Gajayana) pada 8–10 April 1960. 

Di Malang, pertunjukan dimainkan pula oleh Gelanggang Kesenian Tjahaja Timur. Penyelenggaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang. Pentolan Dardanella yang ikut pementasan reuni itu, antara lain Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Astaman, Raden Ismail, dan Ali Yugo. Saat pertunjukan di Malang, Tjeng Bok juga menyanyikan lagu keroncong “Kemajoran Lama.” Secara keseluruhan, pertunjukan ini disebut-sebut berjalan baik dan mendapat sambutan meriah publik.6

Pada November 2023, Museum Musik Indonesia pindah lokasi ke Gedung Penunjang Museum Mpu Purwa di perumahan Griya Shanta, Malang. Kepada wartawan Surya Malang7, Ketua Museum Musik Indonesia, Ratna Sakti Wulandari mengatakan, alasan kepindahannya lantaran Gedung Kesenian Gajayana akan dikembalikan fungsinya sebagai gedung pertunjukan.


  1. ANTARA News. (2012, 8 Desember). Galeri Malang Bernyanyi akan dirikan museum musik. https://www.antaranews.com/berita/347540/galeri-malang-bernyanyi-akan-dirikan-museum-musik, diakses 7 April 2025. ↩︎
  2. Klaus Nathaus & Martin Rempe (ed.), Musicking in Twentieth-Century Europe (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co KG, 2020). ↩︎
  3. Ignatius Aditya Adhiyatmaka, Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas (Jakarta: Binatang Press dan Irama Nusantara, 2021). ↩︎
  4. Arief Wibisono, Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 (Malang: Media Nusa Creative dan Museum Musik Indonesia, 2021). ↩︎
  5. Ramadhan KH, Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). ↩︎
  6. Katalog pertunjukan “Dr. Samsi” di Gedung Ma-Chung Malang, 1960. ↩︎
  7. Kukuh Kurniawan, (2023, 2 November). Alasan Pemindahan Museum Musik Indonesia ke Museum Mpu Purwa, Kota Malang. Surya Malang Tribunnews. (https://suryamalang.tribunnews.com/2023/11/02/alasan-pemindahan-museum-musik-indonesia-ke-museum-mpu-purwa-kota-malang, diakses pada 7 April 2025. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/harta-karun-musik-dan-kisah-dardanella-di-gedung-kesenian-gajayana/feed/ 0 47068
Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno https://telusuri.id/perjalanan-ke-blitar-mengunjungi-monumen-peta-dan-ziarah-makam-bung-karno/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-blitar-mengunjungi-monumen-peta-dan-ziarah-makam-bung-karno/#respond Thu, 08 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46869 Awal 2019 lalu, saya ke Blitar, Jawa Timur karena ada undangan diskusi tentang selebritas masa kolonial dari seorang teman yang mengelola beberapa komunitas. Badan terasa sangat pegal setibanya di Stasiun Blitar, pagi hari. Nyaris 15...

The post Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal 2019 lalu, saya ke Blitar, Jawa Timur karena ada undangan diskusi tentang selebritas masa kolonial dari seorang teman yang mengelola beberapa komunitas. Badan terasa sangat pegal setibanya di Stasiun Blitar, pagi hari. Nyaris 15 jam saya duduk di kursi kereta kelas ekonomi, yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta.

Kesan pertama melihat keadaan jalan kota ini, saat keluar dari stasiun, sangat bersih. Tak lama, teman saya menjemput dengan mobil. Kami bergegas untuk sekadar beristirahat di rumahnya.

Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno
Patung-patung Monumen PETA Blitar/Fandy Hutari

Jejak Pemberontakan PETA Blitar

Seorang teman, yang berasal dari kampus yang sama dengan saya, mengajak berkeliling Blitar menggunakan sepeda motornya, sehari sehabis diskusi. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Monumen Pembela Tanah Air (PETA).

Di monumen tersebut ada tujuh patung berseragam tentara PETA dengan ekspresi marah, membawa senapan laras panjang, bayonet, pedang, dan pistol. Sementara patung yang di tengah, tangan kanannya meninju ke langit. Di bawah patung yang paling tengah itu, terdapat lambang PETA. Lantas, di bawahnya, ada prasasti kecil.

PETA adalah tentara sukarela. Menurut Lebra (1988), pembentukan pasukan ini merupakan hasil karya badan intelijen Sambobu Tokubetsu-ham pada 3 Oktober 1943. Daidan (Batalion) Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943.

4 tempat stelling (?) regu senapan yang menembaki mess Kasikan Sidukan.

Kira-kira begitu tulisan yang terukir di dinding gerbang SMP Negeri 4 Blitar, seberang Monumen PETA. Lebra mencatat sejumlah alasan mengapa beberapa anggota PETA di Blitar marah, hingga meletus pemberontakan. Pertama, Daidan PETA Blitar meninggalkan kota pada paruh kedua 1944. Mereka dikirim ke daerah-daerah pantai, lokasi mereka bekerja bersama pekerja sukarela romusha. Di sana, mereka melihat kesengsaraan para romusha. Belum lagi, mereka menyaksikan kesombongan para Kempeitai (polisi militer), yang juga berlaku kejam kepada romusha.

Kedua, daidancho (mayor, pemimpin batalion) dan perwira Indonesia tidak senang dengan kewajiban hormat kepada bintara Jepang, yang pangkatnya paling rendah sekalipun. Ketiga, Lebra mengutip sejarawan Kahin, yang mengaitkan pemberontakan ini dengan kegiatan anti-Jepang yang dilakukan kelompok Sjarifuddin dari Partai Komunis. Menurutnya, kelompok ini beroperasi di bawah tanah. Alasan terakhir, Soeprijadi sang pemimpin pemberontakan, ingin Indonesia merdeka sepenuhnya. Pemberontakan ini sudah direncanakan sejak September 1944. Beberapa orang pucuk pimpinan pemberontak, sudah melakukan pertemuan rahasia.

Soeprijadi, yang seorang shodanco (komandan peleton), menjadi pemimpinnya. Sukarno, salah seorang pemimpin yang disegani ketika itu, sebenarnya sudah mengetahui rencana makar anak-anak muda PETA Blitar ini. Hal itu dia akui dalam buku biografinya, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams. Kebetulan, ketika ada rencana pemberontakan, Sukarno sedang berkunjung ke rumah orang tuanya di Blitar. Lalu, beberapa orang perwira PETA, termasuk Soeprijadi, menemuinya. Mereka lantas meminta pendapat Bung Karno terhadap rencana pemberontakan.

Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno
Prasasti kecil di bawah Monumen PETA Blitar/Fandy Hutari

“Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya. Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja,” kata Sukarno.

“Kita akan berhasil,” ujar Soeprijadi.

Sukarno beranggapan, kekuatan militer mereka sangat lemah. Dia pun memikirkan keberlangsungan PETA sebagai alat revolusi bisa hancur lantaran pemberontakan ini. Akan tetapi, perlawanan mereka tak bisa dibendung lagi. Menurut Lebra, pemberontakan pecah pada 14 Februari 1945, pukul 03.00. Hal ini ditandai dengan penembakan mortir ke Hotel Sakura yang ditempati para perwira Jepang di Blitar.

Markas Kempeitai pun tak luput dari rentetan peluru senapan mesin. Lebra menulis, jumlah total pemberontak sebanyak 360 orang. Selama perlawanan, 25 perwira Jepang berhasil dibunuh. Namun, perlawanan itu bisa dipadamkan dengan perundingan dan kekerasan. Akibat perlawanan ini, 78 perwira beserta anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk dihadapkan ke pengadilan militer tentara Jepang. Enam orang dihukum mati, enam orang dihukum seumur hidup, dan sisanya mendapat hukuman kurungan beragam.

Selain itu, Dumadi (1985) menulis, pada 14 April 1945 Daidan Blitar dijatuhi hukuman kolektif. Mereka yang tak diberangkatkan ke Jakarta, dikucilkan di daerah Gambyok, lereng Gunung Wilis yang tandus. Di dalam pengasingan, mereka membuat rumah dari bambu dan atap ilalang. Untuk mendapatkan air minum, mereka harus berjalan 25 kilometer ke arah Nganjuk.

Notosusanto (1979) mencatat enam orang yang dijatuhi hukuman mati, yakni dokter Ismangil (chudancho), Moeradi (shodancho), Soeparjono (shodancho), Soenanto (bundancho), Halir Mangkoedidjaja (bundancho), dan Soedarmo (bundancho). Vonis mati itu dijatuhkan pada 16 April 1945. Mereka dieksekusi di Ancol, Jakarta Utara. Namun, anehnya tak ada nama Soeprijadi di dalam daftar orang-orang yang dijatuhi hukuman. Dia menghilang entah ke mana.

Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno
Halaman Istana Gebang di Blitar/Fandy Hutari

“Sowan” ke Bung Karno

Perjalanan saya di Blitar berlanjut ke rumah orang tua Bung Karno, yang dikenal dengan Istana Gebang. Istana Gebang adalah rumah kedua orang tua Sukarno. Menurut Adams (1966), tahun 1917—saat Sukarno berusia 16 tahun—ayahnya, yang seorang guru, dipindahkan ke Blitar karena kenaikan jabatan. Sementara Sukarno tinggal di pondokan kediaman H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya karena bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Dalam buku itu, Sukarno mengatakan, biasanya dia pulang mengunjungi orang tuanya saat waktu libur sekolah.

Di Istana Gebang, kita bisa melihat koleksi peninggalan Bung Karno, seperti mesin ketik, radio, foto, gramofon, kursi, meja, mobil Mercy, dan sumur tua. Ada sebuah patung Sukarno besar yang diletakkan di halaman Istana Gebang. Patung ini adalah sumbangan dari keluarga animator Dukut Hendronoto (Ooq). Dukut, menurut Ihwanny dkk (2023), adalah seniman Indonesia pertama yang dikirim Sukarno ke Walt Disney, Amerika Serikat untuk belajar animasi.

Kemudian, saya diajak ke Museum Bung Karno. Di antara bangunan museum dan Perpustakaan Bung Karno, ada patung Sukarno besar tengah membaca buku. Di museum ini, tersimpan barang-barang seni karya Bung Karno, berkas tentang kehidupan dan perjuangannya, cendera mata, serta karya tulis Bung Karno.

Yang menarik perhatian, ada lukisan Sukarno di dekat pintu masuk museum. Jika diperhatikan, bagian dada di lukisan itu tampak berdetak, mirip detak jantung. Lukisan itu adalah karya I.B. Said. Dibuat pada 2001, sebelum ada di Museum Bung Karno, lukisan itu disimpan di Istana Bogor. Lukisan yang seolah jantungnya berdetak itu kemungkinan karena ilusi optik.

Ketika masuk, ada relief berbahan perunggu sepanjang 30 meter dengan lebar delapan meter. Relief itu menggambarkan perjuangan Sukarno sebelum dan setelah kemerdekaan. Berjalan sedikit lagi, kita akan melintasi beberapa anak tangga dan gapura. Selepas itu, banyak orang berkerumun di sebuah bangunan pendopo. Mereka adalah peziarah dari berbagai daerah. Di sini, ada makam Sukarno dan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Para peziarah merapal doa, yang lainnya menabur bunga.

Pemilihan Blitar sebagai tempat peristirahatan Bung Karno, menurut Adam (2010), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1970 tanggal 21 Juni 1970. Soeharto menjelaskan keputusannya memakamkan proklamator kemerdekaan Indonesia itu dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
“Kemudian timbul masalah, di mana pemakaman itu harus dilakukan? Kami ingat akan wasiatnya. Kami ingat permintaan almarhum semasa hidupnya, jenazahnya hendaknya dimakamkan di suatu tempat di mana rakyat dapat datang seperti dipesankan kepada Dewi (Ratna Sari Dewi). Pesannya kepada Hartini pun begitu,” kata Soeharto dalam otobiografinya.

Tampaknya, presiden yang baru berkuasa dua tahun tersebut sedikit ketar-ketir juga menentukan lokasi pemakaman Putra Sang Fajar. Usai mendengar kabar Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, ia mengumpulkan para pemimpin partai. Adam (2010) memandang, dengan dikumpulkannya para pemimpin partai itu menandakan urusan pemakaman Bung Karno merupakan masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tersebut, tulis Adam, tak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite politik.

Lantas, menurut Soeharto, keluarga yang lain memiliki pandangan berbeda. “Andaikata kita serahkan kepada keluarga besar yang ditinggalkannya, maka saya melihatnya bakal repot,” ujar Soeharto. Soeharto berkilah, dipilihnya Blitar karena Sukarno sangat mencintai dan menghormati ibunya. Bila Sukarno ingin pergi jauh, kata Soeharto, ia selalu minta doa restu dan sungkem kepada ibunya.

“Melihat kebiasaan Bung Karno, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar. Inilah alasan saya dan keputusan saya berkenaan dengan pemakaman proklamator kita itu,” ucap Soeharto.

Soeharto mengakui, dari pihak keluarga ada yang protes. Namun, ia tak menghiraukan. “Kalau saya turuti keinginan mereka, saya pikir, tak akan ada penyelesaian. Maka saya ambil oper seperti demikian. Soal nanti, terserah,” tutur Soeharto.

Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno
Para peziarah berdoa di pusara Bung Karno/Fandy Hutari

Sewindu setelah Sukarno dimakamkan, pemerintah Orde Baru merenovasi pusaranya. Majalah Sonata (Juli 1978) melaporkan, peresmian pemugaran dilakukan pada 21 Juni 1978. Sonata menulis, lorong sepanjang 500 meter di kiri dan kanan Jalan Sultan Agung, dipadati massa. Mereka datang ke Blitar sejak hari-hari sebelumnya dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali.

“Sepanjang jalan berderet-deret orang menjual buku-buku tentang Bung Karno, kaus-kaus bergambar Bung Karno, foto-foto dalam bentuk besar, dan lain-lain,” tulis Sonata.

Hingga kini, makam Sukarno tak pernah sepi. “Apalagi menjelang Pemilu,” ujar seorang peziarah.


Referensi:

Adam, A. W. (2010). Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Adams, C. (1966). Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Dumadi, S. M. (1985). Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press.
Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Lebra, J. C. (1988). Tentara Gemblengan Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Ihwanny, R., Sudarsono, K., dan Annita. (2023). Dukut Hendronoto: Animator Pertama Indonesia. Journal of Animation and Games Studies, Vol. 9, No. 2, Oktober 2023, ISSN 2502-499x.
Notosusanto, N. (1979). Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan ke Blitar: Mengunjungi Monumen PETA dan Ziarah Makam Bung Karno appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-blitar-mengunjungi-monumen-peta-dan-ziarah-makam-bung-karno/feed/ 0 46869
Menyusuri Jejak Amuk Merapi https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/ https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/#respond Thu, 10 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46602 Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru...

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Erupsi 2010 disebut-sebut adalah yang paling dahsyat dalam 100 tahun..

Setelah malapetaka tersebut, tahun 2014 ditawarkan wisata petualangan menggunakan mobil jip ke area terdekat Gunung Merapi yang terdampak erupsi. Namanya Lava Tour Merapi. Pada awal Juni 2024 lalu, saya dan istri mengunjunginya.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Jip-jip parkir di halaman basecamp penyedia jasa Lava Tour Merapi, Sleman/Fandy Hutari

Telusur Bekas Erupsi

Banyak komunitas yang menawarkan jasa petualangan ini di sekitar Jalan Mbah Maridjan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kami memilih salah satunya. Ada tiga paket yang mereka tawarkan, yakni paket panjang dengan durasi tiga jam, berbiaya Rp600.000. Pengunjung yang memilih paket ini bakal diajak ke Bungker Kaliadem, The Lost World Park, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip.

Lalu paket menengah dengan durasi dua jam, berbiaya Rp500.000. Tempat-tempat yang ditawarkan antara lain Bungker Kaliadem, Petilasan Mbah Maridjan, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip. Terakhir paket pendek dengan durasi 1,5 jam, berbiaya Rp400.000. Tempat-tempat yang dikunjungi seperti paket menengah, tetapi tanpa off-road air.

Kami memilih paket pendek saja. Sebab, saya hanya penasaran dengan Petilasan Mbah Maridjan dan Museum Erupsi Merapi.

Jip-jip terbuka terparkir di halaman luas salah satu komunitas trip Merapi, sewaktu kami tiba dari penginapan di seberang Stasiun Yogyakarta. Gunung Merapi sudah terlihat saat kami dalam perjalanan menuju lokasi jip.

Perkampungan yang beberapa rumahnya sudah kosong, kebun-kebun warga, dan jalan penuh bebatuan mengawali petualangan kami dengan jip. Kami melewati jalanan penuh bebatuan dan pasir, mirip sungai yang sudah kering. Menurut pemandu, yang juga sopir jip, area yang kami lewati itu dahulu titik aliran lahar Gunung Merapi. Guncangan-guncangan kecil tentu saja terjadi, tetapi itulah yang membuat seru.

Dari titik ini, jika beruntung tak tertutup awan, pengunjung bisa melihat puncak Gunung Merapi sangat dekat. Sayang sekali, saat kami ke sana, awan sudah tebal menghalangi pandangan ke puncak itu.

Puas mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan ke Petilasan Mbah Maridjan. Menurut pemandu, yang saya lupa namanya, jarak dari petilasan ke puncak Gunung Merapi sudah dekat, hanya sekitar lima kilometer.

Kemudian jip membawa kami ke Bungker Kaliadem yang punya cerita miris. Terakhir, ke Museum Erupsi Merapi dan kembali ke titik jip tadi berangkat, saat siang mulai datang.

  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi
  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi

Ada Kisah di Balik Tempat

Petilasan—atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan bekas peninggalan—Mbah Maridjan menyimpan banyak cerita amuk Gunung Merapi pada 2010 lalu. Mbah Maridjan adalah kuncen Merapi. Sosok ini cukup terkenal karena keberanian dan kebijaksanaannya. Ketenarannya bahkan sampai mengantarkannya ke industri hiburan, menjadi bintang iklan minuman berenergi.

Mbah Maridjan mulai menjadi juru kunci Gunung Merapi pada 1982, setelah ditunjuk Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Tugasnya adalah merawat situs dan menjalankan upacara adat di lereng Merapi. Juru kunci Merapi dipercaya menjadi sosok sentral yang memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keselamatan lewat pendekatan kultural dan supranatural. Dia memiliki nama lain Raden Ngabehi Surakso Hargo. Saat awan panas erupsi turun dari puncak Merapi tanggal 26 Oktober 2010, Mbah Maridjan menolak dievakuasi.

Dalam wawancaranya dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy episode “Menonton dengan Hati”, Sultan Hamengkubuwana X pernah ditanya soal Mbah Maridjan yang menolak dievakuasi saat letusan Merapi tahun 2006. Sultan mengatakan, tak pernah memerintahkan Mbah Maridjan agar turun gunung dan mengungsi karena hal itu tidak mungkin dilakukan Mbah Maridjan.

“Sebab, kalau Mbah Maridjan sampai mengungsi, ibarat di dunia militer, itu berarti dia sudah desersi. Saya sangat memahami, buat dia keputusan untuk tetap tinggal di sana (lereng Gunung Merapi) hingga mati lebih berharga daripada mengungsi,” ujar Sri Sultan.

Wawancara tersebut ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta pada awal November 2007. Namun, dalam erupsi 2010, Mbah Maridjan meninggal dunia.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Mobil evakuasi yang seyogianya akan membawa Mbah Maridjan turun dari lereng Gunung Merapi/Fandy Hutari

Menurut penuturan wartawan Regina Safitri yang meliput langsung kejadian itu, Mbah Maridjan meninggal pada 26 Oktober 2010 dalam posisi sujud. Kepastian wafatnya diperoleh dari RSUP Dr Sardjito, 27 Oktober 2010 pagi. Jika Merapi mengeluarkan awan panas, kata dia, Mbah Maridjan langsung mengambil posisi sujud.

“Saya tidak tahu alasan ia sujud jika Gunung Merapi mengeluarkan awan panas, mungkin karena kedekatan beliau dengan Merapi. Mbah Maridjan sangat erat hubungannya dengan Merapi, ia sangat menghormati Merapi, ia bahkan tidak suka awan panas disebut wedhus gembel,” kata Regina.

Ada 37 orang warga Dusun Kinahrejo, Sleman—kampung sekitar rumah Mbah Maridjan, yang kini jadi petilasan—yang meninggal dunia karena letusan Gunung Merapi tahun 2010. Ditambah seorang relawan dan seorang wartawan. Nama-nama mereka terpampang di batu marmer Petilasan Mbah Maridjan.

Sisa amuk Merapi masih bisa kita lihat dari hancurnya barang-barang, yang masih terdapat sisa abu vulkanik. Ada perabot rumah tangga, kursi dan meja, sepeda, sepeda motor, gamelan milik Mbah Maridjan, dan satu unit mobil relawan yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Foto-foto peristiwa letusan tertempel di dinding.

Tempat Mbah Maridjan meninggal dengan posisi sujud ditandai dengan petilasan berbentuk mirip makam dan ada foto besar di belakangnya. Petilasan itu dilindungi di bangunan mirip pendopo.

Menurut pemandu, Mbah Maridjan teguh memegang kewajibannya “menjaga” Merapi sehingga dia menolak untuk mengungsi. Sebelum meninggal, kata pemandu, Mbah Maridjan sempat berkata, “Kehormatan seseorang itu dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya.”

Dari Petilasan Mbah Maridjan, jip yang kami tumpangi bergerak menuju Bungker Kaliadem. Tak seperti namanya, “adem”, bungker ini pernah diguyur lava. Kami menuruni anak tangga menuju dalam bungker. Ada tiga ruangan di sini, yakni kamar mandi, gudang, dan ruang tengah yang besar. Di tengahnya ada batu besar, yang katanya sisa lava yang sudah menjadi batu. Jika jari kita ditempelkan ke dinding dalam bungker, bakal ada bekas abu vulkanik yang masih melekat.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Para pengunjung keluar dari Bungker Kaliadem/Fandy Hutari

Menurut penuturan pemandu, saat erupsi Gunung Merapi 2006, ada dua orang yang berlindung di dalam bungker. Namun, mereka tewas di sana karena suhu yang sangat tinggi hingga 200 derajat Celsius. Bungker ini dibangun pada 2001. Fungsi awalnya memang sebagai tempat berlindung warga. Namun, karena peristiwa letusan tahun 2006, bungker ini tidak lagi digunakan.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Museum Erupsi Merapi. Kami melewati tanah-tanah kosong yang sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan, rumah-rumah warga yang hancur karena dampak erupsi, dan sebuah sekolah yang sudah tak lagi berpenghuni.

Museum kecil yang awalnya sebuah rumah ini, punya nama asli Omahku Memoriku Merapi. Didirikan pada 2013, museum ini menjadi saksi bisu dahsyatnya amuk Merapi 2010. Di halaman depan, ada dua kerangka sapi yang masih utuh. Masuk ke dalam, ada gamelan dan lukisan wayang milik sebuah sanggar, serta dua unit sepeda motor.

Lebih ke dalam lagi, di ruang tengah, ada kursi dan meja tamu. Di atas meja, ada rangka kelinci yang dilindungi kaca. “Warga di sini, selain beternak sapi, ada juga yang beternak kelinci,” kata pemandu kami.

Dari kiri ke kanan: Bagian belakang Omahku Memoriku Merapi dipenuhi perabot rumah tangga dan galeri foto di dinding, dua unit sepeda motor yang menjadi saksi bisu ganasnya erupsi, dan jam yang menunjukkan waktu erupsi Merapi 5 November 2010/Fandy Hutari

Di bawahnya, ada toples-toples yang menyimpan abu erupsi. Di dinding, terpacak foto-foto letusan Gunung Merapi dari beragam tahun. Ada juga jam dinding besar yang sudah meleleh, bertuliskan “THE MOMENT TIME OF ERUPTION 5 NOV 2010.” Jam itu menunjukkan waktu saat erupsi terjadi pada tanggal tersebut.

Di bagian belakang, ada tabung-tabung gas 3 kilogram. “Dulu sebelum erupsi (Merapi 2010), seminggu sebelumnya itu, ada penyuluhan tabung gas. Jadi, warga dibagikan gas-gas,” tutur pemandu. Di bagian atasnya, ada foto-foto hewan ternak yang terkena awan panas, tetapi masih hidup dan diselamatkan relawan. Ada juga perabot rumah tangga, seperti panci, gentong, gelas, piring, dan ember yang semuanya sudah meleleh. Fosil batu-batu besar sisa erupsi juga dipajang.

Sebelum jip mengantar kami turun, ada warung oleh-oleh persis di depan museum. Kami memesan secangkir kopi khas Merapi sebagai penutup perjalanan kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/feed/ 0 46602
Menyepi di Bali Kala Pandemi https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/ https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/#respond Tue, 11 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45920 Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel...

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Memanfaatkan pelonggaran pembatasan sosial saat pandemi COVID-19, Mei 2021, saya pergi ke Bali. Alasan saya memilih pergi karena biaya yang dikeluarkan cukup murah. Tiket pesawat hanya Rp500.000, sedangkan hotel Rp200.000. Padahal, jika situasi normal, hotel itu berharga Rp1.000.000.

Kira-kira dua jam penerbangan menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sesampainya di bandara, saya sedikit bingung. Hari sudah gelap. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.00. Saya nyaris tak sadar, Bali masuk wilayah Indonesia bagian tengah, sehingga waktunya lebih cepat satu jam dibandingkan Jakarta. 

Bandara itu tidak terlalu ramai. Saya memilih menggunakan taksi daring untuk menuju hotel di sekitar Jalan Legian. Jaraknya sekitar enam kilometer dari bandara, menghabiskan waktu kira-kira 20 menit. Jalanan yang saya lewati sangat sepi. Padahal, malam belum beranjak jauh.

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Suasana Jalan Legian yang sepi, Mei 2021/Fandy Hutari

Malam Sunyi di Bali

Saya melewati titik-titik yang sebelum pandemi ramai wisatawan asing. Sebut saja, Gang Poppies Lane, tak jauh dari Pantai Kuta.

“Di sini dulu sangat ramai,” kata si sopir taksi daring.

Mendengar nama itu, saya ingat lagu Slank, yang dirilis tahun 1998 berjudul “Poppies Lane Memory”. Gang kecil ini terkenal di kalangan wisatawan karena kehidupan malamnya. Di sini, banyak berdiri penginapan murah, toko pernak-pernik, dan bar. Mengutip Kintamani.id,1 Poppies Lane dahulu tak bernama. Warga hanya menyebutkan rurung, yang artinya jalanan sempit. Warga yang tinggal di situ itu menyebutnya Gang Taman Sari. Ada pula warga yang menyebutnya gang memedi karena sempit, sepi, dan lengang.

Nama Poppies berawal dari nama warung milik Sang Ayu Made Cenik Sukeni pada 1970. Wisatawan asing banyak yang datang ke warung itu. Lalu, ada langganan dua orang turis asal Amerika Serikat bernama George dan Bob yang memberikan nama Poppies untuk warung Sang Ayu. Poppies diambil dari nama bunga yang tumbuh di California, Amerika Serikat. Di sekitar Jalan Legian juga, kata sang sopir taksi daring, sebelum pandemi banyak bule asyik berpesta hingga di tengah jalan. Namun, ketika saya lintasi, kosong melompong.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021—periode saat saya berkunjung ke Bali—hanya ada 51 wisatawan asing yang masuk ke Bali. Jumlah ini jauh dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Pada 2019, jumlahnya 6.275.210 turis asing datang ke Pulau Dewata. Lalu turun pada 2020 menjadi 1.069.473 orang. Baru setelah kondisi berangsur membaik, pada 2022 ada 2.155.747 wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.

  • Menyepi di Bali Kala Pandemi
  • Menyepi di Bali Kala Pandemi

Sehabis menaruh ransel, saya berjalan-jalan di sekitar Legian. Malam itu, saya menyaksikan suasana sangat senyap. Banyak bar, restoran, kelab malam, dan toko-toko yang tutup. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang tampak. Dari lorong yang gelap, seorang pedagang menawarkan untuk membeli makanan yang dijajakannya. Hari itu, saya menyaksikan Bali yang berbeda. Bali yang porak-poranda karena pandemi. Saya mendengar, mereka yang semula bekerja mengandalkan pariwisata beralih menjadi petani di desanya.

Melansir CNBC Indonesia,2 pada 2020 hingga 2023 hanya terdapat tambahan 817 kamar hotel di Bali. Akan tetapi, terjadi pengurangan sebanyak 1.591 kamar akibat penutupan hotel. Lantas, menurut Ida Ayu Kade Adi Juniari dan Ni Nyoman Ayu Suryandari,3 ada 200-an restoran di Bali tutup karena pandemi. Beberapa tercatat tutup permanen.

Rupanya, kebijakan pemerintah membuka-menutup Bali saat itu tak mampu berbuat banyak. Laporan Kompas,4 11 Mei 2021, Bali paling terpukul di antara provinsi lainnya. Pertumbuhan ekonomi Bali paling rendah. Pada 2020 tercatat minus 9,31 persen. Pada triwulan I tahun 2020, pertumbuhannya minus 1,20 persen. Lalu, terjun bebas hingga minus 12,32 persen pada triwulan III 2020. Pada triwulan awal 2021, status perekonomian Bali ada di minus 9,85 persen.

Saya mengunjungi Tugu Peringatan Bom Bali atau memiliki nama lain Monumen Panca Benua atau Ground Zero Monument, tak jauh dari hotel saya menginap. Suara musik mengentak terdengar lamat-lamat dari sebuah bar yang masih bertahan dari pandemi.

Monumen ini diresmikan pada 2004. Dibangun untuk mengenang tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dari 22 negara. Nama-nama mereka diabadikan di dinding monumen itu. 

Menyepi di Bali Kala Pandemi
Monumen Bom Bali pada Mei 2021/Fandy Hutari

Keliling Bali yang Sepi

Keesokan harinya, saya menyewa sepeda motor untuk berkeliling beberapa hari. Pantai Kuta adalah tujuan pertama. Suasananya sangat sepi. Nyaris tak ada wisatawan. Hanya satu-dua orang turis yang berjalan di pasir putih itu. Ada pula beberapa pedagang minuman, tukang tato, tukang pijat, dan tukang gelang yang berseliweran. Padahal, jika situasi normal, pantai ini sangat sesak turis.

Meninggalkan Pantai Kuta, hari berikutnya saya mengunjungi Museum Bali dan Museum Bajra Sandhi di Denpasar. Di Museum Bali, terdapat koleksi benda-benda etnografi, di antaranya peralatan dan perlengkapan hidup, kesenian, keagamaan, dan lainnya yang menggambarkan kehidupan dan perkembangan kebudayaan Bali masa lampau. Gagasan pendirian Museum Bali berasal dari Th. A. Resink. Usulan itu diterima asisten residen Bali Selatan, W.F.J. Kroon, yang kemudian membangun museum etnografi pada 1910.5

Sementara di Museum Bajra Sandhi atau Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali, saya melihat-lihat 33 diorama, berbagai foto, dan lukisan. Saya pun naik ke atas menara, menapak anak tangga di tengah bangunan. Dari menara, kita bisa melihat pemandangan sekitar.

Pencetus ide pembangunan monumen yang dari kejauhan mirip pagoda ini adalah Gubernur Bali Ida Bagus Mantra pada 1980. Arsitek monumen adalah Ida Bagus Gede Yadnya, yang memenangkan kompetisi arsitektur monumen tersebut pada 1981. Desain arsitekturnya punya arti hari kemerdekaan Indonesia, dengan 17 gerbang pintu masuk, delapan pilar utama, dan ketinggian monumen 45 meter. Monumen mulai dibangun pada 1981, tetapi sempat terhenti dan dilanjutkan pada 1987. Tahun 2003, monumen diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat presiden.6

Sore menjelang matahari terbenam, saya mengunjungi Pantai Padma. Di sini, kondisinya berbeda dengan Pantai Kuta. Wisatawan, terutama dari dalam negeri, ramai menikmati senja. Anjing-anjing berlari ke sana-ke mari.

Perjalanan terakhir di Bali, saya pergi ke Ubud, kira-kira 20-an kilometer dari Legian. Di sana, saya menginap semalam di sebuah rumah yang di depannya terhampar sawah.

Bali kini kembali lagi menjadi tujuan wisata domestik dan mancanegara. Bali sekarang tak lagi sepi.


  1. Baihaki, Imam. “Poppies Lane Kuta, Gang Kecil Di Bali yang Tak Pernah Sepi dan Mendunia,” dalam Kintamani.id, 2018. (https://www.kintamani.id/poppies-lane-kuta-gang-kecil-bali-tak-pernah-sepi-dan-mendunia/) ↩︎
  2. Sandi, Ferry. “Hotel di Bali Bertumbangan, Tutup Lebih 1.500 Kamar,” dalam CNBC Indonesia, 16 Januari 2024. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240116185158-4-506387/hotel-di-bali-bertumbangan-tutup-lebih-1500-kamar). ↩︎
  3. Juniari, Ida Ayu Kade Adi dan Ni Nyoman Ayu Suryandari. “Dampak Pandemi Covid-19 pada Restoran di Bali,” dalam Kompasiana. 28 Mei 2021. (https://www.kompasiana.com/dayujuni/60b0476fd541df7cfa2312d2/dampak-pandemi-covid-19-pada-restoran-di-bali). ↩︎
  4. Nugraheni, Arita. “Bali Paling Terpukul Pandemi,” dalam Kompas, 11 Mei 2021. (https://www.kompas.id/baca/riset/2021/05/11/bali-paling-terpukul-pandemi). ↩︎
  5. “Bali Museum” dalam wikipedia.org (https://en.wikipedia.org/wiki/Bali_Museum). ↩︎
  6. “Sejarah dan Keunikan tentang Monumen Bajra Sandhi” dalam denpasar.kota.go.id, 1 Maret 2019 (https://www.denpasarkota.go.id/wisata/sejarah-dan-keunikan-tentang-monumen-bajra-sandhi). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyepi di Bali Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyepi-di-bali-kala-pandemi/feed/ 0 45920