Fransiska Maria Tukan https://telusuri.id/author/fransiska-maria-tukan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 11 Mar 2024 12:51:12 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Fransiska Maria Tukan https://telusuri.id/author/fransiska-maria-tukan/ 32 32 135956295 Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/#respond Tue, 12 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41340 Kali ini saya akan menceritakan perjalanan liburan beberapa waktu lalu, ketika kami melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng. Ile Boleng atau Ili Boleng merupakan gunung berapi aktif yang berada di tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores...

The post Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara appeared first on TelusuRI.

]]>
Kali ini saya akan menceritakan perjalanan liburan beberapa waktu lalu, ketika kami melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng. Ile Boleng atau Ili Boleng merupakan gunung berapi aktif yang berada di tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung dengan ketinggian sekitar 1.659 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini sudah tercatat beberapa kali meletus. 

Perjalanan saya dimulai dari ibu kota kabupaten, yakni Larantuka. Saya berangkat menggunakan kendaraan roda dua ke Pulau Adonara. Untuk menuju Pulau Adonara, saya harus menyeberang menggunakan perahu motor. Penumpang cukup membayar tiket seharga Rp30.000 per orang.

Sesampainya di Pelabuhan Waiwerang, Adonara, saya menuju Desa Nobo untuk beristirahat semalam di sana. Saya menginap di rumah keluarga salah satu teman kenalan. 

Persiapan Pendakian

Keesokan harinya, saya berangkat ke Desa Witihama. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari Nobo. Di sana, saya bertemu teman-teman pencinta alam dari Witihama. Kami merencanakan beberapa hal dan persiapan sebelum melakukan pendakian.

Tepat pukul 19.00 WITA, saya bersama teman-teman pendaki berkumpul di balai warga untuk makan malam bersama, Kami juga mempersiapkan bekal pendakian, seperti makanan ringan, air mineral, dan obat-obatan. Perjalanan kali ini adalah pendakian pertama saya, sehingga saya lebih memilih ikut dalam rombongan teman-teman Witihama. Mereka sudah terbiasa dan sering melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng.

Menurut informasi yang saya ketahui, pendakian menuju Puncak dapat ditempuh dari tiga arah, yaitu Kampung Dua Muda (utara—timur laut) Kampung Lamahelan Atas (selatan), dan Kampung Lamabayung (timur). Kami memilih jalur pendakian lewat Kampung Dua atau jalur utara—timur laut.

Lintasan jalur Kampung Dua tersebut tidak terlalu berat dan terjal. Kemiringan lerengnya sekitar 40°—45°, kecuali pada daerah hampir mendekati puncak yang kemiringan lerengnya 50°—55° dengan kondisi trek sangat licin karena tertutup endapan jatuhan piroklastik muda yang tidak padu. Lama perjalanan dari Kampung Dua menuju puncak sekitar lima jam.

Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
Pemandangan matahari terbit dari Puncak Ile Boleng/Fransiska Maria Tukan

Pendakian Penuh Tantangan Menuju Puncak

Tepat pukul 10 malam, kami bersiap memulai pendakian. Karena ini adalah pendakian pertama saya, jujur rasanya memang cukup sulit dan menantang.

Kami menggunakan senter sebagai penerang jalur malam itu. Ya, dengan alat seadanya, kami selalu diminta untuk saling menjaga teman. Ketika sudah berjalan tiga jam, kami beristirahat sejenak dan menyalakan api untuk menghangatkan diri.

Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Pendakian menuju puncak benar-benar menantang. Tanjakan demi tanjakan membuat saya lumayan kelelahan. Saya sangat bersyukur dan terbantu oleh salah satu teman dari Witihama, yang saat itu siaga menjaga saya.

Melakukan pendakian di malam hari sebenarnya sangat membantu. Apalagi bagi pemula seperti saya. Saya memang agak takut dengan ketinggian. Sampai ketika ia melihat saya yang benar-benar kepayahan, tubuh saya pun ditopang olehnya. Akhirnya saya bersemangat lagi melanjutkan langkah menuju puncak.

Tepat pukul 05.00, atau setelah tujuh jam mendaki, kami tiba di Puncak Ile Boleng. Udara pagi itu sangat dingin. Membuat tubuh saya menggigil karena kedinginan. Jaket yang saya kenakan benar-benar tidak membantu. Namun, saya tetap berusaha menikmatinya. Namanya juga petualangan.

  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara

Aktivitas di Puncak Ile Boleng

Pemandangan alam yang terlihat dari dataran puncak sungguh luar biasa. Terlebih ketika sinar matahari mulai perlahan menampakkan dirinya dari balik cakrawala.

Kawasan Puncak Ile Boleng masih sangat alami. Dataran puncak yang berumput dan penuh batu tersebut belum tersentuh pembangunan apa pun. Namun, ketika sudah berada di puncak, keselamatan benar-benar dipertaruhkan karena tidak ada pagar pengaman di sekitar bibir kawah. Jika ingin memberanikan diri mengelilingi kawah Ile Boleng, harus didampingi oleh orang-orang yang sudah berpengalaman. Saya saja, bersama beberapa teman dari Larantuka, merasa pendakian ke gunung ini menguji nyali.

Kami beristirahat cukup lama di puncak. Bersama-sama menyantap beberapa bekal roti yang kami bawa. Setelah itu saya memberanikan diri untuk mengambil dokumentasi.

  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara

Selain panorama alamnya, yang menarik dari Gunung Ile Boleng adalah keberadaan mata air di area puncaknya. Mata air ini diyakini masyarakat setempat memiliki berbagai macam khasiat. Namun, air tersebut tidak boleh dibawa pulang karena bisa menyebabkan bahaya. Oleh karena itu, setiap pendaki yang datang hanya bisa mengambil air untuk sekadar membersihkan wajah, tangan, dan kaki.

Puas berkeliling, kami pun pulang. Tantangan dalam perjalanan turun tentu berbeda dibandingkan saat naik. Panas matahari terasa lebih menyengat kulit, ditambah kaki kami harus benar-benar kuat dalam menopang beban tubuh. Turunannya begitu curam, sehingga kami harus berhati-hati jika tak ingin jatuh dan tergelincir ke jurang. Kami pun tiba di salah satu pondok perkebunan milik warga sekitar pukul 14.00 WITA.

Siang itu juga, usai menghabiskan perbekalan, saya memutuskan untuk langsung kembali ke Larantuka. Kami berpamitan dengan warga sekitar, dan juga teman-teman dari Witihama yang telah mendampingi pendakian pertama saya ke Ile Boleng.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/feed/ 0 41340
Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot https://telusuri.id/mengenal-aksesoris-perempuan-lewolema-dalam-balutan-pakaian-tradisional-lamaholot/ https://telusuri.id/mengenal-aksesoris-perempuan-lewolema-dalam-balutan-pakaian-tradisional-lamaholot/#respond Sun, 21 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40977 Secara tradisional baju adat Nusa Tenggara Timur (NTT) dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pakaian adat pria dan adat wanita. Pakaian adat NTT biasanya menggunakan kain tenun. Salah satu rumpun budaya atau kelompok etnik yang masih...

The post Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot appeared first on TelusuRI.

]]>
Secara tradisional baju adat Nusa Tenggara Timur (NTT) dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pakaian adat pria dan adat wanita. Pakaian adat NTT biasanya menggunakan kain tenun. Salah satu rumpun budaya atau kelompok etnik yang masih melestarikan tradisi baju adat tersebut adalah Lamaholot di Flores Timur.

Terdapat hal menarik untuk diceritakan terkait pakaian tradisional khas Lamaholot dan pernak-pernik yang melekat padanya. Khususnya yang kerap dipakai kelompok perempuan Lamaholot di Kecamatan Lewolema. Sebuah permukiman yang berada di sisi barat Larantuka, ibu kota Flores Timur dan terpisah oleh Gunung Ile Mandiri. 

Gelang tangan perempuan Lamaholot di Lewolema/Fransiska Maria Tukan
Para perempuan penerus generasi muda Lamaholot di Lewolema/Fransiska Maria Tukan

Ada begitu banyak aksesoris yang kian mempercantik perempuan Lamaholot dengan balutan pakaian daerahnya. Pakaian adat Lamaholot dan aksesoris pelengkap tersebut seperti menjadi ciri khas tersendiri. Aksesoris pada laki-laki agak sedikit berbeda dengan perempuan. Namun, keduanya sama-sama mengenakan sarung tenun dan baju senuji dengan warna dan motif yang relatif serupa.

Setiap aksesoris yang digunakan mempunyai makna dan tujuan tersendiri dalam kebudayaan Lewolema. Berikut sejumlah pakaian dan aksesoris yang biasa dikenakan oleh perempuan Lamaholot di Lewolema.

1) Baju tradisional

Baju atau busana tradisional untuk perempuan Lewolema disebut dengan labu senuji. Labu adalah bahasa Lamaholot yang berarti baju. Baju senuji identik berwarna hitam dengan bordiran huruf “S”. Hitam menjadi warna paten dan ciri khas untuk baju senuji perempuan Lewolema.

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Tampilan busana adat senuji perempuan Lewolema/Fransiska Maria Tukan

Merujuk Ruron (2020), terdapat dua versi yang berkaitan dengan motif atau simbol (kenire) yang umumnya berbentuk huruf “S” dan disulam pada baju adat senuji: Versi pertama adalah motif ular naga, yang merupakan simbol kekuatan. Apabila dirunut dengan kepercayaan adat setempat, terutama berkaitan dengan dewi padi (Nogo Gunu atau Ema Hingi), ular adalah pertanda hasil panen. Masyarakat adat percaya bahwa kehadiran ular di kebun memberi petunjuk akan hasil panen yang melimpah dari pemilik kebun, khususnya kebun adat suku atau kampung.

Adapun motif versi kedua adalah rasi bintang yang berbentuk pari atau layang-layang. Rasi bintang pari terdiri dari empat buah bintang utama dan satu bintang bantu. Sebelum mengenal kalender atau kompas, masyarakat Indonesia—khususnya Flores Timur—biasanya menggunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah dalam suatu perjalanan. Rasi yang terdiri dari lima bintang tersebut kemudian berkembang dengan menghubungkannya dalam aktivitas menanam padi. Masyarakat adat setempat menyebutnya dengan nama Pari Lema Rere atau “lima pari terlihat”, yang artinya musim tanam sudah dimulai dan pertanda saatnya menanam padi, jagung, dan pangan pokok lainnya. Namun, sebelum menanam terlebih dahulu melakukan ritual adat di kebun tersebut.

Selain Pari Lema Rere, konon juga terdapat istilah Wuno Pito Gere (tujuh bintang). Ketika melihat Wuno Pito Gere, berarti masyarakat adat segera menyiapkan benih padi, jagung, dan tanaman lainnya untuk ditanam di kebun yang telah disiapkan.

2) Sarung atau rok

Sarung untuk perempuan Lamaholot dinamakan emu kwatek. Dalam bahasa Lamaholot, emu kwatek bermakna sarung atau rok. Emu kwatek adalah sarung tradisional yang biasanya digunakan perempuan Lamaholot di Lewolema dalam setiap acara adat yang berlangsung di daerahnya.

3) Kain putih 

Dalam bahasa setempat, kain putih yang diikat di pinggang bersamaan dengan kewatek dinamakan sabok. Sabok merupakan sejenis kain putih yang dimaknai sebagai kebersihan hati seorang perempuan maupun laki-laki.

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Ikat pinggang motif khas Lewolema/Fransiska Maria Tukan

4) Ikat pinggang

Saat menggunakan kwatek atau sarung, biasanya perempuan Lewolema juga memakai ikat pinggang untuk mengikat sarung yang dikenakan. Ikat pinggang tersebut juga merupakan hasil tenun sedemikian rupa sesuai dengan motif khas Lewolema. 

5) Sisir 

Sisir atau dalam bahasa Lamaholot kiri, menjadi aksesoris kepala dengan hiasan bulu ayam. Sisir memiliki makna kemulian bagi seorang perempuan. Sisir yang digunakan umumnya berwarna merah, yang filosofinya mencerminkan keberanian. Adapun bulu ayam putih yang melekat pada kiri melambangkan kesegaran dan kebersihan.

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Sisir sebagai aksesoris kepala yang dipakai perempuan Lewolema/Fransiska Maria Tukan

6) Kalung 

Kalung atau nile merupakan hiasan leher yang menjadi aksesoris pendukung dalam pakaian tradisional Lamaholot. Nile terbuat dari manik dan benang. Penggunaan aksesoris nile melambangkan sifat welas asih atau kasih sayang seorang perempuan. 

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Aksesoris kalung perempuan Lamaholot di Lewolema/Fransiska Maria Tukan

7) Anting 

Dalam bahasa lokal, anting dinamakan belao. Belao menjadi aksesoris pendukung yang dikenakan pada sepasang telinga. Belao terbuat dari logam atau besi dan benang berwarna merah. Anting atau belao pada pakaian tradisional Lamaholot melambangkan harkat dan martabat manusia, khususnya perempuan.

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Anting perempuan Lewolema/Fransiska Maria Tukan

8) Gelang 

Gelang adalah aksesoris pelengkap terakhir yang biasa dipakai oleh perempuan Lamaholot di Lewolema. Di sebagian kalangan masyarakat terdapat pendapat umum, yaitu penggunaan gelang pada tangan perempuan Lewolema sekaligus menunjukan identitas diri mereka sudah menikah (berkeluarga) atau belum. Selain itu gelang juga melambangkan perempuan sebagai pemilik hidup dan kekayaaan.

Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot
Gelang tangan perempuan Lamaholot di Lewolema/Fransiska Maria Tukan

Referensi
Ruron, Thobias. (2020). Mengenal Simbol pada Baju Adat Senuji. Diakses dari Suluh Nusa, https://suluhnusa.com/seni-budaya/20200203/mengenal-simbol-pada-baju-adat-senuji, 3 Februari 2020.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Aksesoris Perempuan Lewolema dalam Balutan Pakaian Tradisional Lamaholot appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-aksesoris-perempuan-lewolema-dalam-balutan-pakaian-tradisional-lamaholot/feed/ 0 40977
Seminggu di Kota Kembang https://telusuri.id/seminggu-di-kota-kembang/ https://telusuri.id/seminggu-di-kota-kembang/#respond Thu, 12 Sep 2019 09:00:58 +0000 https://telusuri.id/?p=17247 Liburan semester kali ini, saya memilih berkunjung ke kota yang dijuluki sebagai Kota Kembang, Bandung. Oleh karena Bandung adalah salah satu destinasi yang ramai dikunjungi wisatawan, saya harus memesan tiket kereta api lebih awal, seminggu...

The post Seminggu di Kota Kembang appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan semester kali ini, saya memilih berkunjung ke kota yang dijuluki sebagai Kota Kembang, Bandung. Oleh karena Bandung adalah salah satu destinasi yang ramai dikunjungi wisatawan, saya harus memesan tiket kereta api lebih awal, seminggu sebelum keberangkatan, agar tidak kehabisan.

Saya berangkat dari Jogja hari Rabu sore pukul 14.10 WIB dari Stasiun Lempuyangan. Perjalanan yang cukup jauh membuat saya merasa cukup lelah. Namun saya sangat menikmatinya. Kereta Pasundan tiba di Stasiun Kiaracondong Bandung sekitar pukul 23.25 WIB. Saudara saya, Selvi, yang sedang kuliah di salah satu kampus di Bandung, sudah setengah jam menunggu saya di stasiun. Setelah kami bertemu, Selvi pun memesan taksi online dan kami berangkat menuju ke kosnya yang berada di daerah Buah Batu.

Setiba di kos, Selvi membuatkan teh hangat untuk saya dan kami pun bercerita singkat tentang perjalanan saya dari Jogja. Cukup hangat dan seru cerita malam itu. Namun, ketika waktu sudah menujukan pukul 01.00 WIB, kami pun segera beristirahat.

Keesokan siang, hari pertama liburan, saya dan Selvi mengunjungi keluarga yang tinggal di Sumedang dengan menggunakan angkutan DAMRI. Cukup dengan membayar ongkos Rp10.000, kami pun tiba di Sumedang. Kami menginap di rumah tante dan om selama tiga hari. Tak banyak yang kami lakukan selama di sana. Setiap sore hari kami berkeliling di seputar kompleks perumahan dan ke warung sayur membeli bahan makanan untuk dimasak. Di hari ketiga, kami pun kembali ke Kota Bandung.

Setibanya di Bandung, sore di hari keempat liburan, saya mampir ke alun-alun kota dan menelusuri Jalan Asia-Afrika. Bersama Selvi, saya naik angkutan umum yang ongkosnya Rp4.000.

Berfoto di Jalan Asia Afrika Bandung/Fransiska Maria Tukan

Sesampai di sana, alun-alun sudah begitu ramai dipadati pengunjung, mulai dari anak kecil, remaja, sampai orang tua. Tidak mengherankan sebab saat itu memang akhir pekan. Anak-anak berlarian sambil bermain bola dengan teman-temannya, orangtua begitu asyik bercerita sambil mengamati putra-putrinya yang bermain.

Setelah mengabadikan beberapa momen di sana, saya pun melanjutkan perjalanan menelusuri Jalan Asia-Afrika. Jalan itu terlihat begitu indah dan megah sebab penuh bangunan-bangunan bersejarah. Tentu saja saya mengabadikan momen selama di sana, dalam bingkai-bingkai foto dan klip video pendek.

Saat hari sudah mulai gelap, kami pun kembali ke kos.

Mampir ke Ciwidey

Hari kelima liburan, saya mampir ke Kawah Putih. Karena jarak Kawah Putih dari Kota Bandung cukup jauh, kami memilih menggunakan motor agar lebih cepat. Selesai bersiap-siap, saya dan Selvi pergi ke rental motor Andis Rent yang harga sewanya cukup terjangkau untuk mahasiswa. Setelah membayar Rp70.000 untuk satu hari dan menjaminkan KTP dan kartu mahasiswa, kami pun berangkat menuju Kawah Putih.

Kawah Putih terletak di daerah Ciwidey. Jaraknya dari Kota Bandung lumayan jauh, kira-kira tiga jam perjalanan lebih. Kami berangkat pagi-pagi sekali demi menghindari kemacetan. Namun, namanya kota besar, kemacetan pasti selalu terjadi.

Usai melewati jalanan yang menanjak, kami tiba di kawasan Kawah Putih. Kami tidak langsung menuju ke lokasi Kawah Putih, sebab mesti menaruh kendaraan terlebih dahulu di pos yang sudah disiapkan sebagai lahan parkir. Tiket masuk ke Kawah Putih Rp25.000, parkir kendaraan roda dua Rp5.000, dan tiket ontang-anting sebesar Rp10.000. Jadi, total harga tiket masuk satu orang adalah Rp40.000.

Kami lalu diarahkan untuk menaiki ontang-anting, kendaraan yang mengantarkan para pengunjung wisata dari lokasi parkir menuju ke puncak kawah. Pemandangan selama perjalanan ke sana begitu menghibur mata. Sangat hijau dan begitu banyak pohon besar. Sejuk dan nyaman ketika berada di sana.

Kawah Putih Ciwidey/Fransiska Maria Tukan

Dari puncak, kami pun turun dari ontang-anting dan berjalan menuju kawah. Karena kawahnya mengeluarkan belerang, kami tak lupa menggunakan masker agar lebih aman. Hampir satu jam kami berfoto-foto dan menikmati keindahan Kawah Putih. Cuaca hari itu cukup cerah namun sedikit berkabut. Namun itu bukan alasan untuk tidak berlama-lama di sana. Merasa cukup, kami pun kembali ke parkiran naik ontang-anting.

Dari wisata kawah putih, kami melanjutkan perjalanan ke Kebun Teh Ciwidey. Lokasinya hanya terpaut sekitar 15 menit perjalanan dari Kawah Putih. Untuk memasuki areal perkebunan teh, kami tidak perlu membayar parkir atau tiket—gratis. Hamparan tanaman teh yang tertata rapi dan hijau begitu menakjubkan. Karena itu adalah pengalaman pertama saya mengunjungi perkebunan teh tersebut, kamu bisa membayangkan betapa bahagianya saya saat itu.

Ketika hari sudah semakin sore, kami kembali ke Kota Bandung. Setiba di kos sekitar pukul 18.00 WIB, kami mandi dan menyiapkan makan malam. Selesai makan, saya mengajak Selvi mengelilingi kota Bandung di malam hari. Kota Bandung di malam hari sangat indah. Cukup ramai kendaraan yang lalu-lalang. Hampir sejam lebih berkeliling, akhirnya kami pun kembali ke kos dan beristirahat. Kami tidak sempat berfoto karena baterai ponsel sudah tidak kuat untuk membuka kamera.

Berfoto di tengah kebun teh/Fransiska Maria Tukan

Seharian di Dusun Bambu Lembang

Di hari keenam liburan, kami pergi ke Dusun Bambu Lembang. Dengan motor yang disewa di tempat yang sama, kami menempuh perjalanan sekitar dua jam ke Lembang. Karena masih pagi, jalan raya tidak begitu padat.

Sesampai di Dusun Bambu Lembang, setelah membayar tiket parkir kendaraan Rp10.000 dan tiket masuk Rp30.000, kami menelusuri Dusun Bambu. Tempatnya sangat luas dan hijau. Berjenis-jenis pohon bambu tumbuh di sana, juga aneka bunga. (Ada juga restoran, wahana permainan anak, dan ATM.) Yang membuat saya sangat senang selama berada di sana adalah kesempatan untuk menikmati aneka kesenian dan kerajinan bambu.

Juga, ada banyak lokasi berfoto yang bagus di Dusun Bambu Lembang. Rasa-rasanya, waktu seharian takkan cukup untuk menjelajahi semua tempat instagenik di sana. Makanya berat rasanya untuk meninggalkan Dusun Bambu. Tapi, karena hari sudah semakin sore, kami harus kembali ke Kota Bandung.

Di hari berikutnya, saya dan saudara saya hanya mengunjungi beberapa tempat dalam Kota Bandung, seperti Balai Kota Bandung, mal, dan tempat-tempat nongkrong lainnya.

Akhirnya liburan pun usai. Seminggu di Kota Bandung rasanya begitu singkat. Maunya, sih, masih ingin berlama-lama di Kota Kembang. Namun, sebagai seorang mahasiswa, saya mesti kembali ke kampus.

Sabtu sore, saya berangkat naik Kahuripan untuk kembali ke Jogja. Selvi mengantar saya sampai depan pintu masuk Stasiun Kiara Condong dan saya berjalan ke selasar. Ketika petugas stasiun mengumumkan bahwa Kahuripan sudah menunggu, saya bersama para penumpang lain masuk peron dan memasuki gerbong. Beberapa menit kemudian, kereta api perlahan-lahan meninggalkan Stasiun Kiaracondong.

Semoga waktu mengizinkan saya untuk kembali menyapa Kota Kembang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seminggu di Kota Kembang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seminggu-di-kota-kembang/feed/ 0 17247