Genta Ramadhan, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/genta-ramadhan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 20 Nov 2021 05:27:53 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Genta Ramadhan, Penulis di TelusuRI https://telusuri.id/penulis/genta-ramadhan/ 32 32 135956295 Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/ https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/#respond Sat, 20 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30287 Jumat, 18 Juni 2021, merupakan pengalaman berhargaku menikmati suasana malam di Malioboro saat pandemi COVID-19. Menuju ke sana berawal dari ketidaksengajaan. Terus terang, aku agak labil ketika dihadapkan banyak pilihan yang membuatku lama mengambil keputusan....

The post Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 appeared first on TelusuRI.

]]>
Jumat, 18 Juni 2021, merupakan pengalaman berhargaku menikmati suasana malam di Malioboro saat pandemi COVID-19. Menuju ke sana berawal dari ketidaksengajaan. Terus terang, aku agak labil ketika dihadapkan banyak pilihan yang membuatku lama mengambil keputusan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kawasan Malioboro merupakan salah satu destinasi wisata Yogyakarta yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan lokal dan mancanegara. Pedagang kaki lima, tukang becak, pak kusir, seniman, dan pelaku usaha kreatif berkumpul di titik yang sama. Jangan lupa, pedagang lokal, Plaza Matahari, dan Pasar Beringharjo siap memenuhi selera belanja konsumen.

Karena Malioboro merupakan salah satu pusat Kota Jogja, maka rute jalan menuju ke sana dibuat searah. Tujuannya tentu untuk mengurai kemacetan. Hampir setiap kota turut merasakan gerahnya kemacetan. Apalagi ketika berada di pusat kota. Setiap perayaan momen tertentu, misal lebaran dan malam pergantian tahun, kemacetan sudah menjadi masalah klasik dalam tata ruang perkotaan.Pandemi memang merubah kondisi pariwisata Jogja secara keseluruhan. Kini, para pramuwisata se-DIY tidak henti-hentinya menghimbau wisatawan agar manut protokol kesehatan. Langkah seperti ini perlu diapresiasi meskipun tidak semua wisatawan menurut imbauan tersebut. Maka tidak heran, kawasan objek wisata menjadi salah satu sarang penyebaran penyakit menular.

Pose Bang Yudis di Malioboro
Pose Bang Yudis di Malioboro/Genta Ramadhan

Awalnya, aku diajak oleh Bang Yudis, teman se-indekos, untuk makan angin. Kebetulan sekali, aku perlu piknik untuk mengurangi rasa suntuk di indekos. Banyak orang juga merasakan hal yang serupa sepertiku. Sebelumnya, niat kami ialah makan nasi uduk samping Martabak KumKum. Lokasinya berada di Sagan, tepatnya Jalan Prof. Herman Yohanes. Sayangnya warung ini berhenti beroperasi akibat kebijakan PPKM bulan Juli silam.

Setelah salat Magrib, kami berangkat ke sana menggunakan motor. Di sana, menu makanan tersedia cukup banyak. Sistem pengambilan makanan berupa prasmanan. Artinya, konsumen boleh memilih teman nasi sesuai selera. Namun, porsinya tetap diatur oleh si penjual. Menariknya, metode pembayaran pun juga kekinian, yaitu tunai dan pindai barcode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).

Hotel Grand Inna Mutiara
Hotel Grand Inna Mutiara/Genta Ramadhan

Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menikmati makan malam. Ibarat isi baterai ponsel sebelum digunakan. Di sana, aku mengamati Bang Yudis sedang asyik menggunggah aktivitasnya ke media sosial. Nampaknya, ada orang lain juga melakukan hal yang serupa. Aku bertanya sendiri, untuk apa manusia sekarang unggah story di media sosial pula?

Setelah ritual makanan, kami bersiap-siap meluncur ke Malioboro. Namun, kami harus menunggu teman kampus Bang Yudis yang katanya sedang dalam perjalanan. Kata Bang Yudis, dia berasal dari Bangka yang barusan tiba di Jogja. Hal ini membuatku kesal karena tindakan blunder Bang Yudis. Alhasil rencana berangkat kami tertunda setengah jam dari yang rencana awal. Namun setelah aku mencoba menguasai diri agar emosiku tidak meledak, akhirnya aku memaklumi alasannya dan berlapang dada.

Akhirnya, kami berangkat ke Malioboro. Karena Jalan Prof. Herman Johannes dibuat searah, terpaksa kami memutar arah. Untungnya, ada gang kecil yang bisa memangkas waktu perjalanan menuju jalan protokol menuju simpang Gramedia. Setibanya di sana, kami memarkir motor di Taman Parkir Abu Bakar Ali. Tempat ini merupakan lahan parkir vertikal untuk kendaraan bermotor yang berdekatan dengan kawasan Malioboro. 

Kami memarkir motor di lantai tiga. Desain taman parkir ini cocok untuk kawasan wisata karena banyak wisatawan berlalu lalang di Malioboro. Selain itu, ada stasiun kereta Tugu yang selalu sibuk melayani arus penumpang kereta.

Aku dan Gapura Kampung Ketandan
Aku dan Gapura Kampung Ketandan/Genta Ramadhan

Sekarang, waktunya menjelajahi Malioboro.

Kami bertiga menikmati suasana malam Malioboro dengan syahdu. Sesekali, aku kembali menengok Jogja Library (Joglib). Dulu ketika ada tugas kuliah dan lagi gabut, aku sering bertandang ke sana untuk mencari koran. Biasa, sesekali aku bernostalgia soal Joglib. Di depannya, terdapat Hotel Grand Inna menjadi landmark area Malioboro. Jangan lupa, Malioboro juga menyediakan kawasan pedestrian dan spot foto yang menjanjikan.

Syahdan, kami berjalan ke arah Alun-Alun Utara Kraton. Sepanjang perjalanan, aku melihat gang kecil dengan nama kampung yang khas. Salah satunya, Kampung Ketandan yang merupakan rumah warga berketurunan Tionghoa. Selain itu, terdapat deretan arsitektur Tionghoa yang menjadi ciri khas Kampung Ketandan. Aku sering melihat gapura kawasan itu, tetapi belum masuk gang lebih dalam. Istana Agung dan Benteng Vreedebrug juga terletak lokasi yang sama.

Kaki kami penat setelah berjalan terlalu lama. Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menemani teman Bang Yudis membeli oleh-oleh. Kemudian, aku berniat membeli oat milk sebagai cemilan. Sayangnya, toko ini tutup begitu cepat karena pandemi. Alih-alih demikian, kami mencari warung makan lesehan untuk mengisi tenaga. Sayangnya, aku tidak membelinya karena harga makanan disana mahal. Sebagai gantinya, aku menikmati wedang ronde yang menyegarkan. Setelah selesai, kami kembali ke indekos dengan perasaan penat dan bercampur puas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Suasana Malam Malioboro Kala Pandemi COVID-19 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-malam-di-malioboro-di-tengah-pandemi-covid-19/feed/ 0 30287
Potret Wisata Obelix Hills Kala Pandemi https://telusuri.id/potret-wisata-obelix-hills-kala-pandemi/ https://telusuri.id/potret-wisata-obelix-hills-kala-pandemi/#respond Tue, 03 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29317 Suatu hari, aku merasa jenuh hidup di indekos di tengah kesibukanku mengerjakan skripsi. Pandemi COVID-19 telah membatasi orang untuk beraktivitas luar rumah jika tidak ingin tertular. Namun, sebagian orang tidak peduli soal kasus COVID-19 karena...

The post Potret Wisata Obelix Hills Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu hari, aku merasa jenuh hidup di indekos di tengah kesibukanku mengerjakan skripsi. Pandemi COVID-19 telah membatasi orang untuk beraktivitas luar rumah jika tidak ingin tertular. Namun, sebagian orang tidak peduli soal kasus COVID-19 karena informasi tersebut simpang siur dan menyesatkan.

Oleh karena itu, aku merasa butuh rekreasi setelah menjalani ritual rebahan yang menjemukan. Perasaan batinku tak karuan karena terpapar postingan media sosial orang yang berisi pencapaian orang lain yang membuatku tidak nyaman (insecure). Rasa sempit hati dan tidak percaya diri menyebabkan tidak bersemangat menjalani hidup. 

Akhirnya pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sebelumnya aku menghubungi Rahmat, teman kampus, untuk membujuk dia agar mau piknik. Lagipula ada masanya manusia membutuhkan jalan-jalan bersama teman dekat untuk mengisi semangat bekerja. Setelah mengalami tarik-ulur pembicaraan, akhirnya dia setuju dan berangkat pada Ahad (6 Juni 2021) pukul empat sore. Hal ini membuatku senang karena sudah waktunya aku harus menghafal rute objek wisata dan menikmati suasana alam.

Kemudian, kami memutuskan mengunjungi Obelix Hills. Lokasinya terletak di Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi jalan menuju ke sana sudah diaspal, tetapi harus hati-hati sebab ada jalan tanjakan dan turunan yang cukup curam. Selain itu, pastikan kendaraan kamu siap melewatinya. Waktu tempuh menuju lokasi tersebut berkisar 40-60 menit tergantung situasi lalu lintas.

Salah satu daya tarik Obelix Hills ialah berlokasi di area perbukitan cadas. Lokasi ini sangat cocok bagi wisatawan yang mau berswafoto dan foto bersama di tempat yang unik. Apalagi ketika sunset tiba, syahdu sekali suasananya. Tempat juga menyediakan kafe, tempat untuk swafoto, mushala, sajian pemusik lagu Indie, dan lain-lain. 

Rute perjalanan kami ke Obelix Hills dipandu oleh Google Maps mencakup UGM—Gejayan—Ringroad Utara—Berbah—Candi Ijo—Obelix Hills. Kami merasakan suasana jalan menanjak dan menurun setelah melewati Candi Ijo. Pemukiman warga di sana pun terpencar-pencar.

Setiba di lokasi, aku terkagum-kagum melihat deretan kendaraan roda dua dan roda empat parkir. Mengapa para wisatawan rela bertamasya ke sana meskipun kondisi jalan cukupsulit dilalui. Sekilas aku memantau plat motor dan mobil dengan kode yang berbeda. Ini menandakan bahwa wisatawan Obelix Hills datang baik dari dalam maupun luar Jogja.

Berhubung pandemi COVID-19 belum usai, maka semua kawasan objek wisata wajib menaati protokol kesehatan, termasuk kawasan Obeliks Hills. Masker, jaga jarak, dan hand sanitizer menjadi himbauan umum dari setiap tempat. Sektor pariwisata menjadi sarang penyebaran virus COVID-19 karena kerumuman tumbuh di sana.

Suasana Pembelian Loket
Suasana pembelian tiket/Genta Ramadhan

Kami berjalan ke loket untuk membeli tiket. Selain itu, kami juga mengamati pramuwisata yang selalu mengedukasi pengunjung agar menaati protokol kesehatandi sana. Berhubung masih pandemi, Rahmat memintaku membeli dua tiket masuk saja sesuai instruksi dari pramuwisata. Setelah mengantri dan menunggu lama, dua tiket masuknya akhirnya kami kantongi.

Satu lagi, harga tiket masuk Obelix Hills beragam. Untuk hari Senin-Kamis, harga tiket ini sebesar Rp15 ribu. Sedangkan Jumat-Minggu, harga tiketnya Rp20 ribu. Alasan sederhananya karena akhir pekan orang banyak berwisata ke sana dan libur kerja. Akibatnya, kawasan Obelix Hills menjadi ramai dan mungkin saja terasa kurang nyaman. Saranku untuk pembaca lainnya ialah kunjungi wisata tersebut pada hari kerja agar memperoleh kepuasan maksimal.

Benar saja, setelah memasuki area wisata, aku menyaksikan pengunjung membludak. Kendati begitu, mereka sudah mengenakan masker. Masalah klasik pemberlakuan protokol kesehatan dalam pariwisata adalah kerumunan. Selain itu, sebagian pengunjung masih keras kepala saat diberi edukasi dari pramuwisata. Semoga kita tidak seperti itu dan terus menjaga diri dan orang lain.

Suasana Wisata Obeliks Hills
Suasana wisata Obeliks Hills/Genta Ramadhan

Setelah masuk gerbang, aku merasakan suasana keramaian pengunjung. Aku menyaksikan para pengunjung berswafoto sebelum menuju ke kafe Kopi Ponti untuk menikmati gaya hidup sebagai pecinta kafe. Sayangnya, kafe ini penuh.

Penunjuk Jalan Wisata Obeliks Hills
Penunjuk jalan di Obeliks Hills/Genta Ramadhan

Setelah kami puas menelusuri sudut titik wisata Obelix Hills, adzan Magrib berkumandang. Langit senja menghiasi keramaian tempat ini. Tanpa pikir panjang, kami bergegas menuju musala untuk melaksanakan salat Magrib. Lokasi musala ini terletak di atas bukit sehingga kami harus menaikinya dengan hati-hati. Jika terjatuh dan mengenai batu cadas pasti merepotkan.

Setelah salat Magrib, aku dan Rahmat pulang ke rumah masing-masing. Sebelumnya, kami berhenti di restoran masakan Cina daerah Janti untuk makan malam. Meskipun biayanya cukup mahal, setidaknya momen ini menjadi pengalaman berharga bagiku selama hidup merantau. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Potret Wisata Obelix Hills Kala Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/potret-wisata-obelix-hills-kala-pandemi/feed/ 0 29317
Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/ https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/#comments Sun, 16 May 2021 01:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27977 Sejak melakoni Jurusan Ilmu Sejarah UGM, dari sinilah aku menyadari bahwa aku ini masih belajar dan belum pantas tampil di muka publik. Ada petuah dosen dan kakak tingkat sejarah bilang “mahasiswa sejarah harus memiliki bacaan...

The post Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak melakoni Jurusan Ilmu Sejarah UGM, dari sinilah aku menyadari bahwa aku ini masih belajar dan belum pantas tampil di muka publik. Ada petuah dosen dan kakak tingkat sejarah bilang “mahasiswa sejarah harus memiliki bacaan kuat untuk menulis dan berdiskusi untuk mereproduksi pengetahuan.” Supaya tidak lagi terlihat bodoh, maka aku bertandang ke perpustakaan untuk beraktivitas.

Tulisanku ini bermaksud untuk menarasikan pengalaman tentang Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Sebenarnya tempat ini layak dijadikan sebagai objek wisata literasi di Bukittinggi, namun kalah saing sama objek pariwisata lainnya. Ironis sekali, manusia Indonesia kurang memprioritaskan perpustakaan sebagai objek wisata literasi yang mencerdaskan akal dan budi pekerti bangsa Indonesia.

Suatu hari ketika berlibur, aku pergi ke Perpustakaan Proklamator Bung Hatta (PPBH). Perpustakaan ini terletak di sebelah Kantor Walikota Bukittinggi, yang sama-sama berada di atas bukit. Aku berangkat ke sana saat pagi hari. Waktu pagi hari merupakan waktu efektif bagi manusia untuk beraktivitas total. Sebab para ulama berkata bahwa rezeki manusia akan datang ketika pagi hari. Aku mafhum dan selalu membiasakan bangun pagi.

Lokasi yang sejuk dan asri menjadi daya tersendiri bagi PPBH. Meskipun bangunan PPBH terhalang oleh kantor walikota, tentu tidak menyurutkan semangat pemustaka untuk beraktivitas di sana. Setiba di lokasi, aku disambut oleh patung dada Bung Hatta yang berdiri di tengah air mancur. Jangan lupa arsitektur bangunan ini apik dan kekinian.

Menurut hemat saya, warga Bukittinggi, khususnya Sumatera Barat, patut berbangga kehadiran PPBH selain figur Bung Hatta. Dengan adanya PPBH, mereka bisa menyempatkan waktu untuk membaca buku di tempat. Biar lebih enak, pengunjung bisa membuat daftar kartu anggota sebagai prasyarat meminjamkan buku. Selain itu, PPBH terbuka untuk umum, mulai untuk anggota, bukan anggota, dan rombongan.

Terus terang selama berlibur, aku merasakan perbedaan mencolok fasilitas dan situs perpustakaan antara Sumatera Barat dan Yogyakarta. Di Jogja, tempatku kuliah, situs perpustakaan tumbuh bak jamur di musim hujan. Para pecinta literasi bakal puas menikmatinya. Bahkan, beberapa kafe merupakan tempat nongkrong mahasiswa sudah tersedia koleksi buku.

Melihat realitas kesenjangan literasi, ada panggilan moralku untuk membangun perpustakaan digital, seperti Internet Archive. Tujuannya adalah supaya warga Indonesia bisa mengakses informasi tanpa kesulitan jarak dan waktu. Aku menyadari bahwa niat yang besar harus punya modal dan usaha ekstra pula. Artinya ketika membuat proyek ini, kolaborasi menjadi syarat pokok untuk mencapai tujuan.

Kembali pada bahasan pokok, setiba di perpustakaan, aku mengikuti serangkaian tata tertib yang harus dipatuhi. Pertama, aku mengisi buku tamu dan menitipkan barang bawaan ke petugas layanan kunjungan. Setelah itu, aku menelusuri jenis buku yang akan dibaca. Selama di sana, pengunjung harus menjaga kebersihan, kesopanan, dan ketenangan. 

Prasasti/Genta Ramadhan

Penamaan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta sebetulnya merujuk kepada Bung Hatta sebagai tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia. Sepeninggal Bung Hatta, kutipan, akhlak, dan pemikiran beliau masih langgeng sepanjang zaman. Bahkan, pemerintah berencana membangun perpustakaan kembar untuk Soekarno dan Hatta sesuai tempat kelahiran mereka. Soekarno lahir di Blitar. Hatta lahir di Bukittinggi.

Jika aku amati, memang figur Bung Hatta yang diyakini oleh masyarakat awam (hanya) dikenal sebagai sosok dwitunggal Indonesia atau sosok “pendamping” Bung Karno. Sudah menjadi rahasia umum, penamaan nama bandara Cengkareng dan jalan di Indonesia pasti ada kata “Soekarno-Hatta”. Apalagi uang seratus ribu pasti ada gambar dwitunggal Republik.

Di halaman depan, aku menyaksikan prasasti peresmian perpustakaan ini yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebetulnya, perpustakaan ini sudah dibangun pada tahun 1976 dan diresmikan oleh Bung Hatta sendiri. Namun karena jumlah pemustaka terus bertambah, maka Pemerintah Kota Bukittinggi ingin membangun gedung perpustakaan baru yang lebih luas dari sebelumnya.

Menariknya, sekarang pengunjung bisa mengakses beberapa koleksi Bung Hatta yang sudah terdigitalisasi. Jadi, aku bisa membaca buku babon beliau yang sekarang susah ditemukan. Kalau nemu di aplikasi belanja online, pasti harga buku itu mahal karena tergolong buku langka. Lumayan lah sebagai bahan menulis tentang pemikiran Bung Hatta dalam aspek apapun. Jangan lupa, siapkan buku kecil dan pulpen.

Seperti perpustakaan pada umumnya, PPBH memiliki koleksi berkala dan koleksi monograf. Koleksi berkala terdiri atas surat kabar dan majalah terbitan dalam negeri. Adapun koleksi monograf berupa buku umum, buku referensi, dan koleksi buku khusus. Koleksi buku umum boleh dipinjam dan dibawa pulang, sedangkan koleksi referensi dan buku khusus hanya boleh dibaca di tempat.

Tampak dalam/Genta Ramadhan

Kemudian, masih ada fasilitas yang dimiliki oleh PPBH, yaitu ruang baca anak, penelusuran OPAC (Online Public Acces Catalogue), musala, lahan parkir yang luas, ruang mini teater, ruang pembuatan kartu anggota, dan kantor PPBH. Di lantai satu, aku menemukan koleksi jenis batu yang ditemukan oleh para ahli geologi. 

Untuk menghilangkan rasa bosan sehabis membaca, aku berjalan santai ke ruang pembuatan anggota. Sesekali aku membaca syarat menjadi anggota pustakawan PPBH. Syaratnya mudah, Anda cukup membawa fotokopi kartu identitas (KTP/SIM/Kartu Mahasiswa/Kartu Pelajar) dan pas foto 3 x 4 selembar. Masa berlaku kartu anggota pustakawan selama lima tahun dan boleh mendaftar kembali.

Kesan perjalananku ke PPBH sangat mengesankan. Aku merasa dimanjakan oleh fasilitas PPBH hingga nyaris lupa balik pulang. Jadi bagi Anda yang merindukan ketenangan, perpustakaan ini solusinya. Garap tugas kuliah dan pengisi waktu luang juga bisa. Yang terpenting biasakan membaca buku karena buku adalah jendela ilmu.

The post Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/feed/ 1 27977