Fathurrozi Nuril Furqon, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/fathurrozi-nuril-furqon/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 13:39:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Fathurrozi Nuril Furqon, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/fathurrozi-nuril-furqon/ 32 32 135956295 RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/ https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/#respond Wed, 22 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45427 Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC...

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC NU Gapura.

Sebagai orang Sumenep, saya termasuk jarang menyentuh daerah timur Madura itu. Ya, tempat saya dan lokasi acara terpaut jarak yang cukup jauh. Karenanya, perjalanan yang semula saya perkirakan bakal lancar-lancar saja, ternyata harus dilalui dengan berat. Itu tidak terlepas dari sulitnya mencari transportasi umum dari kota Sumenep, apalagi menjelang salat Jumat.

Sebagai daerah yang tidak dilalui jalan provinsi, sebenarnya bisa dimaklumi jika situasi ini terjadi. Sedikitnya mobilisasi ke arah timur itu berkorelasi dengan jumlah transportasi umum di sana. Beruntung, ketika saya sedang menunggu angkutan umum di daerah Bengkal, seorang pengemudi pikap beserta istrinya dengan baik hati menawarkan tumpangan. Saat itu, azan Jumat sudah berkumandang.

Perjalanan dari Bengkal menuju kantor MWC NU Gapura—titik kumpul peserta—memakan waktu seperempat jam. Saat saya tiba di lokasi, khatib di masjid kantor sudah membacakan khotbah kedua. Saya bernapas lega, karena masih bisa menunaikan ibadah rutin tersebut.

Selepas salat, Kak David (Daviatul Umam), Kak Helmi Khan, dan Kak Ibna Asnawi menyambut saya. Sudah ada beberapa peserta yang bersiap diantar menuju lokasi residensi. Sebagai fasilitas awal, saya diberikan sebuah kaus dan tanda pengenal peserta.

Dari MWC NU Gapura, kami meluncur ke Andulang, tepatnya Madrasah Nurul Anwar yang menjadi tempat acara. Perjalanan memakan waktu selama lima menit. Memasuki madrasah, spanduk yang menampilkan wajah 15 peserta menyambut kami.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Pembukaan dan sesi pelatihan RAKARA Residensi Cerpen 2024/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Pertama Residensi

Jelang salat Asar, RAKARA Residensi Cerpen 2024 resmi dibuka oleh Kepala Desa Andulang Pak Rimawi. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa penamaan “rakara” merujuk pada filosofi daun lontar (siwalan) yang juga disebut rakara dalam bahasa Madura. Tikar rakara sebagai salah satu produk daun lontar mencerminkan upaya saling sulam dan saling silang, sehingga kuat menjadi tikar untuk melingkar. Filosofi tersebut kemudian melahirkan slogan acara: “Duduk sama tabah, berdiri sama marwah”.

Pembukaan sore itu langsung dilanjutkan dengan  pelatihan cerpen yang berisi teori-teori dasar. Pemateri sesi pertama ini adalah cerpenis dan para pegiat sastra hebat Jawa Timur, yaitu Dr. Achdiar Redy Setiawan, Pak Matroni Muserang, dan Pak Siswanto. 

Sore itu, saya sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk karena perjalanan sejak pagi yang cukup melelahkan. Namun, ternyata pemateri cukup apik dalam menyampaikan materi, sehingga kantuk itu pun berubah antusias. Hal itu berlanjut pada sesi kedua di malam harinya.

Sesi kedua berisi penyampaian teori cerpen lanjutan. Pemateri sesi ini adalah Pak Bernando J. Sujibto, Pak A. Warits Rovi, dan Pak Khoirul Umam. Dalam sesi ini, residensi diramaikan dengan kedatangan tiga peserta kehormatan sekaligus peninjau acara, yang salah satunya adalah Alindya Quira Azzahra, cerpenis cilik putri Dr. Didik. Walau anak itu kelihatan agak pemalu, tapi ada rasa kagum dalam hati karena di umur yang masih muda ia sudah mau mengasah keterampilan di bidang literasi. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hasil kerajinan polo’ di pekarangan rumah Obe’ Aji/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Kedua: dari Olah Tubuh hingga Ekspedisi Polo’

Hari kedua dimulai dengan agenda jalan-jalan di sekitar madrasah. Namun, tidak berlangsung lama, karena panitia mengumumkan agar para peserta segera kembali untuk melakukan olah tubuh. Ya, olah tubuh, bukan olahraga.

Di kegiatan satu ini, panitia khusus mendatangkan Kak Latief, aktivis teater, untuk menjadi instruktur. Ia dengan semangat memandu para peserta melakukan olah tubuh ala anak teater, dimulai dari olah kepala, tangan, pinggang, hingga kaki. Walaupun kedengarannya menarik, olah tubuh ala anak teater nyatanya lebih sulit dari olah-olah lain.

Setelahnya, para peserta bersiap-siap melakukan studi lapangan ke tempat para perajin polo’. Sebelum berangkat, dari 15 peserta dibagi rata menjadi tiga kelompok. Saya masuk kelompok kedua, yang didampingi oleh Kak Latief dan Kak David. 

Kami berangkat dari madrasah menuju tempat perajin polo’ dengan jalan kaki. Walau cukup jauh dan melelahkan, tetapi sebenarnya patut disyukuri. Sebab, pemandangan sepanjang jalan jadi lebih leluasa dinikmati.

Setiap kelompok akan menemui perajin polo’ yang berbeda. Kelompok kami mengunjungi Bu Habiye—akrab dikenal Nyai Amma—dan anaknya, Bu Junaida. Kedua perajin polo’ itu masih kerabat dekat dari Kak Latief.

Rombongan kami disambut hangat oleh kedua perajin yang sudah sepuh itu. Kebetulan saat kami datang, keduanya baru selesai menginjak-injak adonan tanah liat dan pasir yang akan dibuat jadi gerabah polo’. Dengan senyum terkembang, keduanya menyilakan kami duduk di atas tikar, sembari menyuguhkan teh dan biskuit sari kelapa.

Kepada kami, Nyai Amma mengungkapkan keprihatinannya atas masa depan dunia pekattaan—sebutan untuk para perajin polo’. Tahun berlalu, semakin sedikit anak muda yang mau meneruskan usaha gerabah Madura. Rata-rata anak muda sekarang lebih suka terjun ke dalam bisnis ritel toko kelontong Madura daripada harus bersusah payah mewarisi usaha polo’ , yang makin ke sini makin berkurang pamornya. Fenomena getir itu kian pahit dikecap ketika beberapa perajin sepuh wafat, yang kemudian berimbas pada penghentian produksi beberapa jenis gerabah. 

Bincang-bincang kebudayaan itu berlangsung sejam. Walau lebih banyak diisi dengan percakapan di luar topik polo’, tapi kami cukup senang. Kami memutuskan undur diri ketika Kak Latief mengingatkan bahwa ada destinasi lain yang perlu dituju.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Foto bersama Obe’ Aji (tengah bertopi dan sarung merah)/Fathurrozi Nuril Furqon

Destinasi kedua adalah kediaman pengepul polo’, yang ternyata juga masih kerabat Kak Latief. Pengepul itu oleh masyarakat Andulang biasa dipanggil obe’ (kakek) Aji. Di kediaman beliau, kami diperlihatkan gerabah-gerabah Madura, seperti kattah, polo’, pennay, peltheng, dan cobhik. Di sana, gerabah dibedakan jadi dua, yaitu yang sudah dan belum dibakar.

Di kesempatan itu, saya bertanya musabab para perajin gerabah Madura lebih akrab disebut pekattaan daripada pepolo’an, mengingat baik di residensi maupun dari respon masyarakat, eksistensi polo’ lebih mencolok daripada kattah. Obe’ Aji hanya bisa bilang tidak tahu. Sebagai pengepul, yang ia ketahui polo’ adalah komoditas yang paling banyak permintaannya.

Ketidaktahuan Obe’ Aji berlanjut ketika saya menanyakan sejarah Desa Andulang sebagai sentra pembuatan polo’. Menurutnya, sejarah itu begitu samar, karena sejak dahulu sekali, Andulang sudah menjadikan polo’ sebagai napas kebudayaan yang sangat menyatu dengan keseharian masyarakat. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Sesi drafting di Pantai Bintaro/Fathurrozi Nuril Furqon

Berkunjung ke Pantai Bintaro

Dari kediaman Obe’ Aji, para peserta dibawa ke Pantai Bintaro yang lokasinya cukup jauh dari Andulang. Letak pantai yang kami tuju lumayan tersembunyi. Kami harus melintasi sepanjang garis Pelabuhan Bintaro, lalu memasuki area persawahan sebelum sampai di pantai. 

Pasir yang putih dan lembut cukup menggoda untuk dijajal, apalagi airnya cukup jernih. Sayang sekali, beberapa menit kemudian hujan datang tanpa aba-aba. Para peserta dan panitia berjejalan berteduh di bawah kanopi-kanopi pohon, yang walaupun cukup rimbun, tetapi tidak mampu membuat kami selamat dari belaian air hujan.

Hujan itu berlangsung kurang lebih setengah jam. Ketika reda, para peserta kemudian dibagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing ditemani satu pembimbing. Kali ini, saya kembali tergabung dalam kelompok kedua bersama tiga peserta lain. Pembimbing kami adalah sastrawan beken, Pak Faidi Rizal Alief.

Siang itu, sesi dikhususkan untuk bimbingan drafting bakal cerpen yang harus dibuat para peserta selepas residensi. Kami berempat diminta membuat blurb atau sinopsis, serta dua paragraf pertama bakal cerpen kami. Sayangnya, kegiatan itu pun tidak bisa khusyuk karena tubuh kami dijadikan “santapan” para nyamuk di pantai.

Kami akhirnya diajak pulang panitia seiring mendung menggulung cerahnya langit. Hujan kembali deras ketika kami baru menyusuri garis pelabuhan yang panjang sekali. Saya yang sudah kuyup segera mencari tempat berteduh. Untungnya, karena saya berjalan paling awal, saya segera bisa sampai ke barung (sejenis gubuk). Beberapa saat setelahnya, menyusul satu per satu peserta dan panitia setelah tunggang langgang berlari.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hujan-hujanan di perahu majheng/Fathurrozi Nuril Furqon

Karena sudah kepalang basah, tidak seru rasanya tidak menyelam sekalian. Beberapa peserta—tidak termasuk saya—memutuskan bermain air hujan di antara perahu-perahu majheng yang sedang berlabuh. Menyenangkan sekali melihatnya. Sayang, saya tidak bisa ikut serta karena tidak kuat dingin.

Setelah puas, Pak Sofyan RH Zaid menawari kami ngopi di warung dekat barung. Tentunya kami senang menerima tawaran beliau. Di antara kepul panas kopi dan asap rokok, beliau menyampaikan bahwa residensi serupa akan dilaksanakan lagi tahun 2025. 

Besar kemungkinan residensi yang akan datang adalah residensi puisi. Rencananya, residensi akan dilaksanakan di “pulau oksigen” Gili Iyang dan diperluas jangkauan pesertanya untuk wilayah Jawa-Madura. Saya menyambut baik kabar tersebut, mengingat Jawa-Madura merupakan lumbung penyair di Indonesia. Akan sangat menyenangkan rasanya memperebutkan tiket residensi dengan banyak penulis puisi kedua daerah tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/feed/ 0 45427
Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/ https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/#respond Sun, 22 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44655 Mencari jejak manuskrip kuno di suatu desa merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, hal itu tidak terjadi ketika saya mencari keberadaan manuskrip di Desa Billapora Barat, Ganding, Sumenep. Selain langsung menemukan empunya manuskrip, jumlah yang...

The post Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora appeared first on TelusuRI.

]]>
Mencari jejak manuskrip kuno di suatu desa merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, hal itu tidak terjadi ketika saya mencari keberadaan manuskrip di Desa Billapora Barat, Ganding, Sumenep. Selain langsung menemukan empunya manuskrip, jumlah yang saya dapati dalam perbendaharaan desa juga tidak main-main, yaitu sebanyak 53 manuskrip.

Mudahnya manuskrip di desa yang berada di pelosok Sumenep ini ditemukan, tidak terlepas dari kesadaran para ahli waris terkait nilai historis yang terkandung di dalam manuskrip itu sendiri. Dalam perjalanannya, kesadaran akan konservasi manuskrip kuno tumbuh pada pertengahan tahun 2020, ditandai dengan kiriman status Facebook salah seorang ahli waris, yaitu Lora Badrus Shaleh, atau lebih beken dipanggil Raedu Basha. Ia adalah pengasuh Ponpes Darussalam Billapora, sekaligus penyandang titel “Sastrawan Santri”. 

Lewat status tersebut, Lora Badrus menunjukkan “gerbung”, sejenis peti tua yang kerap dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka. Gerbung itu merupakan peninggalan leluhurnya, yang konon memiliki kemiripan dengan gerbung yang berada di Keraton Sumenep. 

Gerbung itu berisi manuskrip-manuskrip kuno, dan berada di rumah induk (rumah sesepuh) keluarganya yang kurang mendapatkan perawatan. Karenanya, tak mengherankan jika saat gerbung dibuka, kondisi manuskrip cukup mengkhawatirkan. Debu menempel di antara lembar manuskrip yang tercecer dan campur aduk dengan kitab kuning, dan buku lainnya. Beberapa bahkan tampak hilang di sejumlah bagiannya, baik karena aus dimakan zaman maupun karena raib dalam perut rayap.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Sertifikat terhadap kumpulan manuskrip Agung Darma Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Upaya Konservasi Manuskrip Agung Darma

Puncak konservasi terjadi pada pertengahan Agustus 2023, saat seluruh elemen keluarga besar Agung Darma di Billapora mencapai satu suara untuk menyelamatkan manuskrip-manuskrip pusaka keluarga. Mereka bersepakat untuk menggandeng tim DREAMSEA, BRIN, dan Hamburg University dalam proses malih rupa manuskrip, yang awalnya berbasis kertas menjadi dokumen digital. 

Proses malih rupa memakan waktu tiga hari. Selama itu, tim menginap di rumah Haji Djumali, salah satu ahli waris Agung Darma yang kediamannya berada dekat dengan rumah induk. Dalam rentang itu pula, dari total 53 manuskrip di rumah induk, 36 manuskrip berhasil dilakukan digitalisasi. Sisa dari jumlah tersebut merupakan manuskrip-manuskrip yang telah demikian rusak, sehingga tidak memungkinkan untuk digitalisasi. 

Manuskrip-manuskrip yang terselamatkan mayoritas merupakan mushaf Alquran. Lebih dari itu merupakan manuskrip-manuskrip berupa kitab keagamaan, primbon, kumpulan catatan, surat-surat, ilmu wayang, ilmu gramatikal Arab, mamaca dalam berbagai bahasa (Jawa, Madura, Belanda, Cina, dan Arab), serta amalan-amalan.

Manuskrip-manuskrip tersebut ditulis dalam aksara Arab, Jawa/Carakan Madura, dan pegon. Kertas yang dipakai merupakan kertas daluang dan kertas Eropa. Lalu, terdapat ruang kosong dalam seluruh manuskrip yang berfungsi sebagai tempat menuliskan catatan, yang umumnya berupa doa-doa. Poin terakhir inilah yang menjadi ciri khas utama dari manuskrip Agung Darma.

Sebenarnya jumlah keseluruhan manuskrip dalam perbendaharaan keluarga besar Agung Darma, lebih dari jumlah tertera di atas. Selain terdapat manuskrip yang raib dan rusak, terdapat pula beberapa manuskrip yang dibawa oleh anggota lain keluarga besar. Mereka tersebar di berbagai penjuru Madura, bahkan Jawa. 

Proses pencarian manuskrip-manuskrip itu merupakan pekerjaan yang teramat sulit, karena Agung Darma merupakan tokoh yang hidup lebih dari 200 tahun lalu. Anak-anaknya yang berjumlah 10 orang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Maka, mengidentifikasi keturunan Agung Darma merupakan sesuatu yang mendekati kemustahilan. Sebab, dalam hal silsilah keluarga, pengetahuan terkait itu hanya diwariskan secara oral atau lisan, dan jarang sekali ada keluarga yang menuliskan bagan kekerabatannya dalam bentuk tulisan. Hal demikian tidak terkecuali dialami oleh keluarga besar Agung Darma.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Informasi tentang tempat lokakarya BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Manuskrip dalam Tarikh

Terkait jumlah manuskrip yang bisa dikatakan “melimpah”, peran sosok Nyai Raden Ayu Sumiro Ing Sumenep atau Gung Sumi tidak bisa diabaikan. Beliau adalah cicit Sunan Giri yang hidup pada abad ke-17 Masehi. Alkisah, pada tahun 1636 M, Giri Kedaton diserang oleh Kesultanan Mataram Islam di bawah komando Pangeran Pekik dari Surabaya. Penyerangan yang membuahkan kekalahan Giri Kedaton itu menimbulkan kegusaran bagi para anggota keluarga besar Sunan Giri, tak terkecuali Gung Sumi.

Mendapati tidak ada lagi masa depan cerah di Giri Kedaton, Gung Sumi memutuskan lari ke Madura, tepatnya ke sebuah daerah yang kelak bernama “Billapora”. Saat itu, Billapora masih berupa alas, dan hanya ditempati oleh beberapa orang saja. Orang-orang tersebut nonmuslim. Memang, saat Gung Sumi datang, Madura masih belum seluruhnya tersentuh tangan-tangan suci para dai, dan juga kerajaannya berada di bawah hegemoni penguasa yang belum sepenuhnya memprioritaskan Islam. Keadaan itu menggerakkan jiwa pendakwah dalam diri Gung Sumi. 

Jerih payah Gung Sumi dibayar tuntas dengan masuk Islamnya enam orang di Billapora. Mereka bernama Uni, Uti, Uli, Ulha, Tera, dan Terak. Bersama mereka, Gung Sumi memulai pembabatan alas di Billapora untuk didirikan pemukiman warga. 

Lalu dari mana asal manuskrip-manuskrip tersebut? Menurut Lora Badrus, sebagian manuskrip merupakan koleksi Giri Kedaton yang dibawa Gung Sumi saat terjadinya penaklukan. Sebagian lainnya, merupakan hasil pemikiran Gung Sumi sendiri.

Khazanah itu kemudian diwariskan turun-temurun sampai ke cucunya, Agung Darma. Pada masa Agung Darma, koleksi manuskrip bertambah karena ia mendapat hadiah beberapa manuskrip dari sultan Islam pertama di Kerajaan Sumenep, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Memang hubungan antara keduanya begitu harmonis. Agung Darma yang bernama asli Abdillah merupakan penasihat Sultan Abdurrahman.

Keseluruhan manuskrip kemudian ditaruh di rumah Agung Darma, bukan rumah Gung Sumi. Beberapa manuskrip pun diimbuhi dengan tulisan yang menyebutkan bahwa manuskrip itu adalah kepunyaan Agung Darma. Dari sana, penamaan Manuskrip Agung Darma pada manuskrip-manuskrip di rumah induk keluarga Lora Badrus, bisa dirunut asal mulanya.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Kegiatan membatik oleh para santri di BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Keunikan Manuskrip

Manuskrip Agung Darma menunjukkan beberapa perbedaan antara disiplin keilmuan di zamannya dan disiplin keilmuan modern. Itu ditunjukkan lewat manuskrip tentang gramatikal Arab, yang menurut Lora Badrus terdapat perbedaan antara materi nahwu shorrof di manuskrip dengan materi serupa di kitab-kitab kontemporer. Lalu di kitab tentang amalan-amalan, terdapat beberapa ilmu yang tidak bisa ditemukan lagi saat ini, sebagai misal; amalan membuat pencuri tersesat.

Dari itu semua, yang paling fenomenal barangkali ditemukannya bentuk wayang kuno dalam salah satu Manuskrip Agung Darma. Menurut Agus Iswanto, salah satu peneliti BRIN yang terlibat dalam digitalisasi manuskrip, wayang tersebut berbeda dengan wayang-wayang lain di Nusantara, dan baru ditemukan di Billapora. Wayang itu memiliki bentuk dasar seperti wayang di Jawa, dengan salah satu tangan tokoh wayang digambarkan sedang memegang pedang—hal yang jarang ditemukan pada bentuk wayang lain. Lalu, dalam wayang Billapora, wajah tokoh wayang tidak digambarkan dengan detail. Sebagai gantinya, wajah tokoh wayang digambarkan memakai penutup wajah serupa zirah. Detail lainnya terletak pada gambar baju tokoh wayang yang mana tidak memakai pakaian era kerajaan kuno Jawa, tetapi memakai pakaian bermotif kotak-kotak.

Temuan itu, mengusik jiwa kreatif dalam diri Lora Badrus untuk memanifestasikan gambar-gambar dan ornamen-ornamen dalam manuskrip menjadi batik. Sejak disadarinya keberadaan Manuskrip Agung Darma di rumah induk, ia mulai merintis produk batik bernama Batik Gung Sumi. Dasar pemikirannya begitu sederhana, seperti yang ia sampaikan, “Mereka makek batik, tau terhadap sejarah desa, selesai.”

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Contoh gambar sketsa wayang Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Malih Rupa Manuskrip Jadi Batik

Awalnya, batik Gung Sumi hanya menampilkan corak yang merupakan adaptasi dari ornamen-ornamen penghias pinggiran kertas manuskrip. Namun, sejak ditemukannya Wayang Billapora pada tahun 2023, ia mulai berimprovisasi dengan menambahkan gambar wayang itu ke dalam batik-batik yang ia buat. Proses pembuatan batik pun mengalami transformasi. Dari yang awalnya menggunakan teknik batik celup, berubah menggunakan teknik batik tulis. Alasannya karena sebelum 2023 gambar di manuskrip begitu abstrak sehingga tidak mudah ditiru. Namun, ketika digitalisasi telah rampung, gambar pun menjadi lebih jernih.

Dalam proses produksinya, batik Gung Sumi sebagai usaha yang baru dirintis tidak dijadikan semacam pabrik yang terus menuntut diproduksinya barang dalam jumlah tertentu selama periode tertentu pula. Sebagai jalan keluar, ia memberdayakan santri-santrinya untuk mengikuti pelatihan membatik. Pelatihan dilaksanakan pada pukul 13.00-15.00 WIB, kadang pula malam. Batik itu diselesaikan dalam jangka waktu kondisional, dengan waktu paling cepat setengah bulan. 

Pembuatan batik pertama-tama melewati proses pembuatan desain atau pola batik terlebih dahulu. Desain dibuat di atas kertas kope’an (layangan), lalu dijiplak ke kain katun jenis primisima. Jika telah selesai, maka batik siap ditulisi lewat proses nyanting. Batik yang telah ditulisi kemudian melewati tahap pewarnaan.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Pembuatan sketsa batik Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Harga satuan batik Gung Sumi dibanderol dari harga Rp300.000 hingga Rp500.000. Untuk proses pemasaran, Lora Badrus bekerja sama dengan Universitas Indonesia, almamater istrinya, Ny. Iffah Hannah. Berdasarkan ceritanya, batik Gung Sumi telah tersedia di UI Store dan Kopma UI. Selain itu, batik Gung Sumi juga akan diikutsertakan dalam bazar budaya di UI. 

Ikhtiar Lora Badrus melestarikan Manuskrip Agung Darma lewat Batik Gung Sumi merupakan proses yang tidak akan selalu berjalan lancar. Dalam fase perintisan, memang masih belum banyak yang bisa ia tunjukkan kepada khalayak ramai. Namun, jika ia istikamah melangkah, maka cita-citanya untuk menjadikan Billapora masyhur dengan budayanya, lambat laun pasti tercapai jua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/feed/ 0 44655