Fuji Adriza https://telusuri.id/author/fuji-adriza/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 06 Jul 2020 15:01:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Fuji Adriza https://telusuri.id/author/fuji-adriza/ 32 32 135956295 Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/ https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/#comments Mon, 06 Jul 2020 02:30:29 +0000 http://telusuri.id/?p=3813 Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian. Di dalam diary itu...

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
Prof. Dr. Haris Otto Kamil Tanzil¹ (H.O.K. Tanzil) sudah jalan-jalan jauh sebelum generasi milenial bermunculan di permukaan bumi. Setiap kali melancong, ada satu benda yang tak pernah luput dibawanya: catatan harian.

Di dalam diary itu ia mencatat detail-detail kejadian yang dialaminya, sampai sekecil-kecilnya. Barulah kemudian ia menuliskan ceritanya dan mengirimkan ke media. INTISARI adalah majalah yang setia memuat catatan perjalanan H.O.K. Tanzil, dari tahun 70-an sampai 90-an awal.

H.O.K. Tanzil
Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin/Fuji Adriza

Perjumpaan pertama saya dengan karya-karya H.O.K. Tanzil terjadi medio 2014 ketika sedang asyik menelusuri pusat kota Kediri. Kalau tidak salah, waktu itu saya hanya menemukan tiga edisi INTISARI yang memuat tulisan sang pengelana. Lumayan, daripada tidak ada sama sekali. Majalah INTISARI lawas dan buku H.O.K. Tanzil memang sudah terbilang langka. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang pun, secara total saya baru menemukan sekitar lima edisi INTISARI bekas yang memuat tulisan Om Hok.

Namun beberapa bulan yang lalu ketika pameran buku saya mendapat durian runtuh. Seperti biasa, setiap kali ada eksebisi, seksi buku bekaslah yang pertama kali saya sambangi. Tak terkecuali malam itu. Hanya butuh beberapa menit menelusuri punggung buku sampai mata saya tertumbuk pada sejilid buku saku tipis berwarna coklat tua dengan tulisan kuning. Judulnya “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.” Pengarangnya: H.O.K. Tanzil!

Siapa H.O.K. Tanzil?

Secara tak terduga, buku saku kecil terbitan 1982 (Penerbit Alumni) itu memberikan banyak informasi kepada saya soal sosok H.O.K. Tanzil.

Om Hok ternyata lahir di Surabaya tahun 1923. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran UI dan lulus tahun 1953. Tahun 1960 ia sudah meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran Mikrobiologi dan 14 tahun kemudian, 1974, ia diangkat jadi Guru Besar di FKUI. Namun, oleh sebab kesehatan, ia pensiun muda tahun 1975.

Artinya, ketika ia melakukan perjalanan yang akhirnya dirangkum dalam “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” ini, usianya sudah lebih dari setengah abad! Lucunya lagi, perjalanan-perjalanan itu ia lakukan berdua dengan istrinya, yang katanya sakit-sakitan.

H.O.K. Tanzil
Om Hok dan Istri berfoto di depan Opera House Sydney/Fuji Adriza

Untuk manusia berumur lebih dari 50 tahun, perjalanan-perjalanan yang dilakukan H.O.K. Tanzil lumayan ekstrem. Tahun 1975 di Amerika Tengah, ia dan istrinya road-trip panjang selama berbulan-bulan dengan sebuah “camper” VW 1972 yang dibelinya di Rotterdam. Pada sebagian besar perjalanan, mereka tidur dan memasak di lahan terbuka yang aman untuk memarkir mobil.

Petualangan mereka ke Amerika Tengah itu sebenarnya adalah fase akhir dari perjalanan akbar selama 160 hari. Kamu pasti bakal kaget mengetahui bahwa jarak yang ditempuhnya adalah 45.000 km “melintasi 16 negara Eropa, Kanada, 30 negara bagian AS, Mexico dan Amerika Tengah” (hal. 51).

Di Australia, Om Hok dan istrinya membeli tiket terusan bis Ansett Pioneer untuk menjelajahi separuh Benua Australia. Selama tiga pekan, rute mereka adalah Sydney, Canberra, Melbourne, Adelaide, Alice Springs, Ayers Rock, Alice Springs, Tennant Creek, Mount Isa, Brisbane, Toowoomba, Brisbane, dan kembali ke Sydney.

Kemudian mereka juga sempat ke Pasifik, ke Pulau Tahiti, Polinesia Perancis, sebelum melanjutkan petualangan ke semua negara di Amerika Latin! Kalau saja Om Hok jaya di zaman digital seperti sekarang, ia barangkali sudah jadi selebgram yang punya pengikut jutaan orang.

Merekam zaman, H.O.K. Tanzil mencatat pengalamannya sampai hal-hal terkecil

Dalam sebuah wawancara dengan R. Ukirsari Manggalani dari National Geographic Indonesia, Om Hok berkata begini tentang buku catatan: “Ini modal saya untuk menulis. Buku harian membantu saya mengingat.”

Pada kenyataannya, tulisan-tulisan H.O.K. Tanzil memang amat detail. Ia mencatat segalanya dari mulai tanggal pembuatan visa, jam keberangkatan pesawat, nama kota yang pernah dilintasi, orang-orang yang dijumpai, sampai harga BBM, rumah, atau mobil VW di negara-negara yang sedang dikunjunginya.

Jika memang ia lupa mencatat karena alasan tertentu—misalnya ketiduran atau saat itu malam sehingga ia tak bisa melihat nama daerahnya di plang—ia akan dengan jujur menuliskan bahwa ia tidak sempat mencatat nama kota yang dilalui.

H.O.K. Tanzil
Bagian pertama cerita petualangan Pasifik, Australia, dan Amerika Latin/Fuji Adriza

Baginya, catatan harian sangat berharga dan betul-betul ia jaga. Tapi sekali waktu ia juga pernah lalai; buku hariannya pernah hilang dalam perjalanan melintasi Eropa naik kereta. Setiba di stasiun tujuan, ia melapor ke kepala stasiun. Untungnya catatan itu masih utuh di tempatnya ditinggalkan.

Namun, tanpa disadari, dengan mencatat rincian-rincian itu H.O.K. Tanzil juga mengabadikan zaman. Jika dibaca di kemudian hari, buku ini akan memberikan pembacanya gambaran lengkap masa ketika perjalanan itu dilakukan. Misalnya, di halaman 136 ia menulis: “La Paz, Ibukota tertinggi di seluruh dunia, berpenduduk kira-kira 800.000 letaknya 12.500 kaki di atas permukaan laut.” Contoh lain adalah harga bensin. Pada bulan Agustus 1975 ia mencatat bahwa, “Bensin dibeli seharga Peso Mexico M $ 1,50 (=Rp. 50) per liter (± Rp. 66 di USA dan Rp. 55 di Indonesia waktu itu” (hal. 4).

Menonton di bioskop, tak pernah alpa walaupun sedang di rantau

Meskipun sibuk bertualang di negeri orang, H.O.K. Tanzil selalu merindukan Indonesia. Kerinduan itu mengejawantah dalam pemilihan busana. “Sudah kebiasaan saya untuk selalu memakai baju batik di luar negeri,” tulisnya.

Selain itu, di setiap kota yang dilintasinya, ia juga selalu menyempatkan waktu untuk mengecek kantor pos besar. Siapa tahu dari Tanah Air ada kabar. Namun, sampai halaman terakhir “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” tak ada satu pun surat yang ia terima. Kerinduannya terhadap Indonesia cuma diobati oleh pertemuan-pertemuannya dengan diaspora Indonesia.

H.O.K. Tanzil
INTISARI Oktober ’89/Fuji Adriza

Rindu itu juga berusaha ditawar oleh Om Hok dan istrinya dengan menyempatkan mampir di restoran-restoran Tionghoa terdekat (karena rasanya tak jauh beda dari makanan Indonesia). Kalau ada orang yang tekun, barangkali dari buku catatan perjalanan ini dapat disarikan sebuah daftar harga restoran-restoran Tionghoa di Pasifik, Australia, Amerika Latin antara 1975-1976!

Sepanjang perjalanan, hanya satu hal yang tak banyak ia komentari: bioskop. Sebagai penggemar film, setiap ada waktu, di manapun dan kapanpun ia selalu mengajak istrinya untuk nonton di bioskop-bioskop setempat.

Saat di Buenos Aires, mereka tak melewatkan kesempatan nonton film Oscar, “One Flew Over the Cucko’s Nest.” Sewaktu di Sao Paolo, yang ditonton adalah “Samurai,” “Russian Roulette,” dan “Hindenberg.” Di Rio de Janeiro, yang ditonton adalah “The Man Who Was to be King”² dan “Lucky Lady.” Di Curacao, Antillen Belanda, mereka berdua nonton film kung fu!


[1] 19/10/2017 H.O.K. Tanzil tutup usia di umur 94 tahun.

[2] Barangkali maksudnya “The Man Who Would Be King.”

The post Mengenal H.O.K. Tanzil lewat “Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-perjalanan-h-o-k-tanzil/feed/ 1 3813
“My Boyhood and Youth”: Masa Kecil dan Remaja John Muir https://telusuri.id/my-boyhood-and-youth-masa-kecil-dan-remaja-john-muir/ https://telusuri.id/my-boyhood-and-youth-masa-kecil-dan-remaja-john-muir/#respond Sun, 14 Jun 2020 09:42:00 +0000 https://telusuri.id/?p=11679 Cerita soal masa kecil dan muda John Muir, naturalis Amerika Serikat yang namanya diabadikan sebagai gunung dan jalur lintas alam, ia bagikan lewat My Boyhood and Youth. Ia lahir tahun 1838 di Dunbar, Skotlandia, sebagai...

The post “My Boyhood and Youth”: Masa Kecil dan Remaja John Muir appeared first on TelusuRI.

]]>
Cerita soal masa kecil dan muda John Muir, naturalis Amerika Serikat yang namanya diabadikan sebagai gunung dan jalur lintas alam, ia bagikan lewat My Boyhood and Youth. Ia lahir tahun 1838 di Dunbar, Skotlandia, sebagai anak ketiga dari Daniel Muir dan Anne Gilrye. Pasangan itu punya delapan anak dan John Muir adalah anak laki-laki tertua.

Masa kecil Muir berwarna. Ia sering diajak kakeknya bertualang kecil-kecilan ke pinggir hutan atau reruntuhan istana peninggalan zaman baheula. Salah satu dari potongan-potongan kenangan yang ia ingat adalah ketika suatu hari di balik jerami ia melihat seekor tikus hutan sedang menyusui bayi-bayinya. Imajinasi liar khas masa kecil membuat induk tikus itu di mata John Muir tampak seperti mama beruang yang sedang menyusui bayi-bayinya.

Selain sang kakek, David, adik laki-laki John Muir, juga punya peran tak kalah signifikan dalam membuat masa kecil sang naturalis jadi makin berkesan. Di malam hari sebelum tidur mereka biasa berlomba-lomba memanjat apa yang bisa dipanjat di kamar, dari mulai dinding—dengan batu-batu menonjol yang bisa dijadikan poin—sampai kusen jendela.

John Muir
Foto John Muir oleh Carleton Watkins sekitar tahun 1875 via en.wikipedia.org

Menginjak masa sekolah, Muir berkelahi, bermain air di pantai dingin di Dunbar, memelihara burung yang ditangkap di hutan, dan berkompetisi dengan teman-temannya. “Di musim dingin, ketika tak banyak yang harus dikerjakan di ladang, kami mengadakan lomba lari,” kenangnya. Muir kecil dan teman-temannya pacu lari sepanjang jalan raya, melintasi bukit-bukit kecil, tanpa alasan khusus kecuali untuk membuktikan siapa yang paling kuat di antara mereka.

Masa-masa di Skotlandia menjadi fondasi bagi kiprahnya di masa depan. “Alam-bebas selalu ada dalam benak kami, dan Alam memastikan agar di samping pelajaran sekolah dan gereja kami juga menerima sebagian pelajaran darinya,” tulis Muir. Segala yang dialaminya semasa kecil adalah “permulaan dari pengembaraan-pengembaraan (yang kemudian akan ia lakukan) sepanjang hidup.”

Diboyong ke Dunia Baru

Suatu malam, saat John Muir (sekarang 11 tahun) dan David (9 tahun) sedang asyik membaca, ayahnya mengumumkan bahwa esok pagi mereka akan berangkat ke Amerika. Sang ayah ingin mencoba peruntungan di Dunia Baru.

Ia memboyong keluarganya dalam dua gelombang emigrasi. Pertama ia akan membawa tiga orang anaknya, yakni Sarah (13 tahun), John, dan David. Kemudian, setelah lahan yang cocok ditemukan dan rumah sudah dibangun, istri dan anak-anaknya yang lain akan menyusul.

Mereka menumpang kereta ke Glasgow, lalu meneruskan perjalanan menyeberangi Samudra Atlantik menuju Amerika. Kala itu belum ada kapal uap. Mereka harus menumpang kapal layar selama enam minggu tiga hari! Namun perjalanan panjang itu sama sekali tidak menjemukan bagi John dan David. Mereka melewatkan hari-hari dengan riang gembira; menjelajahi kapal, melihat awak kapal mengurus tali-temali dan memanjat di tiang-tiang kapal, atau main ke ruang kemudi kapal. Mereka “dengan takjub menyaksikan hiu dan lumba-lumba dan pesut dan burung-burung laut.”

john muir
John Muir tahun 1907 via en.wikipedia.org

Semula Daniel Muir berencana memulai hidup baru di Kanada. Namun, menjelang akhir pelayaran, seseorang menyarankan agar ia ke Amerika Serikat saja ketimbang Kanada. Selain lebih menguntungkan, Amerika Serikat adalah pilihan yang lebih bijaksana sebab “di Kanada hutannya sangat rapat dan lebat sampai-sampai hidup seseorang akan habis hanya untuk membersihkan beberapa ekar lahan dari pohon dan tunggul.”

Jadilah mereka ke Wisconsin. “Saat kami pergi ke belantara Wisconsin tidak ada satu pun jejak roda atau gerobak,” tulis John Muir. Dekat Portage, Daniel Muir membeli tanah menghadap danau. Danau itu kemudian diberi nama Fountain Lake oleh Daniel Muir, meskipun para tetangga lebih suka menyebutnya Muir’s Lake.

John dan David ikut membuka lahan. Tugas pertama John adalah membakar semak belukar yang akan dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Menurutnya, itulah “perapian besar di alam-bebas yang pertama kali kulihat, pemandangan menakjubkan bagi seorang bocah.”

Hari-hari di Wisconsin

Sebagaimana halnya para pelopor lain yang mengadu nasib di Dunia Baru, setiap hari bagi John Muir adalah kerja keras. Muir bercerita bahwa hanya dua hari dalam setahun mereka benar-benar bebas dari tugas, yakni pada Hari Kemerdekaan 4 Juli dan Tahun Baru 1 Januari.

Fountain Lake kemudian menjadi semacam sekolah alam bagi John Muir. Di sela-sela tugas padat yang menuntutnya mengeluarkan keringat sampai belasan jam dalam sehari, Muir menemukan banyak kesenangan di sekitar danau yang tepiannya dihiasi oleh bunga lili putih dan oranye itu. Selain belajar hal-hal baru seperti berkuda, berburu, dan berenang, ia juga dengan antusias mengamati karakter dan tabiat binatang-binatang liar yang tinggal atau melintas di danau itu, dari mulai tikus hutan, tupai, berang-berang, sampai beraneka jenis burung warna-warni.

Saat menginjak usia lima belas atau enam belas tahun, John Muir mulai menemukan kesenangan pada ilmu pengetahuan. “Aku senang membaca, namun ayah hanya membawa beberapa buku agama dari Skotlandia,” tulisnya. Sejak itu segala usaha ia lakukan untuk membujuk ayahnya membelikan buku-buku menarik untuk dibaca.

quotes tentang gunung
“John Muir Wilderness” via pexels.com/Olivia Wright

Tangan Muir juga mulai gatal untuk membuat sesuatu. Secara sembunyi-sembunyi, ia mulai membuat berbagai macam mesin, dari mulai pemotong kayu otomatis, termometer, sampai jam weker—karya-karya yang saat itu begitu orisinil. Lama-lama, bakatnya ini tercium juga. Para tetangga menganggapnya jenius. Suatu hari seorang tetangga memberi saran agar ia membawa karya-karyanya ke State Fair di Madison.

Akhirnya, dengan bekal sekitar lima belas dolar dalam saku, John Muir meninggalkan rumahnya di Fountain Lake dan pergi ke Madison. Dan benar bahwa mesin-mesinnya menarik perhatian banyak orang. Pameran di Madison itu membuka banyak kesempatan untuknya. Sempat bekerja di beberapa tempat, ia pun akhirnya menyadari bahwa ia “sangat lapar dan haus akan ilmu dan bersedia menghadapi apa pun untuk mendapatkannya.”

Setelah menghadap Professor Stirling, dekan dan penjabat rektor di Universitas Wisconsin kala itu, John Muir diizinkan untuk belajar di kampus itu. (Sejak meninggalkan Skotlandia usia sebelas tahun, John Muir tidak lagi sekolah.) Namun, ia tak mengambil peminatan tertentu selama di universitas. Ia belajar ilmu-ilmu yang menurutnya akan sangat bermanfaat bagi kehidupannya, misalnya kimia, matematika, fisika, bahasa Yunani dan Latin, botani, dan geologi.

Setelah empat tahun menuntut ilmu di Universitas Wisconsin, dengan mata berembun John Muir mengucapkan selama tinggal pada almamaternya. Dari Universitas Wisconsin, Muir melanjutkan studinya ke “Universitas Alam Bebas.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “My Boyhood and Youth”: Masa Kecil dan Remaja John Muir appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/my-boyhood-and-youth-masa-kecil-dan-remaja-john-muir/feed/ 0 11679
Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/ https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/#respond Thu, 11 Jun 2020 15:16:00 +0000 https://telusuri.id/?p=12878 Pagi hari, 16 Mei 1975. Kala itu Junko Tabei sudah beranjak dari South Col. Puncak Everest sudah semakin dekat. Kurang dari dua minggu sebelumnya, longsoran salju (avalanche) memorak-porandakan kamp Tabei di ketinggian 6.400 mdpl. Kengerian...

The post Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi hari, 16 Mei 1975. Kala itu Junko Tabei sudah beranjak dari South Col. Puncak Everest sudah semakin dekat. Kurang dari dua minggu sebelumnya, longsoran salju (avalanche) memorak-porandakan kamp Tabei di ketinggian 6.400 mdpl. Kengerian tentu masih tersisa. Dari lima belas pendaki Jepang yang berangkat dalam ekspedisi khusus perempuan itu, hanya Tabei yang pagi itu mencoba ke puncak, ditemani oleh seorang sirdar (pemimpin Sherpa) bernama Ang Tshering Sherpa.

Di hadapannya sekarang adalah sebuah punggungan terjal, batas alami antara Nepal dan China, dan di ujung sana adalah Hillary Step yang legendaris. Untuk melewatinya, Tabei mesti melipir lewat pijakan tipis setajam pisau—berlipat-lipat lebih berat ketimbang jalur traversing sebelum Puncak Merbabu via Wekas. Pilihan hanya dua: lanjut atau turun.

Junko Tabei mendaki Ismoil Somoni Peak (dulu Communism Peak) di Tajikistan (1985) via commons.wikmedia.org/
Jaan Künnap

Tapi Tabei tak mungkin turun. Ekspedisi ini lebih dari sekadar persoalan menginjakkan kaki di puncak: ini adalah pembuktian. “Dulu sekitar (tahun) 1970-an di Jepang, merupakan sebuah anggapan umum bahwa kaum prialah yang bekerja di luar dan para perempuan tinggal di rumah,” ungkap Junko Tabei dalam wawancara dengan The Japan Times.

Ekspedisi khusus perempuan itu sendiri minus dukungan. Sponsor utama mereka hanya dua perusahaan media di Jepang. “Kami disarankan (bahwa) semestinya kami (sekadar) membesarkan anak-anak saja,” kenang Tabei dilansir dari artikel Tomoko Otake di The Japan Times.

Setelah beristirahat sebentar, Junko Tabei bersama Ang Tshering melanjutkan pendakian. Dengan penuh determinasi, Tabei melewati jalur hidup-mati itu. Ia genggam erat-erat punggungan itu. Kakinya yang beralaskan crampon tak henti-henti mencari pijakan aman di salju. Ia berhasil. Selebihnya adalah sejarah.

“Hal yang berharga dari momen itu adalah, selain dari menjadi perempuan pertama (yang berdiri) di sana, puncak (Gunung) Everest indah bukan main, tanpa sebuah benda buatan manusia pun yang tampak dalam pandangan,” kenang Tabei sebagaimana ditulis oleh Tim Hornyak untuk The Japan Times.

Saat kecil rapuh, ketika dewasa membuat sejarah

Junko Tabei lahir di Miharu, Prefektur Fukushima, 22 September 1939. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Tim Hornyak menulis bahwa, secara fisik, Junko Tabei bukan seorang anak yang kuat. Ia tidak olahraga. Bahkan, beberapa kali ia juga terkena pneumonia.

Tapi, di kelas empat sekolah dasar, saat berumur 10 tahun, ia turut serta mendaki Gunung Nasu dan Gunung Asahi di Gugusan Pegunungan Nasu, Prefektur Tochigi, bersama seorang guru dan teman-teman sekelasnya. “(Pengalaman itu) sangat berkesan dan aku ingin terus (melakukannya). Itulah awal mula (pendakian gunung) bagiku dan aku masih bisa merasakan (sensasinya),” kenang Tabei.

Aktivitas pendakian Junko Tabei jadi semakin intens ketika ia kuliah. Ia bergabung dengan kelompok pencinta alam di Showa Woman’s University. Lulus kuliah ia belajar teknik pendakian musim dingin (winter mountaineering). Lalu, menyadari bahwa saat itu klub-klub pendakian di Jepang masih terbatas untuk laki-laki, tahun 1969 ia mendirikan Ladies Climbing Club (LCC), klub pendakian khusus perempuan pertama di Jepang, yang slogannya “Let’s go on an overseas expedition by ourselves.”

Setahun setelah klub ini terbentuk, Junko Tabei mencatatkan diri sebagai perempuan pertama yang menginjakkan kaki di titik tertinggi Annapurna III.

junko tabei
Ismoil Somoni Peak (dulu Communism Peak) tahun 1985. Dari kiri: Alfred Lõhmus, Jaan Künnap, Kalev Muru, Junko Tabei, dan Ilmar Priimets + dua alpinis Jepang duduk di depan: Nobuko Yanagisawa (kiri) dan Mayuri Yasuhara via commons.wikimedia.org/Jaan Künnap

“Karir” pendakian Tabei jelas tak berhenti di Annapurna III. Puncak Everest ia daki tahun 1975. Puncak Uhuru Kilimanjaro ia tapaki tahun 1980. Ia ke Aconcagua tahun 1988, terus ke Elbrus setahun kemudian (1989). Musim 1990-1991 giliran Vinson Massif di Antartika yang ia datangi. Setahun kemudian, saat mencapai Puncak Jaya tanggal 28 Juni 1992, perempuan Jepang itu mengaveling tempat dalam sejarah sebagai perempuan pertama yang berhasil menginjakkan kaki di tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (the Seven Summits).

Pencapaian itu, tulis Amanda Padoan dalam sebuah artikel Outside, “… hanya berselang sembilan tahun setelah (ide the Seven Summits) pertama kali digagas oleh Dick Bass.”

Warisan Junko Tabei

Sebagai pendaki yang sudah ke mana-mana—the Seven Summits dan sekitar tujuh puluh puncak di tujuh puluhan negara—Junko Tabei tentu sudah melihat banyak; ia menyadari bahwa aktivitas pendakian gunung berdampak pada lingkungan.

Bulan Oktober 1990 ia mendirikan Himalayan Adventure Trust Japan (HAT-J). Gerakannya, sebagaimana Himalayan Adventure Trust yang digagas Sir Edmund Hillary, adalah mempromosikan konservasi lingkungan pegunungan. Anggotanya sudah lebih dari 1.400 orang.

Kegiatan HAT-J bermacam-macam, dari mulai memungut sampah, trekking di dalam/luar Jepang, menanam pohon-pohon apel untuk menambah pemasukan masyarakat Himalaya, pembangunan dan pengelolaan pembakaran sampah di Lukla, Lembah Khumbu, sampai mengadakan program pertukaran pemuda tahunan bertema konservasi lingkungan pegunungan, “Cross-Cultural Mountain Conservation Youth Project.”

“Sibuk” mendaki gunung, Tabei tak melupakan pendidikan. Tahun 2000 ia meraih gelar master dari Kyushu University. Penelitiannya tak jauh-jauh dari tema pendakian, yakni persoalan sampah di Everest. “Salah satu risetnya adalah menghitung jumlah sampah yang terakumulasi sejak ekspedisi pendakian perdana Everest tahun 1923,” tulis Tomoko Otake, dikutip dari The Japan Times.

Melihat sepak terjangnya, barangkali kita akan sepakat bahwa, ketika ia meninggal 20 Oktober 2016 dalam usia 77 tahun karena kanker, Junko Tabei sudah menjalani hidup yang penuh. Menyitir Tomoko Otake, “Tabei menunjukkan pada sebuah generasi perempuan bagaimana (cara) memakai crampon dan mendaki melampaui segala keterbatasan.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/feed/ 0 12878
Berbekal Kamera SLR Analog, Menelusuri Jateng-Jatim https://telusuri.id/traveling-menelusuri-jawa-tengah-dan-jawa-timur/ https://telusuri.id/traveling-menelusuri-jawa-tengah-dan-jawa-timur/#respond Tue, 02 Jun 2020 02:00:31 +0000 http://telusuri.id/?p=3325 Entah kenapa tiba-tiba saya teringat perjalanan sekitar delapan tahun yang lalu. Kalau tidak salah akhir Oktober sampai awal November. Meskipun tak lama, hanya sekitar tiga-empat hari, bagi saya perjalanan itu lumayan berkesan. Ada dua hal...

The post Berbekal Kamera SLR Analog, Menelusuri Jateng-Jatim appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah kenapa tiba-tiba saya teringat perjalanan sekitar delapan tahun yang lalu. Kalau tidak salah akhir Oktober sampai awal November. Meskipun tak lama, hanya sekitar tiga-empat hari, bagi saya perjalanan itu lumayan berkesan.

Ada dua hal yang bikin berkesan: pertama, petualangan itu saya lakukan sehari setelah mengumpulkan naskah skripsi; kedua, untuk mengabadikan perjalanan itu, saya cuma bawa SLR analog, sebab saat itu belum punya kamera saku ataupun ponsel pintar.

Ceritanya, lega setelah skripsi rampung, secara impulsif saya minta diantarkan kawan ke Terminal Jombor, kemudian langsung melompat ke dalam sebuah bis tujuan Semarang yang semestinya mengantarkan saya ke Ambarawa. Nyatanya, bis reot itu cuma membawa saya sampai Magelang. Di tengah jalan saya ditransfer ke bis lain.

traveling menelusuri jawa tengah dan jawa timur
Di jendela bis/Fuji Adriza

Sudah terlanjur senang hanya membayar 12 ribu, saya mesti rela merogoh kantong lebih dalam supaya diperbolehkan menumpang sampai tujuan. Kesal sekali pasti. Apa mau dikata. Tapi, setelah seorang bapak tua yang buta mencegat bis itu di daerah Secang, saya jadi introspeksi diri. Kalau ia saja bisa menikmati perjalanan itu walaupun yang dilihatnya cuma kelam, saya pasti juga bisa menemukan kesenangan dalam perjalanan ini.

Alat komunikasi yang saya punya cuma sebuah ponsel Nexian, hadiah doorprize, yang tidak terhubung ke internet meskipun sudah layar sentuh—lebih tepat disebut sebagai layar tekan barangkali. Jadi, saya agak-agak lupa dari mana dapat info rute menuju Candi Gedong Songo, tujuan pertama saya. Entah dari browsing di warnet atau tanya-tanya orang, saya lupa.

Dari pertigaan Polin (Toko Roti Pauline yang legendaris) di Ambarawa, semestinya saya mencegat bison. Tapi saya malah naik angkot warna kuning yang cuma membawa saya sampai ke Pasar Bandungan.

Bermalam di Candi Gedong Songo

Di sebuah pertigaan saya meloncat turun kemudian mencegat bison yang ternyata sudah penuh. Beberapa orang bergelantungan di pintu, memasrahkan nyawa pada teralis di jendela bis. Melihat ada mbah-mbah yang bergelantungan, gelora muda membuat saya tak ragu ikut bergelayut.

Ternyata susah juga. Apalagi medannya tidak datar seperti di kota. Mendadak saya menyesal kenapa waktu kecil tak suka minum susu. Tapi angin segar dan pemandangan indah membuat saya kalem. Beberapa saat setelah bis mini itu melewati deretan kios tahu serasi, saya minta sopirnya untuk berhenti di pertigaan Candi Gedong Songo.

Sebelumnya saya baru sekali ke Candi Gedong Songo, semasa orientasi mahasiswa baru dulu. Jadi saya sudah lupa-lupa ingat berapa jarak dari pertigaan itu ke candi. Apalagi waktu itu kami dibawa dengan truk tentara. Tapi saya yakin perjalanan dari pertigaan itu ke loket tiket tidak begitu jauh. Jadi saya abaikan saja tawaran tukang ojek dan memilih jalan kaki. Semula saya masih senyum-senyum saja sebab jalan beraspal itu diapit kebun bunga warna-warni.

traveling menelusuri jawa tengah dan jawa timur
Candi Gedong Songo, Jawa Tengah/Fuji Adriza

Tapi lama kelamaan senyum itu hilang. Ternyata jauh juga. Terjal lagi. Saking terjalnya, di pengkolan terakhir sebelum loket berkali-kali hidung saya mencium bau kampas kopling yang terlalu diforsir. Setiba di loket, sudah hampir magrib. Sudah lumayan dingin tapi saya tetap saja mandi keringat.

“Mau kemping, Mas?” Penjaga loket bertanya. “Enggak, Mas,” saya menggeleng. Saya memang tak berniat kemping, melainkan tidur di musala.

Untungnya semalaman tak ada orang lain masuk ke musala. Pagi-pagi sekali, setelah menggulung kantong tidur, saya keluar dari musala. Saya jalan ke bumi perkemahan yang letaknya di atas sana. Di bumi perkemahan itu dulu kami, mahasiswa baru geofisika, kemping setelah seharian penuh belajar ilmu medan, peta, dan kompas (IMPK). Pemandangannya bagus sekali dari sana; semua gunung tinggi di Jawa Tengah kelihatan!

Pantura dan pencari kodok lintas provinsi

Jalan saya lumayan cepat waktu itu. Soalnya sebelum matahari terbit saya sudah tiba di bumi perkemahan. Pemandangannya masih sama ternyata. Di kejauhan, gunung-gunung tampak menjulang. Di dekat sini, pohon cemara masih saja berjejeran menghiasi lereng Gunung Ungaran. Kabut putih yang semula mengisi sela-sela pepohonan perlahan-lahan mulai terangkat. Cemara yang semula pucat perlahan menghijau.

Ketika mentari mulai garang, saya turun. Rasanya jauh lebih cepat dan tak bikin berkeringat—jelas. Di pertigaan Candi Gedong Songo, saya mencegat bis seukuran metromini tujuan Semarang. Di dalam bis saya berusaha menahan kantuk, tapi tak bisa. Kalau tidak salah, saya mulai ketiduran di dekat Bandungan. Bangun-bangun, bis itu sudah tiba di Semarang. Saya turun di Terminal Terboyo kemudian mencari bis ke arah timur.

traveling menelusuri jawa tengah dan jawa timur
Berhenti sejenak di Lasem, Jawa Tengah/Fuji Adriza

Sebelumnya saya sudah pernah beberapa kali lewat pantura Jawa Tengah-Jawa Timur. Namun cuma sampai pertigaan menuju Jepara. Lebih ke timur, saya belum pernah. Hari itu saya beruntung bisa tiba di Kudus bertepatan dengan pergantian waktu-kerja buruh pabrik rokok Djarum. Agak sore ketika akhirnya bis itu tiba di Lasem, perhentian saya berikutnya.

Di Lasem, saya cuma mampir sebentar untuk makan siang—sebenarnya saya belum makan dari pagi. Setelah makan dan membersihkan diri sebentar di kota yang terkenal dengan batiknya itu, saya mencegat bis lagi. Kali ini langsung ke Surabaya, tak berhenti-berhenti lagi.

Waktu hari sudah mulai gelap, sekelompok orang berpakaian aneh naik ke dalam bis. Mereka memakai head lamp dan membawa sesuatu yang tampak seperti jaring penangkap belalang. Penasaran, saya bertanya pada salah satu dari mereka, “Mau cari apa, Pak?” Jawabannya tak saya duga: “Kodok, Mas.” Mereka naik di Jawa Tengah dan turun di Jawa Timur. Itulah kali pertama saya berjumpa dengan pencari kodok lintas provinsi.

Menyaru jadi orang gila di Surabaya

Sudah malam ketika bis itu berhenti di Terminal Purabaya, Bungurasih, Surabaya. Barangkali sekitar jam 10 malam. Untuk ke Blitar, tujuan selanjutnya, saya mau naik kereta api. Alasannya sederhana: murah. Waktu ke Malang sekitar tahun 2009 dulu, saya hanya membayar sekitar Rp 4.000 naik KA Penataran. Nah, yang jadi persoalan, saya tak punya anggaran untuk naik ojek atau taksi. Semalam ini, rasa-rasanya angkutan umum lain seperti bis sudah tak ada lagi.

Saya mempercayakan diri pada peta Surabaya di Lonely Planet. Stasiun Gubeng tak terlalu jauh, cuma tinggal mengikuti rel kereta api saya akan tiba di stasiun terbesar di Surabaya itu. Petanya bagus dan jelas karena dilengkapi dengan legenda. Hanya saja, skalanya kurang detail—dan itu fatal.

traveling menelusuri jawa tengah dan jawa timur
Pintu Air Jagir/Fuji Adriza

Untuk menuju Gubeng, saya memang tinggal mengikuti rel kereta—sejauh 13 kilometer. Sebenarnya jarak segitu tak masalah buat saya, kalau saja celana saya tidak robek dan diplester di selangkangan, sandal jepit juga diplester, dan badan sudah capek karena bepergian sejak pagi buta.

Betapa kesal rasanya berjalan menyusuri jalanan yang di pinggirnya orang bercengkerama riuh dengan teman-temannya, sambil memakan roti atau jagung bakar, dan menyeruput es teh.

Tapi, berjalan di malam hari menyusuri rel Surabaya memberikan perspektif baru pada saya. Tempat-tempat yang di siang hari tampak biasa, di malam hari menjadi agak berbeda. Stasiun Wonokromo, misalnya. Malam-malam banyak orang berkumpul di sana, entah untuk berjudi atau memuaskan nafsu badani.

Namun, semakin lama kok semakin banyak orang gila yang saya papas di jalan. Saya mulai khawatir dengan keselamatan sendiri. Setelah melihat kondisi saya sendiri, akhirnya saya jadi tak begitu khawatir. Secara fisik, saya sudah tampak seperti orang gila—saya sudah menyaru, secara alamiah—jadi orang gila. Sesama orang gila tidak saling menyerang.

Naik Kereta Doho ke Makam Bung Karno

Sudah sekitar jam 2 dini hari ketika akhirnya saya tiba di Stasiun Gubeng. Mau tidur sebenarnya tanggung. Tapi saya capek, dan Stasiun Gubeng banyak nyamuk. Untuk mengatasi kedua hal itu, saya mengeluarkan kantong tidur dan membungkus diri di emperan Stasiun Gubeng.

Hasilnya: saya kepanasan. Biarlah digigit nyamuk daripada mandi keringat. Kenyataannya, berkali-kali saya tak sengaja menepuk pipi dan anggota badan sendiri sebab nyamuknya sudah keburu pergi. Maka, malam itu saya cuma bisa tidur-tidur ayam.

Sekitar pukul 5 pagi, orang-orang sudah berkumpul di depan stasiun. Ketika akhirnya pintu tua itu dibuka, orang-orang berhamburan ke dalam membuat beberapa baris antrean. Persaingan untuk mendapatkan tiket lumayan sengit; beberapa orang kehilangan sandal sewaktu berusaha masuk.

Suasana gerbong kereta Doho/Fuji Adriza

Berada di antrean belakang, saya kehabisan tiket KA Penataran yang ke Blitar lewat Malang. Alih-alih, saya dapat tiket KA Doho yang ke Blitar lewat Kediri. Itu pun cuma tiket tanpa nomor, yang sama sekali tak menjamin apakah saya akan dapat tempat duduk. Untuk mengelilingi Jawa Timur dengan kereta api, ada dua pilihan: naik Penataran disambung Doho, atau sebaliknya, Doho disambung Penataran.

Untungnya saya naik di stasiun pertama sehingga gerbong khusus untuk para penumpang tiket tanpa nomor tidak ramai. Jadi saya bisa duduk. Begitu pantat mendarat di bangku, kesadaran saya langsung direnggut oleh alam mimpi. Beberapa kali saya sempat terbangun dan berbasa-basi dengan sepasang ibu-bapak paruh baya yang duduk di depan saya (Kalau tidak salah, mereka turun di Kediri). Tapi, lebih banyak saya tertidur. Sebelum tengah hari, kereta itu berhenti di Stasiun Blitar. Dari Stasiun Blitar, saya berjalan kaki sekitar 2 kilometer ke Makam Bung Karno.

Merinding mendengar nyanyian Aremania

Sekitar jam 4 sore saya kembali ke Stasiun Blitar untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya via Malang. Blitar-Surabaya sekitar 5 jam naik kereta. Tapi PT KAI pra-Jonan dulu tidak seperti sekarang, tidak bisa ditebak. Waktu tempuh di tiket kadang lebih sering cuma jadi dekorasi mubazir sekadar menghabiskan anggaran untuk tinta.

Beberapa saat sebelum singgah di Stasiun Kepanjen, Malang, saya mendengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi. Bukan satu-dua orang saja, tapi, dari suaranya, seperti berasal dari satu kelurahan. Tak lama kemudian tanya saya itu berjawab. Ketika melihat ke luar jendela saat kereta hendak berhenti di Stasiun Kepanjen, saya melihat orang-orang berpakaian biru bernyanyi bersama—sepertinya chant Aremania—seolah-olah nyanyian mereka itulah yang memberhentikan KA Penataran itu.

traveling menelusuri jawa tengah dan jawa timur
Stasiun Peterongan/Fuji Adriza

Ratusan orang pun masuk ke dalam deretan gerbong kereta, termasuk ke gerbong kereta yang saya tumpangi. Seorang kakek berbaju biru duduk di bangku kosong di depan saya. Setelah berbasa-basi sejenak, barulah saya tahu bahwa Arema Malang baru saja bertanding. Kakek itu datang jauh-jauh dari Kertosono hanya untuk menonton Arema. Usia kakek itu sekitar 70 tahun. “Sudah sejak sekolah dulu,” ujarnya, menjelaskan sejak kapan ia mulai setia menonton klub kebanggaan arek Malang itu.

Sama seperti saya, perjalanannya masih panjang. Sambil menahan haus—saya lupa beli minum di Blitar tadi—saya berusaha untuk memejamkan mata supaya perjalanan terasa lebih singkat. Tapi tak bisa. Saya terjaga sampai tiba di Stasiun Waru. Terletak di seberang Terminal Purabaya, saya cuma harus menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Saya membeli air minum dingin, makan nasi goreng di bawah jembatan layang Waru, terus melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja naik Sumber Kencono. Setiba di Jogja, saya disambut tetes air pertama di musim hujan 2012.

The post Berbekal Kamera SLR Analog, Menelusuri Jateng-Jatim appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/traveling-menelusuri-jawa-tengah-dan-jawa-timur/feed/ 0 3325
Angkringan Kedaulatan Rakyat https://telusuri.id/angkringan-kedaulatan-rakyat/ https://telusuri.id/angkringan-kedaulatan-rakyat/#respond Sun, 20 Oct 2019 16:07:17 +0000 https://telusuri.id/?p=18164 Setelah melewati perempatan Jetis dan berhenti sebentar menunggu lampu hijau di Tugu, saya meluncur di Jalan Margo Utomo. Tapi saya tidak terus sampai ke stasiun. Beberapa ratus meter dari ujung utara Margo Utomo, saya menginjak...

The post Angkringan Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah melewati perempatan Jetis dan berhenti sebentar menunggu lampu hijau di Tugu, saya meluncur di Jalan Margo Utomo. Tapi saya tidak terus sampai ke stasiun. Beberapa ratus meter dari ujung utara Margo Utomo, saya menginjak pedal rem lalu memarkir sepeda motor di halaman Kedaulatan Rakyat.

Dulu sekali, ketika jalan ini masih bernama Pangeran Mangkubumi, saya sering sekali nongkrong di Angkringan Kedaulatan Rakyat. Sekali seminggu minimal, setiap Rabu malam, bersama sedulur-sedulur komunitas KASKUS Regional Yogyakarta. Kami menyebut acara itu Guyub.

Acara mingguan itu tak punya protokol sama sekali. Kami hanya mengobrol, bersenda gurau, atau bermain kartu, mulai sekira jam 7 malam sampai dini hari begitu tumpukan koran Kedaulatan Rakyat yang masih hangat tiba dari percetakan. Begitu terus selama sekitar dua-tiga tahun, sampai satu per satu dari kami menghilang di jalan setapak hidup masing-masing.

Jelas hari ini yang memanggil saya ke Angkringan Kedaulatan Rakyat bukanlah Guyub. Saya ke sini untuk bertemu seorang kawan baik ketika di Pare dulu. Lima tahun lebih tidak berjumpa, tadi ia menghubungi saya lewat aplikasi pesan di ponsel pintar. Karena ia menginap di selatan, saya ajak saja ia bertemu di sini, di tengah-tengah Jogja.

Itu dia, sedang meluruskan punggung di tikar. Saya menghampirinya lalu kami berjabat-berpelukan menawar kangen.

Tugu Jogja di perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi (sekarang Margo Utomo) via TEMPO/Subekti

Tapi, tunggu dulu. Untuk mengobrol, saya perlu es Coffeemix dan camilan. Saya pun berjalan ke gerobak Pak Jabrik. Di meja dekat anglo, saya mengambil piring untuk menaruh camilan. Sambil menunggu giliran mencomot sate-satean dan gorengan di belakang barisan turis mancanegara, saya pesan minuman.

“Es Coffeemix, ya, Mas.”

“Nanti pesannya di depan sana saja, Mas,” ujar salah seorang “barista” angkringan.

Pak Jabrik sudah mengubah sistem rupanya. Dulu pelanggan bisa memesan minuman langsung di belakang, sehingga sehabis membayar di kasir, tak perlu menunggu lagi, mereka bisa langsung minggat ke tikar masing-masing sambil membawa piring camilan dan gelas minuman.

Setiba di kasir, saya menyesal memilih es Coffeemix. Kenapa tadi saya tidak memesan es tape susu saja? Itu minuman favorit saya waktu masih sering nongkrong di sini dulu. Tapi, mungkin lebih baik saya tak minum es tape susu; menyesap minuman itu sama saja dengan membuka bendungan memori.

Embun belum seharusnya muncul. Sekarang belum pagi.

Dengan piring camilan dan gelas minuman, saya kembali ke kawan saya itu untuk mendengarkan kisahnya, fluktuasi kurva hidupnya, dan mimpi-mimpinya yang sudah terwujud dan yang masih tertunda.

Sekarang ia tinggal di Bogor bersama istri dan anak perempuan kesayangannya yang masih kecil. Jendela Mimpi, kafe miliknya di Jalan Kemuning, Pare, tempat saya dan kawan-kawan dulu nongkrong—dan menginap jika sudah terlalu larut untuk pulang ke pondokan masing-masing—sekarang sudah jadi sejarah.

“Tapi kau masih simpan album mimpi itu, ‘kan?”

“Masihlah,” jawabnya.

angkringan kedaulatan rakyat
Angkringan Kedaulatan Rakyat/Fuji Adriza

Dulu, saya mengumpulkan sticky note berisi mimpi-mimpi para pelanggan Jendela Mimpi, teman-teman kami, ke dalam sebuah album foto berukuran besar. Tapi, baginya, membuka-buka album mimpi itu bukan perkara sembarang. Dipenuhi harapan manusia-manusia remaja akhir dan dewasa awal, isi album mimpi itu terlalu intens.

Pengamen datang ketika kami sedang asyik mengobrol. Di Angkringan Kedaulatan Rakyat, “ngamen gratis” tidak berlaku. Setiap sepuluh sampai lima belas menit sekali pasti ada saja pengamen yang datang untuk unjuk kebolehan. Pengamen yang dulu selalu muncul setiap Guyub apa kabarnya, ya, sekarang?

Selesai menambal puzzle kisah hidup masing-masing, kami bertukar kabar soal kawan-kawan. Ada yang sudah begini, ada yang sudah begitu, ada yang sekarang di sana, ada yang kini sudah di situ. Andai saja ada pengamen yang datang lalu menyanyikan Everbody’s Changing, lagu legendaris Keane, lengkap sudah episode malam ini.

Lama-lama, saya sadar bahwa mata teman saya itu sudah merah dan sesekali ia menguap. Ia sudah capek dan mengantuk. Seharian tadi ia keliling-keliling Jogja, ke hotel-hotel dan tempat-tempat wisata, demi mempersiapkan tur bagi rombongan wisatawan yang akan dibawanya ke Kota Istimewa beberapa bulan lagi.

Kami bangkit dari tikar, terus ke parkiran. Mengendari sepeda motor, lewat Jalan Margo Utomo yang masih ramai, saya mengiringinya kembali ke sebuah hotel di selatan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Angkringan Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/angkringan-kedaulatan-rakyat/feed/ 0 18164
Mampir ke Setia Darma House of Mask and Puppets https://telusuri.id/setia-darma-house-of-mask-and-puppets/ https://telusuri.id/setia-darma-house-of-mask-and-puppets/#respond Sun, 29 Sep 2019 15:41:28 +0000 https://telusuri.id/?p=17655 Vifick bilang, setelah belok kiri kami akan tiba di musem topeng dan wayang. Maka saya putar setir ke kiri. Jalan semakin mengecil. Mobil kami melaju santai di antara dua baris penjor yang menghiasi kedua sisi...

The post Mampir ke Setia Darma House of Mask and Puppets appeared first on TelusuRI.

]]>
Vifick bilang, setelah belok kiri kami akan tiba di musem topeng dan wayang.

Maka saya putar setir ke kiri. Jalan semakin mengecil. Mobil kami melaju santai di antara dua baris penjor yang menghiasi kedua sisi jalan.

Warna hijau yang berasal dari rerumputan di pinggir jalan menyegarkan mata saya.

Mendadak saya merasa atmosfer seni semakin menebal. Gerbang-gerbang rumah di kanan-kiri penuh pahatan berupa relief detail. Tak ada sampah yang kelihatan. Barangkali sensasi yang saya rasakan ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa kami sedang melintasi Gianyar, wilayah di Bali yang sejak berabad-abad lalu tenar dengan keseniannya, entah lukisan, patung, dan lain-lain. Ubud, salah satu kecamatan di Gianyar, dari dulu sampai sekarang tersohor sebagai pusat seni Bali, tempat para seniman bertemu untuk bertukar ide.

Plang “Setia Darma House of Masks and Puppets” memandu kami untuk kembali berbelok ke kiri. Persawahan di sisi kanan itu tiba-tiba mengingatkan saya pada lukisan-lukisan yang dijual di Ubud.

Ketika jalan bersilang, saya membawa mobil ke arah sebuah jembatan kecil yang mengangkangi aliran sungai kecil. Aliran itu dipagari oleh pohon-pohon bambu yang berdecit setiap kali diterpa angin. Syukron pun menyeletuk, “Keren banget kalinya!”

Dengan hati-hati, saya membawa mobil menyusuri jalan berlapis paving block kemudian perlahan menginjak pedal rem. Kami pun keluar dari mobil. Sembari keluar, saya mengamati sekitar. Pepohonan, rerumputan, dan bangunan bersatu dalam harmoni. Museum ini sepertinya sungguh-sungguh menawaran ketenangan. Mungkin ketenangan itulah yang dicari oleh orang-orang yang duduk-duduk santai di gazebo-gazebo itu.

Anehnya, tidak ada loket tiket masuk.

Kemudian kami berjalan menelusuri jalan kecil yang dinaungi oleh pepohonan—kelapa, lontar, pinang, nangka, kamboja. Jalan itu berujung di sebuah bangunan yang tampak seperti rumah joglo. Ada urusan apa rumah joglo di Bali?

Seorang perempuan muncul dari salah satu rumah joglo itu. Ternyata ia adalah pemandu Setia Darma House of Mask and Puppets. Ia memperkanalkan diri sebagai Desak.

“Permisi. Loket tiketnya di mana, ya, Mbak?” tanya saya. Ia menjawab bahwa museum ini tak punya loket tiket. Mereka hanya menerima donasi yang bisa diberikan saat pengunjung menandatangani buku tamu.

Setelah memberikan pengarahan, Desak memandu kami ke joglo pertama yang berada di seberang kolam berhiaskan seni instalasi. Permukaan kolam kecil itu penuh teratai dan bermacam tanaman air.

Joglo pertama itu ternyata berisi barong dari penjuru Indonesia. Di tengah-tengah bangunan, dipajang beberapa barong Bali. Sementara itu, di ujung dalam ruangan terpajang reog Ponorogo. Baik di Jawa maupun Bali, Barong adalah perlambang dari dharma alias kekuatan baik. Makanya wajar saja bahwa setiap kali orang Bali merasa ada sesuatu yang aneh di desanya mereka akan memanggil barong untuk menyucikan lingkungan.

Penasaran, saya bertanya soal sejarah museum ini pada Desak.

Semula, saya kira museum ini adalah milik Pemerintah Kabupaten Gianyar. Betapa kagetnya saya begitu Desak mengatakan bahwa Setia Darma House of Mask and Puppets adalah milik Hadi Sunyoto, seorang pengusaha dari Jakarta yang suka mengoleksi barang-barang seni, khususnya topeng dan wayang.

Sekitar lima belas tahun yang lalu (saya ke museum itu sekitar akhir 2014), sang pengusaha membeli sebidang sawah di Gianyar yang kemudian diubah menjadi kompleks yang sekarang berisi enam joglo—tempat ia menyimpan topeng-topeng dan wayang koleksinya—plus beberapa bangunan lain.

“Sebenarnya ini sudah dibuka untuk umum sejak 2006,” ungkap Desak. Sayangnya, hingga saat itu (2014) museum ini belum begitu ramai. Dalam sehari biasanya hanya sekitar 25 orang yang datang.

Dari 1.300 koleksi topeng Setia Darma House of Mask and Puppets, sebagian adalah topeng baru yang dipesan secara khusus sementara sebagian lainnya topeng yang sudah pernah dipakai. Topeng-topeng “veteran” ini bisa ditemukan di joglo nomor 3.

Bagi saya yang paling menarik adalah joglo nomor 4 yang berisi koleksi wayang kulit. Yang bikin joglo ini menarik, koleksi yang dipamerkan bukan hanya wayang kulit dari Indonesia namun juga dari negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, China, dan lain-lain. Meskipun karakternya tampak berbeda, wayang-wayang itu ditampilkan dengan cara yang sama: dimainkan malam hari di antara kain putih dan cahaya pelita.

Tur itu berakhir di sebuah joglo yang penuh topeng dari tempat-tempat jauh, seperti Meksiko, Bolivia, negara-negara Afrika, China, Jepang, dan Korea Selatan. Bagi saya, yang paling menarik di joglo itu adalah sebuah topeng suku Dogo di Afrika Barat. Topeng itu sebenarnya sederhana saja, namun komunitas dari mana topeng itu berasal percaya bahwa mereka adalah keturunan alien dari luar angkasa.

Langit menurunkan hujan begitu saya keluar dari joglo terakhir. Bersama-sama, kami berjalan pelan ke mobil. Meskipun langit sekarang kelabu dan murung, tempat itu malah tampak makin elegan.

Para pengunjung terus berdatangan—barangkali ini adalah salah satu hari ramai yang langka untuk museum. Seperti saya, mereka mungkin akan belajar sesuatu dari museum ini; bahwa budaya tidak untuk diklaim melainkan untuk dipelihara.


Setia Darma House of Mask and Puppets
Jl. Tegal Bingin, Kemenuh, Gianyar
maskandpuppets.com


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mampir ke Setia Darma House of Mask and Puppets appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/setia-darma-house-of-mask-and-puppets/feed/ 0 17655
Memori di Djendelo Koffie https://telusuri.id/memori-di-djendelo-koffie/ https://telusuri.id/memori-di-djendelo-koffie/#respond Fri, 06 Sep 2019 08:24:32 +0000 https://telusuri.id/?p=17049 Beberapa hari yang lalu, lewat rute biasa, saya jalan kaki ke toko buku besar langganan di ujung utara Jalan Gejayan, yakni Togamas. Itu toko andalan mahasiswa yang senang baca, seperti pameran clothing—tapi setiap hari—bagi penggila...

The post Memori di Djendelo Koffie appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa hari yang lalu, lewat rute biasa, saya jalan kaki ke toko buku besar langganan di ujung utara Jalan Gejayan, yakni Togamas. Itu toko andalan mahasiswa yang senang baca, seperti pameran clothing—tapi setiap hari—bagi penggila fesyen. Diskonnya tak main-main, sekitar 15%. Bahkan, sekitar sepuluh tahun lalu, ada masanya toko itu membanting harga sampai 30%.

Dapat sampul pula.

Selain diskon dan sampul, yang bikin Togamas menarik adalah pilihan bukunya. Judul-judul yang rasa-rasanya tak mungkin digubris toko buku besar lain melimpah di sana. Bumi Manusia, misalnya. Sebelum dijejalkan di rak Gramedia, entah sudah berapa jilid buku pertama Tetralogi Buru itu yang terjual di Togamas.

sujiwo tejo togamas
Sujiwo Tejo saat diskusi buku “Ngawur karena Benar” di Togamas, 2012/Fuji Adriza

Lama tidak ke Togamas, setiba di sana saya pangling mendapati wujudnya sekarang. Beranda depan sudah dihancurkan untuk memberi ruang pada kendaraan pelanggan. Mendongak ke atas, mata saya tidak lagi mendapati deretan jendela kayu berdaun-ganda yang jadi ciri khas Djendelo Koffie yang menghuni lantai dua Togamas. Kalau jendela-jendela itu tak lagi ada, tidakkah Djendelo Koffie perlu ganti nama? Gebyok Koffie, misalnya?

Dari depan, saya bergerak ke dalam. Saya titipkan ransel di penitipan barang—yang sekarang posisinya sudah bergeser—lalu saya berjalan masuk menyusuri lorong-lorong yang kini tampak beda. Togamas jadi lebih penuh, lorong-lorongnya semakin kecil, dan di mana kolam koi itu?

Berputar-putar saya mencari terjemahan El amor en los tiempos del cólera (Love in the Time of Cholera) karya Gabo. Kok tidak ada? Bagaimana ini? Lalu saya pergi ke komputer. Setelah memasukkan kata kunci, tahulah saya bahwa stok El amor en los tiempos del cólera yang diterjemahkan sebagai Cinta di Tengah Wabah Kolera memang sedang kosong. Untungnya terjemahan Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian) masih banyak. Posisinya pun sekarang saya tahu: “Novel 5.”

Ayu Utami dan memori-memori lain di Djendelo Koffie

Kisah kesunyian seratus tahun di koloni Spanyol itu saya bawa ke kasir. Saat ia sedang sibuk memproses transaksi, saya sempatkan bertanya, “Djendelo Koffie masih ada nggak, Mbak?” Ia bilang Djendelo sudah tak ada. Kafe itu tutup waktu Togamas direnovasi beberapa waktu yang lalu. Pindah? Ternyata bukan. Memang tutup.

Begitu dapat informasi itu, batin saya terperenyak. Mendapati Djendelo tutup rasanya mirip dengan mendapati bahwa Friendster tutup sementara saya belum sempat mem-back-up foto-foto dalam galeri situs jejaring sosial itu. Bagaimana tidak, banyak sekali memori saya yang tercecer di sana.

djendelo koffie
Djendelo Koffie undur diri via instagram.com/djendelokoffie

Memori tentang Djendelo adalah memori tentang coklat Bedebah di balik Jubah Mewah (atau Bedebah di balik Djoebah Mewah?) yang menjadi teman ketika mengobrol bersama kawan-kawan; tentang rasa berdebar-debar ketika hendak mengirim surat lamaran kerja praktik; tentang keyakinan untuk menyelesaikan studi yang tiba-tiba muncul usai gong Djendelo dipukul jam 11 malam; tentang erupsi Merapi 2010; tentang betapa senang rasanya online pertama kali lewat netbook yang baru saja dibeli di pameran komputer; tentang password Wi-Fi yang “ultranasionalis.”

Ada pula kepingan-kepingan kenangan diskusi buku karya Ayu Utami (Cerita Cinta Enrico) dan penulis-penulis lain, juga door prize berhadiah tiket nonton gratis di XXI.

Saat saya sedang melamun, sang kasir menyebutkan harga.

“Lho, diskonnya nambah, Mbak?”

“Hari Selasa kita diskon 25%,” ujar sang kasir. “Gratis sampul, ya, Mas,” sambungnya kemudian.

Saya ke depan dan meletakkan buku yang hendak disampul dalam antrean. Sekitar sepuluh menit kemudian buku itu sudah dilapisi plastik tipis transparan. Kemudian saya bergerak ke depan, memesan ojek daring yang dulu belum ada saat saya sedang sering-seringnya ke Djendelo Koffie.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memori di Djendelo Koffie appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memori-di-djendelo-koffie/feed/ 0 17049
Mojok di Diên Biên Phu https://telusuri.id/mojok-di-dien-bien-phu/ https://telusuri.id/mojok-di-dien-bien-phu/#respond Sat, 24 Aug 2019 10:27:46 +0000 https://telusuri.id/?p=16757 Akhir tahun kemarin nasib membawa saya ke sebuah kota kecil di bagian utara Vietnam yang namanya baru saya dengar waktu beli tiket bis: Diên Biên Phu. Dari Luang Prabang, Laos, ke sana, saya mesti naik...

The post Mojok di Diên Biên Phu appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir tahun kemarin nasib membawa saya ke sebuah kota kecil di bagian utara Vietnam yang namanya baru saya dengar waktu beli tiket bis: Diên Biên Phu.

Dari Luang Prabang, Laos, ke sana, saya mesti naik bis seukuran Kopata selama hampir 12 jam. Berangkat pukul 6 pagi, saya tiba menjelang jam 6 sore di terminal Diên Biên Phu.

Bersyukur sekali rasanya bisa sampai di Diên Biên Phu dengan selamat. Perjalanan itu lumayan mendebarkan. Pasalnya, bis itu di sebagian besar waktu meluncur di pegunungan. Terkadang ia mesti melewati ruas-ruas jalan sempit tak beraspal di pinggir jurang. Ditambah lagi, supir serepnya menghisap bong setiap kali berhenti.

Diên Biên Phu itu kota perlintasan kecil, berhawa dingin, dan dikelilingi hamparan sawah luas. Sebelas dua belas dengan Solok di Sumatera Barat. Dalam beberapa hal, misalnya kondisi fisik terminal bis, Solok boleh dibilang lebih unggul. Luas Terminal Diên Biên Phu hanya seupilnya Terminal Bareh Solok.

Tampak luar, tak ada yang istimewa dari kota itu. Namun, belakangan, barulah saya tahu bahwa kota kecil dan terpencil itu punya peran besar dalam sejarah Vietnam, sampai-sampai hampir di setiap kota di sana ada seruas jalan yang diberi nama Diên Biên Phu.

Kota dekat perbatasan Laos-Vietnam itu adalah lokasi Bataille de Diên Biên Phu atau the Battle of Diên Biên Phu, salah satu pertempuran dahsyat dalam Perang Indochina Pertama, antara tentara Prancis dan pasukan komunis revolusioner Viet Minh tanggal 13 Maret-7 Mei 1954. Prancis kalah kala itu.


buku mojok
Mojok: Tentang Bagaimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan/Syukron

Perjalanan, bagi saya, adalah medium, saluran, kanal. Tujuannya (dan candunya) adalah wawasan. Lewat perjalanan, saya bisa “ngeh” soal “keywords” yang jarang digubris di mesin pencari, misalnya Diên Biên Phu itu tadi.

Perjalanan imajiner waktu membaca buku Mojok: Tentang Bagaimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan seolah-olah membawa saya ke Diên Biên Phu-Diên Biên Phu lain. Banyak sekali informasi dan wawasan baru tentang Mojok yang saya dapat dari buku ini.

Saya geleng-geleng sendiri, misalnya, membaca soal Kepala Suku Mojok yang ternyata selama sekitar setengah dasawarsa ini menulis dengan ponsel (hal. viii). Ini, jelaslah, adalah cara sang Kepala Suku mengkomunikasikan bahwa yang paling penting dalam menulis adalah gagasan alih-alih gawai.

Tersenyum-senyum sendiri saya mendapati fakta bahwa Mojok.co adalah satu-satunya media yang memberikan semacam perlop pada awaknya yang sedang dilanda patah hati. Kalau tak percaya, coba saja baca “Izin Patah Hati Satu Minggu dari Mojok” (hal. 52-62) yang ditulis oleh Aprilia Kumala.

Curhatan para redaktur Mojok.co bikin saya mengerti kenapa media opini yang nakal ini bisa menjadi sebesar sekarang. Kenapa? Karena mereka tak pandang bulu dalam menyeleksi tulisan masuk. Kalau tak sesuai standar ya tak masuk. “Makanya, berkali-kali saya menolak tulisan orang-orang bergelar master, bahkan yang bergelar master dari sekolah di luar negeri!” tulis Nia Lavinia (hal. 129).

Ahmad Khadafi sekali pun ternyata pernah mengalami fase ketika tulisannya ditolak Mojok.co, meskipun Eddward S. Kennedy—yang ternyata punya alias: Panjul (hal. 29, 37)—pernah bilang begini kepadanya: “Ngirim tulisan ke Mojok aja, Cuk. Gampang. Honornya lumayan. Cairnya cepet” (hal. 37).

Selain cerita-cerita di atas, tentu masih banyak lagi yang bisa disimak di Mojok: Tentang Bagaimana Sebuah Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan. Kalau mau tahu semua, tentulah lebih baik kamu membelinya sendiri di toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mojok di Diên Biên Phu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mojok-di-dien-bien-phu/feed/ 0 16757
Kenangan-kenangan di Belitung https://telusuri.id/kenangan-kenangan-di-belitung/ https://telusuri.id/kenangan-kenangan-di-belitung/#respond Sun, 18 Aug 2019 19:44:44 +0000 https://telusuri.id/?p=16693 Meskipun sudah lama, perjalanan ke Belitung tahun 2011 masih segar sekali dalam ingatan saya. Bagaimana tidak lupa, perjalanan ke kampung Andrea Hirata itu panjang sekali. Dari Prabumulih, kota kecil di Sumatera Selatan tempat saya kerja...

The post Kenangan-kenangan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun sudah lama, perjalanan ke Belitung tahun 2011 masih segar sekali dalam ingatan saya. Bagaimana tidak lupa, perjalanan ke kampung Andrea Hirata itu panjang sekali.

Dari Prabumulih, kota kecil di Sumatera Selatan tempat saya kerja praktik, saya naik travel ke Pelabuhan 35 Ilir Palembang. Petualangan berlanjut dengan menumpang feri kecil selama lebih dari sepuluh jam—sebagian besar habis dipakai menelusuri Sungai Musi—menuju Pelabuhan Muntok di Pulau Bangka.

Tiba di Muntok saat gelap masih menyelimut, terpaksalah saya bermalam dulu di ruang tunggu pelabuhan. Di bawah lampu neon temaram, saya rapatkan dua rangkaian bangku tunggu ala kantor pos zaman dahulu untuk dijadikan tempat tidur. Nyaman? Tentu saja tidak.

perjalanan ke belitung
Dulu, dermaga feri ke Bangka berada di 35 Ilir yang terpaut beberapa kilometer dari Jembatan Ampera/Fuji Adriza

Anehnya, saat bangun keesokan paginya, badan saya segar-segar saja. Makanya saya senang-senang saja melanjutkan perjalanan naik bis selama 3-4 jam ke Pangkalpinang plus naik angkot ke Pelabuhan Pangkal Balam.

Di atas kapal cepat menuju Pulau Belitung, saya makin senang. Saat duduk-duduk santai di buritan, tiba-tiba saja muncul dua ekor lumba-lumba di antara buih-buih yang diproduksi propeler kapal. Itu, kalau ingatan saya tidak keliru, adalah kali pertama saya melihat lumba-lumba liar di habitatnya. Lima menit, barangkali, bibir saya bertahan dalam posisi senyum. Mata saya berembun, terharu.

Langit sudah gelap waktu saya tiba di Dermaga Laskar Pelangi, Tanjung Pandan. Dengan gaya sok tahu supaya disangka perantau Belitung pulang kampung, saya jalan kaki menuju entah ke mana.

Nasib saya malam itu ternyata berakhir di emperan sebuah rumah makan padang.

Menyewa sepeda motor

Keesokan harinya, sebelum matahari muncul, saya lanjut melangkah. Dengan ransel depan-belakang, saya ditiup angin ke Tugu Batu Satam. Lama saya duduk-duduk di emperan toko sampai akhirnya dihampiri seorang pengendara motor yang menawarkan jasa ojek.

Andai saja punya tujuan, barangkali saya sudah menerima tawaran darinya. Masalahnya, saya masih tak tahu mau ke mana. Mau menginap di mana saya juga belum punya bayangan. Saya boleh dibilang tak tahu apa-apa tentang Belitung. Informasi soal Belitung yang saya punya hanyalah nama-nama tempat yang ditulis Andrea Hirata dalam novel-novel manisnya—Manggar, Gantong, Manggar, Gantong, Manggar—dan nama-nama pantai semisal Tanjung Kelayang atau Tanjung Tinggi.

belitung
Sepeda motor sewaan selama di Belitung/Fuji Adriza

Lalu tiba-tiba saja tercetus ide: menyewa sepeda motor. Kepada abang ojek itu saya tanyakan tentang keberadaan rental motor. Untung ia punya kenalan. Saya pun dibawa melaju menelusuri Tanjung Pandan, memasuki sebuah gang kecil yang berakhir di sebuah rumah yang halamannya penuh sepeda motor.

Biaya sewa motor ternyata murah, Rp50.000 per hari. Setelah membayar di depan untuk tiga hari, saya pun meliuk-liuk di Pulau Belitung mengendarai satu unit sepeda motor Honda CS One yang kampas koplingnya sudah setipis dompet mahasiswa di akhir bulan. (Belakangan saya tahu bahwa memilih sepeda motor model begitu bukan keputusan yang bijaksana. Ceritanya bisa dibaca di sini.)

Mengikuti arahan plang penunjuk jalan dan posisi matahari pagi itu tibalah saya di ujung Pantai Tanjung Kelayang—yang ternyata sedang menggelar hajatan Sail Wakatobi-Belitong 2011.

Selimut Segitiga Biru

Saya mengisi perut dengan seporsi mi rebus telur di sebuah warung kecil tanpa nama. Usai mencerna makanan instan itu, saya aliri kerongkongan dengan segelas kopi hitam. Kopi habis, kaki saya gatal untuk segera menyentuh air laut.

Kedua tas—yang berisi seluruh harta kekayaan saya—saya titipkan di warung itu. Yang saya bawa hanya sempak dan celana pendek yang menempel di badan serta seperangkat alat snorkling. Sebentar kemudian saya sudah duduk-duduk santai di batu granit Pulau Babi yang hanya selemparan batu dari pesisir Tanjung Kelayang.

Dalam keadaan basah kuyup, saya kembali ke warung. Dasar belum punya udel, saya gelisah untuk menjelajah. Jadilah siang itu saya meluncur ke arah Belitung Timur karena penasaran dengan Gantong, SD Muhammadiyah, dan Sungai Lenggang. Lumayan lama ternyata ke sana. Setiba di SD Muhammadiyah, matahari sudah sama condongnya dengan kayu besar yang menopang sekolah Lintang dkk. Itu.

Sebelum gelap, saya sudah kembali melaju ke Tanjung Pandan. Tak tahu mau menginap di mana malam itu, saya balik saja ke warung kecil di pojok Tanjung Kelayang. Malangnya, saat saya tiba, warung sedang ramai. Tak ada tempat untuk duduk. Sambil menunggu sepi, saya rebahkan badan di lantai gedung terbengkalai yang dijadikan parkiran motor itu—sampai ketiduran.

Tengah malam, barangkali, saat saya digugah oleh sang pemilik warung. “Eh, ternyata kau, boi. Abang kira tadi orang mabuk,” ia kaget. Ia mengajak saya untuk ke warungnya. Ternyata, istrinya sudah menyiapkan tempat berbaring nyaman untuk saya di bawah meja, yakni “kasur” kardus berlapis kain plus bantal dan selimut karung Segitiga Biru.

Pagi yang tak akan bisa dibeli

Keesokan harinya saya hanya beredar di Tanjung Kelayang, entah duduk-duduk di warung Bang Ardi dan Kak Rita itu atau berkeliaran di sekitar areal acara Sail Wakatobi-Belitong 2011. Hari itu Tanjung Kelayang makin ramai. Orang-orang bersemangat sekali menonton berbagai lomba dan pertunjukan.

Tak terasa, malam kembali tiba—dan saya kembali menginap di warung.

belitung
Warung-warung yang berjejeran di Pantai Tanjung Kelayang/Fuji Adriza

Keesokan paginya, saya bangun lebih pagi dalam keadaan yang lebih segar. Matahari belum muncul, hawa masih dingin, halimun masih mengambang di antara pohon-pohon kelapa di cakrawala. Bang Ardi dan Kak Rita ternyata bangun lebih dulu dari saya. Melihat saya bangun, Kak Rita menyeduhkan secangkir kopi hitam. Asapnya menguar, menyatu dengan udara.

Dalam balutan selimut Segitiga Biru, saya duduk di kursi panjang kayu dan mengamati sekitar. Tanjung Kelayang lengang. Ruang pendengaran saya hanya diisi oleh suara ombak kecil yang terhempas pasrah ke hamparan pasir. Terayun-ayun di atas air laut adalah puluhan yacht dari penjuru dunia yang tiang-tiangnya mengedipkan lampu warna-warni.

Tak lama mentari tiba dari balik jejeran pohon kelapa. Bulat sepenuhnya dan jingga.

Saya masih ingat betapa sedih rasanya mengucapkan selamat tinggal pagi itu pada Bang Ardi, Kak Rita, dan tiga orang anaknya yang masih teramat belia. Tapi, mau bagaimana lagi, saya harus kembali ke Jogja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan-kenangan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-kenangan-di-belitung/feed/ 0 16693
Upacara HUT RI ke-67 di Gedung Agung https://telusuri.id/upacara-hut-ri-ke-67-di-gedung-agung/ https://telusuri.id/upacara-hut-ri-ke-67-di-gedung-agung/#respond Thu, 15 Aug 2019 16:52:26 +0000 https://telusuri.id/?p=16628 Foto-foto ini diambil di Gedung Agung Jogja, 17 Agustus 2012, saat seluruh Indonesia bersukaria merayakan HUT RI ke-67. Kala itu Indonesia masih dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Warga dunia, seandainya lupa, sedang deg-degan menunggu terwujud...

The post Upacara HUT RI ke-67 di Gedung Agung appeared first on TelusuRI.

]]>
Foto-foto ini diambil di Gedung Agung Jogja, 17 Agustus 2012, saat seluruh Indonesia bersukaria merayakan HUT RI ke-67.

Kala itu Indonesia masih dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Warga dunia, seandainya lupa, sedang deg-degan menunggu terwujud atau tidaknya ramalan “hari akhir” suku Maya.

Jalan Malioboro Jogja juga masih belum bersolek. Bola-bola batu di Kilometer Nol masih belum ada. Di depan Gedung Agung masih berjejeran bangku-bangku panjang “Pyramid” tempat warga dan wisatawan duduk-duduk santai menikmati suasana Jogja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Upacara HUT RI ke-67 di Gedung Agung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/upacara-hut-ri-ke-67-di-gedung-agung/feed/ 0 16628